Anda di halaman 1dari 8

ASING

Pada chapter ini mungkin adalah chapter paling


berkesan untukku. Aku akan menceritakan mengenai
seseorang yang datang saat ku terpuruk dan membuatku
lebih terpuruk setelah dengannya lalu hilang. Dia, dia
adalah orang yang ku temui di bulan desember dan
menjadi asing saat bulan februari. Dia akrab denganku,
menjadi teman ceritaku saat aku ngerasa capek banget,
penenang disaat ku sendu, pengobat saat ku jenuh dan
penyakit disaat ku rindu.

Aku bertemu dengannya dikampus, dia merupakan


seniorku di lembaga kesenian yang cukup terkenal di
sanggar seni karna dia adalah pemain musik yang handal
apalagi dia seorang drumer. Aku belum akrab dengannya
dan malah seperti orang asing yang masih canggung dan
malu untuk berkesah. Aku sempat digecap kagum
melihatnya bermain musik, hanya sebatas kagum semata.

Sewaktu itu aku sedang berbincang dengan


seorang seniorku di kampus, aku curhat mengenai semua
kisah cinta yang pernah kualami dan dia memberitahuku
bahwa ada senior yang sedang mencari narasumber
skripsinya mengenai toxic relationship dan senior itu
ternyata Dia dan seniorku menyarankan agar aku
menjadi narasumbernya. Dan disinilah awal mula
kisahku dengan seseorang itu dimulai.

Aku bertemu dengannya di kampus dan dengan


keberanian diri aku bertanya kepadanya mengenai tugas
skripsinya lalu menceritakan sedikit tentang toxic
relationship yang aku alami, dia tertarik dan menanyakan
apakah aku bersedia menjadi narasumbernya dan aku
spontan menjawab iya bisa, ya hitung-hitung bisa
mengenalnya lebih jauh. Setelah berbincang dengannya,
kami pun bertukar kontak Whatsapps untuk saling
berkomunikasi mengenai skripsinya.

Menjelang hampir seminggu, kami baru


menetapkan hari untuk wawancara, dan saat itu tiba-tiba
mood ku turun draktis sampai ku luapkan dengan
menangis, itu sebelum dia datang. Setelah dia datang,
aku memperbaiki moodku dan mengiyakan untuk
bersedia wawancara dengannya, dia menanyakan banyak
hal mengenai hubungan ku selama ini, toxic relationship
dan sesekali bercanda untuk mencairkan suasana.
Selepas wawancara itu kami intens berkomunikasi
entah itu tentang skripsinya ataupun hal pribadi lainnya,
aku mulai merasa nyaman berbincang dengannya.
Keesokan harinya, kami bertemu kembali dan rencana
mau membuat dokumentasi. Sebelumnya dia
mengajakku untuk makan di tempat makan yang ia pilih,
kami makan sambil bertukar cerita. Selepas makan, kami
ke cafe yang ada di dekat kampus, dia sibuk dengan
menulis skripsi dan aku hanya duduk diam sambil
meminum secangkir teh hangat dan beberapa kali
memandangnya. Aku mungkin menyadari bahwa ia
kagum dengannya, masih sebatas kagum.

Sepulangnya dari cafe hujan sangat lebat dan kami


pun pulang dengan baju basah karena jas hujan hanya
satu. Aku mengantarkannya pulang lalu aku berencana
menginap dirumah temanku, dia sempat menawarkan
kos nya untuk ku tinggalin sementara tapi jelas aku
bilang tidak usah karena tidak enak rasanya seorang
perempuan menginap di kos laki-laki. Ia mengizinkanku
pulang dengan catatan aku harus menginap di rumah
temanku terdekat untuk malam ini karena hujan deras
dan banjir, ia khawatir denganku karena kebetulan
rumahku sangat jauh dari area kampus dan waktu sudah
larut malam.

Sesampainya aku di rumah temanku, dia terus


mengabariku dan bertanya apakah aku benar-benar
dirumah temanku dan memberikan perhatian yang lain.
Sungguh aku terbawa perasaan dengan perhatiannya,
mungkin aku sudah mulai menyukainya.

Semenjak hari itu, tiga hari berselang kami dengan


intens berkomunikasi. Kami saling bertukar cerita seperti
biasa, namun bedanya sekarang dilengkapi dengan
bumbu perhatian dan itu membuatku semakin menaruh
hati padanya.

Suatu malam, kami telfonan hingga tengah malam,


yah aku tahu bahwa jam segitu pembahasan akan
semakin mendalam. Entah ada angin apa kami
membahas mengenai hubungan kami, dengan kode
apakah kedekatan ini hanya sebatas kakak adik. Setelah
perbincangan yang hangat itu, akhirnya pada 8
Desember dia menyatakan bahwa dia menyukaiku dan
saat itulah kami menjalin hubungan dan aku yang masih
tak menduga bahwa ini akan terkabul, ia menjadi
pasanganku. Sebenarnya ini adalah waktu yang sangat
cepat tapi aku tidak mau kehilangan momen seperti ini.

Awal-awal kami menjalani hubungan dengan


tenang dan aman, dia selalu memberikan perhatian lebih
untukku, menjadi support system, pendengar terbaik dan
ia menjadikanku treat like a queen. Aku merasa
beruntung sekali mendapatkannya yang tahu harus
berbuat apa saat penyakit kejiwaanku muncul, dia selalu
menjagaku dengan baik.

Suatu hari saat aku sedang latihan menari di


kampus, tiba-tiba saja kecemasanku kambuh dan aku
tidak bisa mengontrol diriku untuk tenang, aku hanya
bisa memberontak dan menangis sekencang-kencangnya.
Temanku hanya bisa memberikanku obat yang memang
sudah diresepkan oleh psikiaterku dan mereka
menghubungi dia untuk membantuku. Dia dengan sigap
langsung datang ke kampus dan entah mengapa saat
melihatnya aku langsung merasa tenang, ini aneh tapi
aku merasa rumahku datang. Ia langsung
menghampiriku dan menenangkanku sambil memelukku
secara erat lalu berkata “Tenang sayang, kamu baik-baik
aja kok, ada aku disini”. Sungguh aku sangat merasa
senang mendengar hal itu. Aku seperti ingin teriak kalau
aku sangat menyayangi nya dan kembali berfikir bahwa
aku takut kehilangannya.

Menjelang 2 bulan hubungan kami, mulai ada


sedikit keanehan pada dirinya yang membuatku tidak
mengenali dirinya, dia menjadi semakin jarang
memberikanku kabar dan kadang malah memakiku.
Sesekali ia menyuruhku untuk menemuinya dan aku
pasti mengiyakan, namun setelah itu dia kembali lagi
tidak mengabariku. Sakit? Iya, terus kenapa bertahan?
Karena aku sayang dan kalau aku bersikap egois karena
capek, kita akan selesai. Aku tidak siap menghadapi
kehilangan untuk kesekian kalinya dan itu denganmu.

Ajaib sih kenapa aku tetap bertahan dengannya


saat semua orang bilang “Udah, pergi aja dari dia” dan
aku hanya menjawab “Aku masih sayang”.
Aku tidak pernah merasa tersakiti olehnya yang
jarang ku jumpai dan jarang berbagi cerita denganku.
Mungkin rasa sayangku lebih besar daripada rasa
sakitku, dan aku memilih untuk tetap bertahan
dengannya.

Menjelang tiga bulan hubungan ini dipertahankan


dengan tidak adanya perubahan sikap darinya, aku hanya
bisa pasrah dengan semuanya dan tetap bersikap seolah-
olah ini hanyalah hal biasa karena ia sibuk dengan
kuliahnya dan pekerjaannya. Sampai seketika aku begitu
merasa bodoh saat dia menyatakan bahwa kami tidak
bisa lagi bersama, aku merasa sedih yang ku tumpahkan
dikertas putihku. Dia kenapa? Bosan padaku? Atau ada
yang lebih buat dia bahagia di banding aku? Entah aku
tidak tahu juga intinya kami menjadi dua orang yang
baru menjadi asing tanpa alasan yang pasti.

Ekspektasi ku adalah aku akan bertahan lama


dengannya, karena dengannya aku tahu harus berbuat
apa saat penyakit yang menggerogoti otak dan pikiranku
ini muncul. Dia yang biasanya menjagaku dengan
sepenuh hatinya dan dia yang tahu bagaimana aku, dan
akhirnya dia hilang tanpa sebab yang jelas, dikepalaku
bertanya “mengapa dia meninggalkanku?”

Berselang 2 bulan setelah dia meninggalkanku


kami bertemu kembali, aku awalnya merasakan cemas
yang amat dalam tapi aku mnegontrol diriku dengan
menghela nafas pelan-pelan lalu datang dan
menyalaminya. Kami seperti dua orang yang sama saat
pertama kali bertemu, canggung, diam, malu, bercampur
aduk di dalam perasaan. Namun, keesokan harinya dan
esoknya lagi kami bertemu terus, tapi entah mengapa aku
merasakan bahagia saat dia datang dengan tidak adanya
hubungan denganku. Dan inilah mungkin yang
dinamakan Ikhlas. Aku ikhlas dia dengan orang lain
asalkan aku dan dia bahagia dengan jalan kami masing-
masing. Terima kasih sudah pernah menjadi pelangi lalu
menjadi hujan lebat untukku. Aku mengibaratkan kamu
adalah senja ku yang hadir sesaat namun memberikan
ketenangan yang mendalam.

Anda mungkin juga menyukai