Anda di halaman 1dari 87

Love or karma ?

Kata pengantar
Pertama aku mengucapkan terima kasih bagi yang sudah bersedia membaca tulisanku.
Setelah itu diantara kalian pasti ada yang bertanya, tulisan macam apa ini ?. ini adalah
tulisan dari penulisan amatarian yang baru mulai belajar menulis utnuk pertama
kalinya. Jadi jika dalam penulisan terdapat kesalahan penulisan, titik dan koma harap
dimaklumi.
Dan terima kasih kepada seseorang yang telah mensupport saya unruk menulis cerita
sederhana ini. Terima kasih

Cipt : E Selfi.

"apa kau tidak mau berlibur ? atau semacamnya lah hah ?" suara Lani disela-sela debam
hentakan buku - buku besar tebal di laci dibawah meja kasir. berjongkok sedikit debu
mengepul diwajahnya, tapi dia tetap dengan mulutnya berisik bertanya padaku. "oh ayolah,
banyak tempat menarik bisa kau datangi."
aku masih tak menghiraukannya, aku masih sibuk dengan daftar barang jualan yang semalam
baru datang.
"hei, aku bisa mengurus ini sendiri" jari telunjuk Lani melenting menarik sedikit buku daftar
barang, mau tak mau aku meliriknya.
"apa yang salah denganmu Lani ?" akhirnya aku bersuara. meyandar bosan dikursiku.
"justru aku yang bertanya...apa yang salah denganmu?" Lani berkacak pinggang dan sesekali
mengibas rambut hitam lurus menjuntai sampai kepinggangnya. berpose ala model
didepanku. sebelum akhirnya dia bersuara lagi "kau pemilik toko besar ini dan aku yang
bekerja membantu mengelolanya. tapi kau bekerja terlalu keras sampai - sampai kau lupa
waktu untuk dirimu sendiri."
"Lani...."
"Nicia........sayang lebih baik kau bersenang -senang sekarang." dia mencuil hidungku dengan
kuku runcingnya. aku hanya diam dan sedikit senyum dengan tingkahnya seperti ibu bagiku.
"atau berbulan madu dengan suamimu itu, kalian sudah dua tahun menikah tapi belum ada
keponakan untukku." dia menatap genit padaku. tapi ucapannya tadi berhasil membuat
kepalaku ingin meledak. tapi memang dia suka melakukannya.
"dia itu hanya budak yang sedang dikuliti" kataku ketus.
Lani menarik kursi duduk berhadapan denganku. raut mukanya seolah ia ingin mencungkil
mataku.
"sudahlah jangan membuatku marah" aku berkata malas sembari mengusap wajahku lembab
oleh keringat.
"aku hanya takut karma akan terjadi padamu nanti, sadarilah kau telah menyiksa orang yang
salah." dia menggenggam tanganku lembut.
"kau mengingatkanku seolah kita ini ada dalam drama televisi,"

***

lihat apa yang aku lakukan hari ini, berdiri depan kaca. memperhatikan bayanganku yang
kusut belum mandi. kembali aku duduk ditempat tidur, berpikir apa yang aku lakukan hari
ini. berlibur seperti saran Lani. tiba-tiba bau harum masakan masuk ke dalam kamarku. tau
siapa yang memasak seperti pagi-pagi biasanya, Altair.
semenjak dia aku datangkan kesini, dia selalu memasak makanan bukan hanya untuknya
sendiri tapi juga aku. kebetulan perutku protes saat pagi-pagi begini, aku ingin langsung
menyerbu makanan yang mungkin sudah siap. biasanya aku akan makan kalau dia sudah
pergi atau aku makan diluar.
aku menyandar dipintu melihat punggung Altair sibuk dengan masakannya. aku tak tau apa
yang ada dalam pikirannya, selama ini dia tau kalau aku memaksanya menikah denganku
untuk rencanaku menyakitinya dan menghabisinya. tapi apa yang dia lakukan selama dua
tahun ini belum pernah ada dia mencoba membalas semua perbuatanku padanya. padahal
kalau di pikir-pikir dia yang memasak makanan setiap harinya bisa sajakan dia langsung
menghabisiku dengan menaruh racun dimakananku kemudian aku mati, habis perkara.
"sebentar lagi makanannya matang" suara Altair tiba-tiba. aku sedikit terkejut tapi tetap tanpa
ekspresi.
aku masih berdiri memandang sinis padanya, seperti biasa lagi tatapan-nya tak pernah
membalas sinis padaku. tatapan sinisnya hanya sekali aku lihat saat aku menemuinya
dirumah sakit, dulu.
terkadang aku merasa seperti gadis 15 tahun yang tolol sedang marah besar-besaran tapi tak
diladeni. pernah disatu titik aku merasa kalah pada Altair. seberapapun aku menyakitinya dia
tak pernah membuka suara padaku atau apapun.
"duduklah, sarapannya sudah siap" dia menawariku duduk, sudah ada masakan panas
mengepul dimeja untukku. langkah pelan aku menarik kursi menimbulkan derit ringan
dilantai.
duduk sambil membetulkan gaun tidurku, aku rasa ada yang salah dengan pakainku. aku lirik
ketubuhku sendiri..ya tuhan gaun tidur putih berbahan tipis ringan, tembus pandang dan tali
spaghetti. ukuran gaun ini pendek sekali ditambah lagi dadaku menyembul keluar. aku
menelan ludah dan langsung menutupinya karena malu. pantas saja Altair tidak begitu
memandangku dari tadi, aku jadi salah tingkah sendiri. bodoh sekali padahal dari tadi aku
sudah berlama-lama menatap bayanganku dicermin, kenapa bisa aku ceroboh keluar dengan
pakaian mempertontonkan tubuhku.
aku berlari kekamar membuka lemari mencari sesuatu yang lebih bisa menutupi tubuhku,
selamat........aku menemukan jacket jins biru dan menyambarnya. aku kembali kedapur
dengan rasa malu masih meliputiku masih dengan gaun tidur tapi sudah ditutupi jacket.
duduk canggung di kursiku. aku melirik Altair yang masih dengan makanannya.
"kau melihatnya ?" suaraku kaku sinis juga malu.
"apa ?" Altair mengalihkan pandangan padaku "oh, kau berlari tadi. kenapa kau berlari ?"
katanya lagi.

"bukan tapi pakaianku tadi" aku bersuara rendah.


"aku tidak melihat dengan jelas, kau lihatkan aku memasak dari tadi dan setelahnya makan"
aku tidak yakin kalau dia tidak berbohong dan melanjutkannya lagi " aku lihat kau santai hari
ini, kau tidak bekerja ?."
"aku istirahat hari ini, Lani yang mengurus toko. mungkin aku besok akan melihat sapi, aku
sudah lama tidak kesana" kataku menyuap tumis daging dan roti gandum dan rasanya selalu
enak. aku bahkan tak bisa memasak seenak ini.
"ooh, hati-hati jika kau ingin berpergian. sekarang inikan cuaca sedang tidak bisa ditebak
kadang cerah kadang ribut" Altair menyudahi sarapannya. berpamitan padaku, aku mengikuti
dan melihatnya pergi dengan bersandar didepan pintu.
kenapa aku melakukannya, harus melihatnya pergi mungkin aku terbawa suasana percakapan
singkat dengannya. hal ini tak pernah kami lakukan. sudah aku katakan hanya bicara jika ada
perlu dan aku membalas dengan anggukan sinis. aku tak pernah berbagi cerita panjang lebar
pada siapapun kecuali Lani. dia satu-satunya sahabat dan kuanggap saudara bagiku. sejenak
ada rasa nyaman didadaku, ah lupakan. jangan berlebihan Nicia.
********
"ya tuhan apa kau tidak percaya sama sekali tokomu ini padaku hah ?" sembur Lani saat
wajahku baru saja dilihatnya.
"aku hanya melihatmu" aku langsung menjatuhkan diri di kursi kasir.
"terserah kau saja" Lani kembali menyusun beberapa kotak barang dibagian paling atas rak
disamping meja kasir sampai akhirnya dia bersuara lagi "oh aku lupa kalau aku bawa roti
panggang, ayo kita sarapan."
"ini sudah hampir jam sepuluh dan kau baru sarapan" aku melihatnya menarik laci didekatku
mengeluarkan kotak pelastik bening dan menaruhnya didepanku. dia menarik kursi duduk di
seberang meja didepanku.
"lagipula aku sudah sarapan" kataku seketika Lani menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum
jahil padaku.
"kau memaksanya memasak untukmu ?" Kata lani disela-sela menggigit rotinya.
"dia memang sepertia biasa memasak kan ? kau juga pernah makan masakannya"
"mhmm....dan rasanya enak sekali, aku ketagihan. dan apa lagi yang kau rencanakan
untuknya ?" suara Lani mulia sinis. aku tau maksudnya, orang yang paling dekat denganku
dan dia jugalah yang sangat membenci atas apa yang ingin aku lakukan. dia menentangku
habis-habisan, menasehatiku sampai akhirnya menyerah dengan ancaman dingin kalau suatu
saat aku yang akan menanggung akibatnya. tapi dia sangat mengenalku dengan baik, aku
bukanlah orang yang mudah merubah apa yang akan kulakukan.

"kau tidak bisa menuduhku, kebanyakan kecelakaan yang dia alamikan memang karena
tempatnya berbahaya" aku berkata pelan. aku tak suka keributan dan menggaggu orang
berbelanja. memang tokonya baru buka tapi sudah banyak orang datang belanja. aku
bersyukur usaha yang aku bangun bersama ayahku sawaktu aku remaja bertambah maju
hingga sekarang.
"memang kau tak melakukannya tapi kau yang mengarahkan dimana dia bekerja," suaranya
mengumpal sesak akan makanan.
"kenapa kau selalu membelanya, kau meyukainya ?" aku duduk tegap memandang Lani.
"aku mau bayar belanjaan-nya..." seorang ibu menaruh keranjang dimaja kasir tersenyum
ramah,
"ya ya sebentar.. " Lani memutari meja berheti disampingku meladeni ibu tadi.
aku bersandar lagi hangga Lani selesai. dia kembali duduk dikursinya tadi dan mengunyah
rotinya lagi tentunya.
"apa katamu tadi, membelanya, hei kau yang harus sadar kau salah orang, cantik. berapa kali
aku harus mengatakan padamu kalau Altair bukan anak pak Yoan dan ibu Ara, dia hanya
sedang sekarat dan memerlukan pertolongan juga mereka menyukainya jadi dia di angkat jadi
anak mereka. yang sampai sekarang aku belum tau dari mana sebenarnya Altair berasal,
seharusnya kau men...."
"cukup..cukup.. mau berapa panjang lagi kau mengoceh, aku tetap dendam pada
keluarganya"
"sebaiknya kau cari tau darimana Altair berasal" Lani menyelesaikan rotinya hingga licin,
bisaku tebak pasti dia kemarin hanya makan dua sendok bubur ayam kesukaannya.
"untuk apa ? agar aku berubah pikiran dan yakin kalau dia bukan anak pak Yoan heh ?" aku
mulai benar-benar serius.
"sayang...kau pikir dengan menghabisi satu persatu keluarga pak Yoan itu akan membuat
keluargamu kembali ?," Lani mengusap tanganku lembut "sudahlah, kematian pak Yoan
sudah cukup lama. apa itu tak melunturkan sakit hatimu ? ingat kematian itu sudah diatur
yang maha kuasa."
"tentu ada yang mengatur tapi cara kematian ayahku yang tidak wajar dan menyakitkan bagi
siapa saja mengalami sepertiku. aku akan tetap menghabisi keluarganya dengan menyakitkan.
meski dia sudah mati kuharap dia bisa melihat keluarganya tersiksa dari alam kematiannya."
air mataku mulai turun tapi cepat aku menghilangkan-nya. aku tak mau terlihat seperti ratu
drama yang mengada-ada soal dendam.
mau mengatakan aku munafik, terserah tapi yang pasti tak ada satupun manusia dalam waktu
sekejap bisa menerima kematian seseorang yang paling berarti seperti pembantaian daging
sapi dipasar.
baik, aku tau membalas dendam tak akan merubah apapun, tapi setidaknya itu setimpal kan?.

"aku mau pulang dulu" aku bangkit dari kursi dan pantatku terasa panas.
"mau kemana kau hari ini ?"
"entahlah, mungkin aku akan dirumah saja hari ini. kau datanglah kerumah nanti, sudah lama
kau tak kerumahku."
"hati-hati, jika nanti toko tak ramai pengunjung aku akan cepat menutupnya. kita akan
bergosip nanti malam" Lani memelukku dan mencuil hidungku.
**********
cahaya remang dirumahku membuatku semakin malas untuk menyalakan lampu. aku
menghempaskan tubuh kesofa ruang tamu seperti yang aku lakukan jika kelelahan. awalnya
memejamkan mata bukan tidur tapi tiba-tiba saja aku melirik foto ayah diframe coklat muda
berukiran daun jatuh dengan tetes embun. ayah tersenyum lebar memakai kaus hijau lumut
juga celana selutut dan topi bundar coklanya mengapit bahuku yang kecil berumur lima
tahun, aku juga tersenyum dalam balutan gaun biru pucat rambut pendek dan tiga gigi
ompong didepan.
dulu tujuh tahun yang lalu aku dan ayah selalu saja saling mengejek siapa yang jelek di foto
ini jika kami duduk kumpul berdua.
secara naluriah aku tersenyum sendiri mengingat betapa jahilnya aku pada ayah juga
sebaliknya. aku sangat mencintainya, dia selalu mementingkan diriku dari pada dirinya
sendiri.
jika kau bertanya dimana ibuku, dia meninggal saat umurku empat tahun karena demam
tinggi. aku tak mengerti kenapa hanya gara-gara demam dia meninggal, itu dulu
pertanyaanku saat dia meninggal. dari saat itu ayah berperan sebagai ibu juga ayah untukku.
dia tidak ingin menikah karena sangat mencintai ibuku tapi kau tahu apa? aku bisa
meyakinkan ayahku saat aku sudah dewasa bahwa dia harus menikah.
Flashback
"janggut bercampur ubanmu itu sangat menyesakkan mata" aku memijat bahu ayah dan
sesekali aku meggoyangnya membuat suara batuknya timbul. aku tau dia tak batuk
sungguhan.
"aku bisa mencukur nanti" suara ayah berdehem dan mengelus janggutnya belum seberapa
panjang sendiri.
"coba kalau ayah menikah dan.....pasti istri mu akan mencukurnya. hmm... kenapa ayah tak
menikah saja?" aku berhenti memijat bahunya. memutari sofa diduduki ayah dan duduk
disampingya.
"aku tak mau kehilanganmu dan berapa kali kau sudah menanyakannya?" suara ayah tibatiba melucu seperti detektif kartun diacara televisi minggu pagi. aku tau dia mencoba
mengalihkan pembicaraan.

"aku lupa berapa banyak aku mengatakannya, tapi berapa banyak aku mengatakannya
sebanyak itu juga ayah tak menaggapiku," aku menaikkan alis sebelah menatap ayah.
dia menarik nafas bersiap-siap mengatakan sesuatu tapi buru-buru aku memotongnya.
"ayah.....aku benar-benar ingin melihatmu bahagia memiliki istri. baik, aku tau ayah sangat
mencintai ibu begitupun juga ibu tapi aku yakin ibu tidak akan marah dilangit sana jika
melihat ayah menikah lagi." aku merangkul lengannya.
"aku bahagia Nicia. aku mencintai ibumu dan aku memilikimu sebagai semangat hidupku,
apalagi yang bisa membuatku bahagia selain hal itu. tak ada yang bisa menggantikan ibumu
di hati ayah dan ayah pastikan tak lama lagi ayah akan bertemu lagi dengan ibumu" ayah
mengusap kepalaku seperti aku ini anak remaja lima belas tahun padahal aku sudah 22
tahun.
"ayah.......setidaknya apa salahnya jika ayah menikah lagi"
"baik ayah akan mencobanya...untukmu tentunya" aku tersenyum lebar mendengar
pernyataan-nya, aku tau dia melakukan ini karna permintaanku tapi aku hanya berdoa
berharap dia akan bertemu seseorang yang tepat untuknya.
tidak berapa lama setelahnya ayah memberiku kabar kalau dia akan memperkenalkan
seseorang padaku, yang padanya nanti aku akan memanggilnya dengan sebutan ibu.
lihat...aku hampir berhasil walaupun dia melakukan-nya karena aku. seperti yang aku katakan
sebelumnya. tapi sayangnya aku belum mengenal wanita itu dan ayahku meninggal.
kenangan tujuh tahun lalu setitik hampir membuatku tersenyum lebar dan beribu-ribu kali
lipat membuatku menangis, ya apa yang bisa dilakukan selain menangis. aku menaruh lagi
foto ayah dimeja dan mengusap wajah ibu di foto pernikahan yang sudah mulai usang.
tenggorokanku kering akibat menahan tangis dan uhh...perutku protes minta di isi,
memangnya jam berapa sekarang ?. aku melirik jam di tembok sudah jam tujuh malam, ya
tuhan memang sudah berapa lama aku menatap foto ayah atau aku tertidur tadi ?.
aku menusuri ruang tengah melewati beberapa kamar, rumah ini lumayan besar untukku
sendiri ehm..maksudku dengan Altair juga.
hiasan rumah ini juga tak banyak yang aku ganti mengingat kalau ayah dan ibuku yang
membuatnya seperti ini. seluruh pintu dirumah ini dari kayu di cat warna coklat, tembok
rumah warna putih setiap beberapa tahun sekali aku akan membayar orang untuk
mengecatnya dengan warna yang sama. bahkan beberapa lemari tua yang sudah mulai rapuh
tetap ada disudut ruang tengah. ini selera ibuku, mewah namun tetap sederhana.
aku mengambil segelas air dingin meneguknya seketika pandanganku berhenti pada pintu
bagian sudut dapur setengah terhalang dinding pembatas. aku berdiri didepan pintu, ini kamar
Altair. aku memutar knop pintu dan mendorongnya hingga terbuka lebar. bahkan ini tak
layak disebut kamar.

sebenarnya ini gudang tempat barang sisa. aku menempatkan Altair disini sejak dia menikah
denganku dan datang kerumah ini. aku yakin dia pasti sangat tersiksa dengan ruangan bisa
dikatakann sempit.
tempat binatang pengerat bersembunyi, sarang laba-laba bergantungan ditambah kecoa
sebagai hiasan lantai dan dinding. aku hanya meletakkan ranjang jelek dari besi yang mulai
berkarat dan selimut lembab yang aku yakin siapapun memakainya untuk tidur pasti kulitnya
membengkak akibat gatal. dan satu lemari tua hampir roboh.
tapi yang kulihat sekarang kamar ini bersih walaupun barang gudang disusun rapi ketepi tapi
tetap meyesakkan mata.
selimut itu lebih berwarna daripada saat aku meletakkannya disini dua tahun lalu, mungkin
dia mencari pewarna pakaian dan mencelupkan-nya, aku rasa. lemari hampir rubuh itu
dipenuhi pakaian terlipat rapi.
aku masuk dan duduk dipinggir ranjang ya tuhan...tempat tidurnya keras sekali bagaimana
rasanya dia yang selalu lelah dan terluka berbaring disini. sebegitu tidak manusiawikah aku
?..cukup memang tujuanmu untuk menyiksa dan menghabisinya kan Nicia ?. setelah dia mati
selanjutnya adik dan ibunya lagi yang harus ditamatkan.

ada baiknya aku mendegarkan saran Lani. aku memutuskan untuk berlibur besok. mau
kemana ? entahlah aku belum memikirkannya. aku melirik jam bulat bening di tembok, sudah
jam 11 malam tapi dia belum pulang. tapi ah masa bodoh, biarkan saja dia. aku bisa menebak
dia pasti jatuh kejurang atau dipatok ular paling beracun di lapangan rumput terlarang. aku
tau dimana padang rumput yang aman untuk mengambil rumput untuk ternak sapiku tapi aku
sengaja menyuruhnya ketempat berbahaya itu. sesekali aku tersenyum puas bila
membayangkan dia mati dengan kondisi terputus-putus di gonggong binatang pemangsa.
bisa mungkin sudah tak terhitung berapa banyak kali dia terluka parah bahkan pernah sangat
sekarat. itu semua karena aku. disengat binatang paling mematikan tapi dia berhasil selamat
karena Lani berhasil menemukan obatnya. terjatuh kejurang yang penuh dengan bebetuan
tajam dan hampir kekeringan darah dan berhasil selamat lagi. baik, dia tidak mati kalau
begitu dia akan semakin banyak menderita lagi jika masih kuat untuk bertahan hidup.
dia...dia adalah suamiku, Altair. pria yang aku nikahi karena kesepakatan. aku memaksanya
untuk menikahiku saat dia membutuhkan bantuan dan aku tidak melewatkan kesempatan itu.

flashback
aku tertawa dalam hati mendengar isakan wanita tua bergaun abu-abu selutut dengan
rambut disanggul bulat. dia duduk tersedu-sedu tertelan air matanya. kulit tangan terlihat
jelas berkeriput dan lelah. aku memeperhatikannya lekat-lakat dari balik tembok. mengintip
lebih tepatnya.

sampai akhirnya aku mendengar seorang laki-laki berlari dengan kakinya yang agak kurang
pas. bisa aku tebak kalau dia pernah jatuh, tertabrak atau mungkin dia terlahir seperti itu.
aku tak melihat jelas lelaki itu.
"ibu, dokter bilang padaku tadi malam kalau Ela baik-baik saja" laki-laki itu memegang
pundak wanita tua itu lembut.
tapi wanita menggeleng putus asa, seakan tak ada kehidupn untuk hari esok "aku tidak tau,
tapi dokter menemuiku tadi kalau kondisi baiknya hanya beberapa jam saja dan sekarang
kondisinya semakin buruk. operasinya harus dipercepat" tangis wanita tua itu pecah.
"aku akan mendapatkan uangnya ibu" laki-laki itu memperdalam pelukannya pada wanita
itu. kulihat jelas keringat meluncur deras bagian pipinya , membuat pipinya berkilat diterpa
cahaya lampu rumah sakit. selanjutnya aku melihat mereka berbicara tapi aku tak
mendengarnya dan wanita itu masuk kesalah satu ruang, mungkin itu tempat anaknya
dirawat.
laki-laki itu bersandar gusar, bingung dan sedih pastinnya. dia bergerak dari tampatnya
berjalan sampai akhirnya melewatiku sedikit jauh.
"aku bisa membayarnya," aku bersuara. dia tersentak dan mencari sumber suaraku. matanya
sangat tepat menatapku, mata hitam pekat sedikit garis-garis abu-abu berkilauan
berpantulan cahaya lampu.
"Nicia, apa yang kau lakukan disini ?" dia mengetahui namaku, tentu saja.
"apapun, yang pasti tak merugikanmu" aku berkata santai. aku tau dia sangat waspada. "aku
bisa memberikan uang sebanyak yang kau perlukan, aku tau kau sangat membutuhkan-nya."
"terima kasih tapi aku tak meminta bantaunmu," katanya sinis hampir melangkah pergi tapi
tak melanjutkannya
"adikmu itu sedang meregang nyawa. kau pikir dari mana kau akan medapatkan uang
sebanyak itu. kau hanya pekerja kasar dan siapa yang bisa mempercayaimu meminjamkan
uang untukmu" aku berkata remeh tak memandangnya. sejujurnya aku tak tahu adiknya sakit
apa dan berapa banyak uang yang dia perlukan. tapi yang pasti aku mendengar kalimat
operasi tadi, sudah pasti itu perlu banyak uang dan aku tau benar bagaimana kehidupan
ekonomi mereka.
"baiklah aku meneri...." perkataannya terpotong saat aku langsung mengajukan syarat.
"tapi dengan satu hal" dia tak terkejut sama sekali, dia pasti sudah menduganya.
"apa ? kau ingin aku jadi budak bekerja untuk mu selamanya?" dia memandangku tajam.
"kau harus menikah denganku..." aku melihat wajahnya yang tak percaya atas apa yang baru
saja aku katakan. tapi sayangnya dia terlalu cerdas, dia segera tahu apa yang aku
rencanakan.
"dan sebenarnya aku kurang jelas mendegar namamu, siapa namamu ?"

"Altair....." dia meninggalkanku.


bersiaplah kau Altair........

pernikahan yang sudah berlangsung dua tahun ini dan tentang pernikahan yang tidak seperti
kebanyakan pernikahan orang lainnya hanya ada tiga orang yang tau aku, Lani dan dia,
Altair.
decit pintu terbuka membuatku sedikit mengalihkan perhatianku dari keadaanku yang sedang
duduk bersandar kepala disofa ruang tamu. pintu itu terkunci seperti biasanya, dia
menggunakan kunci cadangan yang aku berikan. aku tak sudi membukakan pintu untuknya.
seperti biasa telapak tangannya berlumur darah, wajahnya berbalut debu dan langkah kaki
kelelahan sebagai pelengkap sedikit penderitaan.
"semua ternakmu baik hari ini dan juragan tanah sebalah membeli 3 ekor sapimu. uangnya
akan diantar pak Rio besok pagi," Altair langsung menyelesaikan kalimatnya dan pergi
seperti biasa. sementara aku hanya mengangguk tak acuh mendengarnya.
dia hanya bicara padaku jika ada sesuatu yang harus diberitahukan tentang ternak sapiku. dan
pak Rio yang disebut Altair juga orang yang bekerja diternak sapiku.
aku mencari beberapa bahan yang bisa dimasak tapi aku tak menemukan yang sesuai dengan
seleraku. lama setelah mengobrak -abrik lemari pendingin dan lemari lain untuk menyimpan
persediaan makanan aku tak juga mendapatkannya. sebenarnya apa yang ingin aku makan ?
padahal bukannya tidak cukup bahan makanan, lebih malah. akhirnya aku menyerah, aku
memang payah. semenjak ayah meninggal jarang sekali aku masak ya bisa dikatakan tak
pernah saking jarangnya. dan masakanku pun sekarang rasanya...entahlah. padahal dulu aku
lumayan dalam hal memasak.
aku duduk dikursi kayu mengetuk garpu ditanganku ke meja, dengan bosan berpangku
sebelah tangan. padahal aku sudah malas sekali untuk keluar mencari makan.
aku tersentak mendengar gedoran pintu, kupikir siapa yang datang apakah Lani tapi ini baru
jam delapan. oh mungkin pengunjung sudah sepi.
aku setangah berlari menuju pintu depan dan membukanya ternyata bukan Lani.
"selamat malam cantik" sapa pak Rio ramah, "maaf seharusnya aku datang pagi tadi, tapi
sapi-sapimu sedikit berulah" kata pak Rio tertawa geli.
"apaan sih...pakai acara maaf segala, memangnya kita baru mengenal sampai bicaranya saja
sebegitu sekali" aku memajukan bibir seperi anak kecil, " ayo pak masuk dulu" ajakku.
"maaf lagi ni nak, bapak buru-buru setelah ini bapak tak keperternakan juga, anak bapak
minta ditemani belanja jadi bapak mau sekalian permisi." kata pak Rio sambil menarik
amplop coklat dari tas hitam ditangannya.

"ya sudah hati-hati aja" kataku


"ini uang dari penjualan sapimu" pak Rio menyodorkan amplonya tadi padaku, "oh
ya..tinggal suamimu dan pekerja satunya lagi mengurus perternakan dan bapak melarang
suamimu mengambil rumput di padang rumput berbahaya itu, kasian hampir tiap hari dia
terluka."
aku yakin pak Rio sudah menunjukkan dimana padang rumput yang benar-benar aman untuk
sapi tapi aku rasa Pasti Altair sadar kalau aku memang sengaja mengarahkan dia untuk pergi
ketempat yang berbahaya. apa dia masih ketempat berbahaya itu ? mungkin, baguslah kalau
begitu.
terkadang aku merasa ngeri bagaimana jika pak Rio bertanya kenapa aku malah memberi
tahu padang rumput berbahaya dan menyuruh Altair mengambil rumput disana.
pak Rio bekerja diternak sapi semenjak ayahku masih hidup. dia juga orang kepercayaan
ayahku juga aku. sekarang setelah ayah tiada bisa dikatakan dialah sepenuhnya yang
mengurus ternak sapi sementara aku hanya menerima laporan dan hasilnya. dia adalah satu
orang dekatku.
"bapak pergi dulu ya" aku tersenyum mengangguk
aku kembali lagi kedapur setelah meletakkan amplop uang tadi di lemari pakaianku. sekarang
apa yang harus aku perbuat. aku kembali keruang tamu dan meraih ponselku di meja,
memencet nomor Lani.
deringan ketiga panggilanku diangkat.
"ya sayang..." suara Lani terdengar buru-buru.
"tokonya masih buka"
"ya..disini ramai pengunjung dan sepertinya aku tak bisa menutup tokomu ini lebih awal"
"oh aku kesana saja kalau begitu."
"jangan-jangan aku bisa sendiri dan... aku rasa aku tidak bisa datang kerumahmu malam
ini."
"benar kau bisa sendiri ?"
"tentu saja sayang...kan ada pegawai disini, aku tutup telponnya yaa...love you"
tut..tut..tut..panggilanku ditutup
ku lemparkan ponselku kesofa, benar aku lapar sekali sekarang. aku melirik jam lagi dan
yah.. baru jam delapan lewat tiga puluh menit. coba saja jika Altair pulang sekarang pasti dia
punya ide memasak makanan enak, bisakah kau pulang sekarang Altair ?. kenapa kau Nicia ?
sudah mulai membutuhkannya ?. tidak -tidak aku mengeleng kepala seperti orang tolol
berbicara pada diri sendiri.

aku kembali lagi kedapur mengambil dua potong roti tawar, mungkin cukup untuk isi perutku
malam ini.
sudah berapa lama aku menggigit sedikit demi sedikit roti tapi tak kunjung habis, tidak
sanggup menelannya kah ?.
kudengar pintu depan terbuka dan beberapa saat setelahnya Altair muncul didapur hendak
menuju kamar. dia berhenti sebentar melihatku yang sudah duduk tegap menatapnya, tunggu
apa pandanganku terlalu sinis, mengapa aku peduli jika tatapanku sinis memang itukan yang
biasa aku lakukan ?.
"ada apa ?" suranya terdengar parau kelelahan dan tubuh kotor seperti biasanya dan tak ada
luka seperti biasanya, bukankah seperti yang dikatakan pak Rio tadi kan.
"aku... ak."kenapa suaraku jadi bengini, "apa kau bisa memasak, tadi sudah cari bahan untuk
memasak tapi aku tak menemukan yang enak menurutku."
"oh..tunggu sebentar aku mau mandi dan ganti pakaian dulu" dia berlalu melewatiku.
Altair sudah datang lagi dalam keadaan sudah mandi dan berganti pakaian, aku bahkan tidak
sadar kapan dia kekamar mandi mungkin karena aku terlalu larut dalam khayalan tentang
makan apa aku nanti.
Altair memakai kaus putih dan celana selutut rambutnya juga masih basah. aroma sabun
mandi menyeruak segar dihidungku dan dia membawa gelas berisi setengah air putih masih
dingin...tunggu..bukannya itu tadi...oh tuhan itu gelasku tadi yang kubawa saat masuk
kekamarnya. ceroboh sekali aku, dia pasti tau kalau itu milikku jelas siapa lagi yang ada
dirumah ini selain aku dan dia.
selamat dia tidak bertanya padaku dan aku yakin dia bersikap berpura-pura tak tahu. aku
seperti orang yang sedang ketahuan menguntit, bodoh.
setelah meletakkan gelas yang dibawanya tadi, ya maksudku gelasku itu dimeja dapur. dia
membuka lemari pendingin membawa keluar mangkuk berisi...hmm..aku tak tau, aku tak bisa
melihatnya. entah apa yang dilakukannya lagi.
aku hanya memperhatikan punggungnya dari belakang yang sibuk kesana kesini mengerjakan
masakan. sesekali wajahnya dari samping.
dilihat dari kulit lengannya banyak sekali bekas goresan luka terbentuk semenjak dia bekerja
di tenrak sapiku tentunya, sebagai pengingat seberapa banyak luka yang telah yang dia
dapatkan atau mungkin lebih banyak lagi tapi tak meninggalkan bekas.
aku tak pernah memeperhatikan begitu jelas dirinya, wajah, postur atau kulitnya. tapi hari ini
aku dapat melihat jelas salah satunya, kulitnya. cerah, bersih dan dia kalau diperhatikan
..Sexy, apa-apaan aku ini.
sebenarnya apa benar dia bukan anak pak Yoan ? ah lupakan. memang aku akui kalau dia
sama sekali tak mirip anggota keluarga pak Yoan.

"makanlah..." Altair membuatku tersadar dari lamunanku, semangkuk mie kuah daging ayam
cincang mengepul panas harum membuat air liurku hampir menetes.
"maaf hanya itu yang terpikirkan dikepalaku, lagipun perlu waktu lama jika aku masak
makanan yang lain. aku takut kau terlalu lama menunggu" katanya sembari mengisi mie
untuk mangkuknya sendiri.
"hmm ...ini sempurna dan aku sangant suka, lagi pula malam ini dingin kan?" aku mulai
menghirup kuah mie panas.
dia tersenyum padaku oh...setauku tak pernah ada diantara kami saling tersemyum. ini
pertama kalinya dia tersenyum padaku.
dia membalikan badan membawa mangkuknya yang mengepul dan berhenti saat aku buruburu bicara
"kau mau kemana ?" ku lihat dia heran dengan pertanyaanku.
"kekamarku"
"kenapa ? kau tidak mau makan disini dimeja ini denganku ?"
kenapa aku jadi seperti memohon untuk ditemani. Altair berhenti dan duduk dikursi didepan
mejaku. tak ada yang bicara lagi, hening dengan makanan masing-masing. mie kuahnya
buatannya enak sekali.
**********
tidurku lelap tapi dengan rasa kesal bunyi petir yang menghantam memaksaku terbangun,
terkejut tentunya. aku menutup telinga dengan bantal menarik selimut keseluruh tubuhku.
ternyata cuaca dingin tadi berakhir hujan lebat dan petir menggelegar ditengah malam.
aku benar tidak suka ini, aku bukan takut dengan bunyi petir kuat ya.......cuma aku tak akan
bisa tidur kalau begini. padahal semangkuk mie tadi sudah menghantar nyaman tidurku.
ya tuhan....aku rasa malam ini akan jadi panjang akibat suara petir, siapa sekarang yang bisa
menemaniku disini ku mohon datanglah...
dentaman petir kuat sekali ini benar-benar membuatku terlonjak seperti tupai mau berpindah
pohon, huuh.. .sekali lagi dentaman kuat menggelegar seperti hendak meruntuhkan atap
rumahku.
aku langsung berlari keluar tidak tau kemana arah yang akan kutuju. menutup mata dengan
tangan tak perduli apa saja yang telah aku langgar hingga aku menabrak sesuatu dan
terhuyung hampir jatuh tapi..aku tidak jatuh aku rasa, soalnya aku tidak merasa sakit sama
sekali.
aku turunkan tanganku dari wajah, Altair yang menahanku agar tak menghantam lantai yang
ku yakin kalau sampai terjadi tidak menutup kemungkinan dua gigi depanku akan lepas.

entah setan bodoh dikepalaku atau semacam drama di televisi aku memeluknya dan
meletakkan wajahku dilehernya. tapi sungguh kejadian itu terjadi begitu saja tanpa aku
rencanakan. dia masih melingkarkan tangannya di pinggang yang dari tadi untuk menahanku.
"kau kenapa ?" nada suara heran Altair terdengar jelas.
"aku hanya terkejut, mungkin.."suaraku bergetar. aku bisa merasakan dia mengangguk, dan
sudah pasti dia tau apa penyebabnya.
sungguh beberapa saat aku sangat merasa aman memeluk tubuhnya. seakan beban didadaku
terangkat. aku tau berapa lama aku memeluknya.
hebat sekali..lihat apa yang aku lakukan, seseorang yang ingin kubunuh malah aku pula yang
seperti wanita jalang berlama-lama menempelkan tubuhku padanya.
aku memang payah, hanya gara-gara dentuman petir aku bisa sampai sebegininya.
"kau aman, sebaiknya kau kembali kekamar" dia mengusap sedikit kepalaku.
"dan kau...apa yang kau lakukan diluar" suaraku dilehernya.
"aku mau mematikan lampu ruang tamu, kuantar kekamarmu ya." dia menawarkanku,
melepaskan pelukanku dan membimbingku kekamarku.
aku berbaring diranjang menarik selimut. dia beranjak meninggalkanku yang pasti terhenti
ya..benar, aku mearik tangannya.
"tetaplah disini, dan jangan pergi " aku menepuk sisi sebelahku mengisayaratkan agar dia
berbaring disebelahku. tentu saja ada pikiran aneh dikepala Altair, aku sudah yakin dia akan
berpikir aku akan membunuhnya dalam tidur.
"tidurlah Nicia.." perintahnya. dan sekali lagi aku memelas.
"ku mohon" akhirnya dia menurutiku. jadi lampu ruang tamu yang katanya mau dimatikan
terlupakan sudah.
sebut aku jalang, karena sudah memaksanya untuk menemaniku naik keranjangku. dan ini
pertama kalinya mahluk bernama pria tidur seranjang denganku.

merapalnya berkali - kali yakin kalau aku masih dalam keadaan tidur dan ini hanya mimpi.
dan kurasa sia - sia aku harus melakukannya, aku memang sudah bangun.
mengusap mataku sendiri berkali-berkali dan menegakkan badan berpangku sebelah tangan
menopang tubuhku sendiri.
aku melirik kesamping menyadari kalau Altair masih pulas dalam tidurnya, tentu saja dia
pasti kelelahan gara-gara menenangkan aku yang berkali-kali memekik mendengar hantaman
suara petir memekak-kan telinga tadi malam.

sejenak aku begitu tertarik menatap wajahnya yang tidur miring menghadapku.
kulitnya putih kuning, garis tegas wajahnya hidung lurus dan rahang tegas disempurnakan
dengan bibir bisa dikatakan tipis berwarana merah muda seperti bayi juga terlihat lembut.
turun kelehernya ada beberapa guratan bekas luka tak kentara, aku yakin akulah yang
menyebabkan bekas itu berada disana meski bukan dengan tanganku langsung.
aku tak tahan untuk tak menyentuh bekas luka. aku telusuri jari telunjukku di bekas luka yang
agak memanjang dan aku yakin ini bekas goresan duri beracun disekitar padang rumput, aku
harap dia tidak terbangun. lehernya terasa panas, jari - jariku mulai bergerak dirahangnya dan
bibirnya, seperti tebakanku bibirnya memang lembut.
lupa keadaan karena aku hanyut dalam kegitan yang aku lakukan. ternyata seseorang berdiri
di pintu kamaraku yang sudah terbuka.
menatapku tak percaya atas apa yang sudah aku lakukan, sepertinya aku sudah melakukan hal
bejat.
Lani bergeming. aku rasa pintu rumahku tak terkunci semalam.
**************
"aku yang akan bertanggung jawab jika dia marah padamu" tatapan Lani sinis sekaligus
menggodaku.
"makanannya akan cepat siap setelahnya aku akan pergi," Altair mengaduk pancinya yang
mengepul di Bantu Lani mengulurkan beberapa bumbu yang diperlukannya.
sementara aku hanya duduk diam memperhatikan mereka.
"kau libur saja, aku pasti masih mengantuk gara - gara aku tadi malam" akhirnya aku
bersuara.
"memangnya apa yang kau lakukan padanya ?" aku tau Lani ingin mengejekku atas apa yang
dilihatnya tadi.
"aku ketakutan sepenjang malam dengar suara petir" ucapku cepat.
"benarkah ?" Lani menaikkan alis sebelah menatapku.
"aku tidak apa - apa, aku akan tetap kepeternakan hari ini" Altair hampir menyelesaikan
masakannya.
"dan kau kenapa tiba - tiba anehnya ingin sarapan disini ?" kataku pada Lani.
"aku rindu masakan suamimu. aku tak mengganggu kalian kan ?" aku rasa Lani hari ini akan
terus - terusan mengejekku. aku lihat Altair tersenyum mendengarnya.

sebenarnya Altair sama sekali tak mau ikut sarapan dengan kami tapi sahabatku yang satu ini
memaksanya.
berlawanan bukan ? aku ingin membunuh Altair dan sebaliknya Lani sangat baik pada
padanya.
setelah selesai sarapan Altair bersiap - siap dan pergi keperternakan. aku dan Lani masih
dimeja dapur duduk bersantai. mungkin kami akan bercerita. dia menyuruh karyawan
kepercayaannya membuka tokoku, katanya dia akan brangkat agak siang.
"bagaimana kalau kau libur saja dan ikut keperternakan denganku, setelah itu kita jalan-jalan
atau belanja" aku tersenyum mengucapkannya, ya tau lah membayangkan berbelanja
dengannya pasti akan heboh.
"tidak, aku yakin toko pasti ramai pengunjung. lagi pula aku merasakan ada perubahan antara
kau dan Al.." aku memotong ucapanya
"sudah lah jangan mengejekku lagi pula tadi malam itu aku hanya ketakukan" aku nyerocos
seperti anak kecil minta jajan pada ibunya.
"lalu bagaimana dengan yang kulihat pagi tadi, apa itu juga ketakutan gara - gara..ehm.... apa
? petir ya.. ya... petir "
"Lani..."
"aku rasa kau menyukainya sayang" Lani meneguk jus jeruknya yang dibuat Altair tadi.
"tidak dan tidak akan pernah.......kau tau tujuanku untuk menghabisinya, adik dan juga
ibunya," aku mendesis kesal.
"oh...sebelum membunuh orangnya kau bisa meraba wajahnya terlebih dulu ya.....aku
penasaran bagaimana jika dia terbagun saat jari-jarimu itu meraba wajahnya hmm.." lagi Lani
menatap mengejek padaku.
"aku hanya tertarik melihat bekas luka di lehernya" kataku lirih.
"sebenarnya ya kalau dia ingin melawanmu itu bisa saja. coba kau lihat dirimu, kau mau
menghabisinya dengan menyiksanya lebih dulu tapi kau sama sekali tidak punya penjaga.
ya...maksudku" Lani mnegucapkannya dengan sungguh -sungguh.
"maksudmu dia akan membunuhku dalam rumah ini tanpa orang tau begitu ?" aku
menatapnya lekat -lekat.
"hmm...membunuhmu, bisa dengan meracunimu atau.....dia memperkosamu. oke kau bisa
langsung menghabisinya tapi tetap saja kau sudah kena, lagipun yang orang sekelilingmu tau
kalau kau istrinya sah secara agama dan negara." aku bergeming menatap Lani.
aku memang berpikir kalau Altair bisa saja membunuhku sementara aku tak punya penjaga
untuk diriku sendiri tapi kalau soal aku diperkosa benar - benar tak pernah terpikir olehku.

memang benar kata Lani jika saja dia berniat membalas menghancurkanku pasti dengan
mudah dia bisa melakukannya. katakanlah setelah itu aku membayar pembunuh profesional
untuk menghabisinya dalam sekejap tapi tetap saja aku sudah hancur.
seakan paham apa yang aku pikirkan Lani bersuara lagi "tapi kamu tak perlu takut begitu,
Altair tak akan pernah melakukan hal seperti itu padamu. aku yakin"
"bagaiman kau bisa tau ?" kataku ketus.
"buktinya kau masih baik - baik saja, kalau memang iya sudah dari dulu kali. udah dong
jangan gitu mukanya" dia mencuil hidungku.
"jangan menyewa penjaga ya he he" aku melempar serbet pada wajahnya membuat tawanya
semakin keras.
**********
bodoh, benar - benar bodoh gaya berjalanku disini seperti memakai sepatu berhak 15 senti
padahal aku hanya memakai sepatu ringan datar santai. apakah harus seburuk ini kondisi
jalan disini. aku benar tak bisa bayang jika sepuluh hari saja aku berjalan melewati ini kakiku
pasti akan mengelembung seperti balon permen karet berry yang ditiup anak - anak
kebanyakan.
jalan licin ditimpa hujan, lumpur di bagian atas sedangkan didalamya banyak tanah yang
keras dan tajam. bagaimana mereka bisa melewati ini setaip hari, ditambah lagi jalan ini
setapak sampai - sampai aku harus meninggalkan mobilku disimpang yang berapa meter
jaraknya ? aku tak tau, aku tak punya perhatian untuk memperdulikan-nya.
nah, akhirnya bau sapi sampai juga dihidungku. suaranya dimana-mana bersamaan dengan
mengunyah rumput.
kandang seluas ini dan jumlah sapi - sapinya memenuhi tempatnya. beberapa orang bekerja
disini mungkin aku rasa kurang sebagai tenaga kerjanya. aku tak memikirkannya, sengaja ?
ya. karna aku membebankan tanggung jawab tenaga yang besar ini pada Altair.
"ooooh hei putri bapak yang cantik, aku takut kakimu terluka gara-gara jalan sempit itu" pak
Rio bersuara lantang tapi tak berteriak mendekatiku.
dia selalu memanggilku cantik seolah aku ini anak kecil. jujur aku sama sekali tidak cantik,
tidak menarik atau apapunlah. aku hanya terkenal keras kepala, ambisius dan orang sekitarku
mengatakan kalau aku punya otak brilian, ya aku sendiri tak yakin dengan hal itu. jujur aku
tidak bermaksud sombong atau sok tapi kenyataannya itulah apa adanya diriku.
dan ya masalah kata pak Rio kakiku luka, bukan luka tapi perih.
"lumayan, aku rasa mungkin aku harus merendam kaki ini dalam air mendidih karna rasa
perihnya luar biasa. apa bapak punya ide agar kalian tak selalu tersakiti dengan jalan itu."

"sebenarnya itu gara gara hujan malam tadi saja, kalau tidak kondisi jalan itu akan baik saja.
oh ya seharusnya kau pakai sepatu boot sawah" tawa pak Rio mneggelegar, aku yakin kalau
dia tak terlalu repot hari ini.
"kau sepertinya tidak sibuk hari ini" kataku mengibaskan bagian bawah gaun sialan akibat
terkena lecitan lumpur dari tumitku. sialnya kenapa aku hari ini mau memakai gaun lain dari
gayaku yang sehari - harinya hanya memaki kaus polos dan jins dan hanya menambahka
jaket jika musim dingin.
"tentu saja sayang, oh ya suamimu sedang ada di sungai. dia baru selesai megambil rumput."
aku mengekori dibelakangnya melihat beberapa sapi dalam pagar luas di bagian depan jalan
ketika tiba disana.
"aku mau menemuinya" kataku,aku langsung tertarik ketika mendegar sungai. sudah terlalu
lama aku menyambangi tempat itu. gemiricik air dan bebatuan mungkin sudah lama aku
rindukan.
"ku antar ya" tawar pak Rio
"tak usah. aku bisa sendiri kok. aku pergi dulu ya" aku melambai padanya.
"hati-hati nak" pak Rio masih menatapku sampai aku bebelok kearah sungai. tidak terlalu
jauh tapi cukup membuat tengkukmu bergidik ngeri jika kau tak pernah datang kesini,
maksudku jika kau orang yang hidup di kota modern dengan jalan mulus.
karna disini dengan jalan licin juga tanah curam banyak batu berukuran besar, dan lumut
tebal sejuk. tak jarang kulitmu akan bengkak jika sembarang menyentuhya, banyak ulat gatal
yang pasti aku tak tau namanya.
aku tidak bilang kalau kami hidup didesa sekarang. tentu kami tinggal dikota tapi bagian
sudut kota ini inilah tempat desa untuk orang - orang yang punya usaha perternakan atau
pertanian.
licin, ehh..hampir saja kau terjungkal dan jika ada orang yang melihat aku seperti itu aku
yakin celana dalamku akan jadi tontonan gratis. tapi sekarang tidak aku baik-baik saja dan
sepi disini, baguslah.
akhirnya aku sampai juga dan wow... aku ingin terjun rasanya, aku bisa pastikan itu sangat
dingin.
aku terus menyusurinya dan berhenti.....mundur beberapa langkah menempatkan diriku
dibalik pohon, tidak rindang tapi cukup menghalagi pandangan orang jika kau berdiri
disebelahnya karna dililiti tumbuham rambat.
ada sosok yang sedang berdiri dalam air tanpa baju dengan celana jins yang hanya nampak
dipinggangnya. dia membersihkan tanah dari lengan dan darah mengalir pekat turun ke air.
berkali kali dia mengusapnya, aku tak bisa melihat lukanya dengan jelas tapi menurut
perkiraanku itu pasti luka yang lebar.

seketika aku menutup mulut agar tak menimbulakn suara akibat melihat darahnya terus
mengguyur. setelah beberapa saat dia mengusap tubunhya dengan air, benar sekali ini aku
lihat setiap lekuk tubuhnya berotot kekar dan perutnya kotak - kotak ya...begitukan cara
menyebutnya.
aku kira apa yang membuatku seperti pengintip orang mandi disini. akhirnya aku bergerak
dari posisiku menuju orang itu, Altair.
menyadari kehadiranku dia memegang sebelah tangan yang berdarah.
"sudah melihat-lihat sapimu" Altair bersuara dan keluar dari air dan memungut kausnya di
batuan hitam di pinggiran sungai.
"belum semua, aku lebih tertarik kesini" suaraku pelan dan pandanganku mengarah kearah
darah dilengannya, "apa seperti itu setiap hari ?".
"ini bukan apa-apa, aku selalu dapatkan seperti ini, oh ya jika kau ingin berenang hati-hati
arusnya luamyan deras. aku pergi dulu"
bukan apa-apa katanya, sungguh sudah menjadi monster apakah aku, aku tak tau.
aku mencekal lengannya "aku ingin berenang dibagian sana dan tentunya dalam, aku tidak
bisa berenang tempat dalam. kau harus ikut denganku" kataku spontan.
Altair mengernyit mendegarkan ucapanku. aku merobek melingkar bagian bawah gaun
santaiku, ternyata tanganku kuat juga untuk melakukan-nya.
"apa yang kau lakukan ?" ada nada terkejut pada ucapannya melihat apa yang kau lakukan.
aku dengan sigap meraih lengannya yang berdarah dan membalut lukanya dengan kain rokku.
beberapa kali aku memastikan agar ikatannya tidak lepas.
"setidaknya ini akan melindungi lukamu" kataku.
"terima kasih" dia menyentuh bagian balutan lengan-nya.
"kau siap ?"
"oke"
berjalan senang menuju ke air dan rokku ini yang sudah tinggal setengah menampakkan
pahaku, lupakan soal malu.
........

puas bermain-main hari ini dengan air membuatku semakin rindu dengan ayah. yah dulu aku
bermain disungai dengan ayah hingga membuatnya terbatuk-batuk. sementara lelaki tua

sahabat ayah dengan kemaja kotak-kotak coklat tua berkumis tebal dan mata hijau gelap juga
sedikit perut buncit akan tertawa kencang melihat aksi kami, pak Rio.
aku rasa akan keperternakan lagi besok, bermain air lagi, mungkin.
aku tak tau bagaimana dengan luka ditangan Altair akibat menemani aku berenang tadi, aku
yakin itu pasti akan bertambah perih.
bahkan ini sudah hampir jam 11 malam, tapi kemana dia tak pulang. sementara aku disini
memasak bubur ayam, mungkin rasanya lebih baik karna moodku lagi baik, aku rasa.
suara langkah seseorang menuju kedapur semakin jelas. aku berbalik mendapati Altair
menggemggam tangan berbalut kain masih dari robekan rokku tadi yang basah.
"cepat mandi dan setelah itu kesini" kataku cepat. aku tak tau apa yang dia pikirkan tapi dia
hanya melihatku dan pergi.
aku menuju ruang tamu dan membuka lemari putih dengan pintu tembus pandang mengambil
kotak P3K. sekian lama aku tak pernah menggunakan obat-obatan didalamnya kecuali dulu
Lani yang sedang paniknya meraihnya untuk mengobati Altair.
didapur aku meletakkan kotak itu dimeja makan. kembali aku menyendokkan bubur ayam
untuk dua mangkok, hampir mangkuk ditanganku terhempas karna saking panasnya. ya tuhan
sudah berapa lama memangnya aku tidak memasak sampai sebegini kakunya.
"ada apa ?" suara Altair tiba-tiba hampir membuatku terlonjak. seperti biasa dia selalu dengan
pakaian santai jika setelah mandi dan aroma sabun lemon menyejukkan indera penciumanku.
aku meraih tangan-nya membuka balutan kain lepek dan kotor melemparnya sembarang. aku
meraih obat luka, perban dan beberapa alat yang kubutuhkan dari kotak P3K. sampai selesai
sesi membalut lukanya kami hanya saling diam.
"sudah selesai" kataku sembari memasukkan lagi alat yang sudah kupakai kekotak.
"kenapa kau melakukan ini ?" aku yakin dia sedang memandangku.
"aku mau besok kau menemaniku berenang lagi"
"ohh, sebenarnya aku bisa mengatasinya sendiri lagipula ini bukan masalah bagiku
dan...terima kasih. "
tarima kasih..... hanya itu ?. tunggu...... memangnya apa yang aku harapkan lagi.
aku mengangguk iya.
"aku masak bubur" dia mengernyit.
"kau belum bisa mencomooh masakanku" ucapku ketus
"aku tidak mencemooh, hanya..."

"aku hanya sedang ingin memasak" kataku sambil menyodorkan mangkuk bubur didepannya. Altair menyendokkan bubur kemulutnya. dan aku memperhatikannya dengan seksama
seperti orang tolol.
"ini enak, sekali lagi terima kasih"
benarkah enak ? aku mencicipinya...... oh baguslah rasanya tak buruk.
aku berdiri dari kursi dan tiba-tiba Altair bersuara. "kau mau kemana ? apa makanmu
terganggu gara-gara aku disini ? kalau begitu.."
"tetaplah disitu lanjutkan makanmu, aku cuma mau memastikan pintu rumah terkunci. ini
sudah tengah malam"
"aku sudah menguncinya tadi."
"benarkah ? aku takut seperti malam kemarin sampai Lani bisa masuk kedalam sendiri,
untung hanya dia bagaimana kalau penjahat." aku seperti berpidato dan Altair menanggapi
dengan senyum. menarik.
"dia datang saat hari sudah pagi kan ?"
"hmm.." aku mengangguk. kuharap dia tidak tau apa yang Lani lihat pagi itu. huh..
memalukan bukan ?.
*******
masih sakit dengan jalan setapak tadi tapi eh..lupakan saja. memang sudah jam berapa
sekarang sampai-sampai rasanya matahari hampir memanggang kulit kepalaku. aku datang
lagi keperternakan ini dan yah....aku sekantong besar roti panggang nanas dan minuman
dingin untuk pekerja disini.
dan hari ini aku memakai pakaian seperti biasa kaus dan jins, tidak seperti gadis remaja yang
ingin tampil imut memakai gaun musim panas seperti kemarin. tapi jika aku tak memakainya
kemarin bagaimana aku bisa mencari kain untuk luka Altair. baik..sudah cukup dengan
masalah pakaiannya.
"kepanasan kah ?" tanyaku pada pria paruh baya yang berdiri berkacak pinggang tangan
sebelah kiri dan tangan kanannya mengipaskan topi bundarnya kearah lehernya bercucuran
keringat.
"ho ho.. kau jadi rajin kesini ya...wow aku tau kau merindukan suamimu hah ?" merindukan
suamiku?, aku hanya tersenyum geli pada pak Rio.
"aku punya banyak kantung minuman dingin dan roti panggang nanas mungkin rasa lain juga
banyak," kataku sembari mengangkat tinggi kantung pelastik jumbo bening hingga setinggi
wajahku.
"bolah aku membukanya sekarang ? aku jadi tambah lapar."

"tentu saja, aku membawa ini untuk kalian" aku memberikan kantung itu padanya sementara
mataku menusuri beberapa arah apa Altair pergi mengambil rumput ? atau dia sudah di
sungai.
"ayo ikut makan dengan kami" suara pak Rio ditengah-tengah mengunyah roti agak penuh
dimulutnya.
"tidak terima kasih, aku mau ke sungai" aku melambai padanya dan meneruskan langkahku.
jalan kesungai dan melewati jalan licin lagi, mungkin beberapa lumut yang terlihat olehku
disana menarik perhatianku. aku membungkuk dipinggir jalan memperhatikan pemandangan
tanah licin dibagian curam sana. tanganku beberpa kali ingin menjangkau beberapa bunga
cantik mungkin tak berharga dimata orang tapi aku sangat tertarik untuk memetikkya.
sebenarnya aku tak terlalu suka bunga namun sesekali kalau melihat ada yang lucu apa
salahya jika aku memetiknya. aku tidak seperti perusak tumbuhan kan ?.
beberapa kali tanganku ingin menjagkau, memang jaraknya cukup tak memungkinkan aku
rasa. aku mencobanya lagi sampai aku merasakan keseimbangan tubuhku hilang akibat
gerakan dan tanah licin yang mau menahan kakiku.
dalam hitungan detik aku merasakan tubuhku terhuyung terbalik dan melosot tajam ketanah
curam. kepalaku terhantuk benda keras menimbulkan nyeri hebat. kulitku yang terseret terasa
pedih dan berkali-kali kakiku menghantam benda keras, ngilu pedih bercampur jadi satu. aku
tersedak dengan darah hangat yang masuk kemulutku.
hanya itu yang bisa aku ingat setelah itu aku tidak tau lagi.
**********
sesakit inikah rasanya dan ini kamarku kah ? ya, ini memang kamarku.
"oh sayang akhirnya kau buka mata juga" Lani yang pertama terlihat olehku dengan segera
dia memegang wajahku. ada kelegaan yang luar biasa dari air mukanya.
"aku pingsan ya ?" aku bertanya seolah ini adalah sesi tanya jawab undian berhadiah.
"ya sayang, kau benar-benar membuatku takut"tangan Lani berpindah menggenggam
tanganku dan meremasnya lembut.
"wow berarti ini pertama kalinya aku pingsan, kalau sedang sakit biasanya aku hanya tertidur
lama" aku menyentuh dahiku berdenyut memuakkan dan ada setumpuk kain berplaster
disana.
"sudah jangan banyak bicara dan kau harus banyak istirahat sekarang"
"sebenarnya aku kenapa ?" aku masih merasakan kepalaku berdenyut hebat.
"kau jatuh ditanah curam menuju kesungai tempat perternakanmu kemarin. sebenarnya kalau
jatuh saja mungkin kau hanya lecet sedikit tapi kau menghantam batu, itu yang membuatmu
jadi begini" Lani mengambil gelas kaca penuh air di nakas dan menyodorkan padaku.

dia bilang apa tadi, menghantam batu. aku melirik ke kaki ya..dibetis kiri ada balutan
panjang. lengan kiri bagian atas juga ada balutan sedikit dan..aku menyingkap gaun tidur
hingga keperut ada luka basah lebih tepatnya seperti daging tak berkulit. pantas saja rasa
pedih di perutku luar bisa sekali.
"jadi siapa yang menolongku."
"suamimu"Lani menurunkan gaunku yang tersingkap jelas-jelas menampakkan celana
dalamku.
"Altair ?"
"memangnya kau punya suami yang lain " celetuknya.
"berapa hari aku pingsan ?"
"satu hari"
"di mana Altair ?"
"sedang memasak didapur, sebentar lagi dia akan kesini"
"Lani maaf aku sudah merepotkanmu. pasti kau sekarang kelelahan lebih baik kau pulang
saja" aku benar sudah merepotkannya. aku pastikan dia bergadang untuk menjagaku.
"aku ? repot ? seharunya kau harus berterima kasih pada Altair. karna dia yang sudah
bersusah payah mengurusmu. membawamu yang berdarah-darah itu kesini. memanggil
dokter untuk mengobatimu sebenarnya bisa saja kau ditempatkan dirumah sakit dirawat
sampai sembuh tapi dia ingin lebih mengawasimu sendiri. aku baru datang malam tadi saat
kau sudah selesai diobati dokter.." Lani mengangguk padaku meyakinkan itulah yang
sebenarnya terjadi.
mangapa juga Altair harus mau susah karna aku. atau ini hanya dewi fortuna sedang berpihak
padaku hingga aku bisa bernafas dan membuka mata sekarang ini.
pintu kamarku dibuka dan Altair Muncul dibaliknya membawa nampan berisikan beberapa
piring dan gelas.
duduk ditepi ranjangku mengangkat satu piring memberikan pada Lani. sementara nampan
masih dengan satu piring diletakkan dinakas.
"terima kasih" Guman Lani.
"Lani sebaiknya setelah ini kau pulang, aku yakin kau pasti kelelahan menunggunya
semalaman" Altair berbalik menatapku.
"aku masih kuatir padanya" Mata Lani mendelik padaku sambil mulutnya mengunyah nasi
goreng.
"aku akan menjagannya dan memastikan agar dia meminum obat"

apa ? obat ? lebih baik aku dilemparkan saja dikolam air yang sangat dalam saat ini juga dari
pada aku harus menelan biji-biji pahit berbau aneh yang akan menyesakkan rongga mulutku.
"dan kau harus makan sekarang Nicia" ucap Altair penuh perintah. dia mengambil piring nasi
gorang dinakas.
"aku tidak mau" kataku seketika menutup mulutku, memang benar-benar seperti anak Tk.
"biar aku saja yang melakukannya Altair" tawar Lani. dia mengambil jarak mendekat padaku,
"aku benar-benar tidak ingin jangan paksa aku" aku bersikukuh menahan tangan dimulutku.
"sedikit saja hanya sedikit...SEDIKIT..." Lani menurunkan pelan tangan dari mulutku dan
menyuapkan nasi goreng dari piringnya sendiri. dia berhasil memaksaku menelan-nya dan
beberapa sendok setelahnya. sedikit, apanya yang sedikit kalau begini.
"cukup, kau akan membuatku muntah kalau memaksaku lagi," aku mendengus kesal.
"baiklah setidaknya ada makanan masuk keperutmu" Lani tersenyum menang padaku,
menang memaksaku makan.
"Altair aku harap kau mau memaksanya untuk minum obat."
"itu sudah pasti" jawab Altair cepat.
setelah beberapa jam Lani pulang aku tidak memakan obat sama sekali. Altair sangat kesal
karna tak kunjung berhasil menyuruhku minum obat sampai akhirnya hampir dia
membanting pintu saat meninggalkanku. terserah yang pasti aku benci obat-obatan yang
diminum.
setelah sore harinya dia kembali kekamarku memintaku agar makan, dan aku mengiyakannya hanya beberapa sendok dan lagi-lagi gagal memaksaku minum obat.
apakah seperti itu wajahnya jika sedang marah. tatapan mengintimidasi dan rahang mengeras
dan...yang pasti aku tak memandang wajahnya lagi.
**********
sudah jam 10 malam dan mataku menolak keinginanku untuk tidur, sama sekali tidak
mengantuk. aku mengalihkan pandangan kepintu yang terbuka tiba-tiba dan Altair muncul
lagi dibaliknya. entah sejak kapan Altair tidak perlu mengetuk pintu kalau dia ingin masuk,
mungkin sejak kondisiku seperti ini.
aku kesal melihat dia datang lagi pasti ingin memaksaku minum obat, terang saja pasti tidak
akan berhasil. tapi aku juga tak ingin dia beranjak dariku.
"sudah aku bilang jangan lagi kau memaksaku" ucapan kasarku langsung keluar tapi tak
sedikitpun dia terpengaruh.

"jangan besar bicara kau tak terbiasa dengan luka-luka besar seperti ini" Altair mengambil
posisi duduk disebelahku.
"jadi kau pikir aku ini perempuan cengeng yang merengek kalau sedang seperti ini" rasanya
aku ingin sekali menamparnya kalau aku bisa lebih leluasa bergerak.
"percuma kalau aku harus melayanimu berdebat, sekarang minum obatmu" dia meraih gelas
air dinakas dan dan bungkus obat yang tak sudi aku melihatnya.
"dan percuma kalau kau memaksaku minum benda sialan itu, jadi pergilah" kataku ketus,
dengan posisi duduk bersandar dikepala ranjang aku melipat tangan didada. terasa nyeri
diperutku dengan gaya tanganku seperti ini.
"sepertinya kau memang memintaku untuk benar-benar memaksamu minum obat, bukan
meminta bahkan memohon. baiklah aku akan melakukannya" dia mulai membuka beberapa
bungkus obat dan mengumpulkan ditelapak tangannya. sudah kuduga dia pasti akan
mencengkram rahangku dengan paksa dan memasukkan obat itu.
tapi tidak dia malah mengunyah semua obat yang sudah dipilihnya, apa itu tidak kepahitan ?.
"apa yang kau lakukan ?" aku penasaran sekali. dia tak memperdulikanku.
tanpa menelan obatnya dia meneguk satu kali air dan mendekat padaku menepis jarak. satu
tangannya meligkar dipinggangku dan satunya lagi memegang lengan kananku yang tidak
terluka.
sontak aku hampir berteriak dan aku ingin mendorongnya tapi aku tak punya kuasa karna
badanku masih sakit. "mau apa kau....mmmmpphh" Altair menempelkan bibirnya dibibirku
bukan hanya itu dia menggigit bibir bawahku mulutku terbuka sedikit saat itu juga ia
memasukkan obatnya dalam mulutku.
"telan" katanya sela-sela bibirnya masih dibibirku bahkan masih mengulum bibirku agar aku
tak punya kesempatan untuk memuntahkan obatnya. tenggorokan rasanya tersangkut-sangkut
menelan obatnya.
setelah memastikan aku menelannya dia melepaskan pagutan bibirnya padaku, sementara aku
sendiri terengah-engah menarik napas. dia benar-benar....aku tak tau harus mengatkan apa.
aku menyentuh bibirku terasa panas. aku tidak mengatakan kalau kami berciuman, tapi ini
membuatku jadi serba salah entah ingin marah, benci, menamparnya atau malu atau mungkin
aku mengingikan-nya. apa ?menginginkannya ? kau sudah jadi wanita jalang sekarang ha
Nicia?.
seumur hidupku aku pernah sekali berciuman ya.....waktu aku SMA dulu, sudah lama sekali.
masih anak-anak aku rasa. dan hari ini ada pria yang berani-beraninya menempelkan bibinya
padaku.
"puas ?" sergahku memalingkan wajahku darinya.

"aku rasa itu lumayan membuatmu jera, dan kau yakin besok kau akan minum obat sendiri"
dia menarik selimut untukku dan mematikan lampu segera meninggalkanku. padahal aku
masih bersandar dikepala ranjang.
ya tuhan apa yang sudah terjadi padaku.
..........
aku bisa pastikan Altair tidak akan pergi keluar rumah karna keadaanku ini, aku tidak terlalu
percaya diri tapi itulah kenyatan-nya sekarang. aku mencium aroma masakan yang
membuatku menelan ludah. aku tidak bisa mandi karna lukaku terlalu lebar dibanyak sisi dan
masih basah. tapi untungnya aku bisa membasuh muka dengan air sebaskom kecil yang sudah
tersedia nakas.
aku benar-benar benci keadaan seperti ini. layaknya bayi mau apapun harus dibantu. jika
dilihat aku seperti gadis remaja manja, menjijikan.
itu dia datang membawa makanan panas dengan asap mengepul. aku semakin tak tahan
akibat aroma masakan-nya, perutku semakin bergejolak. mengingat semalam aku hanya
makan beberapa sendok nasi gorang disuap Lani.
"nyerinya masih kuat ?" Altair mengambil duduk disebelahku, ucapan-nya lembut dan ceria
seakan kami tidak pernah bertengkar sama sekali.
aku tak menjawab pertanyaan-nya dan mendengus.
"makanlah sekarang, setelah itu kau harus minum obat lagi" ucapnya santai tapi penuh
penekanan.
dia memegang mangkuk yang isinya sup dan memberikannya padaku. aku bergeming.
"untuk sekali ini aku mohon lupakanlah sejenak keras kepalamu itu. aku hanya ingin kau
segera sembuh. hanya itu."
apa ? dia memohon padaku ? memangnya apa yang dia dapatkan dengan melakukan ini
padaku.
"atau kau mau aku melakukan hal seperti kemarin malam."
dia mengancamku ?. dalam sekejap dia memohon dan sesaat setelah itu juga dia
mengancamku. sebenarnya dia ini apa ?.
"silahkan saja, kau tidak akan keberatan kan kalau menyuapkan semua isi mangkuk itu
dengan mulutmu" ucapku sarkastik.
kami saling menatap lekat-lekat dan sepertinya sikap sabar yang dimilikinya itu berada
dilevel tinggi, jadi dia kembali dengan mangkuk supnya dan menyendokkan mengarahkan
kemulutku.

akhirnya aku menyerah dan menerima suapan darinya. aku hampir menghabiskan supnya,
baiklah sekarang dia menangkan ?.
aku bisa minum obat dengan sendirinya walaupun sebelum menelan-nya harus diawali
dengan sumpah serapah. dan yang pasti Altair akan mengawasiku.
bahkan ini sudah lima hari, aku belum bisa leluasa bergerak. lukaku masih basah. aku
meremehkan luka yang tercetak jelas di tubuhku ini tapi rasa sakitnya tidak sebanding seperti
yang aku remehkan. aku bisa sedikit berjalan tapi terkadang bisa-bisanya aku mau kekamar
mandi dibantu Altair.
Lani rutin menjegukku beberapa hari, tentunya dia ingin terus mengawasiku tapi aku
melarangnya. aku takut dia kelelahan setelah bekerja dan harus membantuku, menggantikan
bajuku sesekali juga kadang membantu Altair mengganti perbanku.
sebenarnya bisa sajakan memanggil perawat khusus untuk mengurusku, tapi Altair bersikeras
akan mengurusku dibantu Lani. dan aku mulai bisa rutin meminum obat tapi bukan berarti
aku menerima benda mengerikan itu.
sekarang aku bangun pagi sekali, selesai mencuci muka dan dengan pakaian tidur tak bertali
mempertontonkan bahuku dan barbahan kain tipis juga sangat pendek ini aku melangkah
kedapur. perlu sedikit menarik kaki sebelah kiriku yang masih sangat nyeri.
masalah malu dengan apa yang kukenakan aku hampir tak memperdulikannya lagi. toh Altair
juga menelanjangiku kemarin saat Lani tak ada untuk membantuku mengganti bajuku. hanya
beberapa bagian pribadi saja yang tidak dilihatnya sementara yang lainnya sudah terlihatnya.
tapi aku akui dia sangat sopan padaku, matanya tidak seenaknya melirikku sesuka hatinya.
aku berdiri tertatih diambang pintu melihat dirinya berkutat dengan masakannya. bahkan
sepagi ini dia sudah sibuk dengan masakan.
menyadari kehadiranku dia langsung berlari memegang lenganku dengan air muka khawatir.
"apa yang kau lakukan ? kalau kau lapar kan bisa menunggu sebentar dikamarmu. bukan-nya
aku tidak menghantarkan makanan untukmu," rutuknya panjang lebar sembari ingin
menuntunku kekamar lagi tapi aku menolaknya. aku menunjuk kekursi meja makan, akhirnya
dia menurutiku.
"labih baik jika kau dikamar" nada suaranya penuh perintah.
aku tersenyum mengembang melihat raut wajahya seperti orang yang kehilangan uang
sekarung. kenapa aku bisa senyum selebar ini ?.
"aku makan disini" kataku seperti anak kecil.
"terserah kau saja" katanya seraya membalikkan badan mengaut masakannya untuk
dihidangkan.
mataku melirik pakaian yang dia kenakan, kaus abu-abu lusuh dan celana panjang coklat tua
kusam bagian kakinya sudah sedikit koyak. apa dia akan bekerja hari ini.

"kenapa kau memakai pakaian seperti itu ?" akhirnya penrtanyaaku memecah diam kami.
"aku akan bekerja hari ini, aku sudah terlalu lama istirahat." katanya tanpa melihatku.
istirahat katanya.
"jadi kau akan membiarkan aku sendiri begitu?" aku tidak tau mengapa aku kesal
mendengarnya.
"tentu tidak, Lani akan menemanimu."
"Lani sudah pasti kelelahan membantuku, jadi telpon dia supaya jangan dulu kesini. dan kau
jangan pergi" kataku menggebu-gebu seperti hendak berlari entah kemana.
"Nic...aku harus membantu pak Rio, lagi pula dia pasti ingin tau keadaanmu. kau tau dia
sangat ketakutan saat melihatmu kemarin. kau pingsan dan berdarah, hanya hari itu dia bisa
datang kesini. setelahnya tidak sempat lagi untuk menjengukmu." dia menjelaskannya dengan
serius.
pak Rio ya..sudah pasti dia sangat khawatir denganku. bagaimana tidak aku ini sudah seperti
anaknya sendiri.
"aku akan menelponnya nanti, sekali lagi aku katakan jangan pergi."
"Nicia.."
"aku mohon, aku membutuhkanmu" aku memelas lagi, apa lagi sekarang.
kulihat dia menghembus nafas dan mengangguk menyetujuinya.
"apa kau bosan denganku karna sering membantahmu.?"
"bukannya kau yang bosan karna aku memaksamu minum obat ?," bukannya menjawab
pertanyaanku malah kembali bertanya penuh ejekan, demi tuhan ingin sekali aku mencubit
pipinya yang putih kuning itu.
"aku akan memintamu agar memaksaku lagi" kataku memperhatikan-nya menghidangkan
makanan dimeja depanku.
"dan ganti pakaianmu itu" kataku menarik piring didepanku. "jangan lupa hubungi Lani, agar
dia tak datang. aku kasihan padanya."
"hmm...... nanti akan kutelpon."
"Altair..."
"mhmmm ada apa ?" dengan makanan-nya tanpa melirikku.
"bisa kita kekamar sekarang ?"

"kau mau makan dikamar ? tunggu sebentar aku antar dulu makananmu kekamar."
"tidak, aku tak mau makan dikamar" dia tidak jadi beranjak dari kursinya.
"jadi kau mau tidur. habiskan dulu makananmu baru aku antar kekamarmu."
*******
itu memang lebih baik dari pada yang tadi pakai pakaian kerja. aroma sabun lemon
ditubuhnya masih sangat lekat, aku suka itu.
"nah, jika kau perlu sesuatu panggil aku" kata Altair disela-sela merapikan posisi dudukku
diranjang.
"tutup pintunya" aku menujuk pakai mulut.
menuju pintu dan berbalik "jangan terlalu banyak bergerak" dia hampir keluar ketika aku
menghentikannya
"aku tak memintamu keluar kan ?" kataku cepat. dia jadi bingung dengan tingkahku.
"tadi kau menyuruhku menutupnya"
"menutupnya, bukan kau yang keluar."
dia hanya melakukan yang aku katakan dan duduk disebelahku.
"ada apa ? kau perlu sesuatu ?"
"kau ini bodoh atau apa ?" kataku lirih dan membuatnya mengerutkn kening.
"jangan membuatku bingung Nicia" tatapan kami saling mengunci.
"kau merencanakan sesuatu kan ?" kataku lagi.
"kau ini kenapa ? rencana apa maksudmu ? apa yang salah denganmu hah ?" bertubi-tubi
pertanyaan keluar dari mulutnya,
"yang salah itu dirimu. kenapa kau tidak habisi saja aku, kau bisa membunuhku tanpa orang
tau. dari pada kau harus menanggung lama-lama penderitaan yang aku buat untukmu.
bukannya kau sendiri tau pasti kalau kita menikah hanya untuk menyelamatkan adik dan
ibumu itu, kau tak mau mereka mati jadi sebagai gantinya kaulah yang jadi sasaran-nya.
ohh.... atau kau ingin melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan padamu hah?"
ucapan ku tegas tapi dia pasti menyadari kalau suaraku agak bergetar menelan ludah.
"menghabisimu dan setelah itu apa ?" hening beberapa saat sampai dia bersuara lagi,
"menghabisi atau menyakitimu itu terlalu mudah Nicia."
dadaku terasa diremas, perutku mual dan serba salah menyelimutiku mendengarkan
perkataan-nya.

"kalau begitu kenapa kau tak melakukannya ?" kataku mengangkat dagu menantangnya
padahal aku sendiri aku tidak yakin dengan ucapanku. sebisa mungkin aku menunjukkan
ekspresi datar di wajahku.
"aku tidak mengada-ada Nicia, aku bisa melakukan apa yang kukatan. kau punya kekuasaan
tapi aku bisa menujukkan kekuasaan yang berkali lipat lebih besar darimu yang aku punya.
tapi untuk apa? untuk pamer ?. kau tau hal yang paling sulit adalah meyakinkanmu kalau pak
Yoan tidak sepenuhnya bersalah atas kematian ayahmu. aku akui dia memang terlibat tapi
sepenuhnya itu hanya ancaman. selama hampir tiga tahun pernikahan ini aku mencari cara
untuk membuktikan padamu siapa yang sebenarnya bersalah pada kematian ayahmu. tapi aku
belum bisa menemukannya. kau terlalu keras untuk diyakinkan." mata kami masih saling
bertatapan dengan pikiran masing-masing.
apapun yang dikatakannya tentang menyakinkanku sedikitpun aku tidak menaruh rasa
percaya. terlalu mustahil bagiku. ingin mencoba membuat keadaan seperti drama televisi
berurai air mata, yang ada aku menggeram ingin menghajarnya habis-habisan.
tapi aku bisa apa sekarang memangnya. apa murni tujuannya menyembuhkanku karna ingin
membuktikan kebenaran siapa pembunuh ayahku.
"dengar, aku ini bukan malaikat dengan senang hati mema'afkan bagi pembuat kekejaman
atas ayahku." aku rasa dadaku semakin sesak.
"aku tau, sudah pasti jika orang lain mengalami sepertimu akan berpikir sama. tolong beri
aku waktu untuk membuktikan siapa pembunuh ayahmu, dan aku mohon jangan sakiti ibu
Ara dan anaknya. aku sangat menyangi mereka, mereka orang baik." ucapnya mantap dan
yang pasti berusaha meyakinkan. tapi entahlah.
"jadi apa benar kalau kau bukan anak Pak Yoan ?" kataku tiba-tiba.
"ya, aku bukan anaknya."
jadi benar apa yang dikatakan Lani, dia bukan anak pak Yoan.
"apa hubunganmu dengan mereka ?."
"tidak ada, mereka hanya orang baik yang mau menolongku dengan tulus. hanya itu."
dahinya mengernyit. entah mengapa menatap wajahnya lama-lama seakan membuat
amarahku luluh. seakan aku barhadapan dengan anak kecil berwajah polos tanpa melakukan
dosa, terlalu lembut, tak layak untuk disakiti.
ya tuhan lama-lama aku bisa gila sendiri berhadapan dengan situasi seperti ini.
dia menarik selimut lagi untuk seperti yang dia lakukan seperti biasanya. mengeluarkan
ponselku dari laci menaruhnya disebelahku. memandangku lagi.
"aku menyelamatkanmu karna kau istriku, o ya jangan lupa telpon pak Rio." kulihat
punggungnya berlalu meninggalkanku.

karna aku istrinya ? setahuku pernikahan ini bukan sungguhan, melainkan hanya topeng
cantik berkilauan bagi orang lain yang melihatnya. tapi dibaliknya hanya susunan rencana
kematian.
bagaimana aku sekarang, haruskah aku memberinya kesempatan seperti permintaan-nya tadi
atau mangabaikan-nya. sementara disatu sisi aku merasa bahwa aku semakin bergantung
padanya.
entah aku terlalu percaya diri atau ini memang kanyataan, kalau semua hal yang
dilakukannya padaku tulus tanpa ada niat buruk sebaliknya. aku berharap agar tempat tidur
ini menelanku sekarang juga.
*********
entah berapa jam aku habiskan hanya untuk bersandar dikepala tempat tidur dan memandang
langit-langit kamarku. tidak ada yang kupikirkan. dan oh.....aku sampai lupa harus
menghubungi pak Rio. aku harap dia membawa ponselnya saat bekerja.
aku menekan nomor telpon pak Rio, deringan ketiga lansung diangkat.
"ya anakku sudah sehatkah ?" suara pak Rio langsung membuncah.
"pak aku baik tapi belum terlalu sehat. kau sendiri bagaimana ?"
"oh aku baik sekali, apa lukamu masih sangat sakit ? apa kau rutin minum obat anjuran
dokter ? sudah beristirahat dengan benarkah ?." demi tuhan pertanyaan-nya bertubi-tubi.
"pertanyaanmu banyak sekali, baiklah..lukaku masih lumayan sakit. tentu aku rutin minum
obat dan yang pasti apa yang bisa aku lakukan selain berbaring diranjang."
"oh baguslah, aku takut kau tak mau minum obat. dan aku akan mengirimimu salep supaya
lukamu cepat kering. kau tau salep itu bagus sekali." bahkan dia saja tau kalau aku tidak
suka minum obat.
"aku sudah mau minum obat sekarang, terima kasih atas salep yang akan kau kirim. dan hatihatilah bekerja"
"tentu saja, lekas sembuh ya. aku akan mengunjugimu dalam waktu dekat."
"baiklah."
tut tut tut
aku melempar ponsel disisi ranjang disebelahku.
..........
dua bulan waktu yang sangat lama bagiku hanya untuk memeram dirumah, layaknya katak
dalam tempurung. satu bulan aku memang sudah sembuh total, sedangkan satu bulan lagi
untuk mengurangi tampilan bekas luka seperti peta dunia ditubuhku. salep yang dikirim pak

Rio benar-benar luar biasa, bekas luka sudah benar-benar tipis sekarang. tentu saja Altair
yang memakaikan secara teratur.
setidaknya ini akan menjadi hariku yang menyenangkan lagi. aku bisa ketokoku lagi.
********
senyum mengembang dan mata hitam berkilat, Lani langsung menyerbu memelukku. seolah
kami tidak bertemu bertahun-tahun, padahal baru seminggu. air mukanya lucu sekali.
"oh sayang aku sangat merindukanmu," kata Lani saat pelukan-nya dengan kencang padaku.
"kita baru seminggu tidak bertemu, jangan berlebihan" kataku mengejek.
"aku juga merindukan masakan suamimu," Lani berlonjak kecil seperti anak TK dan masih
tersenyum lebar.
"aku baru datang, jangan mulai lagi" tatapanku memperingatkan. tapi tidak sama sekali dia
mengubrisku.
aku menghempaskan diri dikursi kasir. sembari memperhatikan keadaan, syukur. banyak
pembeli dan beberapa karyawan menyapaku, mengucapkan selamat datang dan bertanya
keadaanku dengan ramah.
"apa saja barang-barang yang habis ? " aku bertanya pada Lani yang membungkuk
membetulkan bebarapa dus mie instan di rak paling bawah tepat disampingku.
"barang lengkap, tapi kemarin aku mengambil beberapa merek pelembut pakaian keluaran
terbaru. penawarannya menarik jadi aku rasa akan bagus." kata Lani sambil menepuk kedua
tangan-nya menepis debu.
"aku suka itu," kataku mengangguk "atau kita butuh karyawan lagi ? sepertinya kau sama
sekali tidak bisa bersantai kulihat ?."
"beberapa karyawan disini sudah cukup menurutku, lagipula aku akan bosan kalau hanya
duduk dimeja kasir dan melihat catatan barang." Lani berkacak pinggang dan mengedikkan
sebelah bahunya.
"dikasir juga kau sudah sibuk ? " kataku lagi.
"sudahlah, kita belum butuh tenaga kerja baru. kalau memang iya aku akan mengusulkan
padamu. oke."
"baiklah,"
Lani adalah orang sangat aku percaya dalam mengurus tokoku ini. memang tertangani
dengan baik olehnya walaupun aku sama sekali tidak meninjau keadaan disini selama dua
bulan penuh.

"aku mau bayar minumanku." suara laki-laki didepanku. tanpa melihat wajahnya aku
mengantongi minumannya dengan pelastik sedang. sepuluh kaleng minuman dingin bersoda.
"apa aku bisa mendapat diskon harga ?" katanya lagi. aku langsung mengangkat kepala
menatap mata kulit kayu dengan garis tegas diwajahnya. rahang kokoh, hidung mancung dan
bibir tipis warna pucat. mengenakan kaus hitam santai dan celana jins abu-abu kehitaman.
berdiri santai didepanku. tapi aku merasa gayanya sedikit angkuh. aku kenal dengan-nya,
Marlen.
"apa kau selalu tidak memandang sama sekali wajah pembeli ditokomu ?" Marlen
memasukkan kedua tangannya kesaku celana.
"apa kabarmu ?"
pertanyaan yang umumkan untuk berbasa basi, apa kabarmu ? apa yang kau lakukan sekarang
?. dan pernyataan, kau tidak banyak berubah ya atau sebaliknya.
"aku baik, kau sendiri bagaimana ?" kataku sedikit bermanis muka.
"sangat baik. boleh aku duduk disini sebentar. sudah sangat lama kita tidak bicara"
bicara ?.
"ya silahkan" aku menarik kursi pelastik disampingku meletak-kan disebrang meja,
ditempatnya.
"oh hai Lani" Marlen melambai pada Lani dan beberapa percakapan singkat diantara mereka
sampai Lani meninggalkan kami untuk mengurus yang lain. aku sama sekali tidak mendengar
apa yang mereka katakan.
"aku turut berduka kejadian yang menimpa ayahmu," melipat tangan-nya diatas meja.
"terima kasih" kataku lirih.
"siapa pelakunya ?, aku sudah mencari informasi tentangmu tapi tidak satupun yang tau siapa
pelakunya." Marlen berkata penuh hati-hati.
"jujur aku belum bisa menjawabnya," aku menarik tubuh bersandar dikursi ku.
"maafkan aku, layaknya aku sedang mengintrogasimu" dia terkekeh pelan "aku dengar kau
sudah menikah ?."
"sudah."
"dengan laki-laki seperti Altair ?" dia terdengar seperti mengejek.
"memangnya kenapa kalau aku menikah dengan laki-laki seperti dia ?" aku rasa suaraku
terdengar jelas meninggi.

"Nicia, wanita dewasa putri tunggal dari Agler Achilles. pewaris kekayaan Achilles, cerdas,
mandiri, pekerja keras. seseorang yang lebih ingin hidup dan mengembangkan usahan-nya
sendiri daripada secara bebas hidup menikmati warisan ayahnya. mungkinkah kau
memilihnya sebagai suamimu ?." ucapnya panjang lebar.
menggambarkan tentang hidupku, apa dia mencoba ikut campur tentang kehidupanku. dan
satu lagi dia menghina suamiku ?. masalah pernikahanku biarlah aku yang tau. dia menghina
suamiku berarti dia juga menghinaku.
"dia suamiku atau bukan, aku harap kau jangan terlalu jauh mencampuri urusan keluargaku.
aku menganggapmu teman jadi berlakulah selayaknya teman. dan ini bayar belanjaanmu."
aku menyodorkan kantung minuman kaleng padanya.
melihat sikapku seperti ini, aku rasa dia mengerti kalau aku menyuruhnya pergi. dia membuat
hariku menjadi buruk.
mengeluarkan lembaran uang didepanku. dan memberikan sesuatu padaku.
"ini undangan dari ayahku. ada acara kecil atas launching perushaan baru ayahku. kau harus
datang, ayahku sangat ingin bertemu denganmu. jika kau tidak hadir itu akan membuatnya
kecewa, juga bawa suamimu itu." Marlen terdengar menghina ketika mengucapkan kata
'suami' padaku.
memangnya aku peduli padanya. sebelum keluar pintu dia berbalik, melupakan sesuatu ?
"jika kau berubah pikiran datanglah padaku. perasaanku masih sama seperti dulu padamu."
berlalu meninggalkanku.
cihh, aku benci gaya dramanya yang sok itu. dia berkata begitu, jangan pernah percaya. baik,
dulu dia memang kekasihku. dulu...sudah lama sekali, SMA dan masih remaja. cinta anakanak. kekasih pertamaku dia juga orang pertama yang menciumku. aku katakan sekali lagi itu
dulu.
lagipula aku jadi geli sendiri mengapa bisa aku berpacaran dengan orang sok seperti dia. aku
berpacaran dengan-nya setahun, cukup lama. aku memutuskan-nya dan sampai akhirnya
setelah dia lulus kuliah ayahnya mengirimnya keluar negri untuk mengurus perusahaan
ayahnya yang disana. apa nama negaranya, aku tidak mengetahuinya.
dan satu kebetulan lagi almarhum ayahku berteman dengan ayahnya. ini benar-benar seperti
kisah percintaan fantasi dua jenis keluarga berkuasa menjodohkan anak mereka, hingga
jadilah cinta bahagia yang abadi, menggelikan. tapi disini ayahku tidak pernah mencoba
menjodohkanku dengan siapapun, kebetulan saat itu aku masih berusia dua puluhan, masih
muda.
aku membolak-balikkan kartu selebar dua telapak tanganku, warna emas berkilat dan garis
hitam bercantum berbentuk dua lipatan, pesta berkelas di hotel berbintang. aku tidak suka
pesta semacam ini.
"dia punya acara dan mengundangmu, " Lani bersandar dimeja menghadapku dan menaikkan
alis sebelah.

"memuak-kan, kalau bukan karna ayahnya aku tidak sudi mau datang." kataku spontan.
"hmm...apa acaranya khusus dan mewajibkan tamunya menginap ?"
"entahlah aku malas membacanya." kataku lagi.
Lani mengambil kartu dariku dan dengan senang hati membacanya, mengejek.
"oh..ya..acara satu malam, formal dan kau harus membawa undangan-nya saat tiba dihotel
nanti. sudah tentu kau harus menginap karna tidak mungkin kau akan pulang setelahnya kan.
aku tau hotel ini di luar kota." Lani mengulurkan kartu itu padaku.
"apa kau akan mengajak suamimu ?" katanya lagi.
"mhmm... dan bisa kau pesankan setelan jas untuknya ?, aku yakin tidak memiliki pakaian
seperti itu."
"tentu..tentu aku bisa melakukan-nya, bagus kau minta tolong padaku. kalau kau yang
melakukan-nya pasti akan buruk." Lani tersenyum mencibir padaku.
"terserah kau saja, tolong cepat ya." aku menghembus nafas kesal.
"ngomong-ngomong memangnya kau punya gaun formal ?, gayamu kan cuma kaus dan
celana jins" dia menatap lekat padaku.
"ahh..itu ya aku akan pakai karung goni nanti," itu benar-benar membuat Lani tertawa keras.
********
tujuanku jelas ingin menemui Altair, memberitahunya agar ikut denganku kepesta orangorang yang saling memamerkan kekayaan dan kekuasaan. tapi aku rasa aku hampir sampai
dan melihat Altair berdiri didepan kandang sapi. berpangku sebelah tangan pada tiang
kandang dan bertitik peluh.
tersenyum dan berbicara dengan seorang gadis yang arahnya membelakangiku, bekulit putih
pucat, langsing dengan rambut coklat tua dikuncir kuda. memakai kaus toska dan jins hitam.
dari jarak beberapa meter kurasa dia tidak akan melihatku yang masih berdiri dijalan setapak
dan terhalang beberapa pohon dan tanaman rambat.
beberapa menit aku berdiri dan melipat tangan dibawah dadaku. memperhatikan-nya bicara,
banyak tersenyum dan tertawa sesekali. sepertinya menyenangkan sekali, bahkan terlihat
sangat bahagia. siapa gadis itu ? teman atau kekasihnya.
sejujurnya seleraku ingin bicara padanya jadi hilang, bagus......... tadi aku kesal pada Marlen
yang tiba-tiba datang dengan perkataan-nya yang lebih banyak memuakkan dan sekarang
bertambah kesal pada Altair yang bicara senang pada seorang gadis.

tunggu, kenapa juga aku harus kesal dia bicara dengan gadis itu. apa hak-ku untuk tidak
menyukainya. mau pada siapapun dia bicara aku tidak perlu ikut campur. mungkin emosiku
saja sedang terganggu hari ini, ya sudah jelas itu.
aku memutar tubuh dan melangkah cepat menuju mobil, aku akan pulang saja.
perjalanan kerumah terasa sangat lama, sesekali aku mengomel karna pengendara lain yang
tidak tertib seenaknya melintas didepanku.
sampai dirumah aku menyerbu masuk kekamar dan menghempaskan tubuhku diatas ranjang.
nah, ini lebih baik. tanpa melepas sepatu kets-ku berbaring telentang, ah...andaikan saja
sekarang aku berada dikutub dan tubuhku dlingkup es tebal pasti menyenangkan jika sedang
kesal begini.
posisiku sekarang sudah berubah, berbaring miring dan selimut satin putihku sudah setengah
tubuh menutupiku. aku menarik pelan tubuhku sendiri untuk duduk, mengedarkan selimut
ditubuhku keposisi lain. dan sepatuku juga sudah tak ada lagi dikakiku.
apa aku lupa mengunci pintu kamarku. juga ternyata aku tertidur lama sekali, dari sore waktu
aku pulang sampai pagi ini. hawa sejuk dibalik cahaya tipis berbayang digorden kamarku
mengatakan kalau hari masih sangat pagi.
aku melompat turun dari ranjang. membersihkan diri dikamar mandi, setelah selesai aku
meraih gaun putih berbahan ringan selutut yang satu-satunya aku punya dalam jenis ini.
itupun ayah yang membelikan-nya untukku. ini kedua kalinya aku memakai gaun santai ini.
rambutku masih basah, aku biarkan terurai.
akibat paksaan dari perut, aku memutuskan mencari sesuatu yang bisa dimakan didapur. hari
masih terlalu pagi, aku yakin Altair belum bangun. saat didapur aku berdiri berkacak
pinggang mengedarkan pandangan sekeliling ruangan, pandanganku berhenti dimeja makan.
aku mendekatinya tanpa duduk dikursi, aku membuka tudung yang menelungkup disitu.
ternyata sudah ada sepiring nasi goreng masih panas dan teh hangat. apa dia sudah pergi
sepagi ini ?.
sontak aku berlari menuju kamarnya dan mendorong kasar pintunya. aktifitas memasang kaus
kerjanya terhenti dan menatapku bingung. aku melihat lekuk-lekuk tubuhnya yang tegap, aku
tidak bisa membayangkan jika kedua tangan-nya yeng terlihat keras itu mematahkan
tulangku, aku bergidik ngeri. cukup, bukan waktunya untuk berpikir yang tidak penting.
"ada apa ?" seketika pikiran ngeri berubah menjadi terlena mendengar suaranya yang tenang
dan lembut. sama seperti tatapan matanya.
semenjak percakapan pagi hari dua bulan lalu, kami tidak ada bicara banyak lagi. akan bicara
dua atau tiga kata jika diperlukan.
kesal, benci, muak juga rindu ingin bicara dengan-nya.
"kau akan pergi bekerja sepagi ini ?," aku mendempetkan bahu sebelah kiri kesisi pintu dan
melipat tangan.

"ya" jawaban singkat dan meneruskan memakai bajunya.


begitu semangat, apa ini karna gadis itu ? sampai dia rela pergi sepagi ini.
"kau jangan pergi hari ini, nanti malam akan ada acara. kau ikut denganku."
"kalau acara nanti malam, aku bisa pulang sore hari ini." kelihatan-nya dia begitu tidak mau
melewatkan waktu untuk pergi.
"boleh aku minta satu hal padamu ?" kataku lagi.
"apa ?" kami saling menatap.
"jangan pergi, karna Lani akan mengirimkan jas untuk kau pakai nanti malam."
"baiklah" katanya lirih. aku tau dia tidak mau berdebat.
aku berbalik dan kembali menoleh padanya saat pertanyaan-nya keluar.
"Nicia, kenapa harus denganku ?."
"yang punya acara ingin bertemu denganmu." kataku cepat.
*********
di haruskan berangkat lebih awal, jika tidak maka akan terlambat. satu jam lagi kami akan
berangkat. sementara aku masih duduk termangu mengenakan handuk menatap gaun hitam
yang dipesankan Lani untuk-ku.
gaun hitam dengan lengan sampai sikut bebahan brokat, bentu leher V. bagian dada hingga
kebawah polos tanpa pernik sedikitpun dan bagian bawah bentuk pensil. aku bisa pastikan itu
akan memperjelas bentuk bokongku.
akhirnya aku meraih gaun itu dan memakainya dan astaga.....bahkan tak sampai menutupi
lutut, hanya setengah paha. apa-apaan ini ?, ya tuhan Lani, tidak bisakah kau carikan aku
gaun yang lebih pantas untuk aku kenakan.
sambil mengomel kesal didepan kaca, aku menggulung rambut sebagai pelengkap dan meraih
sepatu bertali silang warna hitam dengan hak tujuh senti. aku benar-benar benci ini.
"Nicia....apa kau sudah selesai ? waktu kita tinggal lima belas menit." suara Altair dan
ketukan dipintu olehnya membuatku bergegas meninggalkan bayanganku dikaca dengan
bentuk aneh.
aku keluar pintu sedikit tergesa-gesa, sadar akan lama waktu yang sudah aku habiskan hanya
untuk mengamati gaun pilihan sahabatku dan mengomelinya. aku tidak habis pikir kenapa dia
memilih yang seperti ini untuk-ku. yang aku tau dia punya selera busana yang bagus, apa dia
pikir gaun ini cocok untuk-ku. aku berharap tidak mempermalukan diri sendiri. sekali lagi,
aku akan membuat perhitungan denganmu Lani karna hal ini.

bertemu dan saling menilai satu sama lain. diam tercegat didepan pintu kamarku,
mengamatinya mengenakan setelan jas yang di pesankan Lani untuknya. mengapa dia begitu
pas mengenakan-nya. kemeja putih kancing leher dibuka tanpa dasi dibalut jas hitam
diluarnya. celana hitam panjang dan sepatu hitam berkilat, serta rambutnya diberi gel dan
tertata rapi. apakah aku terlalu buta untuk menyadari betapa tampan-nya dia.
sekali lagi aku marah dengan Lani, dia bersikap tidak adil. dia memberikan yang terbaik
untuk Altair kenakan, sementara aku ?.
tatapan Altair seolah menelanjangiku, aku jadi bergerak risih. seharusnya aku memakinya
atau menampar pipinya karna tatapan itu tapi yang keluar dari mulutku malah " aku terlalu
mencolok ya?."
"hah.." dia berdehem dan meneruskan " tidak mencolok, kau terlihat luar biasa."
alah....bilang saja kau ingin menyebutku seperti topeng monyet memperagakan busana,
bahkan topeng monyet lebih baik. tapi aku tidak bisa bohong kalau sorot matanya
mengatakan dengan tulus bahwa ucapan-nya benar.
entah hanya persaanku saja atau matanya yang memang katarak.
memakan waktu hampir 2 jam menuju hotel tempat pesta ayah Marlen. sepanjang perjalanan
itu juga aku duduk tapi tidak diam, berulang kali menarik gaun yang semakin naik keatas
akibat dibawa duduk. dan melirik Altair dari sudut mataku sesekali apa dia memperhatikan
pahaku yang terpampang ini atau tidak, bagusnya dia masih sangat menjaga sikap
terhadapku. dia hanya fokus dengan setir dan pandangan kedepan. sengaja aku menyuruhnya
menyetir bukan aku, supaya aku bisa memejamkan mata jika mendadak mengantuk akibat
bosan perjalanan memakan waktu berjam-jam.
cukup ramai ketika mataku melirik isi ruangan seperti perampok yang sedang membaca
situasi. lampu-lampu kristal kelap-kelip, meja-meja bundar dilapisi kain putih berpinggiran
warna emas terbentang dibeberapa bagian ruangan ini. suasana ruangan didominasi warna
putih dan emas, juga beberapa bunga mawar putih dalam pot kaca bulat bening mengadah
diatas meja. makanan, minuman dan orang-orang disini semuanya terlihat glamor dan
tentunya ada unsur memamerkan, apa lagi kalau bukan.
aku mendengus melipat tangan dan masih berdiri tak berapa jauh dari pintu masuk. Altair
berdiri disebelahku dan kedua tangan-nya berada dalam saku celananya.
"dasar manusia-manusia berkuasa yang sok," desisku. aku bisa melihat Altair melirik
mendengar perkataanku.
"maksudmu semua orang diruangan ini ?" tanya-nya tiba-tiba.
"memangnya aku membicarakan orang dijalanan sana," celetuk-ku. dasar bodoh atau mau
membuat lelucon, sama sekali tidak lucu.
"kalau begitu berarti termasuk para pelayan membawa nampan itu," matanya mengisyaratkan
kepada beberapa pelayan mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam berdasi kupu-

kupu membawa nampan gelas sampanye dan meneruskan ucapan-nya," termasuk juga kita,
karena kita diruangan ini."
aku langsung menatap tajam padanya, "kau pikir aku sedang bercanda, tentu saja pelayan itu
tidak dan...aku bukan salah satu dari mereka." aku kembali menatap lurus kedepan tanpa
terfokus pada apapun, hanya tatapan jengkel yang kosong.
"kau sendiri menyebutnya kalau semua orang diruangan ini, itu maksudnya tanpa terkecuali
kan ?. aku tidak bisa mengira kenapa seseorang atau siapapun itu mudah menilai orang lain,
bahkan mengenalnya saja tidak. apa karna sebagian besar yang terlihat seperti itu, sehingga
bisa menyimpulkan semua-nya sama." nada bicaranya teratur juga tidak ada unsur
menasehati.
tetap saja aku membalas perkataan-nya. "aku rasa kalau anak bayi bisa bicara pun pasti akan
mengatakan hal yang sama," kataku ketus.
"aku rasa kita tidak bisa menilai seseorang tanpa mengenalnya, atau kita sudah sangat
mengenalnya tetap saja kita tidak bisa sepenuhnya mengetahui siapa diri mereka." katanya
santai.
laki-laki tua kira-kira berumur 60 tahun, tapi tetap prima dengan kepala beruban, tubuhnya
tidak terlalu gemuk. mengenakan setelan jas hitam dan kemeja biru tua dengan warna dasi
senada tersenyum lembut padaku. kerutan wajah sangat jelas dari jaraknya yang mulai
mendekat padaku. Agustian Ozora, ayah Marlen Ozora. orang yang mengundang kami
malam ini.
"aku menganggap kau terlihat seperti gadis berumur 25 tahun, padahal kau sudah.." lelaki tua
itu meletakkan jari telunjuknya didagu seperti berpikir.
"31 tahun" kataku melengkapi kalimatnya. kami saling tertawa pelan ramah dan dia
memelukku.
"apakah sopan aku menanyakan umur seorang wanita ?" katanya terkekeh geli.
"aku tidak pernah keberatan jika ada orang menanyakan umurku," kataku sambil tersenyum
lebar.
"apa kabarmu sayang ?" katanya ramah, sikapnya masih sama seperti seingatku dulu, selalu
hangat dan ramah. sangat berbanding jauh dengan anaknya yang sok itu. bicara soal anaknya,
aku tidak melihatnya dari tadi. baguslah, akupun tidak ingin menatap batang hidungnya.
"seperti yang terlihat, baik" jawabku, "bagaimana denganmu ?" tanyaku padanya.
"tentu saja makin baik, makin tampan dan makin tua," kami saling tertawa mendengar
jawaban-nya.
"dan ini ..." dia mengangkat tangan pada Altair, Altair balas menjabatnya.
"aku te..."

"suamiku" aku memotong perkataan Altair dan sedikit melirik tajam. apa dia lupa kalau
sudah mengatakan kalau yang punya pesta ingin mengenalnya. oh aku belum memberi
tahunya.
"pak Tian dia Altair, dan Altair pak Tian ini yang mengadakan acara pesta ini." kataku sambil
masih memandang Altair. dari mimik wajahnya dia baru saja mengerti apa yang
kumaksudkan.
"kalian pasangan yang cocok, bukan malah sangat cocok. kau sangat beruntung bisa
mendapatkan putriku, kau tau aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri." katanya
ramah pada Altair.
percakapanpun terjadi pada kami, dia mengatakan betapa bersedihnya dia atas kematian
ayahku. sedikit obrolan tentang perusahaan yang baru dibukanya, yang aku tidak begitu
mengerti dan juga tidak tertarik tentang perusahaan. malah sebaliknya pembicaraan-nya
hangat mengalir bersama Altair, begitu hanyut dalam topik bahasan seakan Altair sudah
pernah mengurus begitu banyak perushaan. sudah aku tidak mau amabil pusing, tapi hal
baiknya adalah mereka langsung akrab.
sampai akhirnya pak Tian menyuruh kami mencicipi hidangan dan harus meninggalkan kami
karna menyambut tamunya yang lain.
aku langsung mendekat pada Altair. "apa-apaan tadi itu hah ? mau menyebutmu sebagai
temanku." semburku pelan tanpa Ekspresi.
"maaf aku tidak tau kalau dia yang punya acara ini" jawabnya.
"mau siapapun yang bertanya dalam ruangan ini tentang dirimu akui saja kalau kau suamiku,
apa susahnya." gumamku dan pastinya marah.
"sekali lagi maafkan aku Nicia" katanya lagi, bahkan kau seperti tidak meladeni ucapanku
Altair.
aku beranjak meninggalkan-nya, berhenti tanpa berbalik mendengar pertanyaan-nya "kau
mau kemana ?."
"ke toilet" jawabku ketus.
"oke, kalau begitu aku akan kebalkon. aku tunggu disana."
aku berlalu meniggalkan-nya. aku hampir membanting pintu ketika masuk kesana, berdiri
didepan cermin segi empat menampilkan bayangan diriku dari kepala hingga pinggang,
mencengkam tangan di wastafel. aku menghembus nafas melihat bayanganku, tidak
berantakan, baguslah.
aku membasahi tanganku ketika aku mendongak memandang cermin ada bayangan Marlen
dalam setelan jas abu-abunya. yang benar saja aku mengiranya tidak datang, yang ada dia
mendatangiku di toilet perempuan. ini mirip sekali seperti drama televisi, lelaki tampan
dengan arogansinya melakukan apa saja demi mendapatkan wanita yang disukainya,

termasuk mendatanginya ditoilet. sementara wanitanya hanya lemas karna terpaku dengan
pesona lelaki tersebut dan berakhir bercinta hingga wanitanya jadi sampah.
dan aku pikir drama lelaki mendatangi wanita itu hanya ada di novel dan televisi, aku salah
besar, buktinya yang didepanku ini sekarang. tapi jalan ceritanya tidak akan sama aku rasa.
"kau salah toilet" kataku sambil mengambil tisu dan mengelap tanganku.
"aku memang ingin kesini." timpalnya.
"sudah berganti jenis kelamin kah ?" tanyaku sarkastik.
"Nicia, aku rasa dia memang tak pantas bersamamu, ceraikan dia dan menikahlah denganku"
ucapnya tegas dan mata tajam. dia membalikkan badanku sampai bokongku menekan
pinggiran wastafel.
"jaga sikapmu, kata-katamu itu tak pantas kau ucapkan. dan jangan coba menyentuhku." aku
mengibaskan bahu sebelah kanan karna disitu tangan-nya yang kurang ajar itu
mencengkamku.
"menyentuhmu katamu, tanganku tentu saja pantas memegang bahumu ini dari pada pria
yang kau nikahi itu."
benar-banar kurang ajar. aku mendorong kasar tubuhnya dan menahan tanganku agar tidak
melayangkan tamparan diwajahnya.
"bajingan sekali kau, memangnya kau pikir dirimu itu siapa hah? kuperingatkan kau jangan
pernah muncul lagi dihadapanku." dengan suara tinggi aku memaki padanya, bahkan tidak
peduli jika suaraku sampai keluar. aku melangkah cepat meninggalkan-nya.
belum sempat aku keluar dia bicara lagi, " bahkan mungkin kau sudah gila karna sudi
menyerahkan diri pada pria sampah seperti dia."
aku bisa merasakan darahku memanas dikepalaku, tapi aku bicara tenang membalas
perkataan-nya. " kau tidak tau apa-apa tentang suamiku dan kau juga tidak mengenalnya jadi
jangan sok tau tetang dia. dan kau menyebutku gila, ya aku memang sudah gila. aku rela
menyerahkan apa saja untuknya. dia suamiku." aku melangkah keluar dan berjalan cepat
dilorong, pandangan tertunduk ke lantai dan penuh amarah, hingga aku menabrak seseorang.
hak tujuh senti membuat aku kehilangan keseimbangan tubuhku, untungnya dia menangkap
tubuhku.
"apa yang kau lakukan disini ?" dengan posisiku yang masih menempel ditubuhnya. dua
tangan-nya menahan pinggangku agar aku tak rubuh kelantai.
"kau lama sekali, aku pikir terjadi apa-apa denganmu." mata kami saling menatap.
"aku baik saja" kataku. yang tadinya kami saling betatap kini dia beralih menatap
kebelakangku dan pandangan-nya jadi tajam. aku megikuti arah pandangan-nya, ada Marlen
berjalan keluar dan menatap tajam kearah Altair. maksudku mereka saling bertatap tajam.

aku sengaja semakin menempelkan tubuhku pada Altair dan meletakkan tanganku dibahunya.
aku merasakan Langkah Marlen semakin terdengar menyeramkan saat keluar lorong.
Altair kembali menatapku dan menaikkan sebelah alisnya. "setauku disebelah toilet pria."
"dia Marlen anak pakTian, dia menemuiku disini." kataku sungguh membuatnya matanya
berkabut menjadi marah.
"jangan pikir macam-macam, aku memakinya tadi. sudahlah nanti saja ceritanya lagipula kita
terlihat seperti pasangan mesum disini." sontak Altair melepaskan pegangan-nya
dipinggangku.
bahkan belum berada dipuncak acara aku sudah berpamitan pada pak Tian dengan alasan aku
sedikit pusing dan perlu istirahat saat itu juga. untung dia tidak banyak komentar dan
mengucap semoga aku cepat sehat lagi. aku tidak melihat anaknya, aku senang. tidak peduli
kalau dia tidak mau berjabat tangan dengan Altair.
sudah tentu pikir Altair akan membawaku pulang kerumah. tapi aku menolaknya agar tetap
menginap dihotel ini saja. akan memakan waktu berjam-jam lagi untuk sampai kerumah, itu
benar-benar akan membuat kepalaku berputar sungguhan.
menginap dan tanpa membawa pakaian ganti. itu tidak masalah, walaupun aku bisa
mendapatkan-nya tapi aku lebih memilih tidur dengan gaun pilihan sahabatku ini. akan aku
pastikan gaun ini besok bentuknya akan kedut seribu.
Altair yang mengurus untuk memesan kamarnya, sementara aku menunggu bosan dan
menyambar kartu kamar dan membukanya setelah mendapatkan-nya. bahkan aku tidak
berniat untuk mendongak sedikit saja pada pintu kayu coklat kamar ini untuk mengetahui
nomor berapa kamar ini, aku sangat malas.
masuk kekamar dan menyerbu setengah menghempaskan tubuhku di ranjang besar dengan
selimut satin hitam. tidak berbaring aku hanya duduk dan akhirnya aku telentang juga diatas
tempat tidur itu dengan kaki masih menjuntai kebawah juga sepatuku masih lekat dikaki.
sementara Altair dia lebih sibuk melepaskan jas dan kemejanya hingga tersisa kaus putih
lengan pendek saja. pintar sekali dia bisa tidur dengan baju persediaan-nya.
sejenak aku merasakan dia bergerak di sisi ranjang disebelahku mengambil sesuatu dan
menuju sofa putih disudut dinding warna senada tak jauh dari pintu. aku bangkit untuk duduk
lagi memastikan apa tindakan-nya.
ternyata dia mengatur posisi tidur disofa dengan yang ternyata diambilnya tadi adalah bantal.
berbaring terlentang dan menaikkan sebelah tangan dan menyelipkan dibawah bantal.
gambaran dagu dan lehernya terlihat sensual dengan gayanya seperti itu.
"kekasih yang setia bukan " kataku bersamaan memandang lekat padanya.
aku lihat dia membuka matanya yang tadi sudah tertutup, sedikit ragu dan melirikku.
"kau bicara denganku ?" katanya binggung.

"menurutmu siapa lagi yang ada di kamar ini ?" kataku lagi.
"apa maksudmu ?" gumamnya disaat dia menggerakkan badan duduk posisi sedikit maju
kedepan dan menautkan kedua tangan-nya.
"kau memilih tidur disofa karena takut kekasihmu itu tau kalau kau tidur seranjang denganku
hah ?" aku mengangkat dagu.
"aku tidak punya kekasih," timpalnya dengan santai.
"sudahlah jangan takut mengakuinya, lagipula itu tidak ada hubungan-nya denganku kan. tapi
jangan berlebihan sampai harus tidur disofa. aku tidak akan melakukan apa-apa padamu jika
kita tidur seranjang." suaraku meninggi, itu sudah pasti.
Altair berdiri melangkah mendekatiku, berhenti tepat didepanku. mungkin aku bisa
menebaknya yaitu dia akan menyemburku karena ikut campur urusan dia dan kekasihnya.
aku jadi sedikit bergidik, mungkin. tapi tebakanku meleset aku rasa.
kemudian dia jongkok mensejajarkan wajah dengan wajahku hingga nafas hangatnya
menyentuh kulit wajahku. tatapan-nya menelusuri wajahku kemudian dia menunduk dan
memegang kaki-ku, aku tidak bereaksi sama sekali. melepaskan kaitan tali sepatuku keduaduanya dan mengangkat kaki-ku keluar dari silangan tali hitam dengan telapak tangan-nya,
sangat pelan seolah kakiku ini adalah benda ukiran berharga yang sangat rapuh. serapuh
itukah dia menilai diriku.
"aku tidak punya kekasih" katanya sambil menggeser sepatuku kesamping kiri. "tidurlah"
ucapnya lagi.
dan memberiku senyuman, entah kenapa aku selalu menilai setiap senyuman-nya selalu tulus,
meski otakku menolak tapi naluriku tidak.
dia berbalik badan dan aku menarik lengan-nya, lagi, seperti drama televisi tapi aku tidak
sempat berpikir tentang drama saat ini. aku menariknya begitu keras hampir menghilangkan
keseimbangan tubuhnya. aku langsung berdiri menggapainya dan memeluknya, wajahku
tenggelam dilekuk lehernya dan aku tau dia sedikit mendongak karena aku dilehernya. aku
bisa menebak dia hanya 7 senti lebih tinggi dariku.dengan tinggi tubuhku 170 cm hampir
mengimbanginya.
entah berapa detik atau mungkin menit aku memeluknya, tenggelam beberapa saat. entah apa
yang aku pikirkan, aku hanya lelah, lelah yang tidak pasti akan berakhir.
dari gerak tangan-nya ragu-ragu ingin mendorong tubuhku, langsung berhenti saat aku
memintanya, "jangan lepaskan aku, aku hanya ingin meminjam pundak dan lehermu
sebentar, hanya sebentar" aku mengucapkan kalimat akhir penuh penekanan dan
permohonan.
aku sedikit mendongak untuk melihat wajahnya. tanpa melepaskan pelukanku aku membuat
pernyataan padanya, "aku sudah memutuskan" kataku.
"keputusan apa ?" dia balas menatapku.

"aku akan menceraikanmu kar-."


"karna apa dan setelah itu apa ? kau mau membunuh ibu Ara dan anaknya Ela, iya ? ingat
pernikahan ini terjadi karna perjanjian bukan dan kau yang membuatnya tanpa ada
pembatalan didalam-nya. perjanjian tidak tertulis," dia mendorong kasar pinggangku tanpa
melepaskannya. pelukanku terlepas, bahkan aku bisa ambruk keranjang kalau dia tidak
mencegkram pinggangku. matanya berubah menjadi rumah tua dikuburan dihuni sejuta hantu
dan mahluk halus, menyeramkan.
"aku belum selesai bicara jad-"
"tanpa kau menyelesaikan ucapanmu aku sudah tau apa yang mau kau katakan-pikirkan dan
lakukan. semuanya itu tidak sejalan. "
dia mengungkit perjanjian atas pernikahan ini, tentu saja. bahkan dia sendiri tidak tahu
sepenuhnya tentang dibalik rencana itu sendiri hanya aku yang tau pasti.
"aku tidak mau melibatkanmu lagi, kalau saja dari awal aku mengetahui kalau bukan anggota
keluarga pak Yoan aku tidak akan melibatkanmu. ini urusanku dan keluarga pak Yoan. dalam
tubuhku ini sudah sepenuhnya bergumpal dendam, juga dosa akibat dendam itu sendiri. aku
tidak mau lagi menambah dosa yang akan menjadi darah daging padaku karena ikut
membinasakanmu, aku menyiksa orang yang tidak bersalah. jadi mengertilah dan pergilah,
aku sudah membebaskanmu, maafkan aku.... dan jangan coba untuk membuktikan apa-apa
padaku tentang pak Yoan kalau dia bukan pembunuh ayahku." tenggorokanku panas dan
tercekat akibat banyak mengoceh. mataku pun jadi ikut panas, aku tidak menangis, aku tidak
suka menagis dan aku juga sudah lupa kapan terakhir kali aku menangis.
"aku akan membiayai operasi serta pengobatan adikmu sampai dia sembuh, itu yang pertama.
selanjutnya sebagai ganti kau harus menikah denganku. kau tau kan begaimana hubungan aku
dan keluargamu, jadi lakukan apapun untuk menyakinkan ibumu itu kalau pernikahan ini
terjadi atas dasar cinta. yakinkan dia kalau aku sama sekali tidak dendam padanya. yang
ketiga, nyawamu sebagai ganti karena ingin menyelamatkan keluargamu, aku akan
melakukan-nya secara perlahan. baiklah aku hanya membalas dendam kepada salah satu
anggota keluarga pak Yoan saja. keempat kau dibawah perintahku dan tidak ada pembatalan
dalam perjanjian ini, kalau kau mengingkarinya aku akan menghabisi adik dan ibumu itu
seperti ayahmu membunuh ayahku mirip binatang yang dibantai. yang tarakhir hanya kau dan
aku yang tau soal perjanjian ini, jadi berlakulah selayaknya pasangan normal didepan orang
lain." dia menarik nafas dan meneruskan-nya lagi "sudah lupakah kau dengan ucapan
perjanjian tidak tertulis namun resmi yang kau buat sendiri, aku sangat mengingat-nya
Nicia."

bahkan dia menyebutkan secara rinci perjanjian yang aku ucapkan padanya, tepat disaat
setelah dia menyetujui penawaranku dan operasi Ela sedang berlangsung. perjanjian hanya
aku dan dia yang tau. kami bisa menutupinya dari semua orang tapi tidak pada Lani. dia
berhasil mengorek informasi dariku sendiri.
apa yang harus aku lakukan sekarang, haruskan aku bertengkar dengan-nya dalam kamar
hotel ini.

"baiklah apa maumu sekarang, kau mau aku membebaskan ibu Ara dan Ela begitu saja, maaf
aku tidak bisa. atau kau balas dendam padaku karena dalam waktu beberapa tahun ini aku
menyiksamu hah ? " aku berkacak pinggang dan suara menggema ruangan berkata padanya.
"yang aku mau berikan aku kesempatan untuk membuktikan siapa pembunuh ayahmu
dan....tidak ada perceraian." dia juga berkacak pinggang bicara padaku.
sebaiknya aku turuti perkataan-nya tapi akan tetap bercerai. aku tidak bisa memikirkan hal
lain lagi.
"baiklah, buktikanlah pak Yoan tidak bersalah dan kata harus tetap bercerai.." kataku tetap
bersikeras.
''tidak akan bercerai, karena sekali sudah menjadi milikku selamanya akan jadi milikku.
"miliknya katanya ?, apa yang dia ucapkankan layaknya sebuah ancaman dan jika dilanggar
maka pupuslah nyawaku.
"apa kau sudah gila, aku bukan milik siapapun. lagipula bukan-nya kau punya kekasih,
dengan bercerai dariku kau bisa bebas menikahinya. kau ini bodoh atau apa ?" aku menatap
tajam padanya.
"sudah aku katakan aku tidak punya kekasih, lagipula dari mana kau bisa menyebutku punya
kekasih ?" ujung kalimat terlontar jadi pertanyaan dan menuggu jawabanku.
"kemarin aku melihatmu bicara begitu riangnya dengan seorang gadis." kataku cepat.
"kemarin, kapan ?. baiklah terserah kapanpun kau melihatnya, aku yakin yang kau
maksudkan itu adalah temanku. aku hanya punya satu teman dekat perempuan dan dia sudah
menikah. paham.." ucapan dan tatapan-nya melembut lagi.
apa yang akan terjadi dalam pernikahan yang aku paksakan justru sekarang aku terjebak
dalam pernikahan itu sendiri. hidupku sudah penuh kesedihan, dendam dan rumit ditambah
lagi sekarang pernikahan ini. lengkap sudah.
Altair pergi kesofa menyambar bantalnya dan menghempaskan tubuhnya diranjang.
"kenapa tidak tidur disofa saja sana," aku bergerak naik keranjang juga.
"kalau kau mau, aku kan kesofa."jawabnya dalam pejam matanya.
jadi pernikahan ini benar sekarang, benar apa adanya. tapi atas dasar apa ? komitmen, sejak
kapan. kepercayaan, hal seperti itu tidak akan pernah ada. cinta, apa lagi omong kosong besar
seperti itu.
"jadi kau menginginkan pernikahan ini normal sekarang, seperti pasangan yang lain ?"
akhirnya aku tidak bisa menahan pertanyaan untuk tidak keluar dari mulutku.
aku berbaring miring menghadapnya dan menarik gaunku agar tidak tambah naik lagi dan
memampangkan pahaku semakin tinggi.

"terserah, yang pasti tidak ada perceraian." jawabnya tanpa membuka matanya.
"demi tuhan, sebenarnya apa yang kau inginkan dari pernikahan ini selain kesempatan
membuktikan pembunuh ayahku ?." aku bertanya tanpa menyulut emosi.
"tidurlah Nicia." perintahnya.
"kenapa kau senang sekali menyuruku tidur."
"karna memang sudah tengah malam." katanya lagi.
benarkah sudah tengah malam. bahkan entah berapa lama yang tidak kusadari hanya untuk
bertengkar dengan-nya. waktu dan alasan untuk mengalihkan perdebatan bodoh ini.
cukup lama setelahnya kami saling diam. mungkin juga dia sudah tidur. aku bergerak-gerak
gelisah dari posisi rebahanku, kedua kakiku saling mengusap karena ada rasa nyeri dan
semakin lama semakin berdenyut kuat.
"Altair....." aku memutuskan memanggilnya, mungkin tidak akan ada jawaban.
"ehmm" dia belum tidur ternyata.
"kaki-ku sakit, ini pasti karena hak tujuh senti itu."
dia memilih membuka matanya, duduk dan menarik selimut satin menutupi pahaku. beringsut
mendekati kaki-ku dan memijitnya. sedikit aku terpekik karena ngilu akibat pijitan-nya. dia
hanya bisa minta maaf dan mengatakan kalau dia bukan ahli memijit, aku juga tau dia bukan
tukang pijit. tapi syukurlah dia mau membantuku.
aku tidak tau akan seperti apa ini berlanjut, aku berulang kali berpikir dan yakin manusia
manapun pasti akan menaruh dendam atas kematian orang yang disayanginya kepada
pembunuhnya. pembunuh yang langsung mati tanpa merasakan siksaan seperti apa yang telah
dia lakukan kepada korban-nya. sekali lagi, aku hanya manusia biasa yang tidak bisa berlagak
tegar dan rela memaafkan kesalahan besar pada orang lain.
meski aku tau balas dendam tidak akan menghidupkan ayahku lagi, tapi setidaknya itu akan
mengakhiri makian dan sumpah serapah disetiap nafasku kepada pelakunya.
*****
"sungguh aku ingin sekali memelintir telingamu itu dengan sumpit ini," aku mengacung
sepasang sumpit kayu ke arah Lani, beberapa saat kemudian menujamkan ke meja makan
kayu berumur cukup tua di dapurku ini.
sudah kutebak, dia tidak sekalipun ngeri setiap kali aku marah dengan hal-hal yang tidak
penting menurutnya.
"kalau sampai kau melakukan-nya aku akan minta tambah tiga mangkuk tumis mie ayam
denganmu," dia terkekeh, linangan tipis akibat minyak dari tumis yang tertinggal dibibir
warna berry semakin jelas karena seringai lebarnya. menggigit satu sumpitnya dan menghisap

cepat dibagian ujungnya. "kau tau aku cukup berpikir keras untuk memilih gaun seperti apa
yang cocok untukmu, dan yah...aku membayangkan bokongmu yang indah itu sangat cocok
dengan gaun yang kupilih. lagi pula kau tidak perlu marah seperti itu, memangnya kau tidak
kasihan melihatku yang sudah sangat rindu ingin makan dirumahmu ini, dan katakan padaku
bagaimana pestanya ?." kembali lagi memasukkan mie kemulutnya sendiri.
"kau tau aku tidak terlalu suka pesta formal semancam itu, tapi cukup memiliki banyak rasa."
aku memebuat sekali putaran dalam mangkok mie-ku, menjadikan-nya sebuah susunana
melingkar.
"banyak rasa ? makanan atau minuman-nya ?" suara dari mulutnya yang hampir penuh.
sekaligus gelagat humornya akan terus ada.
"beberapa hal berlangsung dalam pesta satu malam," aku melipat tangan diatas meja dan
menakikkan bahu.
Lani berhenti mangunyah dan meraih teh hangat didepan-nya, meminumnya terburu-buru
seperti akan ada seribu orang yang akan merampas gelas tehnya itu. dan setengah kasar
meletakkan gelas teh kembali diatas meja, membuat air teh berombak dalam gelas dan
hampir meloncat keluar. dia membetulkan posisi duduknya, terdengar bunyi tabrakan kecil
dari kakinya pada kaki meja.
"apa ? akhir pesta formal jadi pesta arak dan kau mabuk ? setelah itu kau dan Altair menginap
di hotel itu dan kalian melaku..........."
"kau pikir aku ini gadis 17 tahun gemar pesta alkohol dan berakhir dengan sex hah ?, itu
hanya ada di televisi." aku memotongnya cepat. dan melotot tidak percaya pada apa yang
banyak dia pertanyakan.
Lani memilin jari-jarinya meletakkan diatas meja, "kalau memang itu terjadi juga tidak apaapa kan ?." dia tertawa genit dan melanjutkan lagi " jadi apa maksudmu dengan banyak rasa
dalam satu malam?."
aku bercerita cukup banyak kalau aku tidak mengikuti pesta sampai akhir, lelaki tua Agutian
Ozora yang selalu ramah dengan kedutan diwajahnya. yang pasti tidak meninggalkan betapa
kesalnya aku mengenakan gaun yang dia carikan untuk-ku, hal itu akan terus membuatnya
tertawa. dan tentang Marlen yang mendatangiku ditoilet perempuan, itu membuatnya terheran
sedikit. sejujurnya Lani memang tau kalau aku dulu pernah berpacaran dengan Marlen, dan
aku menjawab alasan-nya adalah dia memintaku menceraikan Altair dan menikah dengannya. sontak mulut lani sedikit membentuk huruf O dan langsung menutupnya. komentar Lani
cukup pedas akan hal itu, entah berapa ribu persen katanya kalau dia tidak akan sudi aku
bersama Marlen.
yang pasti aku tidak menceritakan perdebatanku dan Altair malam itu. dia bahkan tidak tau
kalau Altair tidur dikamarku sekarang. Altair terlalu sakit kepala katanya dan aku
memaksanya tidur dikamarku. mengetahui kalau Lani akan datang pagi ini, Altair
memaksakan bangun lebih pagi lagi dan memasak sarapan, sangat keras kepala melawanku
saat aku menawarkan aku bisa masak sarapan sendiri. setelah itu tanpa banyak bicara lagi dia
kembali masuk kekamarku dan melanjutkan menenangkan kepalan-nya.

Lani mengamati layar ponsel-nya dan meletakkan lagi kesembarang arah dimeja makan.
sudah jadi hal yang lumrah jika dirumahku dia mengeluarkan isi tas-nya, buku catatan kecil,
ponsel, tissue, kosmetik lalu menggunakan dan melemparkan kesembarang arah. itu yang
membuatnya kembali dua kali untuk mengambil barangnya yang tertinggal disini.
"kau tidak akan marah kalau aku terlambat ke tokomu." Lani mencondongkan tubuhnya
kebelakang menyentuh sandaran kursi dan meluruskan kaki.
aku bergerak menyusun mangkuk kotor bekas sarapan. "aku tidak melihat suami-mu, padahal
aku datang pagi sekali kesini. apa memang sepagi itu dia pergi ?, apa dia tidak kelelahan ?.
dan apa kau tidak menawarkan isitirahat sama sekali padanya ?, oh kau kejam sekali Nicia."
pertanyaan bagus Lani.
"penyakit mu itu bisa dihilangkan tidak, kau suka sekali bertanya banyak hal dalam satu
waktu." dia hanya terkekeh kecil dan sepertinya dia tidak menunggu jawabanku, baguslah.
untungnya hari ini Lani tidak banyak tingkah minta dibuatkan ini itu seperti biasanya. setelah
perutnya penuh tumis mie diapun pergi dengan langkah ringan dan girang tanpa rasa bersalah
sedikitpun karena aku yang sudah marah pada gaun yang dia barikan padaku. memang benarbenar anak itu, entahlah.
hampir jam sepuluh pagi dan belum ada tanda kalau Altair akan keluar dari kamarku dan
menampakkan wajah kusutnya. akhirnya aku memutuskan memanggang dua helai roti tawar,
membuat jus jeruk dan mengambil obat sakit kepala, siapa tahu sakit kepalanya belum hilang,
sampai-sampai dia tidak menampak-kan diri untuk sekedar sarapan atau apalah.
aku melangkah pelan melewati pintu coklat kamarku dan nampan ditangan, seolah takut
membangunkan singa tidur. aku bergerak mendekat, perlahan aku duduk ditepi ranjang
searah punggung-nya. dia tengkurap dan kepala kearahku, dikarenakan ruangan ini sepi jadi
aku jelas mendengar jelas deru nafasnya, pulas dan agak pucat. aku sungguh tidak tahan
untuk tidak meletak-kan tanganku di dahinya, akhirnya aku melakukan-nya. ya tuhan dahinya
panas, apa dia demam ?. aku meneliti keadaan ruangan, AC tidak terlalu dingin aku rasa.
aku beringsut mendekat padanya, menyentuh pundaknya dan menggoyangkannya sendikit.
"Altair..." gumamku.
tubuhnya bereaksi, sedikit gerakan kelopak matanya terbuka dan sambil menarik nafas dalam
dan pelan dia mengubah posisinya menjadi terlentang.
"ada apa ?" katanya sembari menarik tubuhnya sendiri dan bersandar dikepala ranjang lanjut
dengan mengusap wajah, "aku sudah bilangkan kalau aku tidak bisa keperternakan hari ini."
"ya aku tau, yang aku mau tanyakan apa kau demam ?" kataku ketus, jelas saja ku sudah tau
di tidak bisa keperternakan. memangnya aku ini seperti majikan monster apa ? yang
seenaknya menyuruh budak bekerja tanpa melihat kondisi.

"sedikit sakit kepala mungkin, aku cuma perlu tidur. jadi...bisa aku tidur lagi ?" katanya
sambil memijit-mijit keningnya sendiri, "oo kau terganggu ya karena aku pakai kamarmu,
baiklah aku kembali kekamarku."
buru-buru aku menahan lengan-nya agar tidak bergerak dan mengambil piring roti yang
kuletakkan dinakas.
"aku kesini untuk menyurumu sarapan, nih makan dan setelah itu minum obat itu," aku
menyodor piring putih berisi dua lembar roti panggang kepadanya dan menunjuk dengan
dagu dimana arah obat yang kusebutkan, atas nampan dinakas.
kulihat dahinya mengernyit melihat roti yang masih mengedarkan hawa panas pada piring
ditanganku, "ayolah ini hanya roti panggang, rasanya tidak buruk" kataku lagi.
"aku tidak mau makan apapun, aku minum obatnya saja" dia mendorong pelan piring yang
kupegang.
"mana bisa seperti itu, itu tidak bagus. kau harus memakan rotinya dulu baru minum obat."
aku memaksa dan mencengkram leher kaus putih yang seidikit berkedut akibat dibawa
berbaring, entah kenapa aku suka setiap kali dia memakai kaus seperti ini. akibat tarikanku
dia jadi berpindah posisi duduk didekatku ditepi ranjang.
rasanya hal memaksa orang yang sedang sakit untuk makan seperti ini aku lakukan pada ayah
dulu setelah itu tidak ada lagi, tapi sekarang ini aku melakukan-nya lagi, pada Altair.
"jangan paksa aku.." pintanya.
"jangan paksa katamu hah ? tidak enakkan kalau dipaksa, nah sekarang kau rasakan seperti
apa yang aku rasakan saat kau memaksaku minum obat selama dua bulan penuh kemarin."
aku semakin menarik lengan-nya dan memaksanya membuka mulut.
"jadi ini balas dendam begitu ?" tanya-nya datar.
aku tau ada nada mengejek dari ucapanya dan ada senyum tipis sangat tidak kentara
dibibirnya, dia pikir aku tidak bisa melihat itu.
"mungkin" kataku.
tapi aku akui ini bukan murni balas dendam, aku hanya ingin membantunya.
Altair mengambil piring dari tanganku dengan sigap lalu menaruhnya dinakas agak teburuburu sampai aku mendengar hentakan kecil antara piring dan nakas. aku jadi gelagapan
sendiri untuk meraih piring itu lagi tapi aku rasa tidak sempat karena yang kurasakan
sekarang adalah tubuhku sudah terbanting dan sedikit memantul karena menghantam tempat
tidur. segera aku menekuk kaki kiri untuk bangkit tapi lagi-lagi aku didorong dan dihimpit
juga kedua tanganku dilipat disusupkan kebelakang badanku membuatnya terhimpit oleh
tubuhku sendiri dan yang pasti masih dicekal.
"apa yang kau lakukan Altair ?" kataku hampir berteriak dan nafas tak terkendali karena
takut.

dia menatapku dengan posisinya yang sekarang menghimpitku juga mengunci kakiku, aku
sudah benar-benar hanya bisa mengeliat tak mampu menyingkirkan-nya. bodoh, jika saja aku
tetap aktif latihan bela diri sudah pasti aku tidak lamban dan sampai dihimpit seperti ini, yang
pastinya tenagaku tidak seperti kacang rebus seperti sekarang. akibat larut sedih yang begitu
lama atas kematian ayahku, aku jadi seperti tidak mengurus hidupku sendiri bahkan aku
menghentikan olah raga yang kusukai, taekwondo.
deru nafas Altair menyapu wajahku, aku baru sadar kalau matanya jika dilihat dari jarak
sedekat ini bewarna terang semacam kulit kayu aku rasa, bukan warna hitam seperti yang
kulihat biasanya.
dia masih menatapku lekat, "lepaskan aku, aku janji tidak memaksamu memakan roti itu lagi
jadi tolong menyingkirlah dari tubuhku."
aku bergerak lebih kuat lagi tapi sia-sia aku rasa, tidak merubah apapun dari posisiku yang
sekarang ini.
"atau kau mau aku berteriak dan kau akan dihajar warga karena melecehkanku, itu yang
kamu mau?" kataku lagi.
"melecehkan apa ? kau mau berteriak dan mengatakan pada mereka kalau aku
memperkosamu ?," dia menaikkan sebelah alis.
ya tuhan..dia benar, tidak mungkin aku mengatakan hal itu pada orang-orang yang ada aku
akan disebut istri gila. habislah aku. tapi kembali aku menatap matanya dalam, matanya tulus
seperti anak kecil.
"kumohon lepaskan aku.." aku memelas dan aku harap air mukaku tidak seperti anak anjing
yang meminta makan pada tuan-nya.
"bagaimana kalau aku tidak mau dan bagaimana kalau aku melakukan pelecahan padamu
sekarang ?." suaranya mengancam dan kami saling menatap.
"kau tidak akan melakukan-nya" kataku.
"oh ya ? kenapa kau bisa yakin ?" ucapnya cepat dan semakin menahan tanganku. tubuhnya
semakin menempel pada tubuhku, hangat dan rasa hangat itu menjalar keseluruh kulitku dan
rasanya enak sekali, apa-apaan ini ? kenapa aku malah jadi terlena seperti ini.
berani-beraninya kau melakukan ini padaku Altair.
"karena aku yakin kamu tidak sejahat itu dan tidak akan pernah. dan kalau memang kamu
orang jahat sudah pasti kamu akan melakukan-nya dari dulu. aku juga tau kalau kamu punya
prinsip untuk menghargai orang lain yang sangat kamu junjung tinggi. aku percaya padamu
Altair dan jangan tanyakan kenapa aku bisa percaya padamu." aku tidak menyusun kalimat
yang keluar dari mulutku sama sekali, aku mengucapkan-nya begitu saja dengan yakin bahwa
hal itu benar. seharusnya aku memakinya namun kata makian tidak tersaji dibibirku saat ini.

ada kabut sadih dari matanya, dan sudah aku katakan sebelumnya aku tidak terlalu pandai
mengartikan air muka seseorang tapi saat ini aku benar-benar bisa melihat sedih bercampur
penyesalan terpancar dari matanya.
aku menyerah untuk bergerak dan melawan karena itu akan membuat rok putih berbahan
sutra dan bisa dikatakan ketat ini ditambah lagi panjangnya hanya setengah pahaku ini akan
semakin tersingkap. tolol entah kenapa tanpa berpikir atau menilik dua kali terlebih dahulu
aku langsung memakai rok pemberian Lani ini, rok yang bersamaan dia kirimkan dengan
gaun pesta hitam mengukir bokong kemarin.
perlahan Altair melepaskan cekalan tangan-nya padaku sehingga aku dapat menarik tanganku
lagi dari himpitan tubuhku dan terasa lega menyelimuti kedua pergelangan tanganku. tanpa
perintah kedua tanganku terangkat bergelayut dipundak Altair dan menghela nafas pendek.
aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu, mungkin meminta maaf atau yang lain-nya. ada
secercah penyesalan dihatiku setelah meloloskan kalimat tadi, melihat raut mukanya, apa
mungkin dia merasa tersinggung atas ucapanku ?.
"maafkan aku" gumamku.
"bukankah seharusnya aku yang meminta maaf karena melakukan hal yang tidak senonoh
seperti ini, " kurasakan tubuhnya bergeser dan hendak bangkit tapi sepontan aku menautkan
tanganku dibelakang lehernya dan membuatnya terhenti.
"maafkan aku tadi memaksamu makan roti bakar" kataku lagi.
"aku akan memakan rotinya," dia terkekeh dan melepas pelan tautan tanganku dari lehernya.
"Nicia tadi ponsel ku keting...ga..lan....ups maafkan aku," Lani langsung lari setelah melihat
aku dan Altair seperti ini ditempat tidur. dia pasti berpikir yang tidak-tidak melihat ini. Lani
dia memang punya kekuasaan masuk kekamarku sesuka hatinya. dan pasti ini akan jadi
pertanyaan yang hangat untuk dibahas nantinya. sialnya kenapa ponselnya harus tertinggal
lagi.
Altair tergesa-gesa bangkit menarik diri duduk ditepi ranjang dan menurunkan kaki kebawah.
aku meraih lengan-nya sebagai bantuan untuk bangkit juga dan bersandar dikepala ranjang.
aku tau dia juga gelagapan akibat kepergok Lani tadi.
"aku harap Lani tidak berpikir macam-macam" katanya setengah tersedak disaat bersamaan
menyesap jus jeruk dan berbicara.
"tentunya dia akan berpikir macam-macam, lagipula siapapun yang melihat kita seperti tadi
sudah pasti berpikiran sama. ini salahmu." kataku kesal dan menyentil telinganya dari
belakang dengan jari tengahku membuatnya meringgis kesakitan.
membetulkan kaus yang sedikit tersingkap lalu berdiri menuju sofa putih yang menempel di
dinding, duduk disana dan menautkan kedua tangan-nya.
kemudian memandangiku, tatapan macam apa itu ?. seakan aku ini tanpa pakaian, mungkin
rokku setengah paha ini, buru-buru aku menariknya kebawah berharap agar sedikit tertutup
walaupun sia-sia.

"sebenarnya aku cuma mau mengerjaimu, habisnya kamu cerewet sekali. tadikan kepalaku
sakit sekali" dia sedikit menarik diri untuk bersandar.
"tadi ?, itu artinya sekarang tidak lagi" melipat tanganku kedada, "itu artinya kita bisa
menyelesaikan pembicaraan kemarin malam yang tertunda" pernyataanku. meminta
kepastian, bodohnya aku tidak mengerti kenapa aku harus melakukan-nya. aku yang sudah
menciptakan pernikahan konyol ini dan aku juga yang terjebak didalamnya.
"bukan-nya sudah jelas tidak ada perceraian, mengenai seperti apa kita menjalani pernikahan
itu terserah padamu." dia mengangkat alis, aku tau itu maksudnya penjelasan lengkap
darinya.
tapi bukan itu yang ingin kudengar. tapi atas dasar apa pernikahan ini diteruskan.
"aku paham Nicia, bahkan lebih dari paham. tidak mungkin kamu mengatakn kepada orang
lain diluar sana, ya kamu taukan maksudku. itu pasti akan menjatuhkan harga dirimu. lihat
dirimu, cerdas, pewaris tunggal kekayaan mendiang ayahmu, semua orang tau itu. hebatnya
lagi kamu hidup di kakimu sendiri, usaha kerasmu sendiri, sukses atas pejuanganmu sendiri.
bukan mengandalkan apa yang telah ditinggalkan orang tuamu. itu yang membuatmu tak bisa
disandingkan sembarang orang. nah sementara aku, siapa memangnya aku hanya seorang
pekerja kasar yang tidak jelas asal usulnya. itu masalah terbesarnya kan ?. tapi tak perlu ribut,
kamu tak harus mengakuiku sebagai suamimu didepan para kolegamu atau siapapun yang
menurutmu bisa membuatmu malu." bicara seperti itu seperti melantunkan lagu tanpa emosi.
dia pikir hal itu yang ingin aku dengarkan, tapi sayangnya dia tidak mengerti.
"aku tidak mau membahas masalah harta Altair, aku tidak peduli kaya atau miskin-nya. tapi
pernikahan macam apa ?, pernikahan itu bukan permainan." perkataanku sendiri seperti yang
menelanku bulat-bulat. bukan permainan kataku tapi aku sendiri yang yang memainkan-nya.
"aku tidak pernah menganggap pernikahan ini permainan Nicia, tidak pernah. untuk lebih
jelasnya selama pernikahan ini berlangsung aku akan menjagamu, aku tidak melarangmu
melakukan hal yang kamu suka tapi aku perlu tau dengan siapa saja kamu berhubungan,
jangan salah paham aku hanya benar-benar ingin menjagamu karena kamu dalam bahaya
sekarang. sudah jelas..." dia berdiri berjalan kearahku. meraih tanganku kemudian menarikku
agar duduk ditepi ranjang. kini dia berlutut didepanku. merogoh saku sebelah kiri celana
krem selutut yang dia kenakan.
ada dua cincin dengan warna yang berbeda tapi bentuk sama persis, kuning dan putih. dia
merengkuh jari manis kananku dan memasang kedua cincin itu disana. apa dia sengaja
menyimpan cincin ini sejak lama, untukku?. atau sebenarnya ini, bagusnya aku langsung
tanyakan saja.
"maukan kamu menjadi istriku ?".
"ada apa dengan kepalamu heh ? terbentur lantas hilang ingatan. aku ini memang istri kamu
dan ini apa ? dilamar dengan dua cincin sekaligus aku belum pernah dengar hal semacam
ini." aku mengusap dua cincin kembar dengan warna berbeda itu.

"aku tau, tapi anggap saja ini pernyataan dariku bahwa pernikahan ini sungguhan" katanya
lagi, seketika dadaku dirundung rasa takut, takut bahwa sadar aku jadi istri yang
sesungguhnya. itu artinya dia punya hak atas diriku. seperti yang aku tau jika seorang wanita
sudah menyandang status sebagai istri itu artinya pria yang menikahinya punya hak mutlak,
bisa melakukan apa saja yang dia mau pada istrinya. tidak, dia tidak bisa melakukan hal itu
padaku.
"apa kita akan seperti pasangan kebanyakan ?" lolos juga pertanyaan itu dari mulutku.
dia mengerutkan dahi, berpikir " apa ? seks ? kalau kamu menginginkan-nya aku akan
melakukan-nya tapi jika tidak itu juga bagus".
dalam diam aku menghembus nafas lega, bersyukur bahwa dia benar-benar punya prinsip
menghargai, setidaknya padaku. entah pada orang lain.
"baiklah, tapi satu hal. kamu tidak bisa menuntut apa-apa dariku, mengerti. dan jangan pernah
berharap aku akan jadi seperti para istri kebanyakan" aku menekan kalimat ini,
mengingatkan-nya bahwa aku tidak bisa dikuasai.
"aku tidak akan menuntut apa-apa darimu, sampai kapanpun kecuali jika itu prihal
keselamatanmu" dia mulai bergerak berdiri tapi aku menahan-nya.
"satu penjelasan lagi, kenapa cincinnya harus dua ?" aku mengadahkan tangan bercincin
kedepan wajahnya. dia merengkuh tanganku menurunkannya keatas pahaku.
"sudah tentu lupa, yang warna putih itu cincin yang kamu beli sendiri dan kamu juga yang
melemparnya setelah akad nikah kita beberapa tahun yang lalu dan warna kuning itu dariku
yang melamarmu hari ini. aku juga menyimpan buku nikah kita, waktu itu kamu
mencampakkanya di bawah meja kaca ruang tengah." kini dia yang mengelus cincin dijariku.
"kenapa kamu melakukan hal itu, memang apa gunanya ?" mengangkat kepala menatap
matanya mencari kesungguhan disana.
"tadi aku sudah katakan aku tidak pernah menganggap pernikahan itu sebuah permainan,
pernikahan ini benar apa adanya. perjanjian dihadapan tuhan tidak bisa dipermainkan sesuka
hati" aku tau kamu ingin mangatakan kalau aku salah, tapi aku tidak perduli. aku sudah mau
berbaik hati membebaskan-mu tapi kamu yang ingin bertahan dalam neraka yang aku
ciptakan.
"kamu tau hari ini hari apa ?" katanya lagi, jari-jarinya memainkan kancing bagian bawah
blush warna pastelku.
"hari rabu, kenapa ?"kami saling menatap.
sekarang jemarinya naik mengusap bibir bawahku kemudian kedua jarinya membentuk kaki
berjalan menuruni leher hingga dadaku berhenti disana dia memasang kancing bagian atasku
yang terbuka.
"hari ini 12 oktober, pernikahan kita genap berusia tiga tahun." dia mengingat tanggal
pernikahan, sebegitu pentingkah baginya

mungkin ini hasil dari tindakan cerobohku dengan mengambil keputusan menikahinya, aku
memang bodoh harus berpikir menikahinya dulu untuk membunuhnya. harusnya aku
berkonsultasi kepada pembunuh profesional agar bisa membunuh orang tanpa meninggaalkan
jejak. atau aku langsung bisa menyewa pembunuh saja setelah itu konsekuensinya mungkin
aku akan sedikit menyesal karena telah membunuh orang yang salah, habis perkara. Nicia
kau memang tak berbakat jadi pembunuh. tapi kenyataanya menghabisi nyawa orang lain tak
semudah merebus mie instan. ah..kepalaku dari tadi tidak ada hentinya dengan aksi
berpikirnya.
bagaimana mungkin aku berada dalam pernikahan, memikirkan-nya saja aku tak pernah. aku
bukan gadis pemimpi yang menginginkan menemukan seseorang dan hidup bersamanya
hingga akhir nanti. aku tidak pernah berpikir begitu, itu hanya dongeng penghantar tidur.
menjijikan, ya tuhan belum aku membunuh orang aku sudah dihukum begini bagaimana
kalau sampai aku membunuh sungguhan ?.
Altair berdiri dan meraih tanganku menarikku berdiri juga, menyelipkan tangan kanan pada
pinggangku. awalnya aku marah dan hendak mendorong tubuhnya tapi itu semua hanya
tinggal keinginan ketika sadar dia sudah membungkam bibirku dengan ciuman tapi hanya
sekejap. dia melepaskanku
"aku mau mandi boleh aku pakai kamar mandimu ?" matanya menunjuk kerah pintu putih
blur. aku mengangguk.
minta izin macam apa itu ? menghimpit tubuhku lalu melumat bibirku tanpa permisi
sedangkan kekamar mandi pakai izin. apa maksudnya itu. memang kamar mandi lebih ada
harganya daripada aku.
gemerisik air sudah terdengar, aku menghempas tubuhku keranjang menutup muka,
mendesah panjang atas apa yang sudah aku lewati hari ini. aku lelah, lelah atas perbuatanku
sendiri.
***
oh ayolah hanya untuk mengeluarkan ide untuk meneruskan kisah fantasiku saja aku tak bisa.
apa otakku sudah beku, satu minggu niatkan fokus untuk menulis saja aku tak bisa. kugeser
macbooku menjauh hingga berada ditengah meja. bersandar, derit kursi samping menggema
saat kakiku meraihnya lalu menjuntakannya kesana. memejam mata berharap jangan sampai
tertidur, jika itu terjadi maka aku akan terjatuh dan wajahku menghantam lantai, dua gigi
depanku akan sirna.
suara gesekan antara meja dan macbook membuatku membuka mata, Altair. dari gerakan
matanya aku yakin dia membaca tulisanku.
"hampir tengah malam, kenapa kamu masih disini ?". tatapannya lekat pada bacaan itu,
bertanya tapi seperti tak tertarik untuk melihat yang lain.
"habis lihat-lihat bunga lili dibelakang," menutup macbook sedikit merubah posisi duduknya
miring kearahku "kamu dari dulu mengurus bunganya ?". tanyanya

"aku bayar orang untuk mengurus rumah, memasak dan merawat tanaman sebelum kamu
datang". jelasku. aku memang tak pernah mengurus bunga itu, aku memang tak suka bunga.
aku menjaganya karena ayahku.
ayahku selalu mengatakan kalau itu bunga kesukaan ibuku, ayahku sepenuh jiwa mengurus
tanaman itu. sehingga aku tau kebiasaan ayah, jika dia rindu pada ibu, dia akan berdiri
diantara bunga-bunga itu menghabiskan waktu. aku selalu mengitipnya walau berakhir dia
memergokiku. aku tak suka melihat bunga lili, itu akan membuatku semakin terluka.
"Altair...." lirihku.
ragu-ragu aku menggigit bibir bawahku, tanya atau besok saja berhubung ini sudah tengah
malam. tapi sudah sangat penasaran.
"ada apa ?" membetulkan posisi duduknya.
"aku mau tau tentangmu, ceritakan semua tentangmu. bahkan aku tak tau nama belakangmu".
sesekali suara jangkrik dari luar pintu dapur cukup untuk memecah kesunyian diantara kami.
"tak ada perlu diketahui dariku Nicia". dia kembali lagi dengan macbook, aku yakin dia tidak
begitu sepenuhnya dengan bacaan itu.
"jangan menghindar, aku mau tau semuanya. katakan" pintaku, bukan, memaksa lebih
tepatnya. seperti tak ada tanggapan darinya, aku rampas macbook darinya melayangkan
ketengah meja. aku juga menarik lengan-nya supaya menghadapku.
"apa gunanya bagimu Nic ?" dia bertanya seolah permintaanku semacam permohonan
sampah.
"haruskah ada harga untuk sekedar tau kehidupan kamu ?" pertanyaan berbalik dariku,
menantang harga diriku sendiri. sebegitu tinggikah harganya. aku sendiri dirundung rasa
takut tapi juga terpikir bahwa ada setitik kebenaran disana dibalik statusku sebagai seorang
istri.
tak pernah ada kekasaran darinya tapi perlakuan dan tatapan-nya selama ini padaku lebih dari
cukup untuk merobek harga diriku, pura-pura tak peduli tapi aku menyadarinya sekecil
apapun perasaan itu.
"namaku Altair, Altair Meynard. aku lari dari rumah orang tua delapan tahun yang lalu
sampai akhirnya keberuntungan masih mau berbagi denganku, waktu itu masa sulit yang
hampir mencekat pernafasanku. aku dipetemukan dengan keluarga almarhum pak Yoan. aku
terselamatkan untuk lebih singkatnya. keluarga itu sangat luar biasa bagiku, meruntuh jiwa
kekanakan yang selama ini mengakar dalam tubuhku, menghargai dalam kesederhanaan
mereka. saling berbagi, terkadang aku ingin mengakhiri hidupku atas rasa sesal kenapa aku
tak mematuhi hal ini dari orang tuaku sendiri tapi malah dari orang lain. bahkan orang tua
kandung menanamkan nilai-nilai itu lebih lagi." dia mendesah mengusap wajahnya, sedikit
melorot dari sandaran-nya.
"kamu berapa bersaudara ?" aku memilin jari-jariku.

"tiga bersaudara, tapi kakak dan adikku sudah meninggal" jawabnya. aku merapatkan kedua
telapak tanganku meletakkan dibibir, mengerti bahwa dia sama halnya denganku, sendiri.
"kamu sudah pernah kembali ?" aku mengertakkan gigi menarik rapat kemeja besarku, entah
kenapa udara dingin terasa semakin menggigit tulangku.
"belum, aku sangat merindukan mereka. sebenarnya jika aku punya lebih banyak keberanian
mungkin aku bisa melepaskan rindu pada mereka. tapi kesalahan yang aku perbuat
membuatnya tidak akan pernah mungkin" dia mengernyit, ada percikan kekecewaan.
kesalahan seperti katanya tadi sudah pasti membuatku lebih dari penasaran, apa yang sudah
dia perbuat. tapi disisi lain aku juga paham bahwa dia terlihat enggan dan memilih menutup
rapat mulutnya.
aku bisa menekan keingintahuanku, dimana tiba masanya nanti aku akan memaksanya
bercerita atau dia dengan suka relanya menceritakan karena tak dapat menahan leburan itu
diujung bibirnya.
........
sudah hampir 2 minggu aku tidak keluar rumah total, hanya komunikasi lewat telepon untuk
orang terdekatku. entah syndrom apa yang melandaku sekarang, ada rasa nyaman ketika
menghabiskan waktu dirumah terlebih jika Altair mengalah denganku supaya dia hanya
setengah hari saja keperternakan. dia pernah bercerita padaku kalau pak Rio sedikit
menggodanya akan hal itu.
berguling-guling diatas ranjang tapi mataku tak bisa berkompromi untuk diajak tidur.
macbook masih menyala, hanya beberapa bait cerita yang tertulis disana. aku melirik kenakas
pada jam berbentuk bulat datar dari kaca bening, lewat tengah malam.
"belum tidur ?" suara Altair muncul dari balik pintu, lalu menaiki ranjang.
"mataku tak bisa pejam, sepertinya aku lapar" jawabku bermanja-manja. sialnya kebenaran
hubungan kami belum genap dua minggu tapi tingkahku padanya luar dari kata masuk akal.
aku tidak manja dan tidak suka orang manja, menjijikkan, tapi inilah aku sekarang jadi seperti
orang-orang yang aku benci. ini semua karena perlakuannya padaku, dia mengeluarkan sisi
buruk dari dalam diriku yang aku sendiri sangat berharap tidak pernah ada.
"kamu belum makan ? jadi bubur yang aku beli tadi tak dimakan" dia mengerutkan kening,
merapikan helaian rambut yang terjuntai diwajahku.
"aku tidak suka bubur itu, kan aku mau kamu yang buatkan" mulai dengan tingkah
merajukku, memasang tampang manyun.
"ya sudah aku buatkan sekarang" dia berdiri dan menyuruhku menunggu dikamar saja tapi
aku lebih memilih untuk ikut memasak. hanya menyerah menurutiku.
kegiatan memasak tengah malam lumayan untuk memperbaiki suasana hati. masih ada
beberapa bahan masakan tersisa setidaknya cukup untuk membuat bubur seperti keinginanku.
bahkan snack kesukaanku kering kerontang. sudah berapa lama memangnya aku tidak peduli
dengan dapurku sendiri.

"besok aku harus mengambil beberapa kebutuhan makan dari tokoku". aku mengetuk keju
yang sudah sangat mengeras dari lemari pendingin, sudah berapa lama benda ini menginap
disana.
"kita belanja ditempat lain saja, kamu butuh pemandangan baru" menyodorkan mangkuk
berisi bubur panas baru selesai dimasak. "cepat dimakan" perintahnya.
setelah beberapa saat hampir setengah mangkuk aku menghabiskan buburnya, aku
mengaduknya sambil berpikir untuk mengajukan permintaan lebih besar. walau aku yakin itu
sangat sulit tapi bukan bearti tidak mungkin.
"kenapa ? tidak enak ?" tanya tiba-tiba. aku mengangkat kepala melihat dia
memperhatikanku.
"enak, enak sekali" aku letakkan sendok pada mangkuknya, melipat tangan seperti anak
sekolah dasar "Altair.." panggilku.
"ehmm"
"aku ada permintaan lagi" kugigit jari telunjukku, aku yakin ini bukan hal buruk
"apa ?"
"bawa aku bertemu orang tuamu" jangan tolak aku Altair, aku meremas jari-jariku.
"tidak, tidak bisa" jawabnya cepat, kami saling menatap.
"kenapa tidak bisa, lagipula kamu sudah lamakan tak bertemu mereka. kenapa ? tak punya
keberanian, sampai kapan heh ? " suaraku meninggi tapi tak seperti teriakan, jantungku
rasanya memacu lebih cepat atas penolakan tegas darinya tadi.
"tidak, kamu tidak mengerti Nicia" gumamnya sembari memalingkan wajahnya kesisi lain.
"kalau begitu buat aku mengerti, katakan apa sudah terjadi. sampai kapan kamu harus lari
dari kenyataan, kamu sama sekali tidak bersyukur Altair masih punya orang tua. coba lihat
aku, aku terluka karena kematian orang tuaku Altair", aku menarik nafas kasar
membenturkan punggungku pada sandaran kursi. "heh, kita berbanding terbalik ya, aku
terpuruk atas kematian orang tuaku dan kamu dengan senang hati meninggalkan mereka
dengan alasan kesalahan yang katamu fatal tapi tidak jelas, tidak ada usaha untuk merubah
keadaan. aku rasa mungkin orang tuamu rengkuh karena sedih sebab kamu tak kunjung
muncul dihadapan mereka dan lagi kamu sepertinya tidak berniat untuk menceritakan apa
yang sudah terjadi antara kamu dengan mereka" aku tertawa getir.
"bagaimana aku harus menceritakan-nya, aku yakin siapa saja yang tau kisahku sudah pasti
akan membenciku. aku tak mau kamu jadi orang pertama Nicia" dia mengusap wajah lalu
memangku setangah wajah pada talapak tangannya yang menyatu.
"aku akan membencimu kalau kamu masih bersikukuh untuk menutupinya" aku rasa
hidungku memanas, sesak dengan nafasku sediri "kalau kamu serius untuk menjadikan aku
istri kamu, takkan ada rahasia antara kita" aku berdiri memutari meja melewatinya dengan

langkah kasar berniat kembali kekamar namun harus terhenti gara-gara dia menarik
pingangku mendudukkan aku dikursi depan-nya.
"kamu tau kesalahan fatal yang telah aku perbuat ? aku membunuh tiga orang dalam satu hari
Nicia. aku yang seharus jadi harapan oleh ayahku tapi aku menghancurkannya. itu jadi
bumerang untukku dan mimpi buruk yang tak pernah bisa aku sadar darinya, setiap detik hal
itu terus membayangiku. aku selalu berpikir kenapa aku yang tidak mati kenapa harus
mereka" dia berdehem, nafasnya tersengal ada kilatan bening dibola matanya.
"apa penyebabnya ?" tanyaku. menggigit bibir.
"empat hari sebelum aku lari dari rumah orang tuaku, hari itu nenek ayahku meninggal,
Molly. kami sangat menyayanginya, waktu yang sama adikku juga demam tinggi ditambah
lagi kena campak. kami tak bisa lama-lama membiarkan dia dirawat dirumah sakit,
mengingat biayanya. jadi keputusan akhirnya ayah berangkat sendirian melayat neneknya,
aku, ibu dan adikku tetap tinggal. aku ingat betul betapa sedihnya ayahku hari itu, dia
berpesan berkali-kali agar aku tetap menjaga ibu dan adikku selama dia tak ada. aku tak
menepati janji itu aku pergi diam-diam dan mematikan ponsel, balap liar dengan temantemanku. ditengah suka ria kami aku menabrak wanita hamil tua, tewas ditempat. kejadiannya begitu cepat. kami semua heran bagaimana bisa wanita hamil tua berjalan sendirian saat
malam. ketakutan yang aku rasakan menembus tulangku, aku bahkan tidak bisa merasakan
tubuhku sendiri. sempat terpikir pada ponsel yang kubawa aku mengaktifkan-nya lagi walau
tak tau siapa yang akan aku hubungi. dan pesan bertubi-tubi dari ibuku, adikku meninggal.
karena aku tidak ada dirumah lantas adikku lambat dapat pertolongan" buliran bening jatuh
dari matanya, perutku terasa diaduk-aduk melihatnya seperti ini.
inilah luka yang dia pendam, entah seberapa sakit atau sebanyak apa nanah yang sudah
terbentuk akibat luka yang dia simpan. aku, dia dan mungkin jutaan orang diluar sana yang
mendapati luka seperti ini dengan masalah yang berbeda. tapi yang terlihat diluarnya seakan
dia tak apa-apa, menutupinya sementara aku lebih menampilkan apa yang aku rasakan.
"sekarang katakan padaku ada yang sudi punya anak pembunuh, pengecut dan tidak
bertanggung jawab sepertiku. bahkan aku membunuh bayi yang belum lahir. ada yang lebih
keji dari itu ? jawab aku Nicia. sekarang kamu tau seberapa busuknya ak...." aku
menghentikannya dengan bibirku, cukup dengan semua penjelasan-nya aku tak mau dengar
pengakuan seberapa iblis dirinya. bibirnya terasa panas, aku merengkuhnya dalam pelukanku
sampai kami limbung dan terduduk dilantai. perlahan bibirnya merosot turun kerahangku dan
berakhir dileherku membenamkan wajahnya disana, menangis.
"maafkan aku" lirihku, aku mengelus punggungnya, penenang dariku.
aku akan membiarkannya tenang sementara waktu, tapi dia tidak bebas dari permintaanku,
tunggu waktunya aku datang lagi menagih jawaban 'ya' darinya, semangatku masih sama
ingin bertemu orang tuannya.
"kamu lihat aku menangis huh ?" mengangkat wajahnya dari reluk leherku, tertawa getir
tersedak air matanya sendiri. aku hapus jejak air matanya dan mengecup bibirnya singkat.

aku meraih lengannya untuk berdiri "kita perlu tidur sekarang, terima kasih untuk ceritanya.
aku tidak benci padamu karna masa lalumu itu" aku merengkuhnya lagi dalam pelukanku kali
ini lebih lama, aku bisa merasakan debaran jantung dan deru nafasnya yang memacu cepat.
"terima kasih untuk tidak membenciku" gumamnya dileherku
"tidak akan pernah" jawabku, "dan jangan bicara dileherku, geli" aku mengingatkan. dia
terkekeh menanggapinya.
***
ini bukan pilihan tepat berada diswalayan pertengahan kota, membosankan dengan antrian
panjang menuju kasir. jangan salahkan aku melanggar aturan meminum minuman yang
belum dibayar, tenggorokanku akan retak jika harus menunggu giliran pembayaran. aku
mendelik sedikit Pada Altair, tak ada ekspresi bosan dari wajahnya.
"aku pikir akan lebih baik lagi jika mengambil barang kebutuhan dari tokoku dan setelah itu
pulang" aku mendesis.
"ini lebih bagus untukmu, cuci mata" balasnya setengah berbisik.
"aku tak suka ini" ketusku.
"aku tau, banyak hal menyusahkan yang kamu tak suka" timpalnya.
"tau apa ? kamu tak tau apapun tentangku" selangkah kami bersama maju, tandanya kami
semakin mendekat ke kasir.
"aku tau banyak tentangmu, namamu Nicia Lira Archiles, umurmu 31 tahun terus kamu lahir
tanggal 17 desember dan.." aku tidak berpikir dia akan jadi seperti pembaca daftar riwayat
hidup orang lain.
"kalau itu semua orang bisa baca dikartu identitasku" potongku remeh.
"masih ada lagi kamu seorang sarjana sastra yang tak bisa membaca puisi, pemarah,
kesukaanmu menulis kisah fantasi. sebenarnya kamu ingin punya jiwa pembisnis seperti
ayahmu tapi kamu tak memilikinya, itu yang membuatmu tak mau menangani perusahaan
ayahmu bahkan untuk menghadiri rapat dewan saja kamu benci. dan lagi kamu tak punya
teman lebih tepatnya tak pandai bergaul tapi katanya kamu cukup cerdas, ceroboh, keras
kepala dan suka kentut sembmmpphh.." aku membungkam mulutnya dengan telapak
tanganku.
"cukup, kamu mau orang lain dengar hah ?" aku menggeram, menarik tanganku dari
mulutnya. dia tertawa pelan menghembus nafas lega.
"maaf....." katanya lagi tapi seringaian dari wajahnya belum hilang. dari mana dia bisa tau
semua itu, Lani ? sudah tentu. kira-kira obrolan sebanyak apa yang telah mereka bicarakan
tentangku.

"permisi...tolong dorong trolinya lebih dekat" suara kasir wanita berambut pirang digulung
keatas mengalihkan perhatian kami, dia tersenyum ramah memperhatikan kami.
"oh ya tentu" Altair mendorong trolinya mendekat ke-meja kasir. aku harap tingkah kami
berdua tidak menarik perhatian orang sekitar.
"kalian baru menikah ?" wanita itu bertanya ramah, dia terus tersenyum sambil sesekali
melirik kami.
"bukan, kami sudah lama menikah" jawab Altair. berarti benar dugaanku kalau tingkah kami
sedikit berlebihan sampai-sampai wanita itu bertanya prihal itu. kami hanya saling melempar
senyum, berlagak sebagai pasangan bahagia.
"semoga hari kalian menyenangkan" menyodorkan dua kantung lumayan besar padaku dan
Altair.
"terima kasih" kataku. dia baik tak menyalahkanku dengan minuman yang sudah hampir
kuhabiskan.
hari takkan menyenangkan kalau sosok yang kulihat dengan arah berlawanan denganku hadir
disini, baru melewati pintu kaca depan dia tersenyum angkuh dan berpikir siapa saja bisa
jatuh dalam kemolekan fisiknya itu, tapi aku tidak termasuk.
aku mengalihkan perhatian pada yang lain ketika melangkah mendekat, aku tak bisa cepat
beranjak karena Altair menahanku.
"aku pikir kau takkan berbelanja ditempat lain" basa-basi yang bagus untuk memulai
percakapan.
dia melirik ke Altair memasang senyum palsu, membuatku jadi jijik. aku ingin menghambur
menjauh sekarang juga kalau bisa tapi Altair pasti takkan membiarkan itu terjadi.
"kita pernah bertemu tapi belum berkenalan, Altair" mengulurkan tangan padanya, demi
tuhan aku harap jabatan tangan tanpa perbincangan itu akan lebih baik.
"Marlen"
sesi saling mengucap nama selesai, aku menggaet lengan sebelah Altair yang membawa
beban.
"wow terburu-buru sekali Nic, aku baru berkenalan dengana suamimu" cegahnya, demi tuhan
lagi apa pentingnya manusia ini hingga wajahnya masih saja bermunculan didepanku.
"aku letih, permisi"
***
"sebenarnya apa yang sudah terjadi antara kalian ? apa masalah yang dikamar mandi itu ? apa
yang kalian lakukan ?" dia bertanya tapi tatapan-nya terfokus pada layar macbook,
melanjutkan ceritaku yang belum selesai katanya.

"kami bercinta dalam kamar mandi waktu itu dan dia menyuruhku menceraikanmu" kataku
barusan sangat menarik perhatian-nya. sontak dia hampir melempar macbookku ketengah
ranjang, tatapannya mengunci mataku. dari air mukanya aku tau dia seperti hendak
mengulitiku hidup-hidup.
aku mengulum senyum menahan tawa sampai akhirnya tawaku pecah juga, itu juga semakin
membuatnya mengepalkan tangan-nya.
"jadi itu alasan utamamu untuk bercerai ? apa yang lucu?" aku bisa merasakan dia
menggeram, aku beringsut mendekat padanya, membuka kepalan tangan-nya.
"aku bohong, dia memaksaku menceraikanmu itu benar tapi aku mau menceraikan-mu murni
keinginanku bukan karena dia" aku terkekeh geli.
moodmu jadi buruk, itu balasan dariku karena dia merusak moodku dengan terus bertanya
tentang Marlen sepanjang perjalanan pulang dari swalayan tadi siang. padahal aku berniat ke
toko buku Gersey malah tidak jadi karena dilanda kesal.
"well, bisa jadi itu benarkan mengingat katamu kalau dia mantan kekasihmu satu-satunya
waktu SMA dulu juga ciuman pertamamu" dia mengangkat alis sebagai tanda keraguan.
"itu sudah lama, masa anak-anak tidak ada hubungan lagi dengan sekarang. memangya dulu
kamu tak pernah punya pacar atau tak ada gadis yang kamu cium, heh bohong besar itu" aku
tidak tau mengapa omongan merambat jadi membahas masalah diwaktu remaja masingmasing.
"pernah sih sekali, pacarku di SMP menciumku.emm...tapi aku tarik lagi ucapanku yang tadi,
kan aku yang telah melakukan-nya padamu " aku menutup mulutnya agar dia tidak bicara
lebih jauh lagi atas apa yang sudah kami lakukan kemarin malam.
aku takkan bisa menghapus setiap detik yang telah terjadi pada saat itu, hal yang tidak pernah
aku tau dan rasakan sebelumnya kini sudah jadi hal yang aku ingin darinya. entah esok atau
kapanpun itu hal ini mungkin akan jadi alasan sesuatu didalam diriku sana tertawa
mengejekku betapa lemah dan tak bermartabatnya aku, betapa hausnya aku akan perhatian
orang lain. kesalahan yang aku buat tanpa ada rasa penyesalan setitikpun dihatiku, yang aku
rasakan hanya menikmati untuk saat ini sampai dimana tiba masanya aku hancur karenanya.
sosok dia yang sudah menciptakan hal ini padaku.
dan sekarang kami mengulangnya lagi. kulitnya terlihat keemasan dalam lampu temaram
berada diatas tubuhku. butiran peluh meluncur turun dilehernya hingga jatuh didadaku,
lengan berlekuk padat terasa licin ketika menggeser tanganku, nafasnya yang berat dan
hangat menyapu wajahku. tatapan matanya yang lembut, senyum tipis terukir dari bibirnya,
sejauh ini dia selalu mementingkan kesenanganku menjadikannya sebagai candu untukku.
tubuh kami semakin lembab akibat peluh yang mulai menghujan atas apa yang sedang kami
lakukan.
"Altair....." bibirku mendesahkan namanya tanpa perintah, terkutuklah aku.
denting jam serasa menggema ruangan, aku mengusap bibir bawahnya hati-hati takut bisa
membangunkan-nya. memperhatikan wajahnya lekat-lekat, aku perkirakan dia pasti jauh

lebih muda dariku, terlihat raut wajah dengan kulit halus, garis-garis tak kentara disekitar
mata dan bibir ala bayinya. jari-jariku tanpa henti bermain diwajahnya.
"kanapa belum tidur ?" suaranya membuatku terkejut, dia bicara dengan mata tertutup.
"kamu sendiri ?" aku menjauhkan tanganku dari wajahnya tapi dia menangkap tanganku.
beralih miring menghadapku sama sepertiku yang menghadapnya.
"aku terbangun karena tanganmu ini" dia mengeggam tanganku.
"aku suka memperhatikan wajahmu, kamu pasti jauh lebih muda dariku" tebakku, seraya
merayap menaiki sebelah kiri tubuhnya.
"aku lebih tua dua tahun darimu Nicia" membetulkan posisi tubuhnya memberi ruang agar
aku bisa menempel padanya.
"benarkah ? aku tidak percaya, mengesankan" kataku menelusup masuk menempelkan
wajahku pada lehernya, pereda mimpi buruk, melupakan masalah untuk sementara aku
berada disana.
aku harap keberuntungan mau sedikit membagi lebih banyak waktu untukku daripada apa
yang masih tersisa. biarkan dia jadi penyegar nafasku yang sudah sendat dan putus asa ini,
biarkan dia menjadi yang membantuku untuk berdiri sampai sarafku benar-benar kuat, aku
tau diri, ini takkan selamanya.
pagi hari ini, maksudku sudah memasuki waktu siang aku merasa seperti kutu tak berguna
sudah berada antara pemikir dan pencipta cerdas dari berbagai tempat sekitar satu jam yang
lalu. berkumpul dengan mereka tidak membuatku minder sama sekali tapi hanya merasa
bodoh. jika saja almarhum ayahku yang tampan itu mau membagi gen pembisnisnya itu
mungkin sekarang aku dengan cakapnya berkontribusi untuk perusahaan-nya ini, tapi sejauh
ini yang aku lakukan nol besar.
"kau sudah mau hadir itu sudah luar biasa" pria tua itu mengusap dahinya meregang tubuh
bersandar dikursinya. dia sama sekali tidak merasa bersalah atas usahanya sudah memaksaku
menghadiri rapat dewan penutup tahun ini.
"semenjak ayahku meninggal perusahaan berjalan baik ditanganmu, presdir" sengaja aku
menekan kata presdir, presdir Olham Bintang pria tua lima puluh tahun keatas bertahi lalat
didahi berukuran pangkal lidi dan rambut memutihnya sudah hampir menipis, mungkin
karena dia terlalu kuat berpikir. salah satu sahabat ayahku yang berbakat dan berotak cerdas.
sahabat dan rekan bisnis bekerja sama membangun perusahaan ini dengan persentase saham
seimbang. jika dia punya kuasa untuk mencugkil mataku pasti dia akan melakukannya, sebab
menaruh rasa jengkel atas penolakanku untuk turun berkerja langsung disini bahkan setiap
rapat dewan aku tak sudi untuk hadir.
"bukan berarti kau bisa tidak perduli begitu saja, bukan hal sulit bagimu untuk belajar aku
rasa tapi lebih dengan alasan malas iyakan ?" melonggarkan dasinya "terima kasih sudah
memenuhi undanganku, gadis kecilku. lantas bagaimana dengan usaha toko panganmu, aku
yakin kau akan menjadikan-nya supermarket."

"malas karena bukan duniaku. prihal usahaku masih kecil perlu ada orang yang bisa bekerja
sama untuk itu.oh ya, aku harus pergi. aku harap kau sudah terbiasa minum air putih, keriput
diwajahmu sudah semakin jelas. kalau bisa pergilah berlibur"
aku terjangkit otak Lani untuk saran ini, hal yang sama pernah dia katakan padaku. aku
semakin jarang menemui presdir Olham dalam waktu setahun terakhir. cukup aneh melihat
sudah terlalu kusut akibat pekerjaan-nya. tapi masih sama ramahnya sepertu dulu.
"aku ini semakin tampan walau dengan kulit berlipat. oh ya sepertinya kau menanti sesuatu
sampai harus terburu-buru begitu" ucapan dengan volume suara tinggi karena aku hampir
melewati pintu.
"ya, toko buku Gersey mungkin" langkahku belum berlanjut ketika masih melanjutkan
pertanyaan.
"sudah bertahun-tahun tapi kenapa aku belum diberi cucu juga ?" yang dia maksudkan itu
anak dariku. dia punya dua orang anak laki-laki dan perempuan keduanya belum menikah.
aku perkirakan anak pertamanya yang laki-laki beberapa tahun lebih muda dariku dan si-adik
yang perempuan mungkin masih dibangku kuliyah. dia tahu tentang pernikahanku ? tepat
sekali. Lani mengenalnya dan membocorkan beberapa hari sebelum pernikahanku
berlangsung. alhasil pernikahanpun dihadiri dari beberapa orang terdekat, untung saja mereka
tidak tau rencana awal aku menikah seperti yang Lani ketahui.
aku mengangkat bahu menanggapinya dan melambai lalu pergi.
mengemudi kearah salah satu jalan berjarak 2 mil dari rumahku, berjejer toko toko kecil
menjual segala macam, permen, kue, aksesoris, dvd, dan toko buku yang akan kunjungi,
tempat kesukaanku. berhenti, memarkirkan mobil. ditempat ini akan lebih menarik jika
didatangi malam hari. aku masuk kesalah satu toko begaya klasik dan lonceng berbunyi jika
tersenggol pintu ketika orang masuk dan keluar. didepannya terpampang tulisan Gersey
melenting dibentuk dari kayu dan lampu warna hijau kerlap-kerlip akan menyala dimalam
hari.
ada beberapa orang sedang memilih buku untuk dibeli, sedikit mengobrol dan beberapa anak
kecil bersama ibu mereka.
"oh hei, aku kira kau akan lupa padaku" wanita berusia sekitar 35 tahun berambut coklat tua
berponi serta bermata hitam legam dengan kulit pucat berbintik-bintik mengenakan gaun
putih selutut sedang mengantongi buku yang dibeli pengunjungnya.
"aku belum lama tak kesini" kataku melangkah kesalah satu rak buku tak jauh dari pintu
kaca.
"dua bulan lebih, tak lama katamu. apa yang sedang kau kerjakan, mengerjakan anak" dia
bicara dengan jarak sangat kentara diantara kami, jika saja aku tak terbiasa dengan-nya
mungkin aku takkan kembali lagi ketoko ini karena malu. sekilas wanita dewasa yang
mengulurkan majalahya pada Gersey berdehem mengulum senyum melirikku.

setelah selesai dengan pembelinya aku mendekat ke-meja kasir Gersey "usaha
mempermalukanku yang sangat sempurna" aku menjeling sekilas padanya kini berpindah
pada rak buku tak jauh darinya.
"uratmu bisa putus kalau terus bersikap tegang seperti itu, kurasa guyonan dariku baik untuk
sarafmu" katanya tanapa rasa bersalah.
aku mendesah panjang menggeleng kepala. buku masakan ala timur tengah jadi pilihanku
kali ini, aku sendiri tak ada ide apa yang akan aku lakukan setelah membaca ini nantinya.
"memasak ?" Gersey mengantongi bukunya, aku megangkat bahu sebagai jawaban.
"aku rasa akan berguna" kataku
"sudah pasti" timpalnya.
"Nicia.." suara wanita dari belakang, aku memutar tubuh menghadap sumber suara tersebut
mendapati wanita kira-kira berumur setengah abad, berpostur langsing kulit putih bersih
walau agak sedikit mengendur, hal wajar jika perkiraanku benar tentang umurnya. dia
mengenakan kemeja berbahan ringan warna beige, celana panjang hitam serta polesan lipstick
warna Burgundy red. rambut bergelung bagian bawahnya diabiarkan tergerai bebas. aku suka
rambutnya.
aku tak mengenalnya sama sekali "ya.." hanya itu yang keluar dari mulutku. heran, sudah
pasti, tapi dari tatapan matanya seolah dia mengenalku dengan jelas.
"perpaduan jelas dari ayah dan ibumu, ah sudahlah" katanya seraya melambai tangannya
diudara.
"apa aku mengenalmu ?" kataku penasaran.
"sepertinya" dia mengedikkan bahu lalu pergi begitu saja, aneh.
bahkan aku tak tau namanya, apakah dia saudarku ? atau teman orang tuaku, mungkin benar
dia mengenal orang tuaku, buktinya mengatakan aku perpaduan dari orang tuaku. ah
sudahlah, sepertinya dia tak memiliki niat untuk mengenalku hanya sapaan untuk
menghilangkan rasa penasaran-nya mungkin.
"dia pelanggan sini ?" aku beralih pada Gersey.
"aku belum pernah melihat dia sebelumnya" jawabnya "teman bisnismu ?" menyodorkan
kantung berisi buku untukku.
"bukan, aku tak mengenalnya sama sekali. orang asing" meraih kantungku, berpamitan dan
melajukan mobil ketokoku.
tak banyak hal berguna yang bisa aku lakukan pada bulan-bulan belakangan ini, selain
bermalas-malasan diatas ranjang dan menulis sekuel novel fantasiku. dan sekarang aku akan
berhadapan dengan manusia yang mengetahuiku hampir seutuhnya dan akan banyak
pertanyaan berhamburan keluar dari mulutnya akibat sudah lama tak bertemu.

"ah..aku baru berencana numpang makan malam dirumahmu tapi kau sudah datang itu
artinya kita bisa kerestaurant baru buka 900 meter dari sini bersama ?." dia mencium pipiku,
"dan kau habis dari mana ?" matanya memperhatikanku dari kepala hingga ujung kaki.
"dari kantor" jawabku singkat.
dia berjalan kearah kursi mengibaskan gaun musim panas bergambar bunga matahari, duduk
menyilang kaki. berada dikantornya dilantai dua, tak biasanya seperti ini, biasanya dia lebih
suka dikasir. sementara dimeja kasir ada Vio yang menggantikan salah satu karyawan yang
cuku lama berkerja disini.
senyum setengah mengembang ditambah jutaan pertanyan tersimpan membuatnya terlihat
seperti perempuan cantik yang bersiap mencari gosip. bahkan gerakan mata menulusuri
seluruh tubuhku. aku berjalan letih menuju sofa abu-abu gelap yang hampir menempel
didinding. kaki terasa semakin ngilu akibat berlama-lama dengan hak setinggi 7 centi sialan
ini.
"bagaimana ? mau kan ?" dia menawarakn lagi.
"mungkin besok, aku sudah lelah sekali. pergi kesini perjalanan terakhirku untuk hari ini"
tubuhku melesu bersandar pada sofa.
"baiklah aku mengerti, dan sekarang katakan padaku" dia berpindah duduk disampingku,
"kau dan Altair....?" mengadahkan tangannya keudara.
sudah pasti topiknya kesitu berdasarkan apa yang telah dia lihat kemarin, aku takkan bisa
menyangkalnya.
"aku akan mencobanya, memulai kehidupan baru" mengusap lenganku sendiri.
"sudah seharusnya, jangan sia-siakan hidupmu dengan dendam" dia mengusap tanganku "dan
ini ?" jarinya berhenti pada dua cincin ditanganku.
"cincin pernikahan" jelasku.
"oh, manis sekali" suara manja ala anak remaja kemarin sore, "dan kau terlihat berbeda"
katanya.
"kenapa aku terlihat semakin tua ?" aku menepuk pipiku pelan, mengingat menurut istilahku
menyebut Lani pro dalam hal kecantikan dan busana. apa yang tidak ia tahu tentang dunia
kecantikan dan mode.
"bukan, aku hanya merasa kau berbeda, semacam ada yang lain dari tubuhmu, apa kau masih
perawan ?" dia memajukan wajahnya mendekat padaku, sontak aku langsung menjentik
dagunya. dia meringgis sembari mengusap dagunya. salah satu sifat spontan yang selalu tak
bisa dia bendung, inilah dia.
demi segala iblis yang bersemayam dibumi aku tak mau mengungkit hal itu, baik,
kenyataanya keperawananku sudah musnah, berakhir satu malam dengan Altair. aku juga tak

bisa percaya hal itu, tapi mau diapakan lagi kalau sudah terjadi. bahkan sesekali aku malu
menatap Altair atas apa yang telah terjadi diantara kami. ya tuhan ampunilah dosaku.
aku mendengus pada Lani "tak ada pertanyaan yang lebih bagus ha ?"
"tidak harus marah juga kan, heh" dia mendesis "tapi selamat ya, selamat-atas-pernikahanyang-baru-dimulai-setelah-bertahun-tahun"
dia menekan setiap kata yang diucapan-nya. tapi aku hanya bisa berterima kasih atas ucapan
tulusnya. manusia cantik, cerdas, ramah akan mengatakan itu baik jika memang baik
menurutnya dan akan langsung menyembur kasar jika itu salah menurutnya tak perduli
seberapa sakit orang yang mendengarnya tapi itulah hal terbaik yang dia lakukan. terlihat
jalang tapi juga tegas, elegan dan bringas secara bersamaan. dia sama halnya sepertiku tak
suka membuang-buang waktu untuk mengurus sesuatu yang tidak penting tapi lebih bisa jadi
sesosok penasehat dari pada aku. takkan ada pembenaran darinya jika kau bertindak bodoh
dan tak ada penyalahan apa yang kau lakukan benar dimatanya. juga rendah hati dalam
menerima pendapat orang. aku menyanyanginya lebih dari sekedar sahabat tapi lebih kepada
keluargaku sendiri. hal berbeda kata orang sekitar dengan persahabatan kami adalah, aku
kaku dan dia ramah. tapi tak pernah ada masalah akan hal itu.
***
"ya tuhan, diamana mie rebusku ? baru sebentar beranjak dan sekarang sudah hilang" aku
setengah berteriak berkacak pinggang dan berjingkat merasakan hawa dingin dikakiku.
mendegus apa ada pencuri dibelakang rumahku. baru berniat ingin menikmati mie instan
dimeja belakang rumah juga menikamti udara malam, itupun harus gagal.
"sudah kukirim ke black hole" Altair muncul dari balik pintu, ada mangkuk berisi sup
mengepul panas ditangan-nya. diletakkan diatas meja kayu bercat putih, posisi yang sama
saat aku meletakkan mie-ku tadi.
"kenapa ? aku ini lapar" celotehku jengkel.
"makan daging yang disup itu. kamu itu sudah seminggu penuh makan mie instan, itu tidak
bagus"
"aku mau mie rebus, aku bisa buat lagi" aku mendengus, melangkah kedapur.
"semua stock mie sudah kukirim keluar angkasa, jadi makan supnya" katanya. langkahku
langsung berhenti, menarik nafas jengkel. aku sama seperti anak kecil minta jajan pada
ibunya tapi tidak dituruti.
"ayolah aku cuma mau mie instan, kan aku yang makan" rengekku, aku jadi anak kecil
seratus persen.
"tidak, itu tidak baik untuk kesehatanmu" katanya lagi.
aku tidak yakin tentang kesehatan yang dimaksudnya itu. selama empat bulan semenjak kami
benar-benar bersama yang kuketahui makanan kesukaanya ikan panggang dan sangat selalu

dia memakan-nya, yang aku tau jika berlebihan mengkonsumsi makanan yang dipanggang
bisa menyebabkan kanker.
dia lebih mengurusi apa yang aku makan daripada memikirkan apa yang dia telan, salah satu
kebiasaanya dan mengenai hal itu aku tau banyak tentang kebiasaan dan apa yang dia suka.
dia penggemar kopi putih tanpa gula, memintaku membuatkan pai apel. selalu merampas
cepat bait certa yang baru kutulis dan kaus putih juga celana selutut adalah pakaian
kegemaran-nya.
.........
aku pikir aroma debu kamar dilantai dua tak berpenghuni ini akan menyumbat hidung tapi
tidak sama sekali. seingatku kamar tunggal lantai dua ini sudah sangat lama tak dihuni, jarang
ada tamu berkunjung kerumahku. mendekat ketempat tidur menarik kain penutup dan apa
yang ada disana kondisinya bersih. warna abu-abu dari sprei berbahan dobby sepertinya tak
tarusik sama sekali. aku menghambur naik berbaring terlentang, sudah mengunci pintu kamar
dan merajuk. permasalahan mie instan berakhir lari kelantai atas masuk kamar lain.
kekanakan sekali, dan harus aku akui sekali lagi bersama Altair seluruh sifat buruk dan
manjaku terbongkar habis.
meski aku tak yakin setelah empat bulan terbiasa merangkak naik dan tidur tanpa mimpi
buruk diatas tubuhnya kini aku tidur sendiri lagi, aku harap aku takkan keluar kamar dan
mencarinya nanti.
suara detakan dari kunci serta derit pintu membuatku menarik tubuh untuk duduk.
"kenapa bisa masuk ?" sergahku "pergilah" kataku bermasam muka.
"bahkan kamu lupa kunci serap untuk setiap pintu dirumah ini ada padaku" menutup pintu
dan naik keranjang "kamar ini belum dibersihkan, sebaiknya kembali. aku akan tidur
ditempat lain kalau kamu mau" membelitkan jari-jari kami agar aku ikut berdiri dan pergi.
aku kira dia kesini untuk membujukku tapi hanya menyuruhku kembali kekamar kami dan
berniat meninggalkanku, perkataan macam apa itu ?. aku menarik paksa tanganku darinya,
mendengus, rasa jengkelku makin menjadi-jadi.
dia tak terkejut dengan penolakanku kendatipun aku yakin dia sudah tau jawabanku.
"aku cari suasana baru, jengah terlalu lama membusuk dikamar lama" aku mundur kesudut
kepala ranjang menarik selimut untukku sendiri "aku mau tidur sekarang" tanganku meraba
mencari kontak lampu tak jauh dari kepalaku dan mematikan-nya, aku tidak perduli Altair
masih disana.
"aku minta maaf tapi aku tetap takkan membiarkanmu makan mie instan untuk malam ini"
dari denyut ranjang aku tau dia mendekat menarik selimutku, mengarahkan wajahku
menatapnya.
"aku ingin tidur" sebenarnya aku tidak mengantuk hanya berniat untuk mengusirnya, benci
dia didekatku. baiklah itu bohong.

"aku tidak yakin" dia menyela lalu menciumku.


"sudahku kukatakan aku mau tidur" kataku memalingkan wajah ke sisi lain.
entah ini baik atau buruk, berdebat dalam segala hal dan berakhir bergelut dalam selimut
dengannya. seolah tak terjadi apa-apa dan menghabiskan sepanjang malam dengan debaran
jangtung memacu cepat dan nafas berat. membujukku dengan tatapan lembut, dan amarahku
reda pada setiap sapuan bibir itu dikulitku. menimbulkan sensasi yang berbeda disetiap dia
padaku. aku jadi besar kepala setiap bersamanya, mengira dirikulah sesuatu yang sangat
istimewa.
jika saja kau mengatakan aku benci hal ini, itu bohong. aku suka setiap jari-jarinya bermain
dikulitku, aku suka berat tubuhnya yang menindihku tanpa batas, aku suka setiap kulit kami
yang licin oleh peluh saling bergeser, aku suka cara dia memperlakukanku, aku selalu hancur
pada tatapan lembutnya itu. aku selalu tak bisa menolak ketika kami berada ditubuh satu
sama lain tanpa penghalang sedikitpun. sisi jalang dalam diriku bersorak ria menghambur
keluar mengambangkan sayapnya berteriak menang yang aku tak tau entah kapan itu tercipta
dalam diriku. dan sepenuhnya mengendalikan diriku tanpa bisa aku lawan, tanpa tau malu
bertindak lepas kendali. mendesah.
"Altair...."
"ehmm..." menghentikan sapuan bibirnya disepanjang leher dan rahangku, megecup bibirku
singkat "kenapa ?" dia bertanya seraya merapikan helaian rambut diwajahku.
Jari-jariku menelusuri bekas goresan luka dilehernya yang sudah mulai memudar yang
sebelumnya pernah aku lakukan. Lalu turun keotot lengan yang menonjol lembab, disana
lebih banyak bekas luka seperti sambaran petir. Entah sudah berapa banyak kali dia dapat
luka dibagian situ dan itu semua karena aku. Aku ingat tahun pertama kali pernikahan kami
dia dapat luka terbuka besar tepat dimana jariku mengarah sekarang. Dia meringgis menahan
darah yang terus membanjir keluar ditambah lagi dia berada dikamar gudang dimana tempat
binatang pengerat bersarang, waktu itu luka campur debu yang aku tau sakitnya pasti luar
biasa sementara aku hanya mengintip di celah pintu tersenyum menang atas apa yang dia
dapat berharap dia akan depat lebih banyak lagi rasa sakit.
Aku menahan lengan-nya ketika dia hendak menyingkirkan-nya dari pandanganku. Sudah
cukup, aku tak ingin ada darah yang keluar dari tubuhnya karena hal konyol yang aku
perintahkan.
"merasa jijik ?" mengalihkan perhatianku pada wajahnya.
"jangan lagi kamu kembali kesana, kamu bisa bekerja di perusahaan paman Olham. Itu
bergerak dibidang konstruksi sesuai untukmu lagipula saham ayahku lima puluh persen
disana" kataku sambil memainkan jariku diwajahnya sesekali dia mengecup jariku.
"terima kasih tapi berternak sapi jadi hal baru bagiku, mungkin semacam pengalaman yang
lain" dia bergerak untuk berdiri dengan cepat aku mengalungkan tanganku dilehernya
menarik dirinya keatas tubuhku lagi.

"aku tak mau ada luka lagi dilenganmu itu jadi jangan tolak penawaranku" kataku setengah
memaksa, bukan tapi memaksa sepenuhnya. Aku semakin menarik tubuhnya padaku hingga
hidung kami bersentuhan yang basah oleh peluh "jika kamu masih disana sama saja kamu
mengejekku" bibirku berucap tepat ditelinganya, setengah berbisik. Ketika aku memeluk
tubuhnya semakin rapat.
"tidak, jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku tidak ada maksud lain aku hanya benar-benar
mulai suka berternak" dia melepaskan lembut tanganku dari lehernya mengecup dahiku lama,
"tidurlah !".
"aku tidak mau" bantahku seperti anak balita " tadi aku mau tidur tapi kamu mengacau".
"baiklah maaf, aku sudah berhenti mengacau" beralih disampingku berbaring terlentang
menyusupkan tangan dibelakang kepalanya, membetulkan selimut untuk tubuh kami yang tak
mengenakan apa-apa.
"dan sekarang bagaimana kalau giliranku yang mengacau" kataku tersenyum lalu
menghambur menindih tubuhnya, canduku berada diatas tubuhnya untuk melupakan mimpi
buruk, rasa takut, penenang untuk amarahku yang membludak. Rasa aman dari ketakutan
yang tak berujung, tempat melepas penat setelah sehari penuh menghadapi berbagai hal.
Kecupan di seluruh kulitku mungkin akan jadi pujukan penutup untukku malam ini. aku tak
tau entah hal apa lagi yang akan membuat kami bertengkar besok. Aku bingung pada diriku
sendiri aku selalu mencari gara-gara padanya dan aku pula yang merajuk menginginkan
pujukan-nya.
***
Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu bernis berpantulan warna cat kuku marun hampir
kontras dengan riasan matanya terlihat liar cukup tak sesuai dengan usianya, walaupun aku
tak secara pasti berapa angkanya. Heh, sejak kapan aku peduli dengan usia dan penampilan
orang lain. Aku tak berniat untuk berlama-lama sambil mendapati kopi tumpah di lengan
kemejaku. Hal tak pernah aku lakukan beristirahat di caf dengan kopi pahit sendirian dan
bertemu dengan wanita paruh baya yang pernah aku temui tapi tak mengenalnya sama sekali.
"aku belum tau dari mana anda mengenalku nyonya Meride ?" dia memperkenlakan dirinya
tak kurang dari tujuh belas menit yang lalu. Rasanya kopi ini semakin tidak enak efek dari
setengah berdebat dengan tuan Olham ketika aku diperusahaanya dan kedatangan wanita ini
ketika aku ingin sendiri untuk berpikir merevisi novelku.
"dari ayahmu, dia menunjukkan fotomu dari ponselnya, tapi pertama kali bertemu denganmu
secara langsung ya ditoko buku kemarin" katanya setelah meneguk teh melati dari
cangkirnya.
"apa hubungan anda dengan ayahku ?" sungguh aku harap tak terlihat seperti orang yang
sedang mengintrogasi penjahat. Penasaran ? tepat sekali tapi bukan dalam kadar tinggi.
"sifatmu sama sekali tak seperti orang tuamu, mereka lemah lembut jika bicara" katanya
melipat tangan, menguak rambut tergerai kebelakang telinga menampakkan anting ukiran
timbul bergambar matahari.

"anda belum menjawabku" kataku sambil meneguk kopiku dan rasanya sesuatu dalam
perutku ingin menerjang minumanku keluar. Ditambah lagi aroma lili dan vanila dari parfum
nyonya Meride semakin membuat tenggorokanku bergejolak, aku tak pernah se-anti ini
dengan wewangian.
"aku kekasih ayahmu".
***
Aku tidak bermaksud untuk menilai orang terlalu cepat. Ternyata dia calon istri ayah yang
belum sempat aku kenal tapi baguslah ayah belum menikahinya. Aku tidak suka cara
bicaranya yang ingin mengupas habis semua tentangku. Aku menggeram muak. Kulirik jam
bulat ditanganku masih pukul satu, aku akan tetap pulang sekarang juga walau akan
sendirian. Altair pasti masih diperternakan.
Langkah malas dan rasa letih yang menjadi-jadi melandaku sekarang ini, aku tak mengerti
apa aku sakit atau tidaknya tapi rasanya tubuhku serba tak enak. Tapi apa yang didepan
mataku sekarang cukup membuatku senang, aku berlari melempar tas tangan putih kesofa
dan menghambur memeluknya.
"mau kemana ?" tanyaku sambil memperhatikan pakaian-nya, kemeja putih lengan digulung
dan celana jins hitam. Aku mengelus punggungnya, suka dengan lembut bajunya. Tidak
biasanya ada dirumah saat sekarang jika aku tak memintanya dan berpakaian rapi seperti ini.
Dia tak menjawabku tapi mengecup bibirku.
"aku habis mengunjungi bu Ara, kamu sendiri ?" katanya disela-sela mengecup bibirku, lagi
dia meneruskan kecupannya disepanjang rahangku.
Melepaskan pelukan darinya sebelum aku terlena dan menginginkan lebih lagi. "aku hanya
ingin pulang cepat. Bagaimana keadaan mereka ?" kami sama-sama menuju sofa putih duduk
disana, aku meyandar dipundaknya.
"mereka baik saja, Cuma Ela sedang flu" menyelipkan anak rambutku menjuntai kebelakang
telinga "kenapa mukamu cemberut begini ? ada perdebatan di kantor ?" dia mencium
keningku.
"ya sedikit dikantor dan sedikit dengan orang asing" aku bicara sambil membenamkan wajah
dilehernya. Aku hampir terkejut ketika dia mendorong bahuku tanpa melepaskan-nya.
"orang asing siapa ?" katanya, tiba-tiba suasana diantara kami jadi sangat serius.
"jangan berlebihan, hanya wanita paruh baya yang seksi" kataku menunjal bahunya dengan
jari telunjuk dan menarik tubunhya mendekat padaku, membenamkan wajahku dilehernya
lagi. Dan lagi dia menyentak pelan tubuhku agar kami bisa saling menatap "aku butuh
pelukan jadi jangan ganggu" aku merengek.
"wanita siapa ? katakan dengan jelas" dia tak memperdulikan rengekanku.

"wanita paruh baya, namanya Meride. Dia itu Wanita yang mau dinikahi ayahku tapi kami
belum sempat kenal sebelumnya, jelas ?" kataku melihat dia memasang wajah serius
mendengar ceritaku.
"jangan menemuinya lagi, kamu harus hati-hati. Jangan sembarang dekat dengan orang
asing" katanya. Aku kira dia akan tertawa setelahnya dan mengatakan hal tadi hanya candaan
tapi sungguh dia sama sekali tak main-main dengan ucapan-nya.
"apa ? memangnya kenapa ? lagipula aku tak begitu suka melihatnya" aku mendengus dan
bersandar malas di sofa.
"kamu ingatkan janjiku untuk meneruskan pernikahan kita kalau aku harus tau dengan siapa
saja berhubungan, keselamatan kamu tanggung jawabku" katanya penuh penekanan.
Tubuhku yang tadi lunglai disofa kini tegap duduk didepannya, "ah ya benar sekali,
pernikahan kita karena perjanjian. Aku hampir lupa akan hal itu, aku ini tak lebih dari istri
sementara kamu. Kamu tau kalau semenjak empat bulan lalu atas perjanjian itu aku lupa diri,
aku mengira kamu benar-benar menjadikan aku istri kamu. Aku menuntut segalanya dari
kamu tapi baguslah kamu mengetuk otakku untuk berpikir secara sadar bahwa jika perjanjian
kita usai maka akupun akan usai denganmu. Maaf Altair jika aku tak tau diri selama ini garagara aku terlena dengan perlakuan kamu itu". Aku berdiri tak memandangnya, bingung
kemana aku harus pergi.
Kunci mobil melintang atas meja kaca depanku dengan cepat aku menyambar tapi kalah
cepat dari Altair, dia mendapatkannya lebih dulu.
Aku tak kuasa untuk berdebat dengan-nya lagi, aku berjalan tak tentu arah hingga berakhir
ditaman belakang rumah. Menghempas tubuh pada kursi kayu, terasa nyeri dipunggungku.
Aku tak tau harus menggambarkan perasaanku sekarang, campur aduk. Aku memang benar
lupa diri, aku mengharapkan lebih dari sekedar apa yang layak untukku. Aku lupa kalau dia
meneruskan pernikahan kami hanya untuk menemukan siapa pembunuh ayahku padahal aku
sendiri sudah tak ingin mengungkit hal itu lagi. Aku tak pernah berharap atau apapun supaya
dia membuktikan kebenaran-nya.
Aku hanya ingin memulai hidup tenang tanpa ada masa lalu yang buruk dan dia tidak satu
pemikiran denganku, dia masih untuh pada perkataan-nya. Lucu sekali dan aku malu pada
diriku sendiri yang merasa dapat kenyamanan darinya, bertingkah diluar batas.
Aku mengangkat kepala menatap tanaman lili yang terbagi tiga sisi dan jumlah yang berbeda,
sesekali bergoyang tertiup angin, cantik dengan warna sempurna, aku merindukanmu ayah.
"dihari yang sama aku katakan tidak ada perceraian dan itu aku katakan berulang kali, apa
kamu tidak mengerti ?"
"kamu tidak mengerti apa definisi pernikahan menurutku Altair" aku masih terus memandang
bunga lili, hanya mataku tidak dengan pikiranku. "Kamu bersamaku hanya karena beban,
hanya karena tanggung jawab yang belum terbayar".
Entah sejak kapan dia sudah berdiri didepanku. Dia menyentakku sekuat tenaga hingga tubuh
kami menempel, nafas hangatnya berhembus diwajahku, tersengal menahan marah.

"salah pahammu yang tak berujung itu memang selalu jadi perusak. Kamu itu istriku sudah
seharusnya aku menjagamu, apa gunanya aku menjadi suami kalau aku tak bisa menjaga
keselamatan istriku sendiri. Sekarang katakan apa definisi pernikahan menurutmu ? katakan
beban apa yang kamu maksud ?" katanya menggeram tanpa melepas cengkaraman-nya
dilenganku.
Aku meringgis akibat nyeri dari cengkraman-nya. Dia marah besar dan aku juga sakit hati.
Mungkinsaja kami akan saling menyakiti sekarang. Dia semakin menarikku.
"lepaskan aku" kataku sambil menangis. Aku tak bisa menahan-nya lagi. Terlalu banyak
bersenang-senang, luar kendali dan beranggapan aku akan bisa lama menikmatinya tapi
kenyataan-nya aku dihempaskan agar sadar kalau sebuah kenyamanan juga kesenangan itu
bukan untuku.
Semenjak hari itu aku pergi dari rumah dan dia tak menghalangiku, ternyata benar bahwa dia
tak menginginkan aku sama sekali. Cara terbaik agar kepalaku bisa dingin dengan
menghindarinya sampai aku menemukan titik terangnya harus berakhir dimana pernikahan
ini nantinya.
Hari ini sudah tepat dua minggu aku pergi dari rumah, tak bertemu dengan-nya dan aku
merindukan-nya, sungguh aku benci ini. aku benci karena terlalu membutuhkan dia.
"mau sampai kapan kau seperti ini hah ?" kata Lani dengan lantangnya berkacak pinggang.
Lani menghempaskan buku besar didepanku yang sedang menekuk lutut diatas ranjang. Aku
tak terlalu hirau dengan suaranya yang menguncang telinga itu. Meluruskan kakiku aku
merosot dari kepala ranjang berbaring miring, kepalaku berdenyut. Untung saja dulu aku
sempat berpikir untuk membuat kamar pribadi dalam kantor tokoku, fasilitas tak seberapa
lengkap, tempat tidur berukuran sedang ,kamar mandi juga beberapa pakaianku tertinggal
disini cukup membantu.
Beberapa kali Lani menemaniku dan sisanya dia memaksaku agar tinggal dirumahnya sampai
aku benar-benar tenang tapi aku tolak aku lebih nyaman disini dan menyuruhnya agar tak
perlu susah payah menemaniku. "nanti aku akan kebawah" kataku.
"jangan bertingkah seperti anak kecil" dia berpindah didepan wajahku, duduk dan
mengalihkan wajahku agar menatapnya "ini tak menyelasaikan masalah".
"aku hanya butuh tenang sekarang Lani" kataku dengan malasnya.
"masa tenangmu sudah habis, pergi pulang dan selesaikan masalahmu dengan Altair" katanya
dengan mata berbinar dan seperti ingin menerkamku.
"masalahnya sudah selesai aku sudah menemukan titik terangnya" aku bangun dan bersandar
lagi dikepala ranjang "aku akan bercerai" aku mengusap pada jari yang terpasang dua cincin,
hanya ini yang membuatku nyaman sekalipun nanti kami bercerai aku tak akan
mengembalikan cincin ini padanya. Aku tidak bisa bohong kalau aku tak merindukan-nya
nanti dan ini jadi pengobatnya.

"jangan tolol, itu keputusan sepihak darimu, bukannya aku mau ikut campur tapi tak bisakah
kau bicara baik-baik dengan-nya, jangan agungkan keras kepalamu itu. Lihat dirimu, kau
kacau Nic, aku tak pernah melihatmu begini sebelumnya dan astaga.." dia terkejut ketika
menyentuh daguku "kau pucat, kau belum makan ya ?"
Aku belum makan dari pagi sampai tokoku sudah tutup sekarang, tak sekalipun hari ini aku
memikirkan perut.
"akan aku buat mie rebus" dia hendak beranjak tapi aku menahan lengan-nya.
"jangan" cegahku.
"lantas kau mau makan apa ? tak biasanya kau menolak mie instan" dia menyipitkan mata
merasa janggal atas pppenolakanku.
"mungkin kita bisa makan diluar" saranku.
"nah baiklah, masih banyak restaurant yang masih buka jam segini" katanya menuju sofa
menyambar tas sandang hitam. Mengambil sisir untukku, entah sudah berapa hari aku
membiarkan rambutku seperti akar serabut. Wajahku juga nampak sembab dengan mata
berkantung menghitam. Lani langsung menyambar kaca bundar bedak padatnya "jangan
tonton wajah kusutmu itu lagi" menarik tanganku untuk pergi padahal aku masih
mengenakan kaus putih polos dan celana katun selutut.
Waktu aku pergi dari rumah aku tak sempat membawa mobil jadi inilah sekarang
kemanapunaku pergi mobil Lanilah jadi sasaran-nya. Lagipula aku jarang keluar akhir-akhir
ini. beberapa kilo dari tokoku masih ada restaurant yang buka. Kakiku terasa ngilu diterpa
hawa dingin malam aku menggertakkan gigi ketika rasa dingin-nya merambat kekulitku
bagian atas. Sial sekali kami buru-buru tadi sampai aku lupa membawa jaket. Pengunjung
disini masih ramai mungkin restaurant ini buka 24 jam melihat pengunjungnya ada beberapa
yang baru datang seperti kami. Lani merangkul bahuku paham aku kedinginan. Dia sama
halnya denganku tak mengenakan jaket bahkan pakaian-nya lebih tipis blush hitam dan rok
pensil krem yang panjangnya tak sampai kelutut menampilakn betis mulusnya yang berotot
akibat hak tingginya itu.
Kebetulan lokasi kami tak jauh dari laut membuat angin semakin kencang tapi menyegarkan
bagi yang hobi menghabiskan malam dengan secangkir kopi hitam kental.
saat kami masuk suara keramaian memenuhi telinga bisa menghilangkan kantuk, kami pikir
sudah kehabisan tempat tapi untung saja seorang pelayan pria berambut pirang menuntun
kami kasalah satu tempat sisi kiri tak jauh dari dinding kaca yang dibagian luarnya juga
semua meja penuh.
"ternyata banyak orang kelaparan saat hampir tengah malam" kata Lani sambil membuka
buku menu "kau pesan apa Nic ?".
"aku sama denganmu saja" kataku sambil melihat seisi ruangan, kebanyakan disini orangorang masih dengan pakaian formal dari kantor yang lelah dan lapar sehabis diburu pekerjaan
sisanya macam-macam ada yang makan bersama keluarga, kekasih atau juga teman seperti
kami. Tempat ini sederhana tapi juga menarik walau tak begitu luas tapi nuasa lukisan tanpa

tema dan tambahan dinding kaca membuat tempat ini enak untuk memanadangi cahaya
lampu dalam gemerlap malam diluar sana. Pandanganku terhenti pada dinding kaca bening
yang dibaliknya ada salah satu meja pengunjung membuat hatiku mencelos.
Rasanya aku ingin berlari dan menghambur dalam pelukan-nya sekarang, tapi tak mungkin.
Yang paling membuat dadaku terasa sesak adalah dia bersama gadis yang tak bisa kulihat
wajahnya karena dia membelakangiku, mereka berdiri mungkin hendak pergi dan sekarang
gadis itu merengkuhnya dan mereka berpelukan. Pelukan macam apa itu ? jika mereka hanya
berteman tak mungkin semesra itu. Perutku terasa mual, aku meremas jari-jariku sendiri.
Apakah gadis itu kekasihnya ? sehingga dia tak peduli sama sekali padaku, setelah
berminggu-minggu aku pergi tak sekalipun aku dengar dia menayakanku pada orang lain atau
menghubungiku, dalam diam aku selalu menatap layar ponsel berharap akan ada namanya
yang muncul disana tapi tak sama sekali.
Untuk kedua kalinya aku mentertawakan diriku sendiri, bodoh. Tak seharusnya aku disini,
angkat kaki sebelum aku melihat adegan lain yang lebih intens dan gila. Perutku menyenggol
meja menimbulkan suara gemerisik dari sendok dan garpu yang beradu. Memutar tubuhku
berjalan tanpa melihat kiri kanan lagi.
"Nic kau mau kemana ? Nicia" jerit Lani yang masih dibelakangku "ini uangnya".
Lani hampir tergelincir setelah berlari dengan sepatunya yang menyulitkan, mengomel
setelah membayar pesanan sup yang belum kami cuil sedikitpun. Berkali-kali dia
menanyakan kenapa tingkahku seperti orang tercabut kuku pergi begitu saja tanpa sebab,
untuk apa lagi aku harus menjelaskan sebab yang menyakitkan itu.
"ternyata dia punya kekasih Lan" kataku sambil tertawa getir memandang jalan, kutempelkan
kepalaku pada kaca mobil.
"siapa ?" kata Lani penasaran.
"pantas saja dia tak sama sekali mencariku, memang tak penting".
"Altair ? darimana kau bisa tau?" suara Lani hampir seperti berteriak.
"dia disana tadi" aku menggigit bibir sembari menutup mata agar tak membayangkan Altair
bersama gadis itu.
"oh ya tuhan, itu sebabnya kau langsung pergi begitu saja" dia berdecak "kau cemburu".
"aku tak cemburu" aku membantah keras, aku memang sama sekali tak cemburu.
"lantas apa ? akui saja kau itu jatuh cinta dengan Altair" katanya mengulum senyum, dia
sama sekali tak mengerti kalau aku sedang sakit hati.
"aku tak cemburu demi....ah sudahlah tapi dia itu suamiku dan atas apapun alasan-nya aku tak
suka berbagi apa yang sudah menjadi milikku" aku mengusap muka menghembus nafas
kasar.
"baiknya kau minta penjelasan-nya dulu jangan ambil kesimpulan sendiri".

Aku tak perlu saran apapun, sakit hati atau apapun itu sudah cukup. terlalu konyol untukku
jadi seperti ini, hanya masalah emosi aku jadi mengurus hal tak penting. Sejak kapan aku
peduli tentang pernikahan bahkan dulu aku tak pernah berpikir akan menikah.
Hari sudah jam sepuluh pagi perutku berteriak minta diisi, ini karena semalam aku dan Lani
berakhir mengomel sambil mengunyah biskuit atas kebodohanku sendiri. Semua isi laciku
sudah kosong tak ada pakaian bersih dan yang masih tersisa kemeja lengan panjang dan rok
mini hitam yang dipinjamkan Lani kemarin belum sempat aku pakai. Tak ada pilihan lain
selain harus bertelanjang separuh paha hari ini sampai aku mendapat pakaian lain.
Buku besar warna merah tergelatak dilantai, ini yang di banting Lani depan wajahku
semalam. Dasar ceroboh, nanti pasti dia akan kesulitan menemukan-nya. Aku keluar kamar
dan menaruh buku itu di meja kantor Lani, dia pasti di meja kasir. aku menyusulnya turun
kebawah sekaligus berniat meminjam mobilnya untuk keluar mencari beberapa potong baju
sebelum aku pulang kerumah. Langakahku langsung berhenti ketika melihat sosok dia berdiri
didepan meja kasir sambil melipat tangan, menatapku lekat-lekat. Tak ada lagi yang perlu
aku hindari, aku langsung meneruskan langkah mendekat dimeja kasir. Sementara Lani
sedang duduk memainkan ponsel pintarnya, dia sudah pasti berkompromi dengan Lani akan
kedatanagan-nya kesini.
"masa tenggangmu untuk pergi dari rumah sudah habis" katanya padaku. Aku sama sekali tak
memperdulikan-nya.
"aku mau pinjam mobilmu" kataku pada Lani. Respon-nya hanya melihatku tanpa
mengeluarkan kunci mobil dan menggeleng kepala. Percuma kalau harus bersikeras
meminjam-nya lagi pasti jawaban-nya sama, termasuk dalam hal ini mereka juga sudah
berkompromi.
"ikut aku pulang" pintanya dengan Lembut.
aku memandang Lani dengan tajam dan tanggapan-nya hanya mengangkat bahu. Aku
putuskan untuk pergi dengan taksi , beruntung aku masih punya uang tunai disaku. Aku
melewati mereka dengan muka masam. Sebelum aku berhasil memberhentikan taksi
tanganku ditarik paksa masuk kedalam mobil, ini mobilku sendiri. dikunci. aku hampir
menendang pintu untuk membukanya tapi tentu saja itu konyol.
"minta dilepaskan ?" katanya tanpa melihatku, fokus dengan kemudi. Aku tak menjawab,
melihat kejalan disebelahku menyadari betapa lajunya kami.
"bagimana, sudah puas menginap ditokomu itu ?" katanya lagi sementara aku masih
bungkam.
Bukan-nya menanyakan kabarku tapi malah membuatku ingin menampar mukan-nya. Benarbenar tak punya otak tapi apa peduliku bukankah aku kan bercerai darinya. Ya masalah itu
lebih bagus lagi aku megatakan-nya sekarang.
"kau tak perlu membawaku kerumah, kita bisa menyelasaikan masalah kita sekarang juga"
aku beralih menatapnya.

"sayangnya aku tak bisa, didalam mobil terlalu sulit untuk melakukan-nya" katanya
membuatku agak bingung, apa yang harus dilakukan, hanya bicara bukanlah hal sulit.
"terserah" aku memandang kedepan menyiapkan kata yang meluncur dari mulutku "kita
bercerai".
Mobil berhenti, bukan karena dia terkejut tapi memang sedang lampu merah. Tiba-tiba dia
meraih daguku sehingga kami bertatap muka, dia melumat bibirku dan aku berusaha
mendorong bahunya tapi dia mengenggam kedua tanganku dengan satu tangannya sementara
satu tangan-nya lagi meraba masuk kedalam rok pendek sialanku ini yang memberi
kesempatan untuknya. Aku hampir mengerang karena tak bisa melawan, berniat melepaskan
diri tapi dia sudah melepaskan-ku untuk menjalankan mobil lagi, lampu rambu sudah
berganti warna hijau, ketika menukar giar dia mencuri satu kecupan lagi dari bibirku. aku tak
sempat mengelak.
"kamu...."dia menghentikan bibirku lagi dengan kecupan juga menggigit bibirku. Tersenyum
menang atas aksinya. Sebaiknya aku jangan bicara sama sekali sebelum dia kembali melumat
bibirku tanpa melepasnya dan kami akan berakhir dirumah sakit. Akan memalukan sekali jika
penyebab kecelakaan karena berciuman sepanjang jalan. Aku mendengus merasa dibodohi,
dibodohi tubuhku sendiri kalau aku menikmati ciuman darinya, brengsek.
"kita akan meneruskan-nya dirumah nanti" katanya sambil menyungging senyum.
"jangan mimpi" aku mendesis. Dia semakin tersenyum lebar meremehkan perkataanku. Aku
benci diremehkan, demi tuhan.
Ketika kami tiba, turun dari mobil sampai kami berada dalam rumah bahkan ketika dia
mengunci pintu pun dia sama sekali tak melepaskan genggaman tangan-nya padaku. Aku
seperti anak empat tahun yang sedang pergi ketaman bermain bersama ibunya tanpa dilepas
sedetikpun karena takut hilang.
Dia langsung membawaku kedapur menarik kursi meja makan dan menduduk-kan aku
disana. Mungkin dapur jadi tempat terbaik untuk duduk dan bicara menyelesaikan masalah.
Aku rasa begitu. Dia belum ikut duduk tapi mengambil piring dan mengaut sesuatu dari panci
dengan asap bertebaran didepan wajahnya. Satu piring mie saus daging dan segelas jus jeruk,
perutku semakin melilit dibuatnya. Kurasa dia memang sudah menyiapkan-nya dari pagi.
"makan" dia menaruh piring dan gelasnya didepanku, memutari meja duduk didepanku. Aku
bergeming tak memandang makanan dipiring kaca bening itu.
Kalau saja isi perutku bisa meloncat keluar mungkin mereka sudah menukul kepalaku dengan
tudung panci agar aku langsung makan. Masih dengan egoku aku tak tertarik.
"aku tau kamu belum makan, makanlah setelah itu kita akan bicara" katanya.
***
Makanan sialan pemberi pengaruh buruk tak berguna. Entah siapa yang salah makanan-nya
atau aku terlalu rakus melahap semuanya sampai licin tapi yang pasti berakibat buruk padaku.
Tertidur tak sadarkan diri hingga hampir tengah malam lagi atau ini memang sengaja

perbuatan Altair. Aku melirik seisi kamar ada ponselku dinakas seingatku tadi aku
meninggalkan-nya dikamar toko dan tasku juga sudah ada disini. Ini gila, apa yang terjadi
padaku ? ditinggal sendiri hingga entah apa yang sudah dia lakukan padakupun aku tak
sadarkan diri. Aku berusaha untuk duduk dan menarik selimut untuk menutup tubuhku yang
tak ada sehelai benangpun, pakaian yang aku kenakan tadi siang teronggok dilantai.
baru saja aku mau menjangkau pakaianku satu tangan melingkar dipinggangku menyentak
tubuhku kembali keranjang.
"penipu" kataku memandang wajahnya yang berpas-pasan denganku "katamu kita akan
bicara tapi apa yang kamu lakukan".
"apa yang kita bicarakan ? perceraian ?" katanya dengan posisi masih berbaring
menghadapku tanpa melepaskan tangan-nya dari pinggangku, "jangan harap".
"aku takkan mengikuti katamu. Apapun yang terjadi kita harus bercerai" tegasku. Tubuhku
masih tertahan karena tangan-nya. Semakin aku berusaha untuk menyingkirkan-nya semakin
dia menarikku hampir menindih tubuhnya.
"kamu ingin aku menjelaskan apa agar kita tidak bercerai" kami saling menatap lekat-lekat.
"persetan dengan penjelasan" kataku mendorong kasar tubuhnya. Aku berdiri memunguti
pakaianku mengibasnya satu persatu.
"apa karena kamu malu punya suami sepertiku yang tidak sederajat denganmu, itukah ?" dia
duduk di tengah ranjang memandangku yang berjalan menuju kamar mandi mau mengenakan
baju. Aku langsung berhenti didepan pintu kamar mandi ketika pertanyaan itu keluar.
"jangan melantur, seharusnya yang kamu tanya itu dirimu sendiri, apa tujuanmu mau
meneruskan pernikahan ini ? beban perjanjian ? atau dendam padaku ? pernahkah kamu
menginginkanku ?" aku mempererat balutan kain didadaku. Rasanya suhu dikamar ini
semakin dingin.
"aku tidak pernah punya beban atau dendam apapun Nic. Untuk kedua kalinya aku katakan
aku tidak pernah menganggap pernikahan itu sebuah permainan, ingat itu baik-baik. Hanya
karena aku ingin tau dengan siapa saja kamu berhubungan kamu langsung salah paham dan
pergi dari rumahlantas ingin cerai begitu ?" dia bergerak mendekat padaku.
"bukan permainan katamu lantas kamu bermesraan dengan wanita lain kemarin malam itu
apa ?, bahkan selama aku pergi kamu sama sekali tak pernah menghubungiku. Jangan kamu
kira tidak emosi diantara kita kamu bisa seenaknya punya kekasih diluar sana. Dan harus
kamu tau aku tidak suka berbagi dengan perempuan lain apa yang sudah menjadi milikku.
Benar-benar tidak sudi. Itu alasan jelasnya aku ingin kita bercerai". Dia menahan tanganku
ketika aku memutar tubuh untuk masuk kekamar mandi. Menahan kedua tanganku
didadanya.
"tindakan paling bodoh jika aku menghubungimu, tentu saja takkan kamu angkat. Aku tak
menghalangimu pergi dari rumah karena aku pikir mungkin kamu butuh tenang sementara
waktu. Aku hanya menanyakan kabarmu dari Lani dan menonton lampu jendela dari lantai
tiga tokomu itu dari aku pulang kerja sampai jam satu malam karena jam segitu kamu baru

mematikan lampu kamarmu. Tapi nampaknya amarahmu tak kunjung reda hingga
membuatku habis kesabaran jadi apapun alasan-nya aku harus membawa pulang sekarang"
dia meremas lembut jari-jariku.
"wanita itu namanya Elis, dia memang mantan kekasihku tapi dia temanku sekarang. Kami
kebetulan bertemu di restaurant semalam dan itu hanya pelukan biasa bukan yang aneh-aneh"
katanya lagi.
Aku merenggut tangganku darinya "aku belum katakan kalau prihal itu direstaurant" kataku
mendengus marah.
"aku mengikutimu dan Lani tadi malam kerestaurant Half Glass. Setelah itu kamu pergi
terburu-buru iya kan ?" pandangan-nya menelusuri wajahku.
"jangan menipuku" aku mendesis.
"tapi itulah kenyataan-nya dan aku merindukanmu Nic" katanya sambil menenggelamkan
wajahnya dileherku. "kumohon jangan salah paham padaku Nic, aku tak mau kehilanganmu".
Kamu adalah manusia paling brengsek yang pernah masuk dalam kehidupanku Altair. Kamu
membuatku sangat ingin membunuhmu tapi disisi lain kamu juga membuatku
membutuhkanmu lebih dalam lagi. Aku tak ubahnya seperti manusia yang tak punya
pendirian, serba salah dan terombang ambing akibat ego dan perasaanku yang sedang
berperang saat ini. pada prinsipku aku tak suka jadi lemah terhadap siapapun itu atau menjadi
tolol karena pesona lawan jenis. tapi kamu membuatku jadi perempuan tolol bukan karena
pesona atau omong kosong tapi hanya karena perlakuan kamu itu.
8....
tapi pada intinya semua ini terjadi karena kecerobohanku mengambil keputusan bertahuntahun yang lalu dan sekarang rasakanlah akibatnya.
***
selang beberapa minggu sikapku masih sama, dingin. Tak perduli dia ada atau tidaknya.
baiklah aku sedikit berbohong, memang jika dia tak nampak, dalam pikiranku pasti ingin tau
dia dimana. Lain halnya dengan dia, dia bersikap seolah tak pernah ada perkelahian diantara
kami dan selalu berhasil membuatku terlihat bodoh, yang ujung-ujungnya aku berakhir
ditubuhnya. Walau sia-sia saja aku berpura-pura marah melempar bantal kewajahnya setalah
apa yang dia lakukan padaku. Dan satu lagi, aku tak berhasil dengan ideku tentang
perceraian, sebenarnya sebagian kecil otakku memang tak setuju dengan perceraian itu
sendiri. Ingat akan kalimat dari mulut Altair ketika kami bertengkar hebat kemarin yang lebih
mirip ancaman kalau dia akan melakukan apa saja untuk tidak melepaskan-ku, yang benar
saja dia mengancamku. Aku tidak pernah peduli dengan ancaman dia atau siapapun,
sementara sisi jalang dalam tubuhku berteriak suka ria akan hal itu. Jalang bajingan, entah
sejak kapan aku punya sisi jalang dalam tubuhku.
Aku mendesis kesakitan, kaki telanjangku sebelah kiri kemerahan terkena tumpahan teh
panas. Apa yang aku lakukan ? sampai lalai dengan minumanku sendiri. Cangkir putih
terjatuh kerumput hijau yang mulai memanjang, aku mengusap-usap kakiku yang mulai

terlihat kemerahan. meringgis ketika rasa perihnya semakin terasa. Aku tak tau dari mana
datangya dia berada didepanku, menarik lembut kakiku menyapunya dengan salap putih.
"aku bisa mengurusnya sendiri" kataku sambil hendak menyingkirkan kakiku darinya,
"apa yang kamu lakukan tidak bisa menyembuhkan kakimu" katanya setelah selesai dengan
salap pada kaki-ku. "ayo masuk" dia berdiri mengulur tangan didepanku.
"aku mau disini, pergilah" aku berjongkok mengutip gelas yang terbating di rumput olehku
tadi. Jelas saja itu penolakan kasar dariku.
"apa yang kamu lakukan disini saat tengah malam begini ?" katanya lagi. Aku tak
memperdulikan-nya, biasanya dia akan pergi jika aku tak meladeninya bicara.
Cangkir terjatuh lagi dari tanganku ketika tubuhku ditarik lembut, aku berada diatas kedua
tangannya. Aku ingin sekali protes agar dia menurunkan aku tapi hanya akan menimbulkan
kebisingan dan dia tak menurunkan aku sama sekali. Pada akhirnya aku mengalungkan
tangan dilehernya ketika dia bergerak membawaku masuk kedalam rumah. Menutup pintu
dengan dorongan kakinya. Bersikap layaknya aku ini barang tak bernyawa yang tidak
menatapnya dengan tatapan bringas sekarang.
"lo kamu kenapa nak ?" suara ibu Ara ketika keluar dari pintu kamar tamu saat kami
melewati ruang tengah. Menyimpul rambutnya yang tergerai setelah bagkit dari tidurnya. Dia
dan anaknya, Ela. Menginap diirumahku beberapa hari atas idenya Altair, aku menerimanya
dengan senang hati, sungguh aku sudah benar-benar tak mau memiliki dendam lama lagi.
Walaupun awalnya ibu Ara ragu-ragu untuk menerima tawaran dari Altair mengingat dia
mengerti bagaimana prihal yang terjadi diantara kami tapi mulutku sendiri yang meyakinkannya. Remasan lembutnya di jari-jariku dan air mata lega, ucapan terima kasih untuk tidak
membencinya. Memang tidak lagi dan tentu saja kami tidak pernah menceritakan perjanjian
aku ingin menghabisi Altair yang dulu. Itu sudah dikubur habis. Dan jelas ide Altair juga
mengambil kesempatan bahwa dengan kehadiran mereka kami tidak bisa bertengkar atau
menunjukkan bagaimana kami sebenarnya, berpura-pura rukun dan kembali pada kebenaran
jika kami sudah tak terlihat oleh mereka. membuang muka.
"Cuma kena teh panas sedikit bu" kataku agak menyengir, menahan malu yang merangkak
naik keubun-ubun akibat terlihat manja di gendong.
Ibu Ara berlari pelan kearah kami, menyentuh kaki-ku "ya ampun, ini lepuhnya banyak. Kok
bisa bisa kena sebanyak ini ?".
"dia kebanyakan melamun bu, tidak apa-apa tadi sudah aku kasih salap" kata Altair
tersenyum memandangku.
"iya" aku menimpali "kok ibu bangun ?" tanyaku lagi.
"Ela haus tapi dia takut mau kedapur jadi ibu yang ambilkan air minum. Ibu ambil kain basah
ya" Ibu Ara menawarkan.

"tidak usah bu, sebentar lagi juga kemerahan-nya hilang" kataku ragu-ragu menyentakkan
pelan kaki-ku dari tangan ibu Ara, tidak sopan sekali rasanya kaki-ku berada di tangan orang
yang jauh lebih tua dariku sementara lecetnya tidak seberapa.
"betul itu tidak apa-apa ?" tanya Bu Ara ragu melihat kakiku.
"betul bu, tidak apa-apa" aku meyakinkan-nya.
"ya sudah, lain kali hati-hati. Jangan kebanyakan melamun, cepat istirahat !" Bu Ara
menepuk pelan bahuku. Aku mengangguk kepala dan kami berlalu. Menjatuhkan tubuhku
lembut ke tempat tidur. Warna merah di punggung kakiku semakin jelas, aku mengoyangkannya dan tidak terlalu nyeri juga terlihat lucu mirip kue tar dengan krim putih diberi sedikit
taburan warna merah muda dibagian atas.
Aku tersentak ketika jari-jari Altair membuka kancing celana jins hitamku. Aku pikir dia
mulai gila jika ingin Kami beradegan ranjang sekarang dan aku tidak mau itu terjadi. Aku
menepis tangan-nya "jangan gila" aku sedikit beranjak dari posisiku. Sesaat dia terkejut
melihatku tapi kemudian kembali menarik celanaku turun, celana dalam putih berenda
setengah pahaku sudah nampak total. Aku meronta agar tangan-nya berhenti dan sampai
dipenghujung kaki dia melepaskan hati-hati agar tak tersenggol bagian lecetku dan sekarang
hanya celana dalam untuk bagian tubuh bawahku, aku hampir mengerang saat tadi tangannya bergeser dicelah pahaku untung aku mengakalinya dengan mengigit bibirku sendiri. Aku
memeluk tubuhku sendiri yang kaus ketat aku pakai tadi sudah terjatuh kelantai. Aku tidak
mungkin menjerit seperti orang yang akan diperkosa agar dia tak melakukan ini padaku,
terlalu tolol. Dia berdiri pergi ke lemari bagian ujung kearah pintu keluar, menggerser pintu
blur dan mendapati sesuatu. Duduk disebelahku memasang yang ternyata kemeja miliknya
padaku.
Hanya ini ? aku jadi sangat malu sekali ternyata dia hanya berniat menggantikan pakainku
agar aku lebih lega. Dia menggeser tanganku untuk mengancing kemejanya padaku. Terlalu
malu sampai aku tak berani memandangnya. Menutupi pahaku yang terpamapang dengan
selimut, lampu dimatikan lalu dia bergerak memutari ranjang berpindah sebelahku. "kulitmu
sulit bernafas jika tidur dengan pakaian serba ketat seperti itu" dia berbaring terlentang
menutup mata, aku bisa lihat itu dalam cahaya remang-remang.
Aku bersandar dikepala ranjang dalam waktu yang cukup lama sampai aku dengar bunyi
nafasnya yang teratur. Tandanya dia sudah tertidur pulas. Aku bergerak perlahan merangkak
naik keatas tubuhnya, nafasnya menyapu rambutku. Syukurlah dia tidak sadar. Seperti aliran
listrik dari panas kulitnya pada tubuhku menimbulkan rasa nikmat yang luar biasa, aku bisa
dengan mudahnya mengantuk. Aku kembali membuka mata saat aku merasakan gerakan
telapak tangan mengusap lembut punggungku, aku harus malu lagi karena ketahuan manindih
tubuhnya.
"aku malu dua kali malam ini" lirihku "pertama aku pikir akan......."
"diperkosa ?" potongnya.
"dan ketahuan menaiki tubuhmu" timpalku. Aku mendongak tepat diwajahnya, aku
mengulum bibirnya. Aku hanya berniat singkat tapi tidak dengan dia, dia membalikkan
tubuhku secepat kilat hingga dia yang berada diatasku. Aku meremas lengan-nya akibat

desakan ciuman bibir lembutnya itu, aku bisa bernafas lega ketika dia turun keleherku, seperti
biasanya dia selalu saja meruntuhkanku dengan kecupan sepanjang leher sampai berakhir
didadaku. Tanganku tak bisa diam di lengan-nya dan aku merasakan ada sesuatu yang basah
di tanganku, lengket, darah. Aku beringsut untuk menyalakan lampu, yang ada didepan mata
telapak tanganku cukup banyak darah begitu juga dibagian lengan kaus warna putih tulang
Altair.
"oh, tanganmu jadi kotor" katanya biasa saja.
"bukan tanganku tapi lenganmu itu" aku menangkap lengan Altair, menarik kausnya keatas
hingga terbuka "aku sudah bilangkan jangan kembali kepadang rumput itu lagi" marahku.
"tidak, ini karena aku terpeleset dilumpur lalu tersenggol batu tadi sore" dia memandangi
bagian luka yang dekat dengan tanganku. Aku keluar, mencari kotak P3K yang aku temukan
didapur lalu setengah berlari kembali kekamar. Untung saja aku tak membangunkan Ibu Ara.
Selesai membalut bagian luka itu aku mengambil kaus dan melepaskan kemeja yang aku
pakai yang juga terkena darah dari tanganku, melemparnya dikamar mandi dan mencuci
tangan.
"padahal darahnya tadi sudah berhenti" katanya sambil menepuk-nepuk perbannya.
"itu salahmu" sergahku pelan. Pinggangku ditarik dan aku terjatuh pada tubuhnya "aku mau
cari baju" kataku.
"aku yakin kamu suka jika kita tidur seperti ini" jari telunjuknya menjalar dari leher dan turun
kelenganku, kembali lagi ke bahuku menyenggol tali halus putih disana jadi terkulai
dilenganku. Mendapati bibir bawahku, menghisapnya "aku akan membuat lebih banyak luka
lagi ditubuhku jika itu membuatmu peduli padaku Nic" katanya tanpa melepas bibirku.
"jangan konyol" menarik bibirku darinya. Dia mendekat menekan tubuhku hingga aku jatuh
terlentang ditempat tidur, menindihku, mengusap bibir bawahku dengan jari telunjuknya.
"aku semakin konyol jika terus kamu abaikanku terus menerus"
Menekan bibirnya pada bibirku dengan lembut. Tanganku menelusup masuk dalam
rambutnya dan yang satunya mengusap punggungnya. Sepertinya dia akan melanjutkan apa
yang sempat tertunda tadi.
"jika dulu aku jadi pembunuh maka sekarang aku jadi pemerkosa, ya kan ?" katanya setelah
melepaskan pagutan dari bibirku. Tersenyum remeh pada dirinya sendiri, mungkin merasa
jadi manusia terburuk yang pernah ada. Aku tau ada kekecewaan dalam matanya. Aku jadi
tak enak sendiri, apa aku membuatnya merasa sebegitu buruknya atau membuat dia merasa
diremehkan. Tapi sungguh aku tidak punya niat sama sekali seperti itu.
"aku tidak pernah berpikir kamu pembunuh atau pemerkosa" aku mengusap bibirnya sama
seperti yang dia lakukan padaku tadi "aku hanya terlalu kesal padamu".
Aku menariknya hingga benar-benar jatuh padaku "lakukanlah" kataku ditelinga-nya.
****

"ya ampun nak, kamu sudah kebanyakan itu makannya" ibu Ara menyodorkan gelas air
minum padaku "minum dulu !, ya Allah bisa sesak nanti kamu".
"bakso ibu enak, aku tidak pernah makan bakso seenak ini"aku bicara dengan mulut penuh.
"tapi mbak udah makan empat mangkuk, cepat pula lagi. Aku aja satu mangkok belum habis
dari tadi" Ela tertawa melihatku makan seperti orang kelaparan berat "nanti mbak bisa
meledak loh" katanya tertawa lagi sambil memainkan kuncir kudanya yang pirang itu.
"Ela betul, kamu bisa meledak nanti" ucap ibu Ara lagi.
"tidak, malahan aku mau nambah lagi" kataku dengan santai melahap bakso terus menerus.
"kamu mengandung nak ?" tanya bu Ara, hampir saja menyemburkan kuah bakso dalam
mulutku keluar.
aku dan Altair hanya saling menatap dalam diam, aktifitasnya memeras jeruk langsung
berhenti tapi dia langsung meneruskan-nya lagi, selesai, dia menarik kursi duduk
disebelahku. Yang aku yakini adalah dia pasti satu pemikiran denganku kalau apa yang
ditanyakan ibu Ara tadi tentu jawaban-nya adalah tidak. Selama ini kami melakukannya
menggunakan pengaman. Aku berpikir sejenak, apa Altair pernah lupa mengenakan-nya, ya
tuhan aku harap tidak.
"tidak bu" kataku tertawa.
"apa kamu yakin ? coba periksa nanti " bu Ara berlalu kembali kekamar untuk membenarkan
seragam Ela. Aku hanya tersenyum manis, mengangguk untuk mengiyakan. Kursi di
sebelahku berderit ketika Altair beranjak.
"mudah-mudahan aku tak pernah lupa" katanya tanpa melihatku. Tepat, dia satu pemikiran
denganku. Aku kembali jadi kesal ketika dia ikut menakut-nakuti seperti halnya pertanyaan
bu Ara tadi. Aku menatapnya marah sekaligus tak kuasa mengelak jika hal itu terjadi padaku.
Dia kembali membungkuk menemukan bibirku "rasa kuah bakso".
Aku jadi ingin tertawa ketika dia mengatakan-nya. Kudengar sura Ela menggelagar
memanggil Altair untuk segera berangkat. Meloncat kepelukan Altair seperti anak lima tahun
padahal dia usianya beberapa tahun lebih tua. Aku mengira apa semua anak-anak menyukai
Altair ?, aku ingat ketika dia dulu pernah menemukan anak kecil menangis didepan tokoku
karena gulalinya jatuh dan dia berhasil memujuk anak itu sampai kami harus pulang
terlambat gara-gara itu. Sejenak aku melihat Altair dan Ela bukan dua manusia lain tapi
murni seperti keluarga sungguhan.
"kami berangkat dulu mbak" suara Ela mengejutkanku dari lamunan. Mengedipakan sebelah
mata hazelnya padaku.
"iy sayang, hati-hati ya" aku berdiri, mengecup dahi Ela. Mengusap sedikit kepalanya dan
sebelah tanganku berada dipingangg Altair.
Aku memperhatikan Ela masih dalam gendongan Altair ketika sampai di mobil. Melambai
riang dengan mulut terbuka memperlihat satu giginya yang belum tumbuh.

"Ela masih saja manja dengan Altair sampai sekarang" ucapibu Ara saat aku kembali
kedapur.
Duduk, kembali menyendok isi magkuk yang hampir habis. Aku melihat bu Ara sibuk
dengan pancinya yang melegak, sesekali mencicipi cairan yang disendoknya. Menutup
pancinya lalu bergerak duduk didepanku.
"ibu masak apa ?"
"manisan pepaya" dia mengaduk isi mangkuk didepan-nya "besok Altair ulang tahun dan itu
hadiah untuknya. Kamu tau nak ?, dia suka sekali manisan pepaya".
Aku mangut-mangut dengar penjelasan wanita itu. Dan aku tidak tau sama sekali prihal hari
lahir suamiku sendiri dan mengenai dia menyukai manisan pepaya. Bagaimana tidak, yang
aku tau selama ini memusuhinya dari awal lalu berbaikan dengan hal lebih buruk lagi adalah
aku tak pernah secara pasti apa saja yang benar-benar dia sukai atau tidaknya. Hanya
beberapa hal saja yang aku sadari darinya, selama ini aku hanya mementingkan diri sendiri
dan bermanja-manja.
"aku tak pernah membuatkan makanan kesukaan-nya bu" aku mendorong mangkuk dari
hadapanku "keberuntungan saja dia masih bertahan jadi suamiku". aku hanya pernah
memasak segelintir makanan yang dia sukai mungkin.
Bu Ara tersenyum lebar mendegar ucapanku, "setelah sekian lama akhirnya ibu bisa bicara
lepas denganmu sekarang" dia menyentuh tanganku "justru ibu yang tak pernah bisa percaya
kalau Altair bisa menikahimu". Menarik tangan-nya dariku.
"mengingat banyak hal yang terjadi diantara kita dan keadaan kami yang dapat kamu lihat,
sederhana. Satu minggu sebelum kalian manikah, ibu rasanya mau stres ketika dia
mengatakan mau menikah denganmu. Memang, dia bukan anak kandung ibu atau ada
hubungan darah tapi dia cukup lama bersama kami dan ibu sudah menjadikan dia anak ibu
sendiri" dia memainkan jempol pada punggung tangan-nya, "ibu mau melarangnya tapi
katanya kalian saling mencintai dan itu membuat kepala ibu semakin sakit padahal beberapa
bulan sebelumnya ibu masih dilanda ketakutan saat dia membawa uang banyak untuk operasi
Ela yang ibu tak tau dari mana dia dapatkan".
Aku tersenyum, berpura-pura terkesan dan malu-malu padahal aku sama sekali tidak. Karena
otak dibalik itu semua adalah aku. Tentu saja kejadian-nya berlangsung seperti itu.
"dia mengatakan mencintaiku sebelum hari-hari pernikahan kami" kataku sambil mengulum
senyum.
"tidak, dia mengakui mencintaimu beberapa tahun sebelumnya tapi ibu pikir tidak mungkin
dia sampai nekat mendekatimu"
Aku rasa tidak tersenyum lagi. Tapi segara aku pasang tampang biasa saja dan tersenyum
tipis. Beberapa tahun sebelumnya ?, apa dia sudah mengenalku lebih lama dari yang aku tahu
?cinta padaku ?!. aku berdehem "benarkah bu ?" tanyaku biasa saja tapi sangat penasaran.
"apa dia tidak pernah bercerita padamu ?"

"tidak, mungkin belum sempat" kataku tersendat. Sampai kapanpun tidak akan ada
penjelasan seperti itu dari mulutnya. Menurutku lebih kadalam arti menjatuhkan harga diri.
Dan aku juga tak yakin akan kebenaran-nya.
"mungkin itu nanti" katanya mengangguk, "dan ibu pikir mengenai kamu mencintai Altair itu
hanya akal-akalannya saja untuk menyakinkan ibu tapi dia bisa membuktikan-nya dengan
berhasil memperistrimu, ibu benar-benar tidak percaya kamu mau menerimanya dalam
keadaan seperti itu, seadanya. Juga pernikahan kalian yang ala kadarnya bisa berlangsung
bertahun-tahun".
Sekali lagi aku mangut-mangut mendengar pejelasan bu Ara, polos, menerima pujian
kesederhanaan padahal pada faktanya tidaklah sesederhana itu. Tapi sudahlah, aku anggap
saja kejadiannya berlangsung seperti perkiraan bu Ara.
Bu Ara memilih untuk pulang kerumahnya waktu hari mulai siang. Dia tak ingin terlalu lama
meninggalkan kebun cabe di belakang rumahnya kendatipun dia berpesan dengan Ela untuk
langsung pulang kerumah mereka setelah sekolah usai. Dia menyakikanku kalau dia akan
berkujung lain waktu juga berkali-kali mengingatkan aku untuk ke rumah sakit memeriksa
apa aku mengandung atau tidaknya. Pesan terakhir, kalau aku mau dia meminta tolong
memberikan manisan pepaya yang sudah dia tempatkan dalam jardi kulkas pada Altair besok.
"aku pastikan dia memakannya" yakinku pada bu Ara.
Aku menghabiskan waktu dirumah. Sehari merasakan jadi wanita yang bekerja seharian
penuh mengurus rumah, menyiram tanaman, memasak dan mencuci pakaian sendiri.
Melelahkan walau sehari saja, aku tak mengira bagaimana rasanya jadi wanita di luar sana
yang hanya menghabiskan hari-harinya hanya untuk mengerjakan seperti ini seumur hidup,
gila.
Sejenak aku merenung ketika mendapati kaus putih kesukaan Altair. Mengelusnya walaupun
masih basah membuat jantungku berdegup, mengusap perutku sendiri. Bagaimana jika benar
adanya sesuatu sedang tumbuh disana ?, sesuatu yang aku dapatkan dari pemilik kaus
ditanganku ini.
Buru-buru aku menyelesikan pekerjaanku. Aku tak perlu berasumsi terlalu banyak tentang
kehamilan. Mau apapun hasilnya nanti aku akan menerimanya, jika aku benar positif
mengandung aku akan melahirkan dan mengurusnya sepenuh hati. Itu juga akan jadi kabar
membahagiakan untuk suamiku.
Aku kecolongan, tertidur sampai pagi. Mungkin terlalu kelelahan karena tak biasa dengan
pekerjaan rumah. Aku melewatkan Altair pulang berkerja sampai dia pergi lagi, bahkan
sarapan sudah disediakan. Aku menepuk dahi atas kecerobohanku yang tidak bisa
menyerahkan manisan dari bu Ara tepat tengah malam tadi, ulang tahunnya. Dan sudah pasti
tak ada lagi kesempatan jadi orang pertama untuk mengucapkan selamat. Apa aku ini
memang tidak bisa jadi istri yang menyenangkan walau sehari saja ?. aku menghembus nafas
kasar.
Aku melihat isi lemari pendingin mendapati manisan dalam jar itu masih utuh adanya. Jadi
aku kira Altair tidak menyadari adanya manisan ini. setelah beberapa lama memandangi jar
itu hingga rasanya wajahku kedinginan aku dapat ide untuk mengirim pesan singkat saja pada

Altair, walau terlambat tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali. Aku kembali kekamar
mengambil ponselku, mengetik pesan tiga kata selamat ulang tahun sudah. Aku tak pandai
merangkai kata-kata aneh atau semacamnya. Tepat beberapa detik setelah menekan tombol
kirim terdengar dentingan nada ponsel dari lemari putih bagian luar pintu kamarku, aku
berlari kearah sana mencari tau dan ya aku dapat ponsel Altair, dia tak membawanya. Dan
sekali lagi aku harus menepuk dahi atas kekonyolan yang terjadi hari ini padaku.
Aku masih punya pilihan lain, membuat kue itu bukan ide buruk. Biasanya kue buatanku
lumayan bisa ditelan. Aku melirik seisi dapur dan tak ada satupun yang aku butuhkan disana,
akhirnya aku putuskan untuk pergi berbelanja. Aku memilih untuk pergi ke mini market yang
dekat dengan perternakanku, aku berniat setelahnya mengunjungi Altair sebentar. Aku ingin
bicara dan mungkin beberapa kecupan.
Sudah sangat siang saat aku pergi berbelanja dan sedikit kebingungan jenis bahan apa saja
yang aku butuhkan. Ketika tanganku hampir menjangkau kearah bungkusan tepung aku
tersadar ada yang sedang memperhatikanku dari pantulan tiang dilapis cermin sebelah kiriku.
Aku berbalik dengan cepat dan orang itu sudah beranjak tapi aku masih bisa melihat
tubuhnya dari belakang secara jelas. Seorang pria dalam setelan santai serba hitam, berpostur
atletis, kulit lengannya warna coklat dan rambut panjang lurus selehernya di ikat rapi.
Tindakannya terlalu membuatku penasaran, jika dia menatapku tanpa ada tujuan kenapa dia
harus pergi terburu-buru seperti pencuri tertangkap basah. Aku semakin yakin kalau orang itu
memang ada prihal denganku hei tunggu sapaku lantang dan dia tak berbalik bahkan
langkahnya semakin cepat. Langkahku mengikutinya hampir berlari dan berakhir terhenti
karena lantai basah. Aku menyusut terusan slik warna krem selutut yang sedikit lagi
menampakkan celana dalamku, untung saja aku masih bisa menjaga keseimbangan tubuhku
dan tidak jadi mencium lantai. Petugas kebersihan minimarket meneriakiku perhatikan
jalanmu nona, lantainya baru saja dipel kata pria berkepala botak itu mendekat kearahku.
Aku mengangkat tangan keudara dengan maksud aku baik saja. Dan sekarang aku kehilangan
orang itu sial gerutuku. Benar-benar hanya membuang-buang waktuku saja. Aku jadi lupa
apa yang harus aku beli tadi. Aku merasa ada yang menarik pergelangan tanganku aku
terpental kedinding dan dia berdiri beberapa senti didepanku.
kurang ajar aku maghantam dadanya dengan dua telapak tangan hingga dia terpental jauh
dariku. Marlen. entah berapa banyak kali aku bertemu dengannya di tempat perbelanjaan, apa
memang dia sengaja mengikutiku ?. aku berusaha untuk tidak memebuat keributaan dan
untung saja pengunjung disini tidak terlalu ramai dan ta ada yang melihat kami.
kau semakin kasar saja Nic Marlen kembali mendekat.
aku membencimu dan pernah hampir menginjak kepalamu karena kau pernah berniat
melecehkanku dan jangan sampai aku mengeluarkan kedua bola matamu karena hal yang
sama.
jangan salah paham Nic, aku menginginkanmu. Mengertilahkatanya dengan dahi berkerut.
tidak ada yang istimewa dariku, jangan bertingkah konyol. Bukannya kau bisa mendapatkan
banyak wanita yang cantik lantas kenapa kau masih saja mengangguku. Kau tau aku ini istri
orang lain, pahami itu aku mendengus. Aku bisa kena serangan jantung jika terus
berhadapan dengannya akibat terlalu banyak menahan amarah. Belum jera dengan makianku

sepertinya, terbukti aku kembali ditarik ke dinding dia menyentuh daguku sebelum aku
sempat mengelak.
jangan sentuh istriku bung
Aku rasa mataku membulat ketika suara mirip teriakan itu menghampiri kami. Sekali lagi aku
direnggut dan melesat kebelakang tubuhnya.
kau jangan kasar padanya Marlen hampir marah.
diam kau Marlen sergahku juga ketakutan ketika melihat punggung Altair.
jangan mengguruiku, dia milikku dan aku bisa melakukan apa yang suka padanya tutupnya,
marah tapi aku tau dia pasti tidak suka beradu kekuatan di depan umum layaknya orang
bodoh. Rasanya tenggorokan tercekat saat menyadari betapa marahnya dia, pada Marlen yang
paling membuat dia marah adalah aku pastinya. Ya tuhan jangan sampai dia mengira yang
tidak-tidak tentang ini. aku terpontang panting tak bisa menyeimbangi langkahnya dan
pergelangan tanganku rasanya sakit.
Altair panggilku mendesah. Tak ada respon dan berkali-kali aku memanggilnya dan
hasilnya sama.
berikan kunci mobil nyaperintahnya, tak akan berhasil jika aku melawan. Aku menuruti
apa yang dia minta dan melemparku di kursi penumpang. Aku bergidik melihat cengkraman
nya pada setir, untung saja bukan leherku yang ada di setir itu. Aku memejamkan mata
berharap punya kesempatan memberi tau kebenarannya, habis perkara. Dia masih bisa
berpura-pura bersikap tenang sebelum berakhir dirumah dan menarikku kekamar,
membantingku ke tempat tidur.
akhirnya aku tau kebenaran kenapa setiap permasalahan diantara kita selalu perceraian kata
utama yang keluar dari mulutmu, luar biasa sekali dia melompat naik ketempat tidur dengan
cepat menekan tubuhku menurutmu jelas pantas karena kalian berdua orang hebat dan kelas
atas, jelas jadi bumerang jika kamu jadi istriku yang tak lebih dari sekedar pengurus sapi dan
miskin tapi apa boleh buat kamu sudah jadi milikku dan lihat ini sebelah tangannya
merenggut gaun bagian dadaku sangat kasar hingga jadi seperti serpihan tisu sobek. Aku
menggeleng menangis.
dengarkan aku dulu, aku mohon kataku tercekik air mataku sendiri.
tak perlu repot menjelaskan katanya dengan seyuman geram ini setiap helai bagian
pakaian pada tubuhku tak ubahnya seperti sisa jahitan yang di sobek-sobek. sekarang lihat
betapa menjijikkan kamu harus berakhir pada manusia rendahan sepertiku, sayang sekali
kamu sudah jadi milikku dan tak bisa melawan, oh ya aku lupa kamu bisa bela diri coba
lakukan katanya sambil melepas gespernya.
Altair aku mohon dengarkan aku kata dari mulutku berakhir ketika dengan amarah dan
ego nya yang besar karena merasa direndahkan olehku. Untuk beberapa detik otakku masih
punya sisa untuk berpikir memerintahku untuk diam dan menyadari sedikit banyaknya aku
tetap bersalah di sini. Aku tak lagi berusaha memohon padanya tapi menutup mataku dan
menggigit bibir agar bungkam, membiarkan dia melampiaskan amarahnya dan melakukan

apa pun yang dia mau sampai tuntas. Aku hanya bisa bersyukur atas responku yang tak
menimbulkan makian dari mulutnya.
kenapa masih belum melawan heh ? geramnya yang semakin membuatku tak bisa berbuat
apa-apa. Se bisa mungkin aku melihatnya dan bicara terbata-bata bercampur desahan.
bukankah kamu ingin membuktikan kalau aku milikmu dan aku tidak bisa membantahnya,
sekarang sudah terjadi bahkan dari dulu".

Next to part 2

Anda mungkin juga menyukai