Anda di halaman 1dari 5

MONICA

Titin Widyawati

Retinamu yang bersinar dan senyummu yang indah laksana lengkungan pelangi,
membuat jantungku berdebar dan bergemuruh tak menentu, kau tahu perasaanku bagaimana?
Bagaikan punback yang sedang dihantam petinju. Jantung ini tak bisa berdiam di naungannya
begitu saja. Apalagi jikalau kau menoleh menatap wajahku. Oh itu hanya mimpi. Aku
menyukaimu. Tapi jiwa ini tak berani menuntun kata untuk mengungkapkan perasaan itu. Sesal.
Itulah yang aku alami sampai saat ini. Empat tahun berjalan maju, tapi hanya wajahmu yang
menggerayangi akal sehatku. Apakah aku mencintaimu? Tidaklah aku tahu perasaan ini yang
mengambang dalam ujung asa. Tapi sungguh tak bisa kubohongi hasratku yang ingin bertemu
denganmu. Masih ingatkah kau kepadaku?

°°°°°°

Gadis kemarin sore. Yang duduk di beranda rumahnya tatkala aku pulang bersepeda
sore untuk olahraga menjadi pusat perhatian wajahku. Sosok wanita yang begitu asing di
mataku. Kulitnya putih bersih, bola mata yang sipit berhiaskan lengkungan kelopak matanya
yang memanjang indah ketika berkedip. Bibir mungil menakjubkan. Poni yang menutupi
keningnya. Gadis yang memakai gaun seatas lutut berwarna putih dengan pita cantik di atas
dada sebelah kanannya. Siapakah dia? Dari manakah asalnya? Aku pun belum tahu. Setahuku
dia adalah gadis pindahan yang entah tujuannya apa pindah ke kotaku.

Setiap pulang sekolah dan melintasi depan jalan rumahnya. Aku selalu menyempatkan
diri untuk berhenti di depan rumahnya. Berharap gadis itu keluar dan memberikan senyuman
manisnya untukku meski hanya satu kali. Ah gagal. Pintu bercat cokelat bekas rumah
tetanggaku dulu itu sepi. Entah kemana gadis itu pergi untuk beraktivitas aku pun tak tahu.
Sejelasnya aku dengar dia tinggal bersama kakaknya sekontrakan. Jadi rumah itu dia kontrak?
Bukan dibeli? Apakah dia akan berpindah pergi lagi jikalau selesai urusannya di kotaku? Hati
siapa yang akan menderita jika dia hilang ditelan jarak yang tak kubisa tempuh arahnya?
Pastinya aku. Ingin aku memanggil nama gadis itu. Tapi siapakah dia? Aku pun belum
mengenalnya. Suatu hari dia keluar rumah dan berhenti di depan gerbang pintu. Aku bukannya
mendekatinya malah pergi berlalu mengobel sepeda polygonku kencang. Lari menjauh dari
pandangannya. Berharap dia mau memanggilku dan mengajakku berkenalan. Sayang, itu hanya
sebuah mimpi.
Aku tak mengerti kenapa aku menjadi pemuda terbodoh di dunia ini. Tak seperti
biasanya aku mengagumi seorang gadis. Tapi dia__ dia yang tak kukenal. Yang jarang berbicara
kepadaku, bukan hanya jarang tapi lebih tepatnya sama sekali tidak mungkin akan pernah
berbicara lama. Mampu menggoyahkan perasaan aneh di hatiku. Sebenarnya sering ada
kesempatan untukku berbicara dan menyapa dirinya. Tatkala dia berjalan keluar rumah, atau
aku berpapasan ketika di jalan, pulang sekolah, pergi ke masjid, atau mau pergi ke gamenet di
dekat kontrakannya itu. Sayang jiwa ini beku dan aku terpaku ketika ada di depannya. Satu kata
seolah sulit untuk dikeluarkan. Bisanya tersenyum simpul yang entah dorongan dari mana
senyum itu datang. Dia menatapku heran lalu tersenyum. Hanya tersenyum tanpa berkata-kata.

Itulah momentum terindah dalam hidupku. Melihat senyumnya sepekan kemarin. Aku
pulang dan melonjat-lonjat kegirangan. Dia sungguh manis jika tersenyum. Perasaan bahagia
yang entah apa sebabnya ini mengalir begitu saja pada jiwaku. Dia membuatku susah tidur.
Sekolah pun hanya dirinya yang selalu kuingat. Ketika aku duduk sendirian di perpustakaan
sekolah. Aku selalu membayangkan jikalau dia, gadis yang entah kutahu namanya itu duduk di
sebelahku. Mengajakku bergurau menceritakan permainan sepak bola luar negeri yang amatlah
aku suka. Oh ya! Aku ingat Ibuku di rumah selalu memasakkan singkong rebus. Apakah dia mau
makan singkong rebus? Tampaknya tidak. Kulitnya putih sekali. Bibirnya mungil indah. Parasnya
berseri-seri. Rambutnya kemerah-merahan murni. Dia bukan orang Jawa seperti diriku. Bahkan
mungkin tepatnya dia bukan orang Indonesia. Hah? Bukan? Lantas? Apakah dia bisa berbicara
bahasa Indonesia? Bisakah? Bagaimana jika aku ingin mengajaknya ngobrol?

Aku sangat tersiksa dengan perasaan ini. Gadis itu seolah akan menjadi impianku di
masa depan. Aku berharap suatu hari nanti aku bisa berjabat tangan dengannya untuk
menanyakan siapa namanya dan mengajaknya berteman denganku. Aku ragu, apakah dia mau
menjadi temanku? Jika dia mau, dunia ini akan menjadi milikku seutuhnya. Aku akan sangat
bahagia. Tuhan ijinkanlah aku menjadi temannya, bisa bergurau bersama, menikmati senja
bersama di tepian lapangan desa, membicarakan hal-hal indah dengannya. Kabulkan!
Kumohon! Sampai-sampai aku gila. Usai salat aku berdoa agar aku diberi keberanian untuk
mengajaknya berbicara.

"Siapa namamu?" tanyanya lembut tatkala memergoki tubuhku yang bersembunyi di


balik pagar tanaman halaman rumahnya. Aku berpipi merah. Jantungku bergemuruh tak
menentu. Aku tersenyum sedikit terpaksa. Ingin berkata namun aku malah bisu. Aku takut salah
tingkah sendiri. Sepeda tua milikku kuobel dan aku lari menembus keremangan senja untuk
pulang. Aku tahu dia pasti bingung dengan sikapku. Tapi mau bagaimana lagi, aku belum
mempunyai keberanian untuk mendekati dirinya. Mungkin lain waktu. Pikirku malam itu.

Sampai pukul empat pagi aku tidak bisa tidur. Azan subuh berkumandang. Aku bangun
dan mendirikan salat subuh. Tubuhku lemah. Kembali aku rebahkan di atas kasur yang tak
terlalu tinggi itu. Aku merenungi kebodohanku sore kemarin. Betapa bodohnya hati ini yang tak
mampu mengajaknya berbicara. Apakah aku tuli? Kemarin dia bertanya siapa namaku.
Seharusnya aku menjawabnya. Dia bisa berbicara bahasa Indonesia. Tentunya mungkin dia
orang Indonesia. Aku tersiksa dengan perasaanku. Aku mengaguminya. Baru kali itu aku
memendam rasa simpati besar kepada sosok gadis yang baru aku temui. Profilnya saja aku tak
tahu, orangtuanya dia di mana aku tak paham. Baru satu yang kutahu, dia tinggal satu
kontrakan bersama kakaknya. Itu saja tak lebih. Tapi gilanya aku sampai kepalang basah tak bisa
tidur dan sering demam memikirkan wajahnya. Senyumnya waktu lalu itu sungguh-sungguh
indah. Pernahkah kau jatuh cinta? Apakah perasaan kagum dan bahagia dan salah tingkah jika
bertemu dengannya itu? Tampaknya tidak. Ini bukan cinta. Aku lihat kawan-kawanku di
sekolahan mereka berani mendekati sosok gadis idaman bahkan pacarnya. Tapi aku?
Mengajaknya berbicara saja tidak bisa. Berarti itu bukan cinta, tepatnya kagum saja. Lagi pula
apa itu cinta aku pun tidak tahu.

Suatu hal membuatku harus berpisah darinya. Kehidupan di masa depan untuk meraih
impian, atau yang kau sebut dengan cita-cita, menuntutku untuk pindah kota. Jadi aku yang
mengawali perpisahan jarak dengan gadis kontrakan itu, bukan malah dia yang pergi jauh. Kau
tahu? Malahan aku! Aku orang yang mengaguminya malah menjauhinya. Rasanya berat hati.
Bahkan tak peduli lagi airmata ini merembas pedih ketika terakhir kulewati jalan di depan
rumahnya. Aku ingin dia keluar dan melambaikan tangannya untukku. Sukses. Ternyata Tuhan
mengabulkan doaku. Kawan! Lihatlah! Gadis bermata sipit itu memandangku dari depan pintu
dengan tersenyum manis. Entah apa maknanya aku pun tak mengerti. Apakah dia suka dengan
kepergianku yang mengangkat dua koper besar dan satu tas ransel di punggungku itu, atau
malah ingin memberikan kenangan indah agar aku tak mampu melupakan kemanisan wajahnya
saat tersenyum. Benar dia tak melambaikan tangannya. Namun dirinya yang keluar itu
membuat hatiku seolah melayang dan sangat bahagia. Aku janji akan kembali untuk
menanyakan siapa namanya. Kala itu, kala aku akan berpaling dan meninggalkan senyum
manisnya yang sudah terekam erat dalam memori kepalaku. Suara lelaki berteriak memanggil
namanya. "MONICA! MASUKLAH!"

"Monica?" desisku. Oh Monica. Aku menoleh lagi, sayang dia sudah masuk kembali ke
dalam rumahnya, atau tepatnya kontrakannya. Tak apa yang penting aku sudah tahu nama
gadis itu. Yah gadis itu bernama Monica. Ayah, Ibu aku berhasil mengetahui nama gadis itu.
Aku sangatlah senang. Kepergianku ke kota lain dibekali senyuman manis dan sebuah nama
yang sangat indah. Nama lengkapnya siapa? Hmmm...aku tidak tahu. Bagaimana pun juga aku
bangga karena telah mengetahui nama panggilannya. MONICA.

°°°°°°
Puluhan gadis baru telah aku kenal. Dari yang berwajah pas-pasan, cantik jelita, kaya,
biasa-biasa saja, yang gemuk, langsing, tinggi, kurus, pokoknya segala jenis perempuan pernah
kusandingi. Tak sedikit mereka yang mengagumi diriku, tapi aku tak cuek. Pacar saja kalau
bosan aku tinggal pergi. Satu pun tak ada yang menempati ruang hatiku. Sama sekali tidak ada.
Hari-hariku sepi. Setiap melihat wajah gadis berkulit putih bukan gadis pribumi aku selalu
mengingatnya. Jika malam datang dan bintang bertebaran di langit nan biru, hanya dialah
wajah yang memantul di atas sana. Wajah tatkala tersenyum manis di depan pintu, atau wajah
yang kebingungan tatkala aku lari ditanya siapa namaku.

Kaulah Monica. Gadis yang selalu membuatku tak bisa hidup tenang. Dulu aku berpikir
mungkin aku hanya kagum kepadamu biasa-biasa saja, tak lebih dari nama cinta. Tapi ternyata
setelah aku pergi, mungkin takdir mengatupkan perasaan ini di hatimu Monica. Satu hal yang
aku inginkan saat ini. Bertemu denganmu lagi meskipun hanya satu kali. Aku akan
memberitahukan namaku dan memberikan satu senyuman yang paling indah untukmu. Empat
tahun aku dan dirimu tak bertemu, rasanya seperti dipasung oleh waktu. Kita terpisah jauh
sekali. Kau di kutup Selatan dan aku di kutup Utara. Kau di Barat, aku di Timur. Bukan hanya
jarak yang memisahkan kita, tapi latar belakang budaya dan agama sangatlah jauh dan tak bisa
dikatakan untuk menyatu. Kau berasal dari etnis Tionghoa sementara aku asli orang Jawa. Aku
beragama Islam, tapi kau? Pastinya bukanlah orang Islam. Hatiku sedih Monica. Aku
merindukan senyum manismu. Jujur aku tak mampu berpisah jauh denganmu. Aku
mencintaimu.

Apakah itu kata yang tepat? Aku tahu takdir tak akan pernah merestui. Biarlah rasa ini
aku pendam sendiri di dalam hati yang paling dalam. Tapi Monica, satu pinta yang kuharapkan
dari keindahan takdir. Aku ingin bertemu denganmu meski hanya satu kali. Aku ingin
mengajakmu berbicara, Monica. Di manakah kau sekarang? Aku saja sudah pergi dari kota
kenangan itu karena kuliah dan Ayah serta Ibu bekerja di kota ini. Aku yakin sekali kau pun
begitu, kau sudah pindah entah di belahan Bumi mana sekarang kau berpijak. Sejelasnya aku
masih menunggu kemanisan takdir yang akan mempertemukan diri kita.

Andaikan waktu lalu aku tidak membuang kesempatan untuk mengajaknya berkenalan
dan berbicara bersama. Mungkin sekarang aku masih mampu menghubunginya. Aku menyesal.
Sering aku menyalahkan diriku sendiri yang terlalu bodoh dan tidak berani menyapanya. Aku
tersiksa akan rasa yang entah apa namanya ini. Aku merindukan orang yang belum jelas
keberadaannya saat ini. Pernah aku bertanya kepada teman lama, apakah Monica gadis yang
tinggal satu kontrakan dengan kakaknya itu masih di kota kita? Temanku menjawab. Entahlah,
tak ada kabar tentang gadis itu, tampaknya kontrakan sudah sepi dan tak dihuni siapa pun.
Hancurlah seluruh jiwa raga ini. Dia yang kukagumi meninggalkan tempat dulu kuberpijak
menemukan senyum manisnya. Tega sekali dia.
Monica. Aku ingin memanggil namamu, datanglah sekarang. Jemputlah rasa rindu ini
dengan kehadiranmu bersama senyum manis seperti waktu dulu. Datanglah walau hanya sekali.
Apakah kau tahu aku sangat dan sangat mengagumimu? Bahkan sampai aku tulis semua
kenangan indah bersamamu di dalam sebuah buku untuk kujadikan impianku menemukan
senyummu kembali. Aku menulis karenamu Monica. Aku ingin kelak bukuku beredar ke seluruh
toko buku dan kau menemukan satu buku karyaku, karya orang yang mengagumimu ini
Monica. Aku ingin kau membaca dan tahu betapa rindunya hati ini melihat senyuman manismu,
Monica. Entah sampai kapan aku dibelenggu oleh perasaan yang dianggap orang lain normal
ini. Tapi aku tak bisa menyebutnya normal, kau tahu kenapa? Aku menderita! Aku tersiksa
selama empat tahun. Menunggu tahu berita di mana keberadaanmu. Sampai seluruh jejaring
sosial internet aku jelajahi untuk mencari dirimu. Tapi bodohnya aku yang tak tahu profil jelas
dirimu. Hanya wajahmu yang kuingat. Ketika kuklick kata Monica di jejaring sosial facebook,
banyak nama yang bermunculan. Tapi tak satu pun wajah yang aku kenali. Mereka bukan
dirimu Monica. Aku mencarimu juga di tweeter. Tapi tak ada. Google kuklick namamu aku
browsing. Tak ada. Kamu di mana Monica. Aku menyesal karena dulu aku membuang
kesempatan indah itu.

Wajah dan senyummu masih teringat jelas. Tapi keberadaanmu aku tak tahu di mana.
Aku harap tulisan ini kelak kau baca, Monica.

28 September 2014. 15:15 WIB.

Anda mungkin juga menyukai