Anda di halaman 1dari 33

AKU INGIN MENCINTAIMU DENGAN SEDERHANA

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa lupa. Ulang tahun pertama, Aa lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik. Ulang tahun kedua, Aa harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut, Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang. Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah. Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta. Aku tahu, kalau aku mencintai Aa, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur. Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih

dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini. Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini. Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A Ridwan? Diah sahabatku menatapku heran. Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah. Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu? tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A Ridwan. Diah tertawa geli. Kamu belum tahu kakakku, sih! Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku. Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita. Begitulah aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku. Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas. Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan? Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Naudzubillah! Kata Ibu. Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali. Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu. Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis. Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur Ibu berkata tenang. Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya? Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai? Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu. Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya. Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Lewat kata yang tak sempat disampaikan Awan kepada air yang menjadikannya tiada Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

Bidadari Yang Menghilang


Elisa begitu aku memanggilnya,gadis manis elok nan rupawan.Buatku dia adalah sesosok malaikat kecil,Sang Bidadari yang sanggup terangkan kegelapan dan kini ia tlah menjadi penerang untuk jalanku yang tadinya sedikit tanpa araH. Ini kisahku.... Seperti kebiasaan orang mengisi waktu paginya dengan seteguk Teh hangat atau secangkir kopi pahit dengan sedikit cemilan.Ahhh... tapi rasanya semua itu belum lengkap tanpa membaca kabar berita hari ini. Masih saja ku tunggui langganan tukang koran yang selalu rajin menghantarkannya ke rumahku. Akhirnya tak berselang lama datang juga yang kutunggu-tunggu.Belum sampai depan teras sudah ku sambut dengan sedikit kata berbau emosi.. "Bang,ko datangnya telat sih?" maaf mas,agak telat datangnya,soalnya tadi msih nungguin bos. sedikit pembelaannya yang terlontar dari mulut Tukang koran tersebut.Pikirku masa bodo lah,yang penting aku masih bisa menyempatkan diri membaca kabar berita hari ini sebelum mengawali aktifitas perkuliahanku yang Padat.Hari itu nampak lain,kulihat kabar berita tak satupun

membuat pikiranku tertarik untuk sedikit saja membacanya,terlihat basi dan biasa saja.Ku buka lembar demi lembar,sampai akhirnya aku melihat sebuah rubrik yang membuatku sedikit tertarik.yah sebuah rubrik Halaman biro jodoh..sebenarnya aku paling anti dengan publikasi nomor handphone secara terang-terangan,tapi mau gimana lagi,itu syarat utama yang harus di penuhi dalam rubrik tersebut jika ingin mencari pasangan. Mungkin rasa jenuh setelah putus dengan pacarku terdahulu,membuat kelakuanku sedikit terlihat aneh,termasuk keisenganku mencantumkan nama,nomor handphone beserta kegiatan atau aktifitasku saat ini pada sebuah koran harian tersebut.Satu dua hari aku belum melihat reaksi apa-apa.Handphoneku masih sunyi dari panggilan masuk orangorang yang tak kukenal.Sampai pada hari ketiga saat aku masih memejamkan mata ini,terdengar beberapa kali nyaring bunyi ringthone dari arah handphoneku yang kutaruh disamping tempat tidurku terasa memekik telinga.Masih sedikit malas mengangkat telephone karena jiwa yang terasa belum menyatu dengan raga,rupanya ngantuk masih saja membuatku malas untuk beranjak dari tempat tidurku. Tetapi perlahan aku mulai mengarahkan tanganku,mengambil Handphone yang kutaruh di samping tempat tidurku.. "Ahhh siapa sih pagi-pagi udah nelfon" gerutu aku dalam hati kecilku. Halo bisa bicara dengan Andra...???terdengar suara yang begitu halus,bayangan yang terlintas di benakku adalah sesosok cewek cantik,nan lembut.Sedikit aku tercengang dan mengira itu adalah telfon nyasar alias salah sambung.Tapi tak lama kemudian aku menjawab dengan nada lirih "ini siapa yah....???" tanpa menunggu lama gadis itu merespon pertanyaanku" Nama aku Elisa,kamu Andra yah..?? boleh kenalan ga? aku dapet nomor kamu dari koran,waktu aku iseng baca-baca berita barusan,aku test eh ternyata nyambung juga."Dari situ barulah ku tersadar,mataku langsung terbelalak dan tanpa rasa ngantuk lagi ku ladeni percakapanya. Pikirku toh niat baiknya untuk sekedar berkenalan saja masa harus ku tolak.Setelah lama ngobrol ngalor-ngidul dan saling memperkenalkan diri,aku merasa sedikit dekat dengannya,mungkin karena pembawaan gadis itu yang begitu ceria,bersahabat dan nyambung. Setelah 2 sampai 3 kali aku berhubungan melalui telefon,kamipun memutuskan untuk ketemuan di suatu tempat.Memang waktu itu aku tidak berani ketemu dengannya sendirian,lalu akupun memutuskan untuk mengajak 2 orang sahabatku.saat dia menegurku aku kaget,karena kulihat sosok gadis yang begitu terlihat menarik.aku langsung suka pada awal pandangan pertama.Namun saat yang kulihat pertama kali kekecewaan terlintas di raut wajahnya,aku sedikit paham,mungkin karena aku datang tidak sendirian,sehingga suasananyapun jadi agak berbeda.tapi tak lama aku langsung meminta maaf,beruntunglah ia seorang gadis yang sangat pengertian jadi semuanya tak di

permasalahkan Waktu terasa berjalan begitu cepat,tanpa terasa hari sudah menjelang sore,akhirnya kusudahi pertemuan ini,toh besok atau lusa masih ada waktu untuk berjumpa kembali.sesampainya di rumah aku tak lupa menghubungiya dan menanyakan apakah dia sampai dirumah dengan selamat, sedikit lega karena ternyata ia sudah sampai di rumah sebelum aku sampai duluan.Setelah itu aku sempat menjadi pendengar yang baik lewat telephone genggamku ketika di melakukan pembicaraan yang agak serius,rupanya dia ingin berterus terang jika ia ternyata menyimpan perasaan yang begitu spesial kepadaku.setelah mendengar langsung dari bibir tipisnya bahwa ia ternyata menyukaiku,ekspresi senang tanpa sadar menyelimutiku..dengan girangnya ku meloncat.... yah... gayung pun bersambut" tetapi tak lama kemudian aku kaget bukan main,ternyata di akhir pengucapanya ia mengungkapkan kejujuranya bahwa ia sudah mempunyai belahan jiwa yang lain.semenjak itu aku jadi tak berharap banyak kepadanya. Sampai suatu ketika ia mengajakku untuk bertemu,rupanya pertemuan itu dilandasi dengan sebuah akar permasalahan yang sedang terjadi antara dirinya dan pacarnya.Aneh,,, dia mengajakku bertemu di tempat yang tidak biasa,malam itu di suatu cluub atau discotique,aku bersama kedua sahabatku pergi ke sana.Rupanya dia sedang ada masalah yang berat sehingga ia memutuskan untuk melakukan pertemuan dennganku di sebuah Cluub malam."kamu aneh...!! kenapa kita mesti ketemu di tempat seperti ini sih?" Aku lagi stres nih,cowok aku brengsek,,," itulah sedikit kata yg terucap dari mulutnya,tetapi aku tidak mau bertanya lebih,karena pikirku aku tak mau mencampuri urusannya.Aku mengira kalau dia adalah perempuan glamour,dan suka dengan minuman penghangat,tak lama kemudian aku memangil Waitress untuk memesan sedikit minuman penghangat.Tetapi ia menolak,aku tidak biasa minum alkohol,aku minta orange juice aja" katanya. Baiklah akan segera ku pesan untukmu.tak lama kemudian akupun memesan 1 orange juice dan 2 botol bear. Setelah itu Aku bersama dia dan kedua temanku ikut Larut dalam suasana cluub yang semakin malam semakin panas. tak lama berselang ia kemudian menggandeng kedua lengankku dan mengajakku ke tengah untuk joget,sampai aku betul2 nervous saat ia spontan memelukku seraya berbisik, "Aku adalah aku,aku tak bisa menjadi seperti dirimu,aku bukan bagian dari dirimu,tetapi hari ini ijinkan aku menghuni relung hatimu yang kosong.Diandra,,Hari kemarin adalah masa laluku jika hari ini aku dekat denganmu itu merupakan hal yang indah buatku,dan jika aku bisa mencintaimu kelak dengan sepotong hati ini yang dalam keadaan terluka,maafkan aku karena tak sempat engkau memiliki kepingan hati ini dalam keadaan sempurna.namun jika engkau mau menerimanya adalah sebuah anugerah yang besar.Dalam keadaan tersayat kutitipkan sekeping hati kepadamu dengan harapan engkau bisa mengobati luka lamaku.Aku percaya kepadamu,karena aku percaya dengan naluriku. Hari kemarin aku mulai mengagumimu dan hari ini aku belajar mencintaimu.Harapanku

hanya satu,janganlah engkau seperti masa laluku yang penuh dengan kedustaan". Kemudian kutatap wajahnya,aku melihat goresan luka yang begitu mendalam tersirat dari wajahnya,tetesan air mata itu sudah cukup membuatku yakin,bahwa ia teramat sangat kecewa dengan masa lalunya,dengan kekasih hatinya itu Ku rangkul pundaknya,perlahan ku usap air matanya,saat itu aku tak peduli dengan suara musik DJ yang memecah telinga aku tak memperhatikan seelilingku,bahkan aku menganggap yang ada hanyalah aku denganya tanpa ada seorangpun di sekelilingku. "Elisa... Kemarin adalah sebuah kenangan,engkau harus bangun dengan semangatmu hari ini,dan hidup untuk hari esok.Kita tidak akan pernah tau akan arti dari sebuah perjuangan tanpa adanya kegagalan.Kita tak akan pernah mengerti Makna hidup ini tanpa kegagalan,dan tak akan menjadi lebih bijak tanpa menemukan kegagalan.Hari ini engkau titipkan hatimu di relung jiwaku,dalam keadaan luka parah.Aku tak tau apakah aku mapu,untuk mengobati luka-lukamu itu, tetapi aku kan berusaha seampu aku bisa.Aku berjanji,kan ku kembangkan sayap putihmu untuk bisa kau kepakkan kembali.Suatu saat kau bisa ajak aku untuk terbang ke nirwana cintamu.Syorga tempat kita bernaung.Pada langit ku kanfaskan namamu,pada udara ku alirkan energi Cinta kita.agar dunia tau bahwa engkau adalah permaisuriku. Akupun mencintaimu,walaupun hari kemarin aku tak ingin berharap banyak pada cintaku kepadamu yang sudah berpunya..Namun hari ini aku yakin,Tuhan anugerahkan kepada kita sebuah cinta,untuk kita jaga,kita bina dan kita pelihara. Aku bukanlah masa lalumu, aku adalah masa depanmu,karena aku tak pernah punya kenangan indah bersamamu,apalagi kenangan pahit dan tak pernah terlintas dalam benakku akan menjadi seperti masa lalumu. Aku tak sama dengan dirinya,aku tak sama dengan masa lalunya.Aku lahir dari kemiskinan cinta,Aku hidup dengan kekrisisan kasih sayang.Namun aku tak pernah mengemis cinta,jika hari ini aku ditakdikan untuk itu,maka aku hanya akan mengemis cinta untuk saat ini saja dan hanya kepadamu. Aku adalah masa depan yang kau percayakan.Aku kan menjadi payung dalam goresan luka lamamu,kan ku obati sebisa aku mampu.kan ku satukan kepingan hatimu yang retak oleh masa lalumu. "Diandra.terimakasih atas apa yang kau ungkapkan,dan kuyakin tuturmu itu keluar dari lubuk hatimu yang paling dalam,hari ini lukaku sedikit terobati,dan ku yakin esok kan kembali seperti semula".

Kumpulan Cerpen ( Cerita dari seberang )


True Love (Cinta Yang Tak Pernah Padam)
Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku

tersandung sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk. Lalu aku baca tahun "1924". Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, "Sayangku Michael", yang menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah. Tetapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang ada pada amplop itu. "Operator," kataku pada bagian peneragan, "Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?" Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, "Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda." Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu beberapa menit. Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, "Ada orang yang ingin berbicara dengan anda."

Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, "Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!" "Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?" tanyaku. "Yang aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu," kata wanita itu. "Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada." Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo. "Semua ini tampaknya konyol," kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, "Ya, Hannah memang tinggal bersama kami." Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. "Ok," kata pria itu agak bersungut-sungut, "bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah." Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan

matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael." Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, "Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si aktor itu." "Ya," lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. "Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,......." Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, "......katakan, aku masih mencintainya. Tahukah kau, anak muda," katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir, "aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang bisa menyamai Michael." Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, "Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?" Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, "Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini." Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, "Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini." "Siapakah Pak Goldstein itu?" tanyaku. Tanganku mulai gemetar. "Ia adalah penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalanjalan di luar."

Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, "Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan." Kami menuju ke satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan berkata, "Oh ya, dompetku hilang!" Perawat itu berkata, "Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?" Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, "Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan memberimu hadiah." "Ah tak usah," kataku. "Tapi aku harus menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini." Senyumnya langsung menghilang. "Kamu membaca surat ini?" "Bukan hanya membaca, aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang." Wajahnya tiba-tiba pucat. "Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku," ia memohon. "Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik seperti saat anda mengenalnya," kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, "Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok. " Ia menggenggam tanganku, "Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu mencintainya."

"Michael," kataku, "Ayo ikuti aku." Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat mendekatinya perlahan. "Hannah," kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu masuk. "Apakah anda tahu pria ini?" Hannah membetulkan kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael berkata pelan, hampir-hampir berbisik, "Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih ingat padaku?" Hannah gemetar, "Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!" Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. "Lihatlah," kataku. "Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah." Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo itu. "Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkawinan di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!" Dan pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka. Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun.

Batu Rubi yang Retak ( Motivasi Hidup )


Alkisah, di sebuah kerajaan, raja memiliki sebuah batu rubi yang sangat indah. Raja sangat menyayangi, mengaguminya, dan berpuas hati karena merasa memiliki sesuatu yang indah dan berharga. Saat permaisuri akan melangsungkan ulang tahunnya, raja ingin memberikan hadiah batu rubi itu kepada istri tercintanya. Tetapi saat batu itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan, terjadi kecelakaan sehingga batu itu terjatuh dan tergores retak cukup dalam. Raja sangat kecewa dan bersedih. Dipanggillah para ahli batu-batu berharga untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Beberapa ahli permata telah datang ke kerajaan, tetapi mereka menyatakan tidak sanggup memperbaiki batu berharga tersebut. Mohon ampun, Baginda. Goresan retak di batu ini tidak mungkin bisa diperbaiki. Kami tidak sanggup mengembalikannya seperti keadaan semula. Kemudian sang baginda memutuskan mengadakan sayembara, mengundang seluruh ahli permata di negeri itu yang mungkin waktu itu terlewatkan. Tidak lama kemudian datanglah ke istana seorang setengah tua berbadan bongkok dan berbaju lusuh, mengaku sebagai ahli permata. Melihat penampilannya yang tidak meyakinkan, para prajurit menertawakan dia dan berusaha mengusirnya. Mendengar keributan, sang raja memerintahkan untuk menghadap. Ampun Baginda. Mendengar kesedihan Baginda karena kerusakan batu rubi kesayangan Baginda, perkenankanlah hamba untuk melihat dan mencoba memperbaikinya. Baiklah, niat baikmu aku kabulkan, kata baginda sambil memberikan batu tersebut. Setelah melihat dengan seksama, sambil menghela napas, si tamu berkata, Saya tidak bisa mengembalikan batu ini seperti keadaan semula, tetapi bila diperkenankan, saya akan membuat batu rubi retak ini menjadi lebih indah. Walaupun sang raja meragukan, tetapi karena putus asa tidak ada yang bisa dilakukan lagi dengan batu rubi itu, raja akhirnya setuju. Maka, ahli permata itupun mulai memotong dan menggosok. Beberapa hari kemudian, dia menghadap raja. Dan ternyata batu permata rubi yang retak telah dia pahat menjadi bunga mawar yang sangat indah. Baginda sangat gembira, Terima kasih rakyatku. Bunga mawar adalah bunga kesukaan permaisuri, sungguh cocok sebagai hadiah. Si ahli permata pun pulang dengan gembira. Bukan karena besarnya hadiah yang dia

terima, tetapi lebih dari itu. Karena dia telah membuat raja yang dicintainya berbahagia. Netter yang luar biasa. Di tangan seorang yang ahli, benda cacat bisa diubah menjadi lebih indah dengan cara menambah nilai lebih yang diciptakannya. Apalagi mengerjakannya dengan penuh ketulusan dan perasaan cinta untuk membahagiakan orang lain. TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA DI DUNIA INI Saya kira demikian pula bagi manusia, tidak ada yang sempurna, selalu ada kelemahan besar ataupun kecil. Tetapi jika kita memiliki kesadaran dan tekad untuk mengubahnya, maka kita bisa mengurangi kelemahankelemahan yang ada sekaligus mengembangkan kelebihan-kelebihan yang kita miliki sehingga keahlian dan karakter positif akan terbangun. Dengan terciptanya perubahanperubahan positif tentu itu merupakan kekuatan pendorong yang akan membawa kita pada kehidupan yang lebih sukses dan bernilai! Hidup Untuk Memberi
Disuatu sore hari pada saat aku pulang kantor dengan mengendarai sepeda motor, aku disuguhkan suatu drama kecil yang sangat menarik, seorang anak kecil berumur lebih kurang sepuluh tahun dengan sangat sigapnya menyalip disela-sela kepadatan kendaraan disebuah lampu merah perempatan jalan di Jakarta . Dengan membawa bungkusan yang cukup banyak diayunkannya sepeda berwarna biru muda, sambil membagikan bungkusan tersebut ,ia menyapa akrab setiap orang, dari Tukang koran , Penyapu jalan, Tuna wisma sampai Pak polisi. Pemandangan ini membuatku tertarik, pikiran ku langsung melayang membayangkan apa yang diberikan si anak kecil tersebut dengan bungkusannya, apakah dia berjualan ? kalau dia berjualan apa mungkin seorang tuna wisma menjadi langganan tetapnya atau??, untuk membunuh rasa penasaran ku, aku pun membuntuti si anak kecil tersebut sampai disebrang jalan , setelah itu aku langsung menyapa anak tersebut untuk aku ajak berbincang-bincang. De, boleh kakak bertanya ? silahkan kak, kalau boleh tahu yang barusan adik bagikan ketukang koran, tukang sapu, peminta-minta bahkan pak polisi, itu apa ?, oh itu bungkusan nasi dan sedikit lauk kak, memang kenapa kak!, dengan sedikit heran , sambil ia balik bertanya. Oh.. tidak! , kakak Cuma tertarik cara kamu membagikan bungkusan itu, kelihatan kamu sudah terbiasa dan cukup akrab dengan mereka. Apa kamu sudah lama kenal dengan mereka? Lalu ,Adik kecil ini mulai bercerita, Dulu ! aku dan ibuku sama seperti mereka hanya seorang tuna wisma ,setiap hari bekerja hanya mengharapkan belaskasihan banyak orang, dan seperti kakak ketahui hidup di Jakarta begitu sulit, sampai kami sering tidak makan, waktu siang hari kami kepanasan dan waktu malam hari kami kedinginan ditambah lagi pada musim hujan kami sering kehujanan, apabila kami mengingat waktu dulu, kami sangat-sangat sedih , namun setelah ibu ku membuka warung nasi, kehidupan keluarga kami mulai membaik.

Maka dari itu ibu selalu mengingatkanku, bahwa masih banyak orang yang susah seperti kita dulu , jadi kalau saat ini kita diberi rejeki yang cukup , kenapa kita tidak dapat berbagi kepada mereka. Yang ibu ku selalu katakan hidup harus berarti buat banyak orang , karena pada saat kita kembali kepada Sang Pencipta tidak ada yang kita bawa, hanya satu yang kita bawa yaitu Kasih kepada sesama serta Amal dan Perbuatan baik kita , kalau hari ini kita bisa mengamalkan sesuatu yang baik buat banyak orang , kenapa kita harus tunda. Karena menurut ibuku umur manusia terlalu singkat , hari ini kita memiliki segalanya, namun satu jam kemudian atau besok kita dipanggil Sang Pencipta, Apa yang kita bawa?. Kata-kata adik kecil ini sangat menusuk hati ku, saat itu juga aku merasa menjadi orang yang tidak berguna, bahkan aku merasa tidak lebih dari seonggok sampah yang tidak ada gunanya,dibandingkan adik kecil ini. Aku yang selama ini merasa menjadi orang hebat dengan pendidikan dan jabatan tinggi, namun untuk hal seperti ini, aku merasa lebih bodoh dari anak kecil ini, aku malu dan sangat malu. Yah.. Tuhan, Ampuni aku, ternyata kekayaan, kehebatan dan jabatan tidak mengantarku kepada Mu Terima kasih adik kecil, kamu adalah malaikat ku yang menyadarkan aku dari tidur nyenyak ku. "Hidup akan berarti jika kita mau membagikan sesuatu untuk orang lain dan tidak hanya fokus untuk menyenangkan diri kita sendiri "

CIUMAN TERAKHIR Rapat Direksi baru saja berakhir. Bob mulai bangkit berdiri dan menyenggol meja sehingga kopi tertumpah keatas catatan-catatannya. Waduhhh,memalukan sekali aku ini, diusia tua kok tambah ngaco.. Semua orang ramai tergelak tertawa, lalu sebentar kemudian, kami semua mulai menceritakan Saat-saat yang paling menyakitkan dimasa lalu dulu. Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan kisah lainlainnya.. Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling tak enak bagimu dulu. Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya. Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan saudara-saudara lainnya yang masih di rumah. Ia menatap kami dan berkata, Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat dari menarik jala dan memerangi lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia sudah mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya yang terbuat dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup dadanya. Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya. Tak perduli berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan dan amisnya ikan.

Suara Frank mulai merendah sedikit. Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah. Ia punya mobil truk tua yang dipakainya dalam usaha perikanan ini. Truk itu bahkan lebih tua umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang perjalanan. Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya. Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam tempat duduk, berharap semoga bisa menghilang. Hampir separuh perjalanan, ayah sering mengerem mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan suatu kepulan awan asap. Ia akan selalu berhenti di depan sekali, dan kelihatannya setiap orang akan berdiri mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan menyandarkan diri ke depan, dan memberiku sebuah ciuman besar pada pipiku dan memujiku sebagai anak yang baik. Aku merasa agak malu, begitu risih. Maklumlah, aku sebagai anak umur duabelas, dan ayahku menyandarkan diri kedepan dan menciumi aku selamat tinggal! Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, Aku ingat hari ketika kuputuskan aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu kecupan selamat tinggal. Waktu kami sampai kesekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah tersenyum lebar. Ia mulai memiringkan badannya kearahku, tetapi aku mengangkat tangan dan berkata, Jangan, ayah. Itu pertama kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya begitu terheran. Aku bilang, Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal. Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan. Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai basah. Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya, pandangannya menerawang menembus kaca depan. Kau benar, katanya. Kau sudah jadi pemuda besarseorang pria. Aku tak akan menciumimu lagi. Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua matanya, ketika ia melanjutkan kisahnya. Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi. Itu terjadi pada suatu hari, ketika sebagian besar armada kapal nelayan merapat dipelabuhan, tapi kapal ayah tidak.Ia punya keluarga besar yang harus diberi makan. Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan separuhnya lagi masih ada dilaut.Pastilah ayah tertimpa badai dan ia mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya. Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya. Frank menyambung lagi, Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa yang akan kukorbankan sekedar untuk mendapatkan lagi sebuah ciuman pada pipiku.untuk merasakan wajah tuanya yang kasar,untuk mencium bau air laut dan samudra padanya..untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku. Ahh, sekiranya saja aku jadi pria dewasa saat itu. Kalau aku seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi tahu ayahku bahwa aku terlalu tua tuk sebuah ciuman selamat tinggal.

Cerpen Kabut Cinta pemuda lumpuh

Kala cinta harus berkata yang terasa hanya kenangan belaka. Lamunan dan hayalan hanya sebagai peneman tidur yang akan bertukar dengan mimpi yang indah. Senyuman yang terpancar hanya sebagai penghias wajah. Mentari yang bersinar hanya akan membantu aku untuk menceritakan kisah-kisah hidupku.Biar bintang-bintang menghiasi malam namun malamku begitu kelam, hingga sinar-sinarnya akan hilang tertukar kegelapan hatiku. Hidup yang penuh dengan bunga-bunga indah seakan bertukar dengan duri-duri sang mawar yang tiap saat menikam kulitku.

Aku seoarang pemuda yang sudah mulai menggerti cinta, memahaminya, dan merasakanya. Namun semua itu hanya aku tata rapi didalam hatiku. Aku tutup dengan aliran darahku hingga setiap kali hatiku terasa panas, darahku akan mengalir menyejukanya. Aku pernah jatuh cinta bahkan cintaku pernah terbalas. Bagiku kisah itu adalah kisah yang paling indah dalam hidupku. Seorang bidadari datang dan memberi aku berjuta kebahagiaan. Memberi air kehidupan yang menyejukan hatiku. Takdir yang telah memisahkan kami. Memberikan aku luka yang lebih sulit aku lupakan.

Namanya Tia, gadis kecil yang baik hati. Seseorang yang pernah mengisi hari-hariku. Aku masih ingat pertama kali dia menyetakan cinta padaku yang aku balas dengan curahan air mata. Aku tersentuh oleh keindahan kata yang keluar pelan. Memeluk wanita untuk pertama kali dalam hidupku. Tia adalah seorang wanita cantik yang tinggal dekat rumahku, dia keturunan orang berada di komplek aku yang setiap saat akan mengendap-endap masuk kamarku. Enam bulan bulan aku telah hidup dalam lautan cintanya. Malam2 kami hiasi dengan pertemuan. Teringat jelas ketika dia biLang sayang biar ada seribu kumpang yang akan hinggap di kelopak bungamu ini, biar ada seribu kumpang yang berkakikan emas yang memohon untuk hingap di kelopak bungamu ini, satupun dari antara mereka tidak akan ijinkan. Karma aku telah memiliki kumbang yang berhatikan emaskata itu telah aku simpan dalam hatiku, dan akan terucap dalam hatiku setiap kali aku mau memejamkan mata. Kisah cinta itu harus terputus saat orang tua Tia mengetahui bahwa putrinya telah jatuh cinta pada seorang yang tak punya kaki.Malam itu tia datang dan masuk kekamar aku lewat jendela. Aku buka dan aku melihat senyum manis sang bidadariku. boleh masuk kan sayangkatanya pelan. Sambil memutar balik kursi rodaku aku berucap masuklah aku menunggumu dari tadi!!Tia masuk dan duduk di tepi ranjangku.sayang dah mau tidur? katanya pelan.

Tanpa menunggu jawaban dia memegang tanganku. Terasa tangan kirinya mengangakat bahuku. Aku ditariknya dari kursi roda dan aku berbaring menghadap kearahnya.maaf aku telah merepotkanmu kataku pelan sambil memandangi diding kamarku. tidak apa2, aku malah senang jika bersamamu. Karma aku mencintaimu.Katanya sambil duduk di tepi kasurku.Aku memutar tubuhku kearah jendela hinnga aku membeakanginya suatu saat kau harus meningalkanku dan melupakanku, aku lumpuh dan kau harus hidup bersama orang yang bisa membahagiakanmukataku. yang bisa membahagiakanku hanya kamu Ben, kau yang akan memberiku arti hidup, aku tak butuh apa-apa selain hatimu, selain cintamu, aku akan hidup demi kamu dan kamu harus hidup demi aku. Jangan pernah katakana hal itu lagi ben, aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku.Aku berputar kugenggam tanganya aku mencintamu juga dan , aku sayang kamu lebih dari apapun, aku ingin kau selalu menemani hari-hariku. Tapi aku takut aku akan mengecewakanmu. Tia membalas gengamanku, dia memandang mataku mataku, menyentuh bibirku dan aku kecupan pertama. Kecupan bibir terindah dalam hidupku. Saat wajahnya mendekat aku merasa tetesan air matanya berjatuhan di atas mataku hingga air matanya mengalir bersatu bersama air mataku. Kala aku sedang terbuai dalam indahnya cinta, tiba2 pintu kamar diketuk. Suara yang sangat keras telah memberitahuku bahwa sang gadis dalam bahaya. Bapakkubappakkukata tia denga sangat pelan. Aku terduduk di atas ranjangku. Tanpa banyak kata Tia langsung bersembunyi di bawah kolong tidurku. Dengan pelan-pelan aku mencoba menaiki kursi rodaku. Setelah itu aku menuju pintu dan membukanya. Bentakan demi bentakan. Hinaan demi hinaan terucap dan melekat ditelingaku. Pak bahyu ayahnya tia langsung mengamuk dan mencari-cari tia. Dia memegang leherku dan mengancam akan membunuhku kalau aku tetap berhubungan dengan tia. Tia dimana? Bentaknya. Papaku datang menghampirinya. Heh bung jangan asal nuduh aja, anakmu tak ada disini. Cepat kau keluar atau kau akan kuhajar disini. Suasana makin panas saat mamanya tia datang dan menendang kursi rodaku hingga aku terbalik.kau piker aku tidak tahu kalau anakmu yang tidak berkaki ini sedang memelet putriku. Sekarang cepat dimana Tia kau sembunyikan, kau pasti suadh main dukun ya.. hinaan demi hinaan terdengar nyaring dari kamarku. Mendengar itu mama kau tak kuat dengan cepat tanganya mendarat di wajah mamanya tia sambil berkata jangan sembarang ngomong. Aku tahu kau punya segalanya, anakmu cantik2 kau punya hharta, namun kau tak punya hati. Suasana semakin tidak tenang saat mamaku bertengakar mulut dengan mama tia. Hingga akhirnya hal yang paling aku benci pertengkaran pun dimulai. Aku melihhat papaku membawa golok dan mendarat di tangan papanya pia. Dan diwaktu bersamaan mamanya tia memukul kepala mamaku dengan kursi hingga mama terjatuh dan pingasn.Teriakan terdengar dari dalam kamarku. Tia kelura dari kolong tidur dan melihat semua kejadian itu. Darah mengalir dari tangan ayahnya yang hamper putus dan dari kepala mama aku. Aku bergerak nyesot kea rah mamaku yang telah terpapar tak berdaya.

Sementara itu ayah lari setelah sadar apa yang ia lakukan. Aku menjerit di tengah jeritan tia yang memeluk ayahnya. Mamanya tia mendorong tia dengan keras hingga kepalanya terbentur kedinding. Tiba2 warga berdatangan setelah mendengar teriakan kami. Banyak diantara mereka yang menyalahkan aku dan mengutuk ayahku tanpa memperhatikan ibuku yang masih terkapar tak berdaya. Tia bangkit dengan kepala pecah dan berusaha menolong ayahnya. Namun mamanya mendorongnya untuk yang kedua kalinya, hingga dia benar2 pingsan. Aku melihat mereka menolong papanya pia dan menbawanya kerumah sakit, sementara itu sebagian warga mengangkat tubuh tia dan tia dibawah kerumahnya. Sementara itu mama aku masih pingsan. Aku mencoba memeluk ibuku, membiarkan air mata membasahi tubuhnya. Semua warga telah pergi. Tidak ada satu orang pun yg mau menolong kami. Bahkan mereka pergi sambil mengihana dan berkata bahwa aku adalah pemelet yang lumpuh. Aku hanya mampu terdiam untuk berdiripun aku tak bisa apalagi untu mengangkat tubuh ibuku. Kulita jelas air mata ibu mengalir. Aku memeluknya denga keras maafkan aku bubu..bangun aku berusaha meminta tolong denga teriakan yang sangat keras, namun tak seorangpun datang untuk memberi pertolongan. Tiba-tiba aku merasa tangan ibuku bergerak. Matanya terbuka pelan.. buuubuuubangun buuu kataku. Ibu tersenyum kau adalah anugrah terindah yang aku miliki BENTRA, mama tidak pernah menyesali kehadiranmu, bahkan mama sangat bersyukur punya anak berhati emas sepertimu. Maafkan mama yang telah melahirkanmu seperti ini, aku memeluk tubuh ibuku, dan ketika aku melepaskanya kujumpai tubuh ibuku elas lemas. Dan disitulah aku berteriak sekeras-kerasnya. Berteriak memohon keadilan tuhan. Berteriakkkk menolok takdir hidupku,,, ibuku telah pergi untuk selamaya. Itu hal terakhir yang aku ingat. Saat aku terbangun aku melihat seorang ibu duduk dekat aku. Ibu itu adalah tetangga kami yang baru pulang dari luar kota. Kau da sadar ben ?, kau mau makan, atau minum biar tante ambil., kata itu tergiang dikepalaku, aku seakan mau bertanya tentang ibu dan ayahku namun aku tak bisa bicara. Aku mncoba berbicara namun selalu gagal. Aku memandang kearah ibu itu dan mengelengka kepala. Ben kau sehat kan ? kata ibu itu dengan panik. Aku membalas dengan angukan kepala, air mata masih saja membasahi pipiku. Aku mencoba beranya lagi namun aku gagal. Akhirnya aku sadar aku tak bisa bicara lagi, aku mencoba mengisyaratkan bahwa aku mau menulis sesuatu. Dan ternyata ibu itu mengerti. Dia mengembil pulpen dan sebuah buku dari atas mejaku. bu.critakan apa yang terjadi.Kutuliskan dalam buku itu.Ibu memandang jauh kearah mataku. Terlihat air matanya mengalir disaat dia mulai bicara. Dia bercerita bahwa ibuku telah dikubur 2 hari yang lalu setelah ditemukan terkapar di dekat aku. Sedangkan ayaku harus ditahan di penjara demikian juga dengan ibunya tia. Mereka harus ditahan karna kejadiaan itu, ayahnya tia harus dibawah keruamah sakit dan dia harus pindahkan lagi kerumah sakit jiwa setelah lukanya benar-benar sembuh. Sedangakan tia kekasih hatiku di temukan tewas dikamarnya setelah menenngak racun tikus. Aku melihat ibu bergeser dan mengambil secarik kertas dari kantong

celananya. Buat kekasih hatiku. Maaf aku harus pergi. Maaf aku harus meningalkanmu. Hatiku dan juga cintaku akan abadi bersamamu. Aku berjanji saat aku akan diadili sang penguasa. Kan kusebut namamu.Hingga dia akan menguba hidupmu. BENTRA aku mencintaimu. Semoga kamu selalu bahagia. Itulah yang aku ketahui, semuanya terjadi begitu saja tanpa memberiku waktu untuk berpikir.

Kini aku hidup sendiri di sebuah panti di kotaku. Hidup dengan kekecewaan akan kejamnya takdir. Aku mencoba menerawang kedalam setiap hati. Dan satu yang aku ketahui mulutku tidak akan pernah terbuka lagi, demikian juga dengan hatiku. Hari-hariku hanya aku isi dengan kenangan bersama Tia sang kekasih. Tiap saat hanya bersama bayangan wajahnya. Buku diary yang selalu menghibur hatiku. Kini aku benar-benar sendiri dengan mulutku yang tetutup rapat. Aku sadar inilah akhir hidupku., akhir dari kejamnya takdir yang menemaniku selama ini. Kini di masa mudahku aku mengerti aku tidak akan mengenal cinta lagi. Dimasa mudaku kukubur perasaan cinta yang tuhan anugrahkan kepadaku, sebab cinta itu hanya menimbulkan kepedihan. Aku tahu tidak akan ada wanita yang mencintai laki-laki lumpuh dan bisu seperti aku selain Tia. Kugerkan kursi rodaku dan aku mulai menulis buku diaryku. Biar dia anugrah terakhir. Biar dia bintang yang telah redup. Biar dia mawar yang telah layu. Namun ada sinar dan wanggi yang indah terpancar darinya. Teringat senyuman dan kedipan matanya.Jiwaku bergelora saat dia mengengam tanganku. Tia sang kekasih aku mencintamu.

Posting cerpen by: t_hernanto

Menunggu Saat Bintang Jatuh Langit indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam dengan anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit itu berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang melambai agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang jatuh. Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan manusia. Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu tertarik gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk satu permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin benda langit yang tak mampu melawan takdir untuk dirinya sendiri tersebut mampu mengabulkan keinginan makhuk lain? Seandainya bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti dia akan meminta sendiri kepada Tuhan agar kontraknya di atap dunia diperpanjang. Buktinya, ia memilih menuruti kehendak alam. Sayang, saat ini, aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang menggoda itu seakan seperti pantulan cermin atas diriku sendiri. Awalnya begitu indah, tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh, dan jika Tuhan menghendakinya jatuh, ia tak mampu melawan. Aku terlahir sebagai bocah desa biasa, anak buruh tani. Kedua orang tuaku tak lulus SD, begitu juga kedua kakak perempuanku. Mereka menikah di usia yang masih sangat belia, menjadi ibu rumah tangga, mengurusi anak, suami, dan dapur. Status yang menurutku benar-benar rendah dan aku tak mau seperti mereka. Adalah Pak Ahmad, kepala desaku yang menjadi kepanjangan tangan Tuhan mengubah seluruh duniaku. Beliau mengangkatku menjadi anak asuhnya sejak aku SD karena terkesan dengan prestasi belajarku saat aku menjadi juara 1 lomba cerdas cermat se-kecamatan. Sejak saat itu, beliau menanggung semua biaya pendidikan, termasuk semua keperluanku. Aku tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku mau, sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru membuka mata, pasti aku telah mendapatkannya. Aku cantik, setidaknya aku primadona desa. Aku juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini adalah jodohku. Laki-laki tersebut bernama Awan. Itu yang dulu aku namai keberuntungan. Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. Tapi, saat ini tidak demikian, aku berharap ada bintang jatuh, berharap mitos tentangnya benar. Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak ingin jadi diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, gadis desa

anak Pak Kardi dan Ibu Karmi, buruh tani yang tak lulus SD. Aku ingin seperti Mbak Gendis dan Mbak Elok. Semua masih biasa saja sampai kemarin, namun sebuah kejadian tadi siang benar-benar menjungkir balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi saat paling indah dalam hidupku. Sebulan yang lalu, Awan mengungkapkan niat untuk melamarku dan aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan tentang masa depan kami, tentang rumah mungil yang hangat. Tentang bayi-bayi lucu yang kelak menjadi calon profesor. Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata, merusak segalanya. Kedatangan Awan hari ini tak kunyana tak mendapatkan sambutan baik dari bapak angkatku. Beliau menolak mentah-mentah niat Awan untuk meminangku. Bahkan, beliau bersumpah tidak akan menyetujui hubungan kami sampai kapan pun. Aku tak pernah melihat bapak semarah itu, tidak sama sekali sejak 11 tahun aku mengenal beliau. Tapi, hari ini malaikat itu berubah menjadi monster paling menakutkan. Semua tak seperti kemarin lagi. Dunia tak lagi indah bagiku, meski langit sedang berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit saat tadi sore, setelah bencana itu, aku pulang ke rumah orang tua kandungku. Aku menceritakan semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di sana. Di rumah orang tua yang telah melahirkanku. Kamu sudah dewasa, kamu sudah jadi wong pinter nduk, dan semua itu karena jasa Pak Ahmad, bapak angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar, mintalah maaf kepadanya dan turuti apa yang beliau minta. Hatiku sakit mendengar kalimat itu, ringan keluar dari bibir ibu, wanita yang mengandung dan melahirkanku. Meski tanpa melihat wajah beliau, aku tahu tak ada beban dari nada suaranya. Ah ibu, apa benar tak ada lagi cintamu untukku? Langit masih bertabur bintang di atas sana, masih menyiratkan keindahan alam awangawang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku menggigil. Aku baru sadar, aku tidak sedang di rumah Pak Kepala Desa yang megah dan hangat. Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa tak berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman. Aku tak tau apakah bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau hanya diam di rumah menungguku pulang sendiri. Meminta maaf kepadanya, lalu dengan santun mengatakan bahwa aku akan ikhlas menerima apa pun yang beliau mau. Baru kali ini aku tahu betapa berharga sebuah kemerdekaan dan kebebasan menentukan pilihan sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah aku anggap malaikat itu. Tak apalah aku hanya menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang lain, hidup bersama Awan. Awan, mengingatnya kembali membuat dadaku sesak. Aku bodoh, aku lemah, dan aku tak mampu melawan. Kuintip lagi langit yang tampak jelas dari tempatku menyudut, tetap semarak meski sangat sepi. Pasti sudah lewat dini hari, kelengangan meraja.

Silau mentari menerpa wajahku, aku menyipitkan mata karenanya. Hari sudah terang. Aku tersentak kaget saat menyadari ada seseorang di dekatku. Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat semalaman itu tiba-tiba duduk di dekatku. Sebuah sarung kotak-kotak warna hijau menyelimuti tubuhku. Aku kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak saat aku liburan ke Jogja dulu. Bapak selalu mengenakannya. Air mataku meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk. Pastilah tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang menyiksa. Tiba-tiba aku merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan aku. Jangan menangis cah ayu,...jangan cengeng.. Rupanya, isak tangisku mengusik tidur beliau. Tangan tuanya yang keriput mengusap air mata di pipiku. Aku makin tersedu. Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin.... Suara datar penuh wibawa itu terdengar sangat halus. Bapak tak akan melarangmu menikah dengan siapa pun. Kamu bebas memilih, kamu telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi sarjana, yang pertama dan satusatunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak bajingan itu, sampai mati pun bapak tak rela.. Aku memilih diam, aku hanya terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat bapak angkatku itu menuntunku pulang. Seminggu sudah bencana itu berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak. Sudah seminggu pula, aku menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam diri di balkon kamarku sambil menatap langit berharap dapat menemukan bintang jatuh. Malam ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan sudah mengguyur bumi mulai sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari sebelumnya. Nduk Sekar, dipanggil Bapak, suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku. Ya Mbok, terima kasih, jawabku acuh tanpa membuka pintu Nduk, dipanggil Bapak, Mbok jah mengulangi panggilannya. Iya..iya.., bentar!!! sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu. Maaf nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar. Sakit? Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku melihat Bapak sehat-sehat saja? aku menghujani pertanyaan kepada Mbok Jah sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu kamar itu terbuka sebagian, dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan lemah. Bapak kenapa?? Bapak.... aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak. Jangan menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu ini,....berjanjilah,

suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk. Aku berjajni Bapak, aku berjanji,.... Hari ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih basah. Semerbak bau kembang terbawa angin bersama debu dan daun kering. Di bawah sana, malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk selamanya meninggalkan janji yang sangat berat di pundakku. Di seberang sana, aku melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku di bawah pohon kamboja. Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin berlari ke arahnya menumpahkan kerinduanku. Tapi, janji yang aku ucap semalam kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku. Aku memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar membalas tatapannya. Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih terpaku di bawah pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang janji, tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu, meski untuk sebutir pasir sekalipun. Jika itu harga yang harus aku bayar, akan aku lakukan. Aku memang tak yakin bisa hidup tanpa Awan. Tapi, aku telah memilih untuk menepati janjiku kepada Bapak. Biarlah takdir sendiri yang menentukan jalan kami. Seperti bintang yang jatuh untuk turun ke bumi saat Sang Mahakuasa menghendakinya demikian. Dendamlah yang membuat Bapak sangat membenci Pak Surya, orang tua Awan. Bapak sangat meyakini bahwa kematian istri dan putri tunggalnya, Mbak Lastri, adalah karena teluh yang dikirim Pak Surya yang kala itu kalah pemilihan kepala desa. Bapak sangat meyakini itu benar. Meski diagnosis dokter mengatakan bahwa mereka meninggal karena DBD. Saat itu, memang desa ini sedang diserang wabah DBD. Namun, karena kejadian tersebut hanya berselang satu hari setelah kemenangan Bapak, beliau meyakini ada kekuatan lain yang merenggut nyawa dua orang keluarganya itu hingga meninggal secara bersamaan. 20/10/10

Kumpulan Cerpen Remaja


Kumpula Cerpen Remaja Selubung Gurat Hati
Peluit time out dibunyikan wasit di sisi lapangan. Pertandingan basket itu terhenti sejenak. Klub Rajwali yang menempati sisi kanan kelihatan agak tegang. Mereka sudah memimpin angka sejak awal pertandingan, namun klub lawan kini mulai mengejar. "Arlan, kamu diganti dulu sama Cali," pelatih yang keringatnya hampir menyamai

para pemain itu memberi instruksi sesuai dengan yang direncakanannya. Arlan mengangguk. Ia mengambil tempat duduk di barisan untuk pemain cadangan. Matanya terarah ke sudut tribun penonton. Mencari sosok yang memporakporandakan konsentarasi bertandingnya tadi. Cewek berambut panjang dengan blus biru itu tak ada lagi di tempatnya. "Permainanmu kacau sekali, Lan," komentar Mas Aji yang tahu-tahu sudah duduk di sebelah Arlan. Ia agak senewen melihat permainan muridnya tadi. Tembakan three point yang biasa dihasilkan semuanya gagal. "Janji deh, nanti kalo dipasang lagi nggak bakalan kayak tadi," timpal Arlan. Ia meneguk sebagian air minerlah miliknya. "Pamit sebentar mau ke belakang ya, Mas." Pelatih itu cuma mengangguk sambil tetap memandang ke tengah lapangan. Pertandingan kian seru. Arlan berjalan cepat. Yang ditujunya bukan kamar kecil, ia malah menembus pintu ke luar. Matanya terus mencari-cari Cewek yang dilihatnya di tribun tadi. Kalo ia menghilang dari tribun itu mestinya ia pergi ke luar. "Arlan! Kamu bukannya lagi bertanding? Kok di luar sih?" suara tanya itu mengejutkan Arlan. Seorang Cewek manis berambut sebahu mendekatinya. "Aku lagi nggak kepake dulu. Ya, keluar cari angin sebentar kan nggak dilarang. Bagaimana rapat senatnya tadi?" Arlan teringat kesibukan Ratri sore ini. "Agak tersendat dibandingkan sebelumnya. Makanya aku telat datang kemari," jawab Ratri. Ia menjajari langkah Arlan ke dalam gelanggang olah raga. "Kamu duduk di sini saja. Biar nggak susah aku nyari kamu nanti. Eh, mau nunggu sampai aku pulang, kan?" tanya Arlan sambil membiarkan Ratri duduk di barisan paling depan. "Iya. Asal kamu main bagus!" Ratri tersenyum. Arlan kembali ke bangku cadangan bergabung dengan tim lainnya. Baru sepuluh menit kemudian ia sudah dipanggil lagi untuk mengisi lapangan. Sebuah tembakan three point diciptanya semenit kemudian. Ratri terpekik girang melihat aksi Arlan. Matanya terus melekat pada sosok cowok itu. Bukan pada permainan basket yang sebenarnya memang tak pernah ia sukai. *** Duduk di taman kecil depan perpustakaan kampus kerap dilakukan Arlan bila tak tahu apa yang harus dikerjakannya sambil menunggu kuliah berikutnya. Mengedarkan pandangan sambil melamun memang jadi keasyikan tersendiri buatnya. Nggak jarang matanya tertumbuk pada sosok cewek cantik. Tapi hatinya buru-buru menyisihkan hasrat yang kemudian timbul. Sebuah nama di masa lalu telah menciptakan kenangan yang menggurat di hatinya.... Maharani jadi siswa baru kelas dua. Ia langsung populer dengan kecantikannya ditambah lagi mobil mewah yang bergantian mengantar-jemputnya. Banyak cowok berusahan mendekati, tapi semua harus puas dengan mimpi mereka saja tanpa berhasil mewujudkannya. Sementara sebagian dari mereka mimpi pun sudah tak berani, termasuk Arlan yang duduk di belakang Rani. Sampai suatu siang sepulang sekolah, sewaktu Arlan hendak menghidupkan motornya. "Arlan, mau nolong aku nggak?" suara Rani mengejutkannya. "Asal aku sanggup." "Aku harus buru-buru ke rumah. Tapi jemputanku belum datang juga. Aku...." "Mengantarmu dengan motorku ini? Apa kamu nggak risih?" "Sudahlah. Mau apa nggak?"

Arlan langsung menyambar helm yang tergantung di stang motor di sebelahnya. Ia menyodorkan helm itu kepada Rani. "Ayolah. Tapi kalo kamu masuk angin aku nggak tanggung," Arlan menghidupkan motornya dan membiarkan membonceng. Ternyata itu jadi sebuah awal dari jalinan manis antara mereka. Beberapa kali Rani membonceng Arlan. Sampai akhirnya Arlan merasa perlu mengungkapkan isi hatinya. "Kamu mau jadi pacarku, Ran?" tanya Arlan sehabis mengajak Rani menyaksikan pertandingan basket antarkelas. Rani mengangguk dan tersenum. "Tapi dengan syarat kamu jangan sampai datang ke rumahku," katanya kemudian. "Kenapa?" "Papa melarangku pacaran." "Backstreet juga okelah," angguk Arlan mantap. Siapa tahu waktu mengubah hal itu. Tapi waktu tak pernah memberi kesempatan untuk mengubah hubungan mereka menjadi lebih baik. Lima bulan berlalu tetap saja mereka harus pacaran umpetumpetan. Malah tiba-tiba waktu mengubahnya menjadi amat pahit. Arlan membonceng Rani sepulang sekolah. Dan kecelakaan yang tak pernah diinginkan siapa pun itu terjadi. Arlan lukan gores di tangan dan kaki. Tapi Rani sampai gegar otak. Langit buat Arlan benar-benar runtuh kemudian. Rani menghilang entah ke mana. Usaha yang dilakukannya cuma membuat panjang kepedihannya. Rani.... Arlan tersentak dari lamunannya. Sekelebat ia melihat bayangan punggung seorang cewek. Ia berambut panjang. Dan gaun biru yang dipakai itu sama persis dengan gaun yang dibelikan Arlan di hari ulangtahun Rani yang ke tujuhbelas. Arlan berlari mengejar sosok itu ke dalam perpustakaan. Tapi di pintu masuk langkahnya tertahan. "Arlan, aku cari-cari kamu dari tadi," Ratri langsung mendekatinya. "Bagaimana dengan final invitasi antarklub itu?" "Jadi besok malam. Kamu mau nonton?" "Kebetulan nggak ada kegiatan. Sudah makan siang? Ke Gelael yuk. Lapar, nih." Arlan menurut saja. Sulit untuk menolak setiap ajakan Ratri. Cewek ini memang seperti hampir kebanyakan anak orang berada, semua kemauannya harus dipenuhi. meski Ratri berusaha menutupinya dengan berorganisasi di senat, sifat manja itu amat dirasakan Arlan. Tapi lepas dari itu semua, Arlan lagi-lagi harus bersyukur bisa dekat dengan cewek yang diincar banyak temannya. Seperti dulu seperti Rani.... Arlan mendesah mengingat nama itu. Dan siapakah cewek bergaun biru itu? "Kamu kelihatan gelisa, Lan?" tanya Ratri. "Nggak apa-apa," sembunyi Arlan. "Sungguh?" "Sungguh." Arlan menatap bola mata Ratri agar lebih meyakinkan. Dan hatinya senantiasa bergetar usai menatap binar bola mata itu. Binar itu mirip sekali dengan milik Rani. Mereka masuk ke Lancer merah Ratri. Sambil menghidupkan mesin Ratri berujar, "Dulu kamu pernah cerita SMA kamu, SMA 5, kan?" "Iya. Lumayan ngetop di Bandung sini. Kalo SMA di Jakarta barangkali bisa disamain dengan SMA kamu itu." "Biasanya sekolah ngetop pada cakep-cakep ceweknya," lanjut Ratri "Memang." "Masak sih, kamu benar-benar nggak punya pacar di sana?" Arlan tak menjawab. Ia memang selalu berupaya merahasiakan jalinan cintanya dengan Rani. "Pasti kamu pernah patah hati ya, sampai akhirnya kebawa ke masa kuliah. Patah

hati sih boleh aja, asal jangan jadi dingin, Lan." "Dingin?" "Lho, kamu nggak ngerasa kalo kamu tuh cowok yang dingin. Nggak pernah ngobrol dengan siapa pun di kampus selain aku. Mainnya aja cuma sendirian di taman perpustakaan." Arlan cuma tersenyum. Ia yakin Ratri tengah memancingnya untuk cerita soal masa lalunya. Sudah sering Arlan membaca gelagat itu. Belum, belum tiba saat untuk itu semua, Arlan membatin. *** Nggak tahu, sampai berapa lama lagi kau bisa bertahan begini. Mencari, menunggu, mengejar bayanganmu yang hilang entah ke mana. Sementara sisi hatiku telah hampa begitu lama. Akankah kamu salahkan aku bila saat ini sebuah nama hadir mengisi kehampaan itu? Nggakkah kamu akan merutukku tak setia dan mengutukku agar mengalami luka itu lagi? Kalo saja nggak kulihat lagi kelebat bayangmu belakangan ini, aku sudah memasukkan namanya pada hari-hariku. Dan bila bayangmu itu tak juga dapat kuraih, akan kuakhiri penantianku ini.... Arlan menutup buku catatannya. Buku yang isinya melulu tentang Rani dan sejuta harapan yang menggurat di hatinya. Hampir dua tahun penantian itu terjadi. Ia beranjak untuk bersiap ke gelanggang olahraga. Rani... Ratri... nama itu terus mengiringi desah napasnya. Satu sisi hatinya ingin agar Arlan segera memberi kepastian kepada Ratri tentang hubungan yang mereka jalin. Sementara sisi lain hatinya justru ingin mempertahankan kasih Rani. Briefing yang diberikan pelatih menjelang pertandingan final invitasi antarklub bola basket se-Bandung nyaris tak digubris Arlan. Begitu masuk ke sisi lapangan matanya langsung mengitari tribun penonton. "Nyari pacarmu, Lan?" usik si Jangkung, Oki. "Sembarangan. Ratri bukan pacarku," kilah Arlan. "Tapi setia banget, ya. Cuma kali ini kayaknya telat lagi." Arlan cuma nyengir. Bangku yang biasa diduduki Ratri sudah diisi orang lain. Tapi bangku di sudut lain itu masih kosong. Tempat favorit Rani bila menyaksikan Arlan bertanding. Priit. Peluit wasit memanggil peserta berbunyi. Arlan bersama timnya langsung memenuhi lapangan. Rebutan bola segera dimulai seiring tiupan peluit. Lawan kali ini cukup tangguh. Lima menit pertama nyaris dilalui Arlan hanya dengan mengover bola. Baru kemudian akhirnya ia mendapat bola tanpa dihadang. Ada kesempatan untuk menciptakan three point. Cuma saat bola itu diangkat mata Arlan menangkap sosok cewek bergaun biru di tempat duduk kosong itu. Tempat yang sama diduduki cewek itu saat babak penyisihan lalu. Lemparan bola Arlan tak sampai ring, untungnya sempat diraih Tio. Tapi peluit wasit berbunyi lantaran pelatih klub Rajawali meminta time out. "Konsentrasimu kacau sekali, Lan!" hardik Mas Aji saat timnya mendekat. "Sori, Mas. Diganti dulu deh," usul Arlan. "Pacarnya belum datang sih, Mas," celetuk Tio. Mas Aji setuju. Ia memanggil Alford yang tingginya 185 senti. Pertandingan dimulai lagi. Arlan langsung mengarahkan pandangannya ke tribun penonton di seberangnya. Agak sulit juga untuk menyidiki wajah cewek yang masih terduduk di sana itu. Apalagi wajahnya menunduk, seolah tahu sedang diamati Arlan. Cewek itu beringsut ke pinggir dan berjalan cepat meninggalkan tempat duduknya.

Arlan reflek berdiri. "Mas, saya pamit ke belakang sebentar," izin Arlan. "Dasar beser! Baru main beberapa menit!" Arlan bergegas mengayunkan langkahnya. Cewek itu pasti keluar. Siapakah dia? Ranikah? Mengapa begitu misterius? Sampai di ambang pintu keluar, Arlan masih sempat menangkap kelebat bayangan cewek itu menuju tempat parkir mobil. Arlan menyusul. Tapi napasnya tertahan sewaktu melihat cewek itu meluncur dengan Katana biru. "Arlan!" suara khas itu mengejutkan Arlan. Ratri baru hendak keluar dari Lancernya. "Jangan turun. Antar aku," Arlan langsung menyerbu masuk ke dalam mobil. Suatu kebetulan yang menguntungkan. "Ada apa ini?" Ratri bingung melihat Arlan panik. "Kamu lihat Escudo tadi, kan? Tolong disusul." "Orang di dalam mobil itu beberapa kali menguntitku. Aku penasaran. Kurasa kita belok kiri, Rat. Nah, itu mobilnya!" Arlan mengarahkan jarinya ke depan, nyaris menembus kaca. Mobil yang mereka kejar melaju kian kencang, masuk ke jalan agak besar. Ratri membelokkan mobilnya tiba-tiba. Arlan tercengang. "Kenapa membelok, Rat?" tanya Arlan. Ratri tak menjawab. Ia malah membawa mobilnya ke jalan yang agak sepi sampai akhirnya ke pelataran parkir sebuah kompleks pemakaman umum. Suasana hening menyergap mereka. "Ada yang ingin kuutarakan padamu, Lan. Barangkali aku terlalu lancang...." Ratri menggantung kalimatnya, menunggu reaksi Arlan. Tahu Arlan hanya membisu, Ratri keluar dari mobil. Tubuhnya lantas bersandar pada badan mobil. Arlan dihinggapi sejuta tanya. Belum terpecahkan persoalan yang satu, sudah muncul soal lainnya. "Barangkali aku harus menceritakannya dari pertama padamu," Ratri membuka mulutnya lagi. "Dimulai dari perkenalan kita. Terus terang kamu langsung menyita perhatianku begitu kukenal. Tentu saja aku punya batasan untuk mengungkapkan perasaanku itu." Arlan merasakan hal itu. "Cara yang kulakukan untuk menarik perhatianmu kupikir sudah tepat. Tapi rupanya ada selubung misteri yang menutupi hatimu. Segala upaya kulakukan untuk memancingmu, tapi kamu seperti enggan membukanya. Katakanlah, kenapa, Lan?" "A-aku... aku tak bisa menceritakannya...." "Kurasa kini memang tak perlu lagi, Lan. Waktu yang membelaku memberitahukan itu semua. Satu bulan lalu aku main ke tempat Oom-ku. Kutempati bekas kamar sepupuku. Tanpa sengaja aku menemukan tempat rahasia menyimpan buku harian sepupuku itu, Lan. Isinya banyak bertutur tentangmu dan cerita cinta rahasia kalian berdua...." "Rani? Dia sepupumu? Di mana dia sekarang?" "Setahun yang lalu dia telah meninggalkan kita," nada suara Ratri melemah. Arlan mendongakkan kepalanya ke langit. Gara-gara kecelakaan itukah? "Kamu tak perlu merutuki dirimu sendiri, Lan. Tanpa kamu ketahui, sebenarnya kesehatan Rani memang rapuh. Itu sebanya Papanya amat ketat mengawasi. Ada kanker di otaknya. Dulu pernah dioperasi di Belanda, tapi kemudian tumbuh lagi. Operasinya yang kedua gagal." Arlan menahan airmata yang hampa keluar. "Setelah tahu itu semua, aku masih bersabar diri, Lan. Aku ingin satu bentuk kejujuran darimu. Sebagai orang yang dekat, tadinya kupikir kamu mau mengungkapkan itu semua. Tapi harapanku sia-sia. Dan itu menimbulkan ide gila

untuk menganggumu...." "Cewek bergaun biru itu?" "Ya, cewek itu bagian dari permainanku. Tapi ternyata aku tak sanggup untuk terus mempermainkanmu. Tuntutan untuk jujur kepadamu amat menyiksaku," Ratri berupaya untuk tetap tegar mengeluarkan kata-katanya. "Kamu...." "Apa pun pandanganmu padaku saat ini akan kuterima. Tapi beri aku kesempatan untuk mengantarkanmu melihat makam Rani," Ratri mulai tak kuat menahan isaknya. Ia tahu resiko apa yang paling berat yang akan diterimanya. Bisa saja Arlan membencinya lantas menjauhinya tanpa secuil maaf. Tanpa diduga Arlan malah merengkuh Ratri ke pelukannya. Tentu saja isak Ratri makin tak terbendung. Ia tumpahkan gundah yang mengganjal perasaannya selama ini. "Aku yang salah, Ratri. Aku bukan cuma nggak jujur pada hatiku sendiri. Aku telah mendustai banyak hal. Kesalahanku amat banyak. Aku harus menebus sakit hati yang kubuat padamu. Aku... mencintaimu, Ratri. Sesungguhnya perasaan itu timbul sudah lama. Tapi aku terlalu takut menghadapi resiko. Aku takut gurat luka yang ada di hatiku menganga lagi," tutur Arlan sambil mengusap uraian rambut Ratri. Ratri mengangkat mukanya. Jarinya menghapus airmata yang masih keluar. "Sebaiknya kita segera ke makam Rani. Berdoa sejenak di makamnya barangkali akan menenteramkan hati kita berdua. Lagipula, kamu kan harus kembali bergabung dengan timmu itu," kata Ratri kemudian. Arlan terperangah. Ia baru menyadari dirinya masih memakai kostum klub basketnya. Segera dirangkulnya bahu Ratri dengan tangan kanannya. "Ayolah, kita bergegas. Mudah-mudahan aku masih sempat membuat three point. Tembakan itu akan kubuat spesial untukmu," ucap Arlan dengan kelegaan yang tiada tara. Entah ke mana larinya selubung yang menutup rapat hatinya. Entah ke mana hilangnya gurat luka itu.

Cerpen Oleh : Benny Ramdhani Seorang Anak Dengan Ayahnya Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama. "Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil mencium anaknya. Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau Tanya berapa sih gaji Papa ?" "Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?" "Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat. "Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya."Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong" katanya. "Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Andrew. Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?" "Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah". "Tapi Papa..." Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Sarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp.15.000,- di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata, "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew "Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini". "lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut. "Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi.. karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp.. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos. Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya. "Bagi dunia kau hanya seseorang, tapi bagi seseorang kau adalah dunianya"

Cerpen Remaja
Cerita Pendek / Cerpen Remaja ( Tentang Adik )

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. Siapa yang mencuri uang itu? Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul! Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, Ayah, aku yang melakukannya! Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu! Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tibatiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi. Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baikhasil yang begitu baik Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus? Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai! Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah

dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang. Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku? Dia menjawab,tersenyum, Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. .. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu. Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita! Tetapi katanya, sambil tersenyum, Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.. Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. Apakah itu sakit? Aku menanyakannya. Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini. Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan

pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya? Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. Pikirkan kakak iparia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan? Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku! Mengapa membicarakan masa lalu? Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi? Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, Kakakku. Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya. Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku. Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Anda mungkin juga menyukai