Anda di halaman 1dari 5

JERIH PAYAH

KARYA: PUTERI GADIZA GUNAWAN

Hidup seperti kebanyakan orang sangat aku dambakan. Tapi, semenjak aku duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas hal itu hanya bisa menjadi imajinasiku. Tak pernah terpikir
sebelumnya bahwa hidupku akan menjadi seperti ini. Menghadapi penyakit yang semakin
hari semakin menggoroti tubuhku dan entah sampai kapan aku akan menjalani kehidupan
seperti ini.

Aku Nala seorang siswi kelas 2 SMP yang sedang dalam masa remaja. Pada awalnya,
kehidupanku berjalan sangat normal seperti anak-anak lainnya. Tetapi entah sejak kapan aku
di diagnosa mengidap penyakit Efusi Hip Dextra yang membuatku susah berjalan sehingga
sebulan terakhir ini aku terpaksa bolak-balik rumah sakit.

Frustasi? Iya.
Capek? Banget.

Hari-hari harus meminum obat yang tak ada habisnya. Mulai dari obat kecil maupun besar,
bubuk maupun tablet, manis maupun pahit semua sudah kucoba untuk mencegah penyebaran
virus yang menyerang pinggul kananku. Perasaan ingin menyerah terhadap keadaan yang
kuhadapi selalu muncul di benakku, tetapi mengingat semua perjuangan kedua orang tuaku
rasanya sangat tidak adil jika aku menyerah di sini bukan?

Salah satu hal yang membuatku dapat melewati semua keadaan ini karena dukungan dari
kedua orang tua, saudara dan beberapa teman dekatku. Aku bangga dan bahagia mempunya
keluarga yang hangat dan perhatian, yang selalu mendukungku di saat aku mulai capek dan
lelah dengan semua ini.

Hari-hari yang aku lalui sangat menyenangkan hingga hari itu datang. Hari dimana aku
mendadak lumpuh dan tak bisa berjalan. Hari dimana semua hal yang membahagiakan sirna
dan musnah. Hari dimana waktu terasa sangat lambat berjalan. Saat itu, malam jumat
menjelang isya aku sedang bercanda tawa bersama ibuku. Tawaan yang renyah mendadak
berubah menjadi tangisan. Kejadian nagis terjadi ketika aku mendadak tak bisa menggunakan
kaki kananku. Ibu yang melihatku pun kaget dan langsung membawaku ke rumah sakit
terdekat. Beberapa hari berlalu setelah kejadian tersebut terjadi. Kini aku terbaring lemah di
salah satu ruangan yang ada di rumah sakit ini.

“Tok tok…” Salah satu dokter dan perawat masuk ke ruanganku dengan raut wajah yang
kurang mengenakkan lalu berkata.

“Mohon maaf, bisa bertemu dengan walinya Nala?”

Ibuku pun menjawab “Iya, saya ibunya Nala.”


Ibu dan dokter pun bercakap-cakap tentang kondisi yang aku alami. Walau jarak mereka
mereka dan diriku terbilang cukup jauh, tetapi aku masih bisa mendengar samar-samar
percakapan mereka. Obrolan yang mereka lakukan terbilang cukup lama sehingga
membuatku merasa bosan. Ketika aku sedang mengambil gelas minum di samping brangkas,
tak sadar aku menjatuhkan gelas tersebut ketika mendengar obrolan dokter bahwa aku harus
segera di operasi jika kondisiku terus memburuk. Mendadak berbagai macam pertanyaan
muncul di benakku. Apakah aku bisa sembuh? Apakah aku bisa berjalan normal lagi?
Apakah operasinya akan berjalan lancar?

Ibu, dokter dan perawat tadi langsung menghampiriku ketika mendengar suara pecahan kaca
yang aku jatuhkan. Dengan sigap perawat tadi langsung membersihkan gelas kaca yang aku
jatuhkan tadi. Ibu dan dokter langsung menyemangatiku dan mengatakan “Tidak ada yang
bisa mengukur kuasa Tuhan. Oleh karena itu, tetaplah berdoa dan beribadah agar penyakit
kamu bisa diangkat dan disembuhkan, kamu jangan berkecil hati, harus tetap semangat!
Okey?”

Aku tersenyum kikuk, bagaimana tidak… Operasi? Tak pernah terpikirkan di umurku yang
masih menginjak 14th ini aku akan operasi?

“Nala, Mama tahu kamu sedang berjuang melawan penyakit kamu. Kamu harus tetap
semangat ya nak? Jangan putus asa dan menyerah. Mama sama Papa selalu menjadi garda
terdepan Nala apapun yang terjadi.” Ucap Mama padaku.

Ketika mendengar perkataan Mama, hatiku pun luluh. Bagaimana bisa aku menyerah dan
berputus asa jika mempunya penyemangat seperti inikan?

Hari berganti. Seperti biasa, aku harus menjalani perawatan layaknya hari-hari sebelumnya.
Dua bulan kedepan Ujian Semester akan diselenggarakan. Sementara sudah seminggu aku
tidak mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah, tetapi kondisiku yang seperti ini tidak
memudarkan semengat belajarku. Beberapa temanku juga sering menjengukku dan
mengajarkan materi-materi yang mereka pelajari di sekolah. Mereka pun tak lupa
mengirimiku pesan sebagai penyemangat dan pengganti jika mereka tidak bisa menjengukku
langsung di rumah sakit.

Ibu dan Ayahku juga memanggil guru privat agar aku tidak ketinggalan pelajaran di sekolah.
Dukungan dari teman-teman dan sanak keluarga tidak pernah berhenti untuk
menyemangatiku. Meski begitu, rasa cemburu dan iri tetap melanda diriku. Siapa yang tidak
cemburu melihat teman-temannya dapat bermain, berjalan dan berlari layak orang normal
sementara dirinya tak bisa melakukan hal tersebut? Terkadang aku iri terhadap teman-
temanku yang tidak menyayangi dan mensyukuri apa yang telah Ia peroleh hari ini.

“Ma, kenapa ya aku bisa mendapat penyakit seperti ini? Tuhan gak sayang aku ya?” Ucapku
sedih.
“Hush, gak boleh ngomong begitu. Justru karna Tuhan sayang kamu makanya kamu di beri
cobaan agar kamu bisa mensyukuri apa yang kamu miliki sekarang. Semua hal negatif yang
kita dapati pasti memiliki makna positif dibelakangnya.”
“Tapi kenapa harus aku, Ma?” Ucapku sambil menangis.
“Setiap orang di dunia pasti memiliki cobaannya tersendiri sayang. Kita gak bisa mengukur
kadar cobaan tiap orang, karena setiap orang pasti memiliki cobaannya tersendiri.” Kata
Mama sambil menenangkanku.

Setelah beberapa hari, ternyata kondisiku semakin memburuk. Pikiran-pikiran yang ada di
kepalaku semakin aneh.

“Ma, kalau misalnya operasinya gagal gimana?” Tanyaku tiba-tiba.


“Kok kamu ngomong gitu? Nala, kamu harus tetap berpikir positif kedapannya sayang. Kamu
mau sembuhkah? Bagaimana caranya kamu sembuh kalau pikiran kamu saja gak bisa
ngebuat kamu sembuh?” Balas Mamaku.
“Aku takut ma. Bagaimana kalau orang-orang pada menjauh kalau tahu aku penyakitan.
Bagaimana kalau misalnya aku dikucilin karena gak bisa jalan? Bagaimana kalau nanti aku
sudah gak bisa hidup normal kayak teman-teman yang lainnya? Aku sudah coba untuk tetap
berpikiran positif ma, tapi aku tetap gak bisa hilangin ketakutan aku.” Jawabku.
“Iya Nala. Wajar kamu berpikiran kayak begitu, tapi kamu gak bisa jadikan itu sebagai alasan
agar kamu menyerahkan? Mama selalu ada buat kamu kok, Nala kalau ada apa-apa cerita ya
nak. Jangan di pendam.”

Karena kondisiku yang terus memburuk, akhirnya dokter menyarankanku untuk konsultasi
dengansalah satu psikiater kenalannya yang ada di kota. Ayah dan Mamaku pun setuju untuk
melakukan konsultasi bersama psikiater tersebut karena akhir-akhir ini aku terlalu stres
memikirkan kondisiku kedepannya.

Setelah konsultasi dengan psikiater kenalan dokterku. Aku di diagnosa disorder bipolar yang
membuat suasana hatiku mudah berubah dan sering depresi. Setelah mengetahui hal tersebut,
aku menjadi tambah stres. Bipolar? Penyakit yang satu saja belum selesai sekarang sudah di
diagnosa penyakit baru. Pikiran-pikiran aneh terus berdatangan di kepalaku. Tetapi kedua
orang tuaku selalu meyakinkanku untuk tetap berpikiran positif dan menghiraukan hal-hal
yang tidak penting.

Semakin lama kondisiku pun semakin memburuk. Di tambah diagnosa penyakit baru yang ku
derita membuatku semakin berkecil hati. Karena kondisiku yang buruk, dokter memutuskan
untuk segera megoperasiku. Operasi yang aku lakukan akan dilaksanakan seminggu lagi.
Dalam seminggu itu, teman-teman dan orang tuaku selalu berdatangan menyemangatiku dan
membantuku untuk tetap semangat.

Hari berganti. Hari ini adalah hari di mana aku akan di operasi. 12 jam sebelum di operasi,
aku di suruh untuk puasa makan dan minum sebagai persiapan sebelum operasi. Ketakutan
melanda pikiranku sebelum memasuki ruangan operasi. Sebelumnya, aku sudah di suruh
berganti pakaian memakai jubah dan ikat kepala untuk operasi. Saat memasuki ruangan
operasi, dokter yang menanganiku selalu mengajakku cerita agar ketakutanku berkurang.
Sesaat setelah bercerita, tiba-tiba aku terbangun. Ternyata saat bercerita dengan dokternya
tadi, obat bius yang di suntikkan di infusku sedang bekerja.

Setelah 2 jam berada di ruangan operasi, para perawat membawaku ke ruang tunggu.

“Dek kamukan habis operasi, nanti selama 24 jam gak boleh bangun dulu ya, soalnya
pengaruh biusnya masih ada. Besok pagi nanti ada perawat yang datang gantiin perbannya
sekalian sama dokternya buat check keadaan kamu.” Ucap salah satu perawatnya.

Ternyata operasi tidak semenakutkan yang aku kira. Dokternya yang ramah dan perawatnya
yang baik membuatku nyaman di ruang operasinya. Tidak lama, Mama dan Papaku datang
dan melihat keadaanku.

“Kamu gapapa sayang?” Tanya Mama padaku.


“Iya ma, tapi kakinya gak bisa di gerakin.” Jawabku.
“Iya nak itu pengaruh obat biusnya, kita balik ke kamar ya?” Ucap Mamaku.

Setelah itu, para perawat mengantarkanku ke kamar perawatanku. Pengaruh obat biusnya
masih kuat yang membuatku tertidur pulas setelah sampai di kamarku.

Hari terus berganti. Sekarang adalah minggu ke-2 setelah operasiku berlangsung. Selama
seminggu terakhir ini aku selalu di rutinkan untuk terapi. Selain rutin terapi, aku juga selalu
rutin berkonsultasi dengan psikiaterku. Akhir-akhir ini kondisiku semakin membaik yang
membuat obat-obatan untuk penyakit bipolarku berkurang.

Berjuang melawan penyakit seperti ini tidaklah mudah. Aku merasa capek dan lelah
menjalani semua pengobatan dan terapi yang selama ini aku lakukan. Berada di gedung
rumah sakit sangat membosankan. Hari-hari di ruangan ini membuatku merasa jenuh.
Teman-temanku juga sedang sibuk belajar menghadapi Ulangan Tengah Semester dan akan
diselenggarakan minggu depan yang membuat mereka susah untuk menjengukku.

Mungkin, Mama melihat kondisiku yang kurang baik akhirnya mengajakku berjalan-jalan
keliling rumah sakit. Kami pun berbincang-bincang selama di perjalanan. Setelah beberapa
menit mencari udara segar, mama pun mengajakku kembali ke ruanganku.

“Jedor!”
“Happy birthday Nala!” Ucap teman-teman kelasku.
“Selamat ulang tahun Nalaku sayang.” Ucap mama.

Bagaimana bisa aku melupakan hari ulang tahunku sendiri? Ternyata hari ini bertepatan
dengan hari ulangan tahunku yang ke-15th. Perasaan bahagia yang berada di benakku ketika
melihat semua teman-teman, guru maupun kedua orang tuaku menyemangatiku.
“Nala, kamu harus sembuh ya!” Ucap Rika.
“Iya ini Nala, kelas jadi sepi karena kamu gak ada.” Balas Nio.
“Pokoknya Nala harus sembuh ya! Kami selalu nungguin kamu La. Teman-teman yang lain
juga pada kangen sama kamu. Kamu harus semangat ya!” Ucap Tania selaku ketua kelasku.
Tidak pernah terpikirkan bahwa aku menjadi salah satu anak yang beruntung memiliki
keluarga dan teman yang sangat mendukung dan selalu menyemangatiku. Hal-hal buruk di
kepalaku juga sirna bersamaan dengan canda tawa yang berada di ruanganku. Mungkin
mama ada benarnya, setiap hal negatif pasti memiliki sisi positif dibelakangnya. Mungkin
dibalik perjuanganku melawan penyakit ini bisa menjadi pengalaman agar aku lebih
mensyukuri hal yang aku miliki sekarang.

Karena kondisiku yang terus membaik, dokter akhirnya menyarankan aku untuk pulang dan
beristirahat di rumah. Selama di rumah, aku akhirnya mulai bersekolah seperti biasa tetapi
aku masih membutuhkan alat bantu kursi roda karena kakiku yang sudah di operasi belum
bisa menerima tekanan atau menjadi tumpuanku berjalan.

Seiring berjalannya waktu, kondisiku pun semakin membaik. Dengan bantuan perawat serta
keluargaku, aku menjadi bisa berjalan seperti biasa. Terapi yang tiap hari aku lakukan, obat
yang tiap hari aku minum sekarang membuahkan hasil. Penyakit yang ku derita sekarang
mulai sirna. Matahari yang tenggelam sekarang mulai terbit dan menyinari kehidupanku.
Sekarang aku menjadi siswi normal seperti biasanya. Bahagia rasanya, kini aku sudah berada
di akhir perjuanganku. Mungkin ini adalah akhir dari perjuanganku melawan penyakitku.
Tapi, ini adalah awal perjuanganku memulai kehidupanku yang baru.

Anda mungkin juga menyukai