Aku menginti dari balik pohon beringin, agak jauh dari gadis itu. Ia masih duduk bersimpuh
disana. Wajahnya terlihat serius. Tangan indahnya terlihat sedang menggoreskn tinta keselembar
kertas yang ia bawa dari rumah. Kulihat sebutir air mata jatuh dari pelupuk matanya dan diikuti
tetes-tetes air mata berikutnya. Ya, dia pasti menulis surat lagi!
Beberapa menit berlalu,dia pun menyelesaikan suratnya dan memasukannya kedalam sebuah
amplop merah muda. Aku tetap pada posisiku. Gadis cantik itu pun berdiri, meletakkan amplop
itu ditempat biasa, tersenyum, kemudian beranjak pergi. Ketika dia sudah tak terlihat lagi,
dengan langkah hati-hati aku mendekati tempat dimana dia meletakkan suratnya tadi. Kuambil
surat itu, kubuka perlahan, dan mulai membacanya.
Terdalam,
Regita Feronika
Tanpa sadar, aku berurai air mata usai membacanya. Aku baru menyadari sepenuhnya bahwa
gadis itu masih belum bisa lepas dari vito, adik lelakiku yang kini telah hidup damai di akhirat
sana. Tiba-tiba aku menyesal pernah mengungkapkan perasaanku kepadanya karena sekarang
aku yakin cinta mereka berdua abadi meskipun salah satu diantaranya sudah pergi dan tinggal
sebuah nama.
Aku melirik coklat yang tergeletak tepat dibawah Nisan adikku. Kemudiaan ku usap air mataku,
tersenyum, dan bertekad memendam seluruh perasaanku pada gadis itu