Anda di halaman 1dari 5

Raihan Dhiyaulrahman Herlambang SMAN 1 BOYOLANGU

Hadiah Untuk Yudha


Angin mengalir tak menyenangkan dalam kelas ini. Di depan, dua puluh dua
temanku tersidak membolos di sebuah kafe. Mereka semua menatapku, sepertinya
mereka sangat kesal. Aku menghela nafas, ingin aku pergi dari sini. Tapi jendela
memberitahuku bahwa hujan baru saja turun. Hanya suara bu Pram yang memberi
nasihat mereka lewat di telingaku.
Mataku menatap jendela dan berfantasi bersama hujan. Pengap. Sekali, aku
melirik mereka yang masih berdiri di depan. Lagi, aku harus menjadi kambing
hitam dalam masalah ini. Sudah terlalu sering aku berada dalam posisi ini.
Bu Pram keluar dari kelas, semua memastikan kondisi lalu saling tatap. Aku
mencoba tak peduli. Tapi justru mereka berdiri mengerumuniku.
Bukkk....
Satu pukulan aku terima dari Tirta, begitu juga dari Bima dan Adit. Sakit.
Aku berdiri dari tempatku dan berusaha membalas mereka, tapi sebuah kaki telah
lebih dulu menendang perutku. Aku menjatuhkan setiap meja yang tertata rapi.
Tak ada yang peduli. Hanya saja kecewa saat melihat Yudha yang diam.
“Kau tau sendiri kebenarannya, tapi kenapa diam?” Ujarku padanya dengan
penuh rasa kesal. Tapi dia tak menjawab, matanya memperhatikan setiap tatapan
di kelas ini.
“Aku tidak pernah berfikir jika kau seperti ini rupanya.” Aku menyeka
darah yang keluar. Kini, seragamku tampak lusuh dan tak beraturan.
Tirta mendekatkan wajahnya padaku, “Munafik kau Erlan. Jangan kau fikir
kita akan kasihan denganmu?”
Rasanya tak perlu lagi bertukar pendapat. Aku menggebrak meja keras dan
memulai semuanya agar cepat usai. Tubuh besar Tirta ku dorong hingga terbaring.
Aku memukul wajahnya untuk pertama kali. Bukan dia yang membalas, tapi
Bima, dia menarik rambutku hingga terpelanting ke belakang. Kepalaku terbentur
kaki meja guru, rasa pusing ini semakin bertambah, hidungku kembali berdarah.
Aku masih bisa berdiri kuat, mata ini mengedarkan pandang, puluhan mata
tanpa rasa dosa itu hanya menyeringai melihatku. “Semua ini salahku? Selalu saja
aku jadi kambing hitam.”
Raihan Dhiyaulrahman Herlambang SMAN 1 BOYOLANGU

Tak ada yang acuh denganku di mata mereka, aku hanyalah pembuat
masalah. Aku sendiri tak mengerti, atas dasar apa mereka membenciku.
Sementara Tirta yang masih belum puas dengan balasan Bima padaku, kembali
memukul wajah ini lebih keras. Lebam menjadi lukisan asal pada wajah. Aku
tetap melanjutkan perkelahian ini, meski pada akhirnya aku yang akan kalah. Tapi
aku tak ingin terus dipandang lemah.
Setelah semua dirasa cukup, aku keluar dari kelas lebih dulu. Sorakan keras
memenuhi kelas. Cukup dengan ketidak peduliku terhadap mereka bisa membuat
diriku lebih baik meski hati terus saja meronta. Derap langkah ini kupercepat agar
tak ada orang lain yang melihatku. Darah mengalir keluar dari hidung, kepalaku
pusing dan berputar, aku terlambat. Lima detik kemudian, aku tak sadarkan diri.
Hujan mengguyur lebam yang terpapar, dan perih tak bisa kurasa.
***
Sejak kejadian itu, lama sekali aku tidak pergi ke sekoah. Ternyata limfoma
yang telah menyerang tubuh ini semakin cepat merusak organ tubuhku. Segalanya
terasa sangat lemah untuk dilakukan. Selama tiga bulan, aku hanya bisa berbaring
dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.
Optimis untuk sembuh sudah pasti. Segala proses penyembuhan ku lakukan
dengan sabar meski hati penuh dengan ketakutan. Rambutku mulai rontok setiap
harinya, tubuhku kurus kering, dan dada terasa sangat sesak. Hanya semangat dari
bunda yang bisa aku gunakan untuk bertahan.
“Boleh minta tolong ambilkan kalender?” Pintaku pada Ara, sahabat lama.
Kalender duduk di atas nakas diberikan padaku, dia sedikit heran dengan
diriku. “Apa yang ingin kau lakukan?”
Aku membuka lembar keenam pada kalender itu. Bulan Juni tepatnya.
“Jadi gimana kado yang kamu siapin untuk dia?” Tanyanya.
Tanggal dua puluh empat pada kalender itu ku lingkari dengan spidol biru,
“Aku akan memberinya tepat saat ulang tahunku.”
“Kau selalu memberi yang terbaik pada orang-orang yang kau cintai.” Puji
Ara, dia menatapku senang. “Di hari ulang tahunku saja kau memberikan kado
terbaik untukku.” Kami tertawa setelahnya, setidaknya itu membuatku senang.
Raihan Dhiyaulrahman Herlambang SMAN 1 BOYOLANGU

“Tapi sepertinya aku tak bisa sendiri?” Aku meliriknya bersama senyum
penuh kode.
Ara mengehela nafas dan mencubit pipiku hingga merona, “Apapun untuk
sahabat terbaikku.”
Kondisi yang mulai membaik memberiku sebuah dukungan agar bisa keluar
dari rumah sakit ini dan menghirup udara segar. Aku sangat senang meski masih
harus di dorong menggunakan kursi roda. Ara yang datang dan ikut mengantarku
pulang juga terus mencairkan suasana agar senyum ini terus terukir hingga masuk
ke dalam hati.
“Erlan. Sudah lama kamu tidak pergi ke sekolah. Sementara dua minggu
lagi, kamu akan mengikuti ujian keanikan kelas.” Bunda memulai obrolan baru
kali ini.
Aku mengerti maksud bunda, rasa khawatir sedang meliputi hatinya. “Hm,
bagaimana jika aku istirahat dulu? Fokus pada pengobatan ini Bun.”
Mataku menatap bunda dari cermin yang diarahkan padanya. Aku tak tahu
dengan apa yang bunda fikirkan sekarang. Apakah aku salah menebak?
“Maaf tante jika saya ikut campur. Mungkin apa yang Erlan katakan benar.
Saya fikir jika di sekolah hanya akan memperburuk kondisinya. Apalagi dengan
kondisi kelasnya yang juga tidak kondusif.” Sahut Ara memecah kelengangan ini.
Bunda mengangguk dengan ucapan Ara yang berhasil meyakinkannya. Pagi
sekali, aku dan bunda pergi ke sekolah untuk meminta surat pengunduran diri dan
berpamitan dengan teman satu kelasku.
Seperti yang telah aku duga, tak ada yang peduli. Bahkan Yudha sekalipun.
Meskipun tujuh bulan sudah kami berselisih paham, dia masih belum bisa
memaafkan, malah kebenciannya terhadapku bertambah setiap harinya. Aku tak
bisa membayangkan kedekatan kita yang dulu akan berakhir seperti ini karena
satu orang yang berhasil menghasutnya.
Dari depan kelas, aku masih menatap Yudha yang menundukkan kepalanya
sedari tadi. Sepertinya tak mungkin jika aku ingin bicara dengannya.
Sorenya, aku meminta bunda untuk mengantarku ke kafe. Aku sudah janji
dengan Ara untuk mengobrol. Pulang dari sekolah, dia akan menyusulku.
Raihan Dhiyaulrahman Herlambang SMAN 1 BOYOLANGU

Hujan deras mengguyur kota. Tiga puluh menit setelah jam pulang sekolah,
barulah dia datang dengan seragam yang masih dia kenakan.
“Aku kira kau akan pulang dan mengganti baju.” Ucapku.
Dia terkikik, “Baru saja aku bertemu dengan Yudha”
Mataku terbelalak tak percaya menatapnya. “Erlan, aku dan bunda sudah
berunding tentang hadiah yang akan kamu berikan padanya. Semuanya sudah kita
persiapkan. Baru saja aku bertemu dengannya dan memberikan tiket pesawatnya.”
Jelas Ara serius. Tapi dia belum selesai menceritakannya.
“Lantas, bagaimana dengan dirinya?”
“Kami sempat berdebat. Dia tak ingin teman-temannya membencinya hanya
karena akan menerima ajakan ini. Tapi aku yakin dia tak akan menolak, tiket ini
sangat mahal.”
Yeah, itulah yang sempat Yudha inginkan di ulang tahunnya tahun lalu. Dia
ingin menikmati senja pantai kuta dengan berjuta memori indah di dalamnya. Aku
berharap penuh, dengan ini kita bisa kembali bersahabat seperti dulu.
***
Dinding kaca menampilkan pesawat yang terbang dan mendarat di bandara
ini. Aku sudah menunggu di terminal bersama Ara, tapi Yudha masih belum tiba
juga. Pesawat kami akan berangkat dalam empat puluh menit, sementara lima
belas menit lagi kita harus masuk ke dalam pesawat. Yudha tidak bisa di hubungi
dan itu membuat kami sangat panik,
Seseorang menepuk pundaak, “Erlan!” Panggilnya.
“Tante Sofi? Loh Yudha dimana?” Tanyaku bingug.
Tante Sofi hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. Aku melihat air
matanya keluar, “Erlan, selamat ulang tahun! Tapi maaf hari ini Yudha tidak bisa
ikut. Tante sudah bicara dengan ibumu sayang.”
Hatiku dipukul oleh ratusan palu. Semua berjalan tidak sesuai rencana. Aku
ingin membatalkannya, tapi itu tidak mungkin.”
“Erlan, Yudha memberikan buku ini untukmu. Dia memintamu untuk
membaca buku ini saat di pantai nanti.” Lanjut tante Sofi.
Setelah tante Sofi keluar, kami berpamitan dan masuk ke dalam pesawat.
Raihan Dhiyaulrahman Herlambang SMAN 1 BOYOLANGU

Tidak ada lagi hal yang aku pikir selain Yudha. Nama itu seperti hantu yang
terus mengangguku. Selama pesawat mengudara, aku hanya bisa terus menangis.
Firasatku benar-benar buruk tentangnya.
Pantai Kuta, Bali
Cakrawala merona merah, fase senja telah dimulai. Burung gereja terbang
hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya lalu berkicau menceritakan cinta. Desir
ombak menyapu hati gundah. Di waktu yang sama seperti saat itu, saat usiaku
genap lima belas tahun. Dimana aku mulai berteman baik dengan Yudha.
Aku membuka buku harian yang tante Sofi berikan.
“Untuk sahabatku, terimakasih telah memberiku hadiah yang luar biasa. Ini
memang sangat berat untukku. Maaf jika akhir-akhir ini aku harus menjauh. Aku
tidak ingin kau terus bergantung padaku, terlebih jika setelah ini kamu sudah tidak
lagi bersamaku. Erlan, aku tidak akan pernah bisa marah padamu.”
Halaman kedua, sebuah foto yang tidak pernah aku miliki tertempel pada
halaman itu. Foto kita berdua saat ulang tahunku tahun lalu.
“Selamat ulang tahun sahabat. Kau tau? Senja pantai Kuta kali ini tak akan
pernah bisa kau lupakan. Maaf jika hari ini aku harus pergi untuk meninggalkan
dunia ini lebih cepat, aku tak bisa lagi bertahan dengan jantungku yang tidak bisa
lagi berfungsi normal. Erlan, jadilah sahabatku dengan menaburkan pasir pantai
setelah kau pulang nanti. Sampai jumpa Erlan.”
Aku berbaring di atas luasnya pasir pantai, membiarkan kaki ini basah di
cium oleh gelombang air laut yang datang. Dingin bukan lagi persoalan yang aku
rasakan. Hanya sebuah harapan kecil yang bisa aku larutkan bersama ombak ini.
“Yudha, ini hadiah untukmu, Pantai Kuta yang belum bisa kau nikmati
senjanya sebelumnya. Meski kau tidak bisa mendapatkannya langsung. Aku harap
kau bisa merasakannya disana. Selamat jalan sahabatku. Aku menyayangimu.”

Anda mungkin juga menyukai