Anda di halaman 1dari 6

Insecurity

Bagaikan artis papan atas, berbagai pasang sorot mata hanya tertuju padanya
seorang. Dia begitu bercahaya di antara siswa-siswi lain semua orang meyukainya.
Selain cantik, pintar, tajir, dan jago dalam bidang olahraga ia juga primadona sekolah.
Setiap hari kasih sayang tiba baik meja maupun lokernya selalu penuh oleh tumpukan
hadiah cantik berwarna merah jambu. Tak hanya para lelaki saja yang memberikannya
bahkan teman-teman perempuanku pun berbondong-bondong menyerahkan hadiah
padanya.
Betapa enaknya hidup di surga yang namanya kecantikan. Dunia begitu
memuja-muja orang cantik dan tampan. Alur kehidupan mereka terlihat begitu mulus
terutama wajah yang berseri-seri menampilkan senyum setiap hari tanpa kenal letih.
Tentu saja, siapa yang tidak bahagia ketika seantreo sekolah mengidam-idamkannya.
Namun dari sekian banyak pernyataan cinta dari kakak kelas maupun adik kelas
bahkan ketua OSIS sekalipun, tidak satupun ia terima. Gadis primadona sekolah itu
senantiasa mengeluarkan kalimat penolakan dengan alasan dilarang orang tuanya untuk
berpacaran dan ia harus mempertahankan gelar peringkat satu sampai hari kelulusan
nanti. Sebab dia sadar jika mempertahankan akan lebih sulit dari mengejar
ketertinggalan.
“Vi, mau ke kantin bareng aku enggak?”
Sontak aku terkejut setengah mati. Bahkan sendok yang kupegang nyaris jatuh
ke lantai. Gadis ini susah payah datang ke bangkuku dan memintaku untuk
menemaninya ke kantin? Apa dia sudah gila? Kulihat para penggemarnya melemparkan
tatapan tajam ke arahku. Aku tidak sedang bermimpi kan?
“Dengar Tuan Putri, aku tidak akan pergi ke manapun denganmu selamanya!”
desisku tajam tentu saja dengan suara pelan. Aku memutar bola mata, membereskan
peralatan makanku berniat mencari ketenangan di rooftop. Lantas kutinggalkan ia tanpa
rasa bersalah.
“Tunggu, Vi!” Rupanya dia tidak menyerah dan justru menahan lenganku
dengan sangat kuat. Sampai-sampai bekal makan siang yang kubawa hampir tak bisa
kumakan.
“Hello, apa aku tidak salah dengar jika Maurin Graciella pergi dengan rontokan
gorengan sepertiku? Pergi sana dengan teman-temanmu! Sungguh kau merusak nafsu
makanku!”
“Tapi Vi mereka bukan temanku! Maukah kau menjadi satu-satunya temanku,
Violetta Odorata?”
Aku menatapnya datar. “Males.”
“Kenapa Vi? Aku bukan tipe cewek bawel, menye-menye, atau pick me kok Vi.”
“Lu sadar gak sih?! Kita gak sederajat Tuan Putri! Jika tujuanmu berteman
denganku hanya untuk meningkatkan popularitas lebih baik aku sendirian, daripada
memiliki teman manipulatif sepertimu!”
Kejadian pada jam istirahat makan siang itu masih mengganjal dalam benakku.
Ketika guru menerangkan tentang sejarah dunia di depan pun pikiranku hanya tertuju
pada gadis primadona sekolah itu, Maurin Graciella. Dia cantik, baik, dan ramah kepada
siapa saja tapi mengapa hanya aku seorang yang ia tuju?
Jangan tertipu dengan orang sepertinya Violet, biasanya orang-orang seperti itu
akan memanfaatkan manusia rendahan ini untuk merangsang empati pada para
penggemarnya. Aku sering melihatnya di TV-TV maupun novel dan semua
kebaikannya itu palsu. Banyak dari mereka yang toxic sempat singgah dalam hidupku
tapi tak lama kemudian aku menarik diri dari dunia yang dipenuhi sandiwara anak
remaja.
Sudah kubilang cantik itu enak. Mereka bisa mendapatkan apa yang diinginkan
hanya bermodalkan wajah cantik bahkan sekalipun itu jabatan maupun kekuasaan. Aku
jadi iri.
Tak terasa bel pulang sekolah cepat sekali berbunyi. Sudah dua mata pelajaran
kulewati dengan berimajinasi. Meski ruang kelas sudah kosong melompong yang tersisa
hanyalah diriku seorang ditemani sinar mentari senja yang merambat masuk melalui
jendela. Menatap nanar ke luasnya cakrawala berlukiskan kuning jingga aku masih
duduk termenung di bangku sambil bersenandung.
“Ah, Vio kamu kok enggak pulang?” Satu suara menggema di sudut ruangan
dan sempat menghentikan kemesraanku dengan langit sore hari.
Aku menoleh ke belakang berharap bukan cenayang yang mendadak datang.
“Maurin?”
Tanpa kupersilahkan gadis itu menyelonong masuk seenaknya sendiri. Dan
langsung mengambil tempat duduk di depanku. “Ini kebiasaanmu tiap hari ya, Vi?”
“Bukannya lu sekarang bergembira ria bareng mereka?” tanyaku tak acuh.
“Seharusnya sih begitu tadi aku diajak karaoke sama temen-temen. Tapi aku
kabur duluan dengan alasan ada barang yang ketinggalan, hehehe. Jadi popular itu
enggak enak Vi, capek banget. Makanya aku pengen sendiri—eh kebetulan ketemu
kamu di sini ya udah deh sekalian saja.”
“Berisik! Gue gak suka orang yang banyak omong.”
Bukannya kapok dengan kata-kata kasar yang menyakiti hati, gadis itu malah
terbahak dan melanjutkan lagi dongeng panjangnya. “Tau enggak Vi? Kadang ada aku
iri sama orang yang enggak terlalu mencolok kayak kamu—”
“Lu ngeledek gue? Pergi sana! Gue gak butuh manusia kek lu!” potongku cepat.
“Bu-bukan gitu, Vi. Dengerin dulu sebentar kenapa sih? Jadi orang popular itu
beneran capek Vi. Kamu harus jaga sikap lah, belajar ini-itu, terus merawat muka lah.
Aku butuh tempat istirahat Vi, adakalanya aku enggak selalu tersenyum, adakalanya
aku judes sama semua orang. Dan adakalanya aku butuh seseorang untuk mendengarkan
celotehanku yang enggak berguna ini. Orang itu ya kamu Vi.”
Baru kali ini aku tercengang mendengar penjelasannya. Namun raut wajahku tak
nampak menunjukkan ekspresi terkejut melainkan aku memberikannya tilikan tajam.
Lalu dia melanjutkan.
“Entah mengapa hati nuraniku berkata kalau kamu satu-satunya siswi yang
cocok menjadi temanku—bukan teman lebih tepatnya sahabat. Meski terkesan sulit
mendekatimu tapi aku tak peduli. Selama kamu sanggup jadi sahabatku, aku akan
melakukan apapun termasuk quality time.”
“Kalau gue nolak?”
“Aku akan mati ditelan kesepian, Vi. Aku bakal jadi mayat hidup Vi, sumpah.”
Latar belakang setiap insan terkadang sulit ditebak. Seperti memasuki labirin
jiwa orang lain. Dibutuhkan pendekatan-pendekatan khusus agar bisa menyusun puzzle
yang berserakan dalam kepala mereka. Sering kali mereka membutuhkan bantuan kita
untuk mencari kepingan puzzle yang tersembunyi.
Kata-kata Maurin kemarin membuatku berpikir dua kali. Dia berhasil
memunculkan rasa penasaranku di kalimat terakhir. Aku jadi bertanya-tanya seperti
apakah Maurin di balik layar? Setahuku dia gadis yang baik, pintar, cantik, dan juga
tajir. Tapi siapa sangka ia memberanikan diri mengatakan hal itu padaku. Hal yang
seharusnya melanggar privasi. Ia juga terlihat serius, tak kutemukan tanda-tanda
emergency kebohongan dalam raut wajahnya yang polos.
Dan aku menyesal karena telah memintanya datang ke sekolah pagi-pagi hari
kemarin. “Besok, datanglah ke sekolah pukul lima pagi. Kutunggu kau di halaman
belakang.”
Kini aku tengah menunggunya di halaman belakang persis seperti yang
kukatakan. Sembari merasai kesejukan angin pagi hari. Tak lupa buku dan serangkaian
daftar musik yang senantiasa menjadi sahabat sejatiku di kala sepi.
“Vio, maaf aku telat! Kamu sudah lama di sini?”
“Pulang sekolah nanti aku bakal main ke rumahmu. Tapi ingat saat sekolah
sepi!”
“Yang bener Vi? Berarti kamu sepakat buat jadi temanku?” Sorot matanya
berbinar seperti ditaburi bintang-bintang harapan. Ia kemudian merentangkan tangan
seolah bersiap untuk memelukku. Namun aku segera mundur selangkah.
“Tanpa pelukan? Mengerti,” ujarnya. Sepolos itu kah gadis ini?
Sore itu aku tak langsung pulang. Melainkan meneruskan kebiasaan buruk untuk
menunggu kondisi kelas benar-benar kosong, tak ada seorang pun, sambil menantikan
langit bermandikan cahaya jingga nan menawan. Betapa aku menyukai suasana hari ini
sepi, sangat amat sunyi dan cocok buat meditasi. Inilah ketenangan yang kuinginkan.
“Pst, Vi.”
Ketenangan yang kudambakkan mendadak terusir karena suara Maurin menusuk
gendang telinga. Awalnya kukira hanya angin lewat atau suara Maurin yang masih
menggenang dalam kepalaku.
“Violetta, kamu jadi kan main ke rumahku?”
Aku membalikkan badan. Yang benar saja aku harus berteman dengan
primadona sekolah? Apa tidak ada orang lain? “Oh, oke.”
Sebelum menuju ke rumahnya, Maurin mengajakku untuk berbelanja bersama.
Selama perjalanan aku hanya mengikuti Maurin dari belakang. Jika berjalan sejajar
secara otomatis terdapat perbedaan jelas di antara kita apalagi level Maurin jauh di
atasku. Aku benci menjadi sorotan orang lain. Tatapan mereka yang dingin, desas-desus
yang menggelikkan telinga, dan satu-dua ejekan terlontar. Kami bagaikan pembantu dan
tuan putri. Enaknya jadi orang cantik sepertinya.
“Kita belanja dulu yuk Vi!” ucapnya antusias. Lebih ke anak-anak yang
bersemangat mengajak ibunya berbelanja.
Dalam waktu singkat kami sudah menjalani hari-hari selayaknya anak SMA
pada umumnya. Berbelanja, karaoke, bermain ke timezone, dan makan crepe. Ternyata
ini yang anak-anak lain lakukan ketika pulang sekolah. Makanya mereka begitu
bersemangat saat bel menandakan berakhirnya pelajaran tiba. Di sisi lain aku juga
mengetahui sifat asli Maurin. Ketika di sekolah gadis itu bersikap sok dewasa padahal
sejatinya ia hanyalah nona kecil yang minta perhatian. Menjadi anak SMA tidak
seburuk yang kubayangkan.
“Vi kalau kamu dimakeover seperti ini mirip kayak aku loh.”
“Benarkah?”
“Kita seperti saudara kembar hanya saja rambutmu yang kependekan.”
“Oh iya?” tanyaku tak percaya. Aku mengambil kaca yang baru saja kubeli dari
toko make up. Dan yang benar saja sekilas kita seperti saudara kembar. “Jelas kau masih
lebih cantik.”
“Ayo kita mengambil swafoto!”

***

“Wah, Maurin kau memotong rambutmu?”


“Terlihat lebih modis dan elegan!”
“Aku lebih suka Maurin yang rambut panjang tapi rambut barumu tidak buruk.”
Aku tertawa geli. Betapa bahagianya mereka saat primadona kesayangannya
tiba. Aku hanya bisa tersenyum dan berjalan biasa dengan sentuhan anggun. “Ah yang
benar saja, aku sedang mencoba model baru.”
“Tempo hari aku melihat foto seorang perempuan yang mirip denganmu di
sosial media. Apa itu saudaramu?”
“Iya, kami bersaudara. Sudah lama kami terpisah dan akhirnya kami
dipertemukan kembali.”
“Ke mana saja aku? Seorang Maurin punya saudara kembar? Hei kapan-kapan
ajak kami bertemu dengannya!”
“Tentu saja boleh! Dia pasti akan sangat senang ketika aku dikelilingi orang-
orang baik seperti kalian! Tapi sayangnya sore nanti dia harus kembali. Mungkin lain
kali karena aku juga harus mengantarkannya ke bandara. Aku lupa kalau tempat
tinggalnya di luar negeri.”
Jadi seperti inilah yang dirasakan Maurin setiap harinya. Di kelilingi manusia-
manusia pembohong dan menjadi pembohong adalah hal yang sangat menyenangkan.
Masa-masa SMA ku akan menjadi kenangan terindah seumur hidup.
Sore itu aku ke tempat persembunyianku, sekedar berkunjung dan menyapa
Maurin sejenak. “Selamat sore Maurin Graciella. Hari ini begitu menyenangkan sampai-
sampai aku kualahan menangani para fansmu yang buta akan kecantikan. Apa kau
senang dengan kejutan terakhir yang kuberikan?”
Telapak tanganku membelai lembut rambut Maurin yang mulai kusut tak
terawat. “Sudah kubilang berapa kali, aku tidak akan menjadi temanmu selamanya!
Tapi sayangnya kau memaksa, ya sudah terima sendiri akibatnya.”
Kubelai kulitnya yang mulai dingin dan memucat mulai mengeluarkan bau tak
sedap. “Beristirahatlah yang tenang Maurin sayang. Violetta Odorata yang baik hati ini
akan menggantikan peranmu untuk sementara waktu.”

Anda mungkin juga menyukai