Anda di halaman 1dari 7

I CAN RECOVER

Ku perkenalkan kembali. Namaku Lia, Nachellia Febri Septia Manda. Kalian sudah
mengenalku dari perkenalanku di awal. Kali ini aku akan menceritakan mengenai sebuah tragedi
yang sampai saat ini aku rasakan. Sebuah kesan antara hidup dan mati yang aku alami.

Perasaan jiwa yang terkurung jauh itu membuatku merasa gelisah, takut, serta amarah yang
berlebihan. Terkadang terkendali dan kadang juga tidak. Perasaan yang terpendam lalu diluarkan
dengan ingin mengakhiri hidup ataupun berdiam diri akan mengganggu pikiranku.

Intro tadi adalah keluh kesahku, oke kita melangkah ke intinya. Kenapa aku milih cerita I
Can Recover, karena aku memiliki beberapa penyakit yang mungkin kebanyakan orang juga
dapat. Aku di diagnosa Sinusitis dan juga diagnosa jiwa, Bipolar affective disorder dan pada
episode depresif. Aku ingin berbagi cerita sedikit mengenai penyakitku ini.

Bipolar affective disorder adalah penyakit gangguan dengan adanya perubahan mood yang
biasa ditandai dengan dua fase, yaitu fase manic (sangat senang) dan fase depresif (sangat
terpuruk) dan aku mengalami bipolar episode depresif. Gejala yang ku alami itu adalah cemas,
gelisah, sedih sampai nangis, dan parahnya ada keinginan untuk bunuh diri. Aku dapat gejala ini
mulai dari sebelum masuk kuliah, aku merasa jam tidurku terganggu, selalu menangis tanpa
sebab. Hal itu berlanjut sampai bulan 3 aku beranikan diri untuk konsultasi ke dokter klinik dan
diberi rujukan ke rumah sakit untuk konsul ke poli jiwa. Sampainya aku konsul kesana dan
hampir sejam aku konsul sambil cerita, diagnosa ku benar kalau aku bipolar. Semenjak tahu itu
aku gak tau mau gimana, aku rasa cemas dan takut. Aku tidak pernah cerita ini ke orang tua ku
karena aku belum siap buat nerima respon mereka yang pasti bakal nyamain sama dirinya
sendiri.

Beberapa kali aku melakukan percobaan bunuh diri, mulai dari nabrakin diri di motor,
minum obat banyak dan overdosis, jatuh dari lantai 2 sudah ku coba semua. Kadang walaupun di
tempat yang ramai, aku ngerasa sendiri dan tiba-tiba menangis tanpa sebab. Aku merasa capek
minum obat, capek sama diri sendiri, pokoknya aku cape hidup, itu yang ada dipikiranku.

Aku sempat beberapa kali Up story tentang obat dan aku merasa senang saat teman-
temanku mulai dari teman jurusan, teman sanggar seni, sampai teman dekatku sendiri support
aku supaya lebih semangat untuk hadapi ini. “Kita orang terpilih yang bisa mgelewatin ini
semua” itu kata-kata dari teman SMA ku, Nenes. “Nunu you are strong, semangat yah, harus
bahagia” itu juga dari teman SMA ku, Dea. “Spirit everything will be fine, keep smiling” itu dari
seniorku di sanggar yang selalu susah di tebak sikapnya. Dan masih banyak lagi support system
yang lainnya.

Dari semua omongan mereka, aku merasa semangat buat hadapi penyakitku ini. Karena
lingkungan ku, aku bisa menerima diriku sendiri dan aku gak ngerasain sendiri. Terima kasih
buat kalian semua yang sudah mau jadi support system ku, aku gak bakal lupa saat-saat itu.

Tapi sebentar dulu, kali ini aku mendapatkan sebuah kejadian yang membuatku dan
keluargaku serta teman-temanku syok.

Setelah beberapa lama dari masa pandemi, akhirnya kampus terbuka kembali untuk semua
mahasiswa melaksanakan kulian offline, termasuk jurusanku. Dalam perasaan senang sekali
akhirnya bisa masuk kampus dengan teman-teman sejurusan serta belajar langsung tanpa
mengeluarkan kuota dan menghabiskan charger Hp ataupun laptop.

Beberapa mata kuliah kulalui dengan baik, aku sangat merasa excited dengan mata kuliah
yang ku idamkan dan memang itu adalah fashion ku. Namun, selama aku menjalaninya dengan
semampuku, aku terhalang dengan berbagai panggilan kontrol ku, kontrol ke poli jiwa dan juga
poli THT. Aku merasa terbengkalai dengan itu semua hingga aku sering absent dikelas dan tidak
mengikuti mata kuliah maupun praktikum. Aku yang sangat takut dengan jika turunnya nilaiku
karena orang tuaku yang mengharapkan nilaiku tinggi. Aku dilanda gelisah kembali. Walaupun
banyak orang dan sedang belajar, terkadang bipolarku kambuh dengan sendirinya. Aku kadang
tidak bisa mengontrol diriku dan terus menyakiti diri sendiri. Untungnya semua temanku tahu
dan para dosen pun tahu.

“Hah? Semua dosen tahu?”

Ya, semua dosen akhirnya tahu bahwa aku mengidap penyakit bipolar. Aku terpaksa
memberi tahu kepada dosenku yang mengajar dikelasku kalau aku sering absent dikarenakan aku
ada jadwal kontrol dan dosenku memaklumi lalu mencari tahu apa penyebab penyakitku itu,
akupun sendiri tidak tahu kenapa. Ketika beberapa menit aku ngobrol dengan dosen yang
mengajariku, dia tiba-tiba membawaku ke ruang ketua jurusanku. Dosenku menyuruhku untuk
menceritakan semuanya kepada ketua jurusanku agar semua dosen bisa mengerti kondisiku, dan
ya benar saja, ketua jurusanku pun peduli denganku dan berbicara bahwa kesehatanku adalah
yang paling penting. Alhamdulillah, akhirnya aku merasa lega. Hilang masalah satu.

Kembali lagi diruangan kelas yang dingin dengan suhu AC 18°C. Aku yang sedang asik
mebelajar tiba-tiba terpaku entah mengapa rasanya gelisah sekali dan tiba-tiba saja menangis.
Teman-temanku yang heran akan perlakuanku mulai mendekatiku, perasaanku malah tambah
kacau saat dikerubuni oleh teman-temanku hingga aku menangis keras lalu menjerit hingga
menyakiti diriku sendiri. Akhirnya teman-temanku memberitahu ketua jurusanku dan dia
menghampiriku saat aku sudah merasa tenang. Ternyata sebelum ia menemuiku, ia sudah
menelfon ibuku bahwa bipolarku kambuh. Aku dengan perasaan takut akan dimarahi oleh ibuku
langsung mematikan Hp hingga tidak ada yang menelfonku dan menanyakan kabarku. Setelah
itu aku pulang dengan sendirinya. Namun sebelum pulang, aku mampir ke cafe favoritku untuk
rehat sejenak dan bertemu teman-teman yang kuanggap luar biasa. Teman-teman yang
membuatku menerima keadaanku, mereka adalah teman-teman disabilitas tuli. Setelah lama
berbincang isyarat dengan mereka, aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 22.13 malam.
Aku bergegas memberskan barangku dan pulang kerumah. Dengan perasaan lega akhirnya aku
sampai dirumah. Namun sesampainya dirumah, aku merasa ada yang janggal lagi di hati, aku
membaringkan badanku dan terdiam dengan pikiran kosong lalu tidak lama tertidur.

Aku mengalami kambuh beberapa kali hingga aku mencoba untuk loncat lagi dari lantai
2 namun teman-temanku menghalangiku hingga aku kehabisan tenaga lalu pingsan dan di bawa
ke poliklinik kampus yang jaraknya sangat dekat dengan fakultasku. Sanking seringnya aku
mengalami kejadian yang sama, petugas poliklinik maupun dokter sampai menghafalku karena
mereka bilang hampir setiap minggu aku dibawa kepoliklinik dengan kejadian yang sama.

Sampai suatu ketika, semua itu terjadi....

Selasa pagi aku berangkat dari rumah menuju kampus yang menempuh perjalanan
hampir setengah jam dan saat itu aku memakai baju hitam putih dan jilbab biru, seragam saat
maba. Kelasku berinisiatif untuk ujian praktikum menggunakan baju itu dan semua setuju. Aku
dengan ceria nya berangkat menuju kampus.Saat itu jam pagi adalah jam untuk kuliah teori dan
aku sangat excited untuk belajar karena dosen yang akan mengajar adalah dosen panutanku.
Semua berjalan baik selama perkuliahan dimulai. Sampai akhirnya kejadian pun muncul. Aku
yang dari tadi terlihat dan merasa ceria, tiba-tiba saja merenung dan merasa gelisah dan cemas,
saat itu aku masih ada mata kuliah untuk kasus, tapi entah mengapa perasaanku tambah
memburuk dan aku memutuskan untuk pergi ke sekretariatan jurusan secara diam diam dan
hanya membawa tas tanpa alat lab serta laptop yang ku tinggalkan di lobi laboratorium. Aku
berbaring disana dengan rasa gelisah, lalu tiba-tiba datang seorang perempuan dan laki-laki yang
mengiraiku MABA, mereka adalah juniorku dan bertapa kagetnya mereka melihatku dengan
muka pucat dan mata yang berkaca-kaca. Mereka menyimpulkan bahwa aku sakit dan aku
beristirahat di sekretariatan.

Setelah beberapa lama aku didalam, tiba-tiba rombongan juniorku datang. Entah
mengapa aku semakin merasa tambah gelisah saat mereka ribut hingga aku berteriak dengan
nada tinggi kepada mereka “Kenapa ribut sekalii”. Seketika semuanya diam dan paham bahwa
aku sedang sakit, mereka mengecilkan volume suara mereka. Tidak butuh waktu lama akhirnya
mereka ribut kembali dan aku merasa cemas dan seperti tidak karuan. Seketika aku langsung
bangun dan keluar dari ruangan dan entah dari mana munculnya, aku mengikuti pikiranku yang
mengarahkanku ke tangga dan menaikinya hingga lantai 2, tidak ada satupun orang yang lewat
karena lantai 2 jarang digunakan untuk aktivitas kuliah, semua di alihkan ke gedung baru. Aku
yang sendirian berada di lantai 2 menangis tampa suara dan seperti ingin mengakhiri hidup. Aku
mencoba menaiki tralis pagar tangga dan ku pijakkan kaki ku di ujung tangga yang artinya jika
aku maju maka aku akan jatuh. Dari atas aku melihat ada beberapa juniorku yang sedang
berbincang di lantai satu tanpa memperhatikan keatas kalau ada aku disana yang sedang
menaruhkan hidup dan mati. Pikiranku yang tambah kacau mulai memikirkan untuk melompat
dan tanpa berpikir terlalu lama aku melakukan yang diluar dugaan dan terjadi di kampus.

“Brukkkk”

Aku jatuh dengan wajah dan badan depan menghantam lantai berlapis kramik, seketika
ku dengan suara teriakan memanggil namaku dengan histeris, setelah itu aku tidak sadarkan diri.
Aku tersadar namun belum bisa membuka mata, aku hanya mendengar kepanikan juniorku yang
melihatku berlumuran darah di mulut dan hidung serta ada yang sampai menangis melihat
kondisiku. Aku terbangun hanya beberapa detik untuk membuang darah dari mulutku karna aku
menelannya lalu aku kembali terbaring dengan menutupkan mata. Seketika teman-temanku
datang dan menyuruh juniorku yang laki-laki untuk mengambil tandu di poliklinik. Aku di bawa
kepoliklinik untuk sekian kalinya namun dengan kondisi yang lebih parah, mulutku yang masih
berlumuran darah di bersihkan oleh petugas poli dan membangunkanku. Aku bangun dengan
rasa sakit pada bagian belakang, mulut serta hidung, padahal aku baru saja operasi sinusitis. Aku
di bantu petugas poli untuk berbaring di ranjang, aku merasa sangat gelisah dengan rasa sakit
yang amat sakit di bagian pinggul dan belakangku.

Hampir sejam aku beristirahat di poliklinik, aku berjalan keluar dan meminta izin untuk
kembali ke fakultas. Dengan sendirinya dengan rasa amat sakit pada bagian belakang dan tanpa
alas kaki, aku kembali kesekretariatan. Sesampainya disana, aku kaget melihat om ku datang dan
seketika aku menangis, dia berbicara denganku bahwa aku tidak apa-apa. Kemudian aku
mendengar Hp ku berbunyi dan ternyata itu telfon dari ibuku, pasti dosenku yang mengabari
ibuku, dengan perasaan takut akan di marahi karena berbuat bodoh aku mengangkat telfon itu.

“Kamu kenapa nak? Bagaimana, udah enakan? Kenapa bisa jatuh? Tunggu tante mu
datang kesana ya” Kata ibuku dengan lembut.

Seketika aku menangis saat mendengar ibu berbicara.

“Jangan kasih tau ayah, aku takut nanti dimarahi” kata ku dengan suara tergetar

“Bagaimana ayahmu tidak tahu, ayah ada disamping ibu, kenapa juga ayah mau marah”
Aku terkaget mendengarnya. Tiba-tiba suara lelaki itu terdengar “Kenapa nak, istirahat aja dulu
ya, pulang kesini, ambil cuti aja gapapa, yang penting kesehatanmu” kata lelaki yang sudah
berkepala 5 itu. Aku sontak menangis dan memanggil ayah yang menandakan bahwa aku minta
maaf telah melakukan hal bodoh dan aku merasa sangat kesakitan sekarang.

Satu persatu keluargaku datang melihat keadaanku yang dengan tatapan kosong. Aku
dijemput pulang oleh tanteku dan sepupuku. Aku dibawah kerumah yang ku tinggali sendirian,
untungnya tanteku rumahnya pas berada di samping rumahku dan meminta tolong kepada
anaknya untuk menjagaiku selama sakit. Aku hanya bisa terbaring di kasur, sesekali
memaksakan diri untuk berjalan menuju toilet ataupun kedapur untuk makan.

Keesokan harinya aku mendatangi rumah sakit tempatku terapi psikiater dan saat
berhadapan dengan psikiater ku, aku menceritakan semua yang kualami. Ia meresepkanku obat
dengan menambah dosis obatku dan merujukkanku ke poli ortopedi untuk memeriksa
belakangku yang amat sakit.
Setelah mendatangi psikiaterku, esoknya aku kembali kerumah sakit untuk ke poli
ortopedi, setelah bertemu dengan dokternya, ia menyuruhku untuk foto ronsen dan saat selesai
hasilnya aku disuruh membawakannya ke ruangannya. Aku melakukan foto ronsen dan
menunggu selama sejam untuk melihat hasilnya. Setelah hasilnya keluar, aku membuka amplop
berisikan hasil foto ronsenku dan aku hanya melihat kebanyakan normal. Aku memasuki
ruangan dokter ortopedi dan memberikan hasilnya. “Saya baca normal aja dok” kataku dengan
ceplos. “Tidak, ini ada pergeseran di bagian ini (ia menujukkan tulang bergeser sedikit di
komputernya), oke kamu saya sarankan untuk melakukan fisioterapi”. Mendengar hal itu aku
langsung merinding karna sampai segitu parahnya.

Langsung saja, saat aku menemui dokter bagian fisioterapi dia menyuruhku melakukan
MRI, saat itu juga aku melakukan MRI selama satu jam lebih. Dari hasil MRI, doktek
menjelaskan bahwa ada pergeseran dan keretakan sedikit bagian tulang pinggul kiri dan ada
bantalan lumbal yang terjepit hingga bantalan tersebut keluar mendekati saraf dan akan menjepit
sarafku yang menyebabkan sakit yang menjalar hingga seluruh kaki bagian kiri. Aku yang masih
polos hanya mengikuti saran dokter. Namun selama 6 kali melakukan fisioterapi, tidak ada
perubahan yang aku dapat.

Aku memutuskan untuk pulang ke tempatku di besarkan dengan orang tuaku, aku
mengurus semua berkas cuti kuliahku, menyelesaikan administrasi ku dirumah sakit serta
berpamitan dengan teman-temanku termasuk teman-teman tuli kesayanganku. Namun sehari
sebelum aku berangkat, aku hanya ada di dalam kamar dan tidak kemana-mana. Hingga sekitar
pukul 9 malam aku merasakan gelisah dan ya bipolarku kambuh kembali. Aku menangis sejadi-
jadinya hingga ada telfon masuk dari tanteku yang ada di samping rumah, dengan terisak aku
bilang bahwa aku kambuh kembali dan dia bergegas kerumahku untuk melihatku. Dia
memelukku dengan erat dengan berharap aku bisa reda, namun aku malah makin menjadi-jadi
hingga terucap kata yang sangat tidak masuk akal dan ngelantur. “Bukan aku yang mau begini,
aku gak pernah minta di lahirkan begini, aku gak bisa apa-apa dan tidak bisa mengontrol
diriku, lebih baik mati saja”. Tanteku yang mendengar lanturanku itu langsung menyuruhku
istighfar dan menasihatiku. Aku terlelap sesaat selama hampir 2 jam menangis. Subuhnya aku
memperbaiki perasaanku dan bergegas untuk bersiap-siap berangkat.
Aku tidak menceritakan semua hasilnya kepada orang tuaku hingga aku pulang ke
tempatku dibesarkan bersama orang tua. Aku menjalani semua nya dengan seperti biasa namun
bedanya sekarang aku diperlakukan lembut oleh orang tua ku, yang biasanya aku sering
bertengkar dengan ibuku hanya karna masalah sepele akhirnya ibuku lembut terus terhadapku.

Aku masih merasakan sakit yang amat menyakitkan di bagian belakangku hingga ibuku
menyarankanku untuk membawaku ke tempat fisioterapi. Sorenya aku di antar oleh kedua orang
tua ku untuk melakukan fisioterapi. Aku membawa hasil MRI ku dan melakukan fisioterapi.
Seketika seseorang yang merawat fisioterapiku menjelaskan tentang apa hasil MRI ku. Dan
bertapa kagetnya aku saat mendengar kemungkinan jika saraf terjepit akan mengakibatkan
lumpuh. Aku tidak mendengarkan itu dari petugas fisioterapi, melainkan dari ibuku.

Mendengar hal itu aku mulai putus asa dengan yang terjadi padaku. Aku tidak memiliki
teman dekat untuk diajak bicara, aku tidak memiliki pasangan yang bisa mensupportku, hanya
diriku sendiri dan keluargaku yang kuandalkan. “Apa dosa ku banyak hingga aku diberikan
penyakit yang banyak ini?”

“Banyak??” ya, karena ternyata dari hasil MRI aku juga mengalami kista pada ovarium
kiriku yang membuat perut bawah bagian kiriku sangat sakit. Sekarang aku hanya bisa pasrah
dengan apa yang kualami dan berusaha untuk sembuh karena aku masih memiliki cita-cita yang
banyak belum tercapai.

Anda mungkin juga menyukai