Anda di halaman 1dari 3

Bintang, Inspirasiku

Sungguh aku mengaguminya! Cowok berkacamata minus itu kakak kelasku. Satu
tingkat di atasku. Dia bernama Bintang. Aku tahu namanya dari seseorang yang waktu
itu memanggilnya. Diam-diam aku selalu memperhatikannya. Mencuri-curi pandang.
Aku tak berani menyapanya. Aku terlalu malu. Tubuhnya yang jangkung, kulitnya
kecoklatan dan lesung di pipinya membuat cowok itu semakin terlihat manis. Kacamata
minus yang bertengger di hidung membuatnya terkesan cool.

Aku selalu berangkat sekolah pagi-pagi sekali hanya untuk melihatnya. Seperti
pagi ini, aku sudah duduk di pingir lapangan basket, karena Kak Bintang pasti akan lewat
sini menuju kelasnya. Aku membaca-baca buku pelajaran apa saja sambil menunggu
sosok tampannya, Aku melirik jam tanganku.

“Pukul setengah tujuh pagi!” ucapku senang.

Sebentar lagi Kak Bintang pasti datang! Aku tersenyum dan waswas. Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Hehehe... aku

masih pura-pura membaca, menyembunyikan wajahku, seraya menyiapkan


senjataku. Semakin dekat, dekat dan … brukk!! Klik!! Moment Kak Lintang bertabrakan
dengan cewek tak aku lewatkan. Kamera HP telah kusiapkan sejak semula. Aku puas
setelah melihat hasil jepretanku terlihat sangat natural.

“Maaf ya, gak sengaja," ucap Kak Bintang pada gadis yang ditabraknya.

Aku hanya cekikikan. Cewek yang dia tabrak juga mengucapkan maaf. Mungkin
dia merasa bersalah. Aku menutup bukuku. Masih sempat kulihat punggung Kak Lintang
yang kian menjauh lalu hilang. Aku hanya tersenyum simpul.

“Kamu masih memperhatikan Kak Bintang, Rara” tanya Nova, teman


sebangkuku.

“Ya,” jawabku singkat.

Aku selalu menceritakan semua tentang Kak Bintang kepada Nova. Aku
mempercayainya dan dia dapat kupercaya.

“Sampai kapan?”

“Entahlah”

“Sudah setahun kamu memperhatikannya, kau tak lelah lelah? Seharusnya kau
katakana saja, Ra, kalau kau menyukainya," jelasnya

"Apa bedanya? Jujur sajalah,” jawabku acuh

“Aku hanya menasihatimu, agar tak menyesal nantinya.”


“Selalu saja kau begitu.”

“Sudahlah, Nov, suatu saat aku akan mengakuinya,” jawabku ketus.

Jam istirahat berbunyi. Aku buru-buru keluar kelas tak lupa membawa kamera
handycam-ku. Tadi pagi aku sudah mendapatkan satu foto saat Kak Bintang bertabrakan
dengan seorang cewek. Sekarang pasti aku akan mendapatkan lebih banyak lagi foto-
foto Kak Bintang

dengan berbagai pose naturalnya. Aku masih menginginkannya yang lebih


banyak lagi. Aku menuju kelas Kak Bintang. Aku melihat Kak

Bintang keluar kelas bersama teman-temannya dan aku

mengikuti dari belakang. Mereka tampak santai tanpa curiga. Tak berapa lama
kemudian mereka berpisah sendiri sendiri. Ada yang ke taman, ada yang ke lapangan
basket, ada yang ke kantin. Kak Bintang melangkah santai menuju ke arah perpustakaan.
Pelan pelan aku mengikutinya. Setiap dia melihat ke belakang, aku pura-pura melihat
sesuatu atau pura-pura menyanyikan lagu sambil berjalan santai. Tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya ... klik! Aku mendapatkan fotonya. Lalu dia membalikkan
tubuhnya lagi. Aku tersenyum senang, lalu berjalan melewati Kak Bintang dengan wajah
tertunduk, Aku malu melihatnya sedekat ini. Kurasakan ada yang menepuk bahuku, aku
terlonjak kaget, aku menoleh. Hah! Kak Lintang yang menepuk pundakku! Oh, Tuhan ...!

“Kau mengambil foto aku?" tanyanya.

Aku menundukkan kepala. Mengangguk.

“Untuk apa?" tanyanya lagi.

Aku tidak menjawab. Semakin menundukkan kepala menghitung jajaran keramik


di lantai.

Dia memegang bahuku, mengangkat daguku. Kini dapat kulihat wajahnya


sedekat ini. Kurasakan hembusan napasnya dan aroma tubuhnya. Membuat sesak
dadaku dan jantungku berdetak tak menentu.

“Kalau diajak bicara orang itu dilihat wajahnya. Kau tidak berbicara dengan
lantai kan?” tanyanya lembut.

Sorot mata di balik kacamata minusnya itu bagaikan menembus pikiranku,


hingga aku tak mampu berpikir dan hanya diam membisu. Dia mengibaskan tangannya
di depan mukaku. Aku tersadar dari pesonanya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk

“Aku baik-baik saja,” jawabku lirih.

“Sampai kapan kau mengikutiku? Kau tak lelah?” selidiknya lagi.


Mata tajam di balik kacamata itu kembali menghipnotisku. Aku menatapnya tak
percaya dia tahu kalau aku selama ini mengikutinya?

“Maaf,” ucapku lirih.

“Tak usah minta maaf, jika kau ingin mengenalku, aku akan memperkenalkan
diriku. Namaku Bintang Agrawira Saputra. Siapa namamu?” katanya tegas seraya
mengulurkan tangan.

“Le... ora,” jawabku gagu sambil menjabat tangannya.

"O... Leora. Salam kenal aja,” ucapnya sambil mengelus rambutku.

Aku hanya melogo di buatnya. Hem ... seperti mengelus rambut seorang adik
saja, batinku.

Kak Lintang berjalan kembali ke arah perpustakaan. Melanjutkan tujuannya


semula.

Entah dari energi mana, aku memanggil namanya dengan cukup keras.

“Kak Lintang!!!"

Aku berlari ke arahnya Dia pun membalikkan tubuh. Kini jarakku dengan hanya
satu meter.

“Apa?” jawabnya.

“Apa aku boleh mengenalmu lebih jauh, Kak?"

Dia melipat keningnya. Heran.

“Em ... maksudku...” aku kebingungan dan salah tingkah.

“Kalau kau ingin mengenalku lebih jauh,” dia memotong ucapanku.

“Kau harus juara kelas dan menyusulku ke Amrik. Aku akan kulah di sana.”
Sebuah senyuman mengembang di bibirnya. Manis sekali.

Aku mengangguk kuat-kuat,

“Aku akan melakukannya, Kak! Aku berjanji!” jawabku tegas penuh semangat.

Kak Lintang semakin tersenyum lebar. Dengan anggun ia membalikkan badan


dan berlalu. Mataku menatap punggungnya hingga lenyap di pintu masuk perpustakaan
di ujung sana.

Mulai saat itu aku semakin giat belajar. Beberapa bulan kemudian Aku pun lulus
dengan nilai yang cukup baik, dan mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Aku berpikir
karena Kak Bintanglah aku jadi begini. Karena Kak Bintanglah aku giat belajar. Dan mulai
saat itu pula hidupku diwarnai oleh Kak Bintang. Kak Bintang adalah inspirasi bagiku.

Anda mungkin juga menyukai