Anda di halaman 1dari 5

Antara Cinta dan Persahabatan

Karya: Desi Cholishyana

tema cerpen kalian adalah pertama kali putus cinta

Kata-kata yang terlontar dari mulut pak Mirza itu terus terngiang di kepalaku sejak mata kuliah
usai bahkan sampai aku sudah kembali ke rumah. Memang membuat cerpen bukanlah hal baru
untukku tapi jika dengan tema yang terbatas tentu akan menjadi hal yang sulit terlebih harus
diambil dari kisah nyata, dan juga, putus cinta? Mantan? Kurasa itu adalah hal yang paling
sensitif untuk dibahas apalagi dikenang.

Aku pun kembali mengingat-ngingat kapan pertama kali aku menjalin sebuah hubungan yang
sering dikenal dengan nama pacaran itu?. Kurasa sudah lama sekali, karena setelah memutar
otak, aku baru ingat kalau aku sudah mulai berpacaran saat kelas 6 SD. Sungguh konyol, tentu
saja itu cinta monyet, berpacaran hanya karena sering dijodoh-jodohkan oleh teman-teman
sekelas bahkan aku masih ingat nama bocah itu, Fajrul Islami Yusabiran yang lebih sering
dipanggil Ami. Apa aku akan menulis cerita tentangnya? Haha sepertinya tidak, ayolah kami
saling menyatakan cinta saja tidak, tiba-tiba dia mengumumkan kalau aku adalah pacarnya di
kelas dan saat masuk SMP kami pun tidak pernah berkomunikasi lagi, bertemu pun jarang,
padahal kami satu komplek hanya berbeda blok. Lalu siapa yang harus aku ceritakan?.

Dan di saat itulah mataku menangkap sesuatu yang berhasil menarik perhatianku. Buku kenangan
SMA. Ya, orang bilang masa SMA adalah masa indah bertabur kenangan dan seperti orang
lainnya aku pun mempunyai beberapa kenangan di SMA dan disanalah cerita ini bermula.

Remaja laki-laki itu bernama Fajar panji Nugroho. Perawakannya yang tinggi berisi, berambut
ikal, alis tebal, bermata coklat, berkulit putih, dan senyum yang menawan serta tercatat sebagai
atlet Karate muda itu tentu saja berhasil menarik perhatian banyak siswi lain, tidak terkecuali
diriku. Beruntung, aku adalah teman sekelasnya dan bisa dibilang teman dekatnya karena dia
sering bercerita banyak hal tentang kehidupannya padaku. Pembawaannya yang tenang tapi suka
bercanda itu membuatku nyaman berada di dekatnya tapi tidak jarang juga kami adu mulut untuk
hal-hal sepele.

Hari demi hari pun berubah menjadi bulan demi bulan dan aku semakin dekat dengannya. Setiap
malam kami saling berkirim pesan singkat dan tidak jarang mengobrol lewat telepon, yang
awalnya membicarakan tugas akan berujung dengan perbincangan random, yang tadinya serius,
lalu bercanda, mulai sindir-sindiran, akhirnya bertengkar, dan kembali akur adalah hal yang rutin
kami lakukan. Kedekatan kami itu pun mengundang tanya teman-teman sekelas mengenai status
hubungan kami. Setiap mereka bertanya maka aku hanya menjawab sahabatan tapi sebagian
dari mereka tidak pernah percaya dan ternyata hal itu pun ikut mengganggu pikiran Fajar.

sebenarnya kita itu kayak gimana sih? tanyanya tiba-tiba saat kami sedang berbicara di telepon.
Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan itu.

kayak gimana apa maksudnya? tanyaku tanpa menghentikan gerakan tanganku yang sedang
mengerjakan tugas di buku tulis.

ya.. kita itu temenan doang apa hmm yaa lo tau lah jawabnya. Aku menghentikan kegiatanku
dan memilih fokus pada percakapan kami karena aku mulai mengerti kemana pembicaraan ini
mengarah.

yaa, gue sih ngerasa kita cuma temenan aja, emang aslinya kayak gitu kan balasku lalu
memindahkan letak handphoneku ke telinga sebelah kanan karena telinga kiriku sudah mulai
terasa panas.

emm.. kalo gue ubah jadi bukan sekedar temenan doang, lo mau nggak?.

oh jadi ceritanya lo nembak gue nih? tanyaku dan terdengar tawa canggung di seberang sana.
Pasti dia sedang menggaruk belakang telinganya, satu hal yang aku tahu selalu dia lakukan jika
sedang malu atau merasa canggung.

Dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi sepertinya bermaksud membiarkanku untuk berpikir
sejenak sehingga keheningan pun menyelimuti kami berdua. Ku gerakkan lidahku untuk
membasahi bibir bawahku yang terasa kering sebelum akhirnya aku kembali membuka suara
untuk menjawab pertanyaannya tadi. ngg gimana ya, selama hubungan itu bisa bikin gue tetep
nyaman sama lo, ya kenapa nggak, yang penting sih nggak ada yang berubah aja jawabku.

jadi lo mau? tanyanya memastikan, yang langsung ku jawab dengan kata iya serta anggukan
kepala meski dia tidak akan bisa melihatnya. Setelah itu aku pun menghambiskan malam, yang
awalnya mau aku gunakan untuk mengerjakan tugas, hanya dengan mendengarkan ocehannya
yang tidak akan berhenti jika aku tidak bilang ingin tidur. Sepertinya perubahan status kami akan
merubah hal lainnya juga.

Dan layaknya sebuah ramalan, kata-kataku pun terbukti benar. Dia mulai banyak berubah.. oh
ralat, lebih tepatnya merubah banyak hal sejak kami berpacaran, entah aku harus senang atau
malah terganggu dengan semua hal yang dia lakukan. Aku tidak lagi bebas berteman dengan
teman laki-laki di kelas, jika pun ada yang harus aku bicarakan pada mereka apalagi hanya
berdua dia pasti akan memperhatikan kami dari jauh dengan tatapan tajam, setiap hari dia akan
memeriksa handphoneku mulai dari daftar telepon, kotak pesan, galeri sampai History browser,
aku juga tidak diperbolehkan membawa kendaraan sendiri ke sekolah pokoknya harus diantar
jemput olehnya, tentu hal itu membuatku merasa terkekang.

Jika aku protes tentang sikapnya itu maka dia akan berkata kalau apa yang dia lakukan adalah
untuk kebaikanku juga tapi aku tidak pernah merasa seperti itu, aku merasa dia melakukan itu
untuk dirinya sendiri. Aku yang terbiasa bebas tentu saja merasa terganggu dengan sikapnya
tersebut dan tidak jarang hal itulah yang menyulut pertengkaran diantara kami berdua. Padahal
hubungan kami belum genap sebulan tapi aku merasa sudah tidak ada lagi harapan pada
hubungan ini dan di saat-saat seperti inilah aku merasa menyesal karena sudah menerima
tawarannya untuk mengubah apa yang seharusnya kita pertahankan sebelumnya. Ya,
persahabatan.

Aku jadi teringat kata-kata salah satu temanku, Edwin, si baterai alkaline pecinta musik punk di
kelasku.

jangan pernah membicarakan tentang percintaan karena pada akhirnya persahabatanlah yang
akan jadi pilihan.
Dia benar, aku pun akhirnya memilih persahabatan dengan memutuskan hubungan cintaku
bersama Fajar. Memang awalnya dia sempat menolak tapi setelah ku berikan penjelasan dia pun
setuju dengan setengah hati. Meski begitu aku tidak pernah menyesal dengan keputusanku walau
jujur, aku juga merasa sakit karena perasaan lebih dari pertemanan itu masih ada, tapi sekali
lagi, terkadang kita memang harus merasakan suatu kesakitan untuk menggapai suatu
kebahagiaan dan itu pun terbukti, meski aku tidak bahagia dengan hubungan pacaran kami tapi
aku bahagia dengan hubungan persahabatan kami yang kembali terjalin. Bahkan sampai aku dan
dia memiliki orang lain kami masih sering mengobrol dan menceritakan masalah satu sama lain,
saling bertukar pikiran dan memberi saran. Dan dari kejadian ini aku belajar, bahwa melepaskan
seseorang itu juga termasuk cinta, cinta yang lebih besar dan tidak akan pernah berakhir yang aku
sebut dengan persahabatan, tidakkah hal itu terdengar lebih indah dan. abadi?
Desi Cholishyana lahir di Jakarta, 28 Desember 1994. Anak kedua
dari empat bersaudara ini berhasil menamatkan sekolahnya di SDN
Tonjong 2, SMPN 1 Bojonggede dan SMAN 1 Tajurhalang. Kini ia
tengah menempuh pendidikan tingginya di Universitas Indraprasta
Fakultas Pendidikan Bahasa dan sastra. Pecinta anime Shinchan ini
sangat suka mendengar musik dan menulis. Sudah banyak karya
yang dia hasilkan tapi belum berani dipublikasikan. Jika ingin lebih dekat dengan penulis
silahkan kunjungi akun Facebooknya di Desi Cholishyana atau akun twitternya
@desicholishyana bisa juga di e-mailnya desicholishyana@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai