Anda di halaman 1dari 35

Jadi… bagaimana aku harus memulainya?

Oh, tentu saja. Perkenalan. Hal yang sangat umum dan sederhana.

Aku Nam Sihye. Usia? Hm… tidak perlu diketahui, sebab usia bukan segalanya. Hobi,
menonton film romantis. Makanan kesukaan, tidak ada (aku pemakan segalanya). Lalu hal
yang dibenci, well…itu akan dibahas nanti.

Aku duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Aku bukan murid yang gampang
dikenal orang, atau kata lainnya aku bukanlah anak populer di sekolah: aku tidak terlihat,
bukan secara harfiah tapi begitulah cara orang-orang memperlakukanku.

Ya… bisa dibilang jadi orang yang tidak terlihat itu ada banyak untungnya. Aku jadi jarang
diganggu, ataupun bahkan terkadang guru belum tentu bisa mengingat namaku---jadi aku
tidak perlu takut jika harus ditunjuk untuk menjawab pertanyaan ataupun disuruh-suruh.

Tapi di sisi lain juga ada tidak enaknya jadi tidak terlihat. Bagiku, setidaknya ada dua hal
tidak mengenakan.

Pertama: orang–orang tidak banyak yang mengenalku, dan akibatnya aku jadi hanya punya
sedikit teman (saking sedikitnya, aku hanya punya satu orang teman dari sekolah yang jumlah
seluruh muridnya bisa mencapai lebih dari angka seribu). Dan harus kuakui penyebab aku
tidak punya banyak teman bukan hanya karena aku tidak terlihat, tapi karena aku selalu
merasa kesulitan berbaur.

Aku punya teman dengan kepribadian yang berbanding terbalik denganku. Perkenalkan,
Hwang Sina, teman terbaik dalam hidupku. Dia keren dan gadis yang bebas. Bicaranya supel,
sangat mudah berbaur---dan pastinya sangat berbeda denganku. Entah apa yang membuatnya
mau berteman denganku, tapi karena kami berteman sudah sejak masa sekolah dasar kurasa
dia hanya terbiasa denganku.

Lalu setelah Sina, apakah ada orang lain yang berteman denganku? Jawabannya: tidak ada.
Tapi ada satu kejadian yang mengejutkan saat aku masuk di kelas satu sekolah menengah
atas, seorang gadis paling populer di sekolah mengajakku berbicara.
Aku tahu ini terdengar konyol, tapi bagi orang sepertiku itu merupakan suatu hal yang sangat
langka---ya, meski kuakui aku akhirnya menyesali semua percakapan dengannya di menit
setelahnya.

Saat itu aku dan Sina sedang makan siang di kantin. Park Chaeri si gadis paling populer di
sekolah bersama dengan side kick-nya Kim Rumi, tiba-tiba mendaratkan pantat tak berisi
mereka tepat di depan kursi yang bersebrangan dengan tempatku serta Sina.

Tanpa basa-basi lagi, perkataan pertama yang keluar dari bibinya adalah… “Kau terlihat
cantik.” Dan kalimat itu diperuntukan untukku.

Aku seketika merasa bingung sekaligus tersanjung. Maksudnya, gadis poputer di sekolah
memujiku? Itu luar biasa. “Oh, terima---,”

“Jadi kau setuju? Menurutmu kau cantik?” Dan dengan cepat Chaeri memotong perkataanku
seperti itu.

Yang ada dalam otakku saat itu bukanlah harus menjawab perkataan Chaeri atau apalah itu,
tapi aku malah terpikir jika dia terlihat sama seperti Regina George dari Mean Girls. Dan
bahkan untuk perkataannya pun mirip seperti saat Regina memuji Cady yang aslinya
bukanlah memuji.

Entah itu suatu kebetulan, atau mungkin Chaeri memang asli gadis kejam di dunia nyata
(replika dari Regina George), tapi nyatanya ada bukti jika Chaeri merupakan salah satu dari
spesies itu. Kalimat yang paling aku ingat darinya adalah saat ada seseorang memujinya
cantik, dan beginilah responnya: “Aku tahu, aku cantik dan itu fakta. Tidak usah berharap
berterimakasih, apalagi pada orang kasta rendahan sepertimu.” Setelah itu, tidak ada lagi
yang berani memujinya, tapi tidak ada juga yang membencinya karena menurut mereka
Chaeri cantik jadi bisa dimaklumi.

Aneh… tapi itulah pembahasan untuk penyebab pertama.


Kemudian, penyebab selanjutnya dan yang terakhir, kedua: karena tidak terlihat, orang yang
aku suka jadi tidak pernah melihatku juga.

Ingat di awal aku menyebutkan tentang hal yang dibenci? Nah, di pembahasan kali ini aku
akan membicarakan hal yang aku benci. Park Jihoon, orang yang aku sukai sekaligus aku
benci karena hidup dengan terlalu sempurna. []

2.

Ada sebuah tradisi konyol di sekolah ini, setiap sebulan sekali akan selalu ada daftar urutan
gadis tercantik di sekolah. Nominasi cantik diberikan untuk seluruh gadis dari seluruh
angkatan kelas, dan diumumkan di mading. Tidak pernah ada yang tahu siapa yang membuat
daftar itu, tapi efek yang diberikan cukup membuat beberapa gadis lain (yang tidak masuk
daftar terdepan) jadi sangat berkecil hati.

Hari ini daftar itu pun keluar. Aku memeriksanya langsung di mading, dan mendapat urutan
di pertengahan tempat dimana yang biasa saja selalu berada (alias urutan ke-ratusan),
sementara Sina mendapat posisi urutan 14. Itu… perbandingan yang sangat jauh sekali.

Ya… aku mengaku jika Sina sangat cantik: wajah dan kulitnya mulus, tingginya 170 cm, dan
juga pribadinya yang sangat terbuka jadi bisa dipastikan tidak akan ada yang tidak suka
dengannya. Sedangkan aku sendiri, aku yakin aku tidak terlahir jelek---maksudku, aku
memang tidak setinggi Sina, perbedaan tinggi kami sekitar 13 cm, dan aku juga tidak cacat
atau memiliki kekurangan apapun… hanya saja aku selalu sial karena tidak pernah dilihat.
Jadi yang orang lihat dariku hanyalah ‘siapa dia? Oh, tidak penting,’ atau ‘dia berteman
dengan Sina, sepertinya hanya numpang tenar,’ dan jujur itu omongan yang paling
menyakitkan bagiku.

Sina selalu meyakinkanku untuk tidak terpengaruh dengan daftar itu. Dia bilang aku manis,
dan aku harus percaya itu. Cantik tidak selamanya terpaku pada urutan konyol yang dibuat
oleh sosok-sosok yang tidak bertanggung jawab seperti si pembuat daftar.

Kami berdua pun lekas pergi dari tempat laknat itu. Lebih cepat, lebih baik.

.
.

Sina hendak ke kantin dan memintaku untuk menemaninya. Sebagai teman yang baik hati,
aku tentu saja akan menemaninya. Tapi setelah beberapa saat dalam perjalanan, seketika aku
merasa aku menyesali keputusanku---sebab aku malah jadi bertemu dengan Park Jihoon.

Sina memberi sinyal, dia menyikut pelan lenganku. “Arah jam 12,” katanya padaku.

Mataku menoleh pada arah yang dimaksud.

Tepat di depan kami berdua ada kawanan anak laki-laki yang menamai diri mereka sebagai
Treasure. Ada Choi Hyunsuk dari kelas tiga. Park jihoon, Kanemoto Yoshinori, dan Kim
Junkyu dari kelas dua. Takata Mashiho, Yoon Jaehyuk, serta Hamada Asahi dari kelas satu.
Serta dari berita yang aku dengar, anak-anak Treasure ini berjumlah 12 orang dan juga
tersebar bersekolah di tempat lain--- jadi anak-anak Treasure di sekolah ini hanya ada 7
orang.

Anak-anak Treasure ini bisa dibilang seperti F4-nya sekolah---mereka siswa-siswa terkenal,
bertampang oke, banyak penggemar, dan juga berdompet tebal. Definisi yang sempurna
untuk tiap anggotanya, dan sialnya aku harus jatuh hati pada salah satu anggotanya… Park
Jihoon.

Hah…

Entah harus bagaimana aku mendeskripsikannya. Terlalu banyak cara dan… dia terlalu indah
di mataku.

Awal Aku bertemu dengan Jihoon saat kelas satu sekolah menengah atas, kami sama-sama
siswa baru dan kami berada di kelas yang sama hingga akhirnya di kelas dua kami pisah
kelas. Lalu entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja aku merasa tertarik padanya---mungkin
itu karena dia orang yang baik, ataupun karena wajahnya yang tampan, aku tidak tahu,
intinya aku jatuh hati padanya.

Tapi sialnya reputasi Jihoon meningkat sangat pesat, dia seolah-olah menjelma sebagai sosok
yang sangat sulit untuk digapai olehku, dan melihatnya berkembang bagaikan bintang
bersinar setiap hari sungguh membuatku sangat tersiksa. Maksudku, aku suka dia. Tapi dia
bahkan tampak seperti tidak tahu namaku dan tentunya tidak akan pernah meresponku.

Ingin rasanya aku membencinya, tapi itu malah terasa sulit membenci sosok seperti dia. Jadi
aku merubah haluan membenci perasaanku untuk dirinya.

“Sina!” anak laki-laki bernama Yoshi berlari mendekati Sina dengan girang. Anak-anak
Treasure melihatnya, dan mereka tidak mau ambil repot hingga memilih untuk meninggalkan
Yoshi dengan tujuan tersendirinya.

Sina tersipu malu. “Hai,” sapanya.

Aku mendecak, lagi.

Yoshi dan Sina, dua orang yang terang-terangan menunjukan jika diri mereka berkencan
tanpa peduli kencaman para penggemar. Aku iri pada mereka berdua: berani dan serasi.

“Hai,” sapa Yoshi sambil tersenyum hangat. Kemudian Yoshi menoleh padaku. “Hai juga,
Sihye!”

Aku tersenyum tipis dan menganggukan kepala.

Ya… setidaknya orang populer seperti Yoshi masih menyadari eksistensiku yang tak kasat
mata ini. Itu adalah hal yang baik.
“Rumah Hyunsuk Hyung kosong malam ini, dia mau membuat pesta. Kau ikut?” tanya Yoshi
pada Sina.

Sina mengangguk. “Tentu saja. Aku akan datang dengan Sihye.”

Aku menyerngit. Tunggu, apa katanya---

“Bagus!” Yoshi merespon dengan cepat. “Pestanya jam 8 malam. Tidak perlu membawa
sesuatu, semua makanan dan hiburan sudah ada di tempat.” Dan sekejap kemudian Yoshi
kembali menyusul teman-temannya.

Ck! Pesta. Itu mimpi buruk bagi orang sepertiku, tapi aku harus datang demi temanku. []

3.

Aku tidak pernah ikut berpesta dengan anak-anak dari sekolahanku, jadi aku tidak tahu harus
memakai pakaian apa dan harus melakukan apa saat di pesta nanti.

Sina datang ke rumah untuk membantuku memilih pakaian, dan pilihannya jatuh pada celana
jins dan juga kaos hitam lengan panjang. "Yang sederhana saja," begitulah katanya.

Aku menelisik gaya pakaian Sina. Sepatu cokelat, kaos putih serta kemeja, dan celana jins
hitam---ya, itu sederhana, tidak berlebihan.

"Wauw..." terdengar suara dari ibu. Kami berdua berbalik dan menemukan ibu berdiri di
depan pintu kamar. "Kalian mau pergi kemana malam ini?" tanyanya.

Sina menjawab. "Ada pesta, Bibi." Dia mengedipkan sebelah matanya dengan genit.

Ibu tertawa kecil, di detik selanjutnya membalas kedipan mata Sina. "Bersenang-senanglah,
Nak. Tapi harus tetap ingat jam malam kalian." Kemudian ibu berbalik menjauh dari area
kamar.
"Kau mendapat izin untuk pergi," kata Sina. Dia tertawa kecil. Kedua tangannya
mendorongku perlahan, "Sana, ganti pakaianmu."

Aku mendengus. Mengambil pakaian yang Sina pilihkan dan bergegas memakainya.

Yoshi datang menjemput kami berdua dengan mobil yang dia pinjam dari sepupunya. Kami
bertiga menghabiskan waktu setidaknya setengah jam untuk sampai ke tempat kediaman
Hyunsuk. Setibanya di sana, Yoshi memakirkan mobil di halaman depan. Sina bergerak lebih
dahulu, menyeretku secara harfiah untuk keluar dari mobil.

Aku memandang sekeliling. Rumah Hyunsuk... hanya ada satu kata untuk menggambarkan
rumahnya: BESAR. Itu adalah rumah terbesar yang pernah aku lihat dan secara eksklusif aku
masuki. Halaman depan luas terasa penuh dan sesak dengan kendaraan para tamu undangan.
Musik DJ menggema dari segala arah. Banyak dari mereka (para tamu) berkeliaran di luar
rumah: ada yang minum (mungkin soda, tapi bisa juga soju ataupun minuman beralkohol
lainnya---astaga, mereka bahkan belum tentu cukup umur untuk itu), ada yang hanya
berbincang-bincang, ataupun bergoyang mengikuti irama musik DJ.

Yoshi sudah selesai dengan kegiatan memarkirnya. Lantas secara harfiah pula Yoshi
menggandeng Sina yang secara teknis turut menyeretku untuk masuk ke dalam rumah. Kami
menerobos masuk kerumunan orang. Yoshi memilih lewat pintu belakang rumah yang
melewati kolam renang. Di sana, di kolam renang, juga ramai dengan para tamu. Di malam
hari mereka berenang, para gadis dominan berpakaian minim, dan---oh, kupikir aku melihat
banyak dari mereka yang sedang menghisap wajah satu sama lain... bahkan ada yang
melakukannya dengan sesama jenis. Astaga, bukan mau bersikap anti atau apapun itu, hanya
saja semua ini terasa sangat baru sekaligus aneh bagiku. Aku tidak terbiasa.
Yah... inilah pesta anak muda jaman sekarang, Shiye. Apa yang kau harapkan? Kumpul-
kumpul hanya untuk menonton film romansa tahun 80-an sambil minum susu hangat lalu
tidur dengan piyama hangat yang nyaman? Astaga... aku bahkan ragu jika mereka butuh
piyama untuk tidur karena pakaian belum tentu diperlukan.

Sina terkekeh. "Ada yang terkena culture shock," godanya dengan usil.

Aku mendengus. Itu sungguh sangat benar.

Keadaan di dalam temaram, hanya bermodalkan cahaya pantulan dari lampu disko. Hyunsuk
punya lampu disko yang digantungnya di langit-langit, di samping dengan lampu gantung
super mahal. Orang-orang sungguh sangat ramai di dalam jika dibandingkan dengan di luar.
Di dalam sini, musik berdentum lebih keras. Mereka semua menggila dengan menari
menempel seperti orang gila. Mereka bercumbu---benar-benar bercumbu yang sampai aku
kira meraka butuh kamar saat itu juga. Lirikan mata yang meliar mencari mangsa. Ada pula
yang terlihat menghisap sesuatu ke dalam lubang hidung mereka, lalu di sepersekon
kemudian wajah mereka terlihat mengendur, rileks---seratus persen aku yakin mereka sedang
teler.

Serangan culture shock kembali mengguncang. Apakah orang-orang Asia---maksudku,


remaja Asia berpesta seperti ini? Rasanya ini seperti bukan budaya Asia.

Di film-film ataupun series Amerika yang aku tonton kerap kali menggambarkan pesta yang
seperti ini. Tapi ini Asia, Korea... rasanya aneh melihah orang-orang disekitar sudah paham
hal seperti ini, sementara duniaku hanya sekedar bunga dan kupu-kupu kartun.

"Jaehyuk!" Yoshi berteriak, memangil Jaehyuk yang kala itu tidak sengaja terlihat di antara
lautan manusia yang menggila.

Jaehyuk melambaikan tangannya tinggi, seperti memberi sinyal agar kami mendekat.
Langkah kaki membawa ke tempat Jaehyuk berdiri, lalu Jaehyuk menuntun kami untuk
masuk ke dalam ruangan---nuasanya gelap, dengan perapian yang menyala. Itu terlihat
seperti ruangan khusus untuk mereka (maksudku, anak-anak Treasure), lebih tenang, dalam
artian tidak banyak orang di dalamnya. Benar-benar hanya untuk anak-anak Treasure.

Mereka semua duduk di kursi sofa leter U kulit hitam. Di depan mereka, meja penuh dengan
bermacam minuman (mungkin ada soda, air putih biasa, atapun minuman beralkohol), dan
ada pula makan-makanan ringan.

Hyunsuk sang pemilik rumah yang pertama kali menyadari kehadiran kami. Dia tersenyum
lebar, duduk di tengah dengan merentangkan kedua tangan ke sisi sandaran kepala sofa dan
menyilangkan sebelah kakinya. Hyunsuk berpakaian santai---mereka semua memakai
pakaian santai, yang anehnya masih tetap terlihat berkelas. "Ah, tamu terakhir akhirnya
datang juga!"

Yoshi menyeringai, bergabung duduk dengan Sina di sisi kanannya, dan aku di sisi kanan
Sina. Sementara itu Jaehyuk permisi undur diri karena mau bergabung menari dengan orang-
orang di luar ruangan.

Di seberang sofa, ada Junkyu dan Jihoon duduk bersebelahan. Sementara itu Mashiho di sisi
Hyunsuk, dan tidak terlihat adanya tanda-tanda kehidupan dari Asahi. Mungkin Asahi tidak
datang, atau mungkin Asahi turut bergabung juga dengan orang di luar ruangan seperti
Jaehyuk.

"Wah, Sihye datang juga rupanya!" suara riang Junkyu turut menyambut.

Aku tersenyum kikuk. Tidak menyangka jika Junkyu tahu namaku---ah, mungkin itu karena
aku berteman dengan Sina jadi secara otomatis mereka mungkin tahu namaku juga (walau
aku yakin tidak semuanya tahu).

"Tentu saja Sihye datang," tambah Hyunsuk. "Harus ada yang menemani Jihoon, kau tahu..."
PUK, sebuah bantal kecil mendarat di wajah Hyunsuk. Pelakunya adalah Park Jihoon.

"Jangan sembarang bicara," kata Jihoon tidak suka.


Ya, Hyunsuk,aku mengiyakan dalam hati, jangan asal bicara. Jangan karena kau itu kakak
tingkat, kau bisa bertindak sesuka hatimu. Dan--- BAH, aku bahkan tidak memanggilnya
kakak walaupun dia setahun lebih tua dariku serta faktor utamanya adalah karena hampir
tidak ada komunikasi yang terjadi antar kami berdua, setidaknya sampai malam ini.

Dan kurasa Jihoon juga merasa sangat keberatan jika harus disandingkan dengan gadis non-
populer sepertiku. Ya... tidak apa. Aku paham. Untung saja aku tidak bermimpi lebih, jadi
rasa kecewa tidak menginvasi hatiku saat mendengar penolakan secara tidak langsung
darinya. Aku tidak kesal karena dia berkata seperti itu, aku tidak membencinya, tapi aku
hanya benci perasaanku untuknya.

Singkat cerita waktu berjalan ke depan dengan terasa sangat membosankan bagiku. Aku tidak
suka berada di sini, dan lucunya Yoshi dan Sina sudah kabur untuk menikmati waktu
berdua---meninggalkanku yang hampir mati kebosanan. Hyunsuk, Mashiho, dan Junkyu
sibuk bermain game online dari ponsel pintar mereka, sementara Jihoon hanya asik bermain
ponsel dan sesekali menonton bagaimana jalannya game online yang dimainkan teman-
temannya.

Ck! Benar-benar tidak asik.

Aku pun mengangkat pantat dari sofa, berjalan keluar untuk bergabung dengan orang-orang
yang masih menggila dengan iringan musik. Aku bergerak mengambil minuman, dan tepat
setelah itu seseorang menyenggol bahuku.

"Jangan, itu beralkohol." Aku menoleh, itu adalah Asahi dengan segelas bening berisikan air
di genggaman tangannya. Dia memberikan gelas itu padaku dan mengambil gelas yang aku
ambil sebelumnya. "Ini lebih aman," katanya.

Aku tersenyum kecil. "Terimakasih."

Tapi bukannya membalas dengan kata-kata yang baik, Asahi malah mendecak. "Jangan
tersenyum seperti itu," peringatnya. "Sekarang ini kau berada di tempat yang asing dan
berisikan kumpulan manusia yang mabuk dan teler karena obat. Senyuman seperti itu sering
jadi makna kau berniat menggoda dan berakhir tanpa pakaian di tempat tidur. Jadi jangan
seperti itu lagi."
O-oke...

Aku mengangguk paham.

Benar-benar suatu kesalahan aku datang kemari. Seharusnya aku bisa menolak lebih keras
ajakan Sina.

"Aku benar-benar tidak paham apa yang mereka pikirkan saat mengundangmu, terlalu
berbahaya. Aku tidak mau besok mendapat laporan dari polisi karena ada sesuatu buruk yang
terjadi padamu," kata Asahi. "Lebih baik kau pulang. Jangan menunggu Yoshi ataupun Sina,
naik taksi atau bus saja. Dan jika ada yang menawarkan tumpangan, tolak dan jangan berani-
beraninya terima."

Aku menyerngit. "Apa itu aturan lain selain jangan tersenyum?"

Asahi menggeram. "Ikuti saja." Dia kemudian meneguk isi dari gelas yang diambil dariku.
"Aku permisi, rasanya ada yang mengawasi kita saat ini."

Kembali aku menyerngit. Terheran-heran. Ini sungguh benar-benar aneh.

Dan kurasa mungkin ada yang salah dengan jaringan di otakku, karena aku melakukan hal
yang dikatakan Asahi.

.
Aku benar-benar angkat kaki dari rumah Hyunsuk, dengan kedua kakiku, berjalan keluar
komplek menuju halte bus yang jaraknya sangat jauh. Hyunsuk tinggal di komplek
perumahan elit, tentu saja, dia itu kaya. Tapi yang jadi sialnya bagiku saat ini adalah karena
orang-orang kaya biasanya tipikal orang yang jarang bepergian dengan kendaraan umum, jadi
letak halte bus sangatlah jauh dari tempat ini---bahkan taksi pun sama sekali tidak ada yang
lewat.

Bagus, Sihye. Asahi pasti bangga padamu karena saat ini kau benar-benar melakukan apa
yang dikatakannya: pergi, tapi bedanya belum menemukan bus ataupun taksi untuk
membawaku pulang.

Tin! Tin!

Klakson mobil berbunyi. Pendar cahaya lampu mobil membuat bayangan diriku tertampang
di depan jalanan. Aku berbalik badan, dan menemukan pengemudi mobil menjulurkan
kepalanya keluar dari jendela.

Mataku melotot.

Itu adalah Jihoon.

"Kau sedirian?" tanyanya.

Aku menggidikan bahu. "Menurutmu?" Tidak, aku bersama Jung Haein sekarang, dan
rencananya aku akan bersama Andrew Garfield setelah ini. Argh, tentu saja aku sendiran!

"Mau kuantar?"

Wah, itu terdengar sangat mengoda bagiku. Dan kemudian kata-kata Asahi terlintas kembali.
"Jika ada yang menawarkan tumpangan, tolak dan jangan berani-beraninya terima".
Aku memberinya senyuman tipis canggung. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri."

Jihoon mendecak. "Ayolah, pasti lama menunggu kendaraan umum lewat," katanya.

Aku menggeleng pelan. "Kau tidak punya SIM. Nanti kita tertangkap polisi," sangkalku.

"Oh, jadi Yoshi sudah punya SIM untuk membawa mobil sepupunya?" itu adalah sebuah
pertanyaan retoris.

"Kurasa dia punya yang palsu untuk jaga-jaga."

Jihoon lagi-lagi mendecak. "Ayolah, tidak apa. Hitung-hitung menghemat uangmu. Iya,
kan?"

Sial. Itu benar.

Argh! Persertan dengan Asahi. Aku tidak akan melewatkan tawaran menggiurkan ini, terlebih
ini dari anak laki-laki yang sudah lama aku sukai.

Pada akhirnya, aku tersenyum lebar. "Oke." []

4.

Aku tidak mau menjelaskan detil apa saja yang kami berdua lakukan di mobil, karena pada
dasarnya aku dan Jihoon hanya diam saja di kursi depan sampai akhirnya mobil Jihoon
menepi di depan halaman rumahku.

Aku menyerngit, merasa aku ingat akan sesuatu yang sangat penting: aku belum sempat
memberitahu Jihoon alamat rumahku, tapi dia sudah mengantarkanku dengan selamat sampai
depan rumah.
Sembari melepas sabuk pengaman, aku bertanya, "Kau... tahu dari mana ini rumahku?"

Jihoon menoleh, wajahnya sedikit menunjukan ekspresi terkejut, menyadari apa yang
dilakukannya tampak sedikit tidak wajar di mataku. "Kau Nam Sihye, kan?"

Astaga... dia bahkan harus bertanya seperti itu dulu, karena tidak tahu siapa aku. Rasanya aku
jadi ingin mengubur diri dengan semua reputasi non-populer yang kumiliki.

Aku mengangguk canggung. "I-iya?"

"Sina pernah memintaku untuk mengantarnya ke rumahmu, beberapa kali, jadi aku tahu di
mana rumahmu," jelas Jihoon.

Aku mengangguk kembali. Itu terdengar masuk akal sekarang. Padahal tadinya aku mulai
berpikir kalau Jihoon adalah seorang penguntit mesum yang mengikutiku, tapi---ya, itu hanya
imajinasi liarku yang tidak tahu diri saja.

"Oke, terimakasih sudah mengantarku pulang." Aku memberinya senyuman canggung.


Tangganku bergerak membuka pintu dan melangkah keluar.

"Sihye?" Jihoon mendadak memanggil. Menurunkan kaca jendela mobil.

Aku menoleh padanya. "Ya?"

"Sampai jumpa di sekolah," katanya.

Aku mengangguk. "Oke. Pasti."

Jihoon terdiam sejenak, tampak memikirkan kalimat apa yang akan diucapkan. "Dah.
Selamat malam." Itu kalimat yang keluar.
Aku tidak sempat membalasnya. Jihoon langsung menaikan kaca jendela mobil dan melaju
pelan menjauh dari halaman rumahku.

Kupikir, well... tidak terlalu buruk, untuk komunikasi pertama yang terpanjang yang terjadi
antara aku dan Jihoon. Aku tersenyum senang. Tidak ada buruknya menerima tawaran
tumpangan pulang. Iya, kan?

Salah. Itu salah.

Kupikir semua akan baik-baik saja, tapi saat di sekolah, begitu aku masuk melewati gerbang
utama, semua mata mendadak menuju padaku.

Pertamanya kupikir ada yang salah dengan apa yang aku pakai. Mungkin aku pakai seragam
terbalik, atau mungkin aku lupa dengan gantungan baju yang mungkin saja masih tersangkut
di belakang kerah bajuku, atau kemungkinan terburuknya aku lupa menggunakan rok. Tapi
nyatanya, bukan itu yang membuatku mendadak menjadi pusat perhatian.

Sina berlari dan berusaha untuk menghampiriku secepat mungkin. "Kau pulang dengan siapa
semalam?" wajahnya tampak penasaran.

"Dengan Jihoon," jawabku.


Sina terkesiap. Mulutnya menganga tidak percaya. "Jadi itu benar?!"

Mataku berkedip dengan cepat. Ada sesuatu yang tidak beres. "Memangnya kenapa?"

"Seluruh sekolah bergosip ria tentang kau berciuman panas denganya di dalam mobil!"

Aku melotot kaget.

Menerima tumpangan pulang tidak pernah membuatku berpikir akan berada di posisi saat ini.

Aku merasa tidak nyaman sepanjang pelajaran di kelas. Beruntungnya aku dan Jihoon tidak
berada di kelas yang sama, jadi setidaknya rasa tidak nyaman itu tidak bertambah dengan
tidak hadirnya Jihoon.

Walaupun begitu, saat di kantin aku tidak bisa menghindarinya.

Aku sedang berusaha mencari tempat duduk untuk makan. Sembari membawa nampan aku
mengedarkan pandangan mencari tempat yang kosong. Andai saja saat itu aku tidak
'memandang', mungkin aku tidak akan bertatap mata dengan Jihoon yang sedang duduk
dengan teman-temannya.
Kontak mata itu singkat, Jihoon memberikan seulas senyuman yang membuatku melotot
tidak percaya. Maksudku, selama aku tidak terlihat, tidak pernah dia sekalipun melemparkan
senyuman padaku. Lalu kenapa sekarang dia malah tersenyum padaku? Apa kepalanya
terbentur?

Aish. Jangan terlalu percaya diri. Mungkin Jihoon sedang tersenyum dengan orang yang ada
di belakangku---iya, kan?

Aku menggeleng cepat, mengenyahkan pikiran itu dan bergerak mendudukan diri di tempat
yang kosong. Sina tak lama duduk di sebelahku dan menyantap makanan dari nampannya,
begitu pula denganku.

Aku sudah mendengar bagaimana berita tidak benar itu tersebar. Sina bercerita malam itu
Jihoon memberitahu Yoshi bahwa dirinya mengantarku pulang ke rumah. Lalu Yoshi
memberitahu pada yang lain, dengan kalimat: "Jihoon mengantar Sihye pulang." Hanya
kalimat itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Lalu entah bagaimana kalimat itu pun melebar
sepanjang bergulirnya berita dari mulut ke mulut. Ada yang berkata aku menggoda Jihoon
untuk mengantarku pulang, ada yang berkata aku mabuk berat sehingga terpaksa Jihoon
mengantarku pulang, lalu ada pula yang berkata jika kami berdua melakukan tindakan tidak
senonoh di dalam mobil semalam. Fokus berita yang tersebar luas dan diyakini banyak orang:
kami berdua berciuman.

Aku mendengus. Andai mereka semua tahu jika semalam hanya didominasi oleh diam
ditempat tanpa bicara. Kurasa semangat bergosip mereka akan mati ditempat saat itu juga.

"Jadi..." seseorang meletakkan nampan di sebrang tempatku. Aku mendongak, itu Park
Chaeri yang saat ini entah kenapa hanya seorang diri tanpa pembantu setianya, Kim Rumi.
"Berita yang beredar itu benar?"

Jujur, aku malas menanggapinya. Chaeri merupakan orang kesekian kalinya yang datang
hanya untuk bertanya tentang malam panas fiktif yang dikarang oleh banyak orang. Aku lelah
memberikan sangkalan, dan aku juga berharap jika Jihoon mengalami hal yang sama sebab
ini semua bermula dari mulut ringannya yang memberitahu Yoshi. Jadi saat Chaeri bertanya,
aku hanya diam saja dan menikmati makananku.
Tapi tampaknya itu terlihat seperti sebuah pemberontakan di mata Chaeri.

Bak!

Chaeri menggebrak meja. Wajahnya mengeras, memerah, tampak tidak suka dengan
eksistensiku di muka bumi ini. "Kau pikir karena berita murahan itu, kau benar-benar
terkenal sekarang?!" Suasana kantin sekejap hening. Lagi, aku menjadi pusat perhatian.

Chaeri dengan kata sumbu pendek dan terkenal, merupakan asosiasi yang tidak bagus.

Sina mendecak kesal. "Bisa kau menyingkir saja? Wajah barbie jelekmu itu mengganggu."

"KAU!" Chaeri menunjuk Sina dengan kesal. "BERANI KAU BICARA SEPERTI ITU
PADAKU, JALANG SIALAN?!"

Oke, itu mulai membuatku kesal juga.

Aku meninggalkan makananku demi membela Sina dari si barbie jelek. kuambil minumanku,
dan kusiram Chaeri dengan itu. Dia jadi basah kuyup, keadaan bertambah sunyi. Hanya suara
kami yang mendominasi.

"Jangan berbicara seperti itu pada temanku, tolol," kataku. "Hanya karena kau berkuasa dan
pamanmu kepala sekolah di tempat ini, bukan berarti kau bisa sesukanya mengklaim
kekuasaan. Kau tidaklah berhak. Kau itu cuma perempuan bermodalkan wajah cantik buatan
dengan otak udang kosong, dan aku sudah benar-benar muak dengan tingkahmu!"

Chaeri mendadak terdiam. Dia terkesiap tidak menyangka aku akan menyerangnya secara
verbal.

Ups... Tampaknya aku mengatakan sesuatu yang melampaui batasan.


"Nam Sihye?" Sebuah suara berat orang dewasa terdengar. Kepala sekolah sedang berada di
kantin juga rupanya, menonton drama gratis yang beberapa saat lalu terjadi. "Ke ruangan
saya, sekarang!" []

5.

Park Chaeri merupakan anak dari kalangan keluarga yang sangat berkecukupan alias kaya.
Ayahnya memiliki yayasan pendidikan mulai dari SD, SMP, hingga SMA, lalu saudara-
saudara ayahnya yang bertanggung jawab memimpin sekolah tersebut---seperti kepala
sekolah tampatku saat ini yang merupakan paman dari Chaeri.

Chaeri selalu memiliki masalah dengan kepercayaan diri yang terlalu tinggi hingga bisa
menganggap jika dirinya memberikan efek supremasi pada banyak orang. Aku tidak pernah
suka sikapnya yang seperti itu. Tapi saat ini aku benar-benar merasa tidak suka sekaligus jijik
dengan dirinya yang juga memanfaatkan status pamannya sebagai kepala sekolah untuk
menghukumku.

"Atas berita tidak baik yang beredar saat ini dan juga tindakan ceroboh tidak sopan yang kau
lakukan di kantin, Nam Sihye, kau dihukum membersihkan seluruh lapangan olahraga
sekolah seusai jam pelajaran terakhir. Hukuman berlaku sampai sehari sebelum pesta prom
diselenggarakan."

Sebelum pesta prom diselenggarakan, jika aku hitung baik-baik setidaknya itu berlangsung
selama hampir sebulan penuh.

Hebat sekali.

Di saat anak perempuan lain sibuk memikirkan gaun apa yang akan mereka pakai untuk
prom, aku malah harus berurusan dengan sapu serta lap pel basah selama hampir sebulan.
Sungguh beruntungnya aku...

"Hukumanmu bisa dilakukan mulai hari ini. Sekarang silahkan keluar."


Aku pasrah. Aku bangkit dari kantor kepala sekolah. Cukup lama aku berada di sana,
mendengarkan ceramah tidak berguna yang kupikir akan lebih baik jika ceramah itu
ditujukan untuk Chaeri.

Aku kelaparan, aku melawati sesi makan dan jam pelajaran selanjutnya akan dimulai 5 menit
lagi. Hah, ini hari yang berat untukku. Tidak bisakah Tuhan menunjukan belas kasihnya kali
ini? Setidaknya, aku butuh makan untuk mengganti tenagaku yang habis sia-sia.

Astaga... aku lelah.

Jam pelajaran akhir telah usai. Akhrinya tibalah saatnya aku beralih profesi menjadi tukang
bersih-bersih sekolah.

Paman yang biasanya melakukan kerja bersih-bersih memberitahuku untuk membersihkan


lapangan indoor. Hanya lapangan itu rupanya, kepala sekolah meralat hukuman untuk
membersihkan lapangan indoor selama sebulan penuh (bukan hampir sebulan) yang nantinya
akan digunakan untuk acara prom. Wauw, seluruh sekolah harusnya berterimakasih padaku
karena telah membersihkan tempat untuk dansa mereka.

Aku mengambil sapu dan pasukan pelengkap lainnya. Berjalan masuk ke dalam lapangan,
dan kemudian menyerngit---ada sosok lain di situ yang sudah mulai melakukan kegiatan
bersih-bersih, dan itu adalah Jihoon.

Hah?
Aku merasa sedikit heran, kenapa sejak semalam rasanya Jihoon seperti berkeliaran terus di
hadapanku? Bukannya tidak suka atau merasa risih dan apapun itu---, hanya saja... saat pesta
kemarin malam, mengantar pulang, senyuman di kantin, lalu sekarang di lapangan
mengerjakan hukuman bersama---rasanya aneh melihat orang yang susah untuk digapai
mendadak malah berada dalam jangkauan tangan saat ini.

Aku berdeham. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Jihoon melirik padaku sejenak. "Tampaknya bukan kau saja yang dihukum karena gosip yang
beredar."

Oh... Jihoon kena getahnya juga ternyata.

Aku meringis. "Maaf," gumanku.

Jihoon tertawa kecil. "Tidak perlu. Lagi pula aku cukup menikmati berita yang beredar."

Sebelah alisku terangkat. "Berita yang kita berciuman di mobilmu semalam?" aku
menggeleng. "Aku khawatir tentang cara penyampaian informasi di sini. Tampaknya siswa
lain kesulitan mencerna kalimat sederhana dan malah menjadikannya versi liar."

"Ya." Jihoon setuju. "Efek otak hanya sebesar teko teh poci."

Aku tertawa kecil. Jihoon menghina orang-orang dengan selera humornya.

Atensiku sepersekon kemudian beralih. Tanganku mulai bekerja membersihkan lantai.

"Maaf," kata Jihoon, sambil tetap mengerjakan hukumannya. "Seharusnya aku yang minta
maaf, aku tidak sengaja menyeretmu ke masalah ini. Kau pasti merasa tidak nyaman."
Aku mengangguk setuju. "Ya, aku sangat tidak nyaman," ungkapku. "Kemarin aku masih
'bukan siapa-siapa' dan sekarang rasanya semua orang ingin tahu kisah hidupku."

Tangan Jihoon bergerak mengusap tengkuknya dengan canggung. "Maaf, ya?" katanya
kembali. "Sebagai permintaan maaf, sehabis ini aku traktir kau makan dan kuantar kau
pulang. Bagaimana?"

Hm... Itu terdengar sangat mengiurkan bagiku, dari sudut pandang gadis pada anak laki-laki
yang disukainya. Tapi apakah semuanya akan sepadan dengan berita lain yang akan tersebar,
lagi? Maksudku, aku baru terkena masalah hanya karena Jihoon mengantarku pulang dari
pesta Hyunsuk kemarin malam, dan sekarang dia menawarkan hal itu lagi dengan tambahan
lainnya? Bagiamana jika akan ada berita yang lebih parah lagi beredar?

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," kata Jihoon. "Tidak perlu dipikirkan. Berita sudah
terlanjur tersebar, dan jika akan tersebar lagi itu pun tidak apa. Aku tidak keberatan."

Aku menyerngit. Apa maksud dia berkata seperti itu?

"Tapi aku keberatan," kataku. "Kau tidak merasa risih dibicarakan hampir seisi sekolah
karena... kau tahu, aku...? Lalu bagaimana jika pacarmu marah karena hal itu?"

Jihoon menggeleng. "Sudah aku bilang aku menikmatinya. Lagi pula, aku juga tidak punya
pacar. Jadi jalani saja."

Alisku terangkat. Aku tidak percaya. Dasar pembohong. Dengan tampang seperti itu tidak
mungkin Jihoon tidak menarik perhatian dari para kromosom x. Dia pasti hanya membual
saat bilang tidak punya pacar.

Pembicaraan pun terhenti setelah kalimat itu terlontar keluar. Aku tidak mau membalasnya
dan tidak mau terlalu memikirkannya saat ini. Karena bagiku, semua yang diucapkan Jihoon
hanya terdengar sebagai candaan.
.

Tapi pada nyatanya, Jihoon bersikeras untuk menepati janji 'sepihaknya', yaitu mentraktirku
dan juga mengantarku pulang. Jihoon berkali-kali meyakinkanku untuk turut bergabung ke
dalam mobilnya dengan bermodalkan SIM palsu untuk berjaga-jaga jika tertangkap polisi
karena berkendara mobil di bawah umur.

Aku seharusnya bisa berkeras menolak semua tawaran Jihoon jika ingin terbebas dari
masalah yang akan timbul nanti. Tapi kurasa jaringan di otaku kembali berulah, rasanya sulit
sekali untuk menolak orang lain hingga aku berakhir memakan es krim di kedai dekat
sekolah, dan tentunya bersama dengan Jihoon yang saat ini menyengir lebar sembari
memakan es krimnya.

Aku pasrah. Mungkin sehabis ini aku harus membuat janji dengan psikolog terkait 'kenapa
sulit sekali menolak orang lain?' itu masalah yang cukup serius untukku.

"Kau tahu, saat aku bilang aku tidak punya pacar, aku bersungguh-sungguh," kata Jihoon.
"Aku bukan tipe orang yang suka pacaran," ungkapnya.

Bagus. Setelah ini aku mungkin akan dikeroyok oleh para gadis yang pernah dekat
dengannya, tanpa status pacar.

Aku menyuapkan sesendok es krim. "Kau tidak perlu menjelaskannya. Tidak penting
bagiku---,"

"Tapi itu penting bagiku," potong Jihoon. Dia mengeluarkan ponselnya. "Bisa berikan
nomormu?"
Aku menyerngit. Heran. Tapi tanganku malah menjulur mengambil ponsel Jihoon dan
langsung mengetik nomorku, tanpa bertanya sama sekali kenapa Jihoon meminta nomorku.

Beberapa saat setelahnya kami pergi dari kedai, hanya menghabis-habiskan uang tanpa
menghabiskan es krim yang dipesan: pemborosan.

Jihoon langsung mengantarku pulang. Selama perjalanan, keadaan masih di dominasi dengan
hening, tapi tidak separah kemarin malam. Jihoon bertanya beberapa hal tidak penting untuk
mencairkan suasana, yang sebenarnya itu tidak perlu dilakukan, sebab---aku hanya tidak mau,
dan sedikit tidak nyaman karena khawatir kira-kira berita seperti apa yang akan tersebar
besok. Aku yakin ada beberapa mata yang sudah melihat kami berdua sejak tadi, dan tinggal
tunggu saja berita apa yang akan terbit keesokan harinya.

"Sudah sampai." Jihoon memberitahu.

Aku tersenyum tipis. Tanganku bergerak membuka sabuk pengaman. "Terimakasih." Aku
membuka pintu dan keluar.

Aku tidak berniat untuk menunggu Jihoon pergi menjauh dengan mobilnya, jadi aku
langsung saja berjalan masuk ke rumah. Dan tepat saat aku berada di depan pintu, aku
mendapatkan panggilan telepon dari nomor tidak dikenal.

Aku mengangkatnya. "Halo? Siapa ini?"

"Simpan nomorku, oke?" Itu suara Jihoon.

Aku berbalik dan menemukan Jihoon masih ada di tempat semula dengan ponsel di
telinganya. "O-oke."

Jihoon tampak tersenyum lebar. "Aku pulang," katanya. "Sampai jumpa besok."
Aku mengacungkan jempol sebagai respon, dan berganti dengan lambaian tangan. "Hati-
hati."

"Pasti." Dan panggilan pun terputus secara sepihak, sejalan dengan Jihoon yang melajukan
mobilnya.[]

6.

Seperti yang sudah aku khawatirkan: terbitlah berita omong kosong lainnya dari siswa-siswi
haus informasi terkini.

Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku sangat percaya jika selama kegiatanku di sekolah dan
luar sekolah kemarin ada yang mengawasi. Benar-benar tinggal menunggu berita lain untuk
terbit, dan 'BOOM' aku kembali jadi pusat perhatian. Tapi bedanya kali ini aku sudah
mengantisipasi diriku sendiri, terutama secara mental, jadi aku tidak terlalu terkejut seperti
pertama kali mendapat berita konyol ini.

Hanya saja... ada satu hal yang benar-benar tidak bisa aku atasi, sampai aku hampir tidak
sempat lagi menaruh atensi pada berita tentang diriku.

"Hai, Sihye!" sebuah lengan melingkari bahuku. "Bagiamana pagimu hari ini?" tanyanya
dengan nada yang lembut dan manis.

Jihoon, pagi ini mendadak menjadi dekat: sangat lengket denganku, sampai-sampai aku
bingung dengan apa yang terjadi padanya saat ini.

Aku baru saja sampai di sekolah sekitar 15 menit yang lalu. Berita terkini yang beredar
adalah mayoritas orang menduga-duga aku memiliki hubungan spesial dengan Jihoon, dan
kegiatan makan es krim di kedai kemarin diduga sebagai acara kencan kami berdua. Aku
sebisa mungkin menyangkal mengingat bagaimana reputasiku dan bagiamana juga dengan
reputasi Jihoon. Keadaan pun mulai terkendali sejenak, lalu kemudian Jihoon sekonyong-
koyongnya muncul dengan merangkulku, sangat erat.
Sangat erat, terlalu dekat---aku bahkan sampai bisa mencium wangi parfumnya yang
menenangkan, dan otaku merekam dengan jelas bagaimana wanginya.

Sialan.

Jantungku berdetak cepat seolah-olah hendak meledak.

Seseorang tolong aku! Singkirkan makhluk tampan ini!

Dia tidak baik untuk kesehatan jantungku!

ARGH!

"Kenapa tidak dijawab?" tanya Jihoon, membuat kembali dengan kesadaran di bumi.

Aku berkedip dengan cepat. "Y-ya. Bagus," jawabku seadanya.

Suara-suara ribut dari belakang terdengar. "Aww~ Sihye gugup karena Jihoom terlalu dekat!"
Hyunsuk dan anak-anak Treasure lewat dengan siulan usil.

Jihoon terkekeh. Bukannya melepas rangkulan, Jihoon malah mengeratkannya lagi.


Tubuhnya terasa hangat, membuatku terlalu nyaman.

Aku mencoba mengalihkan topik. "Mana Asahi?" tanyaku, sembari mencari keberadaan
Asahi. Dia tidak ada di jajaran kelompok saat ini, tidak terlihat sedikitpun.

Yoshi menjawab, "Dia ke jepang, sejak kemarin pagi."

Oh, ya? Aku tidak sadar jika sejak kemarin Asahi tidak ada...
"Ada urusan keluarga, tidak tahu kapan akan pulang," lanjut Yoshi. Kemudian Yoshi beralih
pada Jihoon. "Sebaiknya kau lepaskan dulu Sihye. Kurasa pacarku sedang mencari-cari di
mana temannya saat ini."

Kedua alis Jihoon terangkat. "Benarkah?" Kemudian melepaskan rangkulannya. "Baiklah,


tahanan kali ini akan dibebaskan, tapi saat istirahat nanti kau jadi tahananku kembali. Oke?"
katanya dengan keputusan akhir yang bersifat sepihak.

Aku tersenyum canggung. Bingung harus berkata apa.

Jihoon menyengir lebar, melangkahkan kaki turut bergabung dengan anak-anak Treasure.

Sebelum mereka semua berbalik menuju kelas, aku melemparkan tatapan terimakasih kepada
Yoshi yang sudah membantuku melepaskan diri dari sosok Jihoon.

Jihoon benar-benar serius dengan ucapannya. Aku kembali ditahan di sisinya selama
istirahat.

Kami ada di kantin saat ini. Treasure (minus Asahi yang saat ini sedang ada di Jepang)
berkumpul di satu meja yang sama. Sina ikut bergabung, duduk bersebelahan dengan Yoshi
di kanannya yang terkadang saling menyuapi satu sama lain. Kemudian di sebelah kanan
Yoshi ada Hyunsuk, dilanjutkan dengan Junkyu, aku, Jihoon, Mashiho, dan diakhiri dengan
Jaehyuk.
Aku diapit di antara Junkyu dan Jihoon. Rasanya sedikit tidak nyaman, karena Junkyu
mengajakku berbicara dengan bumbu-bumbu menggoda: tentang gosip yang beredar.

"Jadi kalian berdua benar-benar berkencan kemarin sehabis detensi?" tanya Junkyu. Bahunya
bergerak menyundul kecil bahuku secara terus menerus.

Aku tertawa canggung. "Tidak---,"

"Tentu saja!" potong Jihoon.

Astaga, itu malah memperparah keadaan.

Sontak orang-orang yang mendengar mengoda kami berdua.

"Kalau dilihat-lihat, Sihye mungil, ya?" celetuk Jaehyuk.

"Iya." Jihoon setuju. "Dia imut, kan?"

Jaehyuk terkekeh.

"Pipinya juga berisi! Aku suka!" tambah Junkyu.

"Hei, hei!" nada suara Jihoon terdengar memperingati. "Kau tidak boleh suka padanya, hanya
aku yang boleh!"

H-ha?
Apa katanya tadi?

Sontak orang-orang semakin menggoda kami.

"Jihoon cemburu, teman-teman~" kata Hyunsuk dengan binar mata usil.

Kurasa wajahku memerah sekarang.

Aku tidak tahu itu hanya sekedar candaan atau omong kosong belaka, tapi itu tidak lucu
bagiku.

Aku hanya ingin ini semua usai, dan aku akan menjalani hidupku yang bosan serta monoton
kembali.

Mendekati waktu-waktu pelajaran akhir usai, aku izin terlebih dahulu ke toilet untuk buang
air kecil. Aku secepatnya ke toilet dan mengurus panggilan alam tersebut. Selepasnya, aku
berniat langsung kembali ke kelas, tapi aku tertahan karena ada segerombolan gadis yang
baru masuk dan bergosip ria. Aku kembali berdam di dalam bilik toilet, dan menunggu
sejenak.

Sebenarnya bisa saja aku langsung pergi, tapi itu tidak kulakukan, terlebih gosip yang mereka
bawakan adalah tentang diriku---dan tentunya tentang Jihoon juga, sebab aku sangat terkenal
saat ini berkat dia.
"Kabar baru: Sihye dan Jihoon berpacaran."

Aku mendengus. Itu masih berita yang tadi pagi beredar.

"Itu basi. Berita tadi pagi."

Nah, benar kan...

"Ck, sudah diperbaharui. Kau tahu, saat istirahat dikantin tadi."

Aku menyerngit. Apa tadi katanya?

"Hah? Jadi yang sekarang official?"

"Tentu saja."

Aku tercengang, terdiam di tempat.

Beberapa saat kemudian para gadis penggosip itu keluar dari toilet, aku pun secepat mungkin
keluar juga. Aku berlari menuju kelas, dan kebetulan bel pulang berdering kencang. Jadi aku
dengan sigap membereskan buku, memasukkannya ke dalam tas dan kemudian berlari
kembali menemui Jihoon untuk detensi hukuman membersihkan lapangan indoor.

Setibanya di sana, Jihoon sudah mengerjakan kegiatan bersih-bersih.

Aku memanggilnya. "Jihoon!" napasku menderu, terengah-engah karena lelah.


Jihoon menoleh, dia memberikan seulas senyum simpul. "Hai!" Kemudian dia mengerngit
heran. "Kau baik-baik saja? Kau terlihat lelah?" Jihoon berjalan mendekat, tampaknya berniat
memeriksa keadaanku.

Aku menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, ada kabar baru."

"Oh, ya? Apa itu?"

Aku menelan ludah, bersiap dengan segala skenario terburuk yang mungkin akan terjadi
setelah mengatakannya. "Orang-orang berpikir kita pacaran," ungkapku.

Raut wajah Jihoon terlihat biasa-biasa saja. Tidak sedikitpun serius. "Lalu?"

"Lalu?" aku merasa sedikit heran, sebab ini sama sekali tidak seperti yang aku pikirkan.
"Karena kejadian di kantin tadi, semua orang benar-benar salah paham dan mengira kita
menjalin hubungan."

"Lalu?" kata Jihoon, lagi. Dengan raut wajah yang sama.

"Kali ini mereka sungguh berpikir kita benar-benar berkencan."

"Lalu?"

"Lalu?" aku kembali membeo, dan kini dengan perasaan yang kesal. "Kenapa hanya itu
reaksimu, hah?!" aku menaikkan oktaf suaraku. "Beri pernyataan ralat, gunakan
popularitasmu untuk membungkam berita tidak benar itu!"

Jihoon menyerngit. "Kenapa harus aku bungkam? Toh, aku yang menyebarkan beritanya."
Dia menggidikan bahu seolah itu bukanlah sebuah hal yang besar.
Aku terdiam di tempat. Astaga-naga, ternyata seharian ini lebih parah dari yang kemarin.
Jihoon... apa yang ada di otakmu saat menyebarkan berita seperti itu, hah?

Aku menghela napas lelah. "Oh... fuck me," gumanku pelan dengan nada tidak percaya, ini
kacau.

"Dengan senang hati," jawab Jihoon, yang rupanya mendengar. Matanya berbinar jahil. "Tapi
tidak di sini. Detensi kita bisa bertambah karena melakukan tindakan tidak bermoral."

Aku mendengus. "Kau tahu bukan itu maksudku. Bisa kau dengar dari intonsinya juga."

"Well..." Jihoon menggidikan bahu kembali. "Jika pun 'iya', aku bersedia."

Aku menggeleng. Pembahasan ini jadi melenceng karena kata-kata yang disalahartikan oleh
satu pihak. Fokus pada masalah utamanya, Sihye.

Aku mencoba mengatur emosi. "Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku. "Dengar, kita tidak
pernah terlibat dalam keadaan apapun itu walau hanya sekedar berteman biasa. Kita bahkan
hampir tidak pernah berbicara satu sama lain, sampai setidaknya ketika di acara pesta
Hyunsuk. Lalu kenapa kau mengusikku dengan berita tidak benar begitu? Menurutmu aku ini
lelucon? Menurutmu aku hanya bahan candaan untukmu? Kuberi tahu kau, itu tidak lucu
sama sekali."

Mendengar itu, Jihoon tampak panik. Kedua bahunya lantas mencengkram lembut bahuku.
"Bukan itu maksudku---."

"Kau tahu, aku suka padamu," potongku.

Jihoon terdiam sejenak. Bibirnya menekuk garis datar dan matanya perlagan menatapku
serius.
Aku menghela napas perlahan.

Aku tahu, ini bukan saat yang tepat untuk menyatakan perasaan konyol yang sudah lama aku
pendam. Tapi melihat tindakan tidak masuk akal dari Jihoon hanya membuatku tidak tahan
dengan semua ini. Maksudku, aku berpikir jika dia tahu jika aku memendam rasa padanya,
mungkin dia tidak akan menjadikan aku bagian dari bahan candaannya. Karena jujur saja, itu
menyakitkan. Seseorang yang kau sukai, atau bahkan sudah jatuh hati terlalu dalam tapi pada
akhrinya hanya berniat mempermainkanmu---aku tidak mau berakhir seperti itu.

"Aku tahu..." guman Jihoon.

Aku melotot tidak percaya.

Sialan. Dia tahu tapi masih tetap melakukan aksi konyolnya.

"T-tapi, bisakah kau beri aku kesempatan? Ada sesuatu yang tidak kau ketahui, dan itu adalah
hal yang baik," katanya.

"Apa itu?"

Raut wajah Jihoon berubah sedikit menyerngit dan ringsan kecil keluar dari mulutnya. "Aku
tidak bisa memberi tahumu sekarang."

Aku menghela napas. Itu jawaban yang sangat tidak memuaskan.

"Kenapa aku harus memberimu kesempatan?" tanyaku. "Atau pertanyaan paling tepat:
kenapa aku?"

Jihoon menggidikan bahu. "Karena aku mau."


Tanganku terkepal. Pembicaraan ini membuatku sedikit pusing.

"Kenapa orang populer sepertimu mau mencobanya denganku? Si gadis yang tidak
terlihat?"aku menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan, "Kau bisa melakukanya
dengan Chaeri. Dia di posisi pertama sebagai gadis tercantik di sekolah, kalian berdua sama-
sama populer, itu terdengar lebih masuk akal."

"Nah, itu..." Jihoon membawa kedua tangannya ke depan dada, melipatnya dan memberikan
tatapan lebih serius padaku. "Ada satu hal yang paling aku tidak suka dari dirimu: kau selalu
meragukan dirimu sendiri. Kau sama hebatnya dengan para gadis yang lain. Kau cantik
dengan caramu sendiri. Dan kau mungkin tidak tahu ada banyak laki-laki di luar sana yang
mau mengajakmu berkencan."

Kini giliranku yang melipat tangan di depan dada dan memberikan sebuah tatapan sengit.
"YA, itu penilaian sepihak yang bagus." Aku berkata dengan nada sarkas.

Jihoon mendecak. "Dan... Oh, haruskah aku meralat nya menjadi dua hal yang tidak aku suka
darimu? Satunya lagi: kau tidak melihatku sebagai Jihoon, aku yang sesungguhnya. Yang kau
lihat hanyalah aku sebagai figur anak populer disekolah yang mungkin saja sudah banyak
bercengkrama dengan para gadis. Jujur, kau hanya melihat sepintas, itu menyakitkan---dan
konyolnya kau mengatakan kau menyukaiku," ungkapnya. "Apa kau yakin itu benar-benar
suka menyukaiku, atau dalam artian lain kau hanya naksir yang tidak ada artinya?"

Aku mendengus tidak percaya. "Kau meremehkanku sekarang."

Jihoon kembali menggidikan bahu. "Tergantung bagaimana kau menyerap informasi,"


katanya. "Kalau kau yakin dengan perasaanmu itu bukan hanya naksir sementara, kita bisa
mencoba berkencan, tapi kali ini sungguhan, bukan sekedar berita yang hanya tersebar.
Bagaimana?"

Otakku berpikir dengan keras. Saat ini Jihoon benar-benar mengajakku untuk berkencan:
Jihoon orang yang kusukai mengajakku berkencan! Ini sulit dipercaya dan aku tidak
sepenuhnya percaya ini terjadi.
Mungkinkah aku hanya bermimpi? Mungkinkah ini tidak nyata, dan aku hanya berhalusinasi?
Ini seperti cerita-cerita picisan romansa di sekolah, dimana si laki-laki adalah anak populer
(yang cenderung bad boy) yang menyukai gadis biasa (yang bahkan cenderung cupu), tapi
dalam kasusku Jihoon hanya mengajak berkencan dan sama sekali tidak ada pernyataan
menyukaiku atau apalah itu.

Haruskah aku menolaknya?

Atau haruskah aku menerimanya?

Astaga, ini sangat membingungkan. Aku sangat ingin menonak. Tapi aku tidak mau menjadi
munafik, karena dalam hatiku saat ini aku menjerit ingin berkencan dengannya,t tapi jika itu
semua ternyata ada maksud tertentu yang mengarah pada hal buruk---tamatlah aku. Apa yang
harus aku lakukan?

"Jadi... bagaimana?" tanya Jihoon. "Kau mau?"

Aku berkedip dengan cepat. Dalam hati aku berkata: "Tuhan,aku tahu ini keputusan yang
konyol, tapi tolong jangan ikut campur kali ini dan biarkan saja semuanya mengalir begitu
saja..."

Aku berdeham, sepersekon kemudian aku berkata, "O-oke..." jeda sejenak, "Kemana kita
akan pergi sehabis ini?" Aku punya firasat akan menyesal karena pernah mengatakan ini. []

Maldava, Sofía!

Así es la vida, sí

Anda mungkin juga menyukai