Anda di halaman 1dari 12

Surat Cinta dan Sebatang Coklat

Penulis: Tiara Eviani Putri/2012

Aku mengintip dari balik pohon beringin, agak jauh dari gadis itu. Ia masih duduk bersimpuh di sana.
Wajahnya terlihat serius. Tangan indahnya terlihat sedang menggoreskan tinta ke selembar kertas
yang ia bawa dari rumah. Kulihat sebutir air mata jatuh dari pelupuk matanya dan diikuti tetes-tetes
air mata berikutnya. Ya, dia pasti menulis surat lagi!

Beberapa menit berlalu, dia pun menyelesaikan suratnya dan memasukkannya ke dalam sebuah
amplop merah muda. Aku tetap pada posisiku. Gadis cantik itu pun berdiri, meletakkan amplop itu di
tempat biasa, tersenyum, kemudian beranjak pergi. Ketika dia sudah tak terlihat lagi, dengan
langkah hati-hati aku mendekati tempat dimana dia meletakkan suratnya tadi. Kuambil surat itu,
kubuka perlahan, dan mulai membacanya…

Kepada: Arvito Abi

Ketika aku menulis surat ini, suasana di sekelilingku sangat sepi, Vit. Aku tak pernah berpikir
sebelumnya, bahwa kesepian ini kamu rasakan setiap hari. Aku merasa menjadi perempuan tak
berguna karena tak bisa selalu menemani kesendirianmu. Maafkan aku hanya bisa datang setiap
Sabtu pagi untuk sekedar melepas kerinduanku padamu. Aku benar-benar rindu, Vit…

Hari ini, aku ingin menceritakan banyak hal ke kamu…

Vito, kamu pasti ingat dulu kamu pernah berkata bahwa kamu ingin memiliki sebuah rumah yang
letaknya jauh dari keramaian. Ketika itu kamu berkata, kamu ingin hidup di sana bersama orang yang
kamu sayang dan kamu berkata orang itu adalah aku. Percaya atau tidak, sekarang rumah itu sudah
ada, Vit. Aku bangun rumah itu dengan hattsil keringat aku sendiri. Walaupun sepenuhnya aku sadar,
kamu sudah damai hidup sendiri di sini, tapi setidaknya aku berhasil mewujudkan salah satu
keinginan kamu. Semoga kamu terkesan, Vit…

Oh iya, Vit, dua hari yang lalu aku menerima seikat bunga dari kakak kamu, Kak Restu. Awalnya aku
kira itu hanya sebagai ucapan selamat dari Kak Restu atas kelulusan aku. Tapi ternyata, Kak Restu
mengungkapkan perasaannya ke aku, Vit. Jangan marah dulu, beneran setelah itu, aku langsung
mengembalikan bunganya. Aku berkata bahwa aku tidak bisa. Aku hanya menganggapnya sebagai
seorang kakak. Sebenarnya, ada alasan yang lebih dari itu dan dia pasti tau, Vit. Aku jadi teringat
kamu, Vito. Ketika kamu mengungkapkan perasaanmu ke aku, kamu kasih aku sebatang cokelat
karena kamu sangat tau aku tidak suka bunga. Pokoknya kamu itu orang yang paling bisa mengerti
aku dan selamanya kamu takkan pernah tergantikan…

Vit, sebenarnya surat ini tidak sama seperti surat-suratku sebelumnya. Surat ini bukan hanya sekedar
surat cinta, tetapi juga surat perpisahan. Vito, entah aku harus bahagia atau berduka ketika
mengatakannya. Aku akan pergi, Vit. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Jepang. Aku
akan mewujudkan satu lagi keinginan kamu. Keinginan kamu untuk menulis nama kita berdua di
puncak Gunung Fuji. Di Jepang nanti, aku akan menghuni rumah impian kamu itu, Vit. Rumah impian
kita berdua. Aku tidak sendirian di sana. Aku percaya bayangan kamu selalu ada di samping aku…
Vito, ini berarti aku harus meninggalkan kamu di sini sendirian. Selama beberapa tahun ke depan aku
tidak bisa melakukan ritual Sabtu pagi mengunjungimu. Jujur, aku sedih, Vit. Tapi aku yakin jalan
yang aku ambil ini akan bahagiakan kamu dan kedua orangtuaku. Doakan saja aku dari sini…Vit,
kamu lihat, matahari di sini mulai tenggelam. Ini adalah waktu favorit kita, Vit. Senja. Mungkin
saatnya aku pulang. Seperti biasanya, bersamaan dengan surat ini kusertakan sebatang cokelat
kesukaanmu. Kuletakkan di bawah nisan yang berukir indah namamu…

Aku pamit, Sayang. Selamat tinggal. Doakan aku supaya tetap bahagia. I Love You More, Vito…

Terdalam,Regita ferocina

Tanpa sadar, aku berurai air mata usai membacanya. Aku baru menyadari sepenuhnya bahwa gadis
itu masih belum bisa lepas dari Vito, adik lelakiku yang kini telah hidup damai di akhirat sana. Tiba-
tiba aku menyesal pernah mengungkapkan perasaanku padanya karena sekarang aku yakin cinta
mereka berdua abadi meskipun salah satu diantaranya sudah pergi dan tinggal sebuah nama.

Aku melirik cokelat yang tergeletak tepat di bawah nisan adikku. Kemudian kuusap air mataku,
tersenyum, dan bertekad memendam seluruh perasaanku pada gadis itu.

Gita, aku akan berjalan mundur…


Tinggal Kenangan
Penulis: Septy Aisyah/2014

Pagi itu sangatlah cerah, mentari pagi muncul memancarkan sinar cerah dengan semangat 67 eh
semangat 45 maksudnya. Sama denganku, hari ini adalah hari ulang tahun orang yang sangat aku
kagumi bahkan kucintai. Semua sudah aku persiapkan termasuk kue ultah serta kadonya.

Aku masuk ke kelas dengan hati gembira dan bibir tersenyum-senyum sendiri. Kakiku melangkah
tepat di depan pintu masuk kelas dan disambut ceria oleh sahabat sahabatku Syarif dan Renata.

Yaps! hampir lupa, aku Sherly kepanjangan dari Sherlyna rantika putri. Cewek manis berkumis tipis
yang kini sedang dilanda asmara cinta.

“Ciee yang senyum senyum sendiri, kenapa? sakit?” ucap Renata sambil menekan tangannya ke
jidatku.

“Apaan sih Ren, emang aku gila” ucapku (memanyunkan bibir 5 meter).

“Ya mungkin, ya gak Rif?” ucap Renata melirik Syarif.

“Betul, kenapa kamu Sher?” ucap Syarif.

“Hari ini tuh hari special banget buat aku, aku mau bikin suprise buat pangeran cecakku” ucapku
panjang lebar sambil bayangin apa yang akan terjadi nantinya.

Pangeran cecak? Ya, pangeran cecak adalah cowok yang aku kagumi selama ini. Aku julukin
pengeran cecak karena dia super duper takut sama cecak, namanya Tara.

Bel waktu istirahat pun tiba, siswa siswi berbondong-bondong ingin memanjakan lidah dan juga
perutnya yang dari tadi demo minta makan.

“Hay guys, doain aku ya. Semoga rencana ini sukses berjalan mulus semulus jalan tol, amin” ucapku.

“Oke, tuh ada Tara kebetulan banget deketin gih” ucap Syarif.

“Sukses ya say” ucap mereka berdua serentak serta kepala dimiringkan ala-ala Rita sugiarto penyanyi
dangdut.

Aku berjalan dengan pedenya sampai gak lihat ada batu di depanku, untungnya gak jatuh, kalau
jatuh malu dong sama pangeran cecakku

Setelah melewati lorong-lorong kelas, aku melihat Tara lagi berduaan sama Lyla cewek yang paling
aku benci karena gayanya yang kecentilan, sok cantik, sombong pokoknya aku ilfeel banget deh
sama dia. Tanpa sadar kue dan kadonya jatuh ke lantai, aku berlari secepat mungkin sambil
menangis.

Aku melihat ekspresi Renata dan Syarif kebingungan dengan tingkahku yang mula ceria berubah
drastis menjadi duka membara.

“Sherly, kamu kenapa?” ucap Renata sambil memelukku.


“Tara sama Lyla berduaan mereka mesra banget” ucapku terbata bata.

“Udahlah cari yang lain, masih banyak kok” ucap Syarif.

Sepulang Sekolah kurebahkan tubuhku di kasur empuk milikku. Kutatap langit biru kamarku. Pikiran
itu selalu terngiang ngiang di memory otakku. Kubangkitkan tubuh ini menuju meja belajar.

Pena menari nari amat lambat di atas kertas polos putih. Kutulis kata puitis yang berisi sesuai isi
hatiku.

Tinggal kenangan.

Kuukir namamu dalam hatiku

Agar hati ini tak dalam kekosongan.

Meskipun kau telah menodai hati ini,

Akan kuhapus dengan sejuta air mata.

Aku rela mentari membakar kulitku

Aku rela kebahagiaanku kuberikan padamu

Asal kau bahagia.

Namun itu dulu

Sekarang sudah terbalut

Oleh balutan kenangan.

For Tara (pangeran cecakku)

Pagi ini mendung, mentari enggan tuk memancarkan sinarnya, sama dengan hatiku.

Mungkin mentari mengerti apa yang sedang aku rasakan.

Aku berjalan sempoyongan dengan mata sembab gara-gara menangis semalaman menuju kelasku
disambut oleh sahabat-sahabatku.

“Sherly kamu jangan begitu dong, kita kan juga turut sedih jadinya. Strong bro move on bangkit dari
keterpurukan ini” ucap Renata menenangkanku.

“Dan kamu jangan kaget ya, kalau Tara sama Lyla sudah jadiab kemarin. Aku tahu berita ini dari Gita
teman sekelas kita” ucap Syarif.

“Iya makasih ya sahabat sahabatku. Kalian itu orang yang selalu suport aku, aku sayang kalian. Aku
akan move on dari Tara dan selalu bersama kalian” ucapku menangis terharu.

Kita bertiga saling berpelukan. Sahabat bukanlah selayaknya pacaran yang dapat putus atau
nyambung. Namun, Sahabat adalah persatuan yang abadi
Desa Coklat
Penulis: rina oktaviani/2010

Pada salah satu Desa coklat yang segar dan sejuk. Tinggalah seorang anak yang bernama Nazwan
yang sangat menyukai coklat. Dia suka membuat coklat.

Pada suatu hari, Nazwan menginginkan coklat itu hidup dan bisa berbicara agar Nazwan bisa
bermain dengan coklat itu. Nazwan pun berkata “ahhh namun tidak mungkin coklat bisa hidup dan
berbicara”.

“tapi aku ingin bermain bersama coklat”

Pada suatu saat dimalam hari, ketika Nazwan mau tidur datanglah seorang nenek penyihir. Nenek
penyihir itu tau kalau Nazwan suka membuat coklat tapi mengapa sekarang Nazwan jarang
membuat coklat.

Nenek itu pun bertanya kepada Nazwan. “mengapa kamu sudah jarang membuat coklat bukannya
kamu suka dan senang membuat coklat”.

Nazwan terkejut mengapa nenek itu bisa ada di kamarnya dan mengetahui semua tentangnya.
Nazwan pun menjawab. “Aku ingin bermain bersama coklat dan ingin coklat itu hidup”. Nenek itu
pun berkata “Aku bisa mewujudkan apa yang kmu inginkan.”

Keesokan harinya, pagi hari Nazwan bangun dan ketika ia melihat keluar ia sangat terkejut di
halaman rumahnya terlihat coklat-coklat yang sedang bermain.

Nazwan pun keluar rumah dan salah satu coklat pun mengajak ia bermain. Nazwan pun sangat
senang, ia bisa bermain bersama coklat itu dan Nazwan tidak menyangka bahwa desanya dipenuhi
oleh coklat.

Hari demi hari ia lewati dengan bermain bersama coklat itu. Suatu hari, di siang hari cuaca yang
panas dan matahari yang terik membuat coklat-coklat itu mulai meleleh.

Nazwan berusaha untuk mendinginkan coklat-coklat itu namun coklat yang banyak dan cuacanya
yang panas membuat semua coklatnya meleleh. Nazwan bingung apa yang harus dia lakukan agar
coklat-coklatnya tidak meleleh.

Ketika ia duduk dan ia mengingat seorang nenek penyihir yang waktu itu mendatanginya ke kamar.
Nazwan terus mencari nenek penyihir itu, dia mencari kesana kemari dan dia masih belum
menemukan nenek penyihir itu. Nazwan lelah, ia sedih karena tidak bisa menemukan nenek penyihir
itu.

Tak lama kemudian, nenek penyihir itu datang dan menghampiri Nazwan, Nazwan sangat senang
nenek penyihir itu menemuinya. Nazwan menceritakan semua yang terjadi dan dia menginginkan
coklat-coklat itu kembali.
Nenek penyihir itu bisa mengembalikan coklat-coklat itu dengan satu syarat, coklat itu tidak bisa
hidup dan bermain lagi dengan Nazwan. Nazwan bingung jika ia ingin coklat itu kembali dan tidak
meleleh, ia tidak bisa bermain lagi dengan coklat itu.

Nazwan pun mengambil keputusan bahwa coklat itu kembali seperti sebelumnya dan dia tidak bisa
bermain lagi dengan coklat. Karena ia berpikir bahwa dia sudah cukup senang apa yang dia inginkan
sudah terwujud.

Semuanya sudah kembali seperti semula dan Nazwan pun sudah kembali ceria dan masih senang
membuat coklat kesukaannya.
Guru yang Pilih Kasih dalam Mendidik
Penulis: Mas Blue/2011

Siswa peringkat satu akan selalu disanjung.

Dari luar kelas terlihat sosok siswa sedang membaca buku, sendiri, sepi, tanpa ada murit yang lain.
Memicu guru kagum dengan sikap rajinya.

Siswa yang lain iri padanya, berharap bukan hanya dia saja yang diperhatikan oleh para guru.

Seorang guru mendatanginya dan mengucapkan kata-kata pujian kepada murit tersebut. Sedangkan
yang lain sama sekali tidak diperhatikannya.

Murit tersebut juga mendapatkan hadiah yang spesial dari guru. Menjadiakan murit lain yang
melihatnya semakin iri. Sepele mungkin, tapi sangat menyayat hati para murit. Guru tersebut seperti
tak pernah menganggap murit yang lain ada.

Pernah ditanya tentang suatu soal yang sulit, tapi jawaban darinya hanyalah menyuruh seperti murit
yang rajin itu, dikiranya murit lain tidak pernah belajar.

Tapi datang kepala sekolah dan mengumpulkan kami, menasehati agar selalu belajar yang rajin dan
jangan sampai memiliki sifat sombong jika sudah menjadi tinggi.

Dari perkataan kepala sekolah tersebut juga menyatakan kalau guru tidak boleh membeda-bedakan
murit yang satu dengan murit yang lain, siswa yang pintar maupun siswa yang kurang bisa
menangkap pelajaran.

Dari situ banyak murit tumbuh semangat lagi untuk belajar dan tidak peduli lagi dengan omongan
guru yang satu itu. Meskipun dia masih tetap saja menganggap kami murit yang dibawah peringkat
satu seperti tak pernah ada.
Sepasang Sepatu Baru Raisa
Penulis: Heldha Safitri

Hari ini Raisa sedikit murung karena harus pindah ke Wonosobo. Padahal, Raisa sudah mulai bisa
merasa nyaman dan memiliki banyak teman di sekolah lamanya, SDN 9 Bogor.

Dia baru satu tahun ini pindah ke Bogor. Dan baru setengah semester menjadi murid kelas 5 di
sekolahnya. Tapi sayang sekali, dia harus pindah lagi karena pekerjaan papanya. Sebelumnya, Raisa
dan keluarganya tinggal di Kalimantan Tengah.

“Mama.. tidak bisakah aku, papa, mama dan kakak tidak pindah kota lagi. Raisa takut tidak punya
teman di sana, di desa juga tidak ada tempat yang bagus untuk bermain. Di sini kita bisa jalan-jalan
ke Ancol, Monas, Museum dan masih banyak lagi tempat yang bisa dikunjung.” Keluh Raisa pada
mamanya.

“Raisa.. kita harus pindah karena pekerjaan papa mengharuskan papa berada di sana.” Mama
menjelaskan dengan sabar pada Raisa.

“Tapi kenapa harus pindah-pindah terus ma, Raisa sudah senang ada di sini.” Raut wajah Raisa
nampak makin murung.

“Nanti kalau Raisa sudah dewasa, pasti Raisa mengerti. Raisa sekarang tidak boleh sedih lagi, ya.
Nanti di sana Raisa pasti bisa mendapatkan lebih banyak teman lagi.” Bujuk mama dengan sabar
sambil kedua tangannya mengelus-elus rambut Raisa.

“Iya ma..” jawab Raisa kemudian menenggelamkan tubuhnya dalam pelukan mamanya.

“Bagus, Raisa kan pintar. Nanti mama akan beri Raisa hadiah deh.” Janji mama.

“Benar ma, tapi untuk apa ma?” tanya Raisa sedikit bingung.

“Karena nilai ulangan Raisa kemaren mendapatkan 100 (seratus), juga karena Raisa mau mengerti
kondisi pekerjaan papa yang harus terus-menerus pindah-pindah kota setiap saat. Papa kan kerja
juga untuk Raisa, Kak Andi, juga untuk kehidupan kita semua sekeluarga.” Mama memberikan
penjelasan pada Raisa.

Wonosobo tidak begitu menarik untuk Raisa, namun dia tetap berusaha tersenyum. Meski
senyumannya tidak tulus dalam hati, namun dia berusaha untuk membuat mamanya tidak cemas
akan dirinya.

“Terima kasih sudah datang menjengukku, apa kamu membenciku seperti teman yang lain? Karena
aku sering jahat padamu dan juga teman-teman kelas.” Tanya Raisa pada Upik.

“Tidak, tidak sama sekali. Kalau aku membencimu kenapa aku harus datang menjengukmu. Apa
kamu berfikir aku ke sini untuk menertawaimu yang sedang berbaring tak berdaya di tempat
tidurmu?” Jawab Upik tanpa ragu disertai senyuman tulus yang selalu dimilikinya.

“Aku tahu kamu adalah orang baik jadi aku tidak berfikir kamu datang untuk menertawaiku. Aku
senang karena bisa mempunyai teman sepertimu…”
“Oh iya, aku membawakanmu buah apel. Apa kamu mau aku mengupaskannya untukmu. Setidaknya
kamu harus mencobanya. Aku memetiknya di kebunku.” Sambung Upik memutuskan kalimat Raisa,
dia tidak ingin Raisa selalu merasa sedih dan merasa bersalah.

“Benarkah kalau begitu aku akan memakannya, menghabiskan semua yang kamu bawa.” Raisa
merasa bahagia dengan kehadiran Upik.

Mereka berdua terlihat sangat dekat, seperti sudah lama saling mengenal. Makan apel bersama,
berbagi cerita satu sama lain, bercanda dan tertawa bersama. Mama Raisa yang melihat keceriaan di
raut wajah mereka berdua juga ikut merasa bahagia, mama Raisa senang karena kedatangan Upik
bisa membuat Raisa tersenyum. Tidak murung seperti tempo hari.

“Apa kamu merasa senang hari ini?” Tanya mama pada Raisa.

“Aku sangat senang sekali ma (tersenyum lebar). Karena ternyata masih ada yang mau berteman
denganku ma, apakah aku bukan anak yang baik ma? Hingga banyak teman membenciku di kelas.”

“Menurut Raisa sendiri, bagaimana?”

“Tidak baik.” Jawab Raisa sambil menggelengkan kepalanya lemah.

“Apakah Raisa telah melakukan hal baik selama ini? Atau malah hal buruk?”

“Lebih banyak hal buruk ma.” Raisa menundukkan kepalanya tanda menyesal atas sikapnya selama
ini.

Dia terbanyang kembali akan peristiwa-peristiwa jauh hari sebelum dia sakit tipus dan harus dirawat
di rumah sakit.

Pagi itu hari pertama Raisa bersekolah di sekolah barunya di Kota Wonosobo. Dia sangat bergembira
sekali. Bukan karena sekolah barunya, melainkan sepatu baru yang ia kenakan.

Sepatu yang sangat indah pikir Raisa dan tidak akan ada teman yang mempunyai sepatu sama
seperti miliknya itu. Mamanya bilang sepatu itu dibeli di Singapura tempatnya jauh diluar Indonesia.

“Mama kok bisa beli sepatu ke luar negeri. Memangnya kapan mama ke sana?” tanya Raisa
penasaran.

“Minggu lalu kan tante Amira pergi ke sana, jadi mama menyuruh tante Amira membelikan sepatu
untukmu di sana. Mama ingin melihat Raisa tersenyum bahagia, tidak murung lagi seperti kemarin.”

“Hehehe… Terima kasih banyak ya ma, Raisa sayang sekali sama mama.” Ucap Raisa dengan wajah
penuh kegembiraan kemudian dia mencium pipi mamanya sebagai Rasa terima kasihnya.

Raisa sangat terkejut ketika sampai di sekolah barunya. Tidak sebagus sekolah lamanya memang.
Namanya juga sekolah di desa mana mungkin bisa dia bandingkan dengan sekolah lamanya di Bogor.

“Mama ini benar sekolahnya. Kok nggak bagus kayak sekolah Raisa di Bogor. Nggak ada sekolah yang
lain apa ma?”
“Raisa kan sudah janji sama mama mau menerima kepindahan kita, jadi Raisa juga harus mau
menerima sekolah baru Raisa.”

“Iya deh, ya udah Raisa masuk dulu ya ma.” Pamit Raisa pada mama kemudian mencium telapak
tangan mama dan berlalu masuk ke dalam sekolah.

Ketika berada di sekolah Raisa nampak memandang aneh teman-temannya. Di berjalan perlahan
sambil mengamati sekitar kemudian terdengar suara… ‘Brekk’. Raisa Kaget.

“Haduh kamu gimana sih, sepatu aku kan jadi kotor. Sepatu ini itu baru aku pake sekarang. Pokoknya
kamu harus tanggung jawab. Bersihin!” Kata Raisa dengan nada suara tinggi saat mengetahui sepatu
barunya tertimbun oleh mie sayur.

“Aku minta maaf ya, aku nggak sengaja. Tadi aku juga lagi buru-buru.”

“Aku nggak butuh kata minta maaf, aku butuh sepatuku bersih lagi, sekarang! Bersih seperti awal
tadi.”

“Iya, iya nanti aku bersihkan, aku janji. Tapi sekarang aku harus bantu ibuku dulu di kantin.”

“Nggak bisa, bersihkan sekarang. Pokoknya sekarang.” Rengek Raisa dengan pandangan kesal.

“Iya udah kamu sekarang ikut aku aja ke kantin, nanti aku bersihin di sana. Di warung ibuku.” Usul
Upik gadis yang telah membuat sepatu Raisa kotor.

“Iya udah deh. Ayo. Cepetan tunjukin jalan. Kamu jalan duluan aja di depan.” Perintah Raisa.

Teman-teman lain yang menyaksikan tragedi tersebut merasa kasihan pada Upik. Mereka berpikir
Raisa sangat keterlaluan.

Mereka menjadi tidak suka dengan Raisa karena kejadian itu. Raisa juga dianggap kasar oleh teman-
teman barunya.

“Ibu kantin itu tadi beneran ibu kamu?” Tanya Raisa tanpa basa-basi.

“Iya, kenapa? Malu ya temenan sama aku. Oh iya namaku Upik, nama kamu siapa? Kamu anak baru
ya?”

“Nggak apa-apa. Kenapa harus malu, kita kan nggak berteman. Lagian temanku di Bogor lebih baik
dari pada anak-anak di sini. Aku Raisa.”

“Kita kan satu kelas, ya pasti kita teman kan.”

“Iya, tapi aku nggak mau berteman sama kalian semua. Anak kampung pasti kampungan.”

Dua orang teman yang tidak sengaja mendengar percakapan mereka langsung ikut menimbrung.
Ririn dan Lia merasa tersinggung dengan ucapan Raisa sehingga mereka memutuskan untuk ikut

dalam percakapan Raisa dan Upik untuk membela Upik yang terlihat terpojokkan oleh setiap ucapan
Raisa.
“Kita memang hanya anak kampungan dan nggak pantes buat temenan sama orang kota seperti
kamu."

"Jadi lebih baik kamu juga nggak usah ngomong sama kita.” Sahut Ririn tiba-tiba. Mengagetkan
Raisa.

“Kita juga nggak akan rugi kalo nggak berteman sama kamu.” Sambung Lia.

“Kita pergi saja Pik, nggak usah deket-deket lagi sama anak kota yang sombong ini.” Kata Ririn
kemudian menarik Upik dan membawanya pergi.

“Raisa? Raisa…” Panggilan mamanya menyeret kembali Raisa dari lamunannya dan bayangan masa
lalunya.

“Ternyata aku jahat sekali ya. Aku akan minta maaf pada teman-teman semuanya. Tuhan, aku janji
nggak akan sombong lagi dan akan menjadi anak yang baik.” Ucap Raisa dalam hati kecilnya.

“Raisa..” Panggil mama lagi.

“Ya, Ma. Ada apa?”

“Oh iya.. Raisa.. Pernahkah Raisa berfikir bahwa apa yang Raisa miliki saat ini adalah titipan dari
Tuhan. Raisa punya papa dan mama, kedua orangtua yang masih lengkap. Papa dan mama juga
sangat menyayangi Raisa.

Tidakkah Raisa merasa bahwa papa dan mama selalu mengabulkan juga memberikan apa yang Raisa
inginkan. Dengan begitu, seharusnya Raisa bersyukur pada Tuhan dan tidak boleh menyombongkan
diri.

Rasa syukur itu bisa Raisa lakukan dengan selalu berbuat baik dan menolong orang lain yang
kesusahan. Terlebih lagi, Raisa tidak boleh menertawakan kehidupan orang lain yang tidak lebih baik
dari kehidupan Raisa. Bukankah dulu Raisa tidak suka pada Upik, Raisa bilang Upik hanya anak dari
salah satu ibu kantin. Raisa ingat dulu pernah jahat pada Upik, akan tetapi Upik tetap bersikap baik
pada Raisa.

Raisa beruntung punya teman sebaik Upik. Sebenarnya anak mama ini juga anak yang baik, namun
belum dapat mengenali itu semua.” Mama menggenggam dan mengelus-elus tangan Raisa saat
memberikan nasihat padanya. Kemudian mengusap-usap rambut Raisa dengan penuh kasih sayang.

Raisa tersenyum kemudian menganggukkan kepala dengan tulus pada mamanya. Sebagai jawaban
bahwa dia mengerti akan apa yang mamanya katakan.

“Apa sekarang Raisa sudah mengerti kesalahan Raisa?”

“Iya ma sudah.”

“Minggu depan Raisa kan sudah mulai sekolah, jadi Raisa harus mulai memperbaiki sikap Raisa nggak
boleh lagi seperti kemarin, ya.”

“Iya mama, baik.”


Mama memeluk Raisa sebagai tanda kasih sayang dan juga rasa bangga padanya. Karena sudah
menjadi lebih bersikap bijak dari sebelumnya. Raisa tersenyum dalam pelukan mamanya.

Anda mungkin juga menyukai