Anda di halaman 1dari 3

CERITA TEMANKU

Temanku mungkin adalah salah satu dintara ratusan siswa sekolah yang pernah
mengalami bulliying. Dia tidak cantik,wajahnya juga ngak jelek-jelek amat.dia pintar, tapi masih
sebatas kepintaran siswa-siswa biasa yang ingin dapat ranking dikelasnya.sebenarnya gak ada
yang terlalu menonjol tentang nya . dia ngak pernah bersikap sok didepan yang lainnya . apalagi
berusaha menjadi pusat perhatian.kata orang, dia introvert.asal kalian semua tahu . dia juga ingin
berbaur dengan yang lainnya. Dia ingin bertukar cerita sambil tertawa tentang ini dan itu.

Namun, dia takut dengan lingkungan yang tidak menginginkan kehadirannya . kejadian
itu bermula bahkan saat dia masih duduk dibangku sekolah dasar . masi memakai seragam putih-
merah,tapi sudah megalami trauma karena diacuhkan teman satu kelasnya Dia gak tau apa yang
salah dengan dirinya. Apalagi waktu itu usianya baru sembilan. Dia menangis untuk mendapat
belas kasihan. Tapi yang ia dapat justru caci dan makian. Setelah mendengar cerita bulyingnya
sewaktu SD. Ku kira anak kecil jaman sekarang saja yang mengalami sakit mental. Ternyata
anak kecil di jaman dulu pun tak kalah kejam.

Tidak berakhir disitu saja. Masa SMP nya pun gak begitu menyenangkan. Cacian dan
makian itu tumbuh semakin subur. Bahkan semakin tajam dan langsung menjatuhkan mentalnya.
Entah itu cacian pada bentuk tubuhnya, warna kulitnya, atau bahkan hanya perkara cara
berjalannya. Setiap malam hanya cacian-cacian itu yang berputar dikepalanya. Membuat langkah
kakinya berat untuk melangkah ke sekolah. Dan takut, walau cuma ingin berjalan menuju kantin
sekolah. Suasana ruang kelaspun menjadi pengap dan sulit untuk bernapas. Banyak mata yang
menatapnya tajam seolah dia anak paling hina dan menjijikan.

Dan saat ada teman yang lain mendapat nilai sempurna, mereka akan memujinya,
memberinya tepukan selamat, dan mengatakan dia sungguh pintar. Tapi saat temanku itu
mendapat nilai sempurna, semuan mencibirnya. Mengatakan itu bukan nilai asli atau kebetulan
saja. Apalagi waktu guru bilang, ada tugas kelompok. Disaat itulah hatinya lagi-lagi menahan
perih yang teramat sangat. Karena yang lain sudah dapat kelompoknya masing-masing.
Sedangkan dia, masih melihat sana sini dengan tatapan memelas. Bingung, mau gabung dengan
siapa. Karena semua siswa seperti gak ingin satu kelompok dengannya.

Setelah dia sudah lulus SMA

Baru saja dia mendapatkan ketenangan saat bersekolah. Baru saja dia bertemu dengan
teman-teman yang menerima keadaannya. Baru saja dia mendapat perhatian lebih dikelas karena
kepintarannya. Tiga tahun itu rupanya sangat singkat, kalau dilewati bersama orang-orang yang
baik. Orang-orang yang peduli pada orang lain. Dan orang-orang yang hobinya bukan bergunjing
Bulan lalu, temanku resmi lulus dari sekolahnya. Dengan wajah yang cantik bermake up, baju
kebaya yang dipinjamnya dari salon, dan senyuman bahagia tak pernah lepas dari wajah itu.
Meskipun dia gak dapat bucket bunga seperti teman lainnya, tapi hari itu tetap terasa luar biasa.
Yang Bisa lulus dengan tenang, dan yang terpenting adalah, kisah SMA nya bisa menjadi
kenangan indah. Tapi, dia gak tahu. Kalau masa-masa indahnya sebenarnya telah berakhir.
Masa-masa bahagianya sebenarnya telah selesai. Karena di depan, dunia yang sangat kejam
sudah menanti di pelupuk mata. Satu-satu, perlahan namun pasti, masalah mulai menyapanya.
Masalah itu juga yang melemahkan optimisme nya. Masalah yang awalnya dia kira akan selesai
dengan mudah, seperti halnya saat di sekolah. Ternyata seperti gak ada ujungnya.

Ujian berat yang datang paling awal, adalah, saat dirinya gagal melewati SBMPTN.
Semua tidak menyangkanya, apalagi karena prestasinya semasa SMA. Padahal ia sudah yakin
akan lolos. Padahal dia sudah belajar mati-matian untuk itu. Padahal dia sudah berusaha
maksimal untuk itu. Tapi kenapa dia tidak berhasil. Seolah-olah pepatah yang mengatakan 'usaha
tidak mengkhianati hasil' hanyalah kalimat kosong belaka. Semua orang bilang 'berarti bukan
rezekimu' dan dia hanya bisa menjawab 'iya pasti nanti ada jalan yang lain'! Tapi lagi-lagi,
mindsetnya seakan sudah tahu, kalimat itu juga hanyalah sebuah kalimat kosong belaka.
Sementara yang lainnya, sudah diterima di kampus- kampus negeri ternama di Indonesia. Dan
dia, harus lapang dada karena hanya bisa melanjutkan ke universitas yang dipandang rendah,.
Yang lain sudah memerkan masa-masa ospek yang menyenangkan di akun instagram mereka.
Sedangkan dia, masih saja sibuk bermain instagram dirumah, sambil menunggu pengumuman
ospeknya yang gak jelas, dan akhirnya merasa iri. Merasa dunia ini begitu jahat padanya.

Kemudian hari tetap berjalan, tidak peduli seperti apa keadaannya dari hari ke hari,
setelah kelulusan. Lontang-lantung, mau bekerja pun belum ada panggilan pekerjaan. Padahal
resumenya sudah banyak dia kirimkan ke perusahaan sana-sini. Ditambah lagi mulut tetangga,
yang selalu menanyainya 'udah kerja atau belum', atau 'kenapa gak cari kerja! Dan dia cuma bisa
menjawab 'iya, masih ngelamar sana-sini! Setelah dijawab seperti itu pun, ada saja gosip baru.
Dengan seenaknya mereka menggunjingkan kegagalanmu pada tetangga yang lain. Dengan
entengnya mereka menyebutmu tidak mau berusaha seperti teman seusiamu yang lain, temanmu
yang sudah mendapatkan pekerjaan lebih dulu. Apalagi saat mereka mendengar kalau dia
melanjutkan Apalagi saat mereka mendengar kalau dia melanjutkan pendidikan ke universitas
yang tidak punya nama. Alih-alih menghargai karena masih peduli pendidikan, mereka malah
mengolok lulus kuliah pun belum tentu dapat kerja, cuma buang-buang uang aja! Satu kalimat
yang begitu tajam, lebih dari pisau yang ada di dapur rumahmu. Pisau yang mampu membuat
luka dalam dihatimu, tanpa membuatnya terlihat jelas karena tidak mengeluarkan darah.

Lalu dia mulai frustasi dan ingin menyerah pada hidupnya. 'aku tidak akan berhasil'
hanya itu yang memenuhi kepalanya. Karena dia sendirian, tidak ada yang menguatkannya.
Semua sahabatnya, temannya, kini sudah terlanjur asik dengan dunia baru mereka. Ingin cerita
pun, sepertinya gak ada yang minat untuk mendengarkan. Dan lagi-lagi, dia harus menyimpan
kesedihan itu sendirian. Kalaupun sudah gak tahan, dia akan berlari ke kamar mandi dan
menangis disana. Dia gak ingin ada yang melihatnya menangis, apalagi keluarganya. Itu hanya
akan membuatnya makin sedih, karena belum bisa membuat mereka bangga. Saudara, kolega,
atau kenalan-kenalan yang sekarang sudah sukses, kini tiba-tiba jadi orang asing. Dia berharap
bisa mudah mendapat pekerjaan karena koneksi, tapi nyatanya itu gak berlaku padanya. Padahal
banyak temannya yang bisa bekerja karena adanya koneksi. "apa hanya aku yang tidak boleh
menggunakan koneksi' begitu batinnya. Tahun ini adalah tahun paling berat. Hidupnya kembali
tak tenang karena caci dan makian. Tapi kali ini yang menggunjingkan adalah tetangga. Ah, bisa
gila, karena setiap hari harus bertemu mereka. Pura-pura baik dan saling menyapa, padahal
meremehkan dan merendahkan dibelakang .

Anda mungkin juga menyukai