Anda di halaman 1dari 34

Cinta dan Sahabat

Cinta dan sahabat, dua hal yang tak mudah ntuk dimengerti. Kadang bisa sangat
berarti, namun dalam hal itu bisa membuat luka teramat perih. Aku adalah orang yang
berada di tengah-tengah cinta dan sahabat itu. Kini, aku yang begitu merindukan
hadirnya seorang kekasih, dalam hangatnya persahabatanku dengan Sisil yang lebih
muda satu tingkat dariku.

Tiga minggu di awal semester satu...aku duduk di bangku kelas XII, seabrek kegiatan
pun kulalui tanpa kuharus memikirkan cinta menurutku itu hanya membuatku lelah.

Namun, pertemuan itu membuatku melupakan suatu hal, aku yang larut dalam
perasaanku terhadap Alan. Aku terlalu bodoh karena terlalu jatuh hati pada orang
yang salah, jatuh hati pada orang yang tak pernah menyimpan cinta padaku. Aku tak
begitu saja menyalahkannya! Dia tak patut untuk disalahkan, dia hanya korban dari
cintaku dan dia terlalu baik mau mengerti akan cintaku padanya.

Dan terlalu naif bila kini aku harus menyesal karena mengenalnya. Karena dia aku
dapat merasakan hal terindah, walaupun hanya sekejap. Aku terlalu naif hingga aku
pun tidak menyadari Sisil merasakan juga perih yang kurasa. Sisil sahabatku orang
yang kupercaya seutuhnya, orang yang selalu berusaha ada untukku. Kini, telah
terluka karena keegoisanku.

Seharusnya aku tak pernah hadir di antara Alan dan Sisil. Bila akhirnya luka ini yang
kurasa.Andai saja kusadari dari awal, andai saja ku lebih mengerti mereka, andai saja
aku tidak jatuh hati pada Alan, Alan dan Alan. Orang yang kucintai dan selalu ada
dalam hatiku walau hati ini terasa perih, kudapat mengerti tak ada gunanya
kubertahan di sisimu, karena ternyata kau lebih menginginkan Sisil mengisi hari-
harimu. Aku di sini yang begitu tulus mencintaimu dan aku yang selalu berusaha ntuk
mengerti dirimu kan selalu menanti dan menata hati lagi hingga bayanganmu pergi
hingga tak ada lagi luka kurasa, hingga tak ada lagi kecewa yang terasa.
Aku di sini kan selalu berusaha tegar menjalani hari-hariku, aku kan selalu berusaha
tersenyum agar kau bisa bahagia bersama Sisil sahabatku. Walaupun dia telah
merebutmu, kisahku dan dia dulu takkan pernah kulupa, dia tetap sahabatku,
percayalah dengan sisa kesedihanku ini.

Kumasih dapat bertahan hingga kelak kau mengerti bahwa aku memang
mencintaimu. Aku memang menyayangi, tapi aku tak rela tersakiti olehmu saat ini,
esok dan sampai kapanpun. Pertemuan itu berawal dari perkenalanku dengan Alan,
seorang cowok yang aku kenal dari temanku, Marcell. Perkenalan yang terbilang
singkat juga, aku mulai merasakan getaran cinta itu. Rasa itu mulai menerangi
kembali tahta hatiku yang telah lama ditinggal pergi oleh seseorang yang pernah
begitu berarti dalam hidupku dulu. Yang sampai saat ini pun aku belum bisa
melupakannya.

Alan yang telah hadir untuk mengisi hari-hariku pun membuatku terlelap akan rasa
bahagia itu, hingga akupun tak pernah menyadari ternyata semua kebahagiaan itu
palsu. Alan orang yang kucintai dengan tulus ternyata datang hanya untuk menyakiti
dan menorehkan luka. Luka yang teramat dalam di hatiku. Pertemuan itu juga yang
telah menghancurkan semuanya. Hidupku yang begitu indah yang begitu berwarna
menjadi hancur akan hadirnya!

Malam itu aku dan Alan sepakat untuk memadu kasih, merajut asa dan menggapai
cita berdua. Aku belum pernah merasakan sebahagia ini, aku begitu merasa begitu
beruntung bisa dicintai oleh orang yang kucintai. Hari-hari bahagia pun mulai kami
lalui. Alan begitu indah di mataku yang membuatku lupa akan segalanya, bila
bersamanya. Itu juga yang membuatku merelakan tahta hatiku dipenuhi oleh
cintanya, namun lagi-lagi kenyataan tak selalu berjalan sesuai dengan yang
kuharapkan.

Minggu pertama hubungan cintaku bersama Alan mulai goyah, Alan mulai berubah
dan tidak lagi Alan yang selalu tersenyum untukku. Alan tidak juga bersifat manis
padaku, setiap tutur katanya yang menyejukkan hatiku kini terasa mengiris-iris
hatiku. Apa yang telah kulakukan padanya hingga dia begitu tega padaku, aku begitu
percaya padanya hingga aku pun terluka olehnya.

Hubungan ini berakhir begitu saja, pertemuan singkat itu menjadi menyakitkan.
Sahabat pun menjadi pelarian sedih dan kecewa, tapi sahabatku tega mengkhianatiku.
Dia yang ternyata merebut Alan dariku, dia merenggut semua kebahagiaanku .
Persahabatan yang telah bertahun-tahun kubina bersamanya pun menjadi tak berarti.
Aku lelah dengan semua ini hingga aku sempat memutuskan tali persahabatan itu,
egoiskah aku?

Aku hanya belum bisa berpikir jernh saat itu, aku merasa semakin tolol, seharusnya
kubisa merelakan Alan dan Sisil untuk bersama. Karena mungkin kebahagiaan Alan
hanya ada pada Sisil! Aku belum siap kehilangan kebahagiaan itu, aku masih ingin
disayangi walau semua itu hanya kebohongan. Aku tak mau merasakan sakit hati ini
lagi. Akankah sakit ini akan terganti saat ku melihat kebahagiaan orang yang kucintai
dan Sisil sahabatku.

Kini dalam setiap hari-hari sepiku, dalam kesendirianku, aku hanya bisa berharap aku
kan memiliki kekasihku lagi, memiliki dia yang telah pergi, karena aku kan selalu
mencintainya. Aku kan selalu mengenangnya di dalam hatiku,karena dia telah datang
dan pergi dengan menghiasi setiap sudut didalam hatiku dengan cintanya yang sesaat,
dan Sisil sahabatku buatlah cintaku bahagia karena kalian begitu berarti untukku...***
Arti Persahabatan

Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering
berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin
suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat
berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku
sendirian menjaga rumah...

“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.

“Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku
menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan?
Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan
malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada
nyaring.

Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe..
Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda
lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah
tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya
aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main
game.

Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon
pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali.
Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.

“Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru
masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia
sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-
benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis
pada berbagai hal.

Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan
Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.
Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”.
“Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang
asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya,
aku tidak berani pulang kerumah.

“Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu
kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan
merencanakan sesuatu.
“Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan
pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua”
bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.

Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan
kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi.

Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan
lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar
ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap
maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya.
Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.

“Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal
dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah.
Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon
polisi akibat kasus pencurian ini.

“Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat
kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling
itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh...
Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon
dengan tenang dan pedenya. Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon
“Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil
barang rumahmu.”

Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang
kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya
maling ini seperti tidak pernah terjadi.

“Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh


kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih
sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya
kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat
bercerita pengalamannya itu.

“( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan


pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama
Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.

Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih
mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat
terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk
sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).
Sahabat Tak Terlupakan

"Hienaa tungguu" ucap Herika Hiena menghentikan larinya lalu melirik ke belakang
"Ada apa Her" jawab Hiena "mana Hillary " kata Herika dia bingung mana Hillary
Hillary adalah ketua the 3h " Aku tak tau apakah kita harus melihat apakah yang
Hillary lakukan atau langsung ke sekolah "Tekad Hiena lalu Herika menjawab "Ya
sudah kita langsung saja ke sekolah" mereka pun tiba disekolah "Apa ini" kata Herika

Untuk Herika and Hiena,


Sorry girls aku sakit aku tidak bisa kesekolah aku hanya bisa berbaring ditempat
tidur(sakit) . Kata dokter aku tidak sekolah 2 minggu - karena aku sakit apa, aku tak
tau momku tidak mengasih tauku aku sakit apa. Aku tidak bisa ikut ujian tengah
semester, maaf girls.
Dari Hillary

"Apa Hillary sakit kita bagaimana bisa tanpa dia. Dia kan ketua kita" kata Herika
"Aduuhh bagaimana ini kita harus bilang apa ke Renda dia kan teman Hillary .Kalau
tidak ada Hillary dia marah ke kita" kata Hiena. "Aku dengar kalian membicarakan
Hillary sakit dan aku akan marah ke kalian nggak dehh dia udah bilang ke aku  kalau
dia sakit" kata Renda "Syukurlah bener nihh" jawab Hiena "Bener" kata Renda lagi. 

Mereka pun istirahat pergi kekantin sudah lama kemudian mereka pulang kerumah
mereka masing masing "Bye Herikaa" kata Hiena. "Bye juga Hiena" balas Herika.
Sesudah Herika sampai dirumah ada tamu dirumahnya. "Hei Gretta kapan kamu
kesini" kata Herika " Aku baru tadi kok kesini" jawab Gretta "mau perlu apa kesini"
tekad Herika "Aku cuma mau meminjamkanmu buku happy tree friends kan katanya
mau pinjam" balas Gretta. 

Sesudah itu mereka berbincang bincang sudah lama kemudian "byee her sampai
jumpa"kata Gretta karena Gretta sekolah bagian pagi dan Herika siang sudah itu ada
surat untuk Herika.

Untuk Herika
Herika ini mamanya Hillary maaf kalau sudah membuatmu sedih. Hillary menghidap
penyakit paru paru ,dan meninggal, dan pesan Hillary kepada kalian tolong gantikan
aku dengan Herlia maaf sudah membuat kamu sedih.
Dari mama Hillary

"Hiks kenapa Hillary meninggal aku harus beritahu Hiena" kata Herika. Tap tap tap
Herika menuju rumah Hiena "ada apa kanapa kamu menangis" kata Hiena "Hillary
meninggal" tekad Herika "Apa meninggal hiks kenapa hiks hiks diganti dengan
siapa" kata Hiena "Dengan herlia hiks hiks" jawab Herika "Hillaryyyyyyy" ucap
mereka berdua karena sedih.
Cemburu

Alia nampak dengan jelas, gadis itu keluar dari perkarangan rumah Ikwan. Alia juga
nampak Ikwan menghantar gadis cantik itu dengan lambaian dan senyuman yang
ranum. Kata Ikwan, gadis itu adalah kawan kecilnya. Tapi sejak gadis itu datang,
Ikwan kian menjauh darinya, Ikwan kerap keluar bersama gadis itu. Hati Alia sakit!

Ikwan jarang menelefonnya kini. Malah, kalau Alia call di rumah, selalu saja keluar.
Handsetnya juga selalu suruh tinggalkan pesanan suara saja, bila ditanya kenapa, kata
Ikwan habis bateri. Takkan sepanjang minggu habis bateri? Kalau dapat call pun
Ikwan cakap sikit saja dengannya. Seolah tidak ada lagi topik yang menarik hendak
di kongsikannya bersama Alia. Alia rasa bahang perubahan sikap Ikwan. Gara-gara
kehadiran gadis cantik yang pulang dari London itu. Kononnya kawan lama, entah-
entah kekasih lama!

“Gadis tu kan baru je datang dari luar negara, lagi pun mereka memang sahabat rapat
dari kecil, memanglah banyak yang nak dibualkan setelah sekian lama tidak
berjumpa.” Alia mahu percaya kata-kata Nina yang memujuknya itu. Tapi cemburu
dihati Alia masih juga meronta-ronta tak mahu kalah. Tak boleh jadik nih!

“Tapi Nina.. Wan dah berubah! Dia macam dah lupakan Lia.. macam dia dah malas
nak jumpa atau sekurang-kurangnya berbual dengan Lia.. sejak kedatangan kawan
baiknya yang cantik tu!” Geram Alia bila teringatkan gadis itu. Sakit hati Alia bila
terbayang wajah cantik itu. Memang dia benar-benar cantik! Hidungnya lebih
mancung dari Alia, kulitnya putih dan halus. Bukan seperti Alia yang berkulit sowo
matang. Matanya besar dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik serta keningnya
hitam lebat. Pipinya gebu dan licin macam kulit tomato. Bibirnya mungil dan merah
jambu tanpa perlu disapu gincu. Rambutnya pula panjang lurus separas dada. Hati
lelaki mana yang tidak tertawan. Alia tahu beza antara dia dan gadis itu bagaikan
langit dengan bumi.
Alia pandang ke dalam cermin, pantulan dari cermin memaparkan wajahnya yang
masam mencuka. Dia lihat keningnya yang nipis, matanya yang kecil dan bulu mata
yang pendek. Kulitnya tidak sehalus dan segebu gadis itu. Bibirnya pucat saja. Kalau
tidak memakai gincu langsung tidak menarik. Alia mula bencikan rupanya! Dia ingin
kelihatan cantik, lebih cantik dari gadis itu!

Alia bandingkan pula dirinya dengan gadis itu, dia hanya mendapat Diploma dalam
bidang Pengurusan dan sekarang jadi kerani biasa di sebuah syarikat swasta. Gadis itu
pula baru habis belajar di luar negara dengan gelaran Sarjana Muda Undang-undang.
Kalau dapat kerja nanti, pasti gajinya menjangkau angka dua ribu. Ah! Gadis itu
umpama permata yang berharga, manakala Alia bagai pasir yang bertaburan
dijalanan. Alia mengeluh lagi.

“Pasti Ikwan tidak berminat untuk bersamaku lagi.. Ikwan sudah menjumpai gadis
yang sesuai dengan dirinya..” kata Alia sendirian. Alia sedar, Ikwan tidak setaraf
dengannya, lelaki itu berkerja sebagai Timbalan Eksekutif di syarikat ibunya. Mereka
adalah golongan berada, bukan macam Alia yang sederhana. Namun hati Alia masih
berharap, dia berharap Ikwan akan kembali mesra seperti dulu. Alia ingat perkenalan
mereka yang singkat tapi bermakna.

“Encik Haris ada?” itulah kata-kata Ikwan ketika masuk ke pejabatnya untuk
menemui bos Alia, yang merupakan pelanggannya.

“ Emn.. dia keluar sekejap! Ada apa-apa yang saya boleh bantu?” ujar Alia sambil
mengkagumi rupa paras lelaki yang berdiri didepannya. Ikwan kacak sekali.
Senyumannya lembut dan suaranya lunak.

“Emn.. tak apalah! Biar saya tunggu dia..”

“Oh.. kalau begitu.. silakan..”


Ikwan duduk di meja menunggu yang menghadap meja Alia, Alia sesekali melirik
pada Ikwan yang membelek-belek majalah yang tersedia di atas meja itu. Bila sedar
dirinya diperhatikan, Ikwan melemparkan senyuman menawannya. Alia jadi tersipu
malu. Tidak lama kemudian bosnya Encik Haris kembali. Ikwan segera masuk ke
bilik pejabat Encik Haris.

Waktu tengahari, Alia turun makan di restoran berhampiran, ketika Alia menunggu
pesanannya, tiba-tiba satu suara menyapa.

“Boleh saya join kamu?”

Alia agak terkejut bila melihat Ikwan berdiri di tepi mejanya.

“Semua meja telah penuh..” ujarnya lagi dengan senyumannya yang mencairkan hati
Alia. Alia agak tergagap tetapi mempersilakan Ikwan duduk semeja dengannya.
Mereka mula berbual dan memperkenalkan diri masing-masing. Mula-mula
perbualan mereka agak lembab, tapi Ikwan pandai berjenaka. Alia tak henti-henti
ketawa dibuatnya. Ikwan menyerahkan kad namanya pada Alia, dia juga membayar
semua harga makanan.

“Terima kasih, belanja saya makan..” ujar Alia sebelum mereka berpisah.

“Call saya kalau ada masa..” laung Ikwan sebelum pergi. Alia menggangguk. Hatinya
berbunga riang.

Sejak hari itu, mereka kerap berhubung. Ikwan selalu bercerita tentang apa saja
dengannya. Ikwan akan meluahkan apa saja yang ingin dikongsikannya pada Alia.
Lama kelamaan hubungan Alia dengan Ikwan menjadi erat. Putik-putik cinta
bersemi. Ikwan melamar cintanya pada hari lahirnya yang ke dua puluh lima tahun.
Dengan sejambak bunga, kek harijadi dan seutas rantai. Alia tidak akan lupa betapa
bahagianya hati wanitanya hari itu. Bagaikan seorang puteri yang mencapai
impiannya.
Tapi itu dulu, sebelum kehadiran gadis cantik yang baru pulang dari luar negara. Kini
Ikwan semakin sibuk. Dia tidak ada masa untuk menghubungi Alia. Dia sudah ada
teman lain untuk berkongsi cerita mahu pun masalah. Kalau dulu, Alialah tempat
mengadu bila hatinya resah atau terlalu penat dengan kerja, kini ada gadis lain yang
mengambil alih peranan itu. Alia semakin terkilan.

***************

Alia tidak menghubungi Ikwan lagi selepas dia ternampak gadis itu keluar dari rumah
Ikwan. Alia tidak mahu menjadi muka tembok yang tidak tahu malu. Biarlah Ikwan
menghubunginya jika lelaki itu masih ingat padanya. Alia ingin menganggap
hubungannya dengan Ikwan sudah berakhir.

Dia mengambil keputusan itu setelah memikirkannya masak-masak. Walau pun tiada
kata putus antara mereka, Alia lebih rela daripada mendengar kata perpisahan dari
mulut Ikwan. Namun setelah dua minggu, Ikwan tidak juga menghubunginya. Hati
Alia semakin remuk redam.

“Hai Lia.. mendung je muka kamu kebelakangan ni..” Sapa Harun, rakan sekerjanya.

“Kau jangan sibuklah!!”

“Eh! Marah?” Sakat lelaki itu lagi. Alia tarik muka masam. Dia memang selalu
bermuram durja gara-gara hubungannya dengan Ikwan yang dingin itu.

“Aku bukan apa Lia.. tapi sebagai kawan, aku kesian juga tengok kau ni.. badan pun
dah susut.. kau makan hati ya?”

Harun bersuara lagi. Alia tantang muka Harun dengan tajam. Dia tidak suka orang
lain masuk campur dalam hal peribadinya.
“Aku dah lama tahu hubungan kau dengan Encik Ikwan tu.. aku rasa baik kau
lupakan saja dia tu.. aku rasa kau pun tahu, Helina sudah balik dari luar negara. Si
cantik tu akan bertunang dengan encik Ikwan tak lama lagi.” Lancar benar Harun
menceritakan hal itu. Darah Alia rasanya tersirap hingga ke umbun-umbun. Dia tidak
menyangka hubungan Ikwan dengan gadis cantik itu sudah sampai ke tahap
bertunang.

“Dari mana kau dapat tahu semua ni Harun?” tanya Alia was-was. Betul ke budak
Harun ni? Banyak sangat dia tahu tentang Ikwan.

“Kau hairan? Aku sepupu Helina, memang la aku tahu banyak tentang dia dan
Ikwan..” Sahut Harun dengan yakin. Alia tertunduk, matanya mulai terasa panas. Ada
manik-manik jernih yang bertakung dibibir matanya. Sampai hati Ikwan!
Hendak bertunang pun Ikwan tidak memberitahunya.

“Mereka dijodohkan oleh keluargakah?” tanya Alia lagi. Dia berharap Ikwan berbuat
demikian kerana terpaksa. Alia enggan menerima hakikat kalau Ikwan benar-benar
mengkhianati cintanya!

“Sudahlah Alia.. jangan berharap lagi! Helina tu memang kekasih dia.. sebelum kau
bersama Ikwan lagi.”

Hati Alia hancur berkecai mendengar kebenaran itu. Jadi selama ini Ikwan
menipunya. Selama ini dialah pihak ketiga. Dia hanya sebagai boneka Ikwan kala
Helina tidak ada bersama. Cuma sandaran sementara saja! Patutlah Ikwan tidak
memperkenalkannya pada Helina bila Helina baru pulang. Ikwan kata kawan
sepermainannya dari kecil lagi baru pulang dari luar negara. Tapi sedikit pun dia
tidak bersuara untuk memperkenalkan Alia pada gadis itu, jadi memang benarlah
Helina adalah kekasih lama seperti jangkaan Alia!
Sakit hati Alia terasa semakin dalam. Jantungnya seakan ditikam-tikam dengan pisau
yang amat tajam. Dia benci Ikwan. Dia benci Helina! Mengapa mereka melukakan
hatinya. Mengapa Ikwan mencambahkan cinta dihatinya, tapi kini dengan kejam
membunuh cinta itu tanpa belas kasihan!

“Kenapa dia tidak beritahu aku?” kata Alia seolah-olah bertanya pada Ikwan.

“Entahlah Lia.. dia mungkin takut kau akan berjumpa Helina dan mengaku sebagai
kekasihnya.. pasti hubungannya dengan Helina akan terjejas jika itu berlaku..”

Ada benarnya juga kata-kata Harun itu, patutlah Ikwan enggan dihubungi. Dia takut
rahsia hubungannya dengan Alia terbongkar.

“Harun.. aku nak cuti setengah hari, hari ini.. tolong bagitau Encik Haris, katakan aku
tak sihat..” Alia mengemas mejanya. Dia ingin pulang ke rumah dan menangis
sepuas-puasnya. Dia ingin meraung dan menjerit untuk melepaskan kesakitan yang
sarat berbuku didadanya. Harun mengangguk. Dia kelihatan amat bersimpati dengan
Alia.

Alia segera mengambil telefon bimbitnya dan mendail nombor Zarul, adik
sepupunya. “Kakak ni.. tolong ambil kakak di pejabat!” kata Alia sebaik saja talian
disambungkan.

“Ai! Awalnya.. ada apa hal kak?”

“Kakak tak sihat hari ni.. kau di mana sekarang?”

“Saya masih di bandar ni.. ada temuduga pukul 11.00 a.m., habis temuduga nanti saya
ambil kakak macam mana?”

Alia mengeluh. Dia ingin segera pulang ke rumah. Tapi Zarul pula sibuk. Adik
sepupunya itu baru tamat belajar dan sedang mencari kerja. Dia dihantar dari
kampung oleh ibubapanya untuk tinggal bersama Alia sementara mendapatkan
pekerjaan. Zarul akan menghantar dan mengambilnya dari kerja setiap hari. Alia baru
saja membeli sebuah kereta kancil tapi dia tidak mempunyai lesen memandu. Nasib
baiklah Zarul sudah mendapatkan lesen memandu, secara tidak langsung Zarul
menjadi pemandu sementara kepada Alia yang baru memohon lesen memandu dan
masih dalam proses pembelajaran.

“Tak apalah! Kakak naik bas saja..”

“Eh! jangan lah..! Zarul datang sekarang..”

“Kan kau nak temuduga.. nanti terlewat pula.. sekarang dah pukul 10.30 a.m..”

“Alah.. masih sempat!” Talian terus diputuskan. Alia mengeluh. Zarul berkeras mahu
menghantarnya pulang meski pun dia ada temuduga. Alia terpaksa menunggu.
Beberapa minit kemudian terdengar bunyi hon di luar. Alia segera keluar dan masuk
ke perut kereta.

“Tengok.. sudah pukul 10.40am.. mana sempat!” ujar Alia sambil menunjukkan jam
tangannya pada Zarul.

“Sempat.. bukannya jauh!” balas Zarul sambil ketawa kecil.

“Ha.. nak bawa laju lah tu! Zarul.. kakak rasa baik Zarul pergi tempat temuduga tu,
kakak tunggu di kereta.” Cadang Alia.

“Emn.. idea yang baik..” Zarul setuju. Kereta segera meluncur ke tempat yang dituju.

“Eh! Kau temuduga di sini?”

Zarul angguk. Alia kenal benar dengan bangunan itu. Bangunan itu adalah milik ibu
Ikwan. Jadi Zarul pergi temuduga di syarikat milik keluarga Ikwan. Alia benar-benar
tidak senang hati!
“Zarul kejap saja.. kakak tunggu ya!” Zarul bergeges masuk ke dalam bangunan itu.

Alia mendengar radio sementara menunggu Zarul masuk ke dalam. Tiba-tiba sebuah
kereta masuk parking benar-benar di sebelah keretanya. Alia macam kenal kereta itu,
dia menoleh memandang pemandunya. Alia tersentak, Ikwan! Lantas Alia berpura-
pura tidak melihat Ikwan. Alia menundukkan kepalanya sambil membaca surat
khabar yang dibeli Zarul. Bila Alia sudah pasti Ikwan telah pergi barulah Alia
tercangak-cangak mencari kelibat lelaki itu. Perasaannya bercampur baur. Dia pun
tidak tahu mengapa dia mengelakkan diri dari bersemuka dengan Ikwan. Biarlah
hubungan mereka berlalu bagai angin yang datang menyapanya untuk seketika.
Rasanya tak perlu lagi Alia hendak berperang besar dengan Ikwan atau Helina. Alia
sedar siapa dirinya. Kalau nak rajuk biar pada yang sayang, kalau orang dah tak sudi
buat apa Alia nak terhegih-hegih menagih perhatian Ikwan. Namun jauh di sudut hati
Alia, dia merasa cukup pedih dan sengsara. Cinta yang mekar di hatinya itu bukannya
mudah hendak dibuang dalam sekelip mata!

Ketika dia sibuk merenungi nasib diri, tiba-tiba Zarul muncul mengetuk cermin
kereta. Di belakangnya kelihatan Ikwan yang memandangnya dengan wajah penuh
misteri. Alia segera membuka tingkap.

“Kakak.. saya telah diterima bekerja di sini.. emn! Ni lah bos saya.. katanya nak
jumpa kakak..” kata Zarul sambil tersenyum simpul. Hati Alia menjadi tidak keruan.
Dia memandang muka Zarul dan Ikwan silih berganti.

“ Emn.. boleh kita cakap sendirian..?” Kata Ikwan dengan tenang.

Alia terasa lidahnya kelu. Dia yakin, Ikwan mahu berterus terang dengannya kini.
Terasa air mata mula bertakung di bibir matanya. Alia mengangguk perlahan.

“Lia naik kereta Wan?” Ikwan membuka pintu keretanya. Alia angguk lagi. Dia
segera keluar dari kereta kancilnya dan masuk ke dalam kereta Honda Ikwan.
“Zarul balik dulu lah!” kata Alia pada Zarul. Zarul agak kehairanan kerana bakal
bosnya mengajak kakak sepupunya masuk ke dalam keretanya pula. Tapi Zarul tidak
membantah. Dia masuk ke dalam kereta dan beredar.

“Kita pergi tempat biasa?” kata Ikwan lembut. Alia tidak menyahut. Dia hanya
terbayang puncak bukit di mana mereka selalu menghabiskan masa bersantai di situ.
Dengan membawa sedikit bekalan, mereka seolah-olah berkelah di puncak bukit itu.
Tapi itu dulu, sebelum kehadiran Helina. Alia yakin, Ikwan hendak bercakap tentang
hubungan mereka pada hari ini. Mungkin hari ini adalah hari terakhir mereka
mengunjungi puncak bukit yang indah itu.

“Kenapa diam?”

Alia menoleh memandang Ikwan. Ikwan melirik padanya sambil terus memandu. “
Emn.. tak ada apa..” Sahut Alia malas.

Sebenarnya dia mahu meluahkan segala yang berbuku di hatinya. Dia mahu tanya
tentang Helina dan mengapa Ikwan merahsiakan hubungannya dengan Helina selama
ini. Alia ingin sekali mengamuk dan meradang atas sikap Ikwan yang
mempermainkan hati dan perasaannya. Namun, Alia hanya membisu, dia tidak tahu
hendak berkata apa kepada Ikwan. Cintanya pada Ikwan begitu dalam dan Alia
pasrah jika terpaksa mendengar khabar buruk itu hari ini.

Sepuluh minit kemudian mereka sampai di puncak bukit. Suasana tenang dan dingin.
Tapi hati Alia semakin ketakutan. Takut menghadapi kata-kata perpisahan dari
Ikwan. Ikwan kejam kerana mempermainkan harga dirinya. Alia tidak mahu
kelihatan bodoh dengan mengamuk atau melenting pada Ikwan yang nyata
menjadikannya sebagai boneka mainan. Itulah tekad Alia. Alia ingin terus bersabar!
“ Kenapa diam saja dari tadi Lia..?” tanya Ikwan lagi. Dia memandang mata Alia
seolah-olah mencari-cari sesuatu di situ. Wajah Alia muram saja. Tidak ada apa-apa
di matanya kecuali kedukaan.

“Cakaplah apa yang Wan nak cakap..” ujar Alia membuang pandangannya dari wajah
Ikwan. Ikwan menarik nafas berat. Sukar untuk memulakan kata-kata.

“ Wan tahu, Alia kecil hati kerana Wan seolah-olah menjauhkan diri dari Lia..
maafkan Wan..” Ikwan mula membuka kata-kata. Alia mengigit bibir menahan sendu
di hatinya.

“Lia pun tidak mahu menghubungi Wan lagi.. Lia juga seolah-olah tidak mahu ambil
tahu tentang Wan lagi..” Sambung Ikwan.

Alia terus membisu, dia enggan berkata apa-apa. Biarlah Ikwan menyampaikan kata-
kata terakhirnya sebelum mereka berpisah. Alia bersiap untuk mendengar kebenaran
yang pasti menyakitkan itu.

“Biarlah Wan berterus terang dengan Lia…”

Alia segera membelakangkan Ikwan. Dia tahu apa yang bakal didengarnya.
Airmatanya sudah luruh. Ikwan tidak menyedari airmata itu kerana Alia segera
menyembunyikan wajahnya dengan menghadap hutan yang tebal.

“ Wan..” suara Alia serak. “ Boleh tak Wan tak payah cakap apa yang Wan nak
cakap..” Alia masih membelakangi Ikwan. Suaranya bergetar, Ikwan mula perasan
ada pergolakan dalam perasaan Alia. Dia ingin sekali memujuk.

“ Lia.. Wan tahu Lia merajuk! Wan tahu Wan salah.. Kita berdamai o.k?”

Alia segera berpaling ke arah Ikwan. Ikwan terharu melihat airmata Alia yang
bercucuran itu. “Sampai hati Wan.. Lia tahu Lia tak sepadan dengan Wan, tapi
kenapa Wan tak terus terang dengan Lia? Sepatutnya Wan tak perlu minta maaf
dengan Lia.. biarkan saja Lia! Kawin sajalah dengan kekasih hati Wan tu.. sampai
hati Wan permainkan perasaan Lia..” Tersembur keluar semua yang berbuku
dihatinya. Wajah Ikwan nampak terkejut.

“Kenapa? Wan tak sangka Lia sudah tahu hubungan Wan dengan Helina? Wan fikir
Lia tak tahu Wan nak bertunang dengannya? Cukuplah Wan.. jangan nak siksa hati
Lia lagi..” Ucap Alia separuh menjerit. Ikwan tercengang memandangnya.

“ Mana Lia dapat cerita ni?”

“ Itu tak penting.. yang penting mengapa Wan permainkan perasaan Lia.. kenapa
Wan mahu bersama Lia sedangkan Wan dah ada Helina..”

“ Lia.. Lia.. Lia! Wan tak faham.. mana Lia dapat cerita Wan nak tunang dengan
Helina, sumpah Lia! Dia cuma kawan baik Wan dari kecil lagi. Dia bukan kekasih
Wan!”

Alia mula diam, tangisnya reda mendengar kata Ikwan. Mereka berpandangan.

“Betul..?” tanya Alia sambil mengesat airmatanya. Ikwan angguk.

“Tapi kenapa Wan tak kenalkan Lia dengan dia? Kenapa Wan jauhkan diri sejak dia
datang?” Wan tarik nafas berat. Dia melangkah ke keretanya dan mengambil sesuatu.

“Nah!”

Beberapa keping gambar dihulurkan kepada Alia. Alia membelek semua gambar itu.
Semuanya gambar dia bersama Zarul, ketika dalam kereta, di jalan raya dan di
perkarangan rumah.

“Kenapa ada gambar Lia dan Zarul..?” tanya Alia tidak faham.
“Kerana gambar inilah Wan menjauhkan diri dari Lia.. beberapa minggu lepas, satu
surat dikirimkan pada Wan. Dalam surat itu ada gambar Lia dan Zarul. Kononnya
Zarul adalah tunang Lia.. Lia telah ditunangkan oleh keluarga Lia.. Wan pun frust la
bila dapat tahu..” cerita Ikwan dengan tenang.

“Tapi kenapa Wan tak tanya pada Lia?” Kata Alia dengan wajah yang lebih cerah.
Sisa-sisa airmata sudah hilang.

“Itulah silap Wan! Wan mahu Lia sendiri yang berterus terang dengan Wan.. tapi Lia
sikit pun tidak cakap apa-apa, Zarul tinggal serumah dengan Lia .. tapi sedikit pun Lia
tidak memberitahu Wan.. tentulah Wan salah faham. Wan geram, marah dan benci
pada Lia sebab tu Wan malas nak layan Lia.. malas nak sambut call Lia.. Manalah
Wan tahu Zarul tu adik sepupu Lia.. mujurlah dia datang temuduga tadi, Wan masih
cam muka Zarul dalam gambar tu. Wan memang nampak Lia dalam kereta tunggu
Zarul tadi, tapi Wan tak tegur Lia kerana Wan masih salah faham dengan Lia, tapi
lepas temuduga Zarul tadi, Wan tanya Zarul siapa gadis yang tunggu dalam kereta?
Barulah Wan tahu Zarul adalah adik sepupu Lia.. barulah Wan tahu selama ni Wan
salah faham dengan Lia.. Wan nak minta maaf, Lia?”

Alia termangu mendengar cerita Ikwan. Rupanya ada kisah yang diluar jangkaannya.
Siapa pula yang mengambil gambarnya dengan Zarul dan mengatakannya bertunang?
Alia keliru.

“Wan tak tunang dengan Helina?”

“Sumpah tidak! Siapa yang cakap ni..”

“Harun.. sepupu Helina! Katanya Wan memang kekasih Helina sebelum Wan
bersama Lia lagi.. katanya tak lama lagi Wan akan bertunang dengan Helina.. Lagi
pun Wan semakin menjauhkan diri dari Lia sejak dia datang..” jelas Alia. Dia mula
ragu dengan kata-kata Harun.
“Mestilah Wan jauhkan diri dari Lia masa tu, sebab Wan marah pasal gambar Lia
dengan Zarul.. Wan malas nak kenalkan Lia dengan Helina kerana masa tu Wan
benar-benar salah sangka pada Lia.. maaf ye sayang..” Ikwan menarik tangan Alia
dan memandang tepat ke matanya. Alia angguk sambil menarik nafas lega. Dia
menyangka Ikwan hendak memutuskan hubungan tapi kini sebaliknya.

“Memang benar Harun tu sepupu Helina, tapi hairan mengapa dia nak
menghancurkan hubungan kita pula?” Kata Ikwan penuh tanda tanya. Alia angkat
bahu. Kini hatinya lega. Gadis cantik itu ternyata tidak ada apa-apa hubungan cinta
dengan Ikwan. Rupanya semua masalah itu hanyalah salah faham dan fitnah orang
lain. Cemburunya pada gadis itu hilang serta merta.

“Dan hairan.. siapa pula yang ambil gambar Lia serta hantar kat Wan? Sudah jelas
ada orang yang mahu musnahkan hubungan kita?” Kata Alia pula.

“Ya! Mungkin Harun juga?” Alia mengganguk tanda setuju dengan kata-kata Ikwan
itu. mereka berpandangan. Saling tersenyum. Mereka tidak peduli apakah motif
Harun, yang paling penting kini mereka sudah kembali bersama.

“Maaf ya?” tanya Ikwan sekali lagi.

“Lia juga..” Balas Alia.

“Sia-sia saja Wan bencikan Lia.. tahu-tahu cuma salah faham..” Kata Ikwan sambil
ketawa kecil. Teringat akan sikapnya beberapa minggu yang lepas. Seluruh isi rumah
menjadi tempatnya melepaskan marah. Berbakul-bakul leteran ibu kepadanya kerana
sikapnya menjadi garang tidak tentu pasal. Anak-anak buahnya di pejabat pun tidak
berani curi tulang, takut pada Ikwan yang tidak semena-mena bertukar angin. Bos
yang dulunya peramah dan mesra menjadi bengis tak menentu. Pantang silap sikit
adalah yang kena marah! Semuanya pasal gambar yang diterimanya itu. Helina pun
selalu merungut dengan perangainya yang selalu berubah angin. Hendak berlawak
jenaka pun susah. Kalau senyum pun bagaikan terpaksa!

“BenarkahWan bencikan Lia?” Tanya Alia menduga.

“ Ya! Benci sangat.. benci tapi rindu..ha ha ha.. merana betul Wan menanggung rindu
tidak jumpa Lia beberapa minggu. Kadang-kadang Wan harap Lia akan call atau
SMS Wan.. tapi bila buka handset.. sunyi saja..” luah Ikwan tentang perasaannya
ketika musim dingin hubungan mereka.

“Lia juga.. nak call Wan.. tapi teringat Helina mungkin sedang bersama Wan..” Ujar
Alia pula, mereka tertawa bersama. Rupanya mereka sama saja, cemburu buta!

“Zarul cakap Lia tak sihat? Minta hantar balik rumah..” tanya Ikwan dengan muka
bimbang. Muka Alia memang pucat saja tadi.

“Emn..” Alia tersenyum nipis. Kini dia kelihatan berseri-seri.

“Lia sakit apa?” tanya Ikwan lagi sambil sentuh dahi Alia.

“Sakit hati..” jawabnya dengan menahan senyum.

“Oh.. rupanya! Sakit hati kenapa boleh senyum?” ujar Ikwan setelah mendapat tahu.
Dia turut senyum meleret. Alia hanya menolak bahu Ikwan dengan manja. Ikwan
tertawa melihat riaksi Alia.

“Lia..” Panggil Ikwan dengan suara romantis. Alia mendongak ke arah wajah lelaki
yang dicintainya itu. Rindu benar hatinya pada Ikwan. Mujurlah semuanya sudah
berubah baik.

“Emn..”

“Jom kita kawin?”


Mata Alia terbelalak. Dia menatap wajah Ikwan minta kepastian akan lamaran yang
tiba-tiba itu.

“Kenapa? Tak sudi?”Tanya Ikwan lagi.

“Wan lamar Lia?” Angguk.

“Bunga? Cincin? Takkan nak lamar macam ni saja?” usik Alia dengan senyum nakal.
Ikwan ketawa besar. Dia menarik Alia masuk ke dalam keretanya. Alia kehairanan.

“Jom kita pergi beli bunga dan cincin!!” balas Ikwan sambil masuk ke dalam perut
kereta. Kereta meluncur laju menuju ke bandaraya.

“Mulai saat ini.. kalau ada apa-apa masalah, kita mesti bincang! Jangan simpan
sendiri dalam hati.. o.k?” bisik Ikwan sambil memimpin tangan Alia menuju ke kedai
bunga terhampir. Alia mengangguk. Wajahnya penuh dengan senyuman bahagia.
Dugaan seperti itu mungkin datang lagi. Tapi kalau saling cinta menyintai, kalau
saling kasih mengasihi dan kalau saling mempercayai antara satu sama lain, apa pun
dugaannya pasti dapat diredah bersama. Ternyata dugaan cinta itu berlalu juga!
Karena Kau Mata Hatiku

Hari ini aku pulang dari kerja agak awal dari biasa. Memandangkan hari masih awal,
aku mengambil kesempatan untuk berjalan-jalan di sekitar ibu kota. Sekadar
melepaskan penat bekerja seharian. Hmm...sudah lama aku tidak berkesempatan
mengambil angin seperti petang ini. Seronok pula rasanya walaupun manusia sentiasa
memenuhi segenap ruang disana sini. Sedang aku leka melihat barang-barangan yang
dijual di sekitar Masjid India, aku terlihat sekumpulam manusia sedang leka
berkerumun melihat sesuatu. Pastinya sesuatu yang menarik!

Terdetik juga dihati ini ingin melihat apakah yang melekakan mereka semua sehingga
langsung tidak berganjak dari tempat mereka berdiri. Entah mengapa hatiku semakin
kuat meronta-ronta ingin melihat apabila orang ramai yang mengerumuni bertepuk
tangan. Seolah-olah mereka sedang melihat ahli silap mata membuat magic. Aku juga
pelik dengan perasaanku yang tiba-tiba ini. Mungkin ianya sesuatu yang menarik?
Mungin juga...siapa tahu.

Ketinggian yang ku miliki langsung tidak membantu ku melihat. Puas ku cuba


berasak-asak dengan mereka yang lain. Harapanya dapatlah ku kehadapan bagi
melihat dengan jelas lagi ‘panorama’ didepan sana. Namun, hanya bau-bauan yang
tidak tertahan menghidangi hidungku ini. Masam...masin... manis...semua ada!

Tidak mahu mengalah, aku bergerak ke sebelah kanan pula. Ya! Dari sini aku nyata
boleh melihat dengan jelas. Namun apa yang terpampang dihadapanku hanyalah
perkara biasa... seorang pelukis jalanan yang sedang tekun melukis potret seorang
wanita. Dikelilingnya juga penuh dengan lukisan potret pelbagai wajah.

Memang tidak disangkal, lukisan-lukisan nya semua tampak hidup. Cantik! Tapi apa
yang dipelikkan? Di sekitar bandar raya ini juga setahu ku terdapat ramai lagi pelukis
jalanan. Namun, tidaklah terlalu mendapat perhatian seperti pemuda ini.
Apa istimewanya lelaki ini? Adakah wajahnya kacak sehingga meraih perhatian?
Tapi serasaku tidak logik pula. Kalau benar pun pemuda itu terlalu kacak, pastinya
dia hanya mendapat perhatian gadis-gadis saja. Namun kini bukan saja para gadis,
‘mak-mak’ dan ‘bapa-bapa’ juga turut setia melihat.

Takkan orang KL tak pernah tengok orang melukis potret??? Ada baca ayat ‘guna-
guna’ ke??? Alamak...terlebih sudah! Hehehe. Aku cuba mengintai wajah pemuda itu
tapi gagal kerana kedudukannya membelakangi ku. Yang kelihatan hanyalah lukisan
potretnya yang hampir sempurna siap.

Selagi aku tidak melihat wajah pemuda itu dan keistimewaanya, hatiku ini tidak akan
puas. Mungkin bukan rezeki ku hari ini.Esok aku akan datang lagi...

***

“Lewat kau balik, Wan?” Hadi yang melihat sahabatnya itu terkial-kial membawa
perkakas lukisan ditangan turun membantu.

“Hmm...ramai sangat pelanggan tadi. Tak menang tangan aku...” Ikhwan menghela
nafas. Penat siang tadi masih belum hilang.

“Yeke? Alhamdulillah...murah rezeki kau, Wan.” Hisyam yang sedang leka


menonton drama Impak Maksima, menyampuk.

“Alhamdulillah. Aku pun tak sangka di bandar besar macam ni masih ada rezeki
menanti untuk orang macam aku ni.” Wajah Ikhwan berubah mendung.

Melihat akan perubahan di wajah sahabat mereka itu, Hadi dan Hisyam mendekati.
Mereka tahu apa yang difikirkan Ikhwan itu.
“ Wan, dahlah tu. Sebagai hamba Allah, kau kena redha dengan Qada dan Qadha
nya.” Hadi menepuk-nepuk bahu sasa sahabatnya sebagai tanda semangat. Hisyam
disebelah mengangguk tanda mengiyakan.

Ikhwan seyum. Dia tahu Hadi dan Hisyam merupakan sahabat yang baik...di masa
senang mahupun susah. Dia berasa sungguh bertuah dapat memiliki sahabat sebaik
mereka.

“Aku tahu. Terima kasih Hadi...Syam.”

Ikhwan bangkit. Berlalu ke bilik. Badan harus dibersihkan dan diri ini pula
memerlukan rehat secukupnya kerana esok masih banyak tugas yang menanti.

***

Masjid India, 10 pagi...

Sengaja aku datang ke sini lebih awal hari ini. Niatku bukan untuk membeli-belah
tetapi memburui agenda yang tidak kesampaian semalam.

Dari jauh sudah kelihatan orang ramai sudah berpusu-pusu mengelilingi pelukis
jalanan itu. .Hmm! Nampaknya ada lagi yang lebih awal dari aku. Cuma ia tidaklah
seramai semalam. Mungkin hari masih awal.

Naluri ku kuat mengatakan lelaki ini pasti ada yang ‘istimewa’ tentangnya kerana
semalam dia turut hadir dalam mimpiku. Walaupun begitu, wajahnya tidak jelas
kelihatan. Sesungguhnya, kehadirannya mengundang misteri kepadaku. Siapa dia???

***
Masjid India, 10 malam...

Jam sudah menjengah ke angka 10 malam. Aku masih disini. Setia menati si dia.
Hanya memerhati dari jauh. Tidak pernah aku membuat kerja segila ini!

Untuk mendekatinya terus serasa tidak sesuai kerana dia begitu sibuk melayan
‘pelanggan-pelanggannya.’ Oleh itu, aku membuat keputusan menantinya sehingga
dia selesai melakukan ‘tugasnya’ untuk malam itu.

Sewaktu dia sedang leka mengemas perkakas lukisannya, aku terus menjalankan misi
ku yang tertangguh kelmarin.

“Encik, boleh tolong lukiskan potret saya?” Aku pura-pura bertanya. Sengaja ingin
mengumpanya bersembang denganku.

“Maaf, cik. Saya dah nak balik ni. Hari pun dah lewat. Cik datang esok saja ye.” Dia
tidak memandangku. Tangannya tangkas mengemas tanpa mempedulikan
kehadiranku. Ape...tak cantik ke aku ni?!

Dalam samar-samar cahaya itu aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Kacak!
Matanya...keningnya... hidungnya...mulutnya... semuanya cantik terbentuk.

Aku bagaikan berada dalam duniaku sendiri. Terasa seperti jatuh cinta pandang
pertama. Tetapi mengapa dia tidak memandangku? Seakan tersedar dari mimpi yang
panjang, aku kembali ke alam nyata.

“Encik, tolonglah. Satu potret je.” Aku merayu lagi. Dengan harapan dapat
mengenalnya dengan lebih dekat.

Panas hati ku ini apabila rayuanku sedikit pun tidak diendahkannya. Sudahlah aku
menantinya dari pagi sehingga malam menjelma, boleh pula dia buat tidak tahu!
Tanpa aku sedar, aku merampas semua berus lukisan yang entah berapa batang
ditangannya dengan kasar. Ke semua berus lukisan itu bertaburan jatuh ke tanah. Aku
tergamam sendiri dengan sikapku yang tiba-tiba itu. Namun,dia dengan selamba
tunduk mengutip berus-berus itu tanpa memarahiku langsung. Terdetik rasa bersalah
dihati tapi....

Aku terperanjat apabila tangannya teraba-raba mencari dan mengutip berus-berus


yang jatuh tadi. Aksinya seolah-olah dia tidak nampak di mana kedudukan berus
lukisan tersebut. Aku terpaku memandangnya. Mungkin terasa diri diperhatikan, dia
menghentikan perbuatannya.

“ Kenapa? Terkejut? Tak sangka?” Bertubi-tubi soalan dia ajukan padaku.

“Err...awak...” Belum sempat aku menghabiskan kata-kataku....

“Ya! Saya buta. Puas?” Aku terperanjat dengan kenyatan yang diberikan.

“Tapi...” Aku tidak mampu meneruskan kata-kata seterusnya.

“Kuasa Allah. Segala yang diberikan adalah kurniaanNya yang tak ternilai...” Dengan
perlahan dia mengungkapkan kata-kata itu yang menusuk ke jantung hatiku.

Barulah kini ku tahu mengapa dia mendapat perhatian ramai. Dia melukis dengan
mata hati. Walaupun buta, tapi setiap lukisannya seolah-olah dia nampak apa yang
dilukis. Dalam diam, aku mengagumi dirinya.

***

Dua tahun kemudian...

“Ikhwan...Suri nak tanya cikit boleh?” Aku memberanikan diri bertanya.


“Hahaha..sejak bila pulak kalau Suri nak tanya, Ikhwan kenakan cukai? Tak ada kan?
Tanya aje lah...” Dia ketawa. Seakan-akan satu jenaka pula padanya.

“Emm... kalau Wan dapat melihat semula, Wan nak kahwin dengan Suri tak?” Aku
memandang tepat ke matanya. Matanya celik namun siapa sangka pemuda kacak ini
tidak cukup satu pacaindera yang tak ternilai harganya..

Kali ini ketawanya semakin galak. Aku hanya membatukan diri.

“ Wan, Suri tak main-main...” Tanpa dipaksa, air mataku menitis. Dia bungkam.

“Suri, Suri sendiri tahu Wan ni macam mana. Wan tidak sesempurna orang lain. Wan
tak layak bergandingan dengan Suri. Wan buuu...” Cepat-cepat aku meletakkan jari
telunjuk ke mulutnya.

Sesungguhnya, aku tidak mahu perkataan akhir itu keluar dari mulutnya. Aku ikhlas
menyayanginya. Dan aku yakin dialah jodoh yang telah tersurat oleh Allah kepadaku.

“Hmm...” Ikhwan mengeluh panjang.“Suri, seandainya Tuhan takdirkan Wan dapat


melihat semula, Wan akan mengawini Suri. Ini janji Wan!” Ayat terakhirnya benar-
benar menbuat hatiku berlagu riang.

Aku akan nantikan saat itu...

***

Suatu pagi...

“Hello, Suri.” Awal pagi itu aku mendapat panggilan dari Ikhwan.

“Wan, kenapa ni tiba-tiba aje call?” Biasanya dia tidak akan menelefonku seawal hari
ini.
“Good news! Tak lama lagi Wan akan dapat melihat semula...” Suaranya kedengaran
begitu ceria.

“ Betul ke ni?” Aku sungguh gembira dengan berita yang disampaikan Ikhwan.
Dalam hati, aku mengucap syukur kehadratNya.

“ Iye, sayang. Minggu depan operation .” Dari suaranya, aku tahu dia sudah tidak
sabar lagi melihat dunianya kembali.

***

Sebulan kemudian...

“Suri! Kenapa Suri cuba jauhkan diri dari Wan?” Walaupun hanya berbual melalui
telefon, suaranya jelas kedengaran tegang.

Ya! Selepas Wan mendapat ‘mata barunya’, aku sudah tidak menghubunginya lagi
mahupun berjumpa. Kali terakhir aku berjumpanya sehari sebelum dia diusung ke
bilik pembedahan. Sengaja igin menatap wajah Ikhwan sepuas-puasnya.

“Suri...cakaplah. Kenapa diam? Suri tak suka Wan dapat melihat semula?” Aku diam.
Tiada kata yang mampu ku ungkapan.

“ Suri..kalau Wan tahu akan jadi begini, Wan sanggup untuk tidak melihat selama-
lamanya asalkan Suri tak jauhkan diri dari Wan.” Nada suara Ikhwan berubah
kecewa.

Dihujung talian, hanya esak tangisku saja yang kedengaran. Bukan aku tidak mahu
bertemu Ikhwan tapi ada rahsia yang harus ku sembunyikan dari pengetahuannya.

“ Wan nak tatap wajah ‘mata hati’ Wan ni. Dan... Wan nak kabulkan janji Wan dulu
pada Suri. Kita jumpa, ok?” ‘Mata hati?’ Aku tersenyum mendengar perkataan yang
disebut Ikhwan itu.
***

Aku setia menanti Ikhwan di tempat dimana dia pernah melukis dulu. Di sini jugalah
tempat pertemuan pertama kami dulu. Sengaja aku datang lebih awal sebelumnya.
Apakah reaksinya nanti apabila melihatku?

Ikhwan sampai tepat pada masanya. Sewaktu dia sampai ditempat yang dijanjikan
bersama Suri, kelihatan seorang gadis buta turut berada di situ. Dia berasa serba salah
samada mahu terus ke sana atau menanti saja Suri di tempatanya berdiri.

Jantung aku pula tiba-tiba saja berdegup kencang. Aku dapat merasakan seperti
Ikhwan sudah berada dekat dengan diri ini.

Entah mengapa tiba-tiba saja kaki Ikhwan laju saja melangkah ke arah di mana gadis
buta itu berada. Seolah-olah gadis itu menggamit Ikhwan datang kepadanya.

Dengan ringan mulut, Ikhwan menegur. “Err...maafkan saya Cik. Cik dah lama ke
duduk dekat sini?” Sekilas dia memandang wajah gadis buta itu. Cantik! Sudah lama
dia tidak melihat keindahan ciptaan Ilahi itu.

“Ikhwan??? Awak Ikhwan kan?” Ikhwan terkejut kerana gadis buta itu tahu namanya.

“Ya..saya Ikhwan tapi macam mana...” Belum sempat Ikhwan menghabiskan kata-
katanya,gadis buta itu bersuara lagi.

“ Sebab saya Su..Suri...” Menggeletar aku menyebut namaku sendiri.

Adakah lelaki dihadapanku ini terkejut apabila mengetahui gadis buta yang dilihatnya
itu adalah aku? Bagaimanakah reaksinya? Sayangnya aku tidak mampu melihat.

“Suri??? Betul ke awak ni Suri? Ikhwan tahu Suri dulu tak macam ni kan?” Agakkan
ku tepat sekali. Ikhwan benar-benar terkejut.
Yang bermain-main di hatiku kini sanggupkah dia menerimaku seperti dulu?
Sanggupkah dia menunaikan janjinya dulu padaku? Aku pasrah andainya dia tidak
mampu menerimaku seperti dulu. Aku terima takdirNya andainya dia bukan untukku
lagi.

“Ya Allah...Suri, kenapa Suri sanggup buat ini semua? Kenapa Suri?” Ikhwan
memegang bahuku dengan kedua belah tangannya. Kuat!

“Sebab Suri sayangkan Ikhwan. Suri nak Wan tahu Suri sanggup berkorban apa saje
demi cinta kita ni. Dan paling penting, Suri nak tengok Wan melihat semula.
Walaupun Suri tak dapat melihatnya tapi Suri gembira.” Aku senyum.

“Suri nak tengok Wan melihat semula tapi Suri...” Suara Ikhwan kedengaran sedih.
Benar-benar menyentuh naluri wanitaku ini. Aku terdengar satu esakan kecil dekat
ditelingaku.

Tanganku meraba-raba wajah kacak milik Ikhwan. Walaupun aku tidak boleh melihat
lagi tapi aku tahu dia tetap lelaki paling kacak yang menghuni hatiku ini. Wajahnya
basah. Ya! Ikhwan menangis. Aku seperti tidak percaya air mata lelaki ini tumpah jua
akhirnya. Tidak semena-mena, air mataku mengalir. Bukan kerana menyesal
mendermakan mata milikku kepada putera hatiku ini tapi hatiku benar-benar terkilan
kerana telah menyebabkan air mata lelakinya tumpah.

“ Suri, Suri tahu tak pancaindera yang satu ini penting sangat? Suri tahu tak betapa
besarnya pengorbanan yang Suri dah buat ni?” Ikhwan menyeka air mataku. Mata-
mata yang melihat langsung tidak dipedulikan.

“Suri tak perlukan lagi...” Pendek aku menjawab.

“ Tapi kenapa?” Suara Ikhwan kedengaran terkejut.


“Sebab... Ikhwan mata hati Suri. Suri boleh melihat dan merasa getaran melaluinya”
Aku senyum lagi.

Perlahan-lahan aku merasakan pegangan tangan Ikhwan semakin kejap pada


tanganku. Terasa diri ini teramat dekat dengan dirinya.

“Suri..” Ikhwan memalingkan tubuhku mengadapnya.

“Sudikah Suri menjadi permaisuri hidup Wan? Bukan untuk seketika tapi untuk
selamanya...” Kata-katanya lembut menusuk terus ke jantungku.

Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Itulah satu-satunya ayat keramat yang aku
tunggu-tunggu selama ini.

Terima kasih Tuhan kerana menemukan diriku dengan lelaki ini. Aku yakin dialah
jodohku kerana Kaulah mata hatiku. Selama-lamanya...

Anda mungkin juga menyukai