Anda di halaman 1dari 15

ABOUT YOU

Hai, Namaku Amelia. Umurku 17 tahun, dan di sepanjang hidupku ini aku tidak
pernah merasakan yang namanya pacaran.

Hampir semua orang mengatakan bahwa cinta pertama tidak akan pernah berhasil.
Masalahnya aku tidak mau peduli. Terserah kalian mau mengatakan apa. Aku yakin ini akan
berhasil. Sudahlah, aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan kalian. Langsung saja
kalian simak cerita yang sangat tak terlupakan ini.

Ini ceritaku tentangnya, cinta pertamaku. Bintang Prasetya.

SPOILER

“Kenapa lo selalu lari setiap ngeliat gue? Emang wajah gue nyeremin?”

“Bukannya gue sengaja mau lari, tapi setiap ngeliat lo aja jantung gue rasanya mau
meledak,”

•••

Matahari siang ini begitu terik menyinari gedung sekolah melalui sela-sela rindangnya
pohon angsana. Aku sudah terbiasa dengan keadaan lorong yang sepi saat jam pelajaran
seperti ini.

Jangan ada yang berpikir hal khusus biasa terjadi di tempat ini. Tempat ini sudah
biasa sepi karena hanya menghubung ke ruang guru, toilet cewek dan beberapa laboratorium
yang jarang dipakai. Apalagi saat jam pelajaran seperit ini lorong makin terlihat sepi.

Jean, temanku berjalan lebih cepat saat sudah berada di belokan terakhir menuju
toilet. Aku menggelengkan kepala tapi membiarkannya saja dan tetap berjalan dengan santai.

Aku mulai memejamkan mataku.


Kebetulan saat itu earphone yang terpasang rapi di telingaku mulai memutar lagu
kesukaanku dari Gnash feet Olivia O`brien berjudul “I hate you I love you” yang tentu saja
membuatku ikut bernyanyi bahkan menghayatinya dengan mengekspresikannya pada wajah
dan tanganku.

“All alone I watch you watch her. Like she's the only girl you've ever seen.”

Masih dengan mata terpejam, aku menyanyikannya dengan lantang sambil menunjuk-
nunjuk ke arah depan seolah orang yang menyakitiku berada di sana.

Secara spontan aku membuka mata saat mendengar suara dengusan. Entah mimpi
atau bukan berdirilah seorang pria berwajah tampan bersender di tembok sebelah pintu
labolatorium biologi dengan melipat kedua tangannya. Ia melihatku seperti sedang menilai,
tapi bukan itu yang jadi permasalahan di otakku.

Aku sangat yakin bahwa beberapa detik ketika aku membuka mata, aku sempat
melihatnya menahan tawa, senyumnya sangat memesona membuatku tidak bisa lupa. Tapi
sayangnya ia langsung dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkin memang efek dari perbuatan
memalukan yang baru saja aku lakukan.

Setelah sadar dari keterkejutanku, aku langsung berjalan cepat melewatinya sambil
menundukkan kepala. Ya, meskipun aku tahu bahwa aku tidak akan bisa melarikan diri.
Karena labolatorium biologi bersebelahan dengan toilet cewek yang memang berada di ujung
lorong.

Tepat di saat akan masuk ke dalam toilet, aku hampir bertabrakan dengan Jean jika
saja dia tidak langsung berteriak dan menyadarkanku, bahkan mungkin akan membuatku
mengalami serangan panik setiap mengingat momen ini.

“Woy, ati-ati! Kenapa sih lu? Kayak abis liat setan aja,” ucap Jean terkejut.

Aku tidak menanggapinya. Itu karena suara Jean bertepatan dengan suara dari belakangku
yang entah mengapa membuatku lebih memilih memperhatikannya.

“Ayo, ini udah ketemu bukunya, Mor.”

Tiba-tiba muncul seorang cowok yang baru saja keluar dari ruangan laboratorium
biologi sambil membawa setumpuk buku.
Aku menoleh ke belakang. Cukup terkejut menyadari bahwa sedari tadi cowok yang
tampan itu masih tetap setia melihat ke arahku, yang tentu saja membuatku semakin salah
tingkah karena malu.

Aku masih mencuri lihat ke arah cowok itu, dia berbalik tanpa membalas perkataan
cowok di sampingnya dan langsung berjalan meninggalkan lorong tersebut dengan temannya
yang mengekor.

“Li.... Lia? Hallo?!” panggil Jean berakhir dengan teriakan nyaring.

Aku menoleh ke arahnya, baru sadar dari lamunanku. Entah sejak kapan aku
melamun, hingga cowok tadi sudah tidak terlihat punggungnya.

“Lu kenapa sih? Gak kesurupan kan? Nakutin tau gak,” tanyanya dengan alis yang
terangkat sebelah.

Jean menepuk bahuku. “Heh lu kenapa? Aneh deh.”

“Itu... tadi ada cowok liat gue nari-nari di lorong.”

“Hah? Kok bisa? Lu sih gila. Di lorong nari-nari. Minta disawer setan atau gimana,”
katanya sambil tertawa.

“Ya enggak gitu maksudnya. Intinya gue malu, mana yang lihat cowok ganteng lagi.”

“Mana ada cowok ganteng di sekolah kita? Setan kali yang lu liat.”

“Enggak mungkin. Jelas-jelas gue liat dia ganteng gitu masa setan, orang dia juga
berdua sama temennya.”

“Siapa sih? Gue jadi kepo.”

Aku juga tidak tahu siapa dia, tapi yang pasti aku sudah cukup tertarik dengannya.
Cowok tampan yang baru aku temui hari itu telah menarik perhatianku.

“Ya udah, ayo ke kelas. Gue belum selesai ngerjain tugas,” kata Jean saat aku diam
saja.

Aku mencoba untuk melupakan cowok itu dan kembali menatap Jean. Ia melihatku
dengan dahi yang berkerut lalu berjalan melewatiku menyusuri lorong untuk kembali ke
kelas.
Aku berlari menyusul Jean dan membuka topik percakapan secara acak apa pun untuk
membuat Jean tidak marah..

•••

Jam pulang sekolah sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Aku sedang duduk
di bangku panjang lobi sekolah, mengedarkan pandangan untuk melihat keadaan sekitar.
Banyak sepeda motor yang bergantian keluar dari tempat parkir yang terletak di sebelah kiri
lobi

Kutatap kembali Ana dan Jean yang duduk di sebelahku. Mereka masih sibuk dengan
ponsel masing-masing, entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku alihkan kembali
pandanganku ke arah ponsel, mulai memesan ojek.

“Hoi!” Teriak seorang temanku bernama Mery yang mengagetkanku.

Aku menoleh ke arahnya, Mery tampak tersenyum memperlihatkan giginya yang


putih kepadaku. Aku membalas senyumannya.

“Lo udah mau pulang?” tanya Mery.

“Iya, ini lagi nunguin ojek,” jawabku seadanya.

“Lo kenapa sih hari ini? Kok kelihatan badmood banget?” tanyanya lagi dengan
mengerutkan dahinya

“Badmood apaan? Orang gue biasa-biasa aja kok,” jawabku dengan ikut mengerutkan
dahi.

“Beneran, Li. Semenjak kita balik dari toilet, lo tuh jadi agak aneh. Atau lo masih
mikirin cowok yang tadi?” sahut Jean tiba-tiba.

“Cowok? Siapa?”

“Gue juga gak tau, tapi tadi kata Lia dia ketemu cowok ganteng yang ngeliatin dia
nyanyi sambil nari-nari di lorong, gua curiga yang dia liat itu penunggu sekolah ini yang
terganggu sama suara cemprengnya Lia.” Jean menjelaskan dengan semangat.
Aku semakin mengerutkan dahiku. Benarkah ada yang aneh dengan diriku? Tapi
pikiran itu telah tergantikan di detik selanjutnya saat aku melihat cowok yang tadi siang
kutemui di depan laboratorium biologi.

Ia menghentikan motor sportnya di depan lobi dan melihat ke arah belakang seakan
sedang menunggu seseorang. Aku masih menatapnya tanpa memperhatikan sekitar. Dia
terlihat begitu tampan dengan sinar matahari yang menyinari sebagian wajahnya. Tiba-tiba ia
menoleh ke arahku dengan wajah datarnya.

Aku langsung tersadar dari pikiranku itu dan berusaha untuk mengalihkan
pandanganku. Kutatap kembali ketiga temanku itu, mereka memandangiku dengan wajah
curiga.

“Kenapa?” Tanyaku dengan senyum lima jariku.

“Lo itu yang kenapa? Ngapain lo ngelihatin Kak Bintang? Suka?” Tanya Ana
berturut-turut.

Aku mengerutkan dahi kembali. Tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya
memahami bahwa cowok yang berada di depan lab biologi itu bernama Bintang.

“Jangan-jangan lo beneran suka sama Kak Bintang? Iya sih dia memang ganteng, tapi
percuma, dia gak pacaran. Kayanya gak ada satu pun cewek yang menurutnya cukup cantik,”
Jelas Mery menggebu-gebu.

Aku cukup kaget dengan penjelasan Mery. Tidak mungkin cowok tampan dan keren
seperti Kak Bintang itu homo kan? Tidak mungkin.

“Maksud lo apaan sih? Nggak mungkin lah dia homo,” ucapku dengan nada tidak
terima yang membuatku bingung sendiri.

“Ya, gue kan gak pernah bilang dia homo, meskipun ada kemungkinan juga sih. Tapi
yang pasti Kak Bintang itu banyak penggemarnya, tapi anehnya dia enggak pernah pacaran
sekalipun. Aneh kan? Kalo gak percaya lihat aja tuh penggemarnya udah kaya semut ngeliat
gula.”

Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Dan benar saja banyak sekali cewek yang
berkerumun, dapat kulihat mata mereka tertuju pada cowok yang duduk di atas motornya di
depan lobi itu. Samar-samar aku juga bisa mendengar nama Kak Bintang disebut.
Aku mencuri-curi pandang ke arah Kak Bintang, dia masih menatapku. Aku kembali
menunduk, secara tidak sadar aku tersenyum. Kemudian aku kembali memandang Kak
Bintang. Dia sudah memalingkan wajahnya, tapi pipinya seperti tertarik. Seakan-akan dia
juga ikut tersenyum.

“Bentar deh, lo tadi kok kaya gak terima Kak Bintang dibilang homo? Lo beneran
suka ya sama dia? Tanya Mery curiga.

“Bukannya gitu, dia itu cowok yang tadi ngeliat gue nyanyi di lorong. Tapi ya
mungkin gue udah tertarik sama dia.”

Entah kenapa aku merasa tertarik dengannya. Senyumnya yang manis di lorong,
tatapannya yang dingin sekarang, dan tentu saja wajahnya yang tampan sangat kontras dapat
kusimpulkan sebagai gambaran malaikat pencabut nyawa.

Aku juga tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Tidak mungkin aku menyukai
Kak Bintang yang bahkan baru kutemui hari ini kan? Tidak mungkin. Aku yakin pikiranku
masih terlalu logis untuk mencegahnya.

Aku pikir mungkin aku hanya tertarik karena rasa malu yang aku alami tadi?
Sudahlah, sudah cukup pusing kepalaku memikirkan tentangnya. Semakin dipikir semakin
hal itu mengusikku.

•••

Keesokan harinya terasa lebih baik dan lebih buruk. Lebih baiknya karena dari tadi
pagi aku tak bertemu Kak Bintang jadi aku sudah tidak terlalu memikirkannya. Lebih
buruknya karena aku lelah. Semalam aku tidak bisa tidur karena harus mengerjakan tugas
yang menumpuk.

Yang lebih menyedihkan lagi hari ini ada pelajaran olahraga dan aku harus bermain
voli. Mengingat jumlah cedera yang telah menimpaku karena bola voli, saat bermain aku
merasa agak ingin muntah.
Bel istirahat sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu dan aku sudah menyaksikan
empat pertandingan voli berturut-turut, namun Pak Bima masih menahan kami untuk tetap
menunggu yang lain selesai.

Akhirnya bel berbunyi, aku berjalan pelan ke arah kantin untuk membeli air mineral,
meninggalkan teman-temanku yang masih di lapangan. Kantin lumayan sepi, aku mengambil
minuman dari kulkas lalu memberikannya kepada kasir. Wanita yang menjaga kasir itu
memberikan struk. Kumasukkan tanganku ke saku celana olahraga untuk mengambil dompet.
Kosong. Mungkin dompetku tertinggal di kelas.

“Maaf Kak, dompet Saya ketinggalan, Kalo Saya nggak jadi beli, bisa nggak Kak?”
ucapku dengan sangat menyesal.

“Bayarnya sekalian sama punya Saya aja.”

Suara dari belakang membuatku kaget. Dengan cepat aku melihat ke arah belakang.
Dengan tatapan agak kaget seperti orang bodoh aku melihat ke arah Kak Bintang yang balik
menatapku dengan wajah datarnya.

“Gak usah Kak, aku gak mau ngerepotin,” ucapku buru-buru.

Seakan ucapanku tidak didengarnya, Kak Bintang langsung mengeluarkan dompet


dari saku celananya lalu maju untuk membayar. Di detik selanjutnya cowok itu pergi tanpa
mengatakan apa pun. Meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Dasar menyebalkan.

Dapat kulihat sekilas teman-temanku berjalan memasuki kantin. Mery menepuk


pundakku.

“Heh, Amelia! Lo kenapa ninggalin kita?”

Aku menunduk. Merasa malu. Aku mengingatkan diriku sendiri. Aku tidak
melakukan sesuatu yang memalukan, jadi aku tidak perlu merasa malu.

“Lia kenapa sih?” Mery bertanya pada Ana.

“Gak apa-apa,” jawabku, kakiku berjalan pelan ke meja

“Lo yakin gak apa-apa?” tanya Ana.

“Sebenernya, gue merasa agak gak enak badan,” kataku.


Aku membuka tutup botol lalu minum pelan-pelan, perutku lapar. Dua kali Ana
menanyakan keadaanku lagi. Aku jawab baik-baik saja, tapi dia masih terlihat khawatir.

“Lo gak laper?” tanya Mery.

“Enggak, gue minum aja. Lagian gue juga gak bawa dompet.”

“Lah terus gimana caranya lo beli minum? Di sini kan belum bisa scan Qris,” tanya
Jean.

“Tadi dibayarin Kak Bintang,” jawabku singkat.

“Hah? Kok bisa?” Mery bertanya dengan nada terkejut.

“Mmm, mungkin dia cuma kasihan,” kataku menenangkannya.

Teman-temanku menatapku secara bersamaan. Mataku masih tertuju di botol air


mineralku. Bingung mau mengatakan apa lagi, kepalaku terlalu pusing untuk berpikir.
Keheningan berlanjut hingga aku sadar kantin sudah hampir kosong.

“Kita bakal telat,” ucapku lalu bergegas menuju kelas

•••

Kami beruntung Bu Indah belum berada di kelas saat aku sampai. Aku bergegas
duduk di kursiku, sadar Ana, Jean dan Mery sedang menatapku, Mereka tampak terkejut dan
sedikit kagum.

Lalu Bu Indah masuk. Ia mengabsen kami satu per satu dan menyuruh kami
mengumpulkan tugas di atas meja masing-masing. Kuletakan kepalaku di atas meja berwarna
coklat itu, berusaha tetap sadar. Aku hirup nafas pelan dari mulutku.

“Amel, kamu baik-baik saja?” tanya Bu Indah. Suaranya terdengar sangat dekat,
membuatku kaget.

“Aku merasa sedikit pusing, Bu,” kataku lemah, aku tidak kuat mengangkat kepala.

“Kamu mau ke UKS saja?”

“Iya, Bu,” gumamku.


“Kamu masih bisa jalan?” tanya Bu Indah lagi.

“Iya,” bisikku. Berharap untuk bisa cepat keluar dari kelas.

“Jean, tolong bawa Amel ke UKS ya,” minta Bu Indah.

Jean terlihat sangat senang sekali bisa ikut meninggalkan kelas. Ia langsung
memelukku dan menarik tanganku ke bahunya dan kami segera keluar dari kelas.

Ketika kami sudah lumayan jauh dari kelas, saat tak terlihat Bu Indah memperhatikan
kami. Aku berhenti.

“Stop dulu, Je. Gue mau duduk. Capek,” ucapku memelas padanya.

Dia membantuku duduk di kursi panjang lorong. Aku merebahkan diri dengan posisi
miring menempelkan pipi ke kayu yang dingin dan lembap dan memejamkan mata.
Sepertinya dengan seperti ini pusingku agak mereda.

“Gila, lo pucet banget, Li,” ucap Jean khawatir.

“Kalian ngapain di sini?” Suara cowok bertanya dari jauh.

Aku kenal suara itu. Tidak! Aku harap ini hanya khayalanku saja.

“Dia kenapa? Sakit?”

Sekarang suaranya lebih dekat dan terdengar khawatir. Aku tidak sedang berkhayal.
Aku terus memejamkan mata. Berharap aku pingsan saja. Atau setidaknya tidak muntah.

“Kayanya dia pingsan. Dari tadi pagi dia udah keliatan pucet, gak tau kenapa,” Jean
terdengar sangat khawatir.

“Gue mau bawa dia ke UKS, tapi kayanya dia udah gak kuat jalan lagi deh,” jelas
Jean.

“Biar gue aja yang anter, lo bisa balik ke kelas,” ucap Kak Bintang.

“Gak bisalah, gue juga harus ikut, gue yang disuruh Bu Indah,” protes Jean.

Tiba-tiba kakiku sudah tidak bisa merasakan lantai. Aku membuka mata karena
terkejut. Kak Bintang sedang menggendongku.

“Turunin gue!” Kak Bintang sudah mulai berjalan bahkan sebelum aku selesai bicara.
Dalam hati aku memohon demi apapun jangan sampai aku muntah di seragamnya.
“Heh, tunggu gue!” teriak Jean yang tertinggal jauh di belakang kami. Kak Bintang
mengabaikannya.

“Lo kelihatan pucet banget,” katanya kepadaku.

“Turunin gue!” keluhku.

“Kenapa lo bisa pingsan?” tanya Kak Bintang mengabaikan ucapanku. Sepertinya dia
sedang berusaha membuka percakapan.

Aku tidak menanggapinya. Aku pejamkan mataku lagi dan menutup bibirku rapat-
rapat. Berusaha dengan segenap tenaga untuk menahan rasa ingin muntahku.

Jean berlari melewati Kak Bintang dan membukakan pintu untuknya. Tiba-tiba suhu
di sekitar terasa hangat, Kami sudah berada di dalam ruangan UKS.

“Ya ampun,” aku mendengar suara wanita yang terkejut.

Seperti sedang menonton drama korea si perawat itu terlihat kagum saat Kak Bintang
membawaku masuk ruangan dan meletakkanku dengan hati-hati di atas ranjang pasien. Kak
Bintang pindah, berdiri di samping ranjang. Matanya terlihat khawatir.

“Dia kenapa?” Kak Bintang bertanya kepada si perawat yang terlihat kebingungan.

“Sepertinya cuma karena makan yang tidak teratur,” perawat itu menjelaskan. Kak
Bintang hanya mengangguk pelan tanda mengerti.

“Berbaringlah sebentar, nanti akan segera sembuh.”

“Iya, terima kasih,” ucapku lirih. Rasa mualku sudah hilang.

“Apa ini sering terjadi?” tanya si perawat.

“Kadang-kadang,” aku mengakuinya.

“Oh, dan kalian bisa kembali ke kelas sekarang,” lanjutnya berkata kepada Kak
Bintang dan Jean.

“Saya disuruh Bu Indah menemani dia, Bu” Jean mengatakannya dengan sangat
meyakinkan.

Si perawat menatap Kak Bintang seakan bertanya mengapa dia masih berada di sini.
“Saya akan ke kelas sekarang,” kata Kak Bintang terburu-buru. Ia langsung berbalik
tanpa melihatku lagi, lalu hilang dibalik pintu.

“Saya akan mengambilkan kompres,” kata si perawat kepadaku, lalu bergegas


meninggalkan ruangan.

“Lo sengaja ya?” tanyaku lirih, mataku tetap terpejam.

“Sengaja apaan?” Jean bertanya balik.

“Sengaja buat Kak Bintang bantuin gue,” aku mengatur nafas.

“Tadi lo beneran udah kaya mau pingsan, gue jadi takut,” akunya setelah beberapa
saat. Nada suaranya terdengar sangat khawatir.

“Kebetulan Kak Bintang lewat, ya gue minta tolong aja biar cepet nyampe UKS
sebelum lo pingsan beneran.”

“Makasih,” ucapku datar. Mataku tetap terpejam, pusingku sudah membaik, tapi
tergantikan dengan rasa kantuk yang mendatangiku.

•••

Hari ini aku sama sekali tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah, dan mengingat hal
yang terjadi kemarin membuatku semakin tidak bersemangat. Di sepanjang pagi ini dapat
kurasakan semua orang menatapku. Tentu saja dengan suara bisik-bisik membahas tentang
insiden aku pingsan kemarin.

Teman-temanku tidak membantu, Ana dan Mery terlihat jelas punya banyak sekali
pertanyaan. Untungnya Jean tidak berniat menceritakannya, meskipun sepertinya tidak
seorang pun yang tidak tahu jika Kak Bintang terlibat.

“Jadi kenapa kemarin Kak Bintang mau bantuin lo?” Mery bertanya untuk ke sekian
kalinya saat kami menuju kantin.

“Ya mana gue tau,” jawabku jujur.

“Lo kayanya badmood banget,” ketus Mery kesal.


“Masa sih?” jawabku. Wajahku tetap datar.

“Lo tau gak, gue gak pernah liat dia deket sama cewek. Tapi kemarin dia bantuin lo.
Aneh kan.”

“Iya aneh, maksud gue kalian yang aneh. Masa orang mau bantuin orang lain dikatain
aneh.” Jawabku agak ketus. Mery terlihat jengkel. Sepertinya dia menginginkan jawaban
yang lain.

Ketika aku memasuki area kantin bersama Ana, Mery, dan Jean, aku dapat melihat
Kak Bintang duduk di meja sudut kantin, paling jauh dari tempat dudukku. Dia hanya berdua
dengan teman cowoknya, duduk mengobrol di sana.

“Eh dia siapa, Je?” Mery bertanya pada Jean yang mengenal hampir semua murid di
sekolah.

Jean menoleh untuk melihat siapa yang Mery maksud.

“Itu Kak David, sepupunya Kak Bintang,” Jean mengatakannya dengan berbisik.

“Ganteng juga ya, kayaknya semua anggota keluarga mereka bibit unggul deh,
ganteng-ganteng gitu,” Mery memberikan komentar yang absurd.

“Bener!” Jean menyetujuinya sambil tertawa.

“Mereka juga kemana-mana bareng. Dan mereka serumah lagi. Mungkin itu alasan
Kak Bintang dikira homo.”

“Kenapa Kak Bintang sama Kak David tinggal serumah?” tanya Mery.

“Kalo gak salah orang tua Kak David itu kerja di luar negeri tapi dia gak mau ikut,
jadi Kak David tinggal bareng keluarganya Kak Bintang,” jelas Jean. Yang lain hanya
mengangguk tanda mengerti.

“Eh, Kak Bintang lihatin lo,” Mery berbisik ditelingaku sambil tertawa.

“Ha? Dia ngapain lihatin gue?” aku menahan diri untuk tidak melihatnya.

“Ya mana gue tau,” jawab Mery ketus.

“Dia gak kelihatan marah, kan?”


“Enggak, emang kenapa dia harus marah?” tanya Ana, terdengar bingung dengan
pertanyaanku.

“Takutnya dia marah soalnya digosipin bareng gue,” kataku jujur. Aku semakin
frustasi. Aku tundukkan kepalaku untuk menatap meja.

“Menurut gue Kak Bintang gak mungkin marah sih, dia kan memang gak pernah
peduli sama cewek mana pun. Eh tapi dia masih lihatin lo.” Jelas Jean sambil berbisik.

“Udah, jangan lihatin Kak Bintang lagi,” bisikku.

Jean cemberut. Tapi dia tidak menatap ke arah Kak Bintang lagi. Aku angkat
kepalaku sedikit, berniat memelototinya jika dia menatap Kak Bintang.

Selama sisa jam istirahat dengan sangat hati-hati aku berusaha untuk hanya
memandang mejaku sendiri. Aku putuskan untuk tidak melihat ke arah Kak Bintang. Tapi
karena Kak Bintang tidak kelihatan marah, aku jadi sedikit lebih tenang.

•••
Jean berjalan menemaniku menuju kantin untuk membeli air mineral. Saat melewati
lorong sebelah lapangan, seorang cowok tampan menghampiri kami. Ia mengenakan pakaian
olahraga dan sedang melambai ke arahku.

“Ngapain lo nyamperin gue?” tanya Jean ketus.

Ia berhenti di depan kami. Senyum masih merekah di bibirnya, hingga tanpa sadar
aku juga ikut tersenyum.

“Jangan marah-marah terus, nanti cepat tua loh,” katanya sambil mengacak rambut
Jean.

“Oh iya Mel, ini kakak gue,” Jean memperkenalkan.

“Aku Juan, kakaknya Jean. Kamu Amelia kan?”

“Iya, kok kakak bisa tahu?” tanyaku bingung.

Ia tertawa lembut. Tawa yang menawan.

“Jean sering cerita tentang kamu.”


“Iya, gue emang sering cerita kalo lo pingin belajar main basket. Kebetulan dia kan
ketua tim basket sekolah kita. Barangkali lo bisa ikut tim basket,” jelas Jean.

“Oh, iya,” sahutku bodoh.

“Eh maksudku bisa enggak ya kak?”

Kak Juan tampak bingung. “Tapi di sekolah kita masih belum ada tim basket cewek.
Kalo mau buat tim harus ada minimal 6 anggota cewek. Tapi sementara kamu bisa belajar
dulu. Kamu mau?”

“Iya kak, latihannya mulai kapan ya kak?” tanyaku.

“Bisa mulai hari ini. Setiap hari sepulang sekolah kita latihan, tapi kamu gak harus
setiap hari ikut kok. Terserah kamu mau ikut hari apa aja.”

“Ok kak, makasih.”

“Udah yuk beli minum. Nanti telat.” Jean berjalan meninggalkanku.

“Nanti pulang sekolah ya,” ingat Kak Juan.

Aku tersenyum samar dan mengikuti Jean.

Sisa siang itu terasa berlalu sangat cepat. Setelah dua pelajaran akhirnya bel pulang
berbunyi.

Aku menuju ruang ganti untuk mengganti baru untung saja aku menyimpan baju
olahraga cadangan di lokerku.

Kak Juan duduk di kursi pinggir lapangan basket. Wajahnya yang tak kalah tampan
dari Kak Bintang sedang tampak tenang.

“Halo kak,” sapaku sambil tersenyum lebar.

“Hai.” Senyumannya menawan.

“Mau langsung mulai? Aku jelasin peraturan permainan basket dulu ya?”

“Iya, kak.”

Kak Juan mulai menjelaskan tentang peraturan permainan basket sambil memberi
contoh mungkin agar aku lebih cepat paham. Tapi terlalu lama berada di bawah panas
matahari membuatku agak pusing.
“Kalian ngapain?”

Anda mungkin juga menyukai