Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Aterosklerosis
2.1.1 Definisi
Istilah aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani, yang berarti penebalan tunika intima arteri
(sclerosis, penebalan) dan penimbunan lipid (athere, pasta) yang mencirikan leasi yang khas.
Secara morfologi, aterosklerosis terdiri atas lesi-lesi fokal yang terbatas pada arteri-arteri otot
dan jaringan elastis berukuran besar dan sedang, seperti aorta (yang dapat menyebabkan
penyakit aneurisma), arteria poplitea dan femoralis (menyebakan penyakit pembuluh darah
perifer), arteria karotis (menyebabkan stroke), arteria renalis (menyebabkan penyakit jantung
iskemik atau infark miokardium).

2.1.2 Struktur Umum Pembuluh Darah


Pembagian lapisan anatomis pembuluh darah menjadi arteri, arteriol, kapiler, venula, dan vena
didasarkan pada adanya lapisan histologis.
1. Tunika intima (lapisan terdalam) terdiri atas sel endotel yang memisahkan darah dari
rongga ekstravaskuler.
2. Tunika media (lapisan tengah) terdiri atas jaringan ikat elastis dan sel otot polos. Terutama
pada aorta dan arteri besar, jaringan elastis berkontribusi terhadap bentuk dari tekanan
pulsus arteri.
3. Tunika adventitia (lapisan terluar) terdiri atas lapisan jaringan ikat yang relatif tipis yang
memberikan bentuk kepada pembuluh darah. Lapisan ini juga mengandung vasa vasorum,
arteri dan vena kecil yang menyediakan nutrien kepada sel-sel pembuluh darah.

2.1.3 Patogenesis Aterosklerosis


Patogenesis aterosklerosis merupakan suatu proses interaksi yang kompleks, dan hingga saat
ini masih belum dimengerti sepenuhnya. Interaksi dan respons komponen dinding pembuluh
darah dengan pengaruh unik sebagai stresor (sebagian diketahui sebagai faktor resiko) yang
terutama dipertimbangkan. Teori patogenesis yang mencakup konsep ini adalah hipotesis
respons terhadap cedera, dengan beberapa bentuk cedera tunika intima yang mengawali
inflamasi kronis dinding arteri dan menyebabkan timbulnya ateroma (Ross, 1999)
Dinding pembuluh darah terpajan sebagai iritan yang terdapat dalam hidup
keseharian. Diantaranya adalah faktor-faktor hemodinamik, hipertensi, hiperlipidemia, serta
derivat merokok dan toksik (misal, homosistein atau LDL-C teroksidasi). Agen infeksius
(Chlamydia pneumoniae) juga dapat menyebabkan cedera. Dari kesemua agen in, efek
sinergis gangguan hemodinamik menyertai fungsi sirkulasi normal yang digabungkan dengan
efek merugikan hiperkolestrolemia dianggap merupakan faktor terpenting dalam patogenesis
aterosklerosis.

2.1.4 Patofisiologi
Aterosklerosis bermula ketika sel darah putih yang disebut monosit, pindah dari aliaran darah
ke dalam dinding arteri dan diubah menjadi sel-sel yang mengumpulkan bahan lemak. Pada
saatnya monosit yang terisi lemak ini akan terkumpul, menyebabkan bercak penebalan di
lapisan dalam ateri. Unsur lemak yang berperan disini adalah LDL (low density lipoprotein),
LDL sering di sebut kolestrol jahat, tinggi LDL akan berpotensi menumpuk disepanjang
dinding nadi korener. Arteri yang terkena arterosklerosis akan kehilanagan kelenturannya dan
karena ateroma terus tumbuh, maka arteri akan menyempit. Lama-lama ateroma
mengumpulkan endapan kalsium, sehingga bisa rapuh dan pecah. Darah bisa masuk ke dalam
ateroma yang pecah, sehingga ateroma menjadi lebih besar dan mempersempit arteri. Ateroma
yang pecah juga bisa menumpahkan kandungan lemaknya dan memicu terjadinya pembekuan
darah ( thrombus ). Selanjutnya bekuan ini akan mempersempit bahkan menyumbat arteri, atau
bekuan akan terlepas dan mengalir bersama aliran darah dan menyebabkan sumbatan di daerah
lain ( emboli ). Akibat dari penyempitan arteri jantung kesulitan memompa darah dan timbul
rasa nyeri di dada, suka pusing-pusing dan berlanjut ke gejala serangan jantung mendadak.
Bila penyumbatan terjadi di otak maka yang di derita stroke dan bisa juga menyebabkan
kelumpuhan. Laju peningkatan ukuran dan jumlah ateroma di pengaruhi berbagai factor.
Faktor genetik penting dan aterosklerosis serta komplikasinya cenderung terjadi dalam
keluaraga. Seseorang penderita penyakit keturunan homosistimuria memiliki ateroma yang
meluas, terutama pada usia muda. Penyakit ini mengenai banyak arteri tetapi tidak selalu
mengenai arteri koroner (arteri menuju ke jantung). Sebaliknya, pada penyakit keturunan
hiperkolesterolemia familial, kadar kolestrol yang sangat tinggi menyebabkan terbentuknya
ateroma yang lebih banyak di dalam arteri koroner dibandingkan arteri lainnya. Pada penderita
hipertensi umumnya akan menderita aterosklerosis lebih awal dan lebih berat dan beratnya
penyakit berhubungan dengan tekanan darah, walaupun batas normal. Aterosklerosis tidak
terlihat pada arteri pulmonalis (biasanya bertekanan rendah) jika tekanannya meningkat secara
abnormal, keadaan ini disebut hipertensi pulmonal.

2.1.5 Faktor Resiko


Penyebab utama terjadinya penyakit jantung koroner adalah penyempitan arteri koronaria
besar di bagian proksimal oleh aterosklerosis. Aterosklerosis merupakan kelainan pada
pembuluh darah yang ditandai dengan lesi intimal yang ditandai dengan atheromas (juga
disebut atheromatus atau plak aterosklerosis) yang menonjol ke pembuluh lumen.
Faktor resiko dibedakan menjadi faktor konstitutional, yaitu usia, jenis kelamin dan genetika
serta faktor yang dapat dimodifikasi meliputi hiperlipidemia, hipertensi, merokok, dan
diabetes. Namun, ternyata 20% kejadian kardiovaskular terjadi tanpa adanya faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor resiko tambahan tersebut di antaranya adalah inflamasi,
hiperkromosistinemia, sindrom metabolik, lipoprotein, faktor yang mempengaruhi hemostasis
(penanda fungsi hemostasis dan fungsi fibrinolitik untuk memprediksi) serta faktor lain.
Faktor-faktor lain yang dimaksud merupakan faktor yang berkaitan dengan resiko yang jarang
didiskusikan atau sulit untuk dihitung seperti jarangnya olahraga, gaya hidup yang kompetitif
dan penuh tekanan, serta obesitas.
2.2 Congestive Heart Failure
2.2.1 Pengertian Congestive Heart Failure
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif terjadi saat jantung tak lagi bisa
menjalankan fungsinya, yaitu untuk menghantarkan darah ke seluruh tubuh dengan cara
berkontraksi dan mengosongkan ventrikel. Gagal jantung kongestif juga disebut gagal
jantung, kegagalan ventrikel kiri, kegagalan ventrikel kanan, dekompensasi, gagal jantung,
kongesti pasif dan kadang- kadang disebut kegagalan.
Pada umumnya, jantung meregang dan gagal adalah akibat dari kondisi yang menimbulkan
inflamasi pada otot jantung dan kerusakan pada katup jantung. Hal ini menyebabkan jantung
harus bekerja lebih keras, sehingga jantung menjadi lelah. Demam rematik, inflamasi sipilis,
dan difteri adalah contoh yang paling sering dari kondisi tersebut.
Sebagai akibat dari inflamasi ini, terutama pada demam rematik dan sipilis, akan terjadi
perubahan pada katup yang mengubah struktur jantung dan mencegah jantung untuk terbuka
atau tertutup sebagaimana mestinya.
Sejak jantung gagal memompa atau menutup sebagaimana mestinya, akan menyebabkan suatu
gangguan aliran darah saat melewati katup dan akan mengakibatkan peregangangan yang tak
wajar pada bilik pemompa atau ventrikel. Hal ini akan menyebabkan hipertropi atau pelebaran
ventrikel dan bisa berlanjut pada kegagalan saat otot lemah dan tidak lagi berfungsi.
Perubahan fungsi sistolik dan diastolik ventrikel tubuh menyebabkan gagal jantung. Gagal
jantung adalah kondisi fisiologis di mana jantung tidak dapat memopa darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Jantung mengalami kegagalan karena defek struktural
atau penyakit intrinsik, sehingga tidak dapat menangani jumlah darah yang normal atau pada
kondisi tidak ada penyakit, tidak dapat melakukan toleransi peningkatan voulme darah
mendadak (misalnya selama latihan fisik). Gagal jantung bukan suatu penyakit, akan tetapi
istilah ini merujuk pada sekumpulan gejala klinis yang ditandai oleh manifestasi kelebihan
volume darah (black & hawks, 2014).

2.2.2 Etiologi
2.2.2.1 Faktor intrinsik
Penyebab paling umum gagal jantung adalah penyakit arteri koroner. Penyebab lain adalah
infark miokardium, penyakit katup jantung, kardiomipaty dan disritmia. Perikarditis
konstriktif suatu proses inflamasi dan fibrosis pada kantong perikardium dan temponade
jantung, yang melibatkan akumulasi cairan atau darah di kantong perikardium, juga
merupakan faktor penyebab gagal jantung karena menekan jantung dari luar. (black &
hawks, 2014)
2.2.2.2 Faktor ekstrinsik
Peningkatan afterload (msalnya hiprtensi), peningkatn volume sekuncup jantung dari
hipovolemia atau peningkatan preload, dan peningkatan kebutuhan tubuh. (black & hawks,
2014)
2.2.3 Tipe gagal jantung kongestif:
1. LVF
2. RVF
3. Ke depan atau belakang
4. Keluaran tinggi atau rendah (black & hawks, 2014)

2.2.4 Manifestasi klinis:


1. LVF
a. Kongesti pulmonal dan gangguan mekanisme pernapasan: dispnea, ortopnea, dispnea
nokturna paroksimal, pernapasan chyne- stokes, batuk
b. Manivestasi kardiovaskuler: pembesaran atau pergesaran pulsasi apikal ke lateral kiri,
suara gallop jantung
c. Hipoksia cerebri
d. Keletihan dan kelemahan otot
e. Perubahan ginjal: nokturia (black & hawks, 2014)
2. RVF
a. Hepatomegali
b. Anoreksia
c. Nausea
d. Begah
e. Pitting edema
f. Anasarka
g. Cemas atau depresi (black & hawks, 2014)
3. Gagal jantung depan atau belakang
a. Konfusi mental
b. Kelemahan otot
c. Retensi ginjal terhadap natrium dan air (black & hawks, 2014)
4. Gagal jantung keluaran tinggi atau rendah
a. Hipoperfusi sel atau jaringan (black & hawks, 2014)

2.5 Gambaran Umum Model Adaptasi Roy


Model adaptasi roy dikembangkan pertama kali pada tahun 1964 – 1966 oleh Sister Calista
Roy yang baru dioperasionalkan pada tahun 1968. Roy menjelaskan secara filosofi manusia
adalah makhluk biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Manusia selalu dihadapkan
masalah yang kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi (Tomey & Aligood,
2010).
Teori adaptasi roy menggunakan pendekatan yang dinamis, dimana peran perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan memfasilitasi kemampuan klien untuk melakukan
adaptasi dalam menghadapi perubahan kebutuhan dasarnya. Dalam proses adaptasi, Roy
memandang manusia secara holistik yang merupakan satu kesatuan. Untuk sejahtera harus
tercipta keseimbangan antara bagian-bagian atau dimensi menjadi satu kesatuan yang utuh.
Hal tersebut dapat dicapai melalui proses adaptasi. Roy menjelaskan bahwa adaptasi
merupakan sutau proses dan hasil dimana pemikiran dan perasaan seseorang sebagai individu
atau kelompok yang sadar bahwa manusia dan lingkungan adalah satu kesatuan atau dengan
kata lain adaptasi merupakan respon positif terhadap perubahan lingkungan (Roy, 2009).
Model adaptasi Roy ini berdasarkan asumsi yang ada bahwa ada empat faktor yang akan
menjelaskan adaptasi antara lain :
a. Manusia
Manusia dijelaskan oleh Roy adalah holistik dan merupakan sistem adaptasi. Sebagai suatu
sistem adaptasi, sistem manusia menggambarkan bahwa keseluruhan bagian atau
fungsinya merupakan satu kesatuan untuk mencapa tujuan, Manusia sebagai penerima
pelayanan asuhan keperawatan mencakup individu, keluarga, kelompok atau masyarakat
(Roy, 2009 dalam Tomey & Alligood, 2014).
Sebagai suatu sistem, manusia mempunyai proses internal yang berperan untuk
mempertahankan kesatuan individu. Proses internal ini dikategorikan sebagai subsistem
regulator dan kognator. Subsistem regulator melibatkan proses fisiologi seperti respon
kimia, sistem saraf dan endokrin yang memungkinkan tubuh untuk mengatasi perubahan
lingkungan. Subsistem kognator melibatkan proses kognitif dan emosional untuk
berinteraksi dengan lingkungan. Kedua aktivitas subsistem tersebut dimanifestasikan
dalam empat cara pada setiap individu pada perilaku diindikasikan dalam fungsi fisiologi-
fisik, konsep diri dan identitas kelompok, fungsi peran dan interdependensi (Roy, 2009
dalam Tommey & Aligood, 2014).
b. Lingkungan
Menurut Roy lingkungan merupakan konsep utama dalam interaksi manusia secara
konstan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan dan kondisi tertentu yang dapat
mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu maupun kelompok. Interaksi
lingkungan adalah input untuk individu atau kelompok yang disebut sebagai sistem
adaptasi. Input tersebut meliputi faktor internal dan eksternal yang dikategorikan sebagai
stimulus fokal, konstektual dan residual.
Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan manusia (saat ini).
Stimulus konstekstual; yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal
maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara
obyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan di mana dapat
menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal (presifitasi). Stimulus residual berupa
ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk
diobservasi, meliputi kepercayaan, sikap, sifat individu berkembang sesuai dengan
pengalaman masa lalu yang dapat membantu untuk belajar toleransi terhadap sesuatu.
Adanya pertimbangan tertentu dalam stimulus adalah tahapan adaptasi, dimana dapat
menjelaskan kapasitas koping individu. Perubahan tahapan tersebut merupakan
kemampuan internal yang mempengaruhi perilaku adaptif.
c. Kesehatan
Kesehatan adalah suatu keadaan dan proses berfungsinya manusia karena terjadinya
adaptasi terus-menerus. Respon adaptif dalam kesehatan merupakan respon yang
meningkatkan integritas dalam masa antara tujuan dan sistem individu, yang bertahan,
tumbuh, reproduksi, penguasaan, personal dan perubahan lingkungan. Digambarkan oleh
Roy dari rentang kematian sampai pada puncak kesehatan, dengan sehat normal ada di
tengah. Kesehatan rendah sebagai hasil dari maladaptasi terhadap perubahan lingkungan.
d. Keperawatan
Roy menjelaskan bahwa keperawatan sebagai proses interpersonal yang diawal adanya
kondisi maladaptasi akibat perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal. Manusia
sebagai sistem, berinteraksi dengan lingkungan dan mengatasi lingkungan melalui
mekanisme adaptasi bio-psikososial. Adaptasi ditingkatkan bila terjadi peningkatan atau
pengurangan pemenuhan kebutuhan. Di dalam menghadapi perubahan atau stimulus,
manusia harus menjaga integritas dirinya dan selalu beradaptasi secara menyeluruh
(holistik adaptive system). Tindakan keperawatan diarahkan untuk mengurangi atau
mengatasi dan meningkatkan kemampuan adaptasi manusia. Peran perawat adalah
memfasilitasi potensi klien untuk mengadakan adaptasi dalam menghadapi perubahan
kebutuhan dasarnya untuk mempertahankan homeostatis atau integritasnya.
Model adaptasi Roy menekankan konsep adaptasi pada manusia. Dasarnya meliputi
keperawatan, manusia, sehat dan lingkungan yang merupakan hubungan dan suatu sistem
yang saling behubungan. Ada empat mode adaptasi yang behubungan dengan manusia
dalam merespon stimulus lingkungan. Empat mode tersebut adalah :
a. Mode adaptasi fisiologis, mode ini berhubungan dengan proses fisik dan kimiawi yang
berhubungan dengan fungsi dan aktifitas kehidupan (Tomey & Aligood, 2010). Ada lima
kebutuhan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar dari mode fisiologi yaitu:
1. Oksigenasi yang merupakan kebutuhan tubuh untuk memperoleh oksigen dan proses
dasar kehidupan yang meliputi vintilasi, pertukaran gas dan transport gas.
2. Nutrisi yang merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan sistem pencernaan
seperti ingesti dan asimilasi dari metabolism dan makanan, penyimpanan energy,
membentuk jaringan dan regulasi dari proses metabolisme.
3. Eliminasi merupakan proses fisiologis untuk mengeksresikan pembuangan hasil-hasil
metabolisme melalui ginjal dan intestinal.
4. Aktifitas dan istirahat merupakan keseimbangan dalam proses dasar kehidupan yang
mencakup mobilisasi dan tidur yang memberikan fungsi fisiologis yang optimal dari
semua komponen dan periode perbaikan dan pemulihan.
5. Proteksi merupakan perlindingan pada dua proses kehidupan dasar yaitu proses
pertahanan spesifik dan non spesifik atau imunitas.

Ada empat proses kompleks yang berkontribusi dalam mode fisiologis yaitu:
1. Sensasi merupakan proses sensori penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, bau yang
memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Sensasi nyeri adalah fokus
partikuler komponen ini.
2. Cairan dan Elektrolit, Keseimbangan Asam Basa. Keseimbangan cairan dan elektrolit
serta asam basa adalah proses yang berhubungan dengan cairan, elektrolit dan asam
basa yang diterima seluler, ekstraseluler dan intertisial serta fungsi sistem.
3. Fungsi Neurologi untuk mengontrol dan mengkoordinasikan proses perpindahan,
kesadaran dan kongnitif, dan sebagai regulasi aktifitas tubuh.
4. Endokrin merupakan proses yang berhubungan dengan sekresi hormone dan
bersamaan dengan fungsi neurologi untuk mekoordinasikan fungsi tubuh.

b. Mode Adaptasi Konsep Diri, fokus spesifiknya adalah psikologi dan spiritual pada manusia
sebagai sistem. Konsep diri merupakan bentuk dari reasksi persepsi internal dan persepsi
lainnya. Konsep diri terdiri dari Physical Self didalamnya terdapat Body Sensation dan
Body Image, dan Personal Self didalamnya terdapat Self Consistency, Self Ideal, dan
moral-ethic-spiritual. Body Sensasion yaitu bagaimana seseorang merasakan keadaan
fisik dirinya sendiri. Body Image yaitu bagaimana seseorang memandang fisiknya sendiri.
Self Consistency yaitu bagai mana upaya seseorang untuk memelihara dirinya sendiri dan
menghindari dari ketidak seimbangan. Self Ideal hubungannya dengan apa yang harus
dilakukan dan moral-ethic-spiritual yaitu keyakinan seseorang dan evaluasi diri (Roy,
2009; Tomey &Aligood, 2010).

c. Mode fungsi peran adalah satu dari dua mode sosial dan foskus terhadap peran seseorang
dalam masyarakat. Fungsi peran merupakan proses penyesuaina yang berhubungan
dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam
berhubungan dengan orang lain. Peran dibagi menjadi peran primer, sekunder dan tertier.
Peran primer yaitu peran yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia dan tahapan tumbuh
kembang. Peran sekunder yaitu peran yang harus diselesikan oleh tugas peran primer.
Peran tertier merupakan cara individu menemukan harapan dari peran mereka (Roy,
2009; Tomey &Aligood, 2010).
d. Mode adaptasi Interdependensi, berfokus pada hubungan seseorang dengan orang lain.
Hubungan interdependensi di dalamnya mempunyai keinginan dan kemampuan memberi
dan menerima semua aspek seperti cinta, hormat, nilai, rasa memiliki, waktu dan bakat
(Roy, 2009; Tomey &Aligood, 2010).

Menurut Roy (2009), elemen dari proses keperawatan meliputi pengkajian tingkat pertama,
pengkajian tingkat kedua, diagnosis keperawatan, penentuan tujuan, intervensi, dan evaluasi.
Dalam praktik keperawatan, penerapan konsep holistik pada proses asuhan keperawatan
melalui pendekatan model adaptasi Roy dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Pengkajian perilaku
Pengkajian perilaku adalah tahap pertama dimana perawat berfokus pada sekumpulan
tingkah laku sebagai sistem adaptasi yang berhubungan dengan empat model adaptasi;
yaitu: fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interpedensi melalui pendekatan sistem dan
memandang manusia sebagai mahluk bio-psiko-sosial secara utuh (holistik). Pengkajian
perilaku ini dapat dilakukan dengan cara observasi dan non observasi (Roy,2009).
b. Pengkajian stimulus
Pada pengkajian tahap dua ini perawat menganalisis kegawatan dan gambaran tingkah laku
klien, baik pada individu, keluarga maupun masyarakat secara menyeluruh terkait dengan
kognator; yaitu proses pikir individu (psiko-sosial) dan regulator yaitu proses fisiologi
tubuh (biologi). Kemudian diidentifikasi sebagai respons yang adaptif atau maladaptif
setelah diberi dorongan oleh perawat. Perawat mengumpulkan data stimulus yang menjadi
penyebab (etiologi), baik stimulus fokal, konstektual maupun residual yang juga terkait
dengan empat model adaptasi; yaitu: fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan
interdependensi. Stimulus biasanya dipengaruhi oleh budaya, sosial ekonomi, etnis,
kepercayaan, partisipasi keluarga, tahap tumbuh kembang, integritas mode adaptasi,
tahapan adapatasi, kognitif, dan lingkungan seperti manajemen obat, alkohol dan kebijakan
(Roy, 2009)

Anda mungkin juga menyukai