Pagi ini suasana di kelas ramai seperti biasanya, ya ini karena waktu istirahat baru saja
dimulai. Aku yang entah kenapa sedang malas pergi ke kantin menolak ajakan teman-
temanku untuk membeli makan atau sekedar duduk dan memesan sebotol air mineral.
Di kelas hanya ada aku dan beberapa anak yang tidak akrab denganku jadi aku
duduk saja di bangku ku dan tidak beranjak sedikit pun.
“Assalamualaikum Cit, aku duduk sini boleh?” Tiba-tiba sebuah suara yang ku kenal
mengejutkanku dari belakang.
“Eh ya ampun Bin, kamu bikin aku kaget loh. Silakan duduk aja” Aku pun bergeser
sedikit memosisikan diri menghadap Bintang, temanku itu.
“Salamku ga dijawab Cit?” Sekedar informasi, namaku Citra. Citra Azzahra. Seorang
murid tingkat akhir di SMA dengan muka lonjong, hidung mancung, rambut panjang dan
kulit sawo matang. Kata orang rambutku itu bagus dan itu menambah nilaiku di mata
orang lain.
“Oh iya, waalaikumsalam Bin. Sampe lupa jadinya.” Aku pun menjawab salam Bintang
yang tentu saja sudah sangat telat itu.
“Hehe maaf deh, kapan-kapan sekalian langsung ku tepuk aja pundakmu dari belakang.”
“Ealah itu malah lebih horor Bin. Yang wajar aja lah, dateng dari depan, biar langsung
keliatan.”
“Ih ketawanya model sms, wkwk. Dasar alay.” Kami saling bercanda dan tertawa
bersama, sampai akhirnya Bintang menyinggung tentang aku yang tidak menggunakan
hijab ini. Memang di kelas ku hanya aku yang tidak memakai hijab.
“Lah emang kenapa Bin? Jaman sekarang orang pake hijab cuma buat ngikutin tren,
enggak bener-bener hijrah ke arah yang lebih baik. Lagian orang yang pake hijab juga
bikin aku sebel, di sekolah aja belagak alim pake hijab, begitu main ke luar hijabnya
dilepas, belum lagi yang pake hijab tapi nyinyirnya udah number one, enggak ada
tandingannya. Terus aku juga ngerasa belum siap, aku masih begini orangnya, belum
pantes pake hijab.”
Aku mendebat Bintang. “Cit, dalam Islam wajib hukumnya buat menutup aurat, urusan
kelakuannya, sifatnya, apa yang dia lakuin, itu beda. Sekali lagi, itu sebuah keharusan
Cit, entah kamu siap atau enggak, dan lagi ini identitas seorang perempuan muslim”
Ceramah Bintang berhenti sampai di situ karena bel sudah berbunyi.
“Maaf kalo kamu sebel ke aku Cit, aku Cuma ngingetin sebagai sesama perempuan.
Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam.” Aku menjawab salamnya lirih. Jujur aku benci diceramahi tapi aku
merasa apa yang dikatakannya itu penting, dan dia benar. Tapi aku terlalu gengsi untuk
mengaku salah.
Hari ini aku berangkat sekolah tanpa diantar. Biasanya ayah yang mengantarku tapi
hari ini dia ada rapat dadakan yang harus disiapkan dari pagi sekali. Aku berjalan dari
rumah ke terminal di dekat rumahku lalu dari sana aku naik angkot yang nantinya aku
akan langsung diturunkan di depan gerbang sekolah. Dari rumah ke terminal memang
agak jauh, tapi ya apa mau dikata, aku tidak bisa naik motor sendiri dan ayah berangkat
sebelum aku mandi jadi aku bahkan tidak akan sempat diantar ke terminal.
Sampai di terminal entah kenapa terminal sepi dan ini membuatku agak was-was. Ya
bukan apa- apa sih tapi kan sekarang banyak kasus pencurian, penculikan, bahkan
perkosaan di tempat umum. Aku pun mencoba waspada sambil mencari angkot yang
belum datang juga. Maklum aku adalah anak dari desa kecil, jadi untuk ke sekolah yang
ada di kota harus sabar menunggu angkot yang tak seberapa itu datang. Setelah kira-
kira sepuluh menit menunggu, seorang anak laki-laki seusiaku yang aku kenal dari
seragamnya adalah anak SMA yang ada di desaku ini menghampiriku, motor bebek yang
sudah dipermak sana-sini membuat dia sangat jelas terlihat sebagai anak motor.
“Neng lagi nunggu angkot ya? Sama abang aja, entar abang anterin sampe tujuan kok,
tenang aja.” Lelaki itu turun dari motornya dan semakin mendekat. “Kok diem aja sih?
Sok amat mentang-mentang anak SMA kota.” aku yakin dia pasti juga memerhatikan
seragamku jadi dia tahu dimana sekolahku. Belum sempat dia semakin dekat, angkot
yang ku tunggu akhirnya tiba, secepat kilat aku naik ke angkot dan karena angkot penuh
jadi angkot langsung jalan tanpa menunggu penumpang lain.
Di situ aku merasa sangat bersyukur dan sangat lega saat sudah duduk, akhirnya aku
bisa pergi dari seorang pengganggu yang tidak ku kenal. Jujur aku takut setengah mati,
tapi untungnya semua sudah selesai sekarang. Sampai di sekolah, aku langsung berbagi
cerita pada temanku yang lain dan mereka berkali-kali menenangkanku.
Begitu seterusnya sampai pulang sekolah. Mereka yang notebene dijemput atau nebeng
pulang duluan sementara aku yang masih trauma memutuskan untuk menunggu ayah
entah sampai jam berapapun. Beberapa dari mereka sudah menawarkanku ikut motor
mereka tapi aku kekeuh menunggu ayah. Sekarang yang paling aman adalah pulang
bersama ayah, begitu pikirku. Hampir pukul empat sementara kami hari ini pulang
pukul dua. Dua jam aku menunggu sendiri di sini dan ayah beberapa kali mengirim
pesan untuk pulang sendiri tapi aku tidak mau. Aku memang tidak cerita pada orang tua
ku karena aku tidak mau membuat mereka khawatir terus.
“Citra belum pulang? Mau pulang jam berapa Cit?” Bintang datang dari balik pintu dan
langsung mengambil tempat duduk di depanku.
“Loh kamu sendiri belum pulang Bin? Ngapain?” tanyaku.
“Aku? Aku abis ada urusan rohis. Kamu enggak papa kan Cit?” Aku tahu hampir seluruh
kelas tahu kejadian tadi karena aku yang memang terlihat sangat heboh.
“Aku udah enggak kenapa-napa kok Bin, Cuma rasanya masih belum tenang aja, aku
lebay ya Bin? Cuma digituin aja takutnya setengah mati.”
“Alhamdulillah kalo udah agak mendingan gitu. Enggak kok Cit, kamu enggak lebay,
justru bagus, kamu masih ada rasa takut sama laki-laki, coba bayangin perempuan di
luar sana yang bisa aja malah seneng banget digodain, itu malah aneh Cit. Ya kan?”
“Ya iyalah Cit. Harusnya kamu bersyukur, kamu masih punya rasa malu, rasa takut,
berarti kamu masih perempuan bener. Dan kamu juga harus bersyukur karena Allah
masih terus ngelindungin kamu.”
“Apa yang harus aku lakuin Bin? Rasanya masih takut kalo ada kejadian itu lagi” Aku
meminta saran karena aku memang benar-benar tidak tahu apa yang harus ku lakukan.
“Boleh aku saranin sesuatu?” Tanya Bintang hati-hati. “Apa itu?” “Kamu siap hijrah?”
Aku tahu maksudnya, dia ingin aku berhijab. Sampai di situ aku diam. Aku tidak
mengiyakan atau menolaknya. Tepat saat itu juga ayah SMS dia sudah sampai di depan.
“Aku udah dijemput, aku duluan ya.” Sepanjang perjalanan pulang aku terus
memikirkan perkataan Bintang. Ini membuatku semakin tidak tenang. Malamnya ketika
aku selesai sholat aku langsung mencari semua hijab yang ku
punya, aku mencobanya satu-satu dan mematut diri di depan cermin. Rasanya sangat
sejuk melihat diriku sendiri berhijab di depan cermin. Rasanya berbeda dari biasanya,
aku merasa lebih tenang. Apakah ini yang membuatku tidak tenang selama ini? Apa iya
aku harusnya berhijab sekarang? Pertanyaan yang sekarang muncul di benakku tidak
lebih dari seputar itu, semuanya adalah pertanyaan yang jawabannya aku tahu sendiri,
akumemang harus berhijab.
Besoknya aku turun dari kamar lengkap dengan hijabku. Ayah dan ibu bahkan sempat
heran melihatku memakai hijab, tapi mereka tidak berkomentar apa-apa, mereka hanya
menunjukan bahwa mereka mendukung keputusanku dengan hanya tersenyum dan
diam, begitulah mereka. Mereka tahu aku terlalu malu untuk dikomentari, mereka
memang orang tua terbaik.
“Sayang, nanti ayah enggak bisa nganter kamu lagi ya, ayah ada urusan mendadak lagi,
enggak sempet kalo ke sekolahmu, muter-muter nanti.” Sekali lagi, tepat sehari dari
kemarin, hal ini lagi. Aku masih takut kalau-kalau terjadi apa-apa tapi aku merasa
tenang, padahal dengan apa yang terjadi kemarin harusnya aku takut dan merengek
minta diantar.“Oke yah, aku pake angkot aja, lagian udah gede gini masa ga berani.”
Dan begitulah sampai akhirnya aku ada di terminal lagi. Terminal yang sama yang
membuatku takut kemarin, tapi dengan aku yang baru. Aku yang kini sudah berhijab
dan merasa lebih tenang. Beberapa kali ada orang lewat dan aku menyapa mereka
ramah atau minimal menganggukkan kepala sambil tersenyum. Ini membuatku lebih
tenang, sampai tiba-tiba lelaki dengan motor kemarin datang lagi.
Kali ini dia berhenti tepat di sebuah warung dan melihat ke arahku. Aku hanya
menganggukkan kepala dan tersenyum ramah kepadanya tepat saat dia memalingkan
mukanya sehingga aku yakin dia tidak melihat senyumku, sepertinya dia tidak ingat aku
dan ini membuatku lega. Aku merasa kemarin adalah cara Allah menegurku untuk
segera berhijrah dan alhamdulillah aku segera sadar akan hal itu. Semua terasa lebih
mudah sekarang. Aku lebih tenang dan bersyukur padanya. Aku berterima kasih pada
lelaki itu. Kalau tidak ada dia mana mungkin aku bisa sadar?
Oh ya, aku juga harus berterima kasih pada Bintang. Dia juga lah yang membuatku
berpikir untuk berhijab. Walau semua keputusan untuk berhijab ada padaku, tapi pada
prosesnya aku memang diyakinkan oleh mereka dan itu berhasil membuatku menjadi
aku yang baru. Angkot ku datang dan berhenti tepat di sebelah warung. Aku segera
berjalan menuju warung dan melihat lelaki itu tadi. Aku melihatnya sambil tersenyum
dan menyapanya. Dia yang kaget disapa oleh ku hanya bisa terdiam dan tersenyum
setelahnya.
hanya perasaanku saja atau memang dia senang karena merasa dianggap oleh orang
lain. Hidup memang tidak ada yang tahu, yang pasti perubahan ke arah yang lebih baik
itu perlu. Sekarang aku siap mengejutkan teman-teman di sekolah dengan penampilan
baru ku, bukan untuk sombong atau pamer tapi untuk menunjukkan betapa aku bangga
akan identitasku sebagai seorang muslim.
Perempuan itu terlalu berharga untuk menunjukkan auratnya di muka umum, jadi
sebaiknya tutupi aurat kita untuk menjaga diri kita sendiri dan menghormati diri kita
sebagai perempuan.
The End
INDAHNYA SEBUAH PERSAHABATAN
Betapa menyenangkannya menjadi orang kaya. Hidup serba
berkecukupan. Apapun yang diinginkan akan terpenuhi. Karena semua
sudah tersedia. Seperti halnya Tiyas. Seorang anak orang kaya yang
menjadi banyak sorotan, Berangkan dan pulang selalu diantar oleh supir
pribadi dan mobil mewahnya.
Sudah lima kali Tiyas mengetuk pintu rumah Dwi. Karena menunggu lama
tidak kunjung dibuka akhirnya Tiyas memberanikan diri untuk bertanya
kepada tetangga tentang menghilangnya Dwi. Benar saja, Ternyata sudah
dua minggu Dwi ikut orang tuanya pulang ke desa. Sebab ayahnya habis
kena PHK. Akhirnya keluarga Dwi memutuskan untuk kembali ke desa dan
memilih menjadi petani.
“Oh, kasihan sekali Dwi,” ujarnya didalam hati,
Di rumahnya, Tyas tampak melamun sambil memikirkan nasib sahabat
setianya itu.
“Ada apa Yas? Kok kamu nggak seperti biasanya, malah tampak lesu dan
kurang semangat.” Papa bertanya sambil menegur.
“Dwi, Pa.” Jawab Tiyas
“Memangnya ada apa dengan Dwi sehingga membuatmu muram, Apa dia
sedang sakit?” Tyas menggeleng kepada ayah.
“Lantas kenapa?” Papa menjadi penasaran.
“Sekarang Dwi sudah pindah rumah. Kata tetangga sebelah rumahnya Dwi
ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya habis di PHK dan
memilih untuk menjadi petani”.
rasa setengah tidak percaya.
“Kalau Papa tidak langsung percaya, Coba tanya deh, sama Pak RT atau
ke tetangga lain” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Aku pengen Dwi bisa disini lagi” Tyas memohon dengan agak mendesak.
“Baik kalau itu bisa biki kamu seneng. Tapi, kamu harus bisa mencari
alamat rumah Dwi yang di desa” kata Papa.