Anda di halaman 1dari 286

Being UGLY

It's Not
Easy

Written by A L F I C T
----------------------

Gue....Wisnu, panjangnya Dirgantara.

Pernah denger kata-kata anak jaman sekarang yang bunyinya begini...


'Nggak apa jelek, yang penting sombong' ?

Gue pernah, sering malah. Cuma yang bikin gue nggak habis pikir itu,
darimana coba kata-kata itu bisa terealisasikan? Lo jelek, terus lo mau
sombong? Minta di hujat lo!?

Sumpah. Pede sih boleh tapi nggak ngejatohin harga diri juga kali.
Harusnya tuh, gue jelek dan gue bangga. Seperti kata Patrick Star.

Tapi gue nggak bangga kok jadi orang jelek. Kenapa? Oke gue bakal
jelasin.

Pertama, tentu saja yang pertama itu masalah percintaan. Elo, kalo jadi
orang jelek ataupun seenggaknya punya tampang tapi nggak menarik,
percintaan kalian tuh nggak bakal mulus kayak aspal yang baru di bikin
kemaren. Yang ada malah bernasib seperti jalan berbatu yang bikin ban
motor atau mobil jadi pecah-pecah kayak bibir tetangga yang sukanya
ngomongin orang.

Kedua, pekerjaan. Sebenarnya ini nggak terlalu penting. Karena yaaa...


Gue masih anak sekolah. Tapi ada beberapa hal yang bikin gue kadang
kesel jadi cowok jelek item dan tentu aja berjerawat-_-.

Oke kembali ke topik.

Untuk masalah pekerjaan yang gue maksud itu adalah saat ada tugas
yang mengharuskan gue mencari kelompok untuk mendapatkan nilai
yang sempurna. Harusnya sih gampang, karena gue termasuk murid
pintar di kelas. Tapi yang bikin gedeknya itu, yang bakal ngerjain tugas
kelompoknya itu gue. Sendirian. Gue tau gue jelek tapi pinter, tapi kan
nggak gini juga. Dimanfaatin tuh nggak enak. Huft.

Ketiga, teman. Ya ini salah satu hal penting di kehidupan manusia. Tapi
gue nggak terlalu memusingkan hal ini sih, karena gue cukup memiliki
satu atau dua temen aja. Dan gue udah mendapatkannya. Jadi, untuk
bagian ini di skip aja.

Nah jadi itu beberapa hal yang nggak gue banggain sebagai orang jelek.
Kalo Patrick sih tentu bangga, karena.... Siapa sih orang bikini bottom
yang peduli sama muka Patrick? Liat kebodohannya aja udah malesin.
Apalagi mukannya, hah.. udahlah. Ngomongin muka itu nggak ada
habisnya.
Sekarang beralih ke kehidupan gue. Jadi nama gue itu Wisnu,
panjangnya Dirgantara. Eh bukannya gue udah kasih tau nama gue ya?
Bego kali.

Oke, jadi umur gue 16 tahun. Baru naik kelas 2 satu bulan yang lalu, dan
sekarang gue udah menginjakkan kaki di kelas ini beberapa hari yang
lalu. Dan ya... Gue harus terpisah sama dua sahabat gue yang mana
masing-masing dari kami berbeda kelas. Gue dapet IPA 1, yang lainnya
ada IPA 3 sama IPA 4. Setiap tahun pembagian kelas bakal di umumin,
bermaksud agar semua siswa mengenal sama murid yang belum sekelas
dengannya. Gue sih oke-oke aja selama gue nggak di ganggu dan nggak
di usik ketenangan gue.

Sebagai murid yang pintar. Gue dengan percaya diri mengambil tempat
duduk paling depan tepat di depan meja guru. Karena apa? Ya gue
nggak gatau. Gue cuma pengen aja.

Awalnya gue kira bakal ada cewek yang mau satu bangku sama gue.
Karena kebanyakan cewek sukanya duduk paling depan, idk why, tapi
begitulah yang gue perhatikan. Tapi gue salah, saat gue merasakan kursi
di sebelah gue tergeser, gue langsung menoleh 90 derajat ke arah kursi
tersebut. Dan elo tau gimana reaksi gue saat itu?

Gue kaget men! Mata gue melotot dengan alis satu terangkat dan mulut
yang menganga. Oke itu lebay! Nggak, gue nggak kayak gitu. Gue cuma
sedikit terkesima melihat kekinclongan seorang cowok yang duduk di
kursi sebelah gue. Parah men... Ganteng banget!

Gue nggak munafik, tapi gue bener-bener muji muka dia yang putih
bersih mulus kayak perosotan yang jadi tempat gosip anak SD yang viral
itu.

Gue diem dan cuma merhatiin dia yang noleh juga kearah gue dan
senyum simpul ke arah gue. Dan Ohmaygat! Jantung gue deg-degan
dong. Yaampun gila! Jantung gue malu-maluin banget, cuma di
senyumin sama cowok ganteng aja udah baper. Gimana kalo di tembak
coba? Mungkin bakal berak celana gue.

Eh nggak deng, jijikin banget gue. Udah jelek, sukanya berak celana lagi.
Gimana masa depan gue entar?

"Hai," sapa itu cowok dengan suaranya yang berat.

Gila! Bahkan suaranya pun macho! Gue jadi penasaran gimana


badannya, apakah bakal semacho suaranya atau kurus rata kayak gue.
Oke lupakan, gue mesum. Nggak ada harga diri bet gue, udah jelek, mau
nilai badan cowok ganteng lagi. Nyadar dong!

"H-hai.." balas gue yang begonya malah salting.


Gue memaki diri gue sendiri karena merasa gagal meninggalkan kesan
pertama yang lakik! Nggak maksud gue normal sama nih cogan satu.
Jujur aja, gue itu hombreng. Sukanya yang menggantung dan tentu saja
cairan kental berwarna putih. Tapi walaupun begitu gue nggak pernah
sekalipun mengalami ataupun merasakan hal homogen selama 5 tahun
terakhir. Karena apa? Ya tentu aja nggak ada yang mau karena gue jelek!
Sialan, gue nggak mau nyalahin gen orangtua gue, karena sekalipun gue
nggak pernah melihat wujud mereka. Tapi melihat diri gue di kaca,
sepertinya gue bisa bayangin muka mereka berdua kayak gimana.

"Gue Reza. Gue boleh duduk disini?" tanyanya ramah dan nggak lupa
sama senyum simpulnya.

Gue menatapnya sebentar lalu berpikir antara menerima atau enggak.


Sekilas gue mendengar bisik dari bangku belakang gue yang nyuruh gue
terima aja tanpa ribet. Tapi gue nggak mau semudah itu, apalagi saat
otak gue terngiang-ngiang dengan kalimat 'Nggak apa jelek yang
penting sombong' membuat gue berpikir kenapa kalo gue mungkin bisa
melakukan apa yang di maksud kalimat.

Iya juga ya, kenapa nggak? Nggak ada peduli ini kok kalo gue sombong!
Yang penting jelek! Eh?

Jadi dengan begitu, gue dengan pasti menatapnya terus menjawab,


"Nggak." balas gue.
"Loh, kenapa?" tanyanya lagi dengan kepala di miringin buat natap gue
yang lagi setengah menunduk karena nggak kuat liat mukanya.

Dia mendekat ke arah gue lalu mata kami bertemu satu sama lain, dan
saat itu terjadi dia mengedipkan matanya beberapa kali dengan gerakan
imut yang tak tertahankan. RIP jantung gue!

Gue langsung menjauhkan muka gue darinya lalu menyenderkan


punggung gue ke dinding, lalu setelah itu gue melihat kesamping
berusaha untuk nggak melihatnya.

"Oke, lo boleh duduk di situ. Tapi dengan satu syarat!"

"Apa?" gue menoleh kembali ke arahnya dengan menahan napas agar


jantung gue nggak kenapa-kenapa.

"Jangan deketin muka lo kayak tadi!" ujar gue. Lalu segera kembali
beralih darinya.

"Kenapa?"
Seandainya gue ganteng juga, udah gue pastiin gue ajakin gelut bibir nih
orang. Banyak tanya banget! Sue.

"Nggak usah tanya, gue nggak mau jawab!" balas gue.

"Tapi lo barusan jawab." balasnya balik.

Gue mengigit bibir bawah gue menahan emosi, sambil menyebut nama
binantang satu persatu dalem hati.

Okeyy, nih cowok bakalan bahaya bagi gue. Fix!

•••

Seperti yang gue bilang sebelumnya. Jadi cowok jelek itu nggak enak.
Susah. Mau ngomong ke yang lebih cakep pasti ada rasa nggak pede nya.
Tapi nggak tau juga sih, ini cuma gue atau orang jelek lainnya kayak
gini juga. Segan bertatap muka, sekali ngomong iya-iya doang. Dan
terakhir, rasanya canggung.

Oke mungkin cuma gue. Jadi, forget it!


Hal yang paling gue malesin kalau awal semester itu adalah guru baru.
Bukan guru yang bener-bener baru dateng ke sekolah. Yang gue maksud
itu adalah guru yang mengajar kelas 2. Karena setiap tingkatan kelas
pasti gurunya berbeda. Jadi... Ya gitulah. Gue nggak suka aja, tapi mau
gimana lagi, gue harus terima karena gue siswa di sekolah ini.

Yang bikin gue males itu udah pasti perkenalan. Setiap guru yang baru
pasti bakal nyuruh maju satu-satu buat kenalin diri. Mungkin dari
mereka yang sekelas sama gue nggak masalah, karena well, pasti mereka
percaya diri banget. Di kelas gue yang sekarang rata-rata mukanya pada
cakep. Aje gile! Gue minder cok jadinya, gue barusan natap seisi kelas
setelah bunyi bell bunyi. Dan mereka semua juga natap gue balik dengan
pandangan ngerendahin gue. Sumpah ya, nggak enak banget di tatap
begitu.

Tapi dari mereka semua, cuma satu yang tersenyum menatap gue. Reza.
Cowok ganteng yang memutuskan untuk duduk sebangku bareng gue.

Gue nggak tau apa alasannya, tapi gue udah cukup risih sama dia yang
terus merhatiin gerak-gerik gue dari awal perkenalan tadi. Karena nggak
mau pusing sendiri, akhirnya gue putuskan untuk bertanya.

"Lo ada niat terselubung ya duduk dan senyum-senyum gitu ke gue?"


tanya gue.
Padahal dalem hati yang gue takutin adalah diri gue sendiri yang taku
nanti mempunyai niat jelek. Yaitu suka sama dia. Hadehhh.

Dia yang tadinya lagi fokus nulis sesuatu di bukunya, menoleh dengan
gerakan perlahan yang mana ngebuat gue merasa di slow motion karena
saking lebaynya gue. Drama banget njir.

"Hm? Niat terselubung?" ujarnya yang malah nanya balik. Gue


mengangguk dengan mata yang masih fokus memperhatikan wajahnya.

Gila, gila, gila.

Pahatan muka nih orang bener-bener sempurna. Dari matanya yang


berukuran sedang dan sangat pas dengan alisnya yang tebal. Hidung
mancung yang pas. Jidat yang di perkirakan hanya selebar 3 jari. Bahkan
dagunya yang lancip nggak terlepas dari pandangan gue. Dan itu semua
lebih di sempurnakan dengan kulitnya yang putih bersih dengan bibir
berwarna merah muda yang sangat seksi untuk di lihat.

Sumpah dah, kalo gue punya muka kayak begitu. Gue bakalan narsis
sepanjang hidup!

"Gue rasa enggak deh. Gue beneran mau duduk disini, dan mau temenan
sama elo." ucapnya yang membuat gue sadar dan menjauhkan sedikit
jarak gue darinya, karena jantung gue udah mulai meronta minta di
cipok sama dia. Duh, malu-maluin aja!

"Tapi gue rasa lo ada niat terselubung. Mana mungkin lo yang ganteng
bersih begini, mau temenan sama cowok item burik kayak gue. Pasti elo
mau menghina gue kan?"

Oke, gue baper. Gue ucapin itu karena gue udah sering ngalaminnya.
Dari awal gue masuk sekolah ini, gue selalu di ejek nggak cocok di
sandingkan dengan mereka yang hampir 99% cakep. Dan 1% itu gue
yang jelek sendirian. Seriusan, selama gue sekolah disini, cuma gue
doang yang burik. Semuanya kinclong dan enak di pandang mata. Gue
kadang merasa terpuruk dan menyalahi takdir yang udah memberi gue
muka yang begini.

Tapi setiap gue ngelakuin itu ataupun mengaduh kepada nenek dan
kedua sahabat gue. Mereka selalu pasti bakal bilang, tunggu waktunya.
Karena saat ini gue belum menerima waktu dimana gue bakal
mengalami sesuatu yang akan merubah segalanya. Gue nggak ngerti,
jadinya gue cuma nangis dan ngerengek pengen ganteng.

"Nggak kok. Gue nggak begitu. Seriusan." ucapnya yang memutar


badannya 90 derajat menghadap gue.
"Lo bisa percaya sama gue. Kalo gue ada menghina elo sekecil apapun.
Lo boleh ngerusak muka gue yang lo anggap ganteng itu." lanjutnya,
yang membuat gue nggak ada pilihan selain percaya.

Well, gue mungkin nggak akan sejahat itu ngerusak karya Tuhan yang
sempurna hanya karena diri gue yang di hina jelek. Nggak fair namanya.

"Oke-oke gue percaya. Perbaiki duduk lo sana. Nggak baik." -buat


jantung gue. Huft.

"Nggak baik apa?"

"Nggak usah banyak tanya deh. Gue lagi kesel nih!" balas gue yang
malah nyolot. Setelahnya gue mendengar suara cewek di belakang gue
yang jelas sekali terdengar padahal mungkin dia bermaksud untuk bisik-
bisik.

"Tuh cowok burik kurang ajar banget ya. Di ramahin cogan malah jutek.
Gue sumpahin tambah burik lo ntar."

Jlebbb bruh.

Tapi gue nggak mau ambil pusing, karena saat ini guru yang nggak gue
kenal memasuki kelas dengan senyum lima jari di wajahnya.
"Morning, class." sapa sang guru.

"Morning, Sir!" balas seluruh kelas kecuali gue yang cuma mangap aja.

Guru itu tersenyum lagi lalu menaruh tas tentengnya di meja dan
mengambil spidol untuk menulis namanya di papan tulis seperti guru-
guru baru yang biasa mereka lakukan. Setelah selesai, beliau berbalik
dan menatap seluruh kelas yang tidak lupa dengan senyuman yang mulai
bikin gue jengkel karena terlihat di paksakan oleh guru itu

"Ok, jadi nama Bapak adalah Alexander Sanders. Bapak asli Kanada dan
udah tinggal disini selama 12 tahun. Bapak mengajar sebagai guru
Bahasa Inggris dan juga merangkap sebagai Wakil Kepala Sekolah. So,
Bapak harap kita bisa saling berbagi dan bisa bekerja sama ya." ujar
Bapak itu, yang baru gue tau ternyata orang bule yang sama sekali nggak
keliatan bulenya.

Apa karena dia udah lama banget di sini? Makanya logat, muka bahkan
kulitnya pun kayak orang lokal, idk. Tapi dari tingginya, bisa di
percayalah kalo dia beneran orang luar.

"Karena Bapak baru pertama kali melihat wajah-wajah kalian. Jadi,


bisakah kalian maju satu-persatu dan memperkenalkan diri kalian di
depan sini?" ujar Bapak itu lagi.
Baru aja gue mau mengiyakan, tiba-tiba orang di samping gue
mengacungkan tangannya dan langsung di notice oleh si Bapak.

"Pak, boleh nggak saya menyarankan untuk perkenalannya kita bikin


lebih menarik. Misalnya yang maju dua orang dan di paskan dengan role
mereka. Gimana?" ucap Reza yang langsung membuat seisi kelas
menyetujuinya.

Dan sepertinya cuma gue sendiri yang nggak ngerti maksud dari kata
role yang Reza ucapin barusan. Apa maksudnya sepasang cewek dan
cowok gitu? Aish, bikin susah aja nih cogan. Mentang-mentang ganteng.
Pasti dipikirannya adalah kalo yang dia ucapkan bakal di setujui. Coba
kalo gue, pasti si Bapak bakal mikir seribu tahun lamanya. Ish.

"Oke. Tapi Bapak yang memilihkan sesuai role kalian ya? Eh, tapi apa
dari kalian ada yang belum mengetahui jati diri kalian?" tanya Beliau.

Apa lagi ini...jati diri? Maksudnya Gay atau Normal gitu? Ya ampun,
pusing pala gue sumpah.

Semuanya bersorak udah dan gue lagi-lagi cuma mangap ikutin mereka.
Karena selain gue nggak paham, gue juga pengen tahu maksud dari
ucapan Bapak. Dan kenapa cuma gue doang yang nggak paham?
"Baiklah kalo gitu. Bapak panggilin yang sangat pas menurut kacamata
Bapak ya."

"Tapi Bapak nggak pake kacamata. Terus gimana bisa tau yang mana
yang pas?" celetuk Reza.

Ih, nih cowok banyak bacot juga. Nggak tau apa yang samanya
seumpama?

Pak Alex cuma terkekeh lalu mulai meneliti satu persatu dari kami, dan
di mulai perkenalannya dengan seorang cewek yang di satukan dengan
seorang cowok di depan. Dan saat melihat itu, gue mulai ngerti kalo
yang di maksud role dan jati diri itu adalah jenis kelamin dan juga
normal atau nggaknya lo. Apalagi setelah beberapa dari mereka yang di
panggil benar-benar sepasang cowok dan cewek, itu membuat gue
tambah yakin dengan perkiraan yang gue maksud.

Sampai akhirnya gue di tunjuk dan satu orang lagi yang di panggil untuk
menjadi pasangan memperkenalkan diri bareng gue di depan. Semua
yang gue pahami semuanya buyar, di tambah lagi dengan nada terkejut
dari semua murid yang mendengar panggilan dari sang Bapak yang
menunjuk gue dan seorang cowok yang saat ini tengah berjalan
mendekat ke arah gue dengan tatapan tajam dan dingin.

Mukanya ganteng. Ganteng banget malah, Reza pun kalah. Tapi melihat
ekspresi mukanya yang menakutkan, membuat gue ciut dan
mengalihkan pandangan gue ke arah Reza yang tersenyum lembut
menatap gue. Gue awalnya pengen ikut tersenyum membalas Reza. Tapi
nggak jadi setelah cowok itu sudah berdiri di samping gue dan berdesis
dingin yang sangat jelas di tujukan untuk gue.

"Gue benci cowok Omega."

Begitulah bunyinya yang membuat gue langsung terdiam beberapa saat.

•••

Pelajaran hari ini pun akhirnya selesai juga. Perasaan canggung, kesel,
nggak pede yang gue alami beberapa jam tadi pun akhirnya berakhir.
Lumayan asik sih kelas yang gue dapetin tahun ini. Tapi itu cuma karena
Reza yang sedari awal sampe pulang ngajak gue ngomong yang entah
dari mana selalu ada topik yang di bicarin.

Gue awalnya males banget ladenin, tapi lama-lama dia asik juga.
Lagipula cuma dia yang nerima gue apa adanya. Dan juga dia ganteng,
apa salahnya kan coba temenan sama dia, yang pasti gue nggak bakal
jadiin dia gebetan. Nyadarlah woy! Nggak sebanding banget gue kalo
berani ngegebet cowok ganteng dari atas ke bawah gitu. Yang gue bakal
jadi bulan-bulanan satu sekolah karena berani-beraninya nembak dia.
Hadehh, nggak kebayang deh.

Gue yang tadinya bodoh amat sama apa yang gue alami tadi di kelas.
Tiba-tiba keinget sama bisikan cowok dingin yang maju bareng gue tadi.
Gue nggak begitu inget apa yang dia ucapin, tapi kayaknya dia nyebut-
nyebut merk bahan makanan deh. Mentega bukan sih?

Dia benci cowok mentega?

Maksudnya apa coba bisikin gue kayak gitu. Emang gue anaknya
mentega. Ganteng boleh, tapi kalo ucapannya gitu, bakalan nggak
ngaruh tuh gantengnya. Tapi ngaruh sih sama dada gue. Deg-degan
banget tadi pas perkenalan, suaranya yang dingin dan khas itu bener-
bener ngebuat gue nggak bisa lupa. Tapi yaaa.. udah jelas banget kalo
dia nggak suka sama keberadaan gue. Jadi, say goodbye to cogan satu
itu. Lagian gue juga nggak berharap bisa bertatapan lagi sama dia. Krispi
banget coy.

"Inuuu!!" suara cowok yang sangat gue kenal akhirnya terdengar saat
gue udah keluar gerbang sekolah. Gue menghentikan langkah kaki gue
dan menoleh kebelakang untuk melihat kedua sahabat gue yang lagi
jalan berbarengan menuju ke arah gue.
"Kok lo nggak nungguin kita sih? Main pulang aja. Kalo gue nggak
manggil pasti lo udah ngacir duluan naik angkot. Iya kan?" ucap Dirwan
salah satu sahabat gue yang lumayan tinggi. Dia putih of course, ganteng
juga. Kan udah gue bilang, kayaknya di sekolah ini cuma gue yang burik.
Gue pernah nanya, tapi mereka selalu jawab belum waktunya. Taik lah.

"Tau lu. Mentang-mentang dapet IPA 1 yang isinya model semua. Eh,
nggak deng, ada lu yang ganggu pemandangan di sana. Wkwkwk." ucap
Galih sahabat gue yang satu lagi. Dia ketawa ngekek di barengi Dirwan
yang seneng nistain gue.

Gue yang melihat itu cuma masang muka datar dan tersenyum kecut.

"Nistain aja terus, sampe Ariana Grande ngangkat gue jadi adeknya."
ujar gue bete.

"Nggak bakal mau Ariananya. Yakali penyanyi kelas dunia punya adek
burik kek elo. Duh, hancur tuh reputasi." balas Dirwan dan lagi-lagi
bikin mood gue jelek. Di tambah lagi sama suara ketawanya Galih yang
menggelegar.

"Sue! Inilah kenapa gue males pulang bareng kalian. Udah ah, gue cabut.
Marah gue." ujar gue, lalu berbalik dan berjalan menjauh dari mereka
sambil menghentakkan kaki gue di aspal.
Hari ini bener-bener berjalan buruk.

"Yaelah. Gitu doang ngambek." ucap Galih yang masih mengikuti gue
di belakang. Gue mengabaikan ucapannya dan terus jalan menuju ke
halte yang jaraknya udah nggak jauh lagi.

"Inu. Come on lah, kita bercanda okay. Lu kan udah biasa." ujar Galih
lagi yang kini udah ada di depan gue dan ngebuat langkah gue berhenti.

"Biasa sih biasa. Tapi gue kan punya hati juga. Gue bisa nangis tau.
Walo jelek-jelek begini, gue juga bisa ngerasain sedih kayak kalian."
ujar gue yang udah mulai baper. Ah sial lah.

"Pffttt... Yang bilang elo jelek siapa?" tanyanya lagi yang malah bikin
gue bingung tapi juga kesel.

"Hei bitch. Bukannya tadi kalian ngejekin gue ya? Pake nanya lagi siapa
yang bilang gue jelek." balas gue dan menyentil dagunya yang lumayan
lancip. Gue sih niatnya pengen nyentil jidatnya, tapi nggak nyampe.

"Udah ah. Gue mau balik, gue bete ama lo bedua. Di tambah lagi gue
stres gegara cuma gue doang yang jelek di kelas. Di tambah ada cowok
yang nggak suka lagi sama gue. Apes bet hidup gue, hadehh. Apa salah
dan dosaku ya Tuhan." ujar gue, lalu berlalu dan melanjutkan jalan gue
menuju halte untuk menunggu angkot yang akan membawa gue pulang.
Setelah sampai, gue duduk di tempat tunggu di susul dengan Dirwan dan
juga Galih yang menjadikan gue berada di posisi tengah-tengah.

"Ada cowok yang nggak suka sama elo? Kayaknya nggak mungkin
deh." ujar Dirwan.

"Nggak mungkin apanya. Jelas-jelas dia ngomong sendiri ke gue."

"Ngomong apa dia sama elu?" tanya Galih.

Mendengarnya gue pun berusaha mengingat ucapan yang sebenarnya


dari bisikan cowok itu yang kalo nggak salah namanya Lukas.

"Hmm...kalo nggak salah dia ngomong gini... 'Gue benci cowok


mentega'. Terus habis itu dia natep gue tajem yang mana bikin bulu
kuduk gue merinding. Dia ganteng banget sih, tapi kalo di liatin gitu,
nggak ada rasa naksir sama sekali bagi gue." ujar gue menjelaskan kan.

"Wait... Lo bilang mentega?" tanya Dirwan memastikan. Gue


mengangguk.
"Seinget gue sih gitu." ujar gue sedikit ragu. Namun nggak gue sangka,
sih Dirwan malah ketawa ngakak dan hampir terjengkang ke belakang
karena nggak ada senderan di belakang kami. Gue berharap di jatoh, tapi
itu nggak terjadi. Syit.

"Dia beneran ngomong gitu, Nu?" tanya Galih yang malah menanggapi
dengan serius berbeda dengan Dirwan yang masih ngekek di samping
gue.

Gue menoleh, dan mengangguk mengiyakan.

"Baru kali ini gua denger Alpha nggak suka Omega." ujar Galih pelan.
Namun gue bisa dengan jelas mendengarnya. Dan saat gue mendengar
itu, gue langsung sadar kenapa Dirwan ketawa nggak jelas kayak gitu.
Gue baru inget sekarang, kalo yang Lukas ucapin itu Omega, bukan
Mentega. Yaampun ingetan gue bener-bener di bawah rata-rata.

"Alpha apaan? Gue juga mau nanyain kalian soal ini. Gue juga heran
kenapa dia bilang benci sama cowok Omega ke gue. Padahal gue nggak
ngerti apaan maksudnya." ujar gue yang lebih memilih menatap Galih
daripada Dirwan yang receh banget. Cuma soal mentega aja ketawanya
ngakak. Hadehh

"Sekarang umur lu berapa?" tanya Galih.


"16. Kenapa?" tanya gue balik.

"Kapan lo ulang tahun yang ke 17?" kini giliran Dirwan yang nanya.

"Sekitar sebulan lagi. Kenapa? Apa hubungannya sama ulang tahun dan
umur gue?" ujar gue sambil menatap mereka berdua bergantian.

"Lo bilang lo penasaran kan kenapa cuma elo doang yang burik di
sekolah? Nah itu salah satu hubungannya. Dan untuk pertanyaan lo soal
Omega ataupun Alpha. Lo juga bakal tau setelah umur lo tepat 17 tahun.
Jadi.... Lo tunggu aja. Jangan kebanyakan kepo!" ujar Dirwan, yang
malah bikin otak gue nggak bisa mikir.

"Lo ngomong apaan sih!? Nggak mudeng gue." ujar gue yang udah
mulai nyolot ke Dirwan.

"Makanya gue bilang lo tunggu aja, burik! Lo nggak bakal ngerti kalo lo
nggak ngalaminya sendiri." balas Dirwan yang malah ikut emosi.

"Ngalamin apa?"

"Gue bilang tunggu waktunya aja. Sebulan lagi kan? Sabar kek! Esmosi
gue. Ngajak ribut nih anak."
"Kok malah elo yang marah sih!? Kan gue penasaran."

"Ya elonya sih bikin---"

"Udah diem!" ucap Galih yang menengahi pergelutan mulut antara gue
sama Dirwan.

Gue menarik napas gue dalam terus menghembuskannya kasar. Setelah


itu gue memicing menatap Dirwan nggak suka. Dan sialnya, dia juga
ikut-ikutan dengan apa yang gue lakukan. Sahabat jancok!

"Gua boleh ngasih lu saran nggak, Nu?" tanya Galih kalem yang mana
langsung membuat gue menoleh ke arahnya.

"Apa?"

"Ntar pas hari ulang tahun lu dateng. Lu di rumah aja ya. Jangan
keluyuran, susah ntar. Kalo lu di rumah kan ada nenek lu yang bisa
mengarahkan lu nantinya. Oke?" ucapnya yang begitu sangat
menenangkan sehingga membuat gue tanpa sadar mengangguk pelan
mengiyakannya.
"Angkotnya udah sampe. Ayok pulang." lanjutnya, lalu berdiri dan
meraih tangan gue untuk membantu gue berdiri. Setelahnya dia
menggandeng gue menuju angkot yang hanya beberapa langkah di
depan. Gue yang tadinya terbawa suasana kini langsung hancur begitu
celetukan Dirwan terdengar ke gendang telinga gue.

"Cih, dasar drama!" celetuknya. Gue pun langsung menoleh dan


memasang muka galak.

"Berisik!" balas gue. Setelahnya gue kembali menatap ke depan dan


mengganti tangan Galih yang awalnya menggandeng gue kini menjadi
gue yang gelayutan di lengannya.

"Biar yang di belakang nggak berisik." ujar gue pelan sebelum Galih
bertanya. Dan syukurlah dia cuma terkekeh menanggapinya. Setelah itu
gue pun dan Galih masuk ke dalam angkot untuk menuju pulang ke
rumah, mengabaikan Dirwan yang mencak-mencak di belakang.

•••
Gue masih kepikiran dengan percakapan gue antara sahabat gue kemarin.
Gue masih nggak ngerti dan butuh penjelasan. Tapi itu percuma, karena
mereka pasti bakal nyuruh gue buat sabar dan nunggu.

Sial lah. Mana enak nungguin hal yang nggak pasti kapan datengnya?

"Nek, nenek beneran nggak mau ceritain ke aku tentang apa itu
Omega?" tanya gue dengan nada melas ke nenek gue yang lagi asyik
menonton tv.

Beliau menoleh, tersenyum tipis lalu menggeleng pelan.

"Belum waktunya, Cu. Nanti kalo udah saatnya Nenek bakal jelasin
semua yang kamu nggak ngerti. Sekarang kamu tidur gih, udah malem
loh ini. Besok sekolah kan?" ujarnya. Gue yang mendengar itu
mengangguk lesu sambil menaruh kepala gue di pundak nenek.

"Aku belum ngantuk, Nek. Aku masih penasaran kenapa dia benci sama
cowok Omega. Dan kenapa di tujuinnya sama aku. Apa aku seorang
Omega?" ujar gue sambil masih dengan nada lesu dan mata memandang
tv yang menayangkan acara talk show.

Gue merasakan tangan Nenek yang menelusup masuk ke sela-sela


rambut gue lalu mengelus lembut yang mana terasa nyaman saat dia
melakukannya.
"Iya, kamu seorang Omega, Nak. Sama seperti Ibumu. Tapi Nenek
nggak bisa jelasinnya sekarang. Karena bakal sulit buat kamu mengerti
sebelum kamu mengalaminya sendiri. Lagian nggak lama lagi kan ulang
tahunmu? Di tunggu saja toh." ucap beliau yang membuat gue nggak ada
pilihan selain diam dan menyetujui ucapannya.

"Nek." panggil gue begitu otak gue menginginkan suatu jawaban dari
mulut Nenek. Ada hal yang membuat gue penasaran selama ini namun
gue tahan karena merasa nggak enak sama Nenek.

"Hm?" sahutnya.

Gue mengangkat kepala gue dari sandaran pundaknya, lalu menatapnya


lembut karena memang gue nggak terlalu berharap akan apa yang dia
katakan nanti. Tapi apapun itu, gue mau ngeluarin pertanyaan ini di
depannya.

"Apa kedua orang tua aku nggak sayang sama aku, Nek? Sampai mereka
tega ngasih aku ke Nenek? Apa ini semua karena aku jelek, makanya
mereka nggak mau aku ada di antara mereka?" ujar gue yang udah
merasakan baper di hati gue saat mengucapkannya.

"Kamu ngomong apa toh, Nak? Siapa yang bilang jelek? Orang kamu
cakep manis begini. Lagian bukan itu alasan orang tuamu nyuruh Nenek
membesarkan mu. Ada hal yang harus mereka lakukan sampai harus
melepasmu hingga besar sekarang ini. Urusan mereka benar-benar sulit.
Kalau bisa Nenek katakan, mereka berurusan dengan petinggi yang
hampir memiliki kekuasaan yang kuat di dunia kita." ucap Nenek yang
nggak gue paham sama sekali.

"Kamu pasti nggak paham, kan? Makanya Nenek bilang tunggu sampai
waktunya tiba. Nenek akan menjelaskan semuanya. Sekarang kamu tidur
gih, jangan mikirin macem-macem. Apalagi hal yang kayak tadi. Inget,
kamu itu nggak jelek. Nenek bisa lihat perubahanmu dari sesuatu yang
ada di dalam mu. Jadi berhentilah berpikir kalo kamu itu jelek. Ok?"
tambahnya sambil menepuk bahu gue.

Mendengar itu pun gue memilih untuk menghirup napas dan


menghembuskannya perlahan. Setelah itu gue mengangguk dan berdiri
dari duduk gue.

"Kalo gitu Inu ke kamar dulu ya, Nek. Mau tidur." ucap gue yang sangat
berbeda dengan apa yang ada di pikiran gue.

Tentu aja gue nggak langsung tidur. Gue masih pengen melek dan main
beberapa game terlebih dahulu. Tapi yang lebih penting, gue mau
browsing apa itu sebenarnya arti dari Omega yang akhir-akhir sering
muncul di setiap percakapan gue.
"Jangan lupa minum susunya ya, Nu." ujar Nenek sebelum gue berbalik
badan.

"Iya." balas gue.

Setelahnya gue langsung memasuki kamar gue yang nggak jauh dari
ruang tengah. Gue menutup pintu dan nggak lupa untuk menguncinya.
Selesai itu, gue pun langsung merebahkan tubuh gue ke atas kasur dan
meraba ke samping untuk mencari keberadaan ponsel gue.

Tanpa menunggu lama, gue pun langsung mengetikan kata Omega di


pencarian Google yang tentu saja tau segalanya. Gue klik cari, dan
banyaklah hasil yang gue dapatkan. Tapi sayangnya semua jawaban
yang terdapat di internet sangat nggak singkron dengan apa yang di
maksud dengan bencinya Lukas sama cowok Omega.

Di artikel cuma menjelaskan, kalo cowok Omega itu hanya menjelaskan


tentang kepribadian seorang cowok yang hampir mendekati sifat-sifat
perempuan. Misalnya, nggak suka menjadi pemimpin, sulit bergaul, dan
hal-hal lain yang nggak laki banget. Dan dari situ gue cuma bisa nemuin
satu kesimpulan aja kalo sebenernya yang Lukas maksud dari ucapannya
adalah kalau dia itu membenci cowok yang ke cewek-cewekan atau
sering di sebut juga banci.

Gue yang tersadar pun langsung ngeh dong!


Ya gila. Dia ngira gue ngondek apa? Hell, gue emang suka cowok, tapi
gue nggak ngondek apalagi bergaul sama-sama hal-hal yang kayak
begitu. Gue emang nggak suka jadi pemimpin, tapi gue siap mati kalo
itu berurusan dengan seseorang yang gue sayang seperti Nenek.

Tapi apa? Dia ngebenci gue hanya dengan sekali liat doang yang mana
dia nggak pernah tau lingkungan gue kayak apa!? Taik. Gue kesel
jadinya. Dasar cowok ganteng, pasti ada aja kekurangannya. Kalo nggak
sok, ya pasti bego.

Erghhh, gue pengen gigit orang jadinya kalo inget ekspresi dan nada
bicaranya kemaren. Tapi kayaknya percuma juga, gue mau marah
ataupun menentang pemikirannya tentang gue pun pasti sia-sia. Karena
pihak gue yang akan di salahkan. Dunia emang nggak adil. Huh.

Sebuah notif mengalihkan perasaan gue yang tadinya merasa kesal


sekarang menjadi bingung begitu melihat isi notif yang gue terima.

Undangan grup?

Gue membaca nama grup tersebut sebentar dan setelah mengerti


akhirnya gue bergabung dengan grup tersebut yang bernama IPA 1 All
Model.
Seneng? Pastinya nggak.

Gue merasa terhina sebenernya dengan nama grup itu. Apaan tuh.... All
Model? Semuanya keliatan kayak model gitu di kelas? Iya sih itu emang
fakta. Tapi gimana sama gue yang burik ini? Apa mereka ngundang gue
untuk jadi olokan mereka di grup? Nggak ngerti lagi gue. Dan bodohnya
gue malah bergabung ke grup itu, dan satu notif kembali masuk dari
grup tersebut.

IPA 1 ~ ALL MODEL (41)

Anda telah bergabung ke grup.

rezaspt

Welcome Wisnu^^ 20:38


Putridhiya

Wisnu siapa Za??? 20:38

rezaspt

Ini orangnya inuaja. 20:39

Melihat username gue di sebut, gue pun dengan segera membalas chat
tersebut karena takut di sebut sombong, padahal jelek.

Dibaca oleh 23 Hai.


20:39

Setelah membalas pesan itu pun gue segera menutup aplikasi tersebut
dan menaruh ponsel gue ke tempat semula. Bodo amat, gue nggak mau
nimbrung disitu. Sial, kenapa juga gue harus bergabung sih?? Kalo gue
langsung keluar sekarang bakalan langsung di cap sok gue. Yaampun,
ini lah salah satu nggak enaknya jadi orang jelek. Susah buat ngapa-
ngapain.
Nggak mau berpikir apapun lagi, gue pun memutuskan untuk tidur dan
berharap kalo besok berjalan dengan lancar tanpa adanya gangguan
ataupun hal yang membuat gue stres nantinya. Ya, gue harap.

***

Tapi ternyata harapan gue semalam nggak terkabul sama sekali. Gue
malah mendapatkan kesialan lainnya hari ini. Dimulai gue yang telat
sekolah, di hukum bersihin wc. Pake acara kepeleset lagi. Sial banget
kan! Mana gue sendirian, nggak bawa baju ganti padahal baju gue udah
keliatan kotor banget.

Ini masih jam pelajaran dan hal itu nggak memungkinkan bagi gue untuk
menghubungi Dirwan ataupun Galih untuk menanyakan baju mereka
yang seinget gue memiliki beberapa cadangan yang selalu mereka bawa.
Dan karena hal itu, gue harus terpaksa berlama-lama di wc ini sampai
waktunya istirahat tiba.

Gue yang tadinya berniat main hp dan bersantai sebentar karena


hukuman yang di berikan udah selesai, harus tertunda setelah mendengar
langkah kaki seseorang yang memasuki wc. Gue nggak tau kenapa, tapi
gue malah langsung ngacir dan masuk ke salah satu bilik dan
menutupnya rapat.
Gue nggak ngerti kenapa gue bersembunyi kayak gini padahal gue
nggak melakukan kesalahan apapun. Tapi yang jelas, gue merasakan
sesuatu yang menyeramkan akan terjadi kalo gue nggak sembunyi.
Apalagi saat gue ketahui ternyata yang masuk ke wc ada dua orang. Dan
mereka terdengar ngos-ngosan?

Dan apa ini?

Kenapa gue ngerasain aura yang bener-bener kuat disini. Bahkan gue
bisa mencium bau yang baru pertama kali gue hirup. Baunya enak,
bahkan gue betah untuk menghirupnya. Tapi perlahan bau itu tercampur
dengan bau lainnya yang mana baunya lebih menyengat dan membuat
gue terbawa suasana dan merasakan sesuatu yang berdiri di bawah sana.

"Kashhh..lo yakinhh kita lakuinnya disini hmmm.."

Suara seorang cewek yang masuk ke gendang telinga gue membuat gue
sadar, kalo apa yang mereka lakukan sedari tadi dan gue diamkan
beberapa menit ternyata tengah berbuat mesum. Apalagi saat gue
mendengar suara desahan cewek itu yang jelas banget.

Gue berdiri dan berniat untuk menangkap basah mereka karena udah
berbuat mesum disini. Namun tiba-tiba kaki gue terasa lemas lagi begitu
bau yang kuat kembali masuk ke dalam penciuman gue. Bahkan junior
gue yang sempat melemas tadi berdiri kembali dengan keras dan
membuat gue nggak tahan untuk menyentuh dan meremas barang
pribadi milik gue tersebut.

Suara demi suara gue dengarkan dengan bertambah terangsangnya diri


gue oleh aroma yang entah nggak gue ngerti kenapa bisa membuat gue
seperti ini, gue bahkan udah mengeluarkan penis gue untuk
melegakannya karena gue udah nggak tahan dengan aroma yang begitu
kuat ini.

Namun belum juga gue sampai klimaks. Tiba-tiba pintu bilik wc yang
gue tempati terbuka lebar dan menampilkan sosok Lukas di barengi sang
cewek yang menatap gue terkejut, berbeda dengan Lukas yang menatap
gue datar dan terkesan dingin.

Gue yang tadinya ingin mencapai klimaks, langsung merasakan lemas


dan tidak bernafsu lagi. Apalagi saat Lukas menyuruh gue keluar dengan
dingin dan di barengi dengan bisikannya saat gue melewati dirinya yang
mana itu membuat gue merasakan sesuatu dalam diri gue hingga
membuat gue tertegun beberapa detik.

"Menjijikan." bisiknya---dingin.
•••

"Nu, kamu kenapa nak? Ayo keluar. Makan dulu, nggak apa kamu
nggak sekolah lagi hari ini. Tapi kamu makan dulu ya? Dari semalem
loh kamu belum makan." ujar Nenek sambil mengelus punggung gue
yang membelakanginya.

Gue nggak mau jawab ataupun menyahut. Gue masih merasa malu
dengan apa yang terjadi dua hari kemarin. Walaupun itu hal yang nggak
gue ngerti kenapa bisa terjadi. Tetep aja itu membuat gue nggak punya
muka untuk berhadapan dengan Lukas lagi.

Gimana bisa gue yang niatnya mau nyiduk mereka malah gue sendiri
yang keciduk? Parahnya gue keciduk pas coli gegara mereka yang
berbuat mesum. Pasti Lukas berpikir kalau gue sange gara-gara merasa
menonton atau mendengar porno darinya secara gratis. Memalukan
banget, dan dia nggak salah menyebut gue menjijikan.

"Nu?" panggil nenek lagi yang masih berusaha membujuk gue.


Gue nggak tega sebenarnya diemin nenek begini. Tapi apalah gue yang
lagi baper karena kebegoan gue sendiri.

"Kamu beneran nggak mau cerita? Yaudah, kalo gitu Nenek tinggal ya.
Nanti kalo kamu udah berubah pikiran cari aja nenek di kamar. Ok?"
ucapnya, setelahnya gue merasakan tubuh nenek yang beranjak dari
kasur gue untuk keluar dari kamar.

Gue yang nggak mau nenek pergi pun segera berbalik dan menahan
tangannya. Beliau menoleh sambil tersenyum senang. Dia kembali
duduk di kasur gue dan mengelus kepala gue lembut.

Gue yang menerima perlakuan seperti itu pun tersentuh dan akhirnya
mendudukan diri gue lalu langsung memeluk beliau.

"Maafin Inu nek." ujar gue sambil memeluknya.

"Iya nggak apa." balasnya, setelah itu gue melepas pelukan gue dan
mensejajarkan duduk gue dengannya. Gue diem sebentar menunggu
kalimat apa yang akan di keluarkan Nenek.

"Jadi?" gue menoleh dan menaikkan satu alis gue menatap beliau.
"Kenapa kamu bersikap kayak gitu dari kemarin? Apa ada yang ganggu
kamu di sekolah?" tanyanya.

Gue yang mendengar itupun menghirup napas dalam dan


menghembuskannya perlahan. Setelah itu gue bersiap untuk bercerita
apa yang terjadi semuanya. Lagi pula gue juga masih bingung kenapa
gue bisa melakukan hal itu padahal gue nggak pernah mengalaminya
sebelumnya. Dan kenapa bau ruangan maksud gue aroma di wc itu
membuat gue berdiri? Aromanya sangat menyengat padahal jelas-jelas
itu di dalam wc.

"Nggak ada yang ganggu Wisnu di sekolah, Nek. Tapi Wisnu lah yang
udah berbuat hal yang memalukan yang bahkan Wisnu sendiri jijik kalo
ingetnya." ujar gue mulai bercerita.

"Emang kamu ngapain, Nu?" tanya beliau.

"Wisnu ketahuan berbuat hal yang nggak senonoh di sekolah. Itulah


kenapa aku nggak mau masuk dua hari ini. Aku malu nek, apalagi dia
satu kelas sama aku. Dia pasti bakal ngejek bahkan menjatuhkan aku
nantinya. Di tambah lagi dari awal dia nggak suka sama aku." jelas gue.

Nenek tampak diam berusaha mencerna ucapan gue sambil terus


menatap ke arah gue.
"Hal yang nggak senonoh gimana maksud kamu? Dan siapa dia yang
kamu maksud?" balas beliau.

"Dia orang yang bilang benci sama cowok Omega, Nek. Yang pernah
Wisnu ceritain. Dan hal yang nggak senonoh yang aku maksud adalah...
Wisnu ketahuan mesum di sekolah. Aku nggak tau kenapa bisa
ngelakuin hal itu. Awalnya Wisnu di hukum sama guru buat bersihin wc,
tapi setelah dia dan satu orang cewek berbuat hal yang sama ngebuat aku
sembunyi di salah satu bilik. Tapi nggak berapa lama kemudian, Wisnu
merasakan aroma yang sangat kuat yang membuat sesuatu dalam diri
Wisnu bergejolak, Nek. Dan nggak lama kemudian aku melakukan hal
itu dengan barangku sendiri. Aku nggak ngerti kenapa itu bisa terjadi.
Tapi itu nggak penting, yang penting, kenapa harus dia yang menangkap
basah aku? Padahal kan yang berniat menangkap basah duluan kan aku.
Dunia bener-bener nggak berpihak sama aku, nek. Haaahh..." ujar gue
selesai mencurahkan apa yang menganggu pikiran gue.

Gue menoleh ke samping dan mendapati nenek yang cuma diam


termenung sambil menatap kasur yang sama sekali nggak ada hal yang
menarik untuk di liat di situ.

"Nek?" panggil gue sambil menepuk bahunya pelan.

Beliau tersadar lalu nggak lama raut wajahnya terlihat khawatir menatap
gue.
"Ada apa, Nek? Kenapa muka nenek keliatan khawatir?" tanya gue.

Dia nggak menjawab pertanyaan gue dan malah mengulurkan kedua


tangannya untuk menyentuh muka gue.

"Kamu beneran merasakan feromon Alpha itu, Nak?" tanyanya.

"Feromon?" mendengar gue yang nanya balik, membuatnya melepaskan


tangannya dari wajah gue. Setelahnya beliau kembali fokus dengan
pikirannya lalu menatap gue lembut.

"Iya, aroma yang kamu rasakan itu namanya feromon, Nu. Tapi nenek
bingung. Kamu kan belum masuk umur 17 tahun. Kamu juga belum
memasuki masamu. Tapi kamu udah bisa merasakan feromon itu? Apa
kamu juga bisa merasakan feromon nenek sebagai seorang Alpha?"
tanyanya yang malah belibet dan nggak gue ngerti sama sekali.

"Aku nggak ngerti apa yang Nenek omongin." ucap gue jujur.

"Kamu belum mengerti, kan? Terus kenapa kamu bisa merasakannya?


Apa feromon Alpha itu sangat kuat sampai bisa menembus pertahanan
manusiamu yang masih tersisa?" ujarnya yang gue yakini dia lagi
ngomong sendiri dan nggak butuh jawaban dari gue.
Nggak lama setelahnya beliau sadar dari pemikirannya dan menatap gue
dengan pandangan yang nggak gue mengerti.

"Ayo kita ke dokter, Nu." ajak nenek tiba-tiba sambil menarik tangan
gue agar bangkit dari kasur. Gue yang nggak siap pun hampir terjatuh
karena tarikan itu.

"Buat apa kita ke dokter? Aku nggak sakit, nek. Aku lagi nahan malu aja
di sekolah. Nggak perlu ke rumah sakit segala." ujar gue begitu tubuh
gue udah berdiri tegap menghadap nenek.

"Ini bukan masalah itu. Tapi pasti ada sesuatu yang salah, karena kamu
bisa merasakan feromon di waktu yang belum saatnya. Dan kali ini
bukan dokter biasa yang kita temui. Tapi dokter spesialis yang akan
menangani masalah yang kamu bingungkan. Kamu bisa konsultasi sama
dia nantinya. Ayo sekarang kamu siap-siap. Nenek juga mau siap-siap.
Kalo udah kita langsung berangkat." ujarnya lalu setelah itu langsung
berbalik dan berjalan keluar dari kamar gue.

Sementara gue yang tentu aja nggak ngerti apapun cuma bisa
menghembuskan napas pasrah dan berjalan lesu ke arah lemari untuk
bersiap ke dokter yang nenek maksud.

***
"Jadi masalahnya adalah kamu merasa terangsang hanya dengan
merasakan aroma atau yang di sebut feromon itu sangat kuat dan
akhirnya membuatmu melakukan hal yang seperti itu?" ucap sang dokter
yang bernama Dimas.

Gue mengangguk di ikuti nenek yang juga duduk di samping gue.

"Masalahnya bukan di terangsangnya dok. Tapi ini lebih ke dirinya yang


sudah bisa merasakan hal itu padahal saat ini dia masih di bawah umur
dan belum saatnya tiba. Pertumbuhannya memang lambat, karena masih
ada darah manusia yang mengalir di dalamnya. Di tambah lagi ibunya
adalah seorang resersif." ucap Nenek yang begitu lancar sedangkan gue
cuma bisa diem karena nggak ngerti apa yang mereka bicarakan sedari
tadi.

"Jadi begitu. Baiklah, konsultasi ini akan saya bicarakan dengan Nenek
saja. Untuk Dek Wisnu silahkan tunggu di luar, karena hal ini masih
belum di peruntukan olehmu yang masih di bawah umur. Atau juga bisa
di sebut masa heat." ujar dokter itu yang beralih menatap gue setelah
berbicara kepada nenek tadi.

Gue menatap nenek meminta jawaban, setelah melihat dirinya


mengangguk gue pun bangkit dari duduk gue dan berbalik untuk keluar
dari ruangan dokter yang sebenarnya sangat nyaman untuk gue rasakan.
Tapi karena gue di suruh keluar, apa boleh buat. Gue pun akhirnya
menunggu di kursi tunggu sambil memainkan ponsel gue yang sudah
penuh notifikasi dari beberapa aplikasi chatting.

Gue membaca satu-persatu pesan yang masuk yang mana sebagian


berasal dari grup dan hanya beberapa orang saja yang menanyai
keberadaan gue yang nggak sekolah dua hari ini.

"Wisnu?" suara seseorang yang menyebut nama gue dan membuat gue
mendongak untuk melihat siapa orang yang udah manggil gue.

"Reza? Ngapain lo disini?" tanya gue begitu tau sang empunya suara
tadi.

"Harusnya yang nanya itu gue. Ngapain lo ada di rumah sakit ini? Kan
lo belum masuk waktunya??" ujarnya sambil mengambil duduk di
samping gue.

Gue yang mendengar ucapannya barusan pun menatap tanya dirinya.

"Kok ucapan lo bisa sama kayak orang-orang di sekitar gue sih. Belum
waktunya lah, belum saatnya. Dan lain-lain yang kayak gitu. Apa semua
orang tau hanya dengan melihat gue bahkan untuk pertama kali?" ujar
gue yang udah mulai bosan dengan kata-kata belum waktunya.
Reza terkekeh menanggapi ucapan gue.

"Nggak mungkinlah. Gue aja nggak bakal tau kalo bokap gue yang
nggak cerita."

"Bokap lo?"

"Iya, ruangan yang lo masuki tadi itu ruangan bokap gue." ujarnya yang
membuat gue cukup terkejut.

"Serius?" dia mengangguk sambil menopang satu kakinya di kaki


satunya.

"Kok dokter gitu sih. Bocorin informasi pasiennya." ucap gue bercanda.

"Apa salahnya? Kan gue anaknya." balasnya yang malah di bawa serius.

"Tapi kan dokter punya sumpah tentang sesuatu yang kayak gitu." ujar
gue yang juga ikut kebawa serius.

"Tau dari mana lo?"


"Di film-film sih gitu." jawab gue yang akhirnya meragu.

"Film kok di percaya. Gue dong tau semuanya langsung dari


sumbernya." ucapnya yang menyombongkan pekerjaan bapaknya.

"Iye gue kalah debat. Btw, bukannya sekarang masih jam pelajaran ya.
Kok lo disini? Nggak sekolah juga lo?" tanya gue yang sadar setelah
melihat jam di dinding yang baru menunjukan pukul 10 pagi.

"Gue izin hari ini. Lagian gue bosen di kelas kalo nggak ada elo."

"Apa hubungannya sama gue?"

"Ya nggak ada temen sebangku lah. Apa lagi!?" balasnya yang malah
nyolot ke gue.

Gue dalem hati udah memakinya karena baru kenal beberapa hari udah
berani nyolot-nyolotan. Untung ganteng, kalo nggak udah gue smack
down nih orang.

Gue yang tadinya mau membalas ucapan Reza harus gue urungkan
begitu bunyi pintu terbuka mengalihkan pandangan gue maupun Reza ke
asal suara tersebut. Sosok nenek muncul dari sana dan berjalan perlahan
ke arah gue. Gue yang mau menanyakan gimana hasilnya langsung
nggak gue sempatkan begitu Reza mendahului gue untuk menyalimi
tangan nenek.

"Temen baru Wisnu ya?" tanya nenek begitu Reza selesai dengan
urusannya.

"Iya, Nek. Temen sekolah." jawabnya.

"Nggak sekolah juga?" tanya nenek lagi dan di angguki Reza dengan
senyum kikuk yang terlihat jelas dari penglihatan gue.

"Gimana nek? Apa Wisnu baik-baik aja? Dia nggak sekolah dua hari
kemaren." ujar Reza yang bener-bener nggak gue ngerti kenapa dia
harus repot-repot basa-basi begitu.

"Dia nggak apa kok. Dia cuma butuh istirahat aja sampai waktu yang
seharusnya tiba." ujar nenek dan langsung menimbulkan kerinyitan di
dahi gue.

"Jadi Wisnu harus nggak sekolah selama itu ya, Nek?" tanya Reza yang
sudah mewakili pertanyaan yang timbul di benak gue.

Nenek mengangguk, lalu beralih menatap gue sambil tersenyum tenang.


"Ya, dia harus di rumah sampai waktunya tiba. Kalau enggak akan di
takutkan hal yang sama akan terjadi lagi. Bahkan mungkin akan lebih
parah. Karena Wisnu akan menjadi seorang yang dominan." ucap nenek
dan mendapatkan respon terkesima dari raut wajah Reza.

"Ayo, Nu. Kita pulang. Masih banyak hal yang harus nenek katakan
padamu tentang konsultasi tadi." ucap beliau dan mendahului gue dan
berjalan menjauh setelah sebelumnya tersenyum berpamitan kepada
Reza.

"Gue turut bahagia bro lo jadi yang dominan. Lo bakal jadi sosok yang
di idamkan nanti. Sukses yaa." ucap Reza saat gue bangkit dari kursi.

"Ngomong apaan sih? Gue nggak mudeng." balas gue.

"Ntar juga lo tau sendiri." ujarnya.

Gue yang mendengar itu cuma tersenyum kecut lalu mulai berjalan
menjauh dari sana untuk menyusul nenek yang mungkin lagi nungguin
gue saat ini.

***
Sesampainya gue di rumah. Nenek cuma menjelaskan beberapa hal yang
masih aja nggak gue mengerti. Gue nggak tau apa otak gue yang lemot
atau fakta kalau gue belum waktunya untuk mengerti itu bener.

Entahlah. Gue nggak mau ambil pusing. Yang jelas, satu hal yang gue
pahami. Gue nggak boleh keluar rumah sampai satu bulan ke depan saat
umur gue tepat menginjak tujuh belas tahun.

Gue sedikit protes waktu itu. Karena mana mungkin gue bisa betah di
rumah seharian dan dalam waktu satu bulan. Gila aja lagi, gue udah
kayak tahanan yang terisolasi padahal gue nggak melakukan kejahatan.

Tapi nenek terus meyakinkan gue kalo ini yang terbaik dan paling aman
untuk diri gue. Jadi karena itu, akhirnya gue pun setuju dan tetap diam di
rumah seharian yang mana sekarang sudah berjalan dua minggu lamanya.

Soal sekolah, tentu saja nenek udah mengizinkan gue ke kepala sekolah.
Dan ajaibnya langsung di terima gitu aja. Gue nggak tau apa yang nenek
lakukan sampe kepala sekolah aja setuju untuk gue ambil cuti selama
satu bulan.

Rasa bosen sih pasti selalu dateng ke benak gue. Tapi berkat dua orang
sahabat gue yang selalu dateng tiap hari sehabis pulang sekolah.
Membuat rasa bosan itu hilang dan akhirnya gue betah juga di rumah.
Mereka nggak nanya sama sekali kenapa gue udah kayak orang
penyakitan yang harus stay di rumah. Baguslah, lagipula gue nggak tau
harus jelasinnya kayak gimana.

Ya, semuanya berjalan lancar dua minggu ini. Tapi entah kenapa hari ini
di jam 10 malem ini. Gue merasa gelisah dan hasrat pengen keluar
rumah itu kuat banget. Bahkan gue sampe nggak sadar kalo saat ini gue
udah di luar rumah dan ada di jalanan yang masih ramai dengan orang
yang berlalu lalang.

Semuanya berjalan baik di luar. Gue bahkan sempet memesan dan


memakan nasi goreng pinggiran. Makan eskrim, dan melakukan hal-hal
yang gue inginkan selama dua minggu terakhir. Tapi semua kelancaran
itu perlahan hilang begitu gue melewati jalan sepi dan hanya ada
beberapa orang dengan tinggi badan di atas rata-rata.

Rasa takut langsung menyergap gue. Apalagi mereka selalu menyebut


gue omega yang menarik perhatiannya. Gue nggak ngerti, tapi gue
paham kalo gue lagi dalam bahaya. Makanya, sebelum orang itu sampai
dengan jarak gue. Gue langsung berlari kencang menjauh dari mereka.
Dan firasat gue bener, mereka juga lari dan mengejar gue.

Nama nenek pun selalu gue sebut dalem hati gue karena udah
membantah ucapannya yang melarang gue untuk keluar rumah. Dan
inilah akibatnya dari gue yang membangkang.
Napas gue pun perlahan menipis karena gue udah merasa lelah akan
berlari yang kencang dan juga dengan jarak yang jauh. Gue nggak
sanggup lagi berlari, bahkan gue berhenti untuk mengambil napas
sebentar. Dan karena hal itu, para orang yang mengejar gue pun udah
dekat dan tinggal beberapa meter lagi sampai.

Gue udah pasrah saat itu, karena gue udah nggak memiliki tenaga lagi.
Tapi tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan gue dengan
jendelanya yang perlahan terbuka dan menampilkan sosok orang yang
tentu saja penyebab dari semua ini terjadi. Lukas.

Dia menatap gue dan belakang gue bergantian. Setelah itu dia
menghembuskan napasnya pelan lalu berkata.

"Masuk." ucapnya. Gue nggak mudeng dan menyatukan kedua alis gue
menatapnya bingung.

"Lo mau ketangkep mereka?" tanyanya lagi. Sontak gue langsung


menggeleng karena jarak mereka bener-bener udah di depan mata.

"Cepet masuk." ujarnya lagi.

Gue yang mendengar itupun segera berlari ke pintu mobil satunya untuk
masuk ke dalam mobil tersebut. Tepat waktu saat orang-orang itu
sampai di tempat gue berhenti tadi, mobil pun langsung melaju cepat
menjauh dari area tersebut.

Gue merasa lega karena akhirnya gue selamat dari bahaya. Gue
menghirup napas sebanyak-banyaknya untuk menenangkan diri gue
yang sempat terserang panik tadi.

Tapi bukannya gue merasa tenang. Gue malah merasa panas dan juga
bergairah begitu aroma yang pernah gue rasakan kembali masuk ke
penciuman gue dan membuat sesuatu di bawah sana berkedut dan terasa
sakit. Muka gue pun terasa panas bahkan saat mobil berhenti dan orang
di sebelah gue menyuruh gue turun pun nggak gue lakukan

Gue malah menoleh ke arahnya yang mana dirinya terlihat sangat


menarik dan juga sangat gue inginkan saat ini. Tapi rasa yang bergejolak
ini bener-bener nggak bisa gue tahan. Dan tanpa perintah dari otak gue,
tubuh gue pun dengan lancangnya memeluk Lukas yang terbengong
kaget melihat perlakuan. Sebelum dia berucap atau menyingkirkan gue.
Gue pun berbisik pelan dan terkesan menahan sesuatu yang nggak bisa
gue tahan lagi.

"Tolong gue, Lukashhh" bisik gue yang entah kenapa mengeluarkan


suara yang seperti itu.
"Kenapa harus sekarang lo ngalamin heatnya!?" ucapnya dan berusaha
menyingkirkan gue dari tubuhnya yang sangat terasa nyaman untuk gue
peluk.

Gue menjauhkan wajah gue dari pundaknya untuk melihat wajahnya


yang terlihat begitu tampan di penglihatan gue. Bahkan gue nggak sadar
kalau tangan gue saat ini udah menyentuh barang pribadinya dan dengan
kurang ajarnya gue mencium bibir Lukas yang terdiam menatap gue
datar.

•••

[ Author POV ]
Lukas meletakkan tubuh Wisnu ke atas kasurnya yang mana hal ini
adalah yang pertama kali baginya membawa seseorang ke kamarnya. Ia
tidak tau lagi harus membawa cowok Omega yang tengah mengalami
heat ini kemana. Ia tidak tau rumahnya, bahkan kontak kenalannya pun
tak punya. Wajar saja, karena Lukas baru dua kali berpapasan
dengannya selama ini.

Lukas memperhatikan gerak-gerik dan juga ekspresi yang di keluarkan


oleh Wisnu dengan berdiri tegak dan tangan yang di taruh di dadanya.

"Pertama kali mengalami heat, huh?" ujarnya sambil masih menatap


datar Wisnu yang mengeluarkan ekspresi nafsu dengan wajah yang
merah matang dan mata yang sendu menatapnya.

Setengah kancing baju yang di kenakan Wisnu sudah terbuka, dan itu
tentu saja bukan Lukas yang melakukannya. Wisnu sendiri lah yang
membuka beberapa kancing tersebut si perjalanan tadi. Sementara Lukas
sendiri susah menyetir karena tangan Wisnu selalu mengganggunya dan
menggerayanginya di mobil. Setelah mobil berhenti, Lukas segera
meraba saku Wisnu untuk mencari obat penawar heat yang mungkin saja
di bawanya. Namun ia tidak menemukan benda tersebut, dan saat itulah
Lukas langsung mengetahui kalo ini adalah heat pertama Wisnu.

Ada niat di benak Lukas untuk menurunkan Wisnu di jalan dan


membiarkannya di sadarkan dengan Alpha lain yang mungkin saja akan
ikut terangsang dengan feromon yang di keluarkan oleh Wisnu. Karena
bisa di akui, feromon Wisnu sangat kuat. Hanya dengan sekali rasa,
Lukas tau, kalau Wisnu adalah omega dominan.

Lukas sedikit membesarkan matanya saat melihat Wisnu membuka


celananya dan menanggalkan semua yang ia kenakan hingga saat ini
dirinya tidak mengenakan apapun di tubuhnya. Lukas tidak mau ikut
campur, dia hanya diam sambil ingin memperhatikan apa yang akan
Wisnu lakukan untuk memenuhi heat yang di alaminya.

"Enghhh... Shhh" suara desahan Wisnu terdengar saat dirinya


memasukkan satu jarinya ke lubang kecil dengan warna kulit yang
kemerahan. Cukup terkejut karena ini pertama kalinya bagi Lukas
melihat seorang pria omega memenuhi nafsu heatnya.

Jadi di sana hal yang harus di lakukan untuk cowok omega. Pikir Lukas.

Tangan Wisnu yang satunya kini beralih ke penisnya yang sudah berdiri
dengan ukuran yang tidak seberapa di bandingkan dengan yang Lukas
miliki. Dan itu membuatnya terkekeh sebentar melihat benda tersebut
berdiri tegak dan sedang di mainkan oleh Wisnu.

Namun tanpa di sangkanya, Wisnu ternyata merespon kekehan Lukas


dan membuatnya menoleh ke arah Lukas dengan pandangan nafsu.
Setelahnya Wisnu melepaskan pegangannya pada penisnya dan beralih
untuk meraih baju Lukas dan menariknya hingga membuat Lukas yang
tidak siap pun oleng dan berakhir dengan dirinya yang hampir menindih
tubuh Wisnu di bawahnya.

Wisnu tersenyum menggoda sambil memajukan kepalanya untuk


membisikkan sesuatu di telinga Lukas.

"Tolong masukin dengan sesuatu yang lo milikin, Lukashhh." ucap


Wisnu yang benar-benar sudah berada di puncak heatnya. Ini bahkan
sudah di luar kendalinya. Masa heat ini sudah merubah sosok Wisnu
yang pemalu dan juga penyadar diri.

"Gue nggak bernafsu sama cowok omega. Sekuat apapun feromon yang
keluarin. Itu nggak membangkitkan nafsu Alpha gue." ujarnya yang
tentu saja dengan nada dingin.

Lukas berniat untuk bangkit dari posisinya dan kembali berdiri. Namun
itu tidak berhasil, karena Wisnu kembali menariknya dan langsung
mencium bibirnya lembut.

"Gueehh mohhonnh.." ucapnya lagi setelah menyelesaikan ciuman yang


ia berikan.

Lukas terdiam. Apalagi saat feromon yang di keluarkan Wisnu


bertambah kuat dan sangat penuh di ruangan ini, membuatnya tanpa
sadar sudah mengeluarkan keringat ragu di dahinya. Ia menatap manik
Wisnu yang masih sendu dengan pipinya yang memerah lalu beralih
menatap otong Wisnu dan juga tangan yang masih berada di dalam
lobang miliknya.

"Ok, gue bantu lo. Cuma jari. Nggak lebih." ujar Lukas akhirnya.

Setelah itu Lukas merubah posisinya yang tadinya hampir menindih


Wisnu, kini menjadi dirinya yang sudah berhadapan dengan lubang
kemerahan itu. Wisnu ngeh, dan langsung mengeluarkan jarinya dari
sama.

Lukas menatap jarinya sebentar dan berganti menatap lubang di


depannya. Setelahnya ia memajukan satu jarinya dan menempelkannya
di lubang itu.

"Enghhhshh.." desah Wisnu yang langsung merespon sentuhan Lukas.


Bahkan saat ini Wisnu tengah mengigit bibir bawahnya karena hanya itu
saja sudah terasa begitu nikmat.

Melihat reaksi itu, tanpa membuang waktu lagi, Lukas langsung


memasukkan satu jarinya di lubang tersebut. Dan rasa yang pertama kali
ia rasakan adalah sempit dan hangat. Sepertinya ini benar-benar yang
pertama kalinya Wisnu melakukan hal ini. Tapi mengapa ekspresi
Wisnu seakan-akan sudah sangat handal. Apa karena ini bukan dirinya
yang sebenarnya?
"Akhhhh emnhhh" desahan Wisnu kini sudah semakin berirama seiring
Lukas memaju-mundurkan jarinya di lubang tersebut. Saking terbawa
suasananya, Lukas tidak sadar kalau saat ini ia sudah memasukkan tiga
jari sekaligus di lubang itu.

Lukas menikmatinya, walaupun ia tau ia tidak menginginkan ini. Karena


bisa berbahaya baginya jika ia terbawa lebih jauh dari ini.

Desahan demi desahan terus keluar dari mulut Wisnu. Dengan bibir
yang digigit, mata di tutup, dan tangan yang meremas sprei. Membuat
Lukas menilai bahwa pemandangan ini sangatlah indah di matanya.
Tanpa terasa pun, Lukas akhirnya mengeluarkan feromon yang mana
seharusnya ia tidak lakukan.

Karena hal itu tentu saja bisa membangkitkan Wisnu dan menambah
volume omeganya bertambah pesat. Wisnu pun langsung menyadarinya
ia membuka matanya dan mengangkat sedikit kepalanya untuk menatap
Lukas. Setelahnya ia berkata.

"Guehhh mau lebihhh dari inihhh. Apahh kamuhh nggak mau masukin
milikmu itu?" ujar Wisnu sambil masih mendesah nikmat. Ia bahkan
tidak sadar kalau sudah menggunakan kata kamu di kalimatnya.
Lukas sendiri yang mendengar itu merasa seperti mendapatkan izin
untuk melakukan sesuatu yang lebih dari ini. Karena dirinya juga sudah
terlarut dengan feromon Wisnu, ia pun tanpa malu langsung
mengeluarkan penisnya yang langsung mencembul besar dari celananya.
Tentu saja Lukas tidak membuka seluruh celananya, ia hanya
membukanya sebagian.

"Lo mau gue masukin ini?" tanya Lukas dengan keringat yang juga
sudah bercucuran di dahinya.

Wisnu mengangguk tanpa ragu. Sesuatu dalam dirinya meronta


kegirangan begitu melihat milik Lukas yang sangat besar dan terlihat
begitu memuaskan.

"Lo yakin?" tanya Lukas lagi.

"Iyahhh, masukin semuanyahh" balas Wisnu yang sudah tidak tahan.

Mendengarnya, Lukas pun dengan perlahan memasukin barang miliknya


yang sudah membesar dan keras ke dalam lubang milik Wisnu.
Lumayan rumit untuk awalnya, tapi karena sudah pemanasan dengan
tiga jarinya tadi. Akhirnya penisnya pun masuk seutuhnya ke dalam
lubang sempit itu.
"Aaaagghhhh... Shhghhh" erang Wisnu merasakan benda padat yang
begitu besar di dalam dirinya. Sakit memang, tapi entah kenapa Wisnu
tidak ingin benda itu keluar dari dalam sana.

Lukas sendiri pun masih diam, tidak berniat menggerakan dirinya


menunggu reaksi selanjutnya yang di keluarkan oleh Wisnu. Setelah di
rasa pas, akhirnya Lukas menggerakan pinggulnya untuk memulai
sesuatu yang juga sudah membara dalam dirinya. Awalnya bergerak
perlahan, namun begitu mendengar desahan nikmat yang keluar dari
bibir Wisnu, membuatnya tambah bernafsu dan menaikkan tingkat
gerakkannya menjadi lebih cepat.

Tapi saat ia tengah melakukan itu di pertengahan menit. Tiba-tiba


sesuatu yang besar membuat otaknya tersadar, kalau saat ini dirinya
sedang tidak menggunakan pengaman yang mana harusnya selalu ia
bawa untuk keadaan seperti ini. Ini bahaya, ia tidak bisa melanjutkannya.

Apalagi saat ini ia tengah memasuki seorang omega dominan yang


sangat rentan akan kehamilan. Jadi dengan begitu, dengan sekali tarikan,
Lukas mengeluarkan penisnya dari dalam lubang itu dan langsung
menerima desahan kecewa dari bibir Wisnu.

Lukas menatap Wisnu yang menatapnya dengan tatapan yang sama.


Setelah itu ia tersenyum kecut.
"Lo selesain sendiri masa heat lo. Gue juga akan nyelesain apa yang
udah membuat gue begini." ujarnya, setelah itu berbalik dan berjalan
menjauh dari Wisnu menuju kamar mandi untuk menyelesaikan sesuatu
yang tertunda tadi. Berbeda dengan Wisnu yang malah langsung
terpejam begitu sosok Lukas sudah tidak terlihat dari pandangannya.

Ia terlelap begitu saja, karena tiba-tiba dirinya merasa lelah dengan apa
yang baru saja ia lakukan.

Dan ya... Dia akan menyesali perbuatannya kali ini.

•••

Gue perlahan membuka mata gue begitu merasakan pantulan cahaya


terang yang tembus ke kelopak mata gue. Gue berkedip beberapa kali
untuk memfokuskan penglihatan gue yang masih kabur. Setelah kembali
normal, kerutan di dahi pun gue rasakan.

Ini....bukan kamar gue!


Seketika gue terduduk dari tidur gue dan melihat sekitar yang ternyata
ruangan ini terlihat begitu luas dengan peralatan yang terlihat mewah
dan perlengkapan yang tertata rapi di atas meja. Gue menatap lekat ke
meja itu. Karena di sana adalah barang-barang yang selalu gue inginkan
selama ini. Tapi karena kondisi keuangan gue yang parah, gue nggak
pernah membelinya.

Udara dingin menyentuh kulit gue yang mana hal itu membuat gue
langsung mencari asal dari udara tersebut yang ternyata berasal dari ac
yang menyala di dinding bagian atas. Sekali lagi pun gue sadar, kalo ini
bukanlah kamar gue. Dan...

Gue telanjang!

Bazenggg! Kemana baju gue!? Kenapa gue bisa nggak baju begini!?
Apa yang terjadi semalem!??

Panik gue. Dan langsung melompat dari kasur dan mencari keberadaan
baju gue dengan tubuh telanjang bulat. Nihil, gue nggak menemukan
baju gue dimanapun. Dan saat gue ingin menyerah untuk mencarinya,
tiba-tiba ingatan yang hebat menerjang kepala gue dan mengingatkan
gue akan kejadian semalam yang gue alami.

Di mulai dari gue yang keluar rumah malam-malam. Di kerja beberapa


orang hingga akhirnya di selamatin sama Lukas, cowok yang menyebut
gue menjijikan dan benci sama cowok omega. Terakhir, gue melakukan
sesuatu yang lebih menjijikan terhadap Lukas dan membuat diri gue
sendiri melakukan hal yang begitu memalukan. Di tambah lagi gue ingat
kalau gue meminta sesuatu darinya untuk memasuki gue.

Mengingat itu, membuat bagian bawah gue terasa perih dan berdenyut.
Gue terlalu inget, tapi yang jelas ukuran otong Lukas itu gede banget.
Dan.... Kenapa bisa gue melakukan hal yang kayak gitu!???

Ini nggak bisa di biarin. Gue harus segera keluar dari sini dan pulang
untuk nanyain Nenek apa yang terjadi sebenarnya terhadap gue.

Gue menarik selimut yang berada di atas kasur dan melilitkannya ke


badan gue. Setelahnya gue berjalan ke arah pintu yang gue yakini adalah
pintu keluar. Namun ternyata gue salah. Pintu yang gue buka barusan
adalah kamar mandi. Dan saat ini gue bisa melihat dengan jelas
seseorang yang ada di balik kaca transparan tersebut tengah
membersihkan dirinya dengan air yang mengalir dari atas kepalanya atau
yang sering di sebut shower.

Dia-Lukas menoleh dengan ekspresi bengong dan lebih ke datar.


Berbeda dengan gue yang udah panas dingin karena melihat dirinya
yang nggak mengenakan apapun. Apalagi saat dia mematikan keran air
dan membuka pintu kaca tersebut. Semuanya jadi terlihat jelas di depan
mata gue. Tapi entah kenapa gue nggak merasakan sesuatu yang
bergejolak seperti semalam padahal saat ini gue tengah menyaksikan
cowok ganteng bugil di depan gue. Dan itu cukup menimbulkan tanda
besar di otak gue.

Lukas menatap gue dari atas sampai bawah. Setelahnya dia meraih
handuk yang ada di sampingnya dan melilitkannya di pinggangnya.

"Gue kira lo bakal kabur setelah kejadian semalem. Tapi ternyata gue
salah." ucapnya, lalu berlalu mendahului gue untuk keluar kamar mandi.
Melihat itu, gue pun langsung berputar balik dan mengikutinya dari
belakang.

"A-pa lo tau apa yang terjadi?" tanya gue, karena ya...gue masih nggak
mengerti kenapa gue bisa ngelakuin hal memalukan kayak gitu.

"Lo dalam masa heat. Bukan salah lo sepenuhnya. Gue yang udah
membawa lo masuk ke mobil yang isinya sangat penuh sama feromon
gue. Wajar lo mengalami hal itu." ujarnya yang sudah nggak ada lagi
nada datar. Tapi tetap, ekspresinya masih mengeluarkan ekspresi yang
sama seperti pertama kali gue ngeliatnya.

Gue cuma ngangguk aja walaupun gue nggak ngerti apa yang dia
omongin. Gue mau nanya lagi tapi gue takut nanti responnya akan jadi
jutek atau malah menatap gue tajam.
"Gue sebenernya emang bermaksud kabur. Gue kira pintu yang gue
buka tadi pintu keluar. Tapi ternyata bukan. Dan...dimana baju sama
celana gue?" tanya gue begitu melihatnya membuka lemari untuk
mencari pakaiannya.

Dia nggak menjawab dan masih fokus mencari di dalam lemari tersebut
hingga memakan waktu beberapa menit kemudian dia berbalik dan
melemparkan gue sepasang pakaian yang terlihat bagus bahkan sangat
bagus untuk gue pakai.

"Pake itu. Baju lo gue suruh art untuk di cuci. Bahaya kalo itu ada di
kamar gue. Feromon yang lo keluarin sangat kuat sampe bisa nempel di
baju itu." ujarnya.

Gue yang mendengar itu pun akhirnya diam dan membentang pakaian
yang ada di tangan gue untuk melihat ukuran baju yang akan gue
kenakan ini.

Ini kebesaran. Tapi gue nggak bisa protes sama ukuran itu karena pasti
akan terkesan nggak tau terima kasih. Dan ya, jadilah saat ini gue
memakai pakaian itu tanpa berkomentar apapun dan hasilnya tentu saja
sangat besar. Tangan gue bahkan nggak keluar sama sekali dari lengan
baju yang panjang ini. Dan gue rasa, gue nggak butuh celananya. Karena
baju yang gue pakai pun udah menutupi tujuh puluh persen pinggang
hingga lutut gue.
"Ehh... Apa lo juga cuci celana dalem gue?" tanya gue pelan karena gue
merasa segan sama dia.

Lukas menoleh lalu mengangguk kemudian.

"Lo bisa pake boxer gue kalo mau. Karena pasti celana dalem gue nggak
muat sama lo." ujarnya sambil menyelesaikan dirinya mengenakan baju
yang tentu saja sangat pas di tubuhnya. Setelahnya dia kembali
membuka pintu lemari dan melempar satu boxer ke arah gue.

Nggak perlu banyak tanya, gue pun segera memakai boxer tersebut
untuk menutupi burung gue yang tadi masih menggantung bebas dan
sangat nggak tau malu di lihat oleh Lukas dari tadi.

"Ini dirumah lo?" tanya gue sambil mendudukkan diri gue ke ranjangnya.

"Hm. Ini apartemen gue, dan letaknya udah pasti jauh dari rumah lo.
Bahkan sekolah." ujarnya.

Gue sedikit membesarkan mata mendengarnya. Tapi gue nggak mau


bertanya lagi. Karena yaa, you know lah.

"Kalo lo mau pulang, naik taksi aja dari sini." ujarnya lagi.
Gue berpikir sejenak untuk menyetujui usulnya itu. Tapi kalo di ingat
jarak yang dia bilang jauh. Itu pasti bakal menguras dompet bahkan
tabungan gue yang nggak seberapa. Bisa bahaya masa depan gue nanti
hanya karena naik taksi doang.

"Atau mau gue anter?" celetuknya dan langsung membuat gue menoleh
ke arahnya.

"Boleh?" tanya gue ragu.

Lukas mengangguk lalu segera berdiri dari yang tadinya duduk di


samping gue kini berjalan ke arah nakas dan membuka laci yang ada di
sana. Mengambil kunci yang gue yakini ada kunci mobil, Lukas pun
berbalik dan mengambil jaketnya yang terletak tidak jauh dari jaraknya.
Setelah itu dia pun dia beralih menatap gue.

"Ayo." ajaknya, lalu berbalik mendahului gue menuju pintu.

Nggak mau membuang waktu lebih lama, gue pun segera berdiri dan
menyusulnya yang udah nunggu di pintu itu. Setelah dia membuka pintu
gue pun langsung keluar dari sana dan kini gantian gue yang
menunggunya dari luar. Nggak butuh waktu lama, sosok Lukas muncul
yang mana lagi-lagi mendahului gue jalan di depan dan gue tentu saja
langsung mengikutinya dari belakang, karena bagaimana pun, saat ini
gue tengah bergantung padanya yang mengantar gue pulang dan bertemu
Nenek untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Namun bukannya gue bertemu dengan Nenek saat sampai di rumah. Gue
malah menemukan dua sahabat gue, Galih dan Dirwan yang duduk di
teras dengan raut wajah khawatir. Gue yang melihat itu pun segera turun
dari mobil dan berlari kecil ke arah mereka yang mana Lukas juga
mengikuti gue dari belakang walau dengan jalannya yang santai.

"Kalian? Ada apa pagi-pagi ke rumah gue? Kalian nggak sekolah?"


tanya gue begitu udah tiba tepat di hadapan mereka.

Mereka yang awalnya nggak menyadari kehadiran gue kini mendongak


dan langsung membesarkan kedua matanya lalu berdiri untuk memeluk
gue erat. Tangisan dari sosok Dirwan pun terdengar di telinga gue dan
itu cukup membuat gue bingung dengan apa yang terjadi.

Galih melepaskan pelukannya terlebih dahulu dan mengelus rambut gue


lembut.

"Lu nggak kenapa-kenapa kan, Nu? Lu darimana aja?" tanya yang


dengan nada biasa walaupun gue tau hatinya pasti sangat khawatir.

"Iya! Lo darimana aja Wisnu!? Kenapa lo ninggalin Nenek lo sendirian?


Kenapa lo nggak dengerin kata-kata Nenek lo sehingga sekarang Nenek
lo yang menanggung masalahnya. Lo jahat banget tau nggak!" ucap
Dirwan yang bernada marah namun masih ada isak tangis yang
bercampur dengan marahnya.

Gue sendiri yang mendengar mereka berdua ngomong hal yang nggak
gue mengerti pun akhirnya mengerinyit menatap mereka berdua.

"Kalian ngomong apa sih? Ada apa sama Nenek?" tanya gue.

"Nenek lu di tahan, Nu. Sama seperti nyokap bokap lu." jawab Galih.

"Di tahan? Maksud lo apa? Nenek gue nggak kenapa-kenapa kan?


Nek....!" ujar gue dan setelahnya gue langsung meninggalkan mereka
berdua untuk masuk ke dalam dan mencari keberadaan Nenek dengan
pikiran panik dan juga perasaan gue yang sedikit hancur walaupun gue
mencoba untuk nggak percaya dengan apa yang mereka katakan.

Namun sepertinya yang mereka ucapin itu bener. Karena sedari tadi,
bahkan gue udah mencari di dalam lemari pun tetap nggak ada sosok
Nenek di dalam rumah ini. Pikiran gue pun langsung kacau dan air mata
udah mulai mengalir di kedua pipi gue. Kaki gue lemas di ikuti dengan
jatuhnya gue ke lantai dengan posisi terduduk lemas.

Nenek.... Ini nggak mungkin kan?


Gue nggak mungkin di tinggal sendirian di dunia ini kan? I-ini....

Cuma mimpikan?

•••

Suasana hening yang sudah terjadi beberapa menit lamanya kini masih
terjadi setelah mereka bertiga yang mana baru gue sadari ternyata Lukas
pun masih ada disini membantu gue untuk menenangkan diri dari
tangisan gue yang sulit untuk berhenti. Bahkan sampai saat ini masih
ada sisa sesenggukan akibat menangis tadi.

Gue yang posisinya bersandar di pundak Galih pun akhirnya menoleh ke


arah Lukas karena sadar kalo gue belum ucapin kata terima kasih
terhadapnya karena udah menolong gue semalam dan mengantar gue
pulang dengan selamat.
"Makasih udah nolongin gue semalem, Kas. Walaupun gue nggak ngerti
kenapa sikap lo ke gue bisa baik begitu. Tapi apapun itu, gue ucapin
terima kasih banyak. Lo boleh pulang kalo lo mau, gue udah punya
mereka buat jagain gue." ucap gue sambil menunjuk Galih dan Dirwan.

Lukas nggak menjawab dan hanya menatap gue seperti biasanya.


Setelah itu dia menghirup napas dalam dan menghembuskannya
perlahan. Lalu kemudian memejamkan matanya sambil menyadarkan
kepalanya di sandaran sofa.

"Gue ngantuk. Gue bakal tidur sebentar disini." ucapnya dengan mata
yang masih terpejam.

Melihat itu pun gue memilih untuk membiarkannya dan beralih menatap
Galih.

"Apa kalian tau kenapa Nenek bisa di bawa orang itu?" tanya gue.

Galih terlihat ragu dengan tatapannya yang enggan untuk melihat


langsung ke mata gue.

"Gue nggak yakin ini waktu yang tepat atau eng---"


"Cukup buat bilang hal itu di depan gue, Gal! Ini waktu yang tepat atau
nggak itu nggak penting. Sekarang adalah saat buat gue tau apa yang
sebenarnya terjadi, kenapa lo bilang nenek, nyokap, dan bokap gue di
tahan. Siapa yang nahan mereka? Lo pasti tau sesuatu kan?" ujar gue
dan mengangkat kepala gue dari pundaknya. Gue menatapnya kesal dan
beralih menatap Dirwan.

"Dan kalo yang kalian maksud waktunya tiba itu adalah tentang sesuatu
yang ngebuat gue merasa nafsu sama sesuatu yang baunya kayak Lukas.
Gue yakin 100% kalo gue udah mengalaminya. Karena baru semalam
hal itu terjadi. Kalo lo nggak percaya, lo bisa tanya dia." ujar gue sambil
menunjuk Lukas menggunakan dagu gue.

Lukas yang tadi terpejam kini membuka matanya dan menatap gue
dengan kedua alis yang di angkat seakan dia bertanya apakah gue serius
untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Gue pun mengangguk
untuk menjawabnya.

"Dia bener." ucap Lukas datar. Lalu kembali ke posisinya semula.

"Dengerkan. Sekarang ceritain ke gue apa yang terjadi?" ujar gue.

"Jadi itu kenapa mereka dateng lebih cepet? Masa heat Inu bener-bener
nggak bisa di prediksi. Apa mereka takut kalo Wisnu bakalan jadi sosok
yang di ramalin?" gumam Dirwan pelan yang begonya bisa gue denger
dengan jelas. Gue segera menoleh ke arahnya.
"Heat? Ramalan? Maksudnya?" tanya gue yang membuat Dirwan
langsung menatap gue.

"Heat itu adalah hal yang udah lo alami semalem. Dan soal ramalan...."

"Lo udah di ramal sebagai penghancur petinggi para leluhur werewolf."


lanjut Dirwan.

"Kita bangsa werewolf Nu. Gua, elu, Iwan, sama dia itu werewolf. Tapi
kita bukanlah sosok yang bisa berubah menjadi serigala. Kita hanya
keturunan yang cuma memiliki beberapa sifat dan karakter dari para
leluhur. Dan para petinggi yang di maksud adalah leluhur yang masih
hidup hingga saat ini. Tentu aja mereka masih bisa berubah menjadi
serigala. Itulah kenapa mereka di sebut petinggi." ujar Galih yang kini
bergantian untuk menjelaskan satu demi satu pertanyaan yang dari dulu
gue nggak mengerti.

"Terus kenapa mereka menangkap dan menahan keluarga gue? Apa


salah mereka, terus kenapa bisa gue di ramal sebagai penghancur
mereka??" tanya gue.

Dirwan dan Galih terlihat menatap satu sama lain, lalu setelahnya Galih
menepuk pundak gue bermaksud untuk fokus menatapnya.
"Ini semua karena di dalam diri elu sepenuhnya mengandung darah
manusia, Nu. Hanya saja sifat dan beberapa hal lainnya di turunkan oleh
nyokap lu. Lebih gampangnya adalah lu seorang anak yang lahir dari
sperma manusia, karena bokap lu adalah seorang manusia sejati.
Sedangkan nyokap lu seorang Omega Resersif yang mana sebenarnya
sangat sulit untuk hamil. Tapi tanpa di sangka saat nyokap lu mengalami
heat, bokap lu menyelesaikan masa itu dengan mudah. Dan besoknya
nyokap lu hamil."

"Sebuah keajaiban yang langka bagi bangsa kami. Seorang omega


resersif bisa memiliki anak dan terlebih lagi anak itu adalah berdarah
manusia. Seluruh bangsa kami semuanya gencar, para petinggi dengan
cepat tau dan langsung menghampiri nyokap bokap lu saat lu lahir di
dunia ini. Kata nenek, saat pertama kali lu lahir, sebuah cahaya terang
menyinari seluruh tubuh lu dan itu adalah sebuah pertanda kalau masa
depan akan bersinar nantinya hanya dengan keberadaan lu di dunia ini."

"Gua nggak tau gimana pastinya. Tapi yang jelas saat itu nenek lu tau
kalo ini juga bakal jadi musibah yang panjang. Oleh karena itu dia
membuat mantra yang membuat cahaya itu meredup dan menjadikan lu
burik dulu. Tapi mantra itu bakal hilang begitu lu udah berusia 17 tahun
dan melewati masa heat. Dan sekarang lu bisa liat sendiri, kulit lu mulai
terlihat perubahannya." akhir Galih sambil mengelus lengan gue lembut.

Gue yang sedari tadi diam mendengarkan pun mengalihkan pandangan


untuk melihat kulit gue yang memang benar sudah sedikit berubah jadi
coklat cerah yang mana tadinya berwarna coklat gelap dan lebih
terkesan hitam.

Tapi itu nggak membuat gue terkejut atau senang sama sekali. Pikiran
gue masih terpusat dengan masa lalu gue yang sebenarnya sangatlah
rumit untuk gue pahami. Tapi gue bisa mengerti satu hal, kalau semua
ini terjadi adalah karena kelahiran gue terjadi. Ini salah gue sampai
mereka bertiga bisa di tahan oleh petinggi yang nggak gue ketahui siapa
mereka.

Perasaan sedih pun kembali menghampiri gue dan perlahan gue bisa
merasakan mata gue yang berair karena terlalu lama berlarut dalam
kesedihan. Namun gue segera menghapus air mata gue begitu suara
Lukas menginterupsi gue.

"Mereka datang lagi." ucapnya yang kini terdengar serius sambil


menatap gue simpati.

Galih maupun Dirwan yang mendengar itu langsung terlihat panik dan
kalang kabut seperti bingung harus melakukan apa. Berbeda dengan gue
yang tenang dan berdiri dengan sigap siap untuk menghadapi mereka.
Gue nggak takut, kalaupun mereka bakal membunuh gue, itu nggak
masalah. Yang penting keluarga gue bebas dari tahanan mereka, karena
bagaimanapun mereka nggak ada salah dalam hal ini.
Menghembus napas pelan, gue pun mulai melangkah maju yang mana
sedetik kemudian langsung di tahan oleh suara Lukas yang membuat gue
langsung berhenti di tempat.

"Lo nggak bisa nyerahin diri lo gitu aja. Semua yang Nenek, bahkan ortu
lo lakukan bakal sia-sia. Mereka mengharapkan lo untuk melakukan
sesuatu, bukan menyerahkan diri." ucapnya yang sempat membuat gue
bingung darimana dia bisa tau tujuan gue buat nyerahin diri?

"Lo gila, Nu!? Lo mau nyerahin diri gitu!? Lo nggak tau apa gimana
berusahanya Nenek lo buat nggak ngasih tau keberadaan lo malem tadi,
hah!?" marah Dirwan yang meraih tangan gue dan membuat gue
berbalik menatapnya.

"Gue nggak punya pilihan lain, Wan. Mereka pasti bakalan bebasin
mereka kan kalo gue nyerahin diri? Itu nggak masalah kalaupun harus
nyawa gue sebagai bayarannya." ujar gue serius, gue udah bertekad.
Terserah dengan masa depan yang gue idamkan. Yang penting Nenek
harus bebas. Beliau sangat berjasa dalam kehidupan gue, dan gue malah
membuatnya di tahan seperti seorang penjahat.

"Gampang banget lo ngomong!! Lo pikir kalo mereka bebas, mereka


bakal seneng gitu kalo tau elo menyerahkan diri dengan sia-sia!? Enggak,
Nu. Lo malah bakal bikin mereka, terutama Nenek lo jauh lebih sakit di
bandingkan menjadi sandra disana." ujar Dirwan yang di akhiri dengan
tangisan yang begitu menyakitkan. Galih yang berdiri di sampingnya
pun dengan sigap memeluk Dirwan erat untuk menenangkannya.

"Dia bener, Nu. Lu nggak bisa nyerahin diri gitu aja. Pasti ada sesuatu
yang bisa bebasin mereka selain dengan cara itu." ujar Galih tenang.

"Cara apa? Nggak ada cara lain lagi Gal, yang mereka inginkan cuma
gue kan? Itu gampang, gue tinggal menyerah dan selesai. Gue....guee..
nggak tau cara apa lagi yang harus gue lakukan. Semua ini begitu tiba-
tiba." ucap gue dan perlahan melemas karena gue kehabisan tenaga. Gue
mendudukan diri gue kembali sambil menyenderkan kepala gue di sana.

"Mereka udah dekat." ujar Lukas. Dan itu menimbulkan sebuah


pertanyaan di benak gue.

"Gimana lo bisa tau kehadiran mereka?" tanya gue. Lukas menoleh dan
mendekat, setelahnya dia mengulurkan tangannya di depan gue dan
bukannya menjawab pertanyaan yang gue lontarkan.

"Nggak ada waktu buat gue jelasin. Lo sekarang ikut gue. Kita pergi
jauh dari sini, gue akan nyembunyiin lo sampe mereka nggak tau
keberadaan lo lagi." ucapnya sambil meraih tangan gue dan membantu
gue berdiri setelahnya.

"Lu mau bawa dia kemana?" tanya Galih.


"Gue bakal kasih tau kalo gue udah sampai di tujuan. Usahain, lo
hilangin semua bau Wisnu di ruangan ini. Jangan sampe mereka tau kalo
dia sudah pulang. Karena itu bisa membuat mereka tau kalo Wisnu
belum jauh dari sini." ujar Lukas yang terdengar sangat handal dan
mengetahui apa yang harus di lakukan.

Galih mengangguk begitu juga dengan Dirwan. Setelahnya mereka


berdua berbalik dan pergi ke arah belakang rumah yang nggak gue
ketahui untuk apa. Gue cuma bisa diam sambil memperhatikan Lukas
yang membuka jaketnya.

"Pake ini." ucapnya dan melemparkan jaket itu ke gue. Gue menurut dan
langsung mengenakan jaket itu dengan cepat. Setelah selesai, Lukas
kembali meraih tangan gue dan menggenggamnya erat.

"Ayo kita pulang." ujarnya yang ngebuat gue mengerinyit bingung.

"Pulang? Kemana? Ini rumah gue."

"Sekarang nggak lagi. Rumah ini bakal di segel dan di jaga ketat. Saat
ini kita akan pulang ke rumah baru kita. Yaitu apartemen gue." balasnya
yang cukup membuat gue terdiam dengan ucapannya. Setelah itu dia pun
menarik tangan gue dan menuntun gue menuju pintu keluar untuk
membawa gue ke tempat yang dia sebut sebagai rumah baru kita.
•••

Sudah hampir setengah jam perjalanan saat tadi gue dan Lukas pergi
menjauh dari rumah. Lukas mencoba untuk mengebut agar bau gue
nggak ketahuan oleh para petinggi tersebut. Tapi gue segera
melarangnya, karena gue takut dengan kecepatan apalagi kendaraan
yang mengebut. Gue nggak kuat, gue bisa merasakan pusing dan
akhirnya malah jatuh sakit.

Akhirnya Lukas setuju untuk mengendarai dengan santai setelah gue


bercerita tentang ketakutan gue itu. Namun baru beberapa menit setelah
gue cerita, dia memberhentikan mobilnya ke pinggir jalan.

Gue pikir dia marah karena udah gue larang untuk ngebut dan akan
nurunin gue di jalan karena otaknya udah kembali pulih seperti awal dia
bertemu sama gue. Tapi ternyata enggak. Dia nggak menyuruh gue turun
ataupun terlihat marah. Dia malah terlihat berfikir sambil menatap gue
lekat.
"Lo punya obatnya kan?" tanyanya yang ngebuat mengerinyit bingung.

"Obat apa?" tanya gue balik.

"Lo nggak punya? Kita ke dokter sekarang." ujarnya dan kembali


menyalakan mesin mobil lalu pergi dengan kecepatan sedang.

Gue yang melihat reaksinya pun bingung dan kembali menanyakan obat
apa yang dia maksud.

"Itu untuk menangani masa heat lo kalo lo mengalaminya." jawab Lukas


akhirnya.

Gue mengangguk mengerti lalu memejamkan mata gue dan kemudian


memilih diam sambil menunggu perjalanan menuju dokter yang Lukas
maksud. Pikiran gue kembali kosong dengan beberapa kenangan yang
terlintas di otak gue saat-saat dimana nenek masih berada di rumah dan
menemani gue ketika bosan. Perasaan menyesal pun kembali tumbuh
karena gue nggak mendengar perkataannya untuk nggak keluar rumah
sebelum hari ulang tahun gue.

Tapi seperti kata Galih dan Dirwan. Nenek udah susah payah untuk
nggak memberitahu keberadaan gue walaupun mungkin dia sudah
mengetahuinya. Gue nggak tau kenapa, tapi yang jelas, gue nggak akan
menyia-nyiakan usaha Nenek yang mana dia berusaha agar gue nggak
ketangkep oleh mereka.

Kurang dari satu jam, mobil kembali berhenti dan membuat gue mau
nggak mau membuka mata untuk melihat rumah sakit yang Lukas
datangi saat ini. Dan begitu gue sadar kalau rumah sakit itu adalah
rumah sakit yang sama dengan yang gue kunjungi bersama Nenek, gue
menoleh ke samping menatap tanya ke arah Lukas.

"Ini kan rumah sakit yang Nenek kasih tau ke gue dua minggu yang lalu.
Lo tau darimana?" tanya gue.

Lukas menyatukan kedua alisnya.

"Apa maksud lo gue tau darimana? Gue cuma mau kesini aja, karena
disini ada dokter yang gue kenal." balas Lukas yang membuat gue
bungkam dan memilih untuk percaya kalo benar itu yang dia maksud.

"Turun. Kita harus cepet. Mereka masih mencari-cari keberadaan lo."


ujarnya.

Gue mengangguk, kemudian berbalik dan membuka pintu mobil untuk


segera turun dari sana. Tanpa menunggu Lukas, gue berjalan lebih dulu
untuk memasuki rumah sakit. Dan untunglah, gue melihat sosok Reza
yang tengah berjalan dengan rompi khas dokter yang membaluti
tubuhnya.

"Reza!" teriak gue memanggilnya. Dia nggak menoleh, mungkin karena


jarak gue sama dia masih lumayan jauh. Lagian gue masih di luar
sedangkan Reza di dalam.

"Siapa?" suara Lukas tiba-tiba muncul di belakang gue. Gue menoleh


dan langsung menunjuk ke arah Reza yang lagi ngobrol sama orang
yang menggunakan kursi roda.

"Reza, temen sebangku gue." jawab gue.

Lukas hanya menganggukkan kepalanya mengerti, lalu setelah itu


meraih tangan gue dan menggenggamnya untuk menuntun gue masuk ke
dalam rumah sakit. Nggak makan waktu yang lama untuk gue maupun
Lukas sampai ke tempat Reza berada. Karena saat ini gue udah ada di
hadapannya yang mana dia malah menatap gue dan Lukas bergantian
dengan mulut terbuka seperti orang yang nggak percaya.

"Tuan muda?" ucap Reza yang terkesima menatap Lukas di samping gue.
Sementara gue yang mendengar ucapannya mengerinyit.

Hah? Apa katanya tadi? Tuan muda?


Gue mengalihkan pandangan gue ke Lukas yang kebetulan dia sedang
menggelengkan kepalanya kepada Reza. Dan seperti paham sesuatu,
Reza mengangguk lalu mengembalikan ekspresinya seperti biasa.
Tersenyum gaje menatap gue.

"Ada apa tuan omega dominan kesini?" tanya Reza yang kini beralih
menatap gue dari Lukas.

"Bukan gue, tapi dia. Dia yang ngebawa gue kesini." balas gue sambil
menunjuk Lukas.

"Bokap lo ada?" tanya Lukas langsung.

Reza mengangguk semangat menjawab pertanyaan Lukas tersebut.


Sedikit membuat gue curiga tentang hubungan mereka sebenarnya.
Kenapa Reza begitu patuh dan terkesan sangat mendambakan sosok
Lukas? Tapi udahlah, itu bukan hal yang penting untuk gue pikirin.

Gue melangkahkan kaki gue begitu Reza berjalan lebih dulu


menunjukan ke arah ruangan Ayahnya yang mana pernah gue temui dua
minggu yang lalu. Gue mengikuti mereka berdua dari belakang dengan
langkah yang meragu.
Entah kenapa setiap langkah yang gue ambil terasa begitu berat dengan
bayang-bayang Nenek yang waktu itu jalan bersampingan menuju
ruangan dokter. Apa perasaan bersalah gue begitu besar? Atau ini
penyesalan gue yang udah nggak mendengarkan beliau?

"Lo tunggu disini. Biar gue yang ngomong sama dokternya." ujar Lukas
yang gue angguki dan kemudian mengambil tempat duduk yang sama
seperti gue menunggu nenek waktu itu. Dan juga dengan Reza yang
turut nemenin gue disini.

"Jadi..." suara Reza mulai terdengar di samping gue.

"Apa hubungan lo sama Lukas?" lanjutnya.

Gue menghembuskan napas mendengar pertanyaan itu. Gue nggak bisa


menjawabnya karena gue sendiri pun bingung dengan apa yang terjadi
sama gue dan Lukas sebenarnya. Dia beberapa minggu yang lalu bilang
kalo membenci cowok omega kayak gue. Menyebut gue menjijikkan.
Bukankah itu cukup untuk gue menyadari kalo dia nggak suka sama gue?
Tapi.... Kenapa sekarang dia menolong gue?

Gue nggak tau jawabannya, dan gue belum sempat menanyakannya.

"Kita nggak punya hubungan apa-apa kok. Gue cuma orang yang
kebetulan lagi dia tolong." ucap gue akhirnya membalas seadanya.
Reza mengangguk mengerti, tapi setelahnya dia seperti sadar akan
sesuatu.

"Bukannya dia benci cowok omega ya? Lo kan omega. Kok?" ujarnya,
gue pun langsung menggeleng nggak tau.

"Gue nggak tau. Dan bahkan sampe sekarang gue nggak ngerti apa itu
omega. Apalagi Alpa. Jadi udah pasti gue nggak tau apa jawabannya."
ujar gue jujur.

Gue memang belum paham apa itu omega yang ada di dalam diri gue.
Nenek belum sempat menjelaskannya ke gue. Apalagi soal heat itu gue
mengetahuinya sendiri. Kalo nggak ada Lukas waktu, mungkin gue
nggak akan pernah mengalaminya. Karena kemungkinan besar hal itu di
sebabkan oleh aroma Lukas yang begitu kuat.

"Bukannya Nenek lo udah jelasin ya? Harusnya kita di kasih tau apa
bagian kita saat umur 10 tahun. Gue Beta dan udah di kasih tau pas umur
gue 7 tahun." ujar Reza yang nggak gue ngerti apa maksudnya.

"Beta?" tanya gue.


"Iya. Beta itu nggak jauh beda sama Alpha. Cuma Beta lebih banyak
kekurangan di banding seorang Alpha. Seorang Beta hanya suka
menjadi pendamping sosok Alpha. Bagaikan bos dan asisten. Dan
kekurangan yang nggak gue sukai adalah, seorang Beta nggak bisa
merasakan feromon seorang Alpha maupun Omega. Penciuman kami
nggak jauh beda seperti manusia biasa." jelas Reza yang sedikit mulai
gue pahami.

"Kalo gitu, berarti Lukas seorang Alpha?" tanya gue.

Reza mengangguk sebagai jawaban.

"Awalnya gue nggak tau dia Alpha. Tapi bokap ngasih tau gue kalo dia
adalah Alpha yang sempurna. Dia punya feromon yang kuat dan bisa
membuat omega manapun terpikat olehnya. Dan juga sangat berbahaya
bagi omega yang baru pertama kali di perkenalkan dunia seperti ini.
Ya...termasuk diri lo juga sih." ujarnya.

Sekarang gue paham. Jadi aroma yang di keluarkan oleh Lukas adalah
feromon seorang Alpha. Dan itulah kenapa gue bisa mengalami heat gue
lebih cepat dari waktu yang seharusnya.

Pintu ruangan dokter terbuka dan menampilkan sosok Lukas sambil


tangannya melemparkan sebuah benda kecil ke arah gue. Gue yang
melihat itu langsung sigap menangkap benda tersebut dan melihat apa isi
dari botol kecil yang Lukas lemparkan.
"Minum itu kalo lo merasa panas dan sesuatu yang bergejolak." ujarnya,
dan mendahului gue untuk berjalan menjauh dari sana.

Gue langsung berdiri dan bersiap untuk menyusulnya, namun sebelum


itu. Gue berpamitan pada Reza dulu baru melangkahkan kaki gue untuk
menghampiri Lukas.

"Apa ini obat untuk mengatasi heat gue?" tanya gue setelah langkah
kami sejajar. Lukas hanya berdeham sebagai jawaban.

"Makasih udah bantuin gue sampe lo memperdulikan hal kayak gini."


ujar gue sambil menundukkan kepala.

Lukas tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membuat gue mau nggak


mau ikut berhenti dan menatap tanya kepadanya.

"Ini jelas harus sesuatu yang gue peduliin. Karena kalo lo sampe
ngalamin heat saat merasakan feromon gue, itu bisa bahaya. Kita sama-
sama dominan." ucapnya terdengar serius.

"Iya gue tau. Tapi sampe saat ini gue masih penasaran sama elo."
"Apa?"

"Kenapa lo bisa sebaik ini sama gue? Bukannya lo benci sama gue? Dan
bukannya gue menjijikan?" ucap gue yang akhirnya menanyakan hal ini
ke Lukas.

Lukas berdecih lalu mengalihkan pandangannya dari gue ke arah lain.

"Gue benci cowok omega, bukan berarti gue membenci elo. Gue punya
kenangan buruk sama cowok omega jadi gue membencinya. Dan soal
menjijikan, itu gue merasa jijik sama diri gue sendiri karena akhirnya
gue masih bisa merasakan feromon cowok omega. Padahal gue sendiri
udah berjanji untuk nggak akan berhubungan dengan orang yang
berjenis seperti elo. Tapi udahlah, jangan di bahas. Sekarang kita harus
cepet. Ini masih jauh dari persembunyiannya yang gue maksud." jelas
Lukas yang membuat gue terdiam karena jawabannya sungguh nggak
gue duga.

Namun Lukas dengan sigap menarik tangan gue dan kembali menuntun
gue untuk menuju mobilnya. Tapi sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba 4
orang pria dewasa menghadang jalan kami dan membuat Lukas urung
untuk menuju mobilnya.

"Akhirnya ketemu." ujar salah satu dari mereka dengan suara yang
terdengar mengerikan di telinga gue.
"Gimana kalian bisa tau---"

"Sial, jaketnya!" ucap Lukas sambil menatap tubuh gue.

Gue pun menatap ke tubuh gue sendiri, dan gue sadar akan kebodohan
gue sendiri karena udah melepaskan jaket Lukas dan meninggalkannya
di mobil yang mana jaket itu berfungsi untuk menyamarkan bau gue dari
mereka yang datang.

•••

Gue pikir saat para suruhan petinggi itu bilang menemukan gue, berarti
gue akan di bawa dan mungkin bakal di tahan seperti keluarga gue yang
lainnya. Tapi ternyata hal itu nggak terjadi, karena, selain gue yang di
bawa ke dalam mobil yang mereka kendarai. Lukas pun juga ikut
mereka dengan alasan kalo dia turut andil dalam menyembunyikan
keberadaan gue. Walaupun udah gue suruh dan bahkan para pesuruh pun
nggak memasaknya untuk ikut, Lukas tetap bersih keras untuk berusaha
ikut gue masuk ke dalam mobil.
Gue nggak tau apa yang dia pikirin, dan nggak ada waktu untuk gue
menanyakannya. Jadi dengan diam gue cuma memperhatikan Lukas
yang kini terpejam di samping gue dan meninggalkan gue sendiri terjaga
bersama para pesuruh yang ada tepat di depan gue.

Nggak ada percakapan sama sekali selama perjalanan. Semua terlihat


serius, termasuk gue yang deg-degan sedari tadi karena merasa takut
bercampur dengan rasa penasaran yang menggebu. Ini juga kesalahan
gue sebenernya, gue udah bego ngelepasin jaket yang Lukas pinjemin ke
gue. Tapi udahlah, toh itu udah terjadi nggak bisa di ulang lagi. Yang
penting sekarang adalah mempersiapkan diri gue untuk berhadapan
langsung dengan para petinggi yang walaupun gue nggak tau apa itu
mereka.

Sesuatu yang lumayan berat menindih pundak gue dan membuat gue
dengan otomatis menoleh ke samping kiri gue untuk melihat kepala
Lukas yang bersandar di bahu gue. Gue sebenernya ingin langsung
mendorong kepala itu, tapi setelah gue pikir apa yang udah dia perbuat
untuk membantu gue. Itu dengan cepat membuat gue sadar, kalo gue
udah banyak berhutang budi padanya.

Jadi dengan pikiran seperti itu gue pun membiarkan kepalanya tetap di
sana hingga akhirnya malah gue ikut bersandar di kepalanya dan
memejamkan mata gue karena merasa lelah, walaupun saat ini hari baru
menunjukan langit cerah siang hari.
***

Entah sudah berapa lama gue terpejam hingga akhirnya gue bisa
merasakan kalo mobil udah nggak berjalan lagi dengan suara gertakan
yang jelas sekali kalo itu adalah suara Lukas di samping gue.

"Gue bilang sebentar lagi. Tunggu dia bangun, sialan." suaranya.

Mendengar itu, gue pun perlahan membuka mata gue dan mendapati diri
gue yang ternyata tengah bersandar di bahu Lukas yang bagaimana bisa
terasa nyaman sedari tadi. Tapi bukan itu masalahnya, karena seinget
gue, yang sandaran di bahu itu adalah Lukas. Dan gue bersandar di
kepalanya. Tapi ini..... Ah sudahlah.

Gue mengangkat kepala gue dari bahu itu dan menatap Lukas yang
terlihat sedikit terkejut karena mungkin dia merasa kalo gue bangun
dengan tiba-tiba.

"Nggak apa. Kita bisa pergi sekarang. Gue udah bangun, kok. Dari tadi
malah." ujar gue sedikit berbohong.

Lukas cuma menatap dengan kedua alisnya yang naik ke atas. Setelah
itu dia berujar oke, dan kemudian membuka pintu mobil lalu keluar dari
sana. Gue pun melakukan hal yang sama dan langsung berjalan cepat
menghampiri Lukas yang udah siap dengan badannya yang tinggi besar.
Gue merasa kalo dia udah siap untuk melindungi gue apapun yang
terjadi. Tapi entahlah, mungkin itu cuma perasaan gue aja.

"Cuma dia yang boleh masuk ke dalam." ucap salah satu dari mereka.

Gue yang mendengar itupun mengangguk setuju.

"Oke." ujar gue lalu bersiap untuk maju ke depan untuk mengikuti
keempat orang yang ada di depan kami. Namun tubuh gue segera di
tahan oleh Lukas yang memegang kerah baju gue dari belakang yang
mana hal itu membuat gue termundur kebelakang dan akhirnya kembali
ke tempat gue sebelumnya, yaitu di samping Lukas.

"Nggak bisa. Gue harus ikut." ujarnya sambil dengan tangannya yang
udah berpindah ke tangan gue dan menggenggamnya erat.

"Berhentilah ikut campur dengan urusan ini anak muda. Perjalananmu


masih panjang, sedangkan temanmu itu sudah tidak lama lagi. Jangan
sia-siakan waktumu yang berharga. Lebih baik kamu pulang, dan
mengerjakan PRmu untuk besok." ucap salah satu dari mereka yang
terlihat lebih tua dengan jenggot putih di dagunya.

Gue menoleh dan menatap Lukas dengan sedikit mendongak.


"Dia bener, Luk. Jangan sia-siain waktu lo cuma buat gue yang bukan
siapa-siapa bagi elo. Ini urusan gue, dan nggak seharusnya lo terlibat ke
dalamnya." ucap yang juga berusaha untuk membuatnya berubah pikiran
dan segera pergi dari sini. Walaupun dalam hati gue nggak
menginginkan hal itu.

"Ini nggak menyia-nyiakan waktu gue sama sekali. Dan urusan lo mulai
sekarang adalah urusan gue juga. Karena nggak tau kenapa, gue nggak
mau sesuatu yang buruk terjadi sama elo. Dan apapun itu, gue bakal
berusaha semampu gue untuk membuat lo aman dan terlindungi. Jadi,
jangan minta gue untuk pergi. Karena mulai saat ini, gue akan selalu di
sisi lo apapun yang terjadi." ucapnya dengan sedikit meremas tangan
gue yang di genggamannya.

Gue sendiri yang mendengar semua kalimat yang barusan dia katakan
merasa berdebar dengan muka yang terasa panas. Hati gue pun terasa
begitu tenang dan entah kemana rasa takut yang sempat gue rasakan tadi.
Kata-katanya membuat gue tersentuh, sehingga tanpa sadar gue
membalas genggaman tangannya di bawah sana. Setelah itu gue
tersenyum hangat menatapnya.

"Oh, baiklah. Sepertinya kalian mempunyai ikatan khusus yang sulit


untuk di pisahkan. Dan sepertinya kalian juga memilih untuk
meninggalkan dunia ini bersama." ucap Bapak itu yang akhirnya
berbalik dan berjalan menjauh bersama ketiga orang lainnya. Tanpa
menunggu waktu yang lama, gue dan Lukas pun mengikuti mereka dari
belakang dengan kedua tangan yang masih saling bertautan.
Suasana di dalam ruangan ini sangat berbeda dengan penampakan yang
ada di depan. Jika di luar tadi hanya terlihat seperti gedung tua biasa.
Tapi di dalam begitu jelas berbeda penampilannya dengan beberapa
ornamen-ornamen yang terlihat mewah dan beberapa lukisan yang
menempel dinding. Cat yang terdapat di berbagai sisi pun sangat indah,
begitu mencolok dengan beberapa kilauan yang terlihat saat gue
melihatnya.

Awal perjalan masuk emang terlihat sempit, apalagi terdapat beberapa


gang yang kami lewati hanya untuk sampai ke tempat tengah-tengah
gedung ini yang mana ternyata begitu luas dengan pernak-pernik
perhiasan yang saling beradu silau di berbagai sudut. Lampu yang ada di
bagian tengah pun terlihat begitu mewah dengan ukuran yang sangat
besar. Seketika pikiran gue pun terbawa, dan berpikir kalo saat ini gue
memasuki istana seperti dongeng-dongeng yang selaku di ceritakan.
Karena ini begitu mewah dan terkesan sangat tidak nyata.

Namun semua itu buyar ketika sebuah suara berat menyeramkan


menyapa gendang telinga gue dan dengan cepat membuat gue mencari
keberadaan suara tersebut yang ternyata terletak di ujung depan dengan
beberapa kursi besar seperti layaknya kursi kaisar jaman dahulu.

Perasaan takut kembali muncul begitu jarak gue semakin dekat ke


arahnya yang mana ternyata di sana ada 4 kursi lainnya yang terletak di
samping kursi besar tersebut. Dan disana terlihat sosok yang tidak jauh
berbeda dengan seorang pria yang duduk di singgasana itu. Pria itu
tersenyum lebar menatap gue yang mana hal itu sangat menakutkan
untuk gue lihat, gue pun langsung menunduk untuk menghindari kontak
mata dengannya.

"Wah tidak kusangka, anak dari keluarga terhormat ikut serta dalam
urusan ini. Apa ini, apa kalian terikat?" ujar pria itu dengan suara yang
bener-bener bikin bulu kuduk gue merinding.

"Ya. Aku terikat dengannya. Kalian tidak bisa mengambilnya dari ku!"
ucap Lukas dengan berani dan itu membuat gue perlahan melirik ke
arahnya yang mana hanya mengeluarkan ekspresi datar menatap mereka
yang berwajah mengerikan.

"Dia bohong. Aku tidak merasakan ikatan apapun di antara mereka,


Yang Mulia." ujar seorang pria yang duduk tepat di samping kanan pria
yang di tengah.

Gue yang penasaran pun akhirnya kembali memberanikan diri untuk


mendongak dan menatap mereka satu persatu yang berakhir dengan
berkontak mata dengan pria yang paling tengah. Dan satu kesimpulan
gue, dia adalah pemimpin dari semua ini.

"Begitukah saudara ku? Mereka tidak ada ikatan apapun? Lalu, kenapa
anak ini bisa bersama anak berdarah manusia satu ini? Apa yang
terjadi?" ucap pria itu lagi.
Lukas terdiam sambil mengeratkan genggamannya pada tangan gue.
Sedangkan gue juga cuma bisa diam tanpa tau harus melakukan apa. Ini
terlalu menakutkan untuk gue. Apalagi dunia ini sangat awam bagi gue
yang baru mengetahui jati diri gue yang sebenarnya.

"Apa kamu kesini dengan harapan bisa membebaskannya?" tanya pria


itu.

"Ya. Aku berharap bisa membebaskannya!" balas Lukas, dan langsung


mendapat tawaan dari beberapa orang di ruangan ini. Mendengarnya pun
membuat gue kesal.

"Apa kamu tidak ada pembelaan apapun Omega manusia?" ujar pria itu
yang membuat gue sedikit terkejut karena akhirnya dia menotice gue
yang sedari tadi nggak berani bersuara.

"S-saya hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi nantinya." ucap gue
dan langsung menundukkan kepala gue. Suara tawaan pun kembali
terdengar hanya dengan gue yang mengucapkan kalimat itu. Tentu saja
itu perkataan yang bodoh yang sangat bertolak belakang dengan Lukas
yang berusaha untuk membebaskan gue dari buruan mereka.

"Tidak. Aku tidak akan menyerahkan kepada kalian yang tidak berhak
atas apapun dengan dirinya. Aku akan membebaskannya, dan aku
berjanji untuk membuatnya tidak mengancam keberadaan para petinggi
seperti kalian!" ucap Lukas dengan percaya diri, bahkan dia dengan
berani menunjukkan para petinggi itu menggunakan telunjuknya.

"Benarkah? Bagaimana caramu melakukannya?" tanya pria itu yang


masih dengan suara menyeramkan yang sama.

"Aku akan menikahinya! Dan aku akan merubah darah manusianya


menjadi darah keturunan werewolf seutuhnya!" ucap Lukas lantang.

Gue awalnya nggak mengerti maksud dari ucapannya. Namun setelah


selang beberapa detik, gue terdiam mematung sambil menatap Lukas
yang juga menatap gue dengan senyum tipis di bibirnya.

Tunggu....dia tadi bilang apa? Menikahi? Dia bakal nikahin gue!?? Hah!?

"Kamu bisa melakukannya?" tanya pria itu yang masih saja meragu dan
membuat Lukas mengalihkan pandangannya dari gue.

"Ya. Aku seorang Alpha, dan itu hal yang mudah. Hanya perlu
melakukannya setiap hari dan dia akan berubah seiring berjalannya
waktu. Jika kalian masih ragu, kalian bisa mengawasi kami." ujarnya
dan membuat sang pria mengeluarkan kekehannya.
"Oh itu tidak perlu. Aku percaya padamu. Kamu hanya perlu
mengirimkan buktinya kalau kalian sudah menikah nanti. Tapi ada satu
hal yang harus kamu ingat. Pastikan jika kalian memiliki anak, anak
kalian tidak berdarah manusia. Mengerti?" ucap pria itu dan membuat
gue maupun Lukas melongo mendengarnya.

Apa ini? Semudah itu? Sekarang gue udah bebas cuma karena perjanjian
Lukas yang bakal nikahin gue aja? Wtf. Tapi bagaimanapun gue
bersyukur, karena ini berjalan dengan nggak adanya pertumpahan darah.

"Jadi kalian membebaskan dia? Maksudku kami?" ujar Lukas. Sang pria
pun mengangguk dua kali.

"Bagaimana dengan Nenek dan kedua orangtuaku?" tanya gue setelah


teringat dengan tujuan gue yang sebenarnya.

Pria itu mengeluarkan ekspresi seperti mengatakan kalau dia melupakan


hal itu sebelum gue bertanya.

"Untuk itu mereka juga bebas. Tapi hanya Nenekmu saja, karena kedua
orangtuamu sudah tiada. Mereka berdua sudah terikat, jadi saat Ayahmu
kami eksekusi tentu saja Ibumu akan mati, karena seorang werewolf
yang sudah terikat tidak bisa hidup tanpa seseorang yang sudah mereka
ikat. Tapi tetap, kamu tidak boleh menemui nenekmu." jelas pria itu.
"Kenapa?" tanya gue langsung.

"Nenekmu berbahaya. Dia mungkin berniat balas dendam nantinya


dengan cara menggunakanmu. Oleh sebab itu, kamu tidak di
perbolehkan bertemu dengannya sebelum kamu menikah dan sudah
menjadi keturunan kami seutuhnya." jelasnya lagi dan kali ini gue
paham.

Gue diam sambil menunggu hal yang akan terjadi selanjutnya.

"Apa yang kalian tunggu? Kalian sudah boleh pergi sekarang. Yang
penting kalian ingat apa perjanjian dan apa yang sudah aku katakan
tadi." ucap pria itu.

Mendengarnya, gue maupun Lukas tanpa pikir panjang langsung


berbalik dan berjalan menjauh dari sana dengan Lukas yang memeluk
gue dari samping. Merasakan hal itu, gue pun kembali merasakan
nyaman yang baru kali ini gue rasakan selama gue hidup. Sementara
otak gue saat ini tengah berpikir cepat untuk mengerti apa yang baru saja
terjadi.

Menikahi huh? Dengan Lukas??

Mungkinkah?
•••

Setelah kejadian dimana saat gue dan Lukas di bebaskan oleh para
petinggi itu, kini semua hari-hari gue kembali seperti biasanya. Ya
walaupun ada yang berbeda, seperti misalnya gue udah nggak tinggal
sama Nenek. Perubahan fisik yang gue alami beberapa minggu ini juga
membuat gue merasa aneh, kulit gue perlahan menjadi putih dan kini
setelah sebulan penuh sudah terlihat cerah tanpa adanya sedikit noda
hitam. Duh apaan dah, noda hitam. Kayak pakaian aja.

Oke, kembali ke keadaan.

Semuanya berjalan lancar tentu aja, karena ini jaman udah modern. Jadi
dengan mudahnya gue menghubungi Nenek menggunakan telfon, gue
selalu mengajaknya video call sehabis gue pulang sekolah. Tentu aja gue
seneng, apalagi setelah insiden itu gue jadi super pendengar dengan apa
yang Nenek katakan untuk apa yang harus gue lakukan.
Ya, gue kembali sekolah. Begitu juga dengan Lukas. Kami belum
memutuskan untuk menikah, bukan kami. Tapi gue. Gue belum siap,
apalagi posisinya yang gue baru mengenalnya dalam beberapa kali
pertemuan. Gue nggak mengenalnya, walaupun hati gue kadang suka
nggak karuan sama apa yang dia lakukan sama gue, itu nggak menutup
kemungkinan kalo gue juga masih mau mengejar cita-cita gue untuk
menjadi seorang sarjana. Atau paling banter ya...jadi lulusan SMA.

Lukas paham dengan permintaan gue untuk menunda pernikahan yang


rencananya akan dia laksanakan keesokan harinya begitu kita pulang
dari tempat petinggi itu. Tapi seperti yang gue bilang, gue menolak itu
dengan beralasan kalo gue belum siap dengan umur gue yang masih
belia ini. Gue bahkan belum 17 tahun. Dia enak, umurnya udah
memasuki 20 yang mana hal itu membuat gue kaget tentu saja. Tapi
setelah dia jelasin kalo cuma gue sendirian yang belum umur 20 tahun di
sekolah. Karena yaaa,, gue berbeda sama mereka. Gue memiliki darah
murni darah manusia.

Ngomong soal darah manusia, otak gue kembali teringat dengan ucapan
pria dengan suara menakutkan itu kalo Ayah dan Ibu gue udah tiada di
dunia ini. Ayah gue di eksekusi sedangkan Ibu gue meninggal karena
pasangannya telah pergi selamanya. Saat mendengar itu, tentu saja gue
merasakan sedih bahkan sempat nggak bisa berpikir jernih untuk apa
yang harus gue lakukan saat itu. Marah? Memberontak? Gue nggak tau,
tapi setelah mereka bilang kalo Nenek di bebaskan, disitu gue paham.
Kalo yang gue rasakan hanya rasa khawatir yang sepintas karena
mungkin dari sejak lahir gue nggak melihat kedua orang tua gue. Dan
seluruh rasa sayang yang gue miliki sudah terpaku oleh Nenek seorang.
Jadi.... Gue nggak tau harus merasakan apa saat hal itu di sebutkan.
Apalagi saat perjanjian yang Lukas sebutkan. Otak gue bener-bener
blank kala itu. Tapi udahlah, toh semuanya sudah lewat dan sekarang
gue harus menjalani keseharian gue seperti biasanya.

"Lo mau kemana?" tanya gue begitu melihat Lukas yang bercermin di
depan gue yang lagi bersantai di kasur miliknya.

Oh iya, gue lupa. Kalo saat ini gue udah serumah dengan Lukas di
apartemen miliknya yang mana gue pernah tinggal disini waktu itu.
Sebenarnya ada dua kamar disini. Tapi dia membantah dan menyuruh
gue untuk sekamar dengannya. Gue nggak tau alasannya, tapi karena itu
menguntungkan juga untuk gue yang mana kamarnya sudah lengkap
dengan apapun yang gue butuhkan. Jadilah dengan senang hati gue
menerima paksaannya.

"Gue ada urusan untuk tiga hari ke depan, dan bakal berangkat sore ini."
ujarnya dan hanya menatap gue melalui cermin.

"3 hari? Terus gue sendirian di sini? Gimana sama sekolah lo?" tanya
gue yang udah nggak duduk santai lagi. Gue malah mendekatkan jarak
gue dengannya, walaupun gue masih berada di atas kasur.
Dia berbalik dan boom, jantung gue berdetak lebih kencang melihat
penampilannya yang benar-benar ganteng saat ini. Dengan setelan jas
besar yang membaluti kemeja dan celana yang nggak gue tau namanya
apa, sangat pas dengan tubuhnya saat ini. Apalagi dengan rambutnya
yang di sisir miring dan memperlihatkan jidatnya yang ternyata sangat
bagus di wajahnya.

Gue speechless dengan muka yang memanas. Ini nggak baik, bagi gue
maupun jantung gue.

"Nggak, lo nggak sendirian. Dua temen lo bakal disini buat nemenin lo.
Dan soal sekolah, lo bisa izinin gue kan?" ujarnya yang udah berdiri di
depan gue yang mana hal itu mengharuskan gue untuk mendongak
menatapnya.

"Nenek gimana? Kalo mereka berdua kesini, terus cara gue video call-an
gimana?" tanya gue yang langsung teringat akan nenek.

"Lo belum tau ya?" tanya Lukas balik yang membuat gue langsung
mengerinyit bingung.

"Di rumah lo sekarang udah ada yang jagain Nenek. Dia mungkin
seumuran kita."
"Kita nggak seumuran!" potong gue yang membuatnya menggeram
pelan.

"Ya terserah, yang jelas dia itu masih muda dan sekarang tinggal di
rumah lo. Dia adalah orang suruhan petinggi untuk ngawasin nenek. Jadi
lo nggak perlu khawatir, dan juga soal video call, dia juga bisa akses itu.
Lo tenang aja, yang gue takutin cuma satu." ujarnya dan berhenti sambil
menatap gue ragu.

"Apa?"

"Gue takut lo ngalamin heat saat gue nggak ada nanti. Walaupun ada
obat penahanannya. Tapi gue nggak mau orang lain ngeliat lo saat itu
terjadi." ujarnya sambil mengelus kepala gue lembut.

"Gue kira apa. Tenang aja, gue nggak bakal keluar rumah sampai lo
pulang kok. Gue juga nggak mau ngalamin hal yang sama seperti waktu
itu. Jadi, lo nggak perlu khawatir. Ok?" ujar gue sambil menyentuh
tangannya yang ada di kepala gue.

Lukas tersenyum lalu mengangguk pelan. Setelahnya dia mendekatkan


wajahnya ke wajah gue.

"Apa gue boleh nyium lo sekarang?" tanyanya yang langsung aja


membuat wajah gue panas dan merasa salah tingkah.
Gue belum yakin sama diri gue yang memiliki perasaan atau nggak sama
Lukas. Tapi dari tubuh gue yang selalu bereaksi seperti ini saat Lukas
berada di sekitar gue. Mungkin gue bisa bilang kalo gue udah
memilikinya, walaupun itu masih samar-samar.

Gue menunduk ke bawah lalu mengangguk malu tanpa menatapnya.


Setelah itu nggak lama gue rasakan kedua tangan Lukas yang
menyentuh wajah gue dan membantu gue untuk kembali mendongak
menatapnya. Dalam beberapa detik berikutnya, gue pun bisa merasakan
bibirnya yang menyentuh bibir gue yang mana terasa begitu kenyal
sekaligus hangat yang gue rasakan dalam hati gue.

Ciuman itu nggak berjalan lama, dan beberapa lumatan terjadi di


dalamnya. Karena setelah itu Lukas menjauhkan wajahnya dan
tersenyum menatap gue disusul dengan kecupan bibirnya di pipi gue.

"Gue berangkat dulu, ya. Pastiin nggak ada siapapun yang mengusik lo
selama gue disini. Dan kalo itu terjadi, langsung hubungi gue. Ok?"
ujarnya yang langsung gue angguki karena gue bener-bener salah
tingkah si buatnya.

Setelah itu Lukas kembali tersenyum manis dengan tangan yang


mencubit pelan pipi gue yang habis di kecupnya tadi.
"Perubahan lo emang sangat keliatan imut dan menggemaskan.
Sebenarnya gue lebih suka yang sebelumnya. Tapi yang sekarang pun
nggak masalah, yang penting saat ini lo ada di sisi gue." ucapnya dengan
di akhiri kecupan di kening gue.

Gue sendiri yang dari tadi menerima perlakuannya cuma bisa diem
dengan jantung yang udah nggak bisa gue kendaliin buat nggak berdetak
kencang. Gue bener-bener kehabisan kata-kata dengan perbuatan Lukas
ke gue. Karena bagaimanapun ini adalah hal yang baru gue rasakan
selain dengan Nenek tentunya. Dan gue..... Suka itu.

"Gue berangkat ya?" tanyanya yang udah berdiri seperti posisi


sebelumnya.

"N-nggak bawa baju?" balas gue yang malah kelihatan gugup padahal
sedari tadi gue berusaha untuk menutupinya.

Lukas menggeleng pelan.

"Nggak perlu. Gue berangkat ya." pamitnya dan membuat gue mau
nggak mau mengangguk mengijinkannya walaupun hati gue sebenernya
nggak mau di tinggal olehnya. Oke, itu lebay. Tapi ini beneran gue
nggak mau dia pergi.
Setelah itu Lukas pun berbalik dan keluar dari kamar setelah
sebelumnya tersenyum hangat ke arah gue. Sementara gue sendiri
langsung merasa kehilangan begitu menyadari sekarang gue sendirian di
apartemen yang lumayan besar ini. Gue nggak tau apa urusan Lukas
sebenarnya. Gue juga nggak enak buat nanyainnya.

3 hari ya?

Gue bakal kangen banget pastinya. Tapi di banding itu, gue lebih kangen
nenek dan ingin memeluknya saati ini. Karena sudah sebulan lebih gue
nggak berkontak fisik dengannya dan itu membuat sesuatu dalam diri
gue menggebu ingin menemuinya. Namun gue sadar diri, gue nggak
mau membahayakan orang lain lagi hanya karena rasa egois gue untuk
memenuhi keinginan gue itu.

Jadilah sekarang gue menunggu bosan di ruang tengah dengan menonton


siaran tv yang menyiarkan acara musik yang nggak gue ketahui siapa aja
yang tampil.

Bunyi bel rumah membuat semangat gue kembali bangkit, karena gue
pikir itu adalah dua sahabat gue yang udah gue kangenin juga.
Walaupun setiap hari video call-an, tapi tetap saja itu kurang. Apalagi
saat ini kita beda sekolah, karena Lukas udah memindahkan gue ke
sekolah yang baru di dekat sini. Jadi dengan wajah sumringah, gue
bangkit dari sofa dan berjalan mendekat ke arah pintu.
Namun saat gue melihat monitor yang menampilkan seorang wanita
cantik dengan pakaian yang lumayan feminim membuat senyuman
sumringah gue luntur seketika dan di gantikan dengan ekspresi bertanya
dan menatap nggak suka cewek tersebut. Apalagi saat cewek itu
mengeluarkan suaranya dan berkata.

"Sayang, kamu ada di rumah kan?" ujar cewek itu yang langsung
membuat jantung gue berhenti berdetak beberapa detik mendengarnya.

•••

Gue tersadar dari lamunan gue begitu bunyi bel kembali terdengar
karena cewek di balik pintu itu kembali menekannya. Kata sayang dia
ucapkan tadi sempat membuat gue terdiam memikirkan siapa cewek ini
sebenarnya. Dia cantik, dan juga sepertinya dia sangat dekat dengan
Lukas sampai memanggilnya dengan sebutan seperti itu.

Nggak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan, gue pun langsung


membuka pintu tersebut dan kini gue bisa melihat penampilan cewek
tersebut dari atas sampai bawah. Dan kesan pertama gue saat melihatnya
adalah WOW! Dia bener-bener cantik layaknya model-model yang
sering gue liat di Instagram. Tingginya yang menunjang, membuat gue
terlihat pendek dan kini gue harus sedikit mendongak untuk menatapnya.
Sumpah, jadi pendek sekarang menjadi salah satu ke keselan gue setelah
sebelumnya gue selalu nggak pede dengan keburikan gue.

"E...siapa ya?" tanya gue pelan dan terkesan ragu.

Dia tersenyum manis yang mana hal itu membuatnya terlihat lebih
cantik saat melengkungkan kedua sudut bibirnya. Gue speechless dan
dengan cepat mengalihkan pandangan gue darinya. Sambil menggaruk
kepala, gue pun kembali berujar.

"Lukasnya lagi nggak ada di rumah. Dia baru aja pergi beberapa menit
yang lalu." ucap gue tanpa menatapnya.

"Lagi keluar ya? Sayang banget, padahal dia udah janji buat ngenalin
seseorang yang katanya spesial. Apa dia cuma coba bohong biar gue
nggak bisa tidur lagi bareng dia?" ujarnya yang nggak gue tau dia itu
lagi ngomong sama gue atau bergumam pada dirinya sendiri.

Namun satu hal yang gue tangkap dari ucapannya, dan itu membuat gue
berharap lebih untuk hak yang di ucapkannya menjadi nyata.
Apa yang di maksud Lukas orang yang spesial itu gue? Tapi kenapa
cewek ini curiga kalo itu cuma buat alasan biar dia nggak tidur lagi sama
nih orang?

Menyadari hal yang baru saja gue pikirkan, gue pun langsung
membesarkan mata gue dan menatap cewek itu yang terlihat
kebingungan sambil menatap sekitar.

Jadi cewek ini adalah partner sex-nya Lukas? Gue nggak salah denger
kan tadi? Dia bilang kalo Lukas beralasan agar nggak tidur bareng lagi
sama dia. Tapi kalo emang benar, lalu bagaimana dengan cewek yang
kepergok sama gue waktu di toilet itu? Apa Lukas memiliki banyak
wanita dan suka berhubungan badan dengan wanita lainnya sebelum
akhirnya dia menolong gue?

"Ada apa?" suara cewek itu yang membuat gue berkedip beberapa kali
sambil mengalihkan pandangan darinya.

"I-itu... Lo siapanya Lukas ya?" tanya gue akhirnya.

"Oh, gue cuma partner Alpha-Omeganya dia kok. Lo tau lah yang
begituan." ujarnya, gue mengangguk mengerti walaupun saat
mendengarnya hati gue terasa sakit namun nggak terlalu seperti yang
gue rasakan saat mendengar kabar nenek waktu itu.
"Nah, lo sendiri siapa? Kok ada di apartemennya Lukas? Setau gue dia
tinggal sendiri deh selama gue ngelakuin sama dia disini." ujarnya dan
kali ini ucapannya menambah rasa sakit yang gue rasakan.

Jadi mereka sering melakukannya disini ya? Pantas saja waktu gue
ngalamin heat waktu itu dia bilang lagi nggak ada persediaan pengaman
untuk menuntaskan masa heat gue. Mungkin dia sudah menggunakan
semua pengamannya atau mungkin tiap malam dia melakukannya
sehingga dia kehabisan stok.

Hahh.... Entah kenapa hal itu membuat sesuatu dalam diri gue emosi
memikirkannya.

"Hello...?" ucap cewek itu sambil melambaikan tangannya di depan


muka gue. Gue yang menyadari kalo gue udah ngelamun, segera
tersenyum kikuk dan menyuruhnya masuk. Nggak ada salahnya kan?
Toh dia juga udah sering kesini.

"Jadi, lo siapanya Lukas? Nggak mungkin kan lo partnernya juga,


karena setau gue, Lukas anti sama cowok omega." ujarnya setelah duduk
di atas sofa.

"Kok lo bisa tau gue omega?" tanya gue penasaran.

Dia mengangkat satu alisnya menatap gue,


"Baumu sangat manis tercium saat pertama tadi kita bertatapan. Tentu
saja gue langsung tau kalo lo omega. Emangnya lo nggak bisa
merasakan hal kayak gitu? Saat pertama tadi, apa lo mencium aroma
omega gue?" tanyanya dan langsung gue jawab dengan gelengan.

"Oh, gue paham. Lo baru mengetahui jati diri lo baru-baru ini kan?
Makanya lo belum terbiasa dan belum bisa membedakan aroma yang lo
rasakan saat bertemu orang lain." ujarnya, yang gue akui kalo
perkiraannya benar-benar hebat.

Gue sekali lagi mengangguk untuk menjawab kebenaran atas apa yang
dia ucapkan. Setelah itu gue mengumpulkan semua keberanian gue
untuk menanyakan satu hal yang membuat gue penasaran.

"E...apa lo udah lama menjadi partnernya Lukas?" tanya gue.

"Lumayan. Tapi akhir-akhir ini dia udah jarang minta gue untuk
melakukannya lagi. Dan pas ketemu dia malah bilang kalo ada orang
yang spesial yang udah dia temukan, terus dia janji bakal ngenalin ke
gue. Tapi sampe detik ini dia belum ngenalin ke gue tuh. Makanya gue
kesini pengen nanya langsung sekaligus pengen liat kayak gimana wujud
orang spesial yang dia maksud. Apa dia seorang Omega, Beta, atau
mungkin Alpha?" ujarnya menjelaskan.
Saat gue mendengarkan setiap kata yang di ucapkan, gue udah bisa
pastikan, kali mereka memang murni hanya partner saja tanpa ada
perasaan yang harus mereka ketahui kejelasannya. Gue bersyukur, tapi
gue juga nggak langsung menerima fakta yang baru gue ketahui ini.

"Gitu ya. Sayang sekali, gue juga nggak tau apa-apa soal itu. Gue disini
cuma disuruh jaga rumahnya saat dia nggak ada disini, dan selain itu,
tugas gue adalah membersihkan apartemen ini. Tapi gue bukan
pembantu, gue cuma temen yang berbalas budi karena lagi di tolong
sama dia." jelas gue yang terpaksa harus berbohong agar dia nggak
bertanya lebih jauh tentang apa hubungan gue sama Lukas, walaupun
gue sendiri nggak yakin apa status gue saat ini.

Cewek itu ngangguk-ngangguk paham. Setelahnya dia berdiri dan


menyerahkan ponselnya ke arah gue.

"Kasih gue nomor lo, biar gue bisa tau apa dan siapa orang spesial dia
maksud. Tenang aja, bakal ada imbalan setiap informasi yang lo kasih ke
gue." ujarnya dan menjawab kebingungan di benak gue saat dia
menyerahkan ponselnya.

Gue yang nggak mengerti apa maksudnya, cuma bisa meraih ponsel itu
dan menekan nomor gue sambil menyimpannya di sana. Setelah itu gue
mengembalikan ponsel miliknya.
"Ok, deh. Ntar gue miss-call supaya lo tau nomor gue ya. Gue mau balik
dulu, masih banyak kerjaan yang menunggu gue." ujarnya dan gue cuma
mengangguk mengiyakan.

Setelah itu, dia pun beranjak dari ruang tamu dan berjalan mendekat ke
arah pintu keluar. Lalu tanpa berpamitan ataupun mengucapkan sesuatu,
cewek itu langsung keluar setelah membuka pintu dan menghilang saat
pintu tersebut kembali tertutup.

Sedangkan gue hanya menghembuskan napas dan menyenderkan


punggung gue yang sempat merenggang tadi. Pikiran gue nggak jernih
tadi sekarang sadar, kalo kehadiran cewek itu bisa mengancam masa
depan gue dengan Lukas. Tapi apa yang bisa gue harapkan? Lukas
nggak pernah sekalipun ngungkapin perasaannya yang sebenarnya ke
gue. Dia cuma bilang akan menikahi gue dan memenuhi perjanjian
dengan para petinggi itu. Jadi apa boleh untuk gue?

Bunyi bel yang kembali terdengar membuat gue sadar akan pikiran gue
yang melayang kemana-mana. Gue pikir cewek itu balik lagi karena
mungkin ada sesuatu yang dia lupakan. Tapi saat gue melihat monitor,
senyum gue langsung mengembang melihat wajah yang sangat gue
kangen selama ini. Tanpa berpikir panjang pun gue langsung membuka
pintu tersebut dan langsung menghamburkan diri gue kepelukan Nenek
yang membalas pelukan gue erat.
Pelukan itu terjadi beberapa menit dengan ingus yang bisa gue rasakan
keluar dari hidung gue karena gue sempat menangis beberapa saat di
pelukan Nenek tadi. Dan saat gue melepaskan pelukan itu, gue sadar
kalo nenek nggak sendirian. Di belakangnya berdiri seorang cowok
dengan tinggi yang tentu saja lebih tinggi dari gue menatap gue dengan
senyum hangat dan wajah yang benar-benar terlihat tampan.

Gue jadi berpikiran, kalo kehidupan gue di penuhi dengan cowok-cowok


ganteng kayak begini. Gimana bisa hal seperti ini terus terjadi sama gue?
Apa karena gue seorang gay, makanya gue selalu di pertemukan sama
cowok ganteng seperti dia dan Luka?

Entahlah gue nggak tau, tapi yang jelas saat ini rasa sedih yang sempat
menimpa gue beberapa menit yang lalu langsung menghilang begitu
melihat senyuman Nenek di depan gue yang sangat indah untuk gue
pandang. Dan satu hal yang gue yakini saat ini, kalo hanya Neneklah
satu-satunya orang yang hanya bisa menghilangkan segala rasa sakit
yang gue rasakan.

Itulah kenapa, gue nggak mau kehilangan beliau lagi apapun yang terjadi.

•••
Gue tersadar dari lamunan gue begitu bunyi bel kembali terdengar
karena cewek di balik pintu itu kembali menekannya. Kata sayang dia
ucapkan tadi sempat membuat gue terdiam memikirkan siapa cewek ini
sebenarnya. Dia cantik, dan juga sepertinya dia sangat dekat dengan
Lukas sampai memanggilnya dengan sebutan seperti itu.

Nggak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan, gue pun langsung


membuka pintu tersebut dan kini gue bisa melihat penampilan cewek
tersebut dari atas sampai bawah. Dan kesan pertama gue saat melihatnya
adalah WOW! Dia bener-bener cantik layaknya model-model yang
sering gue liat di Instagram. Tingginya yang menunjang, membuat gue
terlihat pendek dan kini gue harus sedikit mendongak untuk menatapnya.
Sumpah, jadi pendek sekarang menjadi salah satu ke keselan gue setelah
sebelumnya gue selalu nggak pede dengan keburikan gue.

"E...siapa ya?" tanya gue pelan dan terkesan ragu.

Dia tersenyum manis yang mana hal itu membuatnya terlihat lebih
cantik saat melengkungkan kedua sudut bibirnya. Gue speechless dan
dengan cepat mengalihkan pandangan gue darinya. Sambil menggaruk
kepala, gue pun kembali berujar.

"Lukasnya lagi nggak ada di rumah. Dia baru aja pergi beberapa menit
yang lalu." ucap gue tanpa menatapnya.
"Lagi keluar ya? Sayang banget, padahal dia udah janji buat ngenalin
seseorang yang katanya spesial. Apa dia cuma coba bohong biar gue
nggak bisa tidur lagi bareng dia?" ujarnya yang nggak gue tau dia itu
lagi ngomong sama gue atau bergumam pada dirinya sendiri.

Namun satu hal yang gue tangkap dari ucapannya, dan itu membuat gue
berharap lebih untuk hak yang di ucapkannya menjadi nyata.

Apa yang di maksud Lukas orang yang spesial itu gue? Tapi kenapa
cewek ini curiga kalo itu cuma buat alasan biar dia nggak tidur lagi sama
nih orang?

Menyadari hal yang baru saja gue pikirkan, gue pun langsung
membesarkan mata gue dan menatap cewek itu yang terlihat
kebingungan sambil menatap sekitar.

Jadi cewek ini adalah partner sex-nya Lukas? Gue nggak salah denger
kan tadi? Dia bilang kalo Lukas beralasan agar nggak tidur bareng lagi
sama dia. Tapi kalo emang benar, lalu bagaimana dengan cewek yang
kepergok sama gue waktu di toilet itu? Apa Lukas memiliki banyak
wanita dan suka berhubungan badan dengan wanita lainnya sebelum
akhirnya dia menolong gue?

"Ada apa?" suara cewek itu yang membuat gue berkedip beberapa kali
sambil mengalihkan pandangan darinya.
"I-itu... Lo siapanya Lukas ya?" tanya gue akhirnya.

"Oh, gue cuma partner Alpha-Omeganya dia kok. Lo tau lah yang
begituan." ujarnya, gue mengangguk mengerti walaupun saat
mendengarnya hati gue terasa sakit namun nggak terlalu seperti yang
gue rasakan saat mendengar kabar nenek waktu itu.

"Nah, lo sendiri siapa? Kok ada di apartemennya Lukas? Setau gue dia
tinggal sendiri deh selama gue ngelakuin sama dia disini." ujarnya dan
kali ini ucapannya menambah rasa sakit yang gue rasakan.

Jadi mereka sering melakukannya disini ya? Pantas saja waktu gue
ngalamin heat waktu itu dia bilang lagi nggak ada persediaan pengaman
untuk menuntaskan masa heat gue. Mungkin dia sudah menggunakan
semua pengamannya atau mungkin tiap malam dia melakukannya
sehingga dia kehabisan stok.

Hahh.... Entah kenapa hal itu membuat sesuatu dalam diri gue emosi
memikirkannya.

"Hello...?" ucap cewek itu sambil melambaikan tangannya di depan


muka gue. Gue yang menyadari kalo gue udah ngelamun, segera
tersenyum kikuk dan menyuruhnya masuk. Nggak ada salahnya kan?
Toh dia juga udah sering kesini.
"Jadi, lo siapanya Lukas? Nggak mungkin kan lo partnernya juga,
karena setau gue, Lukas anti sama cowok omega." ujarnya setelah duduk
di atas sofa.

"Kok lo bisa tau gue omega?" tanya gue penasaran.

Dia mengangkat satu alisnya menatap gue,

"Baumu sangat manis tercium saat pertama tadi kita bertatapan. Tentu
saja gue langsung tau kalo lo omega. Emangnya lo nggak bisa
merasakan hal kayak gitu? Saat pertama tadi, apa lo mencium aroma
omega gue?" tanyanya dan langsung gue jawab dengan gelengan.

"Oh, gue paham. Lo baru mengetahui jati diri lo baru-baru ini kan?
Makanya lo belum terbiasa dan belum bisa membedakan aroma yang lo
rasakan saat bertemu orang lain." ujarnya, yang gue akui kalo
perkiraannya benar-benar hebat.

Gue sekali lagi mengangguk untuk menjawab kebenaran atas apa yang
dia ucapkan. Setelah itu gue mengumpulkan semua keberanian gue
untuk menanyakan satu hal yang membuat gue penasaran.

"E...apa lo udah lama menjadi partnernya Lukas?" tanya gue.


"Lumayan. Tapi akhir-akhir ini dia udah jarang minta gue untuk
melakukannya lagi. Dan pas ketemu dia malah bilang kalo ada orang
yang spesial yang udah dia temukan, terus dia janji bakal ngenalin ke
gue. Tapi sampe detik ini dia belum ngenalin ke gue tuh. Makanya gue
kesini pengen nanya langsung sekaligus pengen liat kayak gimana wujud
orang spesial yang dia maksud. Apa dia seorang Omega, Beta, atau
mungkin Alpha?" ujarnya menjelaskan.

Saat gue mendengarkan setiap kata yang di ucapkan, gue udah bisa
pastikan, kali mereka memang murni hanya partner saja tanpa ada
perasaan yang harus mereka ketahui kejelasannya. Gue bersyukur, tapi
gue juga nggak langsung menerima fakta yang baru gue ketahui ini.

"Gitu ya. Sayang sekali, gue juga nggak tau apa-apa soal itu. Gue disini
cuma disuruh jaga rumahnya saat dia nggak ada disini, dan selain itu,
tugas gue adalah membersihkan apartemen ini. Tapi gue bukan
pembantu, gue cuma temen yang berbalas budi karena lagi di tolong
sama dia." jelas gue yang terpaksa harus berbohong agar dia nggak
bertanya lebih jauh tentang apa hubungan gue sama Lukas, walaupun
gue sendiri nggak yakin apa status gue saat ini.

Cewek itu ngangguk-ngangguk paham. Setelahnya dia berdiri dan


menyerahkan ponselnya ke arah gue.
"Kasih gue nomor lo, biar gue bisa tau apa dan siapa orang spesial dia
maksud. Tenang aja, bakal ada imbalan setiap informasi yang lo kasih ke
gue." ujarnya dan menjawab kebingungan di benak gue saat dia
menyerahkan ponselnya.

Gue yang nggak mengerti apa maksudnya, cuma bisa meraih ponsel itu
dan menekan nomor gue sambil menyimpannya di sana. Setelah itu gue
mengembalikan ponsel miliknya.

"Ok, deh. Ntar gue miss-call supaya lo tau nomor gue ya. Gue mau balik
dulu, masih banyak kerjaan yang menunggu gue." ujarnya dan gue cuma
mengangguk mengiyakan.

Setelah itu, dia pun beranjak dari ruang tamu dan berjalan mendekat ke
arah pintu keluar. Lalu tanpa berpamitan ataupun mengucapkan sesuatu,
cewek itu langsung keluar setelah membuka pintu dan menghilang saat
pintu tersebut kembali tertutup.

Sedangkan gue hanya menghembuskan napas dan menyenderkan


punggung gue yang sempat merenggang tadi. Pikiran gue nggak jernih
tadi sekarang sadar, kalo kehadiran cewek itu bisa mengancam masa
depan gue dengan Lukas. Tapi apa yang bisa gue harapkan? Lukas
nggak pernah sekalipun ngungkapin perasaannya yang sebenarnya ke
gue. Dia cuma bilang akan menikahi gue dan memenuhi perjanjian
dengan para petinggi itu. Jadi apa boleh untuk gue?
Bunyi bel yang kembali terdengar membuat gue sadar akan pikiran gue
yang melayang kemana-mana. Gue pikir cewek itu balik lagi karena
mungkin ada sesuatu yang dia lupakan. Tapi saat gue melihat monitor,
senyum gue langsung mengembang melihat wajah yang sangat gue
kangen selama ini. Tanpa berpikir panjang pun gue langsung membuka
pintu tersebut dan langsung menghamburkan diri gue kepelukan Nenek
yang membalas pelukan gue erat.

Pelukan itu terjadi beberapa menit dengan ingus yang bisa gue rasakan
keluar dari hidung gue karena gue sempat menangis beberapa saat di
pelukan Nenek tadi. Dan saat gue melepaskan pelukan itu, gue sadar
kalo nenek nggak sendirian. Di belakangnya berdiri seorang cowok
dengan tinggi yang tentu saja lebih tinggi dari gue menatap gue dengan
senyum hangat dan wajah yang benar-benar terlihat tampan.

Gue jadi berpikiran, kalo kehidupan gue di penuhi dengan cowok-cowok


ganteng kayak begini. Gimana bisa hal seperti ini terus terjadi sama gue?
Apa karena gue seorang gay, makanya gue selalu di pertemukan sama
cowok ganteng seperti dia dan Luka?

Entahlah gue nggak tau, tapi yang jelas saat ini rasa sedih yang sempat
menimpa gue beberapa menit yang lalu langsung menghilang begitu
melihat senyuman Nenek di depan gue yang sangat indah untuk gue
pandang. Dan satu hal yang gue yakini saat ini, kalo hanya Neneklah
satu-satunya orang yang hanya bisa menghilangkan segala rasa sakit
yang gue rasakan.
Itulah kenapa, gue nggak mau kehilangan beliau lagi apapun yang terjadi.

•••

Tiga hari sudah berlalu, dan seperti yang Lukas janjikan dia datang saat
sore menjelang magrib tiba.

Gue yang tadinya lagi fokus bermain game online bersama Galih,
Dirwan dan cowok baru yang bernama Devan yang mana dia adalah
orang suruhan petinggi untuk mengawasi nenek selama gue belum
menikah membuat pertanyaan besar yang mungkin saat ini ada di benak
Lukas jika gue liat dari ekspresi wajahnya.

"Siapa dia?" tunjuknya menggunakan dagu ke arah Devan sedangkan


matanya menatap gue.

Gue yang menyadari gelagat nggak suka dari nadanya, langsung bangkit
dan menghampirinya untuk mengambil tas kecil yang ia tenteng dari tadi.
Setelahnya gue mengajaknya masuk ke dalam kamar dan mendudukkan
diri gue ke atas kasur.
"Siapa cowok itu, Nu?" tanya Lukas lagi setelah dirinya membuka jas
yang ia kenakan dan menyampirkannya ke senderan kursi. Nggak lama
kemudian, dia berjalan mendekat ke arah gue dan mengambil posisi
duduk tepat di samping gue.

"Dia Devan. Orang suruhan petinggi itu. Bukannya lo udah tau ya?"
tanya gue balik.

"Iya gue tau. Tapi gue nggak ngira kalo dia cowok dan seorang Alpha.
Lo nggak macem-macem sama dia kan selama gue nggak ada disini?"
balasnya dengan satu tangan yang meraih jemari gue.

"Nggak lah. Pikiran dari mana itu? Gue emang homo, tapi gue nggak
gampangan kayak gitu. Lagian status kita kan belum jelas. Lo nggak
berhak untuk ngelarang gue buat macem-macem." ujar gue dan menarik
tangan gue dari pegangannya.

Lukas terlihat bingung terlihat dari dahinya yang mengerut menatap gue.

"Bukannya udah jelas ya? Lo calon istri gue. Apa lagi yang buat gue
nggak berhak ucapin itu?" ucap Lukas berusaha sabar dengan suaranya
yang di tahan.

Gue yang mendengar itu cuma mengangguk-anggukan kepala gue,


walaupun sebenarnya bukan itu yang gue harap yang keluar dari
mulutnya. Tapi sepertinya itu nggak terjadi. Rasa kangen yang sempat
melanda gue pun langsung menurun hingga membuat gue malas untuk
menatapnya. Gue pun memilih berdiri dan berjalan perlahan ke arah
pintu untuk keluar kamar mengabaikan Lukas yang bertanya ada apa
dengan gue.

Sesampainya gue di ruang tamu tiga orang yang tadi sibuk dengan
ponsel masing-masing kini duduk diam sambil menatap gue dengan
pandangan bertanya.

"Ada masalah ya?" tanya Dirwan pertama kali saat gue bertanya kenapa
mereka semua berhenti bermain.

Gue menggelengkan kepala gue dan mengambil tempat duduk di tengah-


tengah dan bersampingan antara Devan dan Dirwan.

"Tapi kenapa mukanya Lukas kayak nggak seneng gitu?" tanya Dirwan
lagi. Gue mengedikkan bahu gue menjawabnya, gue juga lagi merasa
bete sekarang karena harapan gue yang sempat gue bayangkan tadi
malam nggak terjadi.

"Mungkin dia nggak suka kehadiran gue." celetuk Devan tiba-tiba dan
membuat gue langsung merasa jahat karena dugaannya benar walaupun
bukan gue yang seharusnya merasakan hal itu.
"Bener ya?" tanyanya lagi yang telah membaca ekspresi gue karena
terdiam menatapnya.

Gue baru aja mau berbohong dan berkata kalo dugaannya itu nggak
bener. Tapi suara dari belakang kami berempat sukses mendahului gue
yang nggak sempat mengucapkan kalimat yang udah siap keluar dari
mulut gue.

"Ya bener. Gue nggak suka kehadiran lo." tukas Lukas dengan kedua
tangan yang ia taruh di dadanya. Bajunya pun sudah ia ganti dengan
pakaian santai, yaitu kaus polos berwarna putih dengan celana berbahan
kain berwarna krem. Sangat pas dan cocok di tubuhnya yang terlihat
atletis.

Tapi bukan itu yang harus gue perhatikan saat ini. Melainkan gue
merasa nggak suka dengan apa yang baru aja dia katakan. Apa-apaan itu,
bilang nggak suka secara langsung? Dia pikir semua orang yang dia
gituin nggak punya perasaan apa? Pasti Devan merasa nggak enak
mendengar pernyataan itu, gue yang sempat melirik rautnya yang
lumayan gugup pun mengerti akan apa yang dia rasakan. Oleh karena itu,
gue berdiri dari duduk gue dan berjalan kecil menghampiri Lukas lalu
menepuk pelan lengannya.

"Lo apaan sih?" bisik gue padanya.

"Apa?" tanyanya balik, dan itu cukup membuat gue jengah.


"Kenapa lo bilang secara terang-terangan kayak gitu? Lo nggak mikirin
perasaan dia apa?" tanya gue yang tentu aja masih dengan berbisik.

"Nggak. Gue nggak ada urusan sama perasaan dia. Dia udah ngebuat lo
mengabaikan gue, dan itu cukup bagi gue kalo dia membahayakan."
ujarnya yang malah terdengar sangat jelas yang mana pasti tiga orang
lainnya mendengar ucapannya.

"Pelanin suara lo, Kas. Kalo nggak kita ngomong di dalem aja." ujar gue
masih berusaha membujuknya.

Namun Lukas nggak mau, dia bahkan menepis tangan gue yang sempat
menggenggam lengannya.

"Dia cuma suruhan petinggi, Nu. Apa yang ngebuat lo ngebelain dia
kayak gini?" tanyanya yang kini gantian dia yang memegang kedua bahu
gue.

"Gue bukan ngebelain dia. Gue cuma nggak mau dia sakit hati padahal
dia sendiri cuma main doang karena Nenek yang suruh buat main bareng
gue. Mereka sekarang tinggal di lantai bawah, Kas. Lo harusnya ngerti."
ujar gue akhirnya yang memberitahu kalo nenek sudah pindah ke
apartemen ini yang letaknya berada satu lantai di bawah.
Lukas terdiam sebentar lalu melepaskan pegangannya pada bahu gue.

"Nenek pindah ke gedung ini?" tanyanya. Gue pun mengangguk


mengiyakan.

"Kenapa?"

"Ya karena supaya jarak kita deket lah! Apa lagi?" jawab gue.

"Sejak kapan dia pindah?" tanyanya lagi. Gue memutar kedua bola mata
gue malas karena pertanyaan yang terus terlontar, namun tetap saja gue
menjawab pertanyaan itu.

"3 hari yang lalu, beberapa jam setelah kepergian lo waktu itu." ucap gue.

Lukas kembali diam setelah gue berkata begitu. Dia mengalihkan


pandangannya ke arah Devan dan berganti lagi menjadi menatap gue.

"Apa aja yang udah dia lakuin ke elo selama 3 hari ini, Nu?" ujarnya
dengan suara tertahan yang jelas sekali kalo dia menahan kesal. Apalagi
saat gue liat gue tangannya terkepal.
Gue sebenernya takut melihat situasi ini. Tapi gue pikir kalo saat ini
adalah pihak Lukas yang salah karena udah berpikiran yang nggak-
nggak sedangkan kebenarannya itu gue nggak melakukan apapun sama
Devan. Bahkan saat dia kesini selalu bersama Dirwan dan Galih. Jadi
sudah di pastikan kalo ini hanyalah kesalahan pahaman Lukas semata.

"Eehh... Kita balik duluan ya, Nu. Takut nenek perlu apa-apa di bawah."
ucap Dirwan yang membuat kita berempat menatap kepadanya.

"Iya, Nu. Kita balik ya. Ayo Dev, lu kan bertanggung jawab atas nenek.
Lu duluan yang harus keluar." ujar Galih yang kini sudah merangkul
bahu Dirwan dan dengan tangan satunya lagi yang mendorong tubuh
Devan yang hanya diam menatap gue, sementara gue dan sigap segera
melangkahkan kaki gue untuk menyusul mereka.

"Gue ikut!" ujar gue sambil melangkah ke arah mereka yang udah
sampai di pintu dan membukanya.

Namun langkah gue segera terhenti begitu tangan gue di tahan oleh
genggaman yang begitu kuat dari belakang. Gue pun meringis pelan
karena genggaman itu terasa lumayan sakit di tangan gue.

"Biar mereka aja yang keluar. Lo nggak usah!" ucap Lukas tajam. Gue
yang mendengar itu pun nggak terima dan berusaha untuk melepaskan
genggaman tangannya.
Gue menoleh ke arah mereka bertiga yang hanya diam melihat gue di
tahan seperti ini.

"Tolong gue." ujar gue ke mereka. Galih tanggap, ia sudah maju


selangkah untuk menolong gue, namun suara dalam milik Lukas
membuatnya berhenti dan nggak jadi untuk menolong gue. Setelahnya
mereka pun keluar dari sana dan menutup pintunya kembali
meninggalkan gue yang masih dengan posisi yang sama.

"Apa-apaan sih lo! Lepasin gue! Gue mau kerumah nenek!" ujar gue
dengan sedikit nada tinggi sambil masih menahan sakit yang gue
rasakan karena genggamannya.

"Nggak. Lo nggak boleh keluar dan pergi dari apartemen ini." ucapnya
dengan nada dan juga wajah yang datar sama seperti yang gue lihat saat
pertama kali gue melihatnya. Dan itu terlihat sangat menakutkan. Pikiran
gue udah melayang memikirkan nasib yang akan menimpa gue
selanjutnya.

Namun gue nggak langsung menyerah begitu aja. Gue masih berusaha
untuk melepaskan genggamannya dari tangan gue. Dan gue bersyukur
karena dengan sekali tarikan genggaman itu terlepas begitu saja dengan
mudahnya. Menyadari hal itu, gue pun tanpa membuang waktu langsung
mengambil langkah untuk keluar dari sini.
Tapi baru saja gue menyentuh gagang pintu. Tiba-tiba kaki gue terasa
lemas dan langsung terduduk begitu saja saat merasakan feromon yang
sangat kuat dan tersebar di seluruh ruangan ini. Napas gue yang tadinya
biasa aja, kini menjadi terengah-engah karena merasakan sesuatu yang
terus mendorong di dalam diri gue dan seperti menyuruh gue untuk
melakukan sesuatu kepada Lukas yang ada di depan gue sekarang.
Namun sebelum hal itu terjadi, gue sempatkan diri gue untuk
mengucapkan dua kalimat kepadanya.

"Lohh cuhhrangnh.." ucap gue dengan nada mendesah yang hanya di


balasnya dengan senyuman miring di bibirnya. Dan setelah itu dia
mendekat dan membopong tubuh gue yang entah akan dia bawa kemana.

•••

[ Author POV ]

•••
Lukas yang sebenarnya tidak berniat untuk melakukan hal lebih dari
sekedar mengurung Wisnu di apartemennya kini menjadi berbalik
karena dirinya merasakan serangan feromon yang keluar dari tubuh
Wisnu. Tidak bisa menahannya lebih lama, Lukas pun segera menaikkan
dirinya di atas kasur dan menopang tubuhnya dengan kedua tangannya
untuk melihat ekspresi yang dikeluarkan Wisnu saat ini.

Wajahnya ikut merasa panas hanya dengan melihat Wisnu yang


memerah dan mengeluarkan suara desahan di barengi dengan tatapannya
yang begitu menggoda. Tanpa sadar pun Lukas memajukan wajahnya
dan akhirnya menempelkan bibirnya ke bibir Wisnu dengan beberapa
lumatan lembut yang berikan.

Namun karena pengaruh heat yang Wisnu rasakan. Hal itu tidaklah
cukup baginya, Wisnu ingin lebih dan ciuman lembut tidak terasa
apapun untuknya. Oleh karena itu, Wisnu membalas lumatan Lukas dan
mendominasi ciuman tersebut dengan gerakan cepat dan penuh nafsu.
Lukas lumayan terkejut, namun akhirnya dia mengimbangi permainan
Wisnu yang bernafsu sama seperti dirinya yang sudah mengeras
sekarang.

Lumatan bibir mereka berjalan lumayan lama sampai akhirnya Lukas


melepaskan ciumannya dan beralih mengecup seluruh detail wajah
Wisnu, di mulai dari jidat, mata, hidung, pipi dan berakhir dengan
menggigit bibir bawah Wisnu yang mana hal itu sangatlah bersensasi
baginya.
Tidak ingin membuang waktu begitu lama. Lukas langsung mengambil
inisiatif untuk menelanjangi Wisnu dengan membuka satu persatu
pakaian yang di kenakannya. Setelah selesai, ia pun melakukan hal yang
sama pada dirinya, hingga akhirnya kini mereka menjadi sama-sama
tidak mengenakan satu helai benang pun di tubuh mereka.

Lukas kembali ke posisinya semula, yaitu berada di atas tubuh Wisnu


dan langsung melahap cepat bibir Wisnu dengan penuh nafsu.
Sementara mereka melakukan itu, dua buah batang yang mereka miliki
pun saat ini tengah saling bersentuhan yang dengan sengaja Lukas
gesekan karena itu terasa geli namun membuatnya candu. Entahlah,
Lukas tidak tau kata apa yang tepat saat mengutarakan sensasi apa yang
ia rasakan ini.

"Engg..ahhh" desahan Wisnu kembali terdengar setelah ciuman mereka


terlepas karena udara yang mereka miliki telah menipis.

Wisnu yang di pengaruhi masa heatnya pun tersenyum menggoda dan


dengan sekali tarikan ia mengambil wajah Lukas dan kembali mencium
bibir tipis tersebut dan di lumatnya dengan ganas. Hingga tak terasa, saat
ini Wisnu lah yang berada di posisi atas dan Lukas berada di bawahnya.
Entah pikiran dari mana yang ada di otak Wisnu, karena saat ini Lukas
ikut mendesah karena merasakan kecupan demi kecupan yang Wisnu
lakukan di seluruh tubuhnya dan berakhir dengan kecupan di ujung
penisnya, sensasi yang ia rasakan langsung terasa begitu lidah Wisnu
menyentuh bagian vitalnya itu.
Namun karena Lukas tidak pernah di perlakukan seperti ini sebelumnya,
ia pun dengan sigap menahan kepala Wisnu yang sudah siap untuk
melahap penis besarnya yang juga sudah berdiri tegang karena napsu.

"Engh... Lo yakin mau makan punya gue?" tanya Lukas ragu karena
bagaimanapun ini adalah pertama kalinya untuk merasakan penisnya
berada di mulut orang lain. Sebelumnya ia langsung memasukkan
penisnya ke lobang yang telah di sediakan oleh para partnernya saat
melakukan hal seperti ini.

Wisnu yang di tatap ragu pun cuma tersenyum lebar dengan wajah yang
merah dan ekspresi yang terlihat bodoh. Entahlah, pengaruh heatnya
benar-benar luar biasa.

"Ini besar. Inu suka yang besar-besar. Mweheheh." racau Wisnu sambil
menggoyang-goyangkan penis Lukas yang ada di genggamannya.

Lukas speechless dengan semburat merah yang keluar dari kedua


pipinya. Ini juga pertama kalinya ada orang yang menyukai penisnya
yang begitu besar, well, walaupun pernah. Tapi tetap ini pertama kalinya
seorang pria omega mengucapkan hal ini. Padahal ia juga pernah
bermain dengan pria Alpha dan Beta. Namun tidak ada yang bilang
menyukai penisnya. Ditambah lagi dengan suara imut yang di keluarkan
Wisnu tadi membuatnya bertambah speechless dan memerah.
Karena keterdiaman Lukas yang lama, Wisnu pun dengan tidak sabar
langsung melahap penis itu yang mana tentu saja tidak muat di mulutnya
dan hanya masuk setengahnya saja. Tapi walaupun begitu, sensasi yang
di rasakan Lukas benar-benar luar biasa. Dirinya hampir mengejang
karena merasakan kenikmatan mulut Wisnu yang memaju-mundurkan
kepalanya hanya untuk menservis penisnya yang besar.

"Ahhhh..." desah Lukas dengan matanya yang memejam dan kepala


yang mendongak ke arah langit-langit kamar. Apalagi saat ia merasakan
lidah Wisnu yang memainkan lubang keluarnya air di penisnya,
membuatnya sudah tidak tahan untuk segera mengeluarkan apa yang
sedari tadi dia tahan.

Blow job yang Wisnu lakukan membuatnya tak terkontrol walaupun


Lukas sudah berusaha sebisa mungkin untuk menahan dirinya agar tidak
melakukan lebih dari sekedar memasukkan jarinya ke lubang belakang
milik Wisnu. Namun sepertinya pertahanannya sudah hancur saat Wisnu
kembali memasukkan penisnya ke dalam mulutnya.

Sialan, gue nggak terkendali. Dia bener-bener di luar dugaan gue. Batin
Lukas sambil mulut yang masih mengeluarkan surah desahan yang
membuat siapapun yang mendengarnya pasti ikut terangsang dan
penasaran siapakah orang tersebut.

Kali ini Wisnu benar-benar mendominasi-nya. Lukas yang sedari tadi


hanya diam sambil menerima perlakuan demi perlakuan yang Wisnu
lakukan padanya. Wisnu terlihat begitu seksi dengan wajahnya yang
penuh akan nafsu dan tatapan yang sayu saat pandangan mereka bertemu.
Apalagi saat Wisnu tersenyum dan menyudahi blow jobnya, membuat
sesuatu dalam diri Lukas berdetak lebih kencang menyaksikan apa yang
Wisnu lakukan saat berpindah posisi menjadi berjongkok di atas
penisnya.

Seketika Lukas panik menyadari apa yang akan Wisnu lakukan. Ini di
luar ekspektasinya, ia hanya berharap Wisnu melakukan hal yang tadi
sampai dirinya klimaks dan nanti gilirannya untuk membantu
menghilangkan heat yang di alami Wisnu.

"Jangan, Nu. Gue belum beli persediaan." ujar Lukas dengan nada panik
dan bersiap bangkit dari tidurannya, dahinya sudah penuh dengan
keringat gara-gara aksi yang Wisnu lakukan padanya.

"Nggak apahh, Inu suka yanghh kayak ginihhh." balas Wisnu yang
masih dalam pengaruh heatnya. Tangannya pun masih setia memegang
penis Lukas dengan sesekali memijat dan menggeseknya ke bibir
lubangnya.

"Tapi nanti lo bakal hamil." ujar Lukas lagi dengan raut paniknya.
Sementara Wisnu yang mendengar itu terdiam sebentar seperti tersadar
akan apa yang Lukas katakan tadi.

"Hamil?" tanyanya. Yang langsung di angguki Lukas.


"Inu mauuuuuu. Inu mau punya anak, Inu mau hamil!" ucap Wisnu yang
sangat jauh dari dugaan Lukas.

Lukas menatap heran ke arah Wisnu yang tersenyum lebar dan terlihat
begitu senang mengetahui fakta yang baru saja ia ucapkan. Ia tau kalo
ini adalah pengaruh dari heatnya Wisnu sehingga bisa mengucapkan
kalimat yang sangat jauh berbeda dari Wisnu yang biasanya. Tapi jika
beneran Wisnu ingin memasukkan penisnya tanpa pengaman, hamil
yang Lukas maksudkan mungkin akan benar-benar terjadi.

Dan pasti Wisnu akan membencinya setelah sadar nanti.

Namun Lukas lagi-lagi terlambat karena terlalu banyak terdiam dan


berpikir panjang hingga ia tidak sadar kalo Wisnu sudah dengan cekatan
memasukkan penisnya ke dalam lubang milik Wisnu di sana. Tidak
memerlukan waktu yang lama, karena penisnya masuk sangat cepat di
bantu dengan dorongan dari Wisnu sehingga saat ini penisnya sudah
masuk seluruhnya ke lubang sempit milik Wisnu itu.

"Ahhhhh enghhhh." desah Wisnu sambil menahan rasa sakit bercampur


nikmat yang ia rasakan di bawah sana. Matanya bertambah sendu
dengan tangan yang berpegangan dengan perut seksi milik Lukas
sementara pinggulnya maju mundur untuk melakukan servis lebih
terhadap Lukas yang kini sudah dalam mode nafsu yang tidak
tertahankan.
"Ahhh ahhh ahhh nngghh ahh." desahan Wisnu semakin besar terdengar
begitu Lukas ikut menggoyangkan pinggulnya untuk menyamakan irama
yang Wisnu lakukan di atasnya. Pikiran panik dan khawatir yang sempat
Lukas lakukan tadi entah hilang kemana. Melihat Wisnu yang begitu
bernafsu dengan ekspresi yang mengundangnya untuk melakukan hal
yang sama membuatnya tidak memiliki pilihan apapun selain menerima
apa yang Wisnu inginkan.

"Aghh" kini suara desahan Lukas yang terdengar saat dirinya merasakan
penisnya yang di jepit oleh lubang Wisnu dan membuatnya kenikmatan
saat merasakannya.

Lukas juga sedari tadi mencari-cari di lubang itu untuk mengetahui


dimana letak yang akan membuat Wisnu merasa nikmat saat ia
menemukannya.

"Uakhhhhhh ahhhhh." teriak Wisnu saat dirinya merasakan sesuatu


menyentuh yang begitu sensitif di dalam sana. Sementara Lukas yang
melihat itu tersenyum senang.

Ketemu. Batinnya.
Setelah itu Lukas pun dengan sigap berganti dengan Wisnu yang mana
saat ini Wisnu lah yang berada di bawah dengan kedua kaki yang
mengangkang dan di senderkan di kedua bahu Lukas yang terlihat lebar.

Dengan posisi seperti ini pun, Lukas siap menghujam lubang Wisnu
dengan gerakan perlahan namun sangat ia nikmati setiap gerakan yang ia
lakukan. Begitu juga dengan Wisnu yang kini sudah mengalungkan
kedua tangannya di leher Lukas sambil membisikkan kata yang Lukas
bertambah nafsu.

"Lebih cepat." bisik Wisnu.

Lukas paham dan langsung mempercepat gerakan pinggulnya untuk


menghujam lubang itu. Dan saat itu terjadi, sensasi yang Wisnu rasakan
begitu luar biasa, sesuatu yang sangat sensitif di bawah sana tersentuh
beberapa kali oleh penis Lukas dan terjadi dengan gerakan cepat
membuatnya tidak tahan untuk tidak keluar saat itu juga. Seluruh
spermanya langsung keluar dan membasahi perut bahkan sampai
mengenai wajahnya sendiri.

Melihat pandangan yang begitu indah di depannya. Membuat nafsu


Lukas bertambah tinggi seiring dengan gerakan maju-mundurnya yang
bertambah cepat.

"Akhhh ahhh aghhh" suara Lukas cepat dan begitu sangat bergairah.
Nggak berapa lama kemudian Wisnu merasakan sesuatu yang
menyembur di dalam lubangnya, dan itu sangat terasa nikmat merasakan
semburan yang banyak hingga membuat belakangnya terasa penuh.

Sementara Lukas yang baru saja mencapai klimaksnya, tersenyum tipis


sambil menatap Wisnu yang masih dengan tatapan sendunya. Keringat
yang sudah menghiasi tubuhnya pun kini sudah mulai mengering dengan
seiring badannya yang sudah tidak terasa panas lagi. Namun Lukas harus
mempertahankan posisi ini selama beberapa menit. Karena dirinya yang
tidak menggunakan pengaman, sudah pasti penis Alpha nya akan
terjebak di dalam sana dan menunggu hingga sang omega selesai dengan
masa heatnya dan melepaskan penisnya dari dalam sana.

[ Author POV end ]

•••
Gue segera membuka mata gue begitu merasakan sesuatu di perut gue
yang membuat gue langsung bangkit dari tempat tidur dan berlari ke
arah kamar mandi.

Gue memuntahkan semua yang ada dalam perut gue karena terasa begitu
mual dan gue pun merasa lemas karena muntah yang gue keluarkan
hanya air biasa dan rasanya sangat pahit di ludah gue. Gue nggak tau
gue kenapa, tapi yang jelas gue merasa lemes banget begitu keluar dari
kamar mandi.

Namun baru beberapa langkah gue keluar dari ruangan tersebut, rasa
mual itu kembali muncul dan akhirnya membuat gue kembali masuk dan
mengeluarkan cairan yang sama seperti sebelumnya.

"Buuuaergghhh" lagi, gue muntah lagi untuk yang ketiga kalinya. Dan
kali ini gue udah merasa baikkan dengan perut gue yang sudah terasa
nyaman. Setelahnya gue pun menekan tombol air di kloset tersebut dan
beralih ke arah wastafel untuk mencuci mulut gue yang berceceran air
bekas muntah.

Sosok Lukas secara mengejutkan muncul di belakang gue yang bisa


dengan jelas gue lihat dari cermin. Gue langsung menoleh kebelakang
dan memperhatikan raut wajah yang ia keluarkan sambil menatap gue.
Dia terlihat khawatir, dengan keringatnya yang sudah membasahi
dahinya.
"Lo nggak apa?" tanya sambil mendekatkan dirinya ke gue. Setelah
berdiri tepat di samping gue, dia mengulurkan tangannya untuk memijat
tengkuk gue yang mana hal itu terasa nyaman untuk gue rasakan.

"Gue nggak papa. Tapi gue bingung kenapa muntah-muntah kayak


begini. Padahal badan gue nggak merasa sakit atau demam. Juga,
muntahnya nyakitin banget, perut gue rasanya udah kosong gegara
muntah tadi." ujar gue sambil menyandarkan kepala gue di bahunya
yang sudah rapi dengan seragam sekolah yang di kenakannya.

Gue memperhatikan dirinya di cermin begitu pula dengan tubuh gue


yang nggak mengenakan apapun di pantulan itu. Awalnya gue nggak
ngeh, tapi begitu ada angin lewat dan gue merasakan angin dingin yang
menerpa bagian bawah gue membuat gue sontak menunduk untuk
melihat bagian bawah sana. Dan saat gue sadar kalo burung gue
bergelantungan indah di sana, gue pun langsung menoleh ke arah Lukas
yang mana dia juga menatap gue saat ini.

"Kenapa gue telanjang?" tanya gue padanya.

Lukas nggak langsung jawab. Dia tersenyum kaku sambil menjauhkan


kepala gue dari bahunya, lalu menggaruk kepalanya dengan keringat
yang masih membasahi jidatnya. Gue bingung kenapa dia bereaksi
begitu, tapi saat sebuah ingatan yang langsung menyerang kepala gue
membuat seketika tau alasan apa yang membuat Lukas mengeluarkan
ekspresi ragu begitu.
"Lo ngelakuin hal itu ke gue ya, kan!?" ujar gue sambil menunjuk ke
arahnya.

"Eh.. I-itu...gue nggak sengaja." balasnya sambil menggaruk tengkuknya


dan menundukkan kepalanya enggan untuk menatap gue.

Gue yang mendengar alasannya pun seketika marah dan emosi. Gue
dengan menahan kesal melangkah ke arahnya yang sudah bersandar di
dinding dan membuat jarak yang tentu saja bisa dengan cepat gue
menghampirinya. Tapi baru dua langkah, gue terhenti karena merasakan
sesuatu yang sangat menyakitkan di pantat gue yang mana hal itu terasa
perih saat gue berjalan tadi. Padahal saat gue berlari, ini nggak terasa
sama sekali, tapi kenapa sekarang...?

"Kenapa, Nu?" tanya Lukas saat gue terduduk meredakan rasa nyeri
yang gue rasakan. Kini bukan gue yang menghampirinya, tapi Lukas
yang datang ke gue dan berjongkok untuk menyamakan posisinya
dengan gue.

"Kenapa-kenapa! Ini gegara elo setan! Lo ngewein pantat gue sama


otong lo yang gede itu! Sialan, perih banget njir. Aduhhh." ucap gue dan
di akhiri dengan mengusap pantat gue berharap agar perihnya mereda.
"Sakit banget ya?" tanya Lukas yang malah ngebuat gue tambah emosi.
Gue pun dengan cepat menoleh dan langsung mengulurkan tangannya
untuk menjambak rambutnya kuat.

"Akh! Sakit, sakitt. Lepasin, Nu!" adunya.

"Nggak mau! Ini semua salah lo! Lo sengaja ngeluarin feromon


sebanyak itu biar bisa ngewein gue, kan? Lo manfaatin masa heat gue
supaya lo bisa seneng-seneng kayak partner lo sebelum-sebelumnya
kan!?" ujar gue yang entah kenapa malah teringat akan cewek beberapa
hari yang lalu.

Lukas masih mengadu sakit sambil berusaha untuk melepaskan


jambakan gue dari rambutnya. Karena gue merasa lemas, jambakan itu
pun terlepas dengan mudah.

"Gue emang sengaja ngeluarin feromon sebanyak itu supaya lo nggak


keluar dari sini. Lagian ini bukan salah gue! Lo malahan, lo sendiri yang
masukin pantat lo ke otong gue. Lo nggak inget? Padahal udah gue
bilang jangan karena nggak ada pengaman, tapi lo malah bilang suka
dan pengen hamil terus punya anak. Lo juga muji otong gue yang gede
itu. Jadi jangan salahin gue dong yang kebawa suasana buat ngewein lo
tadi malam." jelasnya sambil menggosokkan tangannya ke kepalanya
yang habis gue jambak tadi.
Sementara gue yang mendengar semua ucapannya terdiam sambil
dengan jelas menyaksikan dalam bayang-bayang gue untuk kejadian
semalam. Ingatan yang masuk pun sangat lancar berjalan di otak gue,
dan semuanya sama persis dengan apa yang Lukas katakan. Gue
mengucapkan kata-kata yang gue sendiri pun nggak pernah
melakukannya. Tapi semalam....

"Nggak ada. Ini tetep salah elo! Harusnya lo ngasih gue obat penahan
masa heat semalem. Bukannya malah ngebuka baju gue!" ucap gue yang
masih nggak terima jadi tersangka.

"Gue udah kasih oba---eh, udah belum ya? Nggak tau ah. Pokoknya ini
salah kita berdua. Jangan cuma gue doang." ucapnya lalu kembali
berjongkok ke arah gue sambil mengulurkan tangannya.

"Lo mau ngapain?" tanya gue was-was.

"Bantuin lo berdiri lah. Habis itu lo mandi terus sekolah, bentar lagi
masuk." ujarnya.

"Lo gila!? Pantat gue lagi sakit begini lo malah nyuruh gue sekolah!?"
teriak gue di hadapannya. Dia terlihat menahan kesal saat gue
melakukan itu, tapi dia menahannya dan kembali berusaha untuk
membantu gue berdiri.
"Yaudah, kalo gitu kita ke rumah sakit." ucapnya begitu gue udah berdiri
dan di mengalungkan satu tangan gue di bahunya untuk topangan.

"Gue nggak mau ke rumah sakit!"

"Loh, kenapa?"

"Lo pikir gampang apa jelasin keadaan gue? Masa iya gue bilang
kendala gue itu pantat sakit gegara di ewe sama cowok! Malu goblok!"
ujar gue yang entah kenapa bawaannya pengen marah terus ngeliat muka
Lukas sekarang. Tapi lebih dari itu, gue bener-bener lagi nahan sakit di
bokong gue.

Lukas menghela napasnya sambil mendudukan gue di atas kasur dengan


amat hati-hati.

"Tapi kalo lo nggak ke rumah sakit. Pantat lo nggak bakal sembuh, Nu.
Lo mau begitu selamanya?" ujarnya.

"Hah, selamanya?"

"Iyalah! Lo nggak inget otong gue segede apa? Apalagi gue udah
menembus bagian omega lo sampe harus nunggu di lepas beberapa
menit semalem---" ujar Lukas yang dengan perlahan suaranya mengecil
di akhir kalimat.

"KITA HARUS KE RUMAH SAKIT!" teriak Lukas tiba-tiba dan tentu


saja ngebuat gue kaget dan hampir ngejengkang saking kagetnya. Gue
emosi dan menendang tulang kering kuat.

"Kaget gue anying!" ujar gue sambil melihatnya kesakitan dengan


tangan mengusap kuat kakinya.

"Bisa nggak sih lo nggak main kasar? Sakit bego." ucapnya.

"Abis lo ngagetin gue sih. Ya salah lo lah." balas gue dengan kedua
tangan yang gue lipat di dada.

Lukas berdiri, dan menghembuskan napasnya kasar.

"Gue nggak mau tau. Sekarang lo pake baju terus kira ke rumah sakit."
ujarnya.

"Kan udah gue bilang gue nggak mau ke rumah sakit. Gue malu, Lukas."
"Tapi lo harus, Nu. Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar pantat
lo yang sakit."

Gue yang mendengar itu mengerinyitkan dahi gue bingung. Dan tanpa
bertanya Lukas mengerti dan bersiap untuk menjelaskan.

"Kita semalem ngeweknya nggak pake pengaman kan?" tanyanya, gue


langsung menggeleng walaupun gue nggak memperhatikan hal itu.

"Nah itu dia masalahnya kenapa lo muntah-muntah tadi." ujarnya yang


malah gue bikin tambah bingung.

"Kenapa gegara nggak pake kondom gue muntah-muntah?


Hubungannya apa coba?" tanya gue.

"Ya... Hubungannya, karena lo kemungkinan hamil. Dan muntah-


muntah tadi adalah morning sick lo. Lo tau kan kalo gue Alpha dominan
dan lo sendiri juga seorang Omega dominan, jadi kalo otong Alpha
bertemu bahkan sampai kekunci kayak semalem di dalam diri Omega,
udah kemungkinan besar kalo nanti sang Omega bakal hamil kayak elo
ini."

"Gue sebenernya kurang yakin akan kehamilan elo, karena baru


semalam kita lakuinnya. Tapi kita sama-sama dominan, gue mungkin
bisa mempercayai. Jadi ayo kita ke rumah sakit sekarang buat mastiin
bener atau nggak." jelas Lukas girang, lalu berjalan ke arah lemari yang
entah gue nggak tau buat ngapain. Karena saat ini gue terdiam dengan
otak yang berputar dua kali lipat cepat mencerna setiap kata yang di
keluarkan Lukas tadi.

Dia bilang apa tadi? Gue hamil?

Ini....

Nggak mungkin kan?

•••
Gue udah tiba di rumah sakit tepat setelah gue sadar dari lamunan gue
yang sedari tadi gue lakukan di rumah, dan kini baru di sadarkan oleh
Lukas yang mana dia melakukannya dengan cara nyubit pentil gue
dengan kuat.

Gue otomatis ngamuk dong. Gue marah sebesar-besarnya dan langsung


nyaplok rambutnya sambil menjambak kuat-kuat sebagai pembalasan
karena dia udah berani-beraninya nyubit pentil gue. Setan emang.

"Akhhh lepasin, Nu. Sakitt anjing!" teriaknya yang malah ngebuat gue
tambah marah dan memperkuat jambakan gue pada rambutnya.
"Ampun, Nu. Akhhh iya iya gue minta maap, gue nggak ngulangin lagi.
Lepasin gue yaaa plis plis." ujarnya sambil tangannya yang menahan
gue agar jambakan gue memelan atau mungkin supaya rasa sakitnya
berkurang. Gue nggak tau, tapi yang jelas gue langsung lepasin
jambakan gue saat dia ucapin kalimat memohon tadi.

Lukas mengusap-usap kepalanya sambil menatap gue ampun. Sementara


gue sendiri menyipit menatapnya dengan pandangan kesal. Setelahnya
gue pun turut menaruh tangan gue di dada dan mengusap pelan bekas
cubitan yang Lukas lakukan tadi.

"Kenapa lo mainnya jambak sih? Nggak bisa bales cubit apa?" tanyanya.

"Cubitan gue nggak bakal ngaruh sama kulit badak lo. Makanya gue
lebih milih jambak. Nyesel kan lo. Main-main sama gue. Lagian, apaan
coba maksud lo nyubit-nyubit gue segala?!" ujar gue.

"Lo nya yang salah. Dari tadi gue bilangin kita udah sampe, lo malah
bengong kayak orang bego." balasnya.

"Kok lo malah ngatain gue bego sih?!"


"Lah, emang keliatannya begitu." balasnya lagi yang bikin kekesalan
gue memuncak dan ingin kembali menjambak lagi. Tapi kali ini dia
lebih sigap dan langsung menahan tangan gue yang udah siap menarik
rambutnya itu.

"Ok fine! Gue yang salah, nggak ada jambak-jambakkan lagi. Sekarang
kita turun, dan periksa diri elo apa bener kalo lo itu hamil ato nggak."
ujarnya.

Gue terdiam dengan tangan gue yang melemas mengingat kata hamil
yang kembali terucap dari mulut Lukas. Tapi apapun itu, gue berharap
itu nggak benar. Mungkin mual-mual yang gue alami tadi adalah efek
karena gue lelah dan mungkin aja gue sakit.

"Ayo turun." suara Lukas lembut, lalu dengan perlahan membuka sabuk
pengaman gue dan membuka pintu mobil yang ada di sebelah gue.
Setelahnya dia keluar terlebih dahulu lalu berputar 180 derajat untuk
membantu gue keluar dari mobil.

Gue cuma diem, saat Lukas berhasil mengeluarkan gue dari dalam mobil
dan membantu gue berdiri dengan merangkul satu bahu gue di bahunya,
karena ya, gue emang lagi susah jalan. Pantat gue masih terasa sakit dari
tadi. Tapi karena pikiran gue lagi kacau. Jadilah gue nggak terlalu
memusingkan hal tersebut.
"Gue udah bikin janji sama dokter yang kemarin kita temui. Kita
langsung kesana aja ya." ujar Lukas penuh perhatian. Gue cuma
mengangguk lemas mengiyakan.

Setelahnya dia pun membawa gue dalam diam hingga akhirnya kita
sampai dan Lukas menjelaskan apa yang terjadi dengan gue sampai dia
juga menceritakan perihal semalam tentang apa yang kita lakukan tadi
malam.

Muka gue memerah saat Lukas menjelaskannya begitu luwes tanpa


adanya rasa malu. Sementara gue sedari tadi udah merasa nggak nyaman
karena dia dengan seenaknya mengumbar apa yang gue lakukan sama
dia tadi malem. Dia nggak tau apa kenapa gue marah-marah mulu sama
dia dari tadi? Apa belum kapok sama jambakan gue?

"Baiklah, kalau begitu kita cek dulu kondisi perut dari Nak Wisnu ini.
Benar atau tidaknya janin di dalam sana, biar hasil akhirnya nanti yang
menjawabnya. Dan setelah itu, baru kita pengobatan bagian bawahmu.
Ayo, Nak. Kamu bisa berbaring di sana." ujar Dokter dengan suara
tenang dan membuat gue merasa lebih damai dari sebelumnya. Setelah
itu gue pun menuruti perintah dokter untuk menuju tempat tidur pasien
di bantu dengan Lukas yang sigap membopong gue walaupun dengan
seperti tadi.

Gue berbaring, dan menunggu dokter dengan peralatan di sana.


Sementara Lukas saat ini menggenggam erat tangan gue sehingga tanpa
sadar genggamannya itu terasa sakit. Gue pengen marah, tapi begitu
melihat muka khawatirnya gue pun urung dan berkata dengan pelan
untung menenangkannya.

"Kas, gue lagi tes kehamilan. Bukan lagi melahirkan. Lo tenang aja,
lagian yang di periksa itu gue bukan elo. Dan genggaman lo ini sakit."
ujar gue pelan, walaupun tentu saja kalimatnya sedikit nyolot.

Lukas mencoba mengerti lalu mengendurkan genggamannya sambil


tersenyum kikuk. Dia menggunakan satu tangannya untuk mengelap
keringat di dahinya dan setelahnya mencium kening gue cepat.

"Maaf." ucapnya lembut, dan itu sukses membuat gue blushing karena
perbuatan dan juga ucapannya yang begitu lembut di telinga gue. Gue
yang nggak kuat menahan rasa deg-degan pun akhirnya mengalihkan
pandangan gue ke langit-langit dan enggan untuk menatapnya.

Namun saat tiba-tiba baju gue diangkat setengah, gue kaget dan
langsung terduduk karena hal itu. Tapi setelahnya gue menyesali apa
yang gue perbuat, karena saat gue liat kalo sang dokter lah yang
membuka baju gue ngebuat gue malu setengah mati. Apalagi saat suara
kekehan Lukas terdengar di samping gue, membuat momen romantis
tadi hilang entah kemana dan meninggalkan rasa kesal gue kepadanya.

"Yang rileks, Nak. Ini cuma sebentar kok." ujar dokter itu dan
mengisyaratkan gue agar kembali tiduran. Gue mengikuti perintahnya
dan kembali berbaring sambil merasakan baju gue yang dia buka
setengah di susul dengan benda dingin yang menyentuh perut gue. Kali
ini gue nggak kaget, karena gue tau kalo yang menyentuh gue barusan
adalah stetoskop yanh yang mungkin lagi mencari keberadaan janin gue.

Pandangan gue beralih ke arah Lukas yang fokus menatap monitor yang
terdapat di samping gue. Melihatnya membuat gue sadar, kalo Lukas
terlihat sangat berharap kalo di dalam perut gue benar-benar terdapat
janin yang berupa anaknya yang akan lahir di waktu yang akan datang.
Dan kenyataan itu membuat gue harus sadar, kalo sebenernya gue juga
menginginkan hal itu terjadi pada diri gue.

Tapi tetap. Ini bukan waktunya. Gue masih bocah dan nggak tau apa-apa.
Di tambah lagi gue sama Lukas masih sekolah. Gimana cara gue sama
dia besarin anaknya nanti? Masa mau nitip sama nenek? Kan kasian, dia
udah urus gue dari bayi. Masa nenek lagi yang ngurusin bayi kecil lagi?

"Janin memang belum terlihat. Tapi sudah di pastikan kalo benar Nak
Wisnu tengah mengandung seorang anak. Cukup mencengangkan,
karena ini baru pertama kalinya Saya menangani kasus seperti ini
dimana kalian baru semalam melakukan hal itu. Tapi yang namanya
takdir apapun bisa terjadi. Saya hanya bisa ucapkan selamat dan jangan
lupa untuk cek up teratur, ya." ucap sang Dokter sambil tersenyum
menatap gue sama Lukas bergantian. Setelah ia berbalik dan berjalan
kembali ke tempat duduknya.
Gue yang melihat itu pun mengambil posisi duduk dan menatap Lukas
yang kini sudah berdiri di hadapan gue dengan pandangan haru dan
senyuman bodoh yang baru kali ini gue liat.

"Apa liat-liat!" galak gue.

Lukas nggak perduli, dia masih tersenyum dengan tatapan yang sama.

"Gue masih nggak percaya kalo gue bakalan jadi Ayah nanti. Gue nggak
sabar." ucapnya. Gue yang mendengarnya secara otomatis langsung
menggeplak kepalanya pelan.

"Nggak sabar pala lu peyang! Lo nggak mikir kedepannya hah? Kita


masih sekolah. Gimana caranya gue sekolah entar. Dan yang lebih
penting. Kalo anak ini lahir, yang ngurusin nanti siapa? Gue masih mau
sekolah, gue punya cita-cita untuk gue capai nantinya." ucap gue yang
tentu saja pelan karena takut sang dokter mendengarnya.

"Gue yang urus. Lo sekolah aja, gue nggak masalah dengan sekolah. Lo
silahkan kejar cita-cita elo, selama elo merawat kehamilan lo dengan
baik gue bakal izinin lo untuk mengejar apa yang lo inginkan. Masalah
anak, biar gue yang urus. Ok?" ucapnya begitu yakin dengan kedua
tangannya yang menekan bahu gue dan tatapannya yang penuh dengan
keseriusan.
Gue nggak mau jawab dan memilih untuk menepis tangannya dari bahu
gue, lalu turun dari atas tempat tidur dan berusaha berjalan ke arah
dokter walaupun dengan langkah tertatih.

"Dok, apa dokter nggak salah diagnosis nya? Aku kan seorang pria dok,
mana mungkin saya hamil. Apa mungkin kalian berdua sengkokol untuk
ngebohongin aku?" tanya gue setelah mengambil tempat duduk yang
sebelumnya. Lukas sudah menyusul di samping gue.

"Nggak mungkin lah, Nu. Buat apa gue ngelakuin hal kayak gitu?" ujar
Lukas.

"Gue nggak tau." balas gue.

Dokter yang mendengar percakapan kami tersenyum lembut lalu


menyerahkan satu lembar kertas ke arah gue. Gue dengan perlahan
mengambil kertas tersebut dan mencoba membacanya walaupun pada
akhirnya gue nggak ngerti tulisan apa yang tertera di kertas itu.

"Itu resep obat untuk rasa sakit bokongmu. Dan untuk pertanyaan itu
sangat mudah sekali untuk di jawab."

"Kamu memang seorang pria, Nak. Tapi kamu berjenis omega, dan
setiap omega yang sudah bersentuhan dengan kelamin milik Alpha dan
adanya pengaman, itu akan menyebabkan kehamilan yang tidak bisa di
bantah lagi. Jadi saya harap, kamu menerima kehamilan mu, Nak.
Mungkin akan sulit nantinya, karena kamu seorang pria dan masih belia.
Tapi percayalah, semua itu pasti ada sesuatu yang akan membuatmu
kagum atas apa yang kamu perjuangkan nanti." Jelas dokter itu yang
entah kenapa nggak bisa untuk gue sanggah lagi.

"Tuh dengerin. Terima apa adanya. Lo emang hamil, tapi lo masih bisa
sekolah kan?" ujar Lukas yang membuat gue berdecih kepadanya.

"Yaudah, kalau begitu saya tinggal ya. Masih ada pasien yang harus
saya tangani." ujar dokter itu, gue mengangguk pelan begitu juga dengan
Lukas. Setelah itu dokter pun berdiri dan beranjak dari sana,
meninggalkan kami berdua di ruangannya.

"Ayo kita tebus obat itu. Abis itu kita pulang." ujar Lukas begitu lembut
sambil merangkul gue.

Gue yang menerima perlakuan itu segera menepis tangannya dan


menatapnya tidak suka.

"Ini semua gegara lo babi!" balas gue kasar. Lukas terlihat terkejut, tapi
dia berusaha sabar dengan menanyakan apa maksud gue.

"Seandainya lo cekatan buat ngasih gue penahan masa heat dan


bukannya ngeladenin gue, ini semua nggak bakal terjadi. Gue benci
sama lo!" ucap gue, lalu berdiri dan beranjak dari sana sambil berusaha
keluar dengan kedua kaki gue uang gue paksa untuk lari.

Gue nggak tau kenapa, tapi perasaan gue begitu kacau. Ini semua terlalu
tiba-tiba. Gue aja belum memahami sepenuhnya dunia apa sebenarnya
yang udah gue masuki ini, dan sekarang gue harus mengandung seorang
anak padahal gue adalah laki-laki yang tentu saja hal itu adalah mustahil.

Gue....

Gue... Belum bisa menerima ini.

•••

Ini udah yang ketiga harinya bagi gue merasakan morning sick yang
sangat menyiksa. Gue nggak kuat, semua isi perut gue bener-bener
terkuras dan kosong begitu pagi hari menyapa. Gue berharap ini segera
berakhir, tapi Lukas selalu bilang sabar dan cuma bisa ngelus-ngelus
punggung gue aja supaya gue lebih tenang. Padahal setiap kali dia
ngelakuin hal itu gue pengen marah dan gigit tangannya.
Gue kembali melihat sosok Lukas dari pantulan cermin yang saat ini dia
sudah terlihat rapi dengan seragam sekolah yang di kenakannya. Namun
berbeda dengan bajunya, wajahnya terlihat kusut seperti nggak senang
pergi sekolah walaupun itu adalah kewajibannya sebagai seorang siswa.
Gue yang menyadari hal itu pun berdeham lalu bertanya.

"Kenapa muka lo cemberut gitu. Jelek tau gak." ujar gue.

Lukas menoleh dan tersenyum kecut ke arah gue. Setelahnya dia


berhenti bercermin dan melangkah mendekat ke tempat gue yang lagi
duduk santai sambil senderan di atas ranjang. Dia langsung
mendudukkan dirinya begitu udah sampai tepat di hadapan gue.

"Gue bolos lagi, Nu. Gue nggak tenang selama sekolah, gue kepikiran lo
terus. Sumpah." ujarnya sambil masang muka melas yang sama sekali
nggak cocok dengannya.

Gue seneng sebenarnya denger dia ngomong begitu. Tapi yang namanya
sekolah, dia harus tetep pergi. Gue nggak boleh egois dan nahan dia
disini buat nemenin gue yang masih izin sakit.

"Nggak usah lebay. Ntar kalo lo pergi gue bakal tidur. Lo tenang aja,
gue nggak bakal keluar biarpun itu ke tempat Nenek. Sampai lo pulang
nanti, baru deh gue ijin keluar. Tapi inget, pulangnya lamaan dikit." ujar
gue. Lukas mengerutkan dahinya bingung.

"Kenapa? Gue kan pengen cepet-cepet ngeliat elo. Gue mungkin bakal
kayak orang bego nanti karena pikiran gue cuma elo sama janin yang
ada di perut lo ini." balasnya yang di akhiri dengan menyentuh perut gue.
Gue yang kaget langsung menepis tangannya.

"Janin-janin pala lo peyang! Lo nggak denger apa kata dokter kemaren?


Janinnya belum keliatan!"

"Tapi kan udah di pastiin kalo lo beneran hamil." ucapnya sambil


mengelus tangan yang gue tabok tadi.

Gue mendengus mendengar fakta yang dia ucapkan, setelahnya gue


membuang muka dan menatap ke lain arah.

"Udah sana lo pergi, liat lo bawaannya pengen marah mulu gue."

"Kok gitu?" tanya Lukas terlihat nggak terima, apalagi sekarang


tangannya menyentuh tangan gue dan meremasnya lembut.
"Apa itu bawaan dari kehamilan lo ya, Nu?" ujarnya pelan dan itu cukup
ngebuat gue untuk kembali menoleh kepadanya sambil menyipitkan
mata gue menatapnya.

"Maksud lo?"

Lukas seperti paham, dia langsung melepaskan sentuhannya di tangan


gue lalu mundur sedikit untuk menjaga jarak dari gue, tangannya juga
dengan sigap menutupi kepalanya yang gue sendiri nggak tau buat apa
dia ngelakuin itu.

"Ngapain lo?" tanya gue lagi.

"Jaga-jaga, gue takut lo jambak gue lagi." ujarnya yang ngebuat gue geli
dan ketawa kecil dalam hati. Tentu aja gue nggak bakal ketawa di depan
dia.

"Makanya sana lo berangkat! Ntar gue ngamuk gue jambak tuh rambut
lo ampe botak!" balas.

Lukas terlihat ragu, namun akhirnya dia mengangguk pasrah.


"Fine. Gue berangkat, tapi inget ya. Lo nggak boleh telat makan, dan
keluar-keluar dari apartemen ini. Ok?" ujarnya. Gue mengangguk tanpa
menjawabnya.

Setelahnya Lukas berdiri dari duduknya lalu kembali mendekat ke arah


gue dan membungkuk sebentar untuk mengecup dahi gue singkat.

"Gue berangkat ya."

"Hmm." balas gue masih enggan untuk mengeluarkan suara gue. Namun
Lukas dengan sabar tersenyum tipis sambil mengacak pelan rambut gue.

"Baru kali ini tau nggak gue berusaha sesabar-sabarnya ngandepin orang.
Biasanya orang yang ngikutin perintah gue, dan yang lebih penting,
nggak ada yang pernah teriak-teriak apalagi sampe jambak gue kayak
gitu. Baru elo, dan cuma elo aja yang akan berlaku dengan hal-hal yang
gue sebutkan tadi. Jadi, gue harap lo mengerti kenapa gue ngomong
kayak gini, Nu." ucapnya tenang dan begitu nyaman untuk gue
dengarkan.

Gue tentu aja mengerti apa yang maksud. Dan gue tau dia bukanlah
orang penyabar apalagi orang yang baik hati yang akan selalu menolong
ataupun melakukan hal baik lainnya ke orang lain. Dia sosok pribadi
yang dingin, dan tentu saja sulit untuk di ajak dekat. Gue sendiri pun
heran kenapa dia bersikap seperti ini sama gue. Gue nggak yakin kalo
dia punya perasaan yang lebih terhadap gue selain sebagai seorang yang
rela menolong gue saat gue kesulitan waktu itu. Hingga akhirnya
pertolongannya itu berakhir dengan dia yang menjadi baik karena gue
udah memiliki sesuatu dari sperma yang dia keluarkan dalam tubuh gue.

Lukas kembali mengecup dahi gue karena menyadari kalo gue hanya
diam tanpa berniat membuka suara. Setelah itu dia berbalik dan
melangkah keluar dari kamar. Dan beberapa menit kemudian suasana
kamar menjadi hening dengan hanya kediaman gue yang masih terjadi
karena gue masih berpikir apa sebenarnya yang gue lakuin sampe saat
ini.

Status gue dengannya belumlah jelas. Bahkan pernikahan belum di


laksanakan seperti janjinya kepada petinggi. Gue tau itu keinginan gue
sendiri untuk nggak menikah dulu, tapi kan waktu itu gue nggak tau
bakal hamil kayak gini. Jadi sekarang gue harus mempertimbangkan
soal itu saat ini. Mengingat perbuatan dan perlakuan Lukas yang terlihat
perhatian membuat gue memiliki sedikit keyakinan kalo dia memiliki
perasaan yang lebih terhadap gue.

Oke, itu cukup meyakinkan. Tapi bagaimana dengan gue? Gue belum
yakin sama perasaan gue sendiri, ini pertama kalinya bagi gue untuk
menjalani kehidupan seperti ini. Apalagi dunia yang gue pikir biasa aja,
ternyata penuh dengan kejutan yang bikin gue bingung setengah mati.
Dan di saat gue berpikir gue nggak punya harapan apa-apa lagi, Lukas
ada dan membuat harapan itu kembali muncul kepermukaan sehingga
menyebabkan gue saat ini dalam dilema antara menikah dan
membesarkan anak ini, atau melanjutkan sekolah gue untuk meraih cita-
cita gue yang ingin menjadi seorang produser.

Lamunan gue yang panjang terputus dan tersadar begitu suara bel masuk
ke dalam gendang telinga gue. Gue langsung bangkit perlahan dari kasur
dan merapikan piyama yang masih gue kenakan dari tadi lalu setelahnya
gue pun keluar dari kamar untuk mengetahui siapa orang yang datang di
pagi hari seperti ini.

Gue berharap itu Nenek, karena saat ini gue butuh seseorang untuk
mencurahkan segala sesuatu yang tersimpan dalam benak gue. Tapi
harapan gue melesat jauh dari sosok nenek maupun orang terdekat gue,
karena saat ini gue melihat seorang cewek yang sama seperti waktu itu
berdiri dengan pakaian yang benar-benar fashionable dan terlihat begitu
bagus di tubuhnya. Gue sendiri pun sedikit terpesona melihatnya, pikiran
gue langsung berpikir kalo dirinya adalah seorang model atau mungkin
aktris.

"Kok lo lagi yang buka pintu sih?" tanya cewek itu sambil menyelipkan
rambutnya ke telinganya.

Gue berusaha tersenyum walaupun gue tau dia nggak mengharapkan gue
yang ada di hadapannya saat ini.

"Lukasnya mana?" tanyanya lagi.


"Dia udah berangkat sekolah beberapa menit yang lalu. Ada apa lagi
ya?" ujar gue yang berharap kalo jawabannya bukanlah seperti terakhir
kali kita bertemu.

"Taik lah. Gue udah berusaha pagi-pagi kesini biar bisa ketemu sama dia,
eh dia malah sekolah. Kelas berapa sih!?" balas cewek itu dan
mengabaikan pertanyaan gue.

"Dia kelas 2. Sama kayak gue."

Cewek itu terlihat nggak percaya lalu menatap gue dari atas sampe
bawah.

"Terus, kenapa lo masih disini dan nggak sekolah juga?"

Mendengar itu membuat gue berpikir sebentar untuk menjawab


pertanyaan itu supaya nggak menimbulkan kecurigaan terhadapnya. Gue
nggak mungkin bilang nggak enak badan gegara hamil kan? Terus kalo
gue bilang lagi sakit dia pasti nggak percaya karena keadaan gue
kelihatan sehat-sehat aja.

"Gue lagi bolos aja." jawab gue yang akhirnya setelah diam cukup lama.
Cewek itu manggut-manggut mengerti, setelah itu dia berjalan ke arah
gue dan menabrak bahu gue lumayan kuat lalu masuk ke dalam
apartemen tanpa seizin gue lebih dulu.

Gue yang merasakan sakit di bagian bahu pun mengusap bagian itu
terlebih dahulu baru gue berbalik untuk menghampiri cewek itu yang
sudah sampai di meja makan dan terdiam sambil membaca secarik
kertas di tangannya. Dan setelah gue sampai di sana dia menoleh sambil
mengarahkan kertas itu ke hadapan gue.

"Siapa yang Lukas maksud di kertas ini." ujarnya. Gue pun langsung
membaca kertas itu setelah mendengar pertanyaannya.

Makan yang banyak ya, Inu. Biar si Dedek cepet tumbuh^^

Begitulah isi kertas itu dan membuat gue menahan napas membacanya.
Pesan itu memang singkat, tapi itu cukup membuat gue tegang, apalagi
cewek itu bertanya ke gue yang mana surat itu di tujukan untuk gue
sendiri.

"Ini buat elo ya kan?" ujar cewek itu yang sukses membuat gue kaget
karena tebakan benar walaupun seinget gue belum gue kasih tau nama
gue kepadanya. Gue gelagapan dan langsung meletakkan kertas itu cepat
di atas meja.
"EnGGAK kok! I-ini bukan buat gue. Semalem ada cewek yang main
kesini terus nginep. Gue pikir itu buat dia, tapi sekarang gue nggak tau
dimana. Pas gue bangun mereka berdua udah nggak ada." ujar gue yang
entah dari mana kebohongan itu berasal.

"Bukannya tadi lo bilang Lukas berangkat sekolah beberapa menit yang


lalu ya? Berarti lo udah bangun dan Lukas masih ada disini tadi."
ujarnya yang bener-bener bikin gue panas dingin karena gugup. Gue
nggak tau kenapa gue merasa begini hanya karena cewek ini. Tapi yang
jelas gue nggak mau seseorang kayak dia tau tentang kehamilan gue
maupun hubungan gue sama Lukas walaupun sebenarnya gue juga
nggak mengetahui hubungan gue sama Lukas itu apa.

"I-itu, gue tau karena Lukas ngirimin gue pesan." ujar gue.

Cewek itu masih terlihat nggak percaya, namun akhirnya dia


mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke meja yang terdapat
beberapa makanan lezat dengan asap yang masih mengepul di atasnya.

"Nama ceweknya jelek. Apaan tuh Inu. Kayak pembantu." ucapnya, lalu
duduk di kursi dan mengambil piring yang udah tersedia di sana.

"Karena cewek itu udah nggak ada, jadi gue aja yang makan ya. Gue
denger masakan Lukas itu enak." ujarnya.
Gue mengangguk mengiyakan.

"Makan aja. Gue mau ke kamar dulu, mau mandi. Nanti gue kesini lagi."
ujar gue, dan kini giliran dia yang mengangguk-angguk sambil tangan
yang menyendokkan makanan yang terdapat di atas meja tersebut.

Sementara gue yang melihat anggukkannya tanpa ragu langsung


berbalik dan berjalan cepat menuju kamar, setelahnya gue masuk dan
mengunci rapat pintu tersebut. Gue menyenderkan tubuh gue di balik
pintu sambil memegang jantung gue yang berdetak cepat karena
kebohongan yang gue ucapakan ke cewek itu. Tapi apapun itu gue
bersyukur karena dia percaya akan ucapan gue.

Dan yang lebih penting. Gue bersyukur karena dirinya nggak


menanyakan tentang maksud kata dedek yang terdapat di dalam kertas
itu.

•••
Pikiran gue masih tertuju kepada hari kemarin dimana cewek yang
nggak gue ketahui namanya itu berhasil ngebuat gue hampir mati deg-
degan gegara pertanyaan demi pertanyaan yang dia lontarkan.

Gue masih bingung kenapa kemarin dia natap gue lama banget dan
dengan sengaja menyentuh perut gue dan menekannya lumayan kuat.
Untung aja gue sigap dan langsung menepis tangannya. Setelah itu gue
menyuruhnya keluar dan jangan balik lagi kalo Lukas nggak ada. Dia
terlihat nggak terima apalagi matanya terus tertuju ke perut gue,
membuat gue sedikit meyakini kalo dia tau kalo gue lagi hamil.

Tapi, masa iya?

Tau ah, sekarang gue harus fokus dengan apa yang bakal di pelajari hari
ini. Karena sekarang gue udah mulai masuk sekolah walaupun dengan
caranya mengancam dan memaksa Lukas supaya ngijinin gue. Tentu aja
dia nolak abis-abisa dengan berbagai alasan yang muak banget buat gue
dengerin. Ntar gue kenapa-kenapa lah, ntar pecah ketuban lah, brojol di
jalan lah. Dan hal-hal lain yang bikin gue naik darah.

Dia pikir usia kehamilan gue udah mau melahirkan apa? Ganteng sih
boleh, tapi bego jangan!

Gue menolehkan kepala gue begitu merasakan seseorang duduk di


samping gue karena sedari tadi di sana masih kosong dan gue ke bagian
tempat paling ujung belakang dekat jendela.
"Galih?" bingung gue melihat sosoknya yang tersenyum manis menatap
gue.

"Hai!" sapa satu orang lagi yang tentu aja gue kenal banget suaranya.
Dia berdiri, di samping Galih sambil melambaikan tangannya ke arah
gue. Siapa lagi coba kalo bukan Dirwan, gue sempet heran sebenarnya.
Mereka sejak SMP sampe sekarang selalu berdua mulu, gue bahkan
curiga kalo mereka pacaran. Tapi gue lebih memilih untuk nggak
memusingkan hal itu, orang kehidupan gue aja masih membingungkan.

"Kok kalian bisa sekolah disini?" tanya gue dan mereka cuma nyengir
doang tanpa berniat menjawabnya.

"Lo pasti bisa nebak tanpa kita jawab." ujar Dirwan.

Mendengar itu gue pun berpikir untuk menebak kenapa mereka bisa
sampe pindah sekolah dan bahkan satu kelas sama gue sekarang.
Bayangan muka ngeselin Lukas yang tiba-tiba nongol di benak gue
membuat gue seketika tau jawabannya, dan itu membuat gue males lalu
memilih untuk kembali ke kegiatan gue sebelumnya, yaitu membaca
buku untuk fokus ke pelajaran yang akan datang.
"Kok malah diem sih. Tebak dong!" paksa Dirwan, gue nggak jawab dan
mengabaikan ucapannya. Untung Galih ngerti dan menyuruh Dirwan
untuk duduk aja yang mana ternyata tempat duduknya ada di depan gue.

Tapi kalo di pikir-pikir masih mending mereka sih yang di suruh Lukas
untuk jagain gue. Daripada Lukasnya langsung yang bikin gue emosi.
Untung dia sadar diri, kalo nggak, udah botak kali tuh kepalanya! Argh,
nyebut nama dia bikin gue icemochi. Apalagi kalo inget partner ngewek
nya dia yang bikin gue panas dingin. Ngebuat gue jadi nggak bisa fokus
dan rasanya pengen marah. Namun karena gue sadar ini di kelas, jadilah
gue memilih untuk buka hp dan coba mencari sesuatu supaya bisa
mengalihkan rasa kesal gue terhadap cowok ganteng tapi bego itu.

Gue mengerutkan dahi gue begitu membuka aplikasi pesan dan melihat
nama Lukas yang berada paling atas, namun di sana tertera kalo gue
udah nge baca pesan tersebut. Padahal seinget gue, gue belum baca
pesan apapun dari Lukas. Apalagi isinya yang alay begini.

Gue bakal pulang cepet demi dedek janin^^

Dan emang bener sih dia pulang cepet kemaren, kira-kira dua jam
setelah pengusiran gue terhadap cewek itu kemaren. Gue pengen cerita
sebenarnya, tapi kalo di pikir-pikir, ntar Lukas menggila dan malah nanti
dia nggak ngebolehin gue keluar bahkan nyentuh pintu pun nggak boleh
nanti. Gue nggak tau kalo itu sikap protektif atau bukan, tapi yang jelas
itu tuh mengganggu banget.
Kelas berlangsung lumayan lama, tapi gue bisa menghabiskan waktu itu
dengan membaca dan serius menjawab pertanyaan-pertanyaan yang guru
berikan di depan. Sampai akhirnya gue nggak sadar kalo bunyi bel
pulang udah berkumandang dan seisi kelas kegirangan dengan
berhamburannya mereka untuk keluar kelas tanpa menunggu sang guru
keluar terlebih dahulu. Sementara gue sendiri memilih untuk santai dan
mengemasi barang-barang gue perlahan, karena selain gue emang nggak
mau cepet-cepet. Gue juga nggak mau ketemu Lukas yang udah pasti
lagi nungguin gue di parkiran.

Gue udah berusaha buat ngindarin dia dari tadi pagi. Bahkan pas
istirahat gue sembunyi toilet supaya dia nggak nemuin gue. Masa iya
gue harus ketemu dia setelah gue berhasil menghilangkan rasa kesal gue
kepadanya. Ntar yang ada muncul lagi dan berakhir dengan dirinya yang
mati akibat jambakan seorang omega galak. Kan gue nggak mau itu
terjadi, apalagi sampe muka gue terpampang jelas di koran dan di berita-
berita.

Iya kalo terkenal gegara prestasi gue. Kalo karena kriminal gimana? Kan
kasian nenek, ntar dia malu punya cucu kang jambak Alpha bego kayak
Lukas.

Oke, imajinasi gue kelewatan. Itu nggak mungkin terjadi. Dan nggak
akan pernah.
"Kita pulang duluan ya, Nu." ujar Galih yang udah siap dengan tas dan
nggak lupa sama tangannya yang merangkul bahu Dirwan.

"Loh? Kalian nggak nungguin gue? Gue juga mau balik!" balas gue lalu
berdiri sambil menyampirkan tas gue ke punggung.

"Kan lo naik mobil bareng Lukas nanti." ucap Dirwan yang di angguki
oleh Galih.

"Udah ah. Tugas kita udah selesai buat jagain lu. Sekarang giliran dia
yang ngebawa lu pulang dan jagain tuh bayik dengan penuh kasih
sayang." ujar Galih, dan gue langsung menggeplak kepalanya kuat.

"Eh, kok lo kasar sih?!" ujar Dirwan.

"Kok lo yang marah!?" balas gue sewot.

"Udah-udah. Sekarang kita balik ya, Nu. Si Lukasnya udah nungguin elu.
Kasian dia kalo lu baliknya bareng kita, dia pasti kesel ntar." ujar Galih
tenang dan berusaha menengahi antara gue dan Dirwan.

Gue paham, dan berjalan lebih dahulu untuk keluar kelas. Gue nggak
mau berantem apalagi sama sahabat gue sendiri. Itu haram hukumnya,
gue mungkin udah bisa menyimpulkan kalo mereka beneran punya
hubungan lebih dari seorang sahabat. Makanya gue lebih baik mengalah
dan menuruti apa yang Galih katakan untuk menyusul Lukas yang
menunggu di parkiran. Tapi bukannya sosok dia yang ada di sana,
malahan hanya seorang wanita yang menatap gue begitu datar dan
langsung menarik tangan gue begitu gue udah dekat dengannya.

Gue panik dong. Gue langsung berusaha ngelepasin pegangannya yang


ternyata sangat kuat dan nggak ada apa-apanya di bandingkan tenaga
gue yang jelas-jelas seorang cowok.

"Apaan nih! Siapa lo!?" ucap gue dengan nada tinggi tentunya.

"Jangan berisik! Ikut gua." balasnya, lalu tanpa menunggu persetujuan


dari gue dia kembali menarik gue dan membawa gue arah mobil yang
sudah terbuka pintu bagian belakangnya. Pikiran gue langsung, kata di
culik udah berputar-putar di benak gue, dan hal apa yang harus gue
lakukan nggak muncul sama sekali.

Gue mau teriak pun nggak sempet karena gue udah di masukkan ke
dalam mobil dan langsung di tutup yang mana gue udah nggak bisa
ngebukanya lagi karena udah di kunci otomatis.

"Kalian siapa sih!? Ngapain nyulik gue!? Gue miskin, gue jelek, item,
burik. Apanya yang bikin kalian tertarik!???" racau gue.
Wanita yang narik gue tadi pun sudah kembali masuk ke dalam mobil,
dan di saat yang sama orang yang berada di sampingnya menolehkan
kepalanya ke belakang dan pandangan kami bertemu.

"Elo!?" ujar gue setelah melihat wajahnya jelas yang ternyata dia adalah
cewek yang kemarin dateng ke apartemen.

"Ngapain lo ngelakuin ini!? Kenapa lo nyulik gue. Apa maksudnya!?"

Dia nggak menjawab dan malah tersenyum tipis sambil menggelengkan


kepalanya.

"Gue bukan nyulik elo. Gue cuma lagi minjem elo dari Lukas. Sebentar
aja, cuma mastiin." ujarnya dengan suara yang bikin gue kesel.

"Apa maksud lo minjem!? Mana Lukas!? Ngapain lo malah izin ke dia


dan nggak ngasih tau gue lebih dulu. Lo bikin gue parno tau gak. Kalo lo
beneran penculik gimana. Ntar janin gue kenapa-kenapa lo mau
tanggung jawab!?" ujar gue yang sialnya malah keceplosan.

Gue langsung terdiam sambil berharap kalo dia nggak denger apa-apa.
Tapi tentu aja itu nggak mungkin. Gue ngomong nya gede kayak begitu,
bahkan cewek strong tadi terkekeh gegara keceplosan yang gue lakuin.
"Oh jadi bener ya." ujar cewek itu sambil ngangguk-ngangguk dan
senyum gaje.

"Apanya yang bener?" tanya gue yang kini udah gue pelankan nada
suara yang gue keluarkan.

"Itu, lo lagi hamil. Dan anak itu adalah anaknya Lukas. Benerkan?"
ucapnya. Gue diem dan nggak mau jawab.

Sialan. Gegara keceplosan dia jadi tau tentang gue. Padahal kemaren
udah mati-matian gue sembunyiin. Tapi semua itu percuma sekarang.

"Gue tau dari kemaren kok. Bukan dari yang barusan lo bilang. Kan tadi
gue udah bilang, kalo gue minjem elo cuma buat mastiin aja. Dan
ternyata bener, lo lagi hamil anaknya si Lukas setan." ujarnya.

"Iya, dia emang setan! Udah ngehamilin gue, eh malah ngelarang gue
buat sekolah." celetuk gue yang malah ikutan mengatai Lukas dan keluar
dari topik pembicaraan.

"Dia ngelarang lo sekolah? Taik banget tuh. Maunya enak sendiri.


Jangan mau, kalo perlu lo lawan aja dia. Ok?" ujarnya.
Gue ngangguk, "Pasti. Gue nggak bakal kalah buat ngelawan dia.
Kecuali fisik." balas gue. Dan beberapa detik kemudian gue sadar apa
yang gue omongin udah keluar jalur dari apa yang seharusnya gue bahas.

"Tunggu! Lo sebenarnya siapa sih? Kenapa lo malah ngedukung gue


padahal lo tau kalo gue lagi hamil anaknya Lukas? Bukannya lo partner
ngeweknya dia?" ujar gue. Dia langsung ketawa begitu mendengarnya.

"Lo percaya?" ujarnya yang malah nanya balik. Gue mengangguk,


karena gue butuh jawaban yang pasti darinya.

"Goblok! Masa iya muka secantik gue mau sama cowok nggak jelas
kayak Lukas! Ya jelas bukanlah. Gue itu adeknya, gue ngaku begitu
karena setiap gue dateng buat ngecek, pasti selalu ada omega yang ada
di apartemennya. Makanya gue ngaku begitu, sebenernya gue expect lo
bakal hamil sih. Lagian kan Lukas pernah bilang kalo dia benci sama
cowok Omega gegara traumanya beberapa tahun yang lalu." jelasnya
panjang lebar.

Sedangkan gue cuma hah, oh, dan setiap apa yang dia ucapkan gue
nggak paham sama sekali. Yang nyangkut di otak gue saat ini adalah dia
adalah adeknya Lukas yang nggak jauh beda gilanya sama Lukas itu
sendiri. Gue pengen kabur, tapi sayangnya dia selalu nahan gue agar
tetap mendengarkan semua penjelasannya dari awal ketemu sampai
sekarang.
Apapun itu, seseorang selametin gue, plissss.

•••

"Lo dari mana aja? Dari tadi gue cariin ke kelas lo nggak ada." ucap
Lukas begitu gue udah nelpon dia suruh jemput di lokasi penculikan gue
tadi.

Gue cuma natap dia datar terus mendahuluinya buat masuk ke dalam
mobil tanpa menjawab pertanyaannya. Bodoh amat lah, gue bisa gila
lama-lama. Malah kuping gue pengang gara-gara dengerin celotehan tuh
cewek yang gue lupa siapa namanya. Tapi gimana pun gue bersyukur
kalo itu bukan penculikan beneran. Gue pikir gue beneran di culik sama
cewek yang satunya lagi. Tenaganya kuat banget lagi.

Lukas menyusul masuk ke dalam mobil dan langsung bersiap dengan


memasang sabuk pengaman lalu menyalakan mesin mobil. Namun
sebelum menjalankan mobilnya, dia menoleh ke arah gue dan tanpa aba-
aba memajukan badannya mendekat sampai-sampai mukanya hanya
berjarak beberapa senti di depan muka gue.
Gue yang emang awalnya lagi kesel langsung dengan sigap menabok
pipinya yang nggak gue tau itu pelan atau kuat, yang jelas hal itu cukup
membuatnya langsung mundur dan kembali ke tempatnya.

"Kenapa lo nampar gue, Nu?" ujarnya sambil mengelus pipinya.

"Lah, elo ngapain maju-maju gitu, bikin gue reflek aja." balas gue.

"Reflek lo jelek banget. Nyakitin orang. Lagian, gue kan cuma mau
ngebantuin lo masang sabuk pengaman." ujarnya yang membuat gue
sadar dan langsung mengenakan sabuk pengaman ke badan gue.

Lukas pun menjalankan mobilnya begitu melihat gue udah mengenakan


sabuk itu. Dia cuma diem sambil merhatiin jalan, sementara gue juga
diem sambil pikiran gue melayang memikirkan cewek itu yang belum
membuat gue yakin kalo dia beneran adiknya Lukas atau bukan. Dari
warna kulit sih keliatan mirip, mereka putih banget. Hidungnya juga.
Tapi masa iya cuma gegara dua hal itu gue harus yakin kalo mereka
emang saudaraan.

"Jangan ngelamun, ntar gue cubit lagi loh." celetuk Lukas.

"Berani nyubit gue lagi?" balas gue. Lukas langsung menggeleng kuat.
"Gue trauma. Sampe sekarang gue masih bisa ngerasain jambakan lo.
Gila."

"Makanya diem aja, jangan banyak cingcong! Pusing nih pala gue
mikirin adek lo." ujar gue.

Lukas menatap gue bingung, lalu nggak lama dia memelankan laju
mobilnya untuk menepi ke seberang jalan.

"Adek gue? Yang mana?" tanyanya.

"Gue nggak tau yang mana, yang jelas dia cewek terus tingginya hampir
sama kayak elo. Kulitnya putih sama hidungnya mancung. Gue nggak
tau siapa namanya, yang jelas dia ngaku kalo dia adek lo. Terus dia
sempet nyulik gue tadi buat nanyain kalo gue beneran hamil atau
nggak." ujar gue menjelaskan.

"Terus lo bilang apa?"

"Gue bilang bener. Terus dia heboh sendiri cerita kalo ini pertama
kalinya lo ngelakuin hal gila kayak gini sampe hamilin anak orang.
Selanjutnya gue nggak tau lagi, dia koar-koar nggak jelas dan gue nggak
nangkep apapun dari ucapannya." akhir gue lalu menyenderkan kepala
gue untuk merilekskan pikiran sambil dengan perlahan memejamkan
mata.
"Hmm, jadi karena itu lo nggak ada pas gue cariin tadi." ucap Lukas
yang gue mengerti kalau dia ngomong sendiri dan nggak butuh balasan
dari gue atas ucapannya.

Nggak lama kemudian dia kembali menyalakan mesin mobil lalu


menjalankannya untuk melanjutkan perjalanan kami menuju rumah, gue
sendiri udah merasa capek dan gerah. Gue pengen mandi, habis itu
langsung tidur.

Untunglah Lukas mengerti, karena dia cuma diem selama perjalanan


sampai akhirnya kita sampai dengan menempuh waktu kurang dari
setengah jam. Awalnya gue pengen langsung melaksanakan rencana
gue tadi. Tapi tiba-tiba pikiran gue langsung menuju ke dua sahabat gue
yang bisa-bisanya satu sekolah bahkan satu kelas bareng gue. Ya
walaupun gue udah menebak siapa yang menyuruhnya, tapi gue pengen
mastiin aja kalo emang Lukas yang menyuruh mereka.

"Lo kasih imbalan apa ke mereka berdua?" tanya gue saat sudah
menyamankan diri gue di atas sofa.

Lukas yang baru juga sampai, membuka jaketnya lalu meletakkannya


begitu saja di samping gue. Setelahnya dia ikut duduk sambil
menyandarkan kepalanya di bahu gue.
"Mereka siapa?" tanyanya.

Gue belum mau jawab, karena bahu gue terasa berat hanya dengan
menahan kepala Lukas aja. Gue menggoyang-goyangkan bahu gue
untuk menyuruh Lukas menyingkirkan kepalanya dari sana.

"Sebentar aja." ucapnya dan menolah untuk mengangkat kepalanya dari


bahu gue.

Gue menghembuskan napas pelan mendengarnya. Setelah itu gue


membiarkan dia bersender ke gue walaupun itu berarti gue menahan
berat yang sekarang sudah mulai terasa pegal.

"Galih sama Dirwan. Lo ngasih apa ke mereka sampe nurut untuk jagain
gue bahkan rela buat pindah sekolah?" ujar gue melanjutkan rasa
penasaran gue yang tadi.

Lukas langsung bangun dari senderannya, lalu menatap gue dengan


kening yang ia kerutkan.

"Mereka berdua sekelas sama elo?" tanyanya yang tentu saja langsung
ngebuat gue bingung dengan satu alis yang gue angkat.
"Harusnya kan lo udah tau. Masa lo nanyain gue sih." ujar gue sambil
mengingat percakapan gue dengan Galih maupun Dirwan.

"Nggak. Gue nggak tau, dan gue nggak ada tuh nyuruh mereka buat
jagain elo. Emang mereka bilang gitu ya?" ujarnya dan gue langsung
menjawabnya.

"Iya, mereka bilang elo yang nyuruh mereka. Eh, tunggu deh." henti gue
saat teringat dengan percakapan tadi pagi.

"Kayaknya gue doang yang simpulin kalo lo yang nyuruh mereka. Terus
mereka cuma diem doang. Gue pikir iya, eh taunya bukan ya." ucap gue.

Lukas mengalihkan pandangannya dari gue ke arah meja seperti sedang


memikirkan sesuatu yang entah apa itu gue nggak tau.

"Terus siapa ya yang nyuruh mereka." gumamnya pada diri sendiri, tapi
dengan bodohnya gue mengedikkan kedua bahu gue walaupun gue tau
kalo Lukas nggak melihatnya.

Gue berdiri dan hendak beranjak dari sana, namun dengan sigap Lukas
menahan tangan gue dan membuat gue menoleh ke arahnya.

"Mau kemana?" tanyanya, gue menghela napas mendengar itu.


"Gue mau mandi. Badan gue rasanya lengket. Udah ah, gue nggak akan
keluar kok. Habis mandi gue pengen tidur. Capek gue." ucap gue lalu
melepaskan tangannya yang menahan pergerakan gue tadi.

"Yaudah, kalo lo capek gue bantuin aja lo mandinya. Gimana?"


tawarnya yang udah berdiri sambil menatap gue dengan satu alis yang
dia gerak-gerakkan.

"Ogah. Ntar lu malah ngeluarin harum semerbak terus ngewek gue dan
bikin gue nggak bisa jalan lagi. Udah ah sana, kalo lo mau mandi tunggu
gue selesai. Jangan modus-modus. Gue nggak suka ya." ujar gue lalu
segera berlalu dari sana untuk menuju kamar sebelum akhirnya gue
mendengar keluhan Lukas yang berkata.

"Orang niat baik juga. Untung sayang." eluhnya.

Gue mengabaikan ucapannya itu dan segera membuka semua pakaian


gue untuk mandi, karena setelah mandi gue berencana untuk tidur sampe
malem. Bodoh amatlah di bilang pemales, gue capek. Malah perut
rasanya kayak sembelit lagi. Apa begini ya rasanya orang hamil? Dahal
kan belum masuk seminggu. Tapi bodo lah, penting urusan gue dulu
yang di nomor satuin.
Kurang dari dua puluh menit. Gue keluar kamar mandi dengan handuk
yang membalut sebagian tubuh gue. Gue menatap sekitar kamar dan
nggak menemukan sosok Lukas di manapun. Gue pengen manggil dia
buat nyariin gue baju, tapi kayaknya gue terlalu manja deh kalo manggil
dia cuma buat hal sepele.

Gue berjalan mendekat ke arah lemari dan membuka pintunya perlahan.


Sebenarnya gue nggak pernah liat isi lemari ini karena gue nggak pernah
berniat untuk melihatnya. Tapi sekarang gue nyesel karena nggak pernah
melakukan hal itu, karena saat ini pemandangan yanh ada depan gue
begitu indah.

Semua baju-baju yang di gantung di sana terlihat rapi, bagus, wangi, dan
yang penting mahal. Apalagi warna sangat kalem dengan warna-warna
gelap yang tentu selalu cocok di kenakan Lukas walaupun gue nggak
pernah melihatnya memakai baju-baju ini. Wangi khas yang membuat
gue heat pun tercium di setiap baju yang di gantung hingga hal itu
membuat gue tergoda dan mengambil salah satu dari mereka untuk gue
hirup aromanya dalam-dalam.

Saking menikmatinya, gue bahkan nggak sadar kalo saat ini bagian
bawah gue udah mengeras dengan lobang gue yang berkedut ngilu gara-
gara aroma yang di keluarkan dari baju tersebut. Gue nggak tau, tapi gue
yakin kalo ini bukanlah heat yang gue rasakan seperti sebelumnya. Gue
sadar seratus persen dengan apa yang gue lakukan. Namun anehnya gue
nggak mau berhenti untuk terus menghirup aroma ini.
Tanpa terasa pun sekarang gue udah berbaring di atas kasur dengan tetap
menghirup baju itu dan satu tangan lagi yang gue gunakan untuk
meremas junior gue yang mengeras akibat dorongan nafsu yang tentu
saja datang akibat aroma ini.

Gue harap Lukas nggak akan masuk ke dalam kamar. Karena jika itu
terjadi, udah di pastikan ini akan menjadi hal yang paling memalukan
dalam hidup gue selama mengenalnya. Tapi walaupun begitu, gue tetep
nggak mau berhenti untuk bermasturbasi sambil terus menghirup aroma
Lukas yang menempel di baju ini. Gue bahkan bisa merasakan tubuh
Lukas yang memeluk gue erat dengan dorongan seperti yang ia lakukan
pertama kali saat gue mengalami heat. Dan itu cukup membuat gue
bertambah nafsu hingga mempercepat pergerakan tangan gue untuk
mencapai klimaks agar semua ini cepat selesai.

Dan dalam beberapa detik pun cairan kental langsung keluar dari junior
gue, dan keluarnya juga begitu kuat hingga mengakibatkan cairan itu
berhamburan kemana-mana termasuk mengenai baju yang saat ini masih
gue pegang. Gue otomatis langsung panik, apalagi banyak banget
sperma yang kena di baju itu.

Gue bingung harus melakukan apa. Saat gue coba mengelap bagian
basah di baju itu malah makin membuatnya bertambah jelas, dan pas gue
cium baunya pun sangat kentara sekali bau spermanya. Tapi kalo gue
taro ke mesin cuci sekarang, pasti bakalan ketahuan Lukas kalo dia ada
di luar. Karena mesin cuci terletak terpisah dari kamar dan itu bikin gue
pusing. Di tambah lagi saat gue liat sperma yang jatuh ke seprai. Saat itu
juga gue frustasi akan apa yang harus gue lakukan.

Namun ketika gue mulai mengambil tindakan untuk mengalungkan


kembali handuk di tubuh gue, tanpa sengaja mata gue melirik ke arah
pintu yang mana saat ini pintu itu terbuka lebar dan menampilkan sosok
Lukas yang membuka matanya lebar dengan pipi memerah di tambah
dengan napasnya yang terlihat terengah-engah. Dan saat gue menyadari
kalo dia udah mengetahui apa yang gue perbuat saat itu juga gue
merasakan kiamat yang udah terjadi di depan mata.

Sialan. Gue ketahuan coli lagi.

•••

"L-lo mau ngapain!?" panik gue begitu Lukas mendekat ke arah gue dan
merangkak hingga akhirnya mukanya udah berhadapan sama gue
dengan jarak yang sangat dekat.
Wajahnya yang memerah di tambah dengan matanya yang sayu
membuat gue mengerti apa yang dia inginkan saat ini. Apalagi posisi
yang gue lakukan sama dia sangat memungkinkan. Tapi pikiran gue
lebih waras di banding Lukas, nggak mungkin kita ngelakuin hal itu saat
gue lagi hamil kan? Gue pernah denger kalo hal itu nggak di bolehin.

"Gue lagi pengen, Nu. Lo keliatan hot banget tadi. Gue terpesona."
ujarnya dengan suara menderu sambil tangannya mengelus pipi gue
lembut.

Gue diam tanpa berniat menjawabnya. Sejujurnya gue deg-degan. Di


dalam diri gue juga menginginkan sesuatu yang sama. Apalagi saat
terakhir kali gue melakukannya udah lama. Seminggu yang lalu kah?
Gue nggak tau. Yang jelas gue kangen sentuhannya, begitu juga benda
keras yang saat ini udah terasa di atas paha gue yang tanpa busana.

"Terakhir kali kita ngelakuinnya kita dalam pengaruh feromon masing-


masing. Sekarang kita bisa melakukannya tanpa feromon itu, dan lo juga
bisa melakukannya dengan kondisi sadar tanpa perlu malu dengan
kenyataan kalo sikap lo berbeda saat mengalami heat" ucap Lukas dan
beberapa detik kemudian gue merasakan kecupan bibirnya di pipi gue
yang mana lama-kelamaan bibirnya berpindah ke bibir gue dan mencium
gue dengan lembut.

Gue masih diam sambil memperhatikan wajahnya yang baru gue sadari
ternyata dia sangat tampan dengan mata yang menatap lembut gue dan
deru napas yang menyentuh wajah gue hangat menyebabkan gue tanpa
sadar sudah membalas ciumannya hingga kini ciuman itu sudah berubah
menjadi lumatan yang santai tanpa adanya nafsu yang berlebih. Gue
menyukai suasana ini, apalagi saat kedua tangan Lukas menahan wajah
gue untuk memperdalam ciuman kami.

Gue memejamkan mata gue untuk lebih menyerapi suasana yang begitu
nyaman dan terasa damai walaupun dengan jantung gue yang berdetak
begitu cepat selama ciuman kami berlangsung. Sensasi saat hidung gue
bersentuhan dengan hidungnya yang mancung pun sangatlah gue sukai,
itu terasa seakan-akan gue membutuhkan nafasnya saat deru nafas Lukas
menyentuh wajah gue dan itu membuat gue seakan haus dengan
nafasnya yang terasa begitu nikmat.

Kedua tangan gue yang tadinya gue jadikan penghalang agar Lukas
nggak mendekat pun kini sudah berubah posisi menjadi berada di leher
Lukas dan mengalunginya mesra. Namun itu hanya sebentar, karena
semakin ciuman itu semakin dalam, tangan gue tanpa sengaja menarik
rambutnya bermaksud agar dia lebih memperdalam ciuman itu hingga
gue merasa puas.

Lukas sepertinya paham karena ciuman itu sudah berubah yang tadinya
lembut, kini menjadi sedikit kasar dengan suara kecupan yang terdengar
keras saat beberapa kali bibir kami bertemu. Persediaan nafas yang gue
miliki pun menipis dan membuat gue dengan terpaksa harus
menghentikan ciuman itu untuk menghirup napas yang dalam sambil
mata gue menatapnya yang tersenyum hangat dengan ekspresi yang
sama. Mata sayu dan wajah yang memerah.

Di rasa cukup beristirahat, Lukas membuka baju yang ia kenakan begitu


juga dengan celananya setelah sebelumnya dia turun dari ranjang untuk
melepaskan pakaiannya. Setelahnya dia kembali naik ke atas ranjang
dan kembali mengambil posisi di atas gue sambil dengan penisnya yang
keras menyentuh perut gue.

Gue berusaha sebisa mungkin agar nggak melihat penis itu dan
memfokuskan diri untuk menatap Lukas yang kini sudah berada di
hadapan gue dan siap untuk melakukan kembali hal yang kita lakukan
tadi.

Sebelum dia melakukannya, gue memejamkan mata gue agar gue lebih
tenang dan tidak memikirkan rasa sakit karena ukuran penisnya yang
benar-benar besar saat gue rasakan gesekkannya di perut gue. Nggak
lama kemudian bibir Lukas kembali gue rasakan, dan ciuman kami pun
berlangsung kembali.

Lumatan Lukas benar-benar menyenangkan, gue bahkan betah seperti


ini dengan posisi yang sama. Ciumannya memabukkan. Namun
sayangnya, Lukas menghentikan ciuman itu dan beralih untuk mengecup
kedua pipi gue, hidung, mata, kening hingga akhirnya turun untuk
kembali mencium bibir gue sekilas. Setelahnya dia menurunkan
wajahnya dan dengan gerakan perlahan Lukas menciumi leher gue
sambil menghisapnya lumayan kuat.

"Akhhh...shhh." desah gue merasakan permainan bibirnya di leher gue.


Namun rasa nikmat yang Lukas berikan di sana hanya sebentar, karena
hisapannya di leher gue bertambah kuat, di tambah dengan giginya yang
gue rasakan mengigit kulit gue dan membuat gue tanpa sadar menarik
rambutnya kuat karena merasakan sakit akibat gigitan itu.

Lukas mengabaikan tarikan gue pada rambutnya dan melanjutkan


gigitannya di leher gue, bahkan gigitan itu nggak hanya di satu tempat.
Tapi di tempat lainnya juga, seperti puting gue dan berakhir di perut gue
yang benar-benar terasa sakit untuk gue rasakan.

"Sakitt Kashh." ujar gue akhirnya walaupun dengan suara aneh yang
baru kali ini gue denger secara sadar.

Seperti tersadar akan ucapan gue. Lukas langsung berhenti dengan


kegiatannya, lalu menatap gue dengan pandangan bersalah. Dia
mengelus perut gue dan mengecupnya lembut.

"Maafin gue, Nu. Gue udah kelewatan, bahkan gue lupa kalo lo lagi
berisi." ujarnya, lalu setelahnya dia bangkit dari atas tubuh gue dan
berdiri di samping ranjang. Dia membungkukkan badannya lalu
mengecup bibir gue sekilas.
"Gue bakal selesain ini di kamar mandi. Lo pake baju gih. Hari ini gue
ijinin lo ke tempat Nenek sebagai permintaan maaf gue." ujarnya yang di
akhiri dengan senyum hangat. Setelahnya dia berbalik dan berjalan ke
arah kamar mandi.

Sementara gue sendiri cuma mengangguk dan tentu saja sangat telat
karena sosoknya sudah nggak terlihat lagi saat pintu kamar mandi
tertutup rapat. Rasa kecewa perlahan menyergap lubuk hati gue begitu
merasakan sesuatu yang seharusnya di lakukan ternyata nggak jadi dan
malah di tinggal seperti ini. Rasanya gue pengen mewek dan marah ke
Lukas.

Tapi begitu gue inget perlakuannya barusan yang udah dengan lembut
meminta maaf dan kecupan lembut yang dia berikan membuat gue
nggak ada pilihan lain selain menghela napas menerima kenyataan kalo
hal yang gue inginkan nggak terjadi hari ini.

Gue pun bangkit dari tiduran gue dan menatap sekitar yang terlihat
berantakan, dengan handuk yang ada di lantai, begitu juga dengan seprai
yang berantakan di hiasi baju Lukas yang masih tertinggal di sana.
Setelahnya gue beranjak dari kasur dan mulai merapikan semua yang
terlihat berantakan di kamar ini.

Butuh waktu hampir 10 menit lamanya untuk gue merapikan ruangan ini.
Di sela-sela gue bersih-bersih pun gue bisa mendengar suara air dari
dalam kamar mandi. Tapi gue nggak terlalu memperdulikan itu, gue
beralih ke arah lemari untuk mengambil pakaian yang mana sudah
hampir satu jam terbuka lebar akibat insiden gue yang coli tadi.

Gue mengambil baju sembarang lalu mengenakannya cepat. Tidak lupa


dengan celana dalam sekaligus boxer. Melihat baju yang gue pakai, gue
pikir gue nggak perlu celana. Karena baju ini sudah menutupi bagian
bawah gue hingga sampai di bawah lutut.

Setelah selesai, gue mengalihkan pandangan ke arah kamar mandi dan


sama sekali nggak ada tanda-tanda kalo Lukas akan keluar dari sana
padahal gue berharap untuk menyapanya sebelum gue keluar apartemen
untuk menemui nenek. Tapi sepertinya waktu mandi bagi Lukas
sangatlah lama, jadi gue memutuskan untuk keluar kamar tanpa
menunggunya. Setelahnya gue pun keluar apartemen dan berjalan santai
menuju ke tempat nenek yang berada di lantai bawah.

Nggak perlu waktu yang lama. Karena saat ini gue udah sampai di depan
rumah nenek dan memencet bel rumahnya sambil memasang wajah
tersenyum ke arah kamera monitor. Setelahnya pintu pun terbuka dan
menampilkan sosok nenek yang sangat gue rindukan. Tanpa pikir
panjang gue langsung menghamburkan diri gue ke pelukan nenek dan
memeluknya erat.

"Aku kangen sama nenek." ujar gue begitu pelukan itu udah terlepas dan
gue di persilahkan masuk oleh nenek.
"Iya Nenek tau. Padahal deket tinggalnya, tapi susah banget buat ketemu.
Kamu baik-baik aja kan, Nu?" ujar Nenek sambil menyusul duduk di
sofa tepat di samping gue.

Gue mengangguk, "Baik kok, Nek. Nenek sendiri gimana? Devan juga
baik-baik ke nenek kan? Nggak macem-macem kan?" tanya gue pada
beliau.

Nenek terkekeh lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut


gue.

"Nggak apa kok. Dia anak yang baik walaupun nenek masih menyimpan
benci sama petinggi. Tapi bagaimanapun dia cuma menerima perintah,
jadi Nenek nggak bisa membencinya juga." ujarnya, gue mengangguk-
angguk paham.

"Loh, Nu. Ini lehermu kenapa? Kok merah-merah?" tanya nenek tiba-
tiba sambil menyentuh bagian leher gue yang habis di gigit Lukas tadi.

Gue bingung, dan mengambil hp gue untuk melihat apa yang nenek
maksud. Setelah paham, gue tersenyum ke nenek.
"Jangan khawatir, Nek. Inu nggak apa kok. Ini tadi habis di gigit sama
Lukas. Nggak tau deh kenapa, padahal Inu udah bilang sakit. Tapi masih
aja di gigit, jadi merah gini deh." ujar gue jujur, karena memang itu yang
terjadi tadi.

"Oh gitu. Kirain Nenek kenapa. Oh ya, gimana kondisi kandunganmu,


Nu?"

Gue menggelengkan kepala gue.

"Nggak tau, Nek. Inu belum check up, tapi kayaknya baik-baik aja kok.
Cuma yang masih bikin susah itu muntah-muntahnya doang." ujar gue.
Nenek menganggukkan kepalanya mengerti.

"Nenek boleh nyentuh perut kamu?" tanyanya.

"Boleh dong. Ini kan calon buyut Nenek." balas gue lalu tanpa ragu
membuka sebagian baju gue hingga terlihat pusar perut gue di hadapan
Nenek.

Nenek tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh perut


gue. Setelah berdiam untuk beberapa detik, tangan Nenek akhirnya
bergerak untuk mengelus perut gue lembut. Elusannya lama, apalagi
melihat ekspresi Nenek yang seperti mencari sesuatu dan gue langsung
paham.
"Kata dokter janinnya belum keliatan, Nek. Tapi udah di pastiin aku
beneran lagi hamil, kok." ujar gue sambil terkekeh. Namun nenek
mengabaikan ucapan gue dan masih dengan teliti mengelus perut gue,
bahkan kini gue sedikit merasakan sakit akibat elusannya itu. Gue ingin
menghentikan Nenek, namun suara seseorang lebih dulu menyampaikan
hal itu di banding gue.

"Hentikan, Nek. Kalo nggak, semua perjanjian bakal terbatalkan. Dan


kalian semua yang terlibat akan terkena sanksinya." ujar Devan yang
entah darimana datangnya dan berdiri di hadapan gue sambil menatap
nenek datar.

Sedangkan gue hanya mengerinyit bingung sambil memikirkan maksud


dari ucapannya.
•••

Suara bel membuat gue, Nenek, dan Devan terdiam sambil menatap satu
sama lain. Suasana jadi terasa canggung setelah Devan berucap kata
yang menurut gue sedikit rahasia(?) Gue nggak tau, gue awalnya pengen
nanyain dia, tapi karena bunyi bel itu membuat gue dan yang lainnya
mau nggak mau harus menghentikan ke-terdiaman ini dengan Nenek
yang beranjak lebih dulu dari duduknya.
Gue niatnya mau nanyain perihal tadi setelah kepergian nenek. Tapi
karena suara berisik yang tiba-tiba menyerang membuat gue urung untuk
mengungkapkan pertanyaan gue ke Devan. Apalagi saat sosok Lukas
muncul tiba-tiba dan langsung meraih tangan gue sekaligus menarik gue
agar berada di sampingnya sukses membuat gue bingung dan mengerut
bertanya kepadanya.

"Bukannya lo bilang gue boleh main ke rumah nenek ya, tapi kenapa
sekarang?" ujar gue.

Lukas menoleh, "Gue lupa kalo ada dia disini. Sekarang kita pulang."
balasnya. Lalu tanpa menunggu persetujuan dari gue dia menarik tangan
gue untuk mengikutinya keluar dari apartemen Nenek. Gue sempet
berontak dan nggak mau, tapi saat gue menoleh ke arah Devan yang
menyuruh gue untuk pergi membuat aksi berontak gue seketika langsung
diam karena nggak mengerti kenapa Devan malah mengusir gue dari
rumah nenek sementara nenek sendiri hanya diam sambil menatap
kepergian gue tanpa adanya ekspresi di wajahnya.

Setengah perjalanan menuju apartemen Lukas gue menghentikan paksa


langkah gue dan membuat Lukas mau nggak mau harus ikut berhenti
lalu berbalik untuk menatap gue.

"Ada apa?" tanyanya.


Gue nggak langsung jawab pertanyaannya. Gue malah mengamatinya
dari atas sampai bawah, dan gue baru sadar kalo ternyata rambut Lukas
masih basah dengan pakaian yang ia kenakan juga turut basah karena air
yang mungkin masih ada di tubuhnya. Gue pengen nanyain kenapa dia
bisa berpenampilan kayak gini, tapi sepertinya gue tau jawaban apa yang
bakal dia ucapkan ke gue.

Gue menaruh kedua tangan gue di dada sambil menatapnya dengan mata
yang gue sipitkan.

"Gue masih nggak mengerti kenapa lo bersikap begini. Tadi lo


ngebolehin gue buat main ke rumah nenek sebagai rasa bersalah lo. Tapi
barusan lo malah narik gue keluar dari sana dengan kondisi lo yang
kayak gini. Sebenarnya apa yang lo pikirin sih?" ujar gue serius.

Lukas menghela napasnya, lalu mengulurkan kedua tangannya untuk


memegang bahu gue dengan sedikit meremasnya. Tangan satunya
beralih dari bahu dan kini berada di kepala gue lalu mengacak-acak
rambut gue pelan.

"Seharusnya gue yang nanya begitu, Nu. Dari cara gue bersikap
harusnya lo paham kenapa gue begini. Gue itu mempunyai perasaan
yang spesial buat elo, dan elo malah main ke rumah seseorang yang
nggak gue sukai. Menurut lo itu apa artinya?" ujarnya tenang.
"Cemburu?" balas gue. Dan Lukas langsung tersenyum simpul ke arah
gue di susul dengan kecupannya di dahi gue lumayan lama.

"Gue harap gue nggak ngeliat lo bareng dia lagi." ujarnya dan gue cuma
diem walaupun dalem hati gue seneng banget mendengarnya.

"Ayok pulang, kita ke tempat lain aja untuk gantiin rencana lo ke rumah
nenek lo. Ok?"

"Kita mau kemana?" tanya gue.

"Ke tempat yang lo suka. Dan yang pasti cuma kita berdua aja."
balasnya.

"Seriusan?" tanya gue yang sudah memikirkan tempat-tempat yang ingin


gue kunjungi hari ini. Perasaan bingung, kesel, dan seperti orang bego
tadi entah hilang kemana dan di gantikan dengan perasaan berbunga-
bunga yang saat ini tengah gue rasakan.

Gue memasang senyum sumringah sambil menunggu kepastian dari


Lukas atas tawarannya.

"Iya, gue serius. Makanya ayo kita pulang, kita ganti baju yang rapian
dikit. Habis itu kita langsung berangkat. Anggap aja ini kencan pertama
kita yang nggak pernah kita lakuin sejauh ini." ujarnya, lalu setelahnya
meraih tangan gue dan menggenggamnya erat.

"Yuk." ajaknya, sambil menarik tangan gue untuk mengikutinya pulang


kerumah. Dan kali ini gue nurut tanpa adanya perasaan terpaksa seperti
sebelumnya. Gue malah merasakan bahagia karena kata-katanya tadi.

Kencan.... Ini pertama kalinya gue mendengar kata itu selama gue hidup.
Gue udah membayang-bayangkan tentang kencan sewaktu gue sadar
kalo gue memiliki ketertarikan pada pria, gue selalu penasaran apa itu
rasanya. Dan sekarang semua bayangan itu akan menjadi nyata dengan
adanya Lukas saat ini, gue pikir dia adalah sosok yang sempurna untuk
gue miliki. Tapi gue tetep meragu, walaupun dia sudah berjanji untuk
menikahi gue. Itu nggak menutup kemungkinan bagaimana kedepannya
nanti. Apalagi sejak awal dia bilang memiliki trauma terhadap cowok
omega dan nggak pernah menceritakan kenapa dia bisa trauma seperti
itu.

Tapi yasudah lah, sekarang yang penting gue menikmati waktu-waktu


saat ini sebelum akhirnya gue menerima sesuatu yang mengejutkan dan
sulit untuk gue berbahagia, gue nggak berharap, tapi gue selalu bersiaga
jikalau itu benar-benar terjadi nantinya.

•••
Gue pikir saat dia bilang berdua aja, kita beneran bakal berdua. Namun
nyatanya enggak!

Saat gue dan Lukas sampe di apartemen, sosok cewek yang gue lupa
namanya itu menyapa dari kejauhan. Dia dengan girang menghampiri
gue dan Lukas dengan pakaiannya yang tentu saja sangat modis dan
stylish. Setelah itu seperti biasa, dia banyak ngomong dan bertanya
banyak selama perjalanan menuju pintu apartemen. Gue awalnya nggak
berniat buat menjawab setiap pertanyaan yang dia lontarkan, tapi saat
dia bertanya gue mau kemana mengenakan baju yang rapi, tanpa sengaja
gue keceplosan bilang kalo gue sama Lukas bakal kencan.

Dan bukannya merasa bersalah karena udah menganggu, dia malah


girang dan ngerengek minta ikut kita. Lukas udah ngelarang dan bilang
enggak dengan mutlak. Tapi itu nggak memutuskan usahanya untuk
tetap mengikutsertakan dirinya dalam kencan pertama gue. Dia bahkan
beralih ngerengek ke gue. Dan karena gue nggak betah di gelantungin
sambil di minta-mintain kayak gitu, akhirnya dengan sangat terpaksa
gue mengiyakan keinginannya dengan syarat nggak berisik dan nggak
gangguin ketenangan gue.

Dia setuju dan langsung teriak-teriak kayak orang hilang akal. Habis itu
dia mengambil ponselnya untuk menelpon seseorang agar ikut
dengannya ke acara kencan gue. Dan itu sukses membuat gue melongo
menatapnya.

"Masa gue jadi obat nyamuk kalian. Gue juga bawa Alpha gue lah. Biar
kita jadi double date." ujarnya yang mengetahui maksud dari tatapan gue.

Dan disinilah kita sekarang. Gue, Lukas, adeknya sekaligus Alphanya


berada di taman bermain yang selama ini gue inginkan. Karena
pertemuan ini, gue akhirnya tau kalo ternyata si cewek strong itu adalah
Alpha dari adik Lukas yang namanya adalah Luna. Katanya mereka
udah terikat atau apalah itu gue nggak ngerti, yang jelas saat ini gue
seneng saat menginjakkan kaki ke dalam taman bermain ini.

Saking senangnya, gue bahkan menatap norak setiap wahana yang


memenuhi pandangan gue setiap langkahnya. Gue selalu bertanya ini
dan itu pada Lukas, syukurlah dia nggak terganggu dan malah terlihat
menyukai setiap pertanyaan yang gue lontarkan padanya. Gue juga
bersyukur karena Luna dan pasangannya meminta pisah agar kencan gue
dan Lukas nggak terganggu, untung mereka mengerti, kalo enggak gue
nggak tau dah ini di sebut kencan atau enggak.

"Haus nggak?" tanya Lukas saat kita berhenti untuk melihat orang
bermain wahana komedi putar. Selama gue di taman bermain ini, gue
nggak menaiki wahana apapun. Gue emang pengen kesini, tapi bukan
untuk menikmati wahananya, melainkan suasana gembira yang orang-
orang sini keluarkan. Gue senang melihat wajah bahagia mereka, dan itu
cukup membuat hari ini menjadi hari terbaik gue.

Gue menganggukkan kepala gue untuk menjawab pertanyaan Lukas.

"Oke, gue beliin minuman dulu ya. Lo tunggu disini aja jangan kemana-
mana." ujarnya lalu pergi dari hadapan gue setelah sebelumnya
mengecup kening gue sekilas.

Gue tersenyum lalu kembali mengalihkan pandangan gue ke tempat


wahana itu yang menampilkan orang-orang yang tertawa gembira.
Melihatnya, membuat gue ikut tersenyum senang sebelum akhirnya gue
mendengar suara seseorang yang gue kenal betul siapa pemiliknya.

Gue berdiri di samping tenda, dan suara itu jelas sekali terdengar dari
dalam tenda tersebut. Mereka bisik-bisik tapi entah kenapa begitu jelas
terdengar di telinga gue mungkin karena suaranya nggak asing bagi gue.

"Kamu yakin kita ngelakuinnya disini? Ntar ada orang yang ngeliat
gimana?" ujar salah satu suara yang sangat gue kenal.

"Mereka nggak akan menganggu seseorang yang udah terikat dan


terangsang karena feromon jodohnya. Jadi walaupun kita ketahuan,
mereka pasti biasa aja." ujar yang satu lagi dan kali ini gue yakin kalo
mereka adalah seseorang yang bener-bener gue kenal.
Karena nggak mau membuang-buang waktu, gue memutuskan untuk
berbalik dan berjalan memutar mencari jalan masuk ke dalam tenda
tersebut, dan saat sudah ketemu, tanpa aba-aba gue langsung masuk ke
dalam tenda dan mendapatkan dua orang pria yang begitu gue kenal.

Mereka berdua adalah Galih dan Dirwan, yang saat ini tengah menoleh
ke arah gue dengan tatapan terkejut yang matanya terbuka lebar seperti
sedang melihat sesosok yang mengerikan di hadapan mereka.

"Inu!??" ucap mereka bersamaan sebelum akhirnya mengubah posisi


mereka yang tadinya berpelukan.

Sementara itu, gue sendiri juga sedang dalam kondisi terkejut. Yang
barusan gue liat tadi adalah sepasang sahabat gue yang sedang
melakukan hal intim di dalam tenda taman bermain.

Gue mungkin udah memperkirakan kalau mereka memiliki sesuatu yang


lebih dari sekedar sahabat. Tapi gue nggak pernah berpikiran mereka
melakukan hal ini di tempat seramai ini.

Apaan itu... Ngewek di tenda taman bermain.

Are you serious?


•••

"Gue bisa jelasin, Nu. Sini masuk dulu." ujar Dirwan sambil
mengayunkan tangannya bermaksud agar gue mendekat ke arahnya.

"Nggak mau! Otong kalian berdua masih keliatan begitu. Gue nggak
mau." balas gue sambil memandang ngeri ke arah benda bergelantungan
di kedua selangkangan mereka.

Seperti tersadar, Dirwan maupun Galih langsung kembali mengenakan


celananya lalu saling menyalahkan satu sama lain yang tentu saja di
menangi oleh Dirwan yang dengan cepat memukul bahu Galih kuat.

"Elo sih." desisnya yang masih bisa gue denger.

Setelah gue lihat nggak ada lagi hal yang membuat gue ragu untuk
mendekat. Akhirnya gue pun melangkahkan kaki gue ke arah mereka
yang nggak memakan waktu yang lama, karena saat ini gue udah
berhadapan dengan mereka berdua.
"Nggak ada otak! Kalian mau ngewek di tenda ini!? Untung gue yang
masuk. Kalo orang lain gimana?" ujar gue dan langsung menggeplak
kepala mereka pelan.

Galih diam sambil matanya menoleh ke Dirwan berharap bantuan


darinya.

"Gue udah berusaha buat nolak tadi, Nu. Tapi dia nih, yang ngerayu-
ngerayu gue dan bilang kalo nggak bakal ada yang ganggu. Kan gue
percaya aja. Jadi jangan salahin gue. Salahin Galih." ujar Dirwan yang
mendapat reaksi dari Galih yang menaikkan satu alisnya.

Melihat itu, Dirwan dengan cepat menyikut lengan Galih sambil


kepalanya di gerakkan ke arah gue. Gue paham, dan diam sambil
menunggu Galih untuk mengambil suaranya.

"Kok lu ada disini, Nu? Bukannya lu nggak boleh kemana-mana ya


sama Lukas?" ujarnya.

Gue yang mendengarnya tanpa sadar tersenyum karena teringat


perlakuan Lukas tadi sebelum menuju kesini. Dia benar-benar lembut
dan membuat gue terdiam dengan hati yang berbunga-bunga. Ya
walaupun dia cuma ngajak gue tempat ini, tapi seenggaknya dia udah
mau tanggung jawab atas apa yang udah dia lakukan sebelumnya.
"Iya. Lukas janji ngebawa gue kesini tadi." balas gue yang di angguki
Galih dan disusul pula dengan anggukan Dirwan.

"Terus Lukasnya mana?" tanya Dirwan sambil celingukan berusaha


mengintip ke belakang gue.

"Dia lagi beli minuman. Terus kalian sendiri ngapain disini? Nggak
mungkin kalian kesini cuma buat ngentot doang?" balas gue yang tentu
saja nggak lupa sama topik awal yang udah sempat di alihkan oleh Galih
tadi.

Mereka terlihat gugup dengan menatap satu sama lain ragu. Sementara
gue dengan sabar menunggu walaupun sebenarnya gue udah tau mereka
bakal jawab apa. Tapi nggak ada salahnya kan gue denger dari mulut
mereka sendiri? Sesama sahabat dari kecil tuh harus jujur, walaupun itu
masalah percintaan.

"Buruan elah. Ntar Lukas keburu dateng. Kalian mau ke gep yang kedua
kalinya?" ujar gue.

Dirwan menggeleng duluan.


"Oke kita jujur. Sebenarnya tujuan kesini itu buat kencan. Gue sama
Galih adalah pasangan, Nu. Dan kita juga udah terikat." ucap Dirwan.

"Maaf kalo gue belum ngasih tau ke elo tentang ini. Gue masih ragu
nanti elo nggak mau sahabatan lagi sama kita, karena kita itu sama-sama
cowok. Apalagi kita udah kenal lama. Pasti rasanya jijikin banget."
lanjutnya yang membuat gue sedikit terkekeh dalam hati mendengar
alasannya yang jauh dari ekspetasi gue.

Galih pun juga terlihat nggak percaya dengan apa yang Dirwan katakan.
Dia menatap lama sosok Dirwan dengan ekspresi seperti mengucapkan
'are you serious?' di wajahnya.

Gue maju selangkah ke hadapan Dirwan, dan detik berikutnya gue


langsung menjitak kepalanya keras.

"Bego! Lo pikir gue sama Lukas apaan? Cewek sama cewek? Ato banci
sama banci? Ngapain juga lo takut sama gue karena kalian udah
pasangan? Alasannya nggak jelas lagi. Takut persahabatan hancur.
Apaan tuh. Nih dengerin yaa, yang namanya sahabat tuh pasti bakal
menerima sahabatnya apa adanya. Apalagi kita kenal dari kecil yang
jelas tau gimana jelek bagusnya elo. Nggak mungkinlah gue merasa jijik.
Lo pikir orientasi gue apaan? Normal? Hadehhh." ujar gue langsung
sebelum Dirwan mengeluarkan suaranya.
"Tau tuh, padahal udah gua bilangin kalo Inu itu G-A-Y. Jadi nggak ada
masalah kalo kita berdua jujur. Tapi tetep aja dia takut. Mungkin emang
dasarnya sifat omega begitu kali ya?" ujar Galih sambil menepuk bahu
gue beberapa kali.

"Tapi apapun itu, gua salut sama ucapan lu barusan, Nu. Lu emang
terbaik. Gua jadi merasa bersalah udah buntutin lu selama ini. Apalagi
dengan alasan ne--ughk." Galih langsung menghentikan ucapannya
begitu sikutan dari Dirwan mengenai perutnya.

Gue ingin bertanya apa kelanjutannya, tapi keduluan dengan Dirwan


yang memeluk gue tiba-tiba.

"Makasih ya, Nu. Lo emang sahabat terbaik yang gue punya. Gue nggak
tau sampe kapan gue bakal nyembunyiin hubungan gue sama Galih ini
kalo aja lo nggak mergokin kita tadi." ujarnya yang masih sambil
memeluk gue.

Gue balas memeluknya sambil terkekeh pelan.

"Iya sama-sama. Tapi sebenarnya sih gue udah punya firasat kalo kalian
juga belok kayak gue." ucap gue.

Dirwan melepaskan pelukannya lalu menatap gue bertanya. "Sejak


kapan?"
Gue berniat mau menjawab pertanyaan itu, namun suara Lukas yang
manggil-manggil nama gue membuat gue sadar kalo pasti dia nyariin
gue di tempat tadi pas gue lagi liatin orang main komedi putar. Tanpa
pikir panjang, gue pun langsung berbalik dan meninggalkan mereka
berdua di sana dengan langkah cepat untuk menuju tempat Lukas.

Saat gue sampai, Lukas dengan dua gelas di tangannya terlihat


tersenyum begitu melihat sosok gue yang hadir tepat sebelum dia
memutuskan untuk mencari gue ke tempat lain.

"Dari mana?" tanyanya. Gue memajukan langkah gue mendekat ke


arahnya, dan sebelum menjawab gue mengambil satu gelas di tangannya
lalu menyeruput sebentar isi dari gelas tersebut baru setelahnya gue
menatap Lukas di susul dengan kedua sudut bibir gue yang
mengembang.

"Gue tadi habis mergokin seseorang." balas gue akhirnya sambil


mengingat momen saat kedua sahabat gue hampir melakukan hal mesum
di dalam tenda tepat di samping gue ini. Apalagi saat gue inget bentuk
kenti mereka berdua yang lagi over power. Gue bergidik ngeri
mengingatnya.

Lukas menaikkan satu alisnya, "Oh ya? Siapa?"


Gue menggelengkan kepala gue memilih untuk berbohong agar aib
sahabat gue nggak sampe ke telinga Lukas.

"Gue nggak tau, pas gue mau liat mereka langsung kabur. Nggak sempet
liat siapa yang mesum tadi." ujar gue.

"Lo mergokin orang mesum?" tanyanya. Gue mengangguk.

"Iya, gue tadi denger suara aneh gitu disini. Eh ternyata suara orang
mesum di tenda ini." jawab gue. Kali ini Lukas yang mengangguk
mengerti, setelahnya dia ikut meminum minuman yang terdapat di
dalam gelas tersebut dan meninggalkan kesan hening sambil mata gue
maupun Lukas fokus ke depan menatap anak-anak yang senang bermain
komedi putar yang masih berlangsung sedari tadi.

Keheningan berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya bunyi seruputan


terakhir dari gelas gue terdengar membuat Lukas menoleh dan
tersenyum tipis melihatnya. Dan nggak lama kemudian, dia
menyerahkan gelas minumnya ke arah gue. Tapi udah jelas, gue
langsung menolak gelas itu. Karena, walaupun gue udah pernah
merasakan air liur Lukas, tetep aja gue masih merasa jijik kalo minuman
itu bekas dirinya.

"Mau main salah satu wahana?" tawar Lukas setelah penolakan gue
terhadap minumannya.
Gue menggeleng pelan. "Enggak ah, gue emang nggak pernah naik
wahana apapun. Tapi gue cuma penasaran buat liat secara langsung
doang. Bukan penasaran pengen naik. Tapi kalo lo maksa, yaudah deh.
Yuk!" ujar gue.

Lukas terkekeh mendengarnya, setelahnya dia meraih tangan gue dengan


tangan satunya yang bebas lalu menggenggamnya lumayan erat
menyatukan jari gue dengan jarinya yang tentu saja lebih besar di
bandingkan gue.

"Yuk." ajaknya sambil tersenyum hangat, dan kemudian dalam sekali


hentakan lembut, dia menarik tangan gue untuk mengikutinya ke tempat
wahana yang belum gue pikirkan mau naik yang mana.

Mata gue terus melihat wahana-wahana untuk mencari salah satu yang
menarik perhatian gue yang membuat gue ingin menaikinya. Dan saat
gue melihat bianglala di depan gue, gue langsung paham dan
memberitahu Lukas kalo gue mau naik bianglala itu. Dia bertanya
kenapa gue pengen naik itu, dan gue jawab karena gue pengen ngeliat
pemandangan dari atas sana. Selain itu, gue juga penasaran gimana
perasaan sebenarnya orang-orang di tv saat adegan romantis di dalam
kandang bianglala itu.

Apakah mendebarkan, atau malah membosankan.


"Oke, gue beliin camilan dulu kalo gitu buat kita makan di sana. Kita
bakal naik itu selama yang lo mau. Jadi lo tunggu disini ya. Jangan
mergokin orang mesum lagi. Ok?" ujarnya, dan gue terkikik geli
mendengarnya walau pada akhirnya gue mengangguk mengiyakan.

Lukas berlalu dan kini sosoknya sudah menghilang entah kemana, yang
jelas saat dia masuk kerumunan sosoknya udah nggak keliatan lagi. Gue
juga males ngeliatinnya, mending gue liat yang lebih menyenangkan
daripada memperhatikan kemana Lukas pergi. Padahal gue masih
penasaran sama dua sahabat gue, tapi kalo gue nggak nyamperin Lukas
tadi, dia pasti bakal marah dan acara menyenangkan ini bakal berakhir
dengan cepat.

Tadinya gue pengen mengajak Dirwan sama Galih buat bareng gue, biar
mereka nggak ada pikiran buat melakukan hal itu lagi disini. Tapi
yasudahlah, udah kejadian. Dan gue nggak bisa nyariin mereka lagi
sekarang, jadi ya, sepertinya gue emang harus diem disini sampe Lukas
dateng.

Namun saat gue berusaha anteng, tiba-tiba belakang gue merasakan


sebuah tabrakan yang lumayan keras. Gue langsung berbalik untuk
mengetahui apa yang terjadi, apalagi saat mendengar kata maaf yang
begitu lembut di telinga gue.

"Maaf-maaf, aku tadi ke dorong sama kerumunan." ujarnya sambil


berusaha membungkuk dengan perutnya yang besar dan bulat.
Saat gue liat mukanya gue pikir dia cewek karena cantik banget. Tapi
ketika gue inget-inget suaranya barusan, gua yakin dia cowok. Apalagi
dengan jakun yang jelas terlihat di lehernya membuat gue yakin kalo dia
emang beneran cowok.

"I-iya nggak apa. Lo sendiri nggak kan habis ke dorong?" tanya gue
balik ketika melihat beberapa keringat yang muncul di dahinya,
sepertinya dia kecapekan.

Menyadari hal itu, gue pun dengan inisiatif membawanya ke kursi


panjang yang nggak jauh dari jarak gue. Setelah sampai gue pun
mendudukkannya di sana di susul dengan gue yang mengambil tempat
di sampingnya.

"Terima kasih ya. Mengandung itu emang melelahkan. Padahal tadi


niatnya mau seneng-seneng. Eh malah di tinggal gegara di larang untuk
orang hamil naik wahana." ujarnya sambil menyapu keringat di dahinya.

Gue yang mendengar kata mengandung seketika langsung membesarkan


mata gue dan menatapnya bergantian dengan perutnya yang besar.

"L-lo lagi hamil?" tanya gue sedikit ragu.


Dia menoleh lalu tersenyum lembut dan terlihat begitu indah di mata gue.
Gue bahkan sempet berpikir kalo Tuhan saat menciptakannya dalam
keadaan mood yang baik, makanya bisa menciptakan makhluk yang
seindah dia saat ini. Gue bener-bener speechless. Wajahnya bener-bener
idaman untuk gue miliki, impian gue saat gue lagi burik dulu. Tapi yang
lebih parah, dia lagi hamil.

What?

Iya hamil cok. Gue tau gue juga lagi hamil. Tapi gue nggak ngebayangin
kalo nanti perut gue bakal segede itu. Gue pikir bakal kerempeng-
kerempeng aja. Gue jadi takut melihatnya, dan gue nggak suka jadi
gendut. Gue emang kuat makan, tapi gue nggak gampang gemuk juga.

"Iya aku lagi hamil. Dan di perkirakan bakal lahir bulan depan." ujarnya
yang masih dengan senyuman indahnya.

"Bulan depan?" tanya gue. Dan dia mengangguk lagi.

"Lo nggak takut brojol di jalan? Udah tau bunting usia tua gitu, masih
main di tempat ginian. Lo gila?" ujar gue yang entah kenapa malah
terkesan marah-marah. Padahal gue bermaksud agar membuatnya sadar
kalo disini itu berbahaya bagi dia yang lagi hamil tua. Apalagi prediksi
bulan depan. Tapi kalo Tuhan berkehendak buat hari ini juga lahirnya
kan berabe. Kasian dianya.
"Iya aku tau. Tapi aku kan pengen. Mungkin si bayi lagi mau jalan-jalan
juga sebelum keluar. Makanya aku kesini." ujarnya.

"Terus lo dateng kesini sendiri?" tanya gue.

"Enggak, aku sama 3 temen ku. Dan mereka lagi asik main ninggalin
aku sendirian."

"Kok gitu? Terus suami lo mana? Nggak ikut?" tanya gue.

Gila aja lagi itu temennya. Masa iya lagi bunting gede gini di tinggalin?
Bahaya tau, untung dia tadi nabrak gue. Coba orang jahat? Gimana
jadinya coba. Heran gue.

Raut wajahnya tiba-tiba murung dan menundukkan kepalanya lesu. Gue


yang melihat itu merasa salah bicara dengannya, dan gue panik.

"Eehhh... Gue ada salah ngomong ya?" tanya gue hati-hati.

"Aku nggak punya suami." balasnya lesu. Dan gue tentu aja kaget dong.
Gue dengan lebaynya termundur sambil menatapnya nggak percaya.
Tapi itu berlangsung sebentar aja, karena gue mendekat lagi ke arahnya.
"Terus kalo lo nggak punya suami, itu anaknya siapa!?" tanya gue.

Dia mendongak sebentar lalu kembali tersenyum hangat berusaha


menyembunyikan kesedihannya yang sempat terlihat tadi.

"Fandi!" suara seseorang terdengar dari kejauhan. Gue maupun cowok


itu menoleh, dan cowok itu melambaikan tangannya menyahut.

Oh, jadi namanya Fandi.

"Aku duluan ya. Temen ku udah manggil. Sekali lagi terima kasih ya
udah mau perduli sama aku." ujarnya lalu berusaha bangkit dari
duduknya, gue tanpa di suruh langsung sigap untuk membantunya
berdiri.

Dia kembali tersenyum manis lalu setelahnya berjalan menjauh untuk


menuju temannya yang memanggil tadi. Hingga akhirnya sosoknya
menghilang gue pun menggumam atas apa yang temannya itu lakukan.
Harusnya kan mereka yang nyamperin. Bukan cowok itu. Temen apa itu,
ih kayak taik.

"Siapa dia?" suara Lukas yang tiba-tiba muncul di belakang gue.


Gue bergidik kaget dan langsung menaboknya kuat.

"Ngapain sih lo muncul tiba-tiba kayak gitu!? Bikin kaget aja." gerutu
gue, sambil memperhatikan dirinya yang sudah siap dengan berbagai
camilan di tangannya, dan itu nggak sedikit. Tapi banyak banget.

"Lo mau naik bianglala, ato mau nonton bioskop durasi 4 jam dah?"
tanya gue sambil menatapnya.

Dia terkekeh, lalu menggoyang-goyangkan camilan itu.

"Biar lo puas nanti." ujarnya.

Gue menggelengkan kepala gue mendengarnya. Bodoh amatlah, orang


kaya mah bebas.

"Yaudah ayok buruan. Lama banget sih belinya." ujar gue lalu
mendahuluinya untuk menuju bianglala yang nggak jauh dari sini.
Namun gue segera menghentikan langkah gue begitu menyadari kalo
Lukas belum berjalan dari tempatnya.

"Woy, ayok!" teriak gue.


"Bantuin gue bawa ini, gue susah jalan." balasnya. Dan sukses ngebuat
gue menepuk jidat.

"Tinggalin aja. Bawa beberapa aja yang menurut lo cukup!"

"Serius?"

"Iya!" teriak gue mulai kesal.

Lukas yang menyadari itu pun segera meletakkan berbagai camilan


tersebut di atas kursi dan mengambil beberapa saja yang muat di
tangannya, setelahnya dia beranjak dari sana dan berjalan mendekat ke
arah gue.

"Yuk!" ajaknya setelah sampai di samping gue.

Tanpa membalas, gue melanjutkan jalan gue menunju bianglala tersebut


walaupun pikiran gue masih kepikiran tentang cowok itu yang bernama
Fandi.

Entahlah, tapi gue punya firasat kalo gue bakalan ketemu dia lagi di lain
waktu. Gue harap itu hal yang baik nantinya.
Ya, semoga saja.

•••

"Nak!" panggil seseorang.

Gue mengerinyit mendengar suara itu. Suaranya terdengar sangat keras,


tapi saat gue melihat sekeliling nggak ada siapapun orang yang terlihat
mengeluarkan suara itu. Ya, mungkin bukan gue yang di panggil, karena
saat ini gue berada di tengah keramaian sambil menunggu Lukas yang
katanya ada perlu. Di samping gue bahkan ada dua orang lainnya yang
sama-sama lagi duduk dan bersantai. Tapi entah kenapa suara itu
sepertinya cuma gue aja yang denger.

"Wisnu." suara itu lagi, dan kini di barengi dengan tepukan pelan di
bahu gue. Gue kaget, dan dengan cepat menoleh untuk mengetahui siapa
yang sudah memanggil dan mengejutkan gue seperti ini.
"S-siapa ya?" tanya gue begitu melihat wanita dewasa yang berkulit
sangat putih cerah dan wajah yang sangat cantik. Sekilas gue pikir dia
artis. Tapi melihat pakaiannya yang biasa saja, putih-putih. Membuat
gue mengurungkan pemikiran gue tersebut.

"Wisnu, ini Ibu, Nak. Ibu yang sudah melahirkan kamu." ujar wanita itu.

Gue yang mendengarnya sedikit membesarkan kedua mata gue. Tentu


saja gue nggak langsung percaya, apalagi ini adalah hal yang tiba-tiba.
Masa iya di tempat seramai ini ada yang ngaku jadi emak gue? Cantik
pula. Kan gue burik, dulunya.

"Eehh... Maaf, mungkin Anda salah orang. Kedua orang tua saya sudah
meninggal." ucap gue yang teringat akan ucapan petinggi.

Setelahnya gue berdiri dan melihat sekitar untuk mencari sosok Lukas.
Namun gue tetep nggak melihat dia dimanapun. Sialan, tuh anak kemana
sih, ninggalin gue kayak gini. Dia pikir enak apa nunggu tanpa kepastian
gini? Malah ada orang ngaku-ngaku lagi. Kan kzl.

Gue yang berniat untuk beranjak dari sana langsung urung begitu tarikan
yang kuat dari belakang gue membuat gue mundur dan akhirnya kembali
duduk dengan sang wanita yang kini berada di hadapan gue. Gue takut.
Gue diem sambil melotot menatap itu cewek berharap kalo dia mengira
gue jelek dan nggak pantas untuk di jual atau di makan nanti.

Namun reaksi gue terima darinya jauh dari ekspektasi gue. Dia malah
menatap gue sendu dengan mata yang berkaca-kaca, beberapa detik
kemudian tangannya pun mengusak rambut gue pelan.

"Kamu bener-bener udah gede ya, Nu. Ibu seneng akhirnya bisa ketemu
kamu walaupun Ibu nggak pernah tau perkembangan kamu. Ibu benar-
benar minta maaf karena udah menyebabkan semua ini terjadi,
membuatmu terlahir dengan darah manusia yang murni sehingga para
petinggi mengincarmu dan ingin menjadikanmu mata-matanya." ujar
wanita itu dengan air mata yang mulai mengalir dari satu matanya yang
sebelah kiri.

Gue diem sambil mulai sedikit demi sedikit menerima kenyataan kalo
dia memang benar emak gue, mendengar dari ceritanya yang mana hal
itu nggak pernah gue ceritain ke siapapun sesuai apa yang Nenek minta.

"Ibu minta maaf nak karena sudah membuat tumbuh besar bersama
nenekmu. Tapi Ibu juga nggak bisa membiarkan hal ini selalu terjadi dan
niat yang sebenarnya terus berlanjut." tambahnya yang kini tangannya
sudah berpindah mengelus pipi gue.

"Ibu pikir Nenekmu benar-benar berniat untuk melindungimu dari


incaran para petinggi. Tapi itu semua salah. Dia hanya berencana untuk
menaklukkan dunia ini, Nak. Nenekmu tidaklah sebaik yang kamu kira.
Dia adalah musuhmu yang sebenarnya. Maafkan Ibu yang sudah sempat
percaya akan kata-katanya yang membuat Ibu harus menyerahkan mu
padanya dan menyerahkan diri pada sang petinggi untuk mengganti
dirimu disana."

"Awalnya para petinggi itu sudah pasrah. Dan merasa impas dengan
kedua nyawa kami. Ibu dan juga Ayahmu. Tapi Nenekmu malah
berontak dan mengancam para petinggi sehingga membuat mereka
kembali murka dan bersih keras mencarimu sebelum kamu memasuki
umur tujuh belas. Karena ancaman Nenekmu yang berkata kalau dirinya
akan menjadi yang terkuat saat kamu sudah berumur tujuh belas tahun."

"Tapi syukurlah, Nenekmu di tangkap lebih dulu sebelum kamu berumur


tujuh belas tahun waktu itu. Sehingga semua ancamannya kini sudah
tidak bermakna apa-apa. Sampai akhirnya kamu datang bersama pemuda
itu dan berjanji akan membuatmu menjadi kaum kami sepenuhnya. Itu
memang pilihan yang benar sehingga sang petinggi membiarkan mu
bebas begitu juga Nenekmu karena mereka berpikir kalau Nenekmu
sudah tidak ada harapan lagi untuk menjadi yang terkuat begitu dirimu
sudah berdarah seperti kami. Tapi sepertinya sang petinggi membuat
kekeliruan begitu juga dengan pemuda yang sudah membuatmu
mengandung itu."

Mendengar ucapannya, seketika gue memegang perut gue dan


mengusapnya pelan. Gue nggak bisa ngomong dan gue nggak tau
kenapa. Sepertinya saat ini gue hanya di peruntukan mendengar semua
ucapannya.

"Anak yang kamu kandung saat ini akan terlahir sebagai manusia yang
sempurna. Seutuhnya. Entah bagaimana bisa, tapi itu sangatlah
mengancam, Nak. Nenekmu sudah tau akan hal ini, makanya dia
menyuruh kedua sahabatmu untuk memantaumu agar kamu maupun
Lukas tidak sadar akan jabang bayi yang kamu kandung. Nenekmu
sangat berekspetasi besar dan rencana yang dulu gagal kini bangkit
kembali dengan adanya kandungan itu. Dan para petinggi pastinya akan
segera tau, karena pengawas yang tinggal bersama nenekmu pun juga
tau. Tapi saat ini dia sedang di segel dari apartemen itu menggunakan
kekuatan sihir Nenekmu yang masih tersisa."

"Ibu tidak akan menyuruhmu mengguguri kandungan itu. Ibu hanya


berpesan agar kamu segera sadar dan pergi sejauh mungkin dari
Nenekmu. Pergilah ke alam manusia. Kamu bisa bertahan di sana karena
dirimu masih memiliki darah manusia begitu juga kandunganmu. Selain
itu, disana juga adalah tempat tinggal Ayahmu walaupun saat ini dirinya
sudah tiada seperti Ibu."

"Berkunjung lah ketempat Reza. Dia akan menuntunmu sesuai seperti


apa yang dia lakukan pada Ayahmu. Ibu sudah tidak memiliki banyak
waktu. Hanya itu yang bisa Ibu sampaikan demi keselamatanmu dan
juga kandunganmu, Nak. Ibu harap itu bisa membantu. Dan sekali lagi,
Ibu minta maaf karena sudah bertahun-tahun tidak pernah ada di sisimu
seperti ibu-ibu yang lain lakukan."
Ucap wanita itu dan diakhiri dengan mengecup kening gue lama.
Kecupan itu terasa begitu hangat dan menggetarkan jiwa gue, kecupan
ini bahkan sangat berbeda dengan yang Lukas lakukan beberapa waktu
kemarin. Ini lebih kerasa, dan perasaan kangen yang sangat besar
membuncah hingga tanpa sadar air mata mulai mengalir di kedua pipi
gue. Dan kini gue percaya kalo dia memang seutuhnya Ibu gue. Gue
menangis kencang dan langsung memeluknya erat.

"Ibu sayang kamu Wisnu. Ibu harap kamu nggak melupakan satu fakta
itu. Berjuanglah, Nak." ucapnya yang kini terdengar sangat lembut di
telinga gue dan itu membuat gue tambah pecah seiring dengan kecupan
yang di berikan beliau di puncak kepala gue.

Gue mempererat pelukan gue kepadanya dan berharap kalau semua yang
di katakannya itu tidak benar. Gue sangat berharap kalo ini benar-benar
nyata, seorang Ibu yang gue idam-idamkan kehadirannya kini muncul di
hadapan gue dan gue akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya
memeluk ibu kandung sendiri.

Namun sepertinya harapan itu memang hanya sebuah harapan. Karena


saat gue membuka mata semuanya hilang. Suasana yang tadi gue
rasakan kini berubah 180 derajat. Tempat bahkan cahaya terang yang
sempat gue rasakan kini berubah menjadi tempat tidur yang sudah
beberapa kali gue tempati. Dan tentu saja ini membuat gue sadar kalau
semua yang gue alami tadi hanyalah mimpi.
Mimpi yang begitu nyata. Perasaan kangen yang membuncah. Perasaan
sakit dan sedih yang gue rasakan begitu terasa nyata bahkan saat gue
memeluk sosok Ibu tadi. Gue bener-bener seperti memeluknya walaupun
dalam fakta bahwa itu hanyalah mimpi belaka.

Gue menyentuh pipi gue begitu merasakan air yang mengalir dari sana.

"Gue nangis?" ujar gue pada diri sendiri.

Ya, mimpi itu benar-benar terasa nyata bahkan gue menitikan air mata di
dunia nyata hanya karena mengalami mimpi itu. Dan gue masih ingat
betul bentuk wajah dari sosok Ibu yang muncul dalam mimpi gue itu,
tentu saja dengan kalimat-kalimat yang dia ucapkan. Namun itu nggak
membuat gue mengiyakan kalau apa yang dia ucapkan benar. Gue hanya
tersentuh dengan kehadirannya di tambah dengan fakta kalo kedua orang
tua gue udah nggak ada, itu membuat gue kembali mengalirkan air mata
gue deras. Gue menangis dalam diam memikirkan bagaimana bisa gue
mengabaikan mereka berdua yang sudah jelas-jelas melahirkan gue dan
membuat gue merasakan nikmat dunia.

Gue emang anak bego yang bisa-bisanya nggak memikirkan perihal


orangtua gue. Apalagi gue nggak pernah melihat wajah mereka sedari
lahir. Dan itu membuat gue bertambah sakit mengingat semua kata maaf
yang Ibu lontarkan di dalam mimpi gue. Seharusnya gue yang minta
maaf bukan dia.
Suara bel apartemen membuat gue seketika sadar kalau saat ini gue
bukanlah di rumah gue yang dulu, gue nggak bisa nangis tersedu-sedu
seperti ini apalagi sampai di lihat Lukas. Oleh karena, itu dengan cepat
gue menghapus air mata yang tersisa dengan menghirup semua ingus
yang sempat ingin keluar tadi lalu berusaha mengatur diri gue agar
nggak sesenggukan.

Bunyi bel itu terus berbunyi sehingga membuat gue bertanya-tanya


apakah gue sendirian di apartemen ini sekarang? Lukas kemana?

Gue melirik ke meja nakas di samping gue berniat untuk melihat jam
saat ini. Namun saat gue melihat secarik kertas tergeletak di meja
tersebut gue lebih memilih untuk langsung mengambilnya daripada
meningok jam terlebih dulu.

Nu, Gue sekolah dulu ya. Lo di rumah aja. Gue sengaja nggak bangunin
lo tadi, lo tidurnya pules banget. Jangan lupa sarapan dan minum susu
bumilnya ya.

Begitulah isi pesan yang terdapat di kertas kecil itu. Dan reaksi gue
cuma tersenyum tipis lalu kembali meletakkannya. Setelah itu gue pun
berdiri dari kasur dan berjalan keluar kamar berniat membukakan pintu
apartemen untuk melihat siapa yang datang dan memencet bel itu
beberapa kali.
Dan saat gue sampai di depan monitor pintu. Gue menaikkan satu alis
gue begitu melihat cowok yang nggak asing bagi gue berdiri di depan
sana dengan setelah baju yang longgar dan perut yang buncit.

Melihatnya, membuat memutar otak untuk mengingat siapa nama cowok


tersebut dan kapan gue bertemu dengannya. Dan setelah gue inget, gue
pun membesarkan mata gue sambil memperhatikannya lewat monitor
yang masih menampilkan sosoknya.

Fandi. Itulah nama yang gue inget, tapi...

Ngapain dia kesini?

•••

"Emm...jadi..."
"Ada apa lo kesini?" ujar gue setelah capek buat menerka apa yang
membuatnya bisa dateng kesini dan gimana bisa dia tau apartemen
Lukas.

Dia-Fandi nggak langsung menjawab pertanyaan gue. Dia mengalihkan


pandangannya kesekitar untuk melihat apa saja yang ada di dalam
apartemen ini. Setelah itu matanya berhenti melihat-lihat setelah
pandangan kami bertemu.

"Kamu sangat manis. Aku selalu minder setiap kali berpapasan


denganmu. Pantas aja Lukas bisa melupakan masa-masa itu, ternyata
sudah ada yang lebih menarik yang singgah di hatinya." ujarnya yang
tentu saja ngebuat gue mengerinyit bingung menatapnya.

"Makasih. Tapi bukannya kita berpapasan baru dua kali ya? Di taman
bermain sama sekarang? Jadi nggak selalu dong. Terus maksud lo
dengan masa-masa itu dan Lukas apa?" tanya gue.

Lagi-lagi dia nggak langsung jawab. Dia menundukkan kepalanya


dengan dua tangan yang ia taruh di atas perut buncitnya lalu tangan
satunya bergerak untuk mengelus pelan bagian tengah perut itu. Melihat
dari besar perutnya, gue perkirakan itu udah berusia 6 bulan?
"Apa Lukas pernah cerita sesuatu tentang dirinya yang benci sama
cowok omega?" ujar Fandi dengan posisi yang sama tanpa melirik ke
arah gue.

Gue mengangguk, "Pernah, tapi gue nggak pernah tau kenapa


alasannya."

"Itu aku."

"Hah?"

"Yang ngebuat Lukas benci sama cowok omega itu karena aku. Aku
yang udah ngebuat dia jadi anti akan hal itu hingga akhirnya dia jadi
selalu bermain dengan beberapa omega wanita dan menjauhi segala jenis
omega pria." jelasnya yang kini sudah kembali mendongakkan
kepalanya dan menatap ke arah gue.

Sementara gue yang mendengar ucapannya barusan cuma bisa diam


dengan otak yang berusaha mencerna cepat apa yang dia katakan tadi.
Namun belum tuntas gue memahaminya, Fandi kembali bersuara dan
menghancurkan pemikiran gue akan maksud ucapannya.

"Aku memang bodoh. Aku membuang sosok Lukas yang begitu


menyayangi ku. Dia bahkan berniat menikahi ku beberapa bulan yang
lalu. Tapi aku malah dengan mudahnya memutuskan hubungan kita dan
memilih mengikuti ucapan Ayahku yang menjodohkan ku dengan Alpha
lain yang mana dia sudah beberapa kali menikah-cerai dengan banyak
Omega."

"Aku mencintai Lukas, bahkan aku rela melakukan heat pertama ku


dengannya tanpa menggunakan pengaman apapun. Waktu itu aku nggak
tau atas apa yang aku lakukan, yang aku pikirkan hanyalah melakukan
hubungan badan dengannya untuk yang pertama dan terakhir kalinya
sebelum akhirnya aku menikah dengan Alpha itu sebulan setelah aku
memutuskan untuk mengakhiri hubungan ku dengan Lukas."

"Tapi ternyata aku membuat kesalahan. Malam saat aku melakukan seks
bersama Lukas adalah awal kehancuran ku hingga semua ini terjadi. Aku
di tinggalkan oleh suami dari hasil perjodohan Ayahku setelah dia tau
kalau aku mengandung anak orang lain. Kami belum pernah
melakukannya sejak menikah, tapi setelah dua hari pernikahan dia
mendapati sedang hamil dia dia tau kalau itu bukan anaknya. Dia
langsung menceraikan ku saat itu juga, mencampakkan ku seakan-akan
aku bukanlah hal yang berarti baginya." jeda sebentar, air mata Fandi
sudah nggak terbendung lagi sampai akhirnya tangisnya pecah dan
ngebuat dia berhenti bercerita tentang dirinya.

Gue yang sedari tadi mendengar ceritanya ikut merasakan sakit


walaupun gue sendiri nggak pernah sekalipun mengalami hal seperti itu.
Gue juga ingin menangis saat mengetahui fakta yang mengejutkan kalau
yang ada di dalam kandungan Fandi ternyata adalah anaknya Lukas. Di
tambah lagi mereka dulu saling mencintai. Berbeda dengan gue yang
hanya terpaksa karena janji kepada para petinggi. Jelas dalam hal ini gue
nggak boleh jadi orang yang tersakiti, karena sudah pasti, gue akan jadi
salah satu penyebab terhambatnya hubungan mereka untuk bersatu
kembali.

Gue bangkit dari duduk gue dan berjalan ke arah Fandi dan duduk
disampingnya. Setelah itu gue memeluknya pelan sambil mengucapkan
kalo gue ngerti apa yang dia rasakan. Lalu gue pun melepaskan pelukan
gue sambil menatapnya yang juga menatap gue dengan mata yang masih
berair.

"Makasih ya. Kamu orang yang baik. Nggak salah Lukas memilih kamu.
Nggak kayak aku yang bisanya cuma nyakitin dia dan membuatnya
trauma." ujarnya dan langsung dapat gelengan kuat dari gue.

"Nggak kok. Lo nggak perlu khawatir. Dia mungkin beruntung punya


gue. Tapi gue enggak, gue malah gedek banget sama dia. Jadi, udah
jelaskan hubungan gue sama dia itu kayak apa?" ujar gue yang berusaha
membuatnya tenang dengan nggak nyebutin fakta kalau gue pun lagi
mengandung anak Lukas dan berencana untuk menikah juga.

"Cinta sepihak?" tanyanya sambil mengelap air matanya yang


membasahi pipinya.

Gue mengangguk, "Kayak gitulah. Jadi berhenti ngomong beruntung,


dan gue lebih sempurna dari lo. Lo belum tau aja sih gue dulunya kayak
gimana. Gue jelek, item, dekil. Dan temen-temen gue selalu ngatain gue
burik." ujar gue, dia terkekeh sebentar.

Fandi terdiam sebentar seperti memikirkan sesuatu dengan mata yang


menatap lurus ke arah meja kecil di depan kami. Gue ikut diem sambil
nunggu dia kembali berucap dan selesai berpikir.

"Kalau hubungan kalian cinta sepihak. Apa mungkin Lukas yang


mencintai kamu dan kamu enggak?" tanyanya.

Kini giliran gue yang diem dilema akan jawaban gue untuk menjawab
pertanyaannya. Sejujurnya, gue udah mulai sayang sama Lukas. Hari-
hari yang gue lalui sama Lukas udah terasa kenangannya, bahkan janin
yang belum terlihat pun udah bisa gue terima suka rela karena
perjuangan Lukas sendiri yang menginginkan gue untuk
mengandungnya. Tapi kalau dilihat dari segi Fandi. Dia lebih
membutuhkan sosok suami, kandungannya sudah besar. Dan yang lebih
penting, mereka masih saling mencintai, terlihat dari bagaimana Fandi
yang datang kesini dan juga Lukas yang nggak kunjung mengucapkan
kata cinta kepada gue.

Jadi sudah jelas kalau hubungan gue emang belum sejauh Fandi dan
Lukas lakukan. Lagipula gue yakin, di hati Lukas pun masih ada nama
Fandi di sana, apalagi saat dia tau nanti kalau Fandi mengandung
anaknya dan sudah jelas janin dan kandungannya. Berbeda sama gue
yang belum kelihatan apa-apa.
"Hm?" suara Fandi yang membuatku langsung tersadar dari lamunan
gue yang memikirkan berbagai kemungkinan yang terbaik untuk
kedepannya.

Gue memaksa bibir gue untuk tersenyum ke arahnya lalu mengangguk


dua kali setelahnya.

"Yap. Lukas lah yang mencintai gue. Dan gue di paksa sama dia buat
tinggal bareng disini dengan alasan kalo kita tinggal bareng bakalan ada
rasa suka gue ke dia nantinya. Padahal mah enggak, yang nanya gasuka
ya tetep gasuka." ujar gue yang langsung tepat mengena dan terasa sakit
di bagian dada gue saat mengucapkannya.

Gue nggak tau kenapa kebohongan ini terasa menyakitkan buat gue. Apa
mungkin karena memang gue udah merasa sayang kepada Lukas
sehingga merasakan hal ini? Atau mungkin gue udah mulai
mencintainya?

Nggak. Itu nggak boleh terjadi. Gue nggak boleh mencintai Lukas.
Seseorang yang berhak untuk mencintainya sudah datang. Ini udah
saatnya untuk gue pergi dan membuat mereka saling mencintai lagi. Ya,
seenggaknya gue bakal bebas nantinya dari jeratan Lukas yang selalu
menyuruh gue terus berada dalam apartemen.
"Hm..gitu ya. Kalo emang begitu, apa aku boleh minta sesuatu sama
kamu?" tanya Fandi.

"Sesuatu apa?"

"Ini mungkin terdengar nggak sopan. Tapi, bisa nggak kamu bantu aku
agar bisa kembali bersama Lukas? Aku tau dia pasti membenciku saat
ini. Tapi percaya lah, aku masih sangat mencintainya. Aku bahkan rela
mengandung anak ini sendirian tanpa bantuan dari siapapun termasuk
Ayahku. Saat itu kupikir aku akan mati-matian dan mengurusi anak ini
sendiri. Tapi saat aku melihat kamu bareng sama Lukas waktu di taman
bermain kemarin. Secercah harapan tumbuh dalam hidupku. Dan kupikir
inilah satu-satunya bantuan yang Tuhan berikan padaku, dengan
menunjukkan kembali sosok Lukas yang mana dia adalah calon dari
anak ini." akhirnya dengan tangan yang kembali mengelus perutnya.

Aku mengangguk mengerti. Walaupun hati gue terasa sangat sakit


mendengar Lukas adalah calon Ayah dari anak yang di kandungnya.

"Gue mau. Gue juga udah nggak tahan di kurung disini. Tapi, gimana
caranya?" tanya gue.

"Pergi dari apartemen ini." ucapnya cepat.


"Ah, maksud aku. Kamu mau bebas dari belenggunya Lukas kan? Kamu
bisa saja melakukannya dengan pergi dari apartemen ini tanpa
sepengetahuan Lukas." lanjutnya.

"Terus Lukas gimana?" tanya gue.

"Biar aku yang urus. Kamu tinggal pergi aja dari sini. Gimana?"

Gue diem belum mau menjawab tawarannya itu. Cara yang dia ucapin
emang cara yang terbaik sih. Tapi seenggaknya gue pengen ngucapin
kata-kata terakhir gue sama Lukas sebelum akhirnya gue menghilang
dalam hidupnya. Ini mungkin akan menjadi yang terburuk dalam hidup
gue saat mengambil keputusan. Tapi apa boleh buat? Gue sama sekali
nggak berhak untuk mengklaim Lukas milik gue sementara orang di
samping ini tanpa di klaim pun sudah jelas kalau Lukas miliknya.

Jadi disini gue hanya sebagai benalu yang menumpang saja dan menjadi
bagian penghambat hubungan mereka. Jadi ya, gue akan melakukan apa
yang di tawarkan oleh Fandi, walaupun sebenarnya hati gue menolak
dan ingin meneriaki cowok itu untuk pergi dari apartemen ini sekarang.

"Oke, gue setuju. Gue bakal pergi dari sini mulai besok." ujar gue
berakting semangat agar nggak terlihat kalau gue mengucapkannya
begitu berat dan sangat menyakitkan.
Fandi langsung memeluk gue begitu gue mengucapkan kalimat itu.
Setelahnya beberapa ucapan terima kasih pun gue dengar. Gue
menerima rasa terima kasihnya dengan senyuman walaupun faktanya
saat ini gue menangis dalam hati merutuki diri gue sendiri yang malah
mencintai Lukas, seorang lelaki yang sudah memiliki pasangan dan
bahkan hampir memiliki anak.

•••

Setelah semalaman nggak tidur. Akhirnya gue bisa memutuskan yang


terbaik untuk gue lakukan hari ini. Ya, gue harus pergi dari sini dan
meninggalkan Lukas agar dia bisa bersama Fandi nantinya.

Gue udah memikirkan ini baik-baik. Bahkan gue udah bosan menangisi
nasib gue yang selalu bernasib jelek. Selalu mendapatkan rasa sakit dan
belum pernah merasakan kebahagiaan yang sudah lama gue impikan.
Gue sendiri udah merencanakan akan mengakui perasaan gue setelah
bayi yang gue kandung lahir atau seenggaknya saat gue dan Lukas
menikah.

Tapi sepertinya takdir berkata lain. Tuhan belum menginginkan gue


untuk bahagia sehingga memunculkan sosok Fandi dan mengacaukan
semuanya. Gue nggak menyalahkan Fandi, dia juga dalam posisi orang
yang tersakiti. Dia korban kekejaman Ayahnya yang egois sementara
dirinya sangat mencintai sosok Lukas bahkan dia rela untuk melakukan
hal intim dengan Lukas di usianya yang sangat muda. Jadi udah
seharusnya gue nggak menyalahkan dirinya dalam kasus ini. Semua ini
salah gue.

Dari awal gue nggak seharusnya melibatkan Lukas dengan musibah


yang menimpa gue saat itu. Perasaan ini nggak muncul kalo gue nggak
melibatkannya waktu itu. Bahkan kalo gue nggak deket dengannya,
janin di perut gue pun nggak akan pernah ada. Dan itu akan lebih mudah
bagi gue untuk angkat kaki dari apartemen ini.

Gue memikirkan tentang diri gue kedepannya yang juga mengandung


anak dari Lukas. Bagaimana gue bisa bertahan nantinya. Apa gue bisa
merawat kehamilan ini sendiri sementara saat ini gue masih mencurigai
sosok Nenek akibat mimpi yang datang malam itu.

Tapi setelah bayangan Fandi yang muncul di otak gue dengan perutnya
yang besar, membuat gue sadar. Kalo bahkan janin yang gue kandung
nggak sebanding dengan dirinya yang sudah jelas bayi yang di
kandungnya. Dan sudah pasti Lukas akan memilih dirinya saat tau kalau
Fandi mengandung anaknya. Dari sisi Lukas yang gue liat, sepertinya
dia sangat ingin segera memiliki seorang anak. Dan itu sangat cocok
bagi Fandi yang beberapa bulan lagi akan melahirkan. Sementara gue,
janin pun belum kelihatan. Jelas sudah siapa yang akan Lukas pilih
nantinya.
"Ini udah jam tujuh lewat Lukas. Kapan lo berangkat sekolahnya?" ujar
gue begitu mata gue nggak sengaja melihat jam dinding.

Lukas yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya hanya


menggelengkan kepalanya pelan yang mana itu sangat kuat terasa karena
saat ini dirinya duduk di samping gue dengan kepala yang ia sandarkan
di bahu kiri gue.

"Rasanya gue nggak mau sekolah hari ini, Nu." ucapnya dengan nada
lesu.

"Loh, kenapa?"

"Gue juga nggak tau. Tapi gue punya firasat kalo bakal terjadi hal buruk
hari ini kalo gue pergi ke sekolah. Di tambah sama mimpi gue
semalem." ujarnya lalu mengalungkan kedua tangannya untuk memeluk
gue.

Gue menaikkan satu alis gue, "Emang lo mimpi apa semalem?"

"Gue mimpi lo ninggalin gue untuk selamanya. Lo...lo mengalami


kecelakaan dan meninggal di tempat. Gue takut, Nu. Mimpi itu bener-
bener bikin gue parno hari ini, apalagi mimpinya kerasa begitu nyata."
jelasnya dengan tangan yang mempererat pelukannya.
Gue yang mendengarnya tentu saja terdiam. Ucapannya begitu mengena
di hati gue. Yang dia katakan adalah hal yang sama dengan apa yang
akan gue lakukan setelah dia berangkat ke sekolah. Gue nggak ngerti
ikatan macam apa ini sehingga Lukas sendiri bisa merasakan firasat
yang begitu tepat. Tapi apapun itu, keputusan gue sudah bulat. Gue
harus pergi, dan ini adalah pilihan yang terbaik sesuai dengan pesan Ibu
yang datang dalam mimpi gue. Nggak ada yang mendukung gue di
dunia ini, dan ya, gue harus pergi dari dunia ini dan beralih ke dunia
Ayah gue. Yaitu ras manusia.

Biarpun itu menyakitkan meninggalkan orang yang udah mulai gue


sayangi. Gue akan tetap melakukannya demi kebaikan semua orang.
Termasuk Fandi dan bayi di dalam perutnya. Jadi gue harus tegas dan
nggak boleh mengubah keputusan gue sedikitpun kali ini.

Gue menghela napas gue dan menyentuh lengan Lukas yang masih setia
memeluk gue erat. Gue mengelus lengannya lembut sambil dengan
kepala yang gue sandarkan di atas kepalanya.

"Ya, gue juga nggak mau lo masuk sekolah hari ini. Gue tiba-tiba
merasa kalo hari yang kita lalui masih terlalu singkat." ujar gue yang
mengatakan fakta kalau memang waktu yang gue habiskan bersamanya
tidaklah lama.
"Benerkan. Jadi, gue nggak bakal sekolah hari ini dan membuat waktu
kita menjadi lebih lama untuk bersama. Gimana?" balas Lukas.

Gue mengangkat kepala gue dan melepaskan pelukan Lukas dengan


perlahan. Setelah terlepas gue pun menggelengkan kepala gue pelan.

"Nggak, Kas. Lo harus tetep sekolah. Gue juga kalo lo bolehin sekolah
gue bakal sekolah. Lo tau kan kecintaan gue terhadap mengejar cita-cita?
Jadi gue nggak suka ngeliat orang yang menyia-nyiakan waktu sekolah
dengan alasannya yang kurang berguna." ujar gue.

"Ngabisin waktu bersama elo itu alasannya yang nggak berguna?"


tanyanya, dan gue pun mengangguk sebagai jawaban.

"Tapi lo barusan bilang kalo lo nggak mau gue masuk sekolah hari ini
karena hari yang kita lalui masih terlalu singkat."

"Memang. Tapi itu cuma sebuah kata aja, gue nggak berniat buat nyuruh
lo bolos. Lo harus tetep masuk hari ini apapun yang terjadi. Dan soal
mimpi dan firasat lo, lo jangan khawatir. Karena gue bakal stay di rumah
sampe lo pulang nanti. Jadi lo harus sekolah. Ok?" ujar gue yang gue
akhiri dengan meremas pelan tangannya sambil tersenyum lembut yang
mana baru kali ini gue lakukan.
Lukas terdiam. Dia hanya menatap gue beberapa saat sampai akhirnya
tangan satunya terulur ke arah wajah gue dan mengusap mata kanan gue
sambil berkata.

"Mata lo berkaca-kaca. Apa ada sesuatu yang ngebuat lo sedih?" ujarnya.


Gue langsung menggeleng pelan.

"Nggak. Gue nggak lagi sedih. Gue abis nguap aja tadi, makanya mata
gue sedikit berair."

"Bener?" ragunya.

"Iya. Udah sana lo berangkat. Nanti telat lagi." balas gue berusaha
mengganti topik agar perasaan dalam hati gue nggak keluar dan tetap
berbohong padanya.

"Iya iya gue berangkat sekolah hari ini. Tapi lo beneran bakal stay di
rumah terus kan? Nggak keluar-keluar?" gue menganggukkan kepala
gue lagi sebagai jawaban. Dan setelahnya gue merasakan tangan Lukas
yang mengacak-acak rambut gue pelan.

"Bagus deh. Yaudah, kalo gitu gue berangkat dulu ya." ujarnya lalu
mengecup kening gue lama. Gue menutup mata gue untuk merasakan
kecupannya di kening gue untuk yang terakhir kalinya. Gue pasti bakal
merindukan hal ini, setiap kali dia ingin pergi pasti akan mengecup
kening gue. Dan mulai hari ini kecupan itu akan berakhir dan nggak
akan pernah gue rasakan lagi.

"Aku sayang kamu." ucap gue akhirnya.

Lukas langsung menghentikan kecupannya dan menatap gue dengan


pandangan nggak percaya mendengar ucapan gue barusan.

"L-lo ngomong apa barusan?" tanyanya. Gue tersenyum melihatnya.

"Aku sayang kamu, Lukas. Aku cinta sama kamu." ucap gue mengulangi
pernyataan gue.

Ya gue udah merencanakan hal ini untuk gue ucapkan padanya.


Seenggaknya sebelum gue pergi dari kehidupannya gue harus
menyatakan perasaan gue yang sebenarnya kepada Lukas, karena kalo
nggak gue mungkin bakal menyesalinya nanti. Jadi sebelum itu terjadi
lebih baik gue katakan saat ini, sehingga gue bisa pergi dengan hati yang
tenang karena udah mengungkapkan apa yang gue rasakan terhadapnya.

Lukas dengan sangat cepat menyerang gue dengan bibirnya yang


mencium gue dalam. Dia melumat bibir gue dengan lembut bibir dan
membuat gue mau nggak mau harus membalasnya karena gue juga
mengharapkan hal ini sebelum gue pergi dari sini. Gue ingin merasakan
bibirnya untuk yang terakhir kali. Dan sebenarnya gue juga ingin
merasakan otongnya untuk yang terakhir kalinya juga. Tapi gue rasa itu
nggak perlu, gue nggak punya banyak waktu hanya untuk memikirkan
otong Lukas yang besar itu. Ciuman ini cukup untuk gue bawa sebagai
kenangan terakhir darinya.

Lagipula gue akan memiliki sesuatu yang sangat berharga dan akan
selalu mengingatkan gue akan dirinya. Yaitu seorang anak yang akan
lahir dari rahim yang gue miliki saat ini. Jadi seenggaknya gue memiliki
apa yang ada dalam diri Lukas. Darah dagingnya.

Ciuman kami terlepas dan berakhir dengan kami yang menatap satu
sama lain. Nggak lama setelahnya kami pun saling melempar senyum
sebagai perasaan senang yang jujur saja hanya kepura-puraan gue agar
membuatnya merasa lebih baik dan nggak memikirkan tentang mimpi
maupun firasatnya itu.

"Aku juga cinta dan sayang sama kamu, Nu. G-gue nggak percaya lo
bakal menyatakannya lebih dulu. Gue pikir lo nggak bakal pernah
merasakan hal yang sama dengan apa yang gue rasakan. Makanya gue
nggak pernah menyatakannya selama ini. Dan saat gue denger, lo tau
betapa senangnya gue saat ini?" ujarnya.

Gue menggeleng, "Nggak, dan gue nggak mau tau."

"Hah, kenapa?"
"Karena ini udah siang Lukas. Liat udah mau jam 8. Kalo lo nggak pergi
sekarang, lo bakalan telat. Jadi lo sebaiknya pergi. SEKARANG."

"Tapi..."

"Nggak ada tapi-tapian. Lo mau gue tarik lagi kata-kata gue barusan?"
ujar gue. Dia langsung menggeleng kuat.

Setelahnya Lukas pun berdiri dari duduknya sambil menyelempangkan


tasnya ke punggungnya.

"Lo pinter banget ya ngerubah suasana. Tadi lo bikin suasana haru yang
bikin gue melayang, tapi detik berikutnya lo menghempaskan itu semua
dan ngancem bakal narik kata-kata lo barusan." ujarnya.

"Bacot." balas gue.

"Wisnu yang lama pun kembali." ujarnya dengan raut bete. Gue yang
melihatnya sedikit terhibur walau hati gue saat ini masih menahan sakit
menerima fakta kalau waktu gue untuk melihat sosok Lukas akan
berakhir sebentar lagi.
"Udah sana berangkat. Ngomong mulu. Ntar telat nyalahin gue lagi."

"Iya-iya gue berangkat. Tapi satu syarat dulu."

"Apaan?"

"Cium gue di.....sini." ucapnya sambil menunjuk otongnya


menggunakan jarinya. Gue yang melihat itu pun langsung menatapnya
datar.

"Pilih pergi sekarang atau gue tonjok tuh otong?" ucap gue. Dan Lukas
terkekeh.

Setelah itu dia dengan cepat mengecup gue di bibir lalu berbalik untuk
melangkah pergi ke arah pintu dan membukanya. Sebelum dia keluar,
Lukas menyempatkan dirinya menoleh kebelakang untuk memberikan
gue senyuman hangat dan setelah gue balas dia langsung menghilang di
balik pintu itu dan meninggalkan gue sendirian saat ini.

Menyadari hal itu, gue pun mulai mengeluarkan air mata gue yang sudah
gue tahan sedari tadi sambil meratapi nasib gue yang selalu nggak
berjalan sempurna. Setelahnya gue pun mulai bersiap-siap untuk pergi
dari apartemen ini untuk selamanya. Termasuk sosok Lukas yang udah
mengukir nama di hati gue.
•••

"Oh. Akhirnya sang anak berdarah manusia tau asal usulnya ya.
Hahaha." ujar Reza saat selesai mendengarkan cerita gue yang
mengatakan kalau dialah yang bisa membantu gue untuk pergi ke dunia
manusia.

Gue saat ini sedang berada di rumah sakit. Dan gue terkejut setelah gue
cerita tentang gue, Reza memberitahu gue tentang siapa dirinya yang
sebenarnya. Dia adalah pemilik rumah sakit ini, dan dia adalah sosok
yang menemukan Ayah gue saat nggak sengaja memasuki dunia
werewolf ini.

Dokter yang memeriksa gue waktu itu ternyata bukanlah Ayahnya,


melainkan anak buahnya. Dan umurnya sudah beratus-ratus tahun
lamanya, sekarang gue ragu untuk memanggilnya dengan nama atau
panggilan sopan seperti yang gue lakukan kepada orang yang lebih tua.

"Tapi gue masih nggak habis pikir sama Lukas. Gue pikir dia bakal
serius untuk menikah sama elo dan membuat elo sepenuhnya jadi salah
satu dari kami. Kayaknya hal itu nggak berjalan lancar ya?" ujarnya.
Dan gue menggelengkan kepala gue lesu menjawabnya.
"Ini bukan salah Lukas, Za. Ini salah gue. Kalo gue nggak melibatkan
dia dari awal mungkin semua ini nggak bakal terjadi. Gue mungkin udah
dikurung di tempat para petinggi itu tanpa merasakan rasa sakit seperti
ini." ujar gue.

Reza menghela napasnya, "Ya, seharusnya dia memang nggak terlibat.


Tapi lo sendiri yang memilih dia, Nu. Gue yang udah dapat titipan dari
orang tua lo aja kalah sama dia. Gue udah berusaha sebisa mungkin
untuk menjadi pelindung lo dari Nenek lo waktu itu. Gue udah tau
semuanya, tapi gue butuh waktu yang tepat untuk menjelaskannya. Dan
yang lebih penting, diri lo sudah memilih Lukas, bukan gue. Itulah yang
membuat situasi menjadi rumit dan mengharuskan lo pergi dari dunia ini,
karena kalo enggak, para petinggi akan tau kalo lo belum menjadi salah
satu dari kita dan gue nggak tau apa yang bakal mereka lakukan nanti, di
tambah lagi dengan janin dalam diri elo yang memiliki 100 persen ras
manusia. Itu bisa berbahaya." ujarnya panjang.

"Gue paham semua itu dan gue juga udah memikirkannya. Makanya
alasan gue kesini adalah meminta bantuan lo untuk membawa gue ke
dunia asal Ayah gue. Takdir gue mungkin bukan disini." ujar gue.

"Gimana lo bisa tau kalo gue bisa ngebantu lo?"

"Ibu gue. Dia yang bilang dalam mimpi. Gue awalnya ragu. Tapi
mendengar semua penjelasan lo tadi, sekarang gue yakin kali dunia
semacam itu memang ada. Jadi gue mohon sama elo untuk ngebantu gue
kali ini."

"Gue emang bisa ngebantu elo, Nu. Tapi itu nggak semulus yang lo kira.
Ada konsekuensi yang harus lo terima nantinya kalo lo beneran mau
pindah dunia."

"Emang apa konsekuensinya, Za?" tanya gue.

Reza terlihat ragu menatap gue, namun akhirnya dia menghembuskan


napasnya pelan.

"Lo bakal kehilangan semua memori lo tentang dunia ini. Lo bahkan


bakal lupa sama diri lo sendiri. Intinya, semua ingatan lo bakal hilang
termasuk Lukas dan orang-orang tersayang lo. Janin yang lo kandung
pun bakal lo lupakan nanti walaupun dia bakal masih tetap ada disana
dan terus berkembang." ujarnya, yang cukup membuat gue terdiam
beberapa saat memikirkan konsekuensi itu.

Namun pendirian gue udah kuat. Keputusan gue sudah bulat, dan inilah
satu-satunya cara yang bisa gue lakukan saat ini. Masalah ingatan
biarlah itu menghilang, selama semuanya berjalan lancar. Gue nggak
masalah, asalkan bayi yang gue kandung nggak mengalami hal-hal yang
berbahaya. Karena apapun itu, gue nggak mau kehilangannya. Lagipula,
gue punya keluarga di dunia manusia kan.
"Ibu gue bilang kalo gue punya keluarga di dunia itu kan?" tanya gue.
Dan Reza langsung mengangguk mengiyakan.

"Ya, lo punya. Dan keluarga itu memiliki satu orang anak yang di
anugerahi dengan kemampuan melahirkan seperti omega walaupun
dirinya laki-laki kayak lo. Tapi walau begitu, gimana cara lo bisa
nemuin mereka kalo lo sendiri aja ilang ingatan nantinya, Nu? Lo
bahkan nggak tau seperti dunia manusia itu." ujarnya.

"Well, gue bisa menulis surat di kertas untuk mengingatkan gue saat di
sana. Seenggaknya gue bakal nulis nama gue, anak yang gue kandung,
dan nama keluarga gue di sana." ujar gue yang entah sejak kapan pikiran
itu muncul.

"Gue nggak begitu yakin. Tapi sepertinya setiap benda yang lo bawa
dari dunia ini bakalan musnah seiring dengan diri elo yang berteleportasi
ke dunia manusia."

"Lo nggak begitu yakin kan? Yaudah kalo gitu kita coba. Siapa tau hal
yang gue pikirkan berguna dan bisa ngebuat gue pergi dari dunia ini."

"Sebegitu pengennya kah lo pergi dari dunia ini?" tanya Reza. Dan itu
langsung membuat gue lesu memikirkan segala sesuatu yang akan gue
tinggalkan nanti.
"Gue nggak punya pilihan lain, Za. Di dunia ini sudah nggak ada lagi
yang berguna untuk gue. Lukas milik Fandi, Nenek hanya mau
manfaatin gue. Buat apa lagi gue disini. Lagipula, seperti yang lo bilang.
Kalo gue disini lama-lama dan akhirnya ketahuan para petinggi kalo gue
belum jadi salah satu dari kalian. Lo maupun gue nggak bakalan tau kan
apa yang bakal terjadi. Jadi seenggaknya gue masih punya harapan di
dunia manusia itu walaupun gue juga nggak tau apa yang bakal terjadi."
jelas gue untuk meyakinkan Reza akan niat gue yang sudah bulat ini.

Reza menghembuskan napasnya berat. Dia berdiri dari duduknya dan


berjalan ke arah gue sebelum akhirnya dia memeluk gue erat.

"Maafin gue yang udah ngebiarin ini semua terjadi, Nu. Harusnya gue
lebih berusaha agar menjadi yang terpilih untuk menjaga lo. Karena
pada dasarnya gue lah yang mendapat nasihat dari kedua orang tua lo itu.
Tapi kalo yang lo inginkan adalah pergi dari sini dan siap menerima
konsekuensinya. Oke, gue bakal bantu lo. Tapi lo harus berjanji satu hal.
Lo harus bahagia disana nantinya. Lo harus menemukan keluarga
ataupun kerabat lo di sana dan hidup dengan nyaman. Janji?" ujar Reza
setelah pelukan itu di lepasnya.

Gue mengangguk dua kali untuk mengiyakan janji itu. Karena hanya
itulah yang harus gue lakukan saat gue sampai disana. Keluarga dan
bahagia. Gue harap gue bisa menemukan kebahagiaan gue di sana.
"Ok, kalo gitu gue bakal nyiapin semuanya. Dan lo, lo tulis semua
petunjuk tentang ingatan lo di kertas untuk lo bawa ke sana. Ok?"
ujarnya, dan gue mengangguk lagi untuk menjawabnya.

"Bagus." ucap Reza setelahnya dia pun pergi meninggalkan gue


sendirian di ruangannya dengan buku dan penah yang dia sediakan tadi.

Tanpa membuang waktu lagi, gue pun segera menulis semua petunjuk
yang gue butuhkan untuk mengingat apa yang harus gue lakukan saat
gue berhasil berteleportasi ke sana. Setelah itu, gue harus menulis surat
untuk Nenek sebagai tanda perpisahan. Ya walaupun nenek bermaksud
jahat ke gue. Tapi seenggaknya gue pernah merasakan kasih sayangnya
meskipun itu nggak tulus.

Dan ya, gue harap semuanya berjalan lancar. Gue harap gue akan
menemukan kebahagiaan gue di tempat lain walaupun kemungkinannya
kecil.

Tapi seenggaknya gue mencoba. Daripada harus menjadi sanderaan para


petinggi dengan nasib nggak jelas gue lebih baik menerima kalau
ingatan gue akan hilang. Dan tentu saja itu lebih baik.

Untuk Lukas, apapun itu. Gue pasti akan selalu berusaha mengingat lo
walaupun sepersen kemungkinan untuk itu. Maafin gue yang nggak
ngucapin kata perpisahan terlebih dahulu dan meninggalkan lo dengan
janji-janji palsu yang gue ucapin sama lo.
Gue....

Gue cinta sama elo. Lukas.

•••

[ AUTHOR POV ]

Suasana kelas yang tadinya ribut kini seketika menjadi hening begitu
melihat wanita paruh baya memasuki kelas mereka dengan ekspresi
penuh murka menghiasi wajahnya.

Mereka semua menahan nafas mereka saat wanita itu berjalan. Aura
Alpha yang keluar dari tubuhnya membuat mereka semua terdiam dan
hanya menatapnya dengan ketakutan. Berbeda dengan Lukas yang saat
ini masih sibuk dengan ponselnya menatapi layar yang terdapat foto
dirinya bersama Wisnu saat menaiki bianglala beberapa hari kemarin.
Di sana mereka terlihat sangat mesra, dengan Wisnu yang
menyandarkan kepalanya di bahu Lukas sementara tangan Lukas di
taruh di kepala Wisnu seakan dirinya sangat menyayangi sosok yang
bersandar padanya itu. Ya, itu bukan hanya seakan. Tapi dirinya
benarlah sangat menyayangi Wisnu yang saat ini tengah mengandung
anaknya yang akan lahir 9 bulan lagi.

"Tidak usah pura-pura seakan kamu sangat sayang sama Wisnu kamu
Alpha brengsek." ucap wanita paruh baya itu yang ternyata adalah sosok
Nenek dari Wisnu. Dia mengucapkan kalimat itu dengan penuh amarah
dan di sambut dengan tangan yang menampar wajah Lukas kencang.

Lukas kaget, bahkan ponselnya terlepas dari tangannya dan jatuh ke


lantai. Ia menoleh kesamping sambil berusaha menahan rasa marahnya
begitu dirinya tau kalau yang menamparnya adalah nenek dari orang
yang di sayanginya.

"Ada apa, Nek? Kenapa Nenek nampar aku?" tanya Lukas, ia sudah
berdiri dan kini ia harus menunduk sedikit untuk menatap wajah sang
Nenek.

Nenek berniat menampar wajah Lukas lagi, namun kali ini Lukas
dengan sigap menahan tangan Nenek itu, butuh tenaga yang lumayan
kuat untuk menahan tangan tersebut. Kekuatan sang Alpha dalam diri
nenek benar-benar kuat, pikir Lukas.
Karena tidak kunjung dapat menampar lagi, Nenek pun akhirnya
menarik tangannya dan memandang marah Lukas.

"Kamu Alpha bajingan! Beraninya kamu menghamili cucu saya setelah


tau kalau kamu juga sudah punya omega yang sudah mengandung
anakmu dan kandungannya sudah membesar!? Kamu brengsek! Sialan!"
marah Nenek, nada suaranya sudah meninggi saat mengucapkan kata-
kata tadi.

Semua murid yang melihat hanya tercengang dan tidak sedikit dari
mereka berujar kata 'waw' saat mengetahui fakta tentang Lukas saat
nenek membeberkannya. Tidak hanya itu, dua sahabat Wisnu yang
berada di ambang pintu kelas juga terdiam mengetahui fakta yang baru
mereka ketahui, hati mereka terasa sakit saat memikirkan perasaan
Wisnu sekarang. Pasti rasanya lebih menyakitkan di banding dengan
yang mereka rasakan.

"Maksud nenek apa? Omega lain yang juga ngandung anak aku? Siapa
dia?" tanya Lukas, dirinya benar-benar bingung saat ini.

Tanpa mau menjawab, sang Nenek hanya melemparkan selembar kertas


yang berisi surat dari Wisnu dan tepat mengenai wajah Lukas saat
melemparnya.

Lukas mengambil surat itu dengan cepat dan membacanya perlahan.


Untuk Nenek.

Nek, apa kabar? Ini Inu Nek. Maaf ya kalo Inu baru kabarin nenek
sekarang, lewat surat lagi. Hehehe.

Disini Inu cuma mau ngasih tau ke Nenek, kalo Inu nggak bakal bisa
lagi ngeliat Nenek untuk waktu yang lama, hmm, mungkin untuk
selamanya. Tapi nenek jangan khawatir, Inu bakal nulis nama Nenek
agar bisa Inu ingat saat Inu berhasil masuk ke dunia manusia.

Inu juga nggak ngerti apa bedanya dunia sekarang sama dunia manusia,
yang jelas kata Ibu Inu, Inu harus pergi ninggalin dunia ini secepat
mungkin. Karena para petinggi mungkin akan sadar kalo Inu belum jadi
bagian dari kalian. Inu gagal, Inu masih seutuhnya punya darah manusia,
dan itu nggak akan pernah berubah karena Alpha yang mau merubah Inu
ternyata sudah punya orang yang di sayangnya. Jadi Inu nggak bisa
maksa dia lagi buat jadiin Inu salah satu dari kalian.

Soal pesan yang Ibu bilang kalo Inu harus jauhin Nenek mungkin ada
benarnya. Tapi sejahat apapun rencana Nenek buat Inu, Inu bakal tetap
anggap Nenek sebagai Nenek Inu. Sosok paling Inu sayang karena sudah
rela menghabiskan waktu Nenek buat mengurus Inu sampai sebesar ini.
Terima kasih ya Nek.
Inu nggak tau lagi mau bilang apa saat ini, pikiran Inu juga lagi kacau.
Ini pun juga bimbang, tapi satu-satunya cara agar semuanya berjalan
baik adalah pergi. Jadi, Inu harus pergi Nek. Mungkin sampai sini dulu
surat dari Inu untuk yang terakhir kalinya. Inu harap Nenek berubah, dan
menghilangkan semua rencana Nenek yang mungkin akan membuat
Nenek dalam musibah. Yang lalu, biarlah berlalu, Nek. Jangan dendam,
itu nggak baik. Heheh.

Dan... jangan lupa lepasin tahanan Nenek di apartemen ya.

Inu pamit, dan Inu sayang Nenek. Kapanpun dan di manapun itu.

Jadi jangan khawatir ya, I Love you.

Wisnu.

"Nenek emang jahat. Tapi Nenek nggak pernah berniat untuk


membuatnya sampai memilih dunia manusia dan nggak tetap tinggal
disini. Seharusnya dari dulu tidak ada dendam. Dan semuanya mungkin
akan berjalan lancar. Nenek menyesal, sekarang nggak ada kesempatan
buat Nenek untuk minta maaf sama Wisnu. Dia.. dia udah pergi untuk
selamanya dari dunia ini, Nak." ucap Nenek yang sudah berlinang air
mata di wajahnya. Ia menunduk sambil terus menyesali perbuatannya
selama ini yang membuatnya menjadi ada jarak diantara dirinya dengan
Wisnu.
Sementara Lukas yang baru saja selesai membaca surat itu dengan kuat
meremas kertas tersebut dan membuangnya ke sembarang arah.
Wajahnya sudah datar, dan aura dingin yang menguap dari tubuhnya
membuat suasana menjadi lebih menakutkan.

"Ini nggak benar. Surat itu bohong. Wisnu nggak pergi. Wisnu gue
sekarang lagi di rumah nungguin gue untuk makan siang bersama. Dan
gue bakal pastiin itu." ucapnya datar dan penuh dengan penuh
penekanan. Walaupun begitu, hatinya sangat mencemaskan kebenaran
isi surat itu. Dan perasaan sakit pun begitu terasa jika sampai benar
kalau Wisnu kesayangannya pergi meninggalkannya.

"Minggir sialan." ujar Lukas, dan kerumunan yang menghalangi jalan


keluar pun segera menggeser posisi mereka untuk memberi jalan Lukas
yang saat ini di penuhi dengan berbagai perasaan. Marah, takut, sedih
bercampur jadi satu. Namun hebatnya, raut wajahnya hanya
mengeluarkan ekspresi datar apalagi saat dirinya berpapasan dengan
kedua sahabat Wisnu. Wajahnya tetap datar tanpa ada senyum
sedikitpun untuk menyapa dua orang itu.

Pikirannya saat ini hanyalah, pergi ke apartemennya sesegera mungkin


untuk memastikan kalau Wisnu masih berada di sana dan isi surat itu
hanyalah kebohongan hanya untuk mengecohnya agar membuatnya
mengeluarkan ekspresi menyedihkan sepertinya yang mungkin mereka
harapkan.
Dan sepertinya benar. Saat dirinya memasuki apartemen, bau masakan
langsung tercium dalam hidungnya. Di tambah dengan bunyi peralatan
yang berasal dari arah dapur membuat Lukas menghembuskan napasnya
lega. Perasaan campur aduk yang ia rasakan kini menghilang entah
kemana setelah mengetahui satu fakta kalau Wisnu masih di
apartemennya, dan tentu saja surat itu berisikan kebohongan. Lukas
bersyukur akan hal itu.

Tanpa menunggu lama lagi, ia segera berlari kecil ke arah ruang tamu
dan langsung memeluk sosok yang membelakanginya itu dengan erat. Ia
merasakan kehangatan tubuh yang ia rindukan itu dann menghirup
aromanya kuat. Namun dua hal yang menjanggal langsung membuat
kedua matanya terbuka lebar.

Pertama, aroma ini bukanlah aroma Wisnu yang sering dia rasakan.
Kedua, perut Wisnu tidaklah sebesar ini. Ditambah dengan suara orang
yang sangat berbeda dari suara Wisnu yang di kenalnya menyapa dirinya.

"Kamu udah pulang, Kas?" sapa suara itu yang menganggu gendang
telinganya.

Lukas segera melepas pelukannya dan mundur dua langkah dengan hati
yang berdetak lebih cepat memikirkan hal menakutkan kalau-kalau
ternyata dugaannya salah dan isi surat itu benar.
Sosok itu berbalik, dan tersenyum menatap Lukas yang membesarkan
matanya saat melihat dirinya.

"L-lo!?" ujar Lukas sambil menunjuk pria dengan perut besar yang tidak
lain adalah sosok Fandi.

"Hai, Kas." sapanya sambil tersenyum lebar. Dia maju dua langkah
mendekati Lukas lalu detik berikutnya dia berjinjit dan mengecup Lukas
tepat di bibir dengan cepat.

"I miss you, Lukas." ucapnya, lalu kembali mundur dan memasang
senyum lebar di wajahnya.

Lukas yang tadinya memasang wajah terkejut mengetahui keberadaan


Fandi yang tiba-tiba ada di apartemennya segera mengubah ekspresinya
menjadi datar dan menatap tajam sosok Fandi.

"Apa yang lo lakuin disini, jalang?" ucapnya dengan nada suara yang ia
tekan namun terkesan tertahan. Karena tiba-tiba saja amarahnya meluap
saat menerima kecupan singkat yang di lakukan oleh Fandi tadi.

Fandi sendiri yang menerima kata jalang dari mulut Lukas hanya tertawa
pelan sambil menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.
"Udah lama ya aku nggak dengar kata itu dari kamu. Sekarang aku
dengar lagi, deh. Tapi itu nggak masalah. Karena sekarang kita bakal
satu atap dan aku akan bikin kamu jatuh cinta lagi sama aku Lukas." ujar
Fandi.

"Apa yang lo bicarain, sialan. Wisnu mana? Kenapa malah lo yang ada
disini dan bukan dia?" tanya Lukas, yang tentu saja masih menahan
amarahnya. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengamuk dan
menghabisi sosok di depannya. Ia belum melihat Wisnu saat ini, dia
akan melakukannya setelah benar-benar memastikan kalau Wisnu masih
berada disini, di dunia ini.

"Hm, Wisnu?" ucap Fandi dengan kedua alis yang hampir menyatu.

"Oh...cowok bego yang tinggal sama lo itu? Hahah, dia udah pergi dari
sini. Untuk selamanya." ujarnya. Dan kini kata aku-kamu yang biasa dia
gunakan bersama Wisnu sudah di gantikan dengan cara bicaranya yang
seperti biasanya.

"Maksud lo apa bangsat. Dimana Wisnu gue sekarang!" ujar Lukas,


nada tinggi sudah keluar dari suaranya. Namun itu tidak membuat Fandi
takut, dia masih senyum mengolok dengan kedua tangan yang mengelus
perut besarnya.
"Omega yang lo cari itu udah pergi dari sisi elo untuk selamanya, Kas.
Dia dengan begonya memberi elo ke gue setelah gue bilang kalau gue
mengandung anak elo, bahkan nenek tua yang tadi kesini pun percaya.
Mereka bod---erghh"

Fandi tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, lehernya tercekik begitu


dengan sigap Lukas berjalan kearahnya dan mencengkeram lehernya
lumayan kuat.

"Jelasin yang bener dan jangan banyak menghina Wisnu gue." ancam
Lukas dengan mata tajam yang menatap langsung mata Fandi yang
sudah kemerahan menahan sakit dan sesak nafas yang ia rasakan.

Tidak mau melihat orang di depannya mati tanpa informasi yang jelas.
Lukas segera melepaskan cekikannya dan menghempaskan tubuh Fandi
hingga termundur beberapa langkah.

Fandi terbatuk beberapa kali sambil mengatur napasnya yang hampir


habis akibat cekikan itu. Setelah semuanya kembali normal, dia pun
membetulkan posisi berdirinya dengan tangan yang mengelus lehernya
yang masih terasa sakit akibat Lukas mencekiknya.

"Lo bisa ngebuat gue mati, setan." ujarnya.


Namun Lukas nggak perduli, dia hanya menatap datar sosok Fandi
dengan kedua tangan yang ia taruh di dadanya menunggu penjelasan
lebih lanjut dari Fandi.

"Oke gue minta maaf. Gue udah buat kesalahan dan ngebuat Wisnu
pergi dari apartemen ini. Gue bilang ke dia kalau gue lagi ngandung
anak lo Lukas. Dan dia bersimpati dan bersedia membantu gue dengan
cara pergi dari sini agar gue bisa dekat dengan lo untuk mengurus bayi
dalam kandungan gue ini." ujar Fandi, sambil menunjuk perutnya.

"Anak gue? Maksud lo apa? Gue bahkan nggak pernah nyentuh lo sama
sekali. Kita berdua baru sampai tahap ciuman sialan. Gue nggak pernah
tidur sama elo sampai akhirnya lo milih buat mutusin gue waktu itu. Lo
jangan berharap kalo gue bakal percaya kalo itu anak gue. Karena gue
inget semuanya, lo itu omega jalang yang murahan. Bahkan lo meniduri
bokap lo sendiri hanya demi nafsu lo itu." ujar Lukas. Sementara Fandi
membesarkan kedua matanya mendengar kalimat terakhir yang Lukas
ucapkan.

"Nggak perlu bingung gue tau darimana fakta itu. Yang jelas, itu bukan
anak gue. Bayi yang ada dalam kandungan itu nggak memiliki sedikit
pun darah daging gue. Anak gue satu-satunya saat ini berada di dalam
perut Wisnu. Cowok bego yang lo bodohi dan menyuruhnya pergi dari
sini." ujar Lukas lagi.
Fandi terdiam. Kali ini dia menyadari perbuatannya, ia sudah keterlaluan.
Dia membuat orang yang sedang mengandung pergi dari rumahnya
sendiri. Ia bahkan membodohi orang tersebut kalau dirinya sedang
mengandung anak dari pria yang mungkin dia sayangi. Sedangkan
dirinya melakukan hal ini hanya keegoisannya yang ingin memonopoli
sosok Lukas seperti dahulu dan memanfaatkannya.

Tapi tetap, tidak ada rasa bersalah sedikit pun dalam hatinya. Dia hanya
sedikit terkecoh mengetahui fakta kalau Wisnu tengah mengandung
anak Lukas. Seharusnya dia tidak peduli akan hal itu, dan tetap pada
pendiriannya. Yaitu membuat Lukas percaya akan kandungannya.

"Gue nggak perduli dia lagi mengandung anak lo atau nggak. Yang jelas
sekarang bayi yang ada dalam perut gue harus lo pertanggungjawabkan.
Lo ayahnya, Kas. Lo harus nikahin gue." ujar Fandi.

"Lo gila." balas Lukas. Setelahnya dia berbalik dan pergi ke arah
kamarnya untuk mencari petunjuk keberadaan Wisnu. Namun selama
apapun dia mencari di apartemen ini sosok Wisnu tidak akan pernah dia
temukan.

Lukas berteriak, dia mengacak-acak rambutnya karena sosok Wisnu tak


kunjung ia temukan. Bahkan petunjuk kemana perginya Wisnu pun tidak
ada dia temukan. Ini membuatnya frustasi. Apalagi saat dia mengingat
isi surat yang mengatakan kalau Wisnu akan pergi ke dunia manusia.
Pikirannya jadi kacau dan dia tidak tau harus berbuat apa selain marah-
marah dan melempari semua barang-barang yang ada di dekatnya.

Rasa kehilangan pun menghinggapi hatinya. Firasat dan mimpi yang ia


ceritakan kepada Wisnu tadi pagi pun terngiang di otaknya. Seharusnya
dia tetap kekeh berada di rumah dan mengawasi Wisnu selamanya.
Bukan malah pergi dan mengikuti perintah Wisnu agar dirinya bisa pergi
meninggalkannya ke dunia manusia.

Tanpa terasa air mata pun mengalir di kedua matanya. Lukas menangis.
Wajah Wisnu yang tersenyum tadi pagi sambil mengutarakan
perasaannya membuat Lukas sakit dan merasakan jantungnya seakan
tertusuk dan di remah oleh sosok tak kasat mata. Air matanya mengalir
begitu deras mengalir di kedua pipinya.

"Lo bilang lo sayang sama gue, Nu. Lo bilang cinta sama gue. Tapi
kenapa lo ninggalin gue dan malah percaya sama jalang nggak guna itu
tanpa nanya ke gue langsung!?" teriak Lukas yang saat berada di dalam
kamar. Ia memaki Wisnu yang sudah meninggalkannya sendirian. Ia
tidak tau harus berbuat apa selain menyesali dirinya yang lengah
meninggalkan Wisnu sendirian di rumah.

"Lo tega ninggalin gue sialan. Gue benci sama lo


Bangsat! Lo bawa kabur anak gue. Kenapa lo lakuin ini." racau Lukas
lagi dengan air mata yang mengalir bertambah deras. Siapapun yang
melihat Lukas saat ini pasti bisa merasakan betapa sakitnya perasaannya
sekarang.

Termasuk Fandi, dia turut menitikkan air matanya melihat sosok Lukas
seperti ini. Sejujurnya dia masih mencintai pria itu, makanya dia
melakukan semua ini. Dengan berpura-pura hamil dan membuat Wisnu
pergi meninggalkan Lukas seperti ini. Kini perasaan bersalah pun sudah
hinggap di hatinya. Ia dengan perlahan maju mendekati Lukas dengan
tangan yang juga perlahan membuka bajunya yang besar sambil berkata.

"Maafin gue, Kas. Gue udah berbohong sama kalian. Gue...gue nggak
hamil. Perut gue ini cuma.." dan saat bajunya terbuka semua. Tumpukan
kain pun berjatuhan ke bawah kakinya, dan menyisahkan perutnya yang
polos dan tidak besar seperti sebelumnya.

Melihat itu amarah Lukas kembali memuncak. Ia berdiri dari duduknya


dan dengan gerakan cepat ia menghampiri Fandi di susul dengan
tangannya yang memukul wajah Fandi kuat.

Fandi terhuyung, ia terjatuh dengan posisi terduduk di lantai. Sudut


bibirnya robek dan mengeluarkan sedikit darah di sana. Namun Lukas
belum, amarahnya benar-benar sedang tinggi jadi dengan begitu dia
kembali menghampiri Fandi dan kembali memberinya pukulan kuat di
bagian wajah yang sama.
"Lo brengsek. Lo omega terburuk yang pernah gue temuin. Lo nggak
pantas hidup bajingan. Lo pantasnya mati. Lo harusnya mati." ucap
Lukas dan kembali memukuli Fandi yang kini sudah babak belur akibat
pukulan bertubi yang Lukas berikan.

"Mati!" teriak Lukas seram dan berniat memberikan pukulan dengan


seluruh kekuatannya.

Namun hal itu tidak terjadi, saat tangannya di tahan oleh seseorang yang
dengan sigap menahan tangan Lukas yang hendak memukul Fandi
dengan kondisinya yang sudah hampir pingsan.

Lukas berontak, dia menolehkan wajahnya untuk melihat siapa orang


yang sudah menahan tangannya itu. Dan saat melihat bahwa orang itu
adalah Reza. Tangannya pun melemas, ia termundur dan terduduk
menghindari Fandi yang ada di depannya. Tangisannya kembali pecah,
dan tanpa di suruh pun, Reza segera memeluk tubuh Lukas untuk
menenangkannya.

"Sabar, Tuan Muda. Gue tau apa yang lo rasain saat ini. Gue juga pun
merasakannya. Tapi itu udah pilihan Wisnu sendiri, dia ingin bahagia,
walaupun caranya sangatlah susah untuk kita terima. Dan ini juga
kesalahan gue. Harusnya gue meneliti dulu sebelum membawanya pergi
ke dunia manusia. Dan sekarang gue menyesal, Tuan." ujar Reza dengan
tangan yang menepuk-nepuk bahu Lukas untuk menenangkannya.
Namun tentu saja perkataan Reza tidak membuat Lukas tenang. Dia
melepaskan pelukannya dan memandang Reza dan tatapan penuh kesal.
Tapi dengan berusaha Lukas menahannya, karena dia masih bertanya
tentang apa maksud dari ucapan Reza.

"Lo yang ngebawa Wisnu gue ke dunia manusia?" tanya Lukas. Reza
pun menganggukan kepalanya.

"Maafin gue, Tuan. Tapi hal itu emang sudah seharusnya. Ibu dari
Wisnu dan Ayahnya pun berpesan sama gue kalo dia harus
meninggalkan dunia ini. Neneknya adalah dalang dari semuanya.
Namun seharusnya hal itu nggak terjadi, karena Wisnu udah milih Tuan.
Dan tentu saja karena itu, para petinggi dan juga neneknya tidak bisa
mengusik lagi. Tapi setelah kedatangan dia, semuanya kacau. Dan
dengan sangat terpaksa gue harus melakukan pesan kedua orang tuanya
untuk membawanya ke dunia manusia." ujar Reza.

"Bangsat!" teriak Lukas dengan satu pukulan yang ia layangkan ke


wajah Reza.

Reza diam, dia tidak membalas pukulan itu, karena ia juga merasa
bersalah dan pantas mendapatkannya.

"Kenapa lo lakuin itu tanpa ngasih tau gue dulu, sialan!?"


"Itu maunya Wisnu, Tuan. Dia menyuruh gue untuk diam. Tapi gue
nggak bisa, gue tau lo bakal gila kayak gini. Makanya gue datang kesini
untuk memberitahu kemana Wisnu pergi. Dan siapa yang membuatnya
pergi." ujar Reza.

Kini gantian Lukas yang diam. Dia tau dia tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan Reza. Seperti katanya, kalau itu semua keinginan Wisnu
yang di ikuti dengan pesan dari kedua orang tuanya. Tapi kalau begitu,
bagaimana dengan nasibnya? Dirinya sudah terlanjur menyayangi sosok
Wisnu. Dan bahkan saat ini Wisnu sedang mengandung anaknya.
Bagaimana bisa Wisnu berpikiran dangkal seperti itu dan
meninggalkannya? Ini membuatnya sakit. Wisnu sangat handal dalam
menyakiti seseorang, dan sekarang ia tau bagaimana rasanya.

Tapi apapun itu, Lukas tidak akan tinggal diam. Dia akan tetap mengejar
Wisnu kemanapun dia pergi. Dia akan meraih Wisnu dan tidak akan
pernah melepasnya lagi. Lukas berjanji, sesusah apapun itu. Dia akan
berusaha sebisa mungkin agar dapat bersama dengan Wisnu dan hidup
dalam kebahagiaan.

"Kalo lo bisa ngebawa Wisnu ke dunia manusia. Apa lo juga bisa


membawa gue kesana?" ucap Lukas sambil menatap kosong lantai di
bawahnya.

Reza yang mendengar itu pun sedikit kaget. Dan raut keraguan pun
muncul di wajahnya.
"Gue nggak begitu yakin untuk itu, Tuan." ucap Reza.

"Kenapa lo nggak yakin!!" sahut Lukas tiba-tiba dan membuat Reza


termundur akibatnya.

"G-gue mau menyusul Wisnu, Za. Gue nggak mau sendirian di dunia ini.
Gue nggak mau kehilangan cinta gue untuk kedua kalinya. Gue nggak
mau kayak orang bego yang mengharapkan dia kembali tanpa usaha dari
gue sendiri. Dan sekarang adalah saatnya. Ini saatnya bagi gue untuk
berusaha untuk mengejar cinta gue kembali. Dan lebih dari itu, Wisnu
sedang mengandung anak gue. Ayah macam apa gue yang nggak ada di
sampingnya saat keluar nanti. Lo tega gue mengalami semua itu?" ujar
Lukas dengan raut wajah sedih.

Reza menggeleng pelan memahami perasaan Lukas.

"Gue mungkin bisa ngebantu lo, Tuan. Tapi gue nggak yakin." ucap
Reza sambil menundukkan kepalanya.

"Apa yang ngebuat lo nggak yakin?"


"Itu.....Tuan memiliki darah yang seratus persen mengandung darah
werewolf. Sedangkan Wisnu seratus persen berdarah manusia. Jadi gue
nggak tau efek apa yang akan terjadi sama Tuan saat tiba di dunia sana."

"Jika Wisnu aja yang berdarah manusia memiliki efek amnesia


selamanya. Bagaimana dengan Tuan yang berdarah werewolf? Itulah
yang ngebuat gue nggak yakin, Tuan." ujar Reza menjelaskan maksud
dari keraguannya.

"Wisnu kehilangan ingatannya? Kalau begitu dia nggak bakal inget gue
untuk selamanya?" tanya Lukas hatinya terasa sakit lagi mengetahui
fakta itu.

Reza mengangguk, tapi kemudian menggeleng.

"Tentang itu gue juga kurang yakin. Wisnu menuliskan nama di


kertasnya untuk dia bawa di dunia manusia agar dirinya bisa ingat. Tapi
sepengatahuan gue, benda apapun yang di bawa dari dunia ini tidak bisa
bertahan dan akan musnah. Jadi, gue kurang yakin akan hal itu. Apa
Wisnu tau tentang Tuan, atau enggak." ujar Reza. Dan Lukas pun
terdiam.

Namun tidak lama, karena setelahnya dia mengambil sebuah kertas dan
pulpen untuk menuliskan sebuah rencana yang akan dia lakukan. Dan
setelah selesai dia kembali pada Reza.
"Sekarang lo bawa gue ketempat lo ngebawa Wisnu pergi ke dunia
manusia. Gue juga bakal kesana. Gue menulis apa yang harus gue
lakukan saat sampai di sana." ucap Lukas.

"T-tapi..."

"Bantu gue atau lo mati disini dengan alasan lo udah memisahkan gue
dengan Wisnu?" ancam Lukas.

Mendengar itupun nggak ada pilihan lain untuk Reza selain membawa
Lukas ke tempatnya membantu Wisnu untuk berteleportasi tadi.
Sementara Lukas yang sudah mengetahui tempatnya hanya terdiam
sambil melihat tembok besar di hadapannya.

"Tempat ini adalah pertama kalinya gue ketemu sama Ayah Wisnu. Gue
yang waktu itu frustasi dengan urusan pekerjaan nggak menyadari kalau
di dalam tembok ini ada sebuah portal penghubung antara dunia manusia
dan juga dunia kita. Hanya sedikit orang yang tau. Dan sekarang lo udah
tau. Tapi karena belum ada yang mengetahui akibat dari seorang
werewolf yang berteleportasi kesana selain seseorang manusia. Jadi
tidak ada satupun werewolf yang mau mencobanya termasuk gue." jelas
Reza.

Lukas mengangguk-angguk mengerti.


"Dan sekarang, gue akan jadi werewolf pertama yang bakal
menggunakan portal ini?" tanya Lukas.

"Begitulah." balas Reza.

"Gimana cara kerjanya?"

"Kosongkan semua pikiran lo, dan tetapkan hati lo kalo lo benar-benar


mau masuk ke dalam dunia manusia. Jika berhasil melakukannya, maka
sebuah pintu akan muncul nanti. Setelahnya gue nggak tau apa yang
terjadi di balik pintu itu." jelas Reza.

"Ok" balas Lukas. Setelahnya dia menghirup napas dalam-dalam dan


menghembuskannya perlahan. Berusaha sebisa mungkin untuk
mengosongkan pikirannya, dan menetapkan hatinya agar dirinya bisa
masuk ke dalam dunia manusia untuk mencari Wisnu dan mengejar
cintanya kembali.

Beberapa menit terlewati. Dan cahaya silau pun keluar dari tengah-
tengah tembok tersebut, cahaya matahari yang terang pun langsung
meredup dan di gantikan cahaya yang keluar dari tembok itu dan
menyilaukan mata Reza mau Lukas untuk beberapa detik sampai
akhirnya sebuah pintu muncul di hadapan mereka berdua dan
suasananya pun kembali normal seperti sebelumnya.
Reza menoleh ke arah Lukas dan menatapnya ragu.

"Lo yakin, Tuan?" tanyanya.

Lukas menoleh dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Demi Wisnu." ucapnya. Setelahnya dia kembali menatap pintu itu dan
berjalan mendekatinya.

Saat sampai, Lukas memegang gagang pintu itu dan memutarkan hingga
menyebabkan pintu terbuka yang tidak menampilkan apapun selain
kondisi yang gelap gulita tanpa adanya penerangan.

Lukas menoleh kearah Reza, dan mengucapkan terima kasih dan


bersuara. Setelahnya dirinya masuk ke dalam sana dan pintu secara
otomatis tertutup dan menghilang dalam sekejap mata.

Dan sekarang tinggal Reza sendiri dengan pikirannya yang bercampur


aduk memikirkan nasib dua sejoli yang saat dalam keadaan yang tidak ia
ketahui bagaimana nasibnya. Tapi apapun itu, ia hanya bisa berdoa
kebaikan tentang mereka berdua.
"Semoga kalian di pertemukan dan hidup dalam kebahagiaan." ucap
Reza, lalu setelahnya dia berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan
perasaan yang sama.

Campur aduk.

TAMAT

Epilog.
[ AUTHOR POV ]

Sepasang suami-istri kini tengah menangisi seseorang yang saat ini


sedang dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Seseorang itu adalah
anaknya, seorang pria berusia 15 tahun dengan darah di sekujur
wajahnya. Beberapa menit yang lalu dia di kabarkan mengalami
kecelakaan parah dan mengakibatkan dirinya tidak sadarkan diri hingga
sekarang.

3 orang suster yang membawa pasien tersebut pun akhirnya berhenti


setelah mereka memasuki ruangan UGD dan salah satu dari mereka
berbalik untuk berhadapan dengan sepasang suami-istri itu, sedangkan
dua lainnya melanjutkan perjalanannya hingga akhirnya pintu itu
tertutup rapat.

"Maaf, Bu, Pak. Untuk anak Ibu dan Bapak bisa diserahkan kepada
Dokter. Bapak dan Ibu tidak boleh masuk selama kami melakukan
pemeriksaan." ujar suster itu, lalu segera berbalik kembali untuk
membuka pintu itu dan masuk ke dalamnya, meninggalkan sepasang
suami-istri tersebut dalam tangis yang terasa begitu menyakitkan.
Sementara itu, yang terjadi saat ini di dalam ruangan UGD sangatlah
sibuk, 6 orang yang menangani pasien pun juga tidak ada berhentinya
untuk terus bergerak dengan panduan suara dokter yang menyuruh
mereka untuk melakukan sesuatu agar pemeriksaan kali ini berhasil.

Dalam menit pertama mereka merasa bersyukur karena berpikir sang


pasien selamat dan bisa melanjutkan pengobatan untuk pasien itu.
Namun detik berikutnya raut wajah panik tergambar di seluruh. Monitor
yang menunjukkan denyut jantung sang pasien kini hanya menampilkan
garis lurus dengan suara bising yang keluar dari monitor tersebut.

Salah satu dari mereka dengan cepat melepas maskernya yang tidak dan
tidak bukan adalah sang dokter yang bertugas menangani pasien itu. Dia
dengan suara keras menyuruh suster untuk mengambilkannya alat kejut
jantung dan memasangnya dengan kekuatan tinggi yang alat itu punya.

Menggesek antara dua benda tersebut dengan cepat. Sang dokter segera
menaruh benda tersebut ke bagian tubuh pasien yang mana terletak
tempatnya sang jantung tersebut. Tubuh itu terguncang dan terangkat ke
atas namun akhirnya kembali jatuh ke posisinya semula.

Tidak ada perubahan, denyut jantung pasien masih tidak berdetak begitu
juga dengan monitor yang masih menampilkan garis lurus bersautan
dengan suara bising yang keluar dari monitor itu.
Sang Dokter tidak menyerah, dia kembali menggesekkan alat itu dan
kembali menempelkannya ke tubuh pasien. Hal yang sama pun terjadi,
begitu pula dengan kondisi pasien yang masih sama dengan kondisi
sebelumnya. Tidak bernyawa.

Sudah yang kelima kalinya Dokter tersebut menggunakan alat itu, dan
ya, kondisi sang pasien tidak ada perubahan apapun. Sang Dokter ingin
melakukannya lagi namun segera di hentikan begitu salah satu suster di
sana mendekat ke arahnya dan berkata kalau yang Dokter lakukan itu
sia-sia. Pasien sudah meninggal, dan kini mereka harus pasrah dan
mencabut semua alat bantu yang mereka gunakan untuk pasien.

Rasa bersalah dan sedih pun menghampiri sang dokter. Dia tau ini bukan
salahnya, tapi melihat orang meninggal dan dia gagal
menyelamatkannya adalah hal terberat baginya. Apalagi pasien yang ia
tangani saat ini adalah seorang remaja pria yang masih panjang
perjalanannya. Tapi sayangnya karena kecelakaan yang menimpanya
membuat remaja itu harus melupakan mimpi-mimpinya dan
meninggalkan dunia ini dengan perasaan duka yang sebentar lagi akan
menghinggapi hati orang-orang yang sayang padanya.

Dokter itu tidak tahan, dia berbalik dari pasien itu dan meninggalkannya
dengan beberapa suster yang mengurus sisa pekerjaannya. Ia sudah
pasrah, pasien yang di tanganinya kali ini gagal, dan dia sangat kecewa
akan hal itu.
Namun sebelum dokter itu menyentuh pintu keluar ruang UGD. Sebuah
keajaiban terjadi. Cahaya putih terang menembus pintu tersebut dan
melewatinya dengan perlahan. Cahaya itu sangat terang, dan
menyilaukan seluruh ruangan sehingga menyebabkan semua orang yang
ada di dalam sana menyipitkan matanya untuk mengetahui apa yang
terjadi, termasuk sang dokter. Ia dengan sulit memperhatikan kemana
tujuan cahaya itu pergi.

Tapi seperti sebuah kilatan petir, cahaya itu segera hilang begitu cahaya
tersebut dengan cepat menghantam tubuh pasien dan membuat tubuh
tersebut terguncang seiring dengan kembalinya pencahayaan ruangan
menjadi normal. Seluruh perawat yang ada langsung panik dan segera
mendekati pasien tersebut. Segala upaya mereka lakukan untuk
mengetahui apa yang terjadi sehingga membuat pasien ini kejang-kejang
dan tidak juga berhenti.

Sampai akhirnya tubuh itu duduk tegak dan membuat seluruh orang
yang ada di sana terdiam dengan raut wajah terkejut. Bagaimana tidak,
pasien pria itu tiba-tiba terduduk dan membuka matanya lebar sambil
menatapi mereka dengan bola mata yang membesar.

Peristiwa itu tidak berlangsung lama, karena setelah pasien itu


mengucapkan satu nama. Tubuhnya kembali terbaring dan terpejam di
susul dengan diagnosis kalau dirinya mengalami koma untuk jangka
waktu yang panjang.
Seluruh perawat dan dokter saling menatap satu sama setelah berhasil
menangani pasien itu. Mereka bingung harus berbuat kecuali berterima
kasih kepada Maha Kuasa karena telah memberikan mukjizat yang
sangat jarang terjadi. Tapi pikiran mereka masih bingung dengan nama
yang di sebutkan pasien itu tadi.

"Wisnu ya?" tanya dokter itu yang tentu saja tidak memerlukan jawaban
dari yang lainnya.

Namun perawat di sampingnya tetap menjawab dengan anggukan seraya


berkata.

"Iya, Dok. Apa kita harus memberitahu tentang nama itu kepada kedua
orangtuanya?" ujar sang suster.

Dokter berpikir sebentar, dan akhirnya memilih untuk menggelengkan


kepalanya sebagai jawaban.

"Sepertinya tidak perlu. Karena itu akan membuat sesuatu yang janggal
nanti. Apalagi setelah kejadian cahaya yang masuk ke dalam tubuh
pasien. Itu akan sangat terdengar nggak masuk akal. Di tambah dengan
diagnosa kalo pasien itu mengalami koma untuk waktu yang nggak di
ketahui. Sebaiknya kita menyimpan hal ini untuk kita sendiri.
Mengerti?" ucap dokter itu sambil menatap satu-persatu perawat yang
ada di sana.
Mereka semua mengerti dan segera mengangguk sebagai jawaban.
Setelahnya mereka pun segera berbalik dari sana dan keluar untuk
melakukan pekerjaan lainnya yang menunggu mereka meninggalkan
sang pasien yang kini sudah lengkap dengan perlengkapan-perlengkapan
yang di butuhkan untuk masa komanya.

•••

Di lain tempat. Seorang pria dewasa memberhentikan motornya setelah


melihat remaja pria dengan baju yang tidak layak pakai di tubuhnya.
Tidak layak karena karena baju yang di kenakannya itu robek sebagian
dengan bolong-bolong di beberapa bagian, begitu juga dengan celananya,
sangat kotor dan penuh dengan sobekan.

Sebenarnya pria dewasa itu sudah pernah bahkan sering melihat


pemandangan yang seperti ini. Namun entah kenapa dengan yang satu
ini perasaannya tersentuh dan merasa kasihan dengan remaja itu. Dia
terlihat kebingungan dengan secarik kertas yang ia lihat begitu dekat
sampai-sampai dirinya tidak menyadari kalau pria dewasa itu kini sudah
berada di depannya.

"Hai, Nak. Kamu lagi cari sesuatu?" tanya pria itu.


"Aku Wisnu, dan Aku lagi hamil anak L." ucap pria itu yang meleset
dari pertanyaan sang pria satunya.

Pria dewasa itu tidak bertanya lagi. Dia mengambil dengan pelan secarik
kertas itu yang hanya berisikan dua baris kalimat yang sama persis
seperti yang pria bernama Wisnu itu katakan. Sepertinya kertas terkoyak
karena ada beberapa huruf di bawahnya yang hanya terlihat setengah
dan tentu saja tidak bisa di baca. Begitu juga dengan huruf L yang di
depannya terdapat potongan huruf yang membuatnya bingung kalau itu
adalah huruf i atau bukan.

Pria itu menghembuskan napasnya lalu berjongkok untuk menyamakan


posisinya dengan Wisnu.

"Jadi nama kamu Wisnu?" tanyanya, dan langsung di angguki oleh


Wisnu.

"Aku hamil anak L, Pak. Dan aku nggak tau L itu siapa, aku juga ragu
kalau aku ini hamil." ujar Wisnu lancar, dan membuat sang pria cukup
terkejut karena ia pikir Wisnu adalah seorang remaja berkebutuhan
khusus yang di buang oleh keluarganya, tapi ternyata Wisnu adalah
seseorang yang normal dan sinkronisasi antara ekspresi dengan apa yang
di ucapkannya pun sangat kontras.
"Bapak juga nggak tau siapa L yang kamu maksud, Nak. Ini kertas kamu
dapetin dari mana? Dan bagaimana sama keluarga kamu?" tanya bapak
itu.

Wisnu menggeleng, ia bingung, tidak ada satupun yang ia ingat saat ini
kecuali saat dirinya tiba-tiba berada di bawah pohon besar dengan
pakaian yang sudah tidak layak pakai dan secarik kertas yang masih di
genggamannya waktu itu.

"Aku nggak tau, Pak. Aku nggak inget apa-apa. Yang aku tau, aku tiba-
tiba ada disini dengan kertas itu. Aku baca isinya, dan aku pikir nama
aku adalah Wisnu dan sedang hamil anaknya L. Selain itu aku nggak tau
apa-apa lagi." ujar Wisnu menjelaskan keadaannya dan ya, ini sudah
kesekian kalinya dia menjelaskan dan selalu mendapatkan ucapan gila
setiap kali orang yang mendengar ceritanya setelah itu mereka pergi
begitu saja.

Dan kali ini Wisnu siap untuk mendengarkan kata gila dari mulut bapak
itu setelah dia selesai menceritakan keadaannya.

Namun tidak. Bapak itu tidak mengucapkan kalimat menyakitkan yang


sudah sering ia dengar. Bapak itu malah mengeluarkan ekspresi iba dan
kasihan yang membuat Wisnu terharu. Lalu detik berikutnya Bapak itu
pun memeluknya erat sambil mengelus rambutnya.
Wisnu bingung, tapi bagaimanapun dia tetap membalas pelukan itu
karena dia berpikir akhirnya ia mendapatkan petunjuk kenapa dirinya
tiba-tiba ada disini dan tidak mengingat apapun tentang dirinya maupun
keluarganya.

"Jadi kamu nggak inget apa-apa termasuk keluarga kamu?" tanya Bapak
itu yang sudah menyelesaikan acara pelukannya. Wisnu mengangguk
mengiyakan.

"Kamu sudah lapor polisi?" tanyanya lagi.

"Ada beberapa orang yang manggil polisi. Tapi mereka bilang aku gila
dan gelandangan. Jadi itu percuma, Pak." ujar Wisnu.

"Aparat macam apa itu? Hanya melihat dari luar dan nggak
nyelidikinnya?" ucap Bapak itu kesal. Dan setelahnya beliau
menghembuskan napasnya pelan untuk menenangkan hatinya agar tidak
marah-marah kepada aparat yang memakan gaji buta.

"Jadi kamu tetap seperti ini walaupun polisi sudah tahu cerita kamu?"
Wisnu mengangguk sebagai jawaban.

"Udah berapa lama?"


"Seminggu yang lalu, Pak."

"Astaga. Tega banget mereka. Terus kamu tinggal dimana selama


seminggu ini? Makannya gimana?" tanya Bapak itu lagi.

"Aku tinggal disini, Pak. Dan aku makan dari orang lewat yang
memberiku makanan." jawab Wisnu.

"Yaampun. Kamu tinggal disini selama seminggu ini? Kamu nggak papa
kan? Nggak sakit kan?" tanya Bapak itu perduli dan penuh dengan rasa
khawatir.

Wisnu yang mendengarnya tersentuh. Hatinya berdenyut sakit karena


akhirnya dia merasa ada seseorang yang perduli dengannya. Air matanya
pun tak kuasa untuk dia tahan lagi. Dia menangis dan memeluk Bapak
itu erat yang langsung saja di balas oleh beliau dengan tangan yang
menepuk-nepuk punggungnya pelan.

"Sudah, sudah. Bapak tau perasaan kamu kok. Ini pasti sangat
menyulitkan buat kamu. Tapi Bapak juga tau kalau kamu juga orang
yang kuat. Buktinya kamu masih bertahan sampai sekarang." ujar Bapak
itu setelah Wisnu melepaskan pelukannya. Ia mengelap bekas air
matanya lalu mengangguk menyetujui perkataan Bapak itu kalau dirinya
memang kuat walaupun dengan tanpa apapun yang Wisnu miliki
sekarang.
"Kamu udah makan?" tanya Bapak itu yang tentu saja langsung di jawab
oleh gelengan kepala Wisnu.

"Oke, kalau gitu kita ke restoran Bapak aja sekarang. Kita makan disana,
dan kamu juga bisa tinggal di sana sampai ingatan kamu kembali.
Kebetulan Bapak tinggal sendirian. Jadi kamu bisa mengisi kamar
kosong yang ada di rumah Bapak ya, Nak." ujar Bapak itu penuh harap.

Ia sangat berharap kalau Wisnu mau tinggal satu atap dengannya.


Melihat Wisnu mengingatkannya akan anaknya yang sudah tiada. Dan
dia menginginkan Wisnu agar ada dekat pada dirinya walaupun suatu
saat nanti Wisnu akan mengingat semuanya dan kembali pada
keluarganya dan meninggalkannya setelah itu.

"Kamu mau kan, Nak?" tanya Bapak itu lagi setelah melihat Wisnu yang
terdiam karena bingung harus menerima atau tidak tawaran Bapak itu.

"Bapak janji akan merawat kamu seperti anak Bapak sendiri sampai
kamu mengingat semua yang kamu lupakan, Nak. Setelah hal itu terjadi,
kamu boleh pergi kapanpun yang kamu mau. Bapak hanya ingin kamu
tinggal bersama Bapak saja, supaya kamu ada di tempat yang aman dan
nyaman." ujar Bapak itu.
Dan kali ini tanpa berpikir lagi Wisnu segera menganggukkan kepalanya
menerima tawaran tersebut. Setelahnya pelukan hangat pun di terimanya
dan berbagai terima kasih di ucapkan Bapak itu karena sudah mau
menerima tawarannya. Dan tidak lupa dengan janjinya kalau dirinya
akan benar-benar merawat Wisnu seperti anaknya sendiri.

Janji itu pun di tepati, dengan bukti yang sudah jelas kalau janji Bapak
itu bukanlah sekedar ucapan belaka. Sekarang Wisnu sudah kembali
normal dengan kondisi dan penampilan seperti anak remaja lainnya, eh,
entahlah. Bapak itu ragu untuk menyebut Wisnu sebagai seorang remaja.
Karena saat ini dirinya sudah memiliki seorang bayi yang saat ini tengah
di gendongannya.

Cukup kaget untuk bapak itu saat mengetahui kalau Wisnu benar-benar
sedang mengandung seorang anak. Karena ini pertama kalinya beliau tau
kalau seorang pria bisa hamil, tidak banyak hal yang bisa Bapak itu
lakukan selain membawa Wisnu ke rumah sakit secara rutin hingga
akhirnya waktu melahirkan pun tiba dan mengeluarkan bayi cantik yang
kini sedang ada dalam gendongannya.

Dan janjinya pada Wisnu waktu itu pun ia tambahkan. Bapak itu berjanji,
kalau dirinya akan melindungi Wisnu dan bayi cantik ini sampai dirinya
tutup usia. Ia tidak akan membiarkan siapapun mengusik kehidupannya
yang saat ini sudah sangat damai dan penuh kebahagiaan.

Dan ... Dia harap, Wisnu lupa ingatan untuk selamanya.


SELESAI

Anda mungkin juga menyukai