“Kita akhiri saja...”, ucap lelaki yang berdiri setengah meter tepat di hadapanku. Ada rasa canggung disana, terlalu sepi. Entah karena aku yang menunduk mulai mengerti arah pembicaraan, atau karena dia terlalu takut membuat luka setelahnya. Aku memilih diam menunggu dia melanjutkan kata yang kuanggap tak beralamat itu. “Hubungan ini. Aku dan kamu, Orlin”, lanjutnya seolah mengerti arti aksi diamku. Aku memejamkan mata menahan agar air mataku tak jatuh dipipi, kutarik napas meredakan sesak yang bergemuruh sejak tadi dihatiku, perlahan kuangkat kepala menatap lelaki yang empat tahun terakhir menjadi pujaan hatiku dan mencoba mencari kebohongan atas katanya-katanya. Tapi tak ada senyum dibibirnya, tak ada teduh dimatanya, menatapku seolah berkata “Sudah, kamu tak pantas untukku”. Sejujurnya, aku tak ingin menjawab, aku tak ingin berakhir begini saja. Tapi ada penasaran yang medesak untuk meminta kepastiannya. “Kenapa?”, suaraku tetap bergetar, padahal sudah sekuat tenaga aku mencoba menahan tangis. Aku membuang muka kearah lain, bukan benci, hanya saja aku merasakan hangat yang mulai menggantung dipelupuk mataku. Aku tak ingin dia melihatnya. “Aku mencintainya...”, dua kata dari bibirnya membuatku tersentak. Aku benci dengan kata-katanya yang selalu gantung seolah disengaja agar aku benar- benar mengerti, agar aku tau bahwa tak ada aku dihatinya lagi. Dia seperti sengaja menancapkan benalu agar aku benar-benar merasa sakit. Aku tak ingin melanjutkan pembicaraan ini. “Kita putus saja, aku menyayangimu. Hanya saja ada orang lain yang lebih sempurna darimu dan aku mencintainya”, lanjutnya telak. Pertahananku runtuh, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh. Bagaimana mungkin dia bisa menyayangiku ketika ada yang lain yang begitu dia cintai, bagaimana mungkin dia mengakhiri setalah empat tahun aku bersamanya hanya karna orang lain yang baru saja ia temui. Hatiku kalut. Kututup mulutku dengan tangan mencoba menahan isak, tapi semakin kutahan semakin sesak dada ini ingin mengeluarkan beban hati yang tak terbendung lagi. Kubalikan badan, kakiku gemetar tapi tetap kulangkahkan agar aku beranjak dari hadapannya. Aku menangis, bahkan lebih keras. “Lin, Lin, Orlin...?”, panggil lelaki itu dan berusaha mengejarku. Sunyi, sunyi, dan semakin sunyi. Aku langsung terbangun dengan napas tak karuan, dan detak jantung yang begitu terburu. Kusibak selimut karena begitu gerah dan aku benar-benar berkeringat, serta kuseka air mata dipipi. Aku bermimpi, hanya mimpi yang terasa begitu nyata dan aku benar-benar mengeluarkan air mata. Kulihat jam dinding kamarku, masih menunjukan pukul 02.15 malam. Kuraih segelas air putih diatas meja belajarku dan langsung kuhabiskan dalam sekali teguk. Kantukku benar- benar hilang, rasanya akan terasa sulit untuk memejam kembali. Kucoba menghubungi sebuah nomor, tapi tak kunjung diangkat. “Pukul 2 malam, barangkali dia sedang tidur lelap”, ucapku sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di dekat jendela menikmati angin malam dan ditemani jutaan bintang serta majalah yang hanya kubolak-balik saja, bukan membacanya. Pikiranku tidak pada majalahnya, tapi pada mimpi yang baru saja kualami. *** “Orlin...”, teriak seseorang dibelakangku. Aku tak menoleh, lebih tepatnya pura-pura tidak mendengar karna aku sudah mengetahui pemilik suara itu dan hanya dia satu-satunya orang yang memangilku dengan nama belakangku, ‘Orlin’. Aku mempunyai nama lengkap ‘Andara Flowera Orlin’, teman-teman memanggilku ‘Flo’, kecuali Elang. Bukan berarti teman-teman disekolah tidak bisa memanggilku ‘Orlin’, hanya saja seluruh murid penghuni sekolah memilih tidak berurusan dengan Elang karna Elang sudah membuat pengumuman sejagad sekolah bahwa hanya dirinya yang boleh memanggil ‘Orlin’, dan siapa saja yang berani mengganggu kenyamanan dia dan aku, tunggu saja tanggal mainnya. Elang pernah memukuli temannya hingga tidak masuk sekolah selama tiga hari karna temannya sering menghubungiku. Elang juga pernah mengibarkan di tiang bendera seragam Tanti, kakak kelas yang naksir padanya sewaktu Tanti sedang di kelas olahraga. Elang tak senang ketika Tanti mencariku ke kelas dan memaki- makiku. Kadang aku prihatin dengan korban-korban Elang, tapi aku tak bisa membantah tindakkannya. Sekarang aku duduk di kelas 1 SMA dan Elang dua tahun lebih tua dariku. Aku berpacaran dengannya ketika aku masih duduk di kelas 1 SMP, dan Elang memaksaku untuk masuk SMA yang sama dengannya. Alasanya simpel, “biar aku gak diganggu lagi sama kakak atau adik kelas yang naksir aku, taukan kalo penggemar aku tuh banyak, nanti kalo aku diambil orang gimana?”. Aku masih tersenyum bila mengingat alasan ini, karna Elang menyumbat mulutku dengan kertas ketika aku tak bisa berhenti tertawa mendengar alsannya. “Dicuekin nih, Lin. Gak lihat apa cewek-cewek dari gerbang sampai ujung koridor sekolah udah pada merhatiin aku dan berdoa biar aku cepat putus sama kamu”, ujar Elang sambil merangkulku mesra. Seperti biasanya, Elang selalu membuat aku dan dia jadi pusat perhatian setiap pagi. Lebih parahnya lagi, Elang pernah menggendongku sampai ke kelas karna aku tak menyahut panggilannya, atau berteriak “Aku manggil kamu, Orlin. Aku sayang kamu. Aku gak pengen kita seperti orang nggak kenal kayak gini”, di gerbang sekolah dengan gaya hiperbola- nya karna aku pura-pura tak mendengar ketika dia memanggil dan dengan terpaksa aku harus kembali ke gerbang sekolah untuk menggebuknya dengan tas atau sepatu. Hampir setiap hari aku menjadi langganan guru BK karna ulahnya. Kadang aku malu karna menjadi pusat perhatian setiap pagi, tapi tak bisa kupungkiri aku juga merasa senang dengan kelakuaanya yang gila. Kutepis tangannya, “Ngapain rangkul-rangkul di sekolah, nanti kita dipanggil lagi sama guru BK baru tau rasa”, ucapku sambil memukul pelan lengannya. “tenang aja, nanti guru BK-nya aku kedip aja, ntar juga langsung luluh”, jawabnya sambil memamerkan senyumnya yang aku yakin membuat semua perempuan meleleh. Aku memasang tampang cemberut, pura-pura cemburu kalau Elang menyukai guru BK. Elang tertawa dan mengacak-acak rambutku dengan pelan, “Apa? Mau digendong lagi ke kelas?”, sambungnya sambil mensejajarkan wajahnya dengan wajahku. Wajahku terasa panas, dan aku yakin sekarang pasti sudah memerah. Kupilih untuk mundur selangkah agar aku tak sedekat tadi dengan dia dan untuk menghindari tindakan gila selanjutnya aku berlari meninggalkan Elang sambil melambaikan tangan, “Aku gak mau kamu ngedip guru BK, sampai ketemu istirahat nanti”, teriakku. Masih sempat aku melihat Elang membalas lambaian tanganku dengan satu tangannya di saku celana sambil tersenyum. Elang benar-benar tampan pagi ini, ditambah cahaya matahari pagi yang menerpa kulit putihnya membuat ia seakan bercahaya. Kuperhatikan sekeliling, sebagian besar siswi terang-terangan memperhatian dia. Aku benar- benar takut kehilangannya, karena aku mencintainya. Aku juga tidak mengerti, bagaimana bisa aku sangat mencintainya selama empat tahun ini. Aku selalu memikirkan betapa romantis dan humorisnya dia. Elang pernah panik hanya karena aku lupa sarapan pagi, lalu Elang membelikan roti dan susu ke kantin dan memaksaku untuk sarapan. Bahkan Elang juga pernah mengantarkan makanan ke rumahku malam-malam karena ia sangat marah kalau aku diet dan tidak makan malam. Elang juga sangat sabar mengajariku tugas Bahasa Inggris sampai jam 3 malam. Aku sangat bodoh Bahasa Inggris sedangkan Elang selalu mendapatkan 100 di lafornya untuk Bahasa Inggris. Elang selalu memberikan pelukan hangatnya kepadaku saat aku sedih. Elang tidak pernah menggapku seorang pacar, tapi Elang selalu menganggapku adiknya yang membuatku selalu nyaman disisinya. Masih banyak lagi tentang Elang yang selalu membuat aku tertawa kecil saat mengingatnya. Sekali lagi, aku benar-benar tulus mencintai Elang. *** “Aku gak bisa keluar bareng kamu malam ini”, kata Elang tiba-tiba ketika mengantarkanku pulang. “Hmmm...”, hanya itu yang terpikir oleh kepalaku saat ini, ada perasaan gelisah yang harus kutepis terlebih dahulu. “Ada apa?”, tanyanya. “Gakpapa”, jawabku pendek. “Aku nanya baik-baik, Lin. Kalo ada yang salah bilang”. Aku tak langsung menjawab, karna aku pikir yang dia ucapkan tak membutuhkan jawaban. “Aku juga pengen have fun sama teman-teman, kita udah janji ngumpul hari ini”, terusnya sedikit meninggi. “Aku kan bisa ikut kamu, lagipula aku gak bakal ganggu acaranya kan?”, ujarku sengaja cuek. Aku menunggu reaksi Elang, kurasakan ada perubahan yang terlalu cepat dengan sikapnya. Dia berubah, namun tak begitu terlihat. Elang terlihat tak tenang, berkali-kali kudengar dia menghembuskan napas berat, dan akhirnya dia angkat bicara, “Kamu kapan bisa ngerti aku, tiap hari aku bareng kamu, disekolah bareng kamu, tiap malam minggu jemput kamu, kemana-mana bereng kamu. Pagi, siang, sore, malam aku telponin kamu biar kamu senang. Aku selalu nurut kalo kamu bilang gak boleh ini, gak boleh itu. Karna apa? Karna aku sayang kamu. Tapi sekali aja aku pengen bebas, Orlin. SEKALI AJA”. Elang membentakku, lebih tepatnya mengeluarkan semua isi hatinya yang selama ini aku tak pernah tau kalau sebenarnya dia bosan. Ya, Elang bosan. “Maaf Lin, aku mulai jenuh dengan hubungan kita. Aku gak pengen juga kalo kita putus karna aku bosan, jadi untuk sementara waktu kita gak usah komunikasi aja, di sekolah pura-pura aja kalau aku gak ada dan aku juga bakal gitu”, jelasnya seperti membaca apa yang sedang aku pikirkan. “Satu atau dua minggu aku rasa cukup”, lanjutnya melepas tanganku yang melingkar di pinggangnya. Mataku panas dan tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku. Aku diam, begitu juga dengan Elang, sibuk dengan pikiran masing-masing. Elang mengantarku tepat di depan rumah, setelah aku turun Elang langsung memutar motornya dan pergi tanpa mengucapkan satu katapun, bahkan dia tak melihatku sedikitpun. *** Sudah pukul 5 sore, tak ada tanda-tanda kemunculan Elang, padahal sudah empat jam aku menanti di dekat Handpone dan hampir saja ketiduran, entah sudah berapa pesan kukirim menanyakan keberadaannya, entah sudah puluhan panggilan yang tak dia jawab dan entah sudah ratusan SMS yang kukirim padanya, pesanku jelas terbaca olehnya namun tetap tak dia eja. Tidakkah dia tau bahwa di sini ada seorang perempuan menggerutui hatinya yang disiksa rindu dan ditikam ngilu. Rindu yang sekarang laksana sebuah balon yang berdiam diri dibawah rintik hujan yang turun menjelma menjadi ribuan jarum, begitu sakit. Kuputuskan untuk berganti pakaian dan keluar bersama teman-teman malam ini, “Setidaknya men gurangi nyeri di hati”, pikirku. *** Aku memesan makanan sementara teman-teman mencari tempat untuk duduk. Aku mengarahkan pandangan sekeliling, tak terlalu ramai oleh pengunjung dan mataku menangkap seseorang yang rasanya begitu kukenal. Elang, dia sedang duduk bersama seorang perempuan. Elang menatap perempuan itu, bukan tatapan kepada seorang adik apalagi seorang teman dan dengan jelas kulihat perempuan itu tersipu. Hatiku memanas. “Kita pulang aja, atau cari tempat lain yang lebih seru”, sergah Lala, temanku yang sepertinya sudah mengerti apa yang terjadi dan sepertinya takut aku melakukan tindakan bodoh. Aku hanya tersenyum getir, aku gak bakal menampar atau menyiramnya dengan air dan membuat seluruh pengunjung memperhatikanku, ku ambil pesananku dan kuletakkan di meja dimana lelaki yang begitu kucintai duduk bersama perempuan lain. “Tempatnya penuh, gak ada meja yang kosong lagi, jadi aku milih duduk disini”, ucapku acuh setelah beberapa detik ku perhatikan Elang begitu kaget. Aku menunduk dan setelah itu tak lagi kuangkat kepalaku menatapnya, tak dapat kujelaskan rasa yang memenuhi dadaku saat ini. Sakit, kecewa, dan benci melebur menjadi satu rasa yang tak bisa kunamai. Aku berusaha secepat mungkin menghabiskan makanan didepanku, kumasukkan makanan sebanyak mungkin kedalam mulutku dan kutelan tanpa mengunyah, aku sedang sekuat yang kubisa menahan gejolak yang membuncah, menahan air mata agar tak tumpah, menahan caci agar tak keluar dari bibirku yang bisa membuat Elang tersakiti. Aku menyayanginya, bahkan setelah luka yang baru saja ia gores. Aku tersedak, kulihat Elang dengan cepat mengambilkanku minum, “Jangan bodoh, Orlin. Gak perlu nyiksa diri kamu kayak gini”, bentaknya sambil mengambil paksa sendok ditanganku. “Kamu pulang aja dulu, nanti aku hubungi”, ucap Elang kepada perempuan itu dengan tersenyum ramah. Elang menyentak keras tanganku dan menarikku keluar, genggamannya terlalu kuat sehingga membuat pergelangan tanganku terasa sakit. Elang marah, tapi kenapa? Elang baru melepaskan genggamannya ketika sudah berada ditempat yang sedikit sepi, dia memegang kedua tanganku karna dia tau sedari tadi tanganku gemetar. “Angkat kepalanya dan lihat aku...!”, pintanya lembut. Dia menatapku teduh namun tak ada senyum seperti biasanya. “Kita putus!!”, sambungnya. Entah belati mana yang sekarang merobek jantungku, darahku terasa cepat mengalir dan berhenti begitu saja, aku menatap kosong dirinya seakan tak percaya. Bagaimana mungkin dia bilang putus ketika tangannya masih tetap menggenggam kedua tanganku, memberiku kekuatan agar aku tak begitu terkejut dengan ucapannya atau alasan lain yang tak pernah kumengerti? “Kurang lebih dua bulan aku bersamanya, perempuan yang tadi duduk denganku”, terusnya, “Maaf untuk semuanya, tetap kuat karna aku yakin kamu bisa. Jangan menungguku”. Ingin rasanya aku berteriak agar dia berhenti mengatakan sesuatu yang kuanggap seperti lelucon malam ini. Aku membalas genggamannya seakan aku tak ingin dia pergi, aku ingin punggung tangannya mengusap air mataku yang mulai jatuh satu-persatu saat ini. Elang perlahan mencoba melepaskan tangannya, aku menariknya kembali dan menggenggamnya lebih erat, isakku semakin keras, aku menggeleng sekuat yang aku bisa. “Sudah, Orlin. Gak ada gunanya memaksa, ini hanya akan membuatmu tersiksa dan semakin menderita”, jelas Elang melepas paksa genggamanku. “Aku mencintaimu”, ucapku lirih dalam isakkan tangisku. Elang tak menjawab, hanya menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tak dapat memahaminya. Dia melangkah mendekatiku dan langsung mendaratkan sebuah pelukan yang begitu hangat, “Jangan pernah mencoba untuk menungguku, menyerah saja karna akhir bahagia itu bukan milik kita. Kisahku, aku dan dia, tak ada celah yang harus kamu isi. Maaf”, jawabnya mencium pelan keningku dan melepas pelukkannya tanpa menghapus air mata yang sejak tadi mengalir dipipiku. Elang beranjak pergi, dia meninggalkanku sendirian tanpa menoleh lagi kebelakang. Tak perduli seberapa banyak aku menangis, tak perduli seberapa keras aku memanggil, bahkan walaupun aku mengejarnya dan meminta agar dia tetap di sini, Elang tak akan kembali. Tak ada yang perlu ku ubah. Kuperhatikan Elang yang mulai menjauh, punggung yang dulu menjadi tempat aku bersandar, bahu yang dulu menjadi tempat tangisku, tangan yang dulu menghangatkanku, kaki yang dulu selalu berjalan kearahku, sekarang semua melangkah menjauhiku. *** Seharusnya, saat pertemuan kita dulu, aku tak perlu mengikutsertakan rasa. Seharusnya, saat itu hatiku tak perlu ikut bicara. Semestinya aku, kamu, kita berdua, saling menggenggam tangan hanya untuk mencari hangat semata. Hanya untuk sekedar mengusir hawa dingin lewat sentuhan hangat diantara gigilnya udara. Aku pikir, dengan sentuhan tangan seperti itu, tak akan mampu menjelmakan rasa. Tak akan mampu menggugah geliat hati. Namun nyatanya, aku benar-benar tak mampu memagari hati. Padamu, aku takluk. Hatiku resmi tercuri saat aku berseragam biru. Tepat disaat itulah aku menyadari bahwa ternyata aku begitu ingin menjadi seseorang yang paling kau sayangi. Begitu ingin menjadi kepingan yang hilang untuk sempurnakan hidupmu. Menjadi perempuan yang paling kau cintai. Utuh. Bukan hanya separuh. Namun saat ini, tiba-tiba ada perempuan lain disebelahmu. Baru saja kamu temui dan langsung kamu cintai. Sejak kehadiran dia, aku tau bahwa akan ada saatnya kamu dan aku tak lagi bersatu menjadi kita. Sejak dia diam-diam hadir dalam hubungan kita, aku yakin bahwa semakin ada jarak antara aku dan kamu. Aku tak mengerti mengapa sejak kehadiran dia aku seakan-akan semakin jauh dan dilupakan. Aku semakin kehilangan kamu, aku semakin berjarak denganmu. Dia, wanita yang kau perjuangkan saat ini, tak pernah tau rasanya jadi aku. Aku yang berjuang mati-matian hanya untuk mencintaimu. Tapi, itulah yang namanya pengorbanan, selalu di luar batas kemampuan. Ku biarkan kamu jatuh cinta pada orang lain selain aku, kamu pantas bahagia. Memang, pertemuan selalu membutuhkan perpisahan dan cinta selalu butuh keikhlasan. Tapi, aku tak habis pikir caramu mengucapkan perpisahan, memelukku, mengecupku, lalu menyuruhku untuk tak menunggu? Seketika sesuatu dalam diriku meronta. “JANGAN PERGI, AKU TAK MAU KAMU PERGI!!”. Ingin sekali kau berteriak bilang begitu. Namun kata- kata itu urung aku jeritkan. aku telan satu-persatu susunan huruf tersebut hingga tak sempat terlontar keluar. Namun, bukannya tertelan, huruf-huruf tersebut justru tersangkut di tenggorokan meski berkali-kali ku mencoba menelannya. Rasanya sulit sekali. Hingga kemudian aku merasakan panas yang menyengat di kedua kelopak mata ketika mencoba menahankan rasa sakit yang meluap dari dalam dada. Aku diam. Ada rasa sakit merambati hatiku pelan-pelan. Mungkin saat ini kamu sama sekali tidak menyadarinya. Kamu tau, sayang? Betapa aku benci pada keadaan ini. Tak hanya sakit, aku juga merasa terluka. Sekaligus bodoh. Bisa- bisanya aku terluka karna perempuan yang baru saja kamu labuhkan cintamu untuknya. Seandainya boleh memilih, aku tidak pernah ingin merasakan hal ini. Berbenturan rasa yang semestinya tak pernah boleh terjadi. Tapi untuk mulai menghapus rasa tersebut dari hati yang sudah terlanjur menetap di sana, aku juga tak sanggup. Untuk tetap melanjutkannya, apalagi. Bagaimana bisa aku masih mencintaimu sementara kamu tak lagi menginginkanku. Tadinya aku berpikir kamu masih punya rasa yang sama denganku, tetap mencinta. Tapi aku salah. Kamu perlahan menjauh. Begitu jauh. Dan sama sekali tak dapat lagi terjangkau oleh hatiku. Kini, aku hanya bisa memandangimu dari kejauhan. Mengagumi diam-diam dari belakang punggungmu tanpa kamu tau. Biarlah sementara begini. Tepatnya, aku akan membiarkannya tetap begini, meski semua ini terasa terlalu menyedihkan untuk aku lalui. Mungkin saat ini aku perlu waktu. Karena mungkin selama ini aku sudah terlalu terbiasa merasakan keberadaanmu di hatiku. Meski nanti tiap kali mengingatmu, aku merasakan perih di mata. Meski nanti aku akan merasakan seolah ada sesuatu yang tak nampak menusuk hati dan membuat lubang di sana. Lubang yang tak tertutup walaupun begitu banyak waktu yang berlalu. Karena sesungguhnya, rasaku tak mampu sendirian tanpa kehadiran hatimu. “Seharusnya, dulu aku tak lupa membawa kompas, saat berani memutuskan mencintaimu agar aku bisa kembali pulang saat jauh tertinggal di belakangmu. Aku tak akan menunggu, hanya saja aku menanti kamu kembali. Kapanpun itu.”, bisikku melangkah pergi, menelan tangis yang aku tau akan sia- sia. ***