Anda di halaman 1dari 5

Lebih Dari Sahabat

– Beberapa tahun lalu, seorang sahabat karibku menelpon ku, sekitar pukul 10 malam. Saat itu
aku menginap di rumah kakak tertuaku, awalnya niatku adalah menemani beliau karena buah
hati pertamanya sedang demam. Tapi karena telpon itu, dari seorang sahabat yang sedang
merantau demi sebuah ilmu, mau tak mau, aku harus meladeni curahan hatinya.

“aku mau lepas jilbab mi” itu kalimat selanjutnya, setelah dia bercerita ini itu. Jujur, aku bingung
mau memberi respon apa, aku takut salah. Tidak jarang bahkan sering sekali teman bahkan
saudara meminta pendapatku, dengan senang hati aku memberi masukan, kritik, bahkan pujian.
Tapi untuk satu hal ini, lidahku kelu beberapa saat.
“rambutku rontok, banyak deh mi. dokter aja kasi saran supaya aku lepas jilbab” ocehnya lagi.
Aku memilih untuk mendengarkan saja. “tapi aku bingung mik, tar kalau ketemu abah mau bilang
apa ya?, kayak apa mik?” ini yang kutakutkan, aku bahkan belum pernah merasakan jilbab,
selain pada saat saat tertentu seperti bulan ramadhan dan idul fitri. Namun, jujur, aku kelu. Aku
tak pernah mudah memaksa seseorang untuk melakukan satu hal, begitu juga aku, tak akan
pernah melakukan sesuatu tanpa koreksi dari buah pikiranku sendiri. Sekarang, seorang karibku
bertanya, harus apa dia saat jilbab tak lagi tutupi auratnya, hidayah yang dia dapat beberapa
tahun sebelumnya tak jauh semenjak Kindah lulus sekolah menengah atas ada dimana?apa ini
pengaruh hidup di kota terbesar di Indonesia ini?begitu hebatkah arus itu, sehingga mampu
merontokkan keyakinan dan menghilangkan hidayah itu?

Aku jadi teringat, beberapa saat sejak hari kelulusan UAN di umumkan, aku dan beberapa teman
bebas berkeliaran. Maklumlah, otak kindah habis di ubek-ubek oleh ujian tiada henti, mulai try
out sana sini hingga test final. Sekedar melihat lihat universitas atau sekolah akademik yang
Kindah minati, itu sudah jadi kegiatan rutin ku.
Suatu hari, seorang teman mengajak ku jalan. Seorang teman yang berbeda agama mengajak
ku ke rumah teman yang berbeda agama pula dengan aku dan dia. Sebuah kisah klise manis
hidup ya, aku memang terbiasa bergaul dengan orang dari kalangan apa saja, tak terkecuali
agama. Entah mengapa, pagi itu aku ingin berpenampilan lain. Ya, aku menggunakan jilbab,
walau hanya seadanya, dan hanya menutupi leher hingga atas dada bahkan, aku
menggunakannya. Aku berpose cukup lama di depan cermin, sambil memuji diriku sendiri.
Terbersit saat itu dalam pikiran ku kalau tar keterima di fakultas kedokteran, aku mau pake jilbab
ah. Niat yang terpuji dan niat yang tak terlaksana hingga aku menikmati bangku kuliah, bukan
fakultas kedokteran tentunya.
Saat itu, aku sedang dekat dengan salah satu teman priaku, sebut saja dia didi. Sewaktu aku
mengenakan jilbab di hari itu, tanpa sengaja aku melewati rumahnya, dan tanpa sengaja pula
didi melihat dan melambai padaku. Dengan bentuk mulut yang menanyakan padaku, mau
kemana?, aku pun hanya dengan isyarat menunjuk arah rumah teman ku itu. Dia mengangguk
dan melambai lagi padaku
Tak lama, sebuah message masuk ke inbox hp ku
Indah manis deh pake jilbab. Pengirim : didi smupa
Serrrrr…………hati ku berdesir. Aku di puji, dan sedari tadi bukan dia saja yang melakukannya,
tapi teman ku yang sedang memboncengku dengan sepeda motor, yang bahkan lain agama
dengan ku, tak menampik hal tersebut.

Saat sampai dirumah teman ku yang lain, dia beragama hindu, satu pertanyaan dan
pernyataannya menyeretku dalam kegelisahan
“mik, pake jilbab sekarang?wah cantiknya, calon ibu dokter”

Eh indah, pakai jilbab, aku kira sapa? Ita keluar dan menyapaku
Dulu aja pakaian kayak mahasiswa pendaki alam, preman abis deh pokoknya. Sekarang baju
dan jilbab gak kalah besar ya.
Kalimat itu terlontar dari mulut seorang sahabat karibku yang lain.
Degh…rasanya hati ini bingung. Sedemikian besarkah perhatian orang orang pada perubahanku
ini. Aku kan bukan sapa sapa, Cuma indah yang ribut dan suka jalan malam.

Seorang ibu setengah baya yang duduk disamping kindah ikut nimbrung
“iya tha, aku dulu gak jilbaban. Sekarang kan udah pake” senangnya ada yang sejalan
menurutku
“apalagi sekarang udah gag selangsing dulu, hahahaha…setidaknya ni perut n bagian bagian
lain yang buncit bisa gag keliatan gara- gara pake jilbab kan” lanjut ibu tersebut
Aku terlongo dan bingung mau nanggapi apa, satu pertanyaan terlintas saat itu, kalau ibu gak
buncit, masih langsing, jilbabnya tetep mau di pake gak ya? Tapi hingga aku pulang, pertanyaan
itu tak terlontar, cukup buat aku sendiri.

Sebuah dialog keluarga dengan seting tempat di dalam mobil, saat hendak pergi makan di luar
rumah.
“ kamu gak ikut organisasi apa apa mik di kampus”? Suara babe
“ gak ah,” jawabku seperlunya
' ah payah kamu tuh? Mau jadi apa kalau Cuma jadi mahasiswa yang kerjaannya belajar dan
jalan jalan aja. Masuk BEM kek, organisasi apa kek
“ iya mi, aku dulu ikut BEM, walau Cuma jadi anggota pelengkap'. Kata kakakku
“ kuliahku sibuk pah, tugas lapangan, belum lagi kalau udah pulang, aku cape, ikut ikut gitu kan
nyita waktu cukup lama. Lagian aku sejak smp sampai sma udah puas ikut organisasi. Aku gak
mau ikut BEM, politik mahasiswa, aku gag suka politik.” Jawabku tegas
“ yah jangan ikut BEM. Kayak pusdima, organisasi yang lain lah, emang di kampus Cuma ada
BEM” sanggah babe enteng
“ gak semudah itu ikut pusdima pah.” Kakakku yang lain menimbrungi “itu anggotanya harus
pake jilbab, jilbabnya besar besar pula
“ makanya kalau gak pake jilbab gag boleh masuk?
“ ya gak boleh lah, namanya juga pusdima loh pah”
“ ya udah, kamu pake jilbab aja mi. gampang kan”
Aku gak tahu, saat ini air mataku sempat menggenang tapi kutahan. Mama membisik padaku,
sudah, anggap aja gak ada yang ngomong apa-apa
Aku juga gak tahu menangis karna apa, tapi jujur, diskusi singkat itu begitu menohok padaku.
Apalagi, masih segar di kepalaku, bagaimana aku harus mencari sendiri uang untuk mendaftar
ikut tes masuk perguruan tinggi dimana aku kuliah sekarang, karna, kalau sudah babe gag
setuju, aku Cuma gigit jari, yang lain angkat tangan. Sekarang saat beliau memberi masukan
untuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan tersebut, aku sempat merasa bingung. Baru beberapa
hari yang lalu, tawaran seorang kakak tingkat agar aku mengikuti seleksi penerimaan anggota
BEM kampus aku tolak, padahal beliau jelas jelas memberi tahu bahwa aku masuk dalam
kandidat sekretaris BEM pada saat itu. Aku tetap menolaknya. Mungkin bodoh, tapi aku tetap
bersyukur.
Aku menghindari beliau, males banget ketemu beliau. Paling tanggapan n sarannya itu itu saja,
pikirku. Walau sebenarnya beliau amat baik dan merupakan urat nadinya FKM tempatku kuliah.
Iy, ibu dekan fakultas. Seorang ibu yang membuat aku terkesan dan menjadi panutanku, pendiri
FKM di universitasku ini. Aku yang sejak dulu adalah penganut feminimisme, teramat terkesan
dan terinspirasi dari tokoh tokoh wanita yang sukses. Apalagi kalau mengingat penindasan dan
sikap minoritas pada wanita, darahku mendidih dan naik pitam saat itu juga.

Baru saja aku meninggalkan lorong dimana ruangan dosen terkumpul, ibu dekan keluar dari
salah satu ruangan. Mau tak mau, dan tak mungkin menghindar. Aku menyapa beliau, tapi lagi
dan lagi, satu kalimatnya menohok aku
“tu, tinggal pake jilbab aja indah. Udah cocok loh, kapan?” tanyanya. Dan hanya kujawab dengan
senyum dan tawa yang garing, segera aku melesat meninggalkannya. Ser..darahku mendidih,
agh,,,,pasti si babe termakan omongan si ibu. Saat itu aku kesal pada beliau.

Suatu hari, sepulang babe dari rapat di kampusku, beliau memberi wejangan selingan, ku sebut
begitu, karna beliau memberinya dengan santai dan tanpa kesan apa apa. Yah, beliau menjadi
ketua IKOMA (Ikatan orangtua mahasiswa) di kampusku. Otomatis, beliau menjadi dekat dengan
ibu dekan dan beberapa dosen lainnya, bahkan itu menjadi ajang reuni beliau, karna sekretaris
IKOMA adalah saudara jauh mama, dan bendahara IKOMA adalah teman seperjuangan saat
beliau masih kuliah dulu. Dunia memang kadang selebar daun kelor ya.
“ mi, babe di titipi pesan tu ama bu dekanmu”
“pesan apa pah?” aku mengernyitkan dahi, perasaan IP ku baik baik saja, aku gak pernah buat
masalah, aku juga gak pernah masuk ruang BP seperti SMP dan SMA dulu.
“gini kata bu dekan, pak si indah itu loh, di suruh pake jilbab. Kan bajunya udah sering ketutup
gitu, tambah bagus kalau pake jilbab” kata babe menirukan gaya bicara bu dekan, dan sudah
yang kesekian kalinya.
Aku tertohok kesekian kalinya, entah bagaimana rasanya, hambar ataukah asin. Entahlah .
“pake jilbab napa mi?babe perhatikan dosen n teman temanmu banyak yang pake jilbab loh,
dengan kamu pake jilbab kan, mereka akan bisa dengan mudah kamu dekati”
Aku mencibir dalam hati, sapa bilang aku perlu jilbab untuk mendekatkan diri dengan dosen dan
teman temanku.
“gag pake jilbab juga IP ku bagus kan pah, paling bagus malah di kelas” lirih aku berkata sambil
pergi ke loteng. Masih sempat ku dengar babe bertanya, aku berkata apa barusan, tapi tak
kugubris.

Aku kenal seseorang yang amat baik agamanya sejak kecil. Sebut saja dia ira. Ira anak yang
aktif di masjid dan cerdas di sekolah. Matematikanya keren dah pokoknya, ira anak pertama
dalam keluarganya. Bapaknya hanya pegawai biasa, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga
yang mengurusi anak dan suindah. Berbeda sekali dengan aku, kedua orang tuaku adalah
pegawai negeri sipil dengan profesi guru. Bahkan babe merupakan dosen salah satu UT di kota
ini, mama bahkan sudah jadi Kepsek sejak aku kelas 1 sd.

Ira aktif sekali di mesjid lingkungan Kindah, sejak kecil dia sudah terbiasa menggunakan jilbab,
walau tak memakainya ke sekolah. Tapi tabiat ira amat baik, usia SD saja, bacaan alQurannya
fasih, bahkan pada kelas 3 sd, dia sudah mengkhatamkan alQuran 2 kali. Nah aku, Iqro aja
belum habis-habis. Aku paling males kalau udah di ajak keluar ba’da isya untuk bergabung
dengan teman temanku yang lain belajar mengaji pada guru agama setempat.

Kadang aku iri dengan ira, cerdas, baik hati, gaya bicaranya lemah lembut, di masjid dia salah
satu pengurus dalam organisasi anak anak masjid, bahkan tanpa keistimewaan apa apa selain
kecerdasan dan kesantunannya, ira menjadi salah satu murid yang disayangi oleh guru guruku.
Puasanya aja udah full loh, signifikan banget ama aku.
Tapi, tanpa aku sadari, sekian lama Kindah bersahabat dan tumbuh bersama, ira ternyata tak
nyaman dengan hidupnya. Dia ternyata diam diam kagum padaku. Itu terbukti selama jaman
Kindah SD, ira suka sekali membandingkan keadaan ekonomi keluarga Kindah. Yah, sejak SD,
aku udah di antar babe pake mobil, lagi pula, sejak pindah dari rumah dinas, jarak antara rumah
baru dan SD tempat aku bersekolah dan mama menjadi Kepsek jadi lumayan jauh.

Ira suka iri, bahkan suatu hari, ibu ira pernah berkata padaku.
“enak ya indah, mau ikut les dan try out dimana mana gampang” saat itu kindah kelas 6 SD, les
dan try out sangat ramai dan marak di mana mana, salah satunya dilaksanakan di hotel
berbintang di kota kindah beberapa waktu lagi. Aku sudah mendaftar dan mengajak ira untuk ikut
pula. Aku tak mau seorang diri, teman teman yang lain tidak berminat
“orang kecil kayak ibu ini, gag sanggup biayai ira, apalagi tempatnya mewah gitu” lanjut ibunya
saat itu. Padahal, biaya try out itu cukup murah menurutku, hanya sekitar 25 ribu saja. Memang,
pada masa itu, uang segitu amatlah banyak, bisa beli beras, gula, minyak, n kebutuhan rumah
tangga lainnya. Bahkan harga susu sekotak pada masa itu, hanya 5-8 ribu perak. Itu udah kotak
besar loh.

Sepulang dari rumah ira pun, aku akhirnya merengek pada babe, supaya mau juga
membayarkan uang try out buat ira. Beliau tahu aku amat dekat dengan ira, sehingga tanpa ragu
beliau pun mengiyakannya. Jadilah Indah try out bareng ke hotel besar itu, waw…bagusnya
Indah saat itu. Pulang pergi Indah di antar jemput babe pake mobil, trus pulangnya makan
bakso terenak di kotaku. Ira senang sekali, aku juga puas, bukan karna try outnya, tapi itu
pertama kalinya Indah pergi berdua sejauh itu. Walau dengan babe tentunya.

Ibu Ira sampai menelpon kerumah untuk sekedar mengucapkan terima kasih. Ah, ira,,,anak alim
yang hitam manis itu, tak kusangka. Semua berakhir dengan kisah kisahmu yang membuat
meringis.

Lulus dari SD dengan predikat kelulusan terbaik pada Kindah berdua, membuat Kindah melaju
ke salah satu sekolah menengah favorit di kotaku itu. bukan favorit seantero kota memang, tapi
cukup berbobot, mengingat daerahku adalah pinggiran kota. Hari pertama masuk, mama
mengenalkanku pada salah satu teman kuliah seperjuangan babe (diatas telah kusebut,
bendahara IKOMA itu), ternyata anaknya, sukma, juga masuk sekolah yang sama denganku.
Jadilah Indah berteman akrab saat itu juga, segera aku mengenalkan sukma pada ira. Kindah
jadi sering kemana mana bertiga. Sayangnya, Indah di tempatkan di kelas yang berbeda-beda.
Karna ini lah jua keakraban Indah memudar seketika. Pada saat itu masih ada istilah caturwulan
1, 2 dan 3. Pada saat caturwulan ke 3, hubungan ku dengan ira mulai renggang. Bukan karna
ada masalah, tapi karna beda kelas Indah sibuk bergaul dengan teman teman sekelas, sehingga
aku bahkan tidak bertegur sapa sejak kenaikan kelas 2 hingga lulus SMP. Kindah seperti tidak
pernah bersahabat.

Ira berubah, dulu dia gendut dan montok, juga pendek. Kulitnya pun hitam, namun ira manis.
Saat caturwulan 3 di bangku kelas 2, aku mendengar kabar mengejutkan, tapi anehnya yang
keluar dari mulutku, hanya kata “oh”. Ira di isukan menjadi Bandar narkoba, ha?sekecil ira?mana
mungkin. Itu pikirku saat itu, isu isu lain mulai beredar. Aku antara terkejut dan tidak, aku juga
bingung, kadang aku merasa amat kehilangan sahabat seperti ira, tapi kadang aku juga tidak
menggubris itu, toh teman temanku amat banyak, aku yang supel ini mudah bergaul. Tidak
seperti ira, dia pendiam dan pemalu, karna itu aku terkejut, bagaimana mungkin, ira yang remaja
masjid dari kecil, pintar mengaji, khatam alQuran mungkin sudah belasan kali, pendiam, penurut,
rajin shalat, dan lain lain kebaikannya menjadi seperti saat ini. Sampai aku menulis ini, aku
masih belum mendengar pernyataan apa apa dari ira, jangankan berbicara dengannya, tatapan
ira saja seperti tidak suka denganku.

Aku jadi merasa bersalah, apa karna aku punya banyak teman, ira pun terlupakan begitu saja.
Sehingga ira yang pendiam dan penurut terbawa arus. Sampai saat ini, aku masih mengenang
banyak peristiwa istimewa di antara Kindah. Ira, sahabatku, aku merindukannya di ujung hati ini,
walau kecil, tapi ada dan selalu ada. Aku jadi ingat suatu peristiwa, yang kadang membuatku
mengoreksi diri, suatu obrolan anak SD ingusan, yang ternyata menggores saat aku maknai
“indah enak ya” kata budi, salah satu teman sekelas ku dan ira
enak gimana sih” aku mencomot salah satu nyam nyam dari bungkusan yang di pegang ana,
dengan kalem, ana membiarkannya saja, padahal itu satu satunya nyam nyam yang tersisa
setelah budi, dan lainnya bergantian mencomotnya.

kamu itu enak mik. Mama kepsek, mau apa apa enak kali. Turun sekolah pake mobil, coba liat,
emang disini ada yang punya mobil” memujiku, aku lupa, saat itu aku memerah atau
menguangu y? diam diam, aku terlibat cinta monyet dengan Tumeng , dan ku tahu, cintaku tidak
bertepuk sebelah tangan. Tapi di lain sisi, aku tahu ira amat suka dengan tumenk.

cantik pula ya meng,” kata budi bukan memuji. Karna mungkin memang, di antara murid murid
se_sd aku yang paling kinclong saat itu. Bahkan teman ku, yang merupakan murid sd sebelah,
yang kutemui setelah 7 tahun tidak berjumpa, sempat berkata, dulu aku kira kamu jadi artis atau
model loh mik, kamu tu waktu sd cantik banget sih, hahaha,,,akhir katanya nyakitin kali, dia
bilang, tapi sekarang kok gak cantik lagi mik?wahahahahahahahaha. jatuh deh
iyalah, paling cantik n manis sendirian gak kayak ira” hahahahahahahaha. Tumeng tertawa
dengan keras, disambut dengan yang lainnya. Ira yang biasanya nyantai nyantai saja langsung
pergi dengan muka di tekuk sedemikian lipat, aku bingung, yang lain pun bisik bisik, indah kan
putih, ira item, indah langsing pula, ira gendut, bla bla bla lainnya. Bukannya mengejar ira, aku
malah menikmati pujian teman temanku saat itu. Itu pertama kalinya aku tahu, betapa
istimewanya aku di sekolah ini karna kedua orangtuaku.

Saat ini aku berpikir kesekian kalinya, ke irian ira padaku telah jelas selama bertahun tahun
Kindah bersahabat, bahkan pernah dengan terang terangan dia menyatakannya, tapi aku tidak
mau tahu dan sadar. Kadang aku takut, keinginannya untuk kurus karna ingin lebih cantik, apa
karna itu dia konsumsi narkoba. Ah ira ira, apa adanya kamu dulu, kamu sahabat pertamaku,
yang pertama kali menyapa ku saat masuk sd hari pertama. Masih ingat kah kamu ira?
Ingat ini aku menggidik, perubahan ira dari alim jadi narkoba mania (semoga tidak benar)
mengingatkanku pada kisah ustadz jadi pemabuk, penzina hingga pembunuh dan pada akhirnya
meninggal dalam kemaksiatan. Nauzubilah, jauhkan aku ya Allah dari maksiat dunia.

Hari adalah hari classmeeting di smp ku. Aku yang pengurus kegiatan memilih melarikan diri
kekelas, bete banget ah. Panas panas gini di suruh jadi juri voli.
Seorang teman ku, sebut saja nurani. Mendekati ku, dan menawarkan sekotak rokok.
“rokok mi, katanya bisa merokok. Mau gak?gratis loh.” Tawarnya. Hah?nurani nurani, sikap dan
tindak tanduknya memang tidak seindah namanya.

Aku yang gengsi ini pun memegang kotak rokok itu, padahal seumur hidupku, aku memegang
kotak itu hanya 2 kali dengan ini. Itupun jaraknya jauh sekali, pertama kali waktu sd.
Psstttt….dulu waktu kelas 2 atau 3 sd, seorang om ku memberiku rokok yang sudah di sulutnya,
waktu itu Kindah berkumpul dengan sepupu sepupu ku, om ku itu memang terkenal bandel,
bahkan merupakan narapidis. Tanpa ragu, dengan kepolosan anak usia 8 tahun, aku mengisap
batang asap haram itu (belum jelas rokok masuk dalam jenis barang makruh atau haram, tapi
bagiku rokok sama dengan barang memabukkan dan membuat candu, tak peduli seberapa
besar kontribusi pajak rokok untuk pemasukan Negara, jumlah penderita penyakit akibat rokok
tak sebanding dengan kontribusi itu). Hingga hari ini, kedua orangtuaku tidak tahu. Allah Maha
pelindung Yaa Salaam (maha memegang keselamatan seluruh alam) melindungi aku hingga
tidak terjerumus dan terhimpit dalam lubang itu, masya Allah.

Anda mungkin juga menyukai