Anda di halaman 1dari 199

i

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena limpahan rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan novel yang bejudul "Cinta
Sang Brandal. Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada ibu Siti Nurbaya Panjaitan, S.Pd. yang
telah membimbing penulis dalam membuat novel ini.

Harapan penulis dengan resensi novel ini dapat lebih


bermanfaat untuk menambah ilmu tentang novel untuk
para pembaca. Semoga ke depannya yang telah penulis
buat dapat menambah dan memperbaiki isi dari novel
tersebut supaya dapat menjadi lebih baik lagi.

Dalam membuat novel ini, penulis menyadari masih


banyak kekurangan yang dibuat baik sengaja maupun
tidak sengaja. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan ini.

Akhir kata penulis berharap semoga novel dapat


menambah wawasan mengenai cara novel dan menjadi
inspirasi bagi pembaca

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................ii
SINOPSIS.................................................................................1
Dasar Cupu..............................................................................2
Cupu........................................................................................8
Mana Mungkin Jatuh Cinta...................................................15
Rencana................................................................................23
Rencana Berhasil...................................................................28
Perintah................................................................................33
Terjebak................................................................................37
Superhero.............................................................................43
Ulah Aan...............................................................................49
Nanti Jatuh Cinta...................................................................56
Tanda ~ Tanda.......................................................................64
Hubungan Yang Sah..............................................................71
Ada Aku.................................................................................78
Tanggung Jawab....................................................................84
Pacar Gue..............................................................................91
Janji Aan................................................................................98
Pernyataan Cinta Ayu............................................................98

iii
Baby Twin............................................................................105
Geng Motor........................................................................112
Cinta Sang Berandal (2).......................................................118
Babak Belur.........................................................................123
Gue Pasti Menang...............................................................131
Aku Milikmu (1)...................................................................138
Aku Milikmu (2)...................................................................145
Bagaimana Denganmu?......................................................153
Duo Bumil...........................................................................161
Berandal Insyaf...................................................................169
Sang Berandal Happy Ending..............................................176

iv
SINOPSIS

Kisah tentang anggota geng motor dan siswa korban


perundungan.Rencana yang disusun oleh Guntur
berantakan karena salah paham masyarakat, akhirnya
Guntur dan Alya terpaksa harus menikah.
Berhasilkah Guntur memenuhi permintaan Refan?
Bagaimana akhirnya hubungan Guntur dan Alya?

v
Dasar Cupu
"Aan, nih!"

Riko melempar kardus berisi ponsel terbaru. Aan


menerimanya sambil terkekeh. Ponsel dengan icon buah
tergigit keluaran terbaru dengan harga di atas dua puluh
jutaan berhasil Gundur terima karena menang taruhan
dari Riko.

Aan, bukan siswa kekurangan uang sampai tidak mampu


beli ponsel terbaru. Saat ini mereka berada di kantin
SMK Bina Bangsa, SMK swasta di Kalimantan dengan
biaya pendidikan bukan kaleng-kaleng. Bahkan ada
kalangan orangtua siswa terkadang berlomba-lomba
untuk memberikan dukungan fasilitas dan bantuan untuk
sekolah tersebut.

Orangtua Aan termasuk salah satu


donatur tetap sekolah, jadi masalah ponsel terbaru tadi
bukan sebuah pencapaian. Hanya sebagai hiburan saja.

"Ayo, kita mau dengar," ujar Riko didukung oleh antek-


anteknya.

"Lo yakin, mau lakuin di sini. Alif tuh cewek," bisik Jati
pada Aan.

"Emang gue ada bilang, Alif itu benc*ng?" Aan menatap


perempuan yang baru saja bergabung di kantin.
Perempuan itu bernama Alif, yang akhir-akhir ini selalu
menempel kepadanya seperti perangko.

vi
"Semangat ya, ponselnya kalau nggak kepake buat gue
aja," usul Kanta.

"Tuh lihat, nggak usah gue cari dia datang sendiri. Udah
kayak magnet nggak sih gue sama dia," canda

Aan.

"Hai sayang," sapa Alif yang ingin memeluk Aan tapi


tidak jadi karena pria itu mengangkat tangannya seakan
mengatakan "Jangan dekat!".

Alif tidak habis ide untuk dekat dengan Aan dan lengan
pria itu menjadi pilihan berikutnya. Alif memeluk lengan
Aan, membuat bagian depan tubuhnya menempel pada
pria itu.

"Gaes, perhatian sebentar," ujar Aan sambil


membunyikan gelas dengan sendok. "Ada yang mau gue
sampaikan buat lo-lo semua."

Alif tersenyum, dia menduga apa yang akan disampaikan


oleh Aan tentang dirinya. Entah itu Aan semakin serius
dengannya atauapalah. Yang penting, Aan menjadi
dunianya.

"Gue Aan dan lo semua pasti sudah kenal. Siapa yang


nggak kenal dengan gua. Di sebelah gue ada Alif dan
kalian semua juga udah kenal," tutur Aan. Alif masih
tersenyum mendengar penuturan pria yang masih dia
peluk. "Mulai saat ini, gue umumkan kalau gue dan Alif
tidak ada hubungan apapun."

vii
Seisi kantin bersorak karena pengumuman Aan tidak
penting.

"Hah, kok gitu. Maksudnya apa?" Alif melepaskan


pelukannya, heran dengan keputusan Aan.

"Putus ya putus, masa nggak ngerti. Gue, elo kita end.


Udahan. Selesai.N Tamat," tutur Aan lagi.

"Tapi kenapa? Sedangkan semalam kita habis enak-enak.


Lo lupa kalau semalam kita "

"Make love maksud lo. Justru karena itu kita udahan.


Urusan kita Cuma sampai berbagi peluh, terus gue
menang dan dapat ini." Aan menunjukan dus ponselnya
yang baru. "Sebenarnya gue bisa beli berlusin-lusin pake
duit gue sendiri, tapi rasanya beda dari gue menang
taruhan."

"Bang sat, jadi gue dijadiin taruhan."

Suasana kantin semakin riuh, karena perdebatan Alif dan


Aan. Riko bertepuk tangan melihat drama percintaan ala
Aan.

"Memang lo pikir gue beneran sukasama lo? Mimpi "

"Bro, udahlah," ujar Jati sambil menepuk bahu Aan.

"Tapi, gimana kalau gue hamil karena perbuatan lo


semalam," teriak Alif.

viii
Bukannya takut atau malu, Aan malah terbahak
mendengar kemungkinan yang disampaikan Alif. Kalau
dipikir hal itu mungkin saja, Alif hamil karena
pergulatannya dengan seorang pria.

"Kalau lo hamil, jelas itu bukan anak gue. Takut lo lupa


jadi gue ingetin lagi, semalam gue pake pengaman dan
minggu lalu lo masih jalan sama Dio anak A3. Dia
terkenal player dan nggak mungkin lo nggak macam-
macam sama dia.ON Sebelumnya juga lo jalan
sama ....""Cukup! Kalian banci. Gue pastiin lo bakal
terima karma dan pembalasan, meski itu bukan dari
gue."

"Ohh, takut," ejek Aan sambil berlaga ketakutan.

Alif menghentakan kakinya lalu beranjak dari kantin


disambut tawa oleh Aan dan teman-temannya.

"Gokil, emang lo kepa_rat banget dan teman terbej4t


yang pernah ada," ujar Aan.

"Aan, lo dipanggil ke ruang guru," ujar seorang siswa.

"Urusan apa?" tanya Aan.

Siswa yang menyampaikan pesan itu hanya


mengedikkan bahu lalu pergi. Entah karena takut pada
siswa palingbermasalah di sekolah itu atau memang ada
hal lain yang ingin dilakukan.
"Oke, gue cabut dulu."

ix
"Mau diusir kali, lo udah nggak layak jadi siswa sini,"
ejek Riko.

"Bac0t," teriak Aan.

Di sudut kantin, seorang siswa yang sosoknya seakan


tidak terlihat melihat semua kejadian itu. dia hanya
menggelengkan kepala menyaksikan betapa bobrok dan
rusak mental teman-temannya. Walaupun tidak bisa
dipukul rata bahwa semua siswa sekurang ajar mereka,
tapi yang dilakukan Aan, Riko dan teman yang
mendukung taruhan gila itu cukup mengkhawatirkan.

"Mana PR gue?" teriak Mona kekasih Riko pada Ayu.


"Ini," sahut Ayu sambil menyerahkan buku pada Mona.

Ayu, gadis itu bernama Ayu Kania. Siswi paling berbeda


dari siswi lainnya, mengenakan kacamata dan rambut
diikat ekor kuda. Selalu menyendiri dan menjadi korban
perundungan. Salah satunya oleh

"Awas aja kalau ternyata pada salah lagi," pekik Mona.


"Girls, kita balik ke kelas." Mona dan geng nya
meninggalkan kantin, setelah melambaikan tangan pada
Riko.

Ayu pun ikut meninggalkan kantin menuju auditorium.


Dia dihukum membersihkan auditorium karena datang
terlambat. Terlambatnya bukan karena Ayu malas bangun
pagi, dia datang tepat waktu tapi salah satu siswa
memaksanya untuk beli paket breakfast di salah satu
restoran fastfood yang letaknya satu blok dari sekolah.

x
Tidak punya teman dan selalu dimanfaatkan. Dua hal itu
sudah Ayu jalani selama dia bersekolah di SMK Bina
Bangsa. Berharap waktu cepat berlalu dan dia bisa
segera meninggalkan sekolah ini. Mungkin saja dia
pindah agar tidak lagi dapat perundungan, tapi Ayu tidak
ingin memberatkan orangtua. Pindah sekolah artinya
perlu biaya, sedangkan dia diterima di sekolah itu karena
beasiswa. Ada rasa sesal karena dia tidak memilih
sekolah negeri.

Ayu berlari menuju kelasnya karena bel tanda istirahat


berakhir sudah berbunyi. dia tidak ingin terlambat masuk
kelas, apa lagi ada ulangan harian. Fokus pada jalan,
tidak sengaja dia menabrak seseorang bahkan keduanya
sampai tersungkur.

"Woy, lo buta ya."

"Maaf." Ayu berdiri dan menunduk, tidak berani


menatap orang yang dia tabrak.

"Dasar cupu," teriak orang itu.

Ayu hanya diam.

"Aan, ayo ah. Nanti lo kena masalah lagi."


Ayu berani menaikan dagunya menatap siswa yang tadi
menghinanya, ketika orang itu sudah jauh.

"Kadang cupu lebih baik, dibandingkan tidak beradab,"


gumam

xi
Cupu
"Taruhannya berapa?" teriak Aan diantara gerungan
motor.

"Kayak biasa," jawab Jati.

"Oke, gue ikut."

"Motor lo pasti kalah, motor Aan baru dimodif lagi.


Malam ini nggak usah deh, kita nonton aja," usul Kanta.
Merasa motor Aan tertinggal jauh dengan kecepatan
motor Aan.

"Halah, pengecut amat. Kalah emang kenapa, minggir


sana," usir Aan pada Kanta.

Riko duduk di atas motornya sambil memeluk pinggang


Mona yang berdiri berhadapan dengannya.

"Woy, gue ikut," teriak Aan.

Riko menoleh lalu tertawa melihat motor Aan.

"Yakin?"

"yakinlah."

"Hm, gimana kalau taruhan kita ganti," usu Aan. "Duit


mah nggak asyik. Kalah pun lo nggak akan merasa rugi."

"Banyak ngoceh, apaan taruhannya?"

xii
"Kita pikirkan nanti."

Aan hanya mengedikkan bahu, selama tidak ada urusan


dengan keluarganya atau mendekati laki-laki dia nggak
masalah.

Apa yang dikhawatirkan Kanta pun terbukti, motor Aan


tidak dapat menandingi laju motor Riko.Padahal jarak
mereka tidak terlalu jauh. Sampai di garis finish, Riko
mendapatkan dukungan dari peserta geng motor yang
hadir.

Brak.

Aan melemparkan helmnya, ke depan Jati dan Kanta.

"Lo ngomong yang jelas dong, masalah di motor gue


apanya. Bukan cas cis cus nggak meyakinkan gitu, yang
ada gue kalah."

Riko mendekati Aan dan menepuk bahu pria itu.

"Nanti gue info apa yang harus lo lakuin karena kalah


dari gue. Tenang aja, tetep bikin lo enak kok. Gaes, cabut
dulu."

Ayu berlari menuju pagar sekolahnyasambil menenteng


plastik berisi makanan cepat saji. Lagi-lagi dia diminta
membeli sarapan dan tentu saja terlambat tiba di sekolah.

xiii
"Pak, tolong buka dong. Saya nggak telat, tas saya sudah
di dalam. Cuma beli ini untuk teman saya," bujuk Ayu
pada penjaga gerbang sekolah.

"Tidak bisa Neng, pulang aja sana. besok datang ajak


orang tuanya, aturan sekolah 'kan begitu."

Ayu berdecak pelan. Pulang nggak masalah untuknya,


tapi besok dia akan jadi bulan-bulanan dan dapat
hukuman lebih dari ini karena sarapan Mona masih ada
di tangannya. Mau tidak mau, Ayu berjalan memutar dan
mencoba naik pagar seperti yang dilakukan oleh siswa
yang terlambat.Dia sudah berada di atas pagar dan siap
loncat.

"Satu ... dua... ti - "

Bruk.

Pritttt

Ayu berhasil mendarat, begitu pula dengan siswa lainnya


tapi sudah ada Pak Beni yang meniup peluit.

"Kalian ini cocok jadi atlet lompat jauh, ayo ikut Bapak.
Kita buktikan kalian lulus seleksi atlet atau pecundang."

Masalah lagi, urusan dengan Mona aja belum kelar, batin


Ayu.

Semua yang terlambat diarahkan kumpul di auditorium.


Sudah banyak siswa di sana, Ayu akhirnya duduk di

xiv
salah satu kursi menunggupengarahan dan sanksi yang
harus diterima.

Bukan hanya Pak Beni yang bicara tapi kepala sekolah


juga. Karena urusan datang terlambat cukup menjadi
salah satu masalah yang dihadapi sekolah. Konyolnya
alasan keterlambatan siswa cukup klasik dan ada juga
yang di luar nalar.

"Aan, Jati, Kanta kalian lagi, sudah telat berisik pula,"


ujar kepala sekolah. "Kenapa kamu terlambat?"

"Saya nggak terlambat Pak, yang pencet belnya aja


kerajinan. Masa jam tujuh udah bunyi, iya nggak," ujar
Aan pada teman-temannya yang disambut setuju dengan
pendapat Aan.

Pak Beni menggelengkan kepalanya mendengar jawaban


Aan.

"Kamu Riko, apa lagi alasanmu. Jangan bilang, aturan


sekolah yang tidak memahami para murid,

" ungkap Pak Naryo -- kepala sekolah.

"Motor saya mogok, Pak."

"Mogok apa? Semangat kamu yang motor, motormu


keluaran terbaru. Kalau benar mogok, sudah habis itu
toko kamu timpuki," sahut Pak Beni lagi.

xv
Akhirnya semua siswa yang berada dalam ruangan itu
mendapatkan sanksi. Ayu kebagian mengepel UKS.
Sanksi itu tidak berlaku pada Aan dan Riko, kedua orang
ini sudah meninggalkan tugas tambahan yang diberikan
untuknya. Bukan ke kelas, mereka menuju taman
belakang sekolah."Hahhh." Aan merebahkan tubuhnya di
atas kursi taman.

Riko mengeluarkan bungkus rokok, lalu meng_hisap dan


menyelipkan diantara sela jarinya.

"Perasaan hidup kita begini aja ya, flat. Setiap pagi


dihukum, siang enak-enak sama pacar terus malam
ngetrack, mabuk, tidur dan terus begitu saja,: tutur Riko.
"Monoton," ujarnya lagi.

"Berisik, kalau mau ngoceh sana jangan di sini. gue


ngantuk."

Setelah menghabiskan satu batang rokok, Riko beranjak


meninggalkan Aan.

Sedangkan di tempat berbeda, Ayu baru selesai dengan


tugasnyaN berbarengan dengan jam istirahat. Bergegas
dia menuju kelas Mona."Makan sama lo," ujar Mona
sambil mengguyurkan soda ke wajah Ayu. "Gue minta
buat sarapan, kenapa baru sekarang lo anter."

"Saya udah beli tadi pagi, tapi saya dihukum karena


terlambat. Ini baru selesai..."

"Halah, alasan saja."

xvi
Riko menghampiri Mona dan melirik Ayu.
"Ada apa sih?" tanya Aan sambil menatap Ayu dari
rambut sampai kaki.

"Baiasa, ini si cupu cari gara-gara. Kemarin tugas gue


pada salah, sekarang suruh beli sarapan datang jam
segini.

Entah mengapa Aan tersenyummelihat Ayu yang


penampilannya berantakan. Rambutnya lepek karena
keringat waktu mengepel UKS. Wajahnya basah karena
disiram soda, juga kacamata membuat penampilan gadis
itu terlihat sangat tidak menarik.

"Ayu," ucap Aan lalu menatap Jati dan Kanta.

Riko mengusulkan kalau Aan harus mendekati Ayu,


untuk buat gadis itu jatuh cinta atau bisa mendapatkan
tubuhnya sebagai imbalan karena kalah dalam balap
motor tadi malam.

"Tampangnya kayak gimana? Kalau cantik nggak usah


entar-entar langsung gue lakuin di depan lo deh," cetus
Aan pada Riko. Tentu saja Riko tertawa membayangkan
penampilan Ayu, karena Aanbelum mengenal dan
melihat Ayu.

Jati dan kanta pun mencari tahu siswa bernama Ayu dan
mengajak Aan menemui gadis itu sepulang sekolah.

"Gimana?" tanya Aan yang menunggu di parkiran dan


duduk di atas motornya.

xvii
Jati dan Kanta saling tatap, mereka sudah bertemu Ayu
dan ragu menyampaikan pada Aan.

"Kenapa pada diem sih?"

"Ayu bukan tipe lo banget deh, mending minta bayaran


taruhan yang lain," usul Jati.

"Nggak bisa, gue nggak mau mohon-mohon ke Riko.


Dia pasti bakal minta gue aneh-aneh untukbatalin hasil
taruhan ini. Bawa aja anaknya ke sini," titah Aan.

"Dia masih di kelas. Di bully sama temen-temennya,"


sahut Kanta.

"Hahh, di bully?"

xviii
Mana Mungkin Jatuh Cinta
"Biar aku aja Bu." Ayu mengambil alih sapu dari tangan
ibunya.

"Kenapa lagi?" Ayu tidak menjawab. Walaupun tidak


bercerita, Ibunya tahu kalau Ayu selalu dirundung teman-
temannya. "Kamu diminta apa lagi?"

"Nggak ada Bu, aku dihukum karena tidak kerjakan


tugas," sahut Ayu berdusta. Tidak ingin menambah
pikiran Ibunya, dia hanya perlu menunggu dan bersabar
satu tahun lagi lalu lulus dan bekerja.

Keberadaaan Ayu di SMK Bina Bangsa, memang terlalu


kontras. Di saat teman-temannya diantar mobil mewah
bahkan dengan supir ataumembawa kendaraan sendiri,
Ayu datang dan pergi menggunakan angkutan umum.

Ketika para siswa menggunakan gadget keluaran terbaru


dan harga fantastis. Ayu hanya menggunakan ponsel
keluaran lama dengan memory sempit dan harus sering
dihapus isinya.

"Kamu mandi gih, udah sore."

Ayu meletakan sapu setelah memastikan lantai sudah


bersih. Dia hanya tinggal bersama ibunya, di rumah
kontrakan. Sehari-hari, Marni -- ibu Ayu -- berjualan kue
basah di pasar. Dengan keadaannya, Ayu tidak pernah
terpikir untuk main ke mall, kuliah di kampus pilihan
atau bergaya sesuai trend saat ini. Impiannya hanya ingin

xix
bekerja, tidak ingin lagi melihat Ibunya berjualan agar
bisamakan.

Sedangkan di tempat berbeda, di mana kondisi yang


sangat bertolak belakang dengan keadaan kehidupan
Ayu. Aan, pulang ke rumah melempar tasnya lalu
menghempaskan tubuh ke atas sofa.

"Bik," teriak Aan.

Seorang asisten rumah tangga, tergopoh-gopoh


menghampiri Aan.

"Den Aan mau makan?"

"Nggak," jawab Aan sambil fokus pada games online.


"Ada mobil Mami di depan, memang Mami pulang?"

"Iya Den."

"Hm, aku mau es ya Bik."Perempuan paruh baya yang


dipanggil Bibi bergegas ke dapur dan membuatkan es
yang diminta majikannya. Es jeruk selasih, minuman
favorit Aan jika berada di rumah.

"Yess," pekik Aan, dia berhasil menang lagi.

Terdengar langkah kaki dan suara tertawa, Aan menoleh.


Seorang wanita baru saja menuruni anak tangga bersama
seorang pemuda, terkejut melihat keberadaan Aan.

xx
"Sayang, kamu sudah pulang?" tanya Anggi -- Mami
Aan.

Aan menatap pemuda yang merangkul Maminya.


Orangtua Aan sudah berpisah, keduanya sama-sama
sibuk dan sukses di
usahanya tapi tidak dengan keluarga.

"Mami kalau mau aku pulang ke sini, jangan pernah


bawa laki-laki manapun ke rumah kecuali dia suami sah
Mami. Terserah Mami mau main gila dengan laki
manapun, tapi jangan di depanku dan jangan di rumah
yang aku tempati."

"Maaf sayang, Rico hanya temani Mami ambil berkas di


kamar."
"Mami pikir aku anak kecil yang nggaktahu apa yang
kalian lakukan di

kamar," teriak Aan. "Heh, gigol*.Terserah lo mau peras


nyokap guekayak gimana, tapi jangan berharapbisa
dapatkan semua hak gue,” tunjuk

Aan.

"Sudah, jangan ribut. Mami balik ke kantor, kamu baik-


baik ya sayang,"ujar Anggi pada putranya. "Uang saku
kamu, nanti Mami transfer ya."

Begitulah Aan, yang selalu mendapatkan kemewahan


dan kucuran dana baik dari Mami atau Papinya sebagai
pengganti ketidakhadiran mereka. Ada konsep yang

xxi
salah di sini, karena Aan bukan hanya butuh uang. Ada
yang hilang dari kebersamaan mereka membuat karakter
Aan begitu kua, dia tumbuh dan terbentuk dengan
sendirinya tanpa figur orang tua utuh dan keharmonisan
keluarga. 3

Papi Aan tidak jauh berbeda dengan Maminya, sibuk


dengan bisnisnya. Bedanya dia sudah menikah lagi, juga
ada istri muda yang mewarnai kehidupannya

"Anter gue ketemu Ayu," titah Aan pada Jati dan Kanta.

Padahal saat ini jam istirahat, biasanya mereka akan


habiskan waktu di kantin, taman belakang atau
auditorium.

"Lo jangan kaget ya," ujar Kanta lalu tertawa bersama


Jati.

"Kaget gimana maksud lo?" tanya Aan.

"Lihat saja nanti."

Ketiga cowok itu berjalan melewati koridor

"Aan!"

"Kak Aan, I love you!"

Teriakan dan panggilan dari para siswi penggemar Aan


sudah tidak aneh bagi Aan. Selain dikenalkarena terlibat
dengan geng motor bahkan sering bermasalah, tapi

xxii
penampilan Aan bukan kaleng-kaleng. Tubuhnya tinggi
rahangnya tegas dan wajah tampan ala-ala badboy.

"Kak Aan, mau temani aku ke perpus nggak?" tanya


seorang siswi dengan suara manja.

Aan menghentikan langkahnya lalu membelai pipi gadis


itu. "Gue nggak bisa, karena lo bukan tipe gue. Sorry
ya," ujar Aan.

"Tapi aku bisa kasih apa yang Kak Aan mau loh."

"Nah ini makin gue nggak suka. Lo murahan, lebih


berharga pelacur yang menjual diri daripada lo yang
menawarkan diri Cuma-Cuma. Cabut, titah Aan pada
kedua temannya.

"Kasian deh lo," ejek Jati pada cewek tadi.

"Ini kelasnya." Trio gabut itu sudah berada di depan


kelas Ayu.

"Eh, lo lihat Ayu?" tanya Kanta pada salah satu siswa.

"Ada di dalam."

Aan pun melangkah masih dan berdiri di tengah pintu


menyaksikan perundungan yang terjadi di kelas tersebut.

"Dia yang namanya Ayu, yang lake kaca mata," ujar Jati
pelan.

xxiii
"Gue bilang kerjakan juga yang fisika, lo budek apa
gimana sih?" Mona melemparkan bukunya ke wajah
Ayu.

"Awas kalau nggak selesai!"

"Eh Aan," sapa Mona yang berpapasan dengan Aan, tapi


Aan mengabaikannya. Dia sedang menatap gadis
bernama Ayu. Berkacamata dan kuncir rambut ekor
kuda, ditindas oleh teman-temannya.

"Kayaknya Aan udah nggak waras, apa istimewa sampai


gue harus buat perempuan itu jatuh cinta atau tidur
bareng dia," gumam Aan. 1

"Woi, cupu," panggil Aan pada Ayu.

Mereka bertatapan dan gadis itu mengernyitkan dahi


melihat salah satu siswa populer di sekolah sudah berdiri
tidak jauh darinya.

"Lo siapa sih? Kok bisa ada di sekolah ini?" tanya Aan
pada Ayu.Ayu tidak paham maksud pertanyaan Aan, dia
malah duduk dan mulai mengerjakan tugas Fisika milik
Mona.

Brak

Aan menggebrak meja Ayu, membuat gadis itu terkejut.

"Lo punya kuping dan mulut 'kan?"

xxiv
Ayu mengangguk.

"Berarti kuping lo denger pertanyaan gue dan mulut lo


harusnya jawab," teriak Aan.

"Tapi aku nggak ngerti maksud pertanyaan kamu."

"Pantes aja lo di bully, lo bolot sih. Gue tanya kenapa


bisa lo ada di sekolah ini, tampang lo bukan tampang
orang kaya.""Aku ikut jalur beasiswa, lagipula tidak ada
aturan kalau sekolah ini hanya untuk kalian para anak
sultan."

"Wah, dia berani ngoceh di depan Aan," cetus Jati.

"Tunggu aja, lo dalam pengawasan gue," tunjuk Aan.


"Ayo, cabut. Kita cari si bangk3 Riko."

Riko ada di kantin dan Mona berada di pangkuannya.

"Parah lo Men. Cari yang lainlah, mana ada gue


tertariknya sama tuh cewek. Bawaannya pengen ngegas
terus," keluh Aan.

Riko terbahak. "Bagus dong, kalau mau ngegas.


Langsung aja lo deketin, dapat dan selesai," ujar Riko.

"Nggak gitu juga, nggak yakin guebisa bergairh biar kata


dia polos."

"Jangan gitu lo, mana tahu besok-besok lo malah bucin,"


ejek Aan lagi.

xxv
"Nggak, nggak mungkin. Gue nggak akan jatuh cinta
sama perempuan tampang cupu kayak si Ayu," ucap Aan
dengan penuh keyakinan dan jumawa.

xxvi
Rencana
Aan tidak tertarik dengan Ayu. Alif yang wajahnya
blasteran dengan body aduhai saja, hanya dia
manfaatkan untuk taruhan. Nah ini Ayu. Nggak ada yang
enak dilihat di mata Aan dari seorang Ayu. Kacamata
yang membingkai wajahnya dan rambut dikuncir ekor
kuda, mirip dengan tokoh telenovela hanya kurang behel
gigi saja.

"Ada ya jaman sekarang, perempuan kayak dia," cetus


Aan.

'Ya adalah, lah itu si Ayu," sahut Riko lalu terbahak.

Mona beranjak dari pangkuan Riko, penasaran dengan


apa yang dibicarakan oleh Aan dan kekasihnya."Lagi
ngomongin siapa sih?" tanya Mona heran.

Aan dan Riko saling tatap dan Aan memberi kode


dengan matanya agar Riko tidak menyampaikan pada
Mona masalah Ayu.
"Betina nggak usah ikut campur, urus saja Riko biar dia
nggak buang lo." Aan melempar tisu ke wajah Mona.

"Awas aja kalau dia berani buang gue." Mona


menghempaskan rambutnya seperti model iklan shampo.

Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di kelas Ayu.

Gadis itu tidak bisa fokus menyelesaikan tugas milik


Monasetelah kedatangan Aan. Untuk apa seorang Aan

xxvii
menemuinya. Siswa populer dengan banyak masalah dan
kasus, tapi digandrungi oleh banyak perempuan.

Tidak jarang Ayu mendengar Aan dibicarakan dan


diinginkan oleh teman-temannya dan baru saja pria itu
mendatangi kelasnya bahkan berdiri dihadapannya.

"Dia pasti tersesat," gumam Ayu. "Tapi dia bicara


denganku. Apa tidak salah," gumam Ayu sambil
memposisikan kembali letak kacamata di wajahnya. 1

"Fokus Ayu, jangan sampai Mona semakin menindas


kamu."

Ayu kembali menatap buku pelajaran di depannya,


tanganya sudah memegang pulpen untuk
melanjutkanmengerjakan soal.

Tak.

Pulpen tadi kembali di simpan di atas meja dengan keras.

"Aan, dia benar Aan 'kan?" gumam Ayu lagi. "Tanggal


berapa sekarang, apa aku harus menjadikan tanggal hari
ini sebagai kebetulan atau keberuntungan. Siswa populer
di sekolah mengajakku bicara, walaupun agak berteriak.
Bukan ngobrol juga, tapi kayak marah-marah deh."

Aan dan kedua sohib yang selalu setia di kala musim


kemarau dan musim hujan, berada di base camp
tongkrongan mereka. Salah satu petak rumah kontrakan
milik orangtua Jati, memang digunakan oleh ketiganya

xxviii
untuk sekedar kumpul dantidak jarang mereka menginap
di sana.

"Gimana bisa gue buat si cupu jatuh cinta, kalau


tampangnya udah bikin gue senewen," keluh Aan yang
sudah berbaring di karpet memandang langit-langit
ruangan dengan tangan berada di bawah kepalanya.

Kanta duduk bersila sambil asyik dengan game di


ponselnya, sesekali berteriak dan memaki karena timnya
hampir kalah.

"Eh, gue ngomong sama lo!" teriak Aan sambil


melayangkan tendangan pada tubuh Kanta.

"Bentar, dikit lagi nih."

Jati datang membawa plastik gorengan dan tiga botol


minuman rasa buah."Jadi gimana rencana lo?" tanya Jati
yang sudah duduk.

"Ini tadi gue lagi omongin, tapi si kampret malah fokus


sama game

sampahnya."

Jati berdecak, karena Kanta asyik bermain game cacing.


Tentu saja dia menjadi bulan-bulanan Jati.

"Lo harus merujuk istilah alon-alon asal kelakon," tutur


Kanta. "Cinta datang karena terbiasa," tambahnya lagi.

xxix
"Maksud lo, bro?" Jati berteriak karena tidak sabar
dengan jawaban usulan Kanta yang mungkin hanya
dirinya sendiri yang mengerti akan maksudnya.

"Santai kayak di pantai, slow kayak di pulau. Kalau lo


merasa Ayu bukantipe lo dan lo malas deketin dia
bahkan makin jauh untuk buat dia jatuh cinta. Bisa jadi
Ayu juga gitu ke lo. Boleh aja para perempuan suka
sama lo, bahkan mau antri demi bisa ngobrol sama lo,
belum tentu Ayu begitu," tutur Kanta panjang kali lebar,
kemudian mengambil botol minum jatahnya.

"dan solusinya adalah ...." Aan bahkan sampai beranjak


duduk menunggu ide cemerlang dari Kanta.

"Pelan-pelan saja. Lo deketin dia pelan-pelan, cinta


datang karena terbiasa. Ayu bisa jadi cinta sama lo
karena kalian biasa bersama."

"Ogah, ngapain gue deketin dia pelan-pelan.

"Terus mau lo paksa? Ya nggakmungkin lah," sahut Jati,


karena ide Kanta ada benarnya.

"Tapi alasannya apa gue deketin si cupu."

Ketiga manusia itu akhirnya terdiam memikirkan ide


yang bisa digunakan Aan untuk dekat dengan Ayu.

"Tetangga gue tiap hari didatangi tukang kredit, ujar Jati.


"Maksud lo, jatuh cinta sama tukang kredit. Aan harus
kreditin barang ke Ayu?" tanya Kanta.

xxx
"Bukan gitu. Kita buat Ayu punya hutang dengan Aan
tapi bukan dengan cara Aan jualan. Lo dengar 'kan Ayu
masuk sekolah kita karena jalur beasiswa?"

Aan dan Kanta mendengarkan sambil manggut-


manggut."Penampilannya juga katro, fix lah dia bukan
anak dari keluarga berada. Jadi kita buat dia berhutang
ke Aan, dia nggak bisa bayar terus Aan manfaatin dia.
Kalian ketemu setiap hari, lalu...." Jati membuat tanda
hati dengan kedua tangannya. "Dia lope-lope sama lo,"
cetus Jati ke arah Aan.

"Nah, cara buat dia punya hutang ke gue itu apa?" tanya
Aan frustasi, karena dua temannya memberikan ide yang
tidak lengkap.

"Kayak di novel sebelah aja. Pemeran utama wanita,


nggak sengaja ngerusak mobil mewah si pria. Nggak
bisa ganti, terus drama sampai dua ratus episode," tutur
Kanta.

AT "Gua adanya motor," sahut Aan."Lah motor lo yang


baru harganya mahal pea. Harga satu ban aja, jutaan.
Belum lagi sparepart lainnya."

"Ah, iya ya. Lo berdua atur deh, yang penting si cupu


terjebak dan dia nggak bisa ganti rugi. Setelah itu gue
yang urus," ujar Aan sambil mengerlingkan matanya.

xxxi
Rencana Berhasil
Aan menyerah kunci motornya pada Jati dan Kanta.
"Hati-hati, mahal tuh. Jangan sampai rusak beneran,"
ujar Aan.

"Sip!" sahut Jati. Bersama Kanta dia akan membuat


situasi dan drama penjebakan Ayu. "Gue ngerasa kita
udah kayak sutradara aja, apa emang kita berbakat ya,"
seru Jati. Kanta melirik Jati sambil mendengus pelan.

"Berbakat apaan? Menjebak orang sih berbakat. Lo jago


basket, mahir komputer, ahli beladiri itu baru berbakat.
Menjebak orang sama aja kejahatan, mungkin masuk ke
dalam perbuatan keji dan munkar," tutur
Kanta.Keduanya menunggu kedatangan Ayu. Setelah
mengawasi gadis itu beberapa hari ini, keduanya tahu
kalau Ayu biasa diminta membeli sarapan untuk Mona
dan teman se frekuensinya.

"Akhirnya datang juga," seru Jati.

Benar saja, Ayu berjalan cepat karena sebentar lagi bel


tanda mulai pelajaran akan berbunyi. Ayu melewati
parkiran motor untuk cepat sampai kelas Mona dan
motor Aan sudah dipindahkan agar mepet dengan jalan
yang dilalui para siswa.

"Woy cepetan lo," seru Jati pada siswa yang berjalan


pelan.

xxxii
Ketika Ayu semakin dekat, Kanta sudah bersembunyi di
balik tembok pembatas parkiran. Tepat saat Ayulewat,
Kanta melemparkan mainan ular karet ke arah gadis itu.

Ayu menjerit karena terkejut dan takut, dia menduga itu


ular asli bahkan sempat berjalan mundur lalu
menyenggol motor Aan. Tepat sasaran dan

Krak.

Ada bagian motor yang terjatuh karena senggolan tubuh


Ayu.

"Wah parah, lo apain nih motor," ujar Jati yang sudah


berjongkok memungut bagian yang lepas dan berpura-
pura memasang bagian itu tapi tidak berhasil.

"Maaf, aku tidak sengaja," ujar Ayu lirih.

"lya, tapi lihat nih ...." tunjuk Jati pada motor Aan.Aan
dan Kanta kemudian muncul dan keduanya berlagak
terkejut.

"Ini motor kesayangan gue kenapa?" Aan mendorong


agar Jati menjauh dan memegang bustep motor yang
memang bukan bagian dari motornya.

"Ni cewek yang nyenggol terus patah," jelas Jati.

"Hahh." Aan berdiri dan berhadapan dengan Ayu yang


tidak serba salah, merasa bersalah karena merusak motor
itu juga plastik berisi sarapan untuk Mona sudah jatuh ke

xxxiii
tanah. Isinya sudah pasti berantakan. "Ck, lo lagi," cetus
Aan.

"Lo tahu harga sparepart ini berapa?" Ayu hanya


menggelenggkanON kepalanya."Kurang lebih tujuh
juta," pekik Aan.

Kanta hampir saja terbahak. Bustep motor matic entah


milik siapa, disebut Aan seharga tujuh juta. Iya kali
dilapisi emas.

"Hahh, mahal banget," gumam Ayu tapi didengar oleh


trio somplak.

"Ya jelas mahal dong, barang milik Aan nggak ada yang
murahan," ujar Aan sambil menepuk dadanya.

"Maaf aku nggak sengaja, semoga cepat bisa diperbaiki."


Ayu akan pergi, tapi ditahan oleh Aan dengan
merentangkan tangannya membuat Ayu tidak bisa lewat.

"Ada apa ini?" tanya guru piket yang menyaksikan


interaksi mereka saat menuju pintu gerbang dan mendata
siapa yang terlambat datang."Nggak ada Pak, ini motor
ngalangin jalan. Mau kita pindahkan," seru Aan dan Pak
Guru itu akhirnya berlalu.

"Lo nggak bisa pergi gitu aja, tanggung jawab dong,"


bentak Aan.

"lya, lo pikir ini motor nenek moyang lo," tambah Kanta


semakin membuat Ayu bingung.

xxxiv
"Emang zaman nenek moyang kita sudah ada motor
beginian," canda Jati yang langsung mendapat tendangan
dari Aan.

"Tanggung jawab gimana, saya nggak ngerti masalah


otomotif. Dari pada saya salah pasang, lebih baik dibawa
ke bengkel," usul Ayu. Jati dan Kanta langsung
mengiyakan jawaban Ayu."Jelas gue bakal bawa ke
bengkel, tapi lo harus tanggung jawab. Lo yang harus
tanggung biayanya, ini rusak karena lo 'kan?"

"Kok gitu," jawab Ayu.

"Ya memang gitu, masa gini," sahut Aan yang mulai


emosi berhadapan dengan gadis cupu di hadapannya.

"Tapi, aku ... tidak punya uang."

Gotcha. Tentu saja ini yang dinantikan Aan dan kedua


teman somplaknya.

"Eh ini mahal loh dan ini nggak main-main."


"Iya aku paham, tapi aku tidak ada uang sejumlah itu.
Tujuh juta, mungkin itu biaya hidupku dan Ibu beberapa
bulan ke depan," ujar Ayu lirih sambil memperbaiki letak
kaca matanya.

Aan memandang Ayu dari rambut sampai kaki, lalu


melangkah membuat posisi mereka begitu dekat.

"Kamu mau apa?" tanya Ayu yang melangkah mundur.

xxxv
"Nggak usah kegeeran, jangan mikir kalau gue mau
nyium lo. Karena lo nggak bisa ganti rugi, lo harus bayar
dengan cara lain," tutur Aan.

Mendengar cara lain yang diucapkan Aan membuat Ayu


berpikir kalau laki-laki itu akan melakukan hal yang
buruk dan aneh. Dia segera menyilangkan tangan di
depan dadanya.

"Kamu jangan macam-macam, aku bisa teriak!"

"Hahh!" pekik ketiga trio somplak.

"Lo pikir gue mau ngapain? Walaupun gue sentuh


perempuan, ya lihat-lihat dulu kaleee. Nggak mungkin
modelan kayak lo, bikin gue tegang," seru Aan. "Jelasin
dah, dia harus ngapain aja," titah Aan pada Jati dan
Kanta.

Ayu mendengarkan kompensasi karena dia tidak bisa


membayar ganti rugi dan hanya bisa pasrah mengikuti
perintah Aan.
Ya Tuhan, kenapa bisa kamu ciptakan makhluk seperti
ini. Ganteng tapi kejam, batin Ayu.

"Ganteng-ganteng kejam," gumam Ayu.

"Lo bilang apa?""Nggak," sahut Ayu sambil


menggelengkan kepalanya, kemudian meninggalkan
TKP karena bel sudah berbunyi.

Aan, Jati dan Kanta terbahak bersama.

xxxvi
Perintah
"Ah lama banget sih. Kemana itu cewek cupu."

Aan menunggu Ayu di pojok kantin. Sampai kantin


mulai sepi karena waktu istirahat hampir habis dan gadis
itu belum menunjukkan batang hidungnya. Kalau bukan
karena taruhan si4lan itu, Aan tidak mungkin berada di
sini menunggu si gadis cupu. Bahkan dia bisa
mendapatkan pick me girl di geng-nya Mona atau siswi
yang sering berteriak memanggil namanya.

Kenyataannya Aan masih setia menunggu kedatangan


Ayu. Jati dan Kanta sedang asyik menggoda adik kelas
yang kelihatan manis dan polos. Bukan bermaksud jahat
atau punya ide kotor di pikiran mereka, tapi hanya
sekedar iseng menyapa.

"Dalam lima menit nggak ada juga, gue acak-acak


kelasnya," gumam Aan.

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Ayu menatap


sekeliling kantin untuk menemukan sosok Aan.

"Kelas lo sama kantin masih satu negara bukan sih?"


tanya Aan dengan asal karena kesal menunggu terlalu
lama.

"Tau dah, Aan sampe dilalerin gitu nungguin lo," ejek


Jati.

xxxvii
"Bangk3, nggak gitu juga. Lo pikir gue ikan asin tanpa
formalin pake dilalerin," sahut Aan lalu menggerakan
jarinya sebagai perintah agar Ayu mendekat.

"Maaf, aku ada tugas yang belum selesai. Jadi ...."

"Lo harus ketemu gua juga sebuah tugas dan gue nggak
main-main," pekik Aan.

"Aku juga nggak pernah main." Ayu bergumam, tapi


masih bisa didengar oleh ketiga orang di hadapannya.

Kalau bukan karena tidak sengaja menyentuh motor pria


itu, dia tidak akan berakhir seperti sekarang. Padahal
urusan dengan Mona dan teman-temannya juga belum
beres. Sarapan perempuan itu yang harus berakhir di
tong sampah karena insiden motor Aan dan Mona

murka.

"Sekarang dengerin!" titah Aan yang bersedekap. Bel


istirahat berakhir pun terdengar, kantin mulai
ditinggalkan. Namun, keberadaan Ayu yang duduk satu
meja dengan Aan tentu saja menjadi perhatian para
penggemar Aan.
"Iya aku dengar."

"Mulai besok, setiap jam istirahat lo harus belikan gue


makanan sesuai request. Jangan khawatir, gue kasih
uangnya lo Cuma beliin doang."

xxxviii
Aan menggeser posisi duduknya lalu mengambil dompet
dari kantong celana dan mengeluarkan beberapa lembar
uang merah dan meletakan di depan Ayu. "Kalau sudah
habis lo ngomong lagi sama gue, karena gue mau
makanan yang layak."

Ayu tidak menjawab dan tidak mengangguk, tentu saja


ini membuat tiga trio kwek-kwek merasa aneh.
Sebenarnya Ayu paham atau tidak dengan perintah
Aan."Eh jawab dong, jangan kayak ayam kebingungan,"
seru Jati.

"Tugas lain ...." Aan menjeda kalimatnya sambil


mengusap dagu. "Lo harus kerjakan semua tugas
pelajaran gue. Untuk yang ini bisa lo ambil pas pulang
aja," titahnya lagi.

Ayu menghela nafasnya dan menatap Aan sambil


mengerucutkan bibirnya.

"Ngerti nggak?"

"Aku ngerti, tapi nggak bisa. Mona dan teman-temannya


juga minta dibelikan sarapan bergantian dan tugas-tugas
Mona itu sudah mutlak aku kerjakan. Ditambah dengan
permintaan kamu, aku nggak akan sanggup untuk
mengerjakan karena aku juga harus pikirkan tugas
milikku."

"Halah, banyak bac0t loh," pekik Aan lagi dan saat ini
sudah bersiap meninggalkan kantin.

xxxix
"Tapi itu memang kenyataannya dan juga aku harus
sampai kapan mengerjakan apa yang kamu
perintahkan?" Ayu bertanya dengan suara lirih, takut jika
Aan emosi dan kembali menggelegar.

"Sampai ... lunaslah. Gue yang berhak bilang kapan


sudah lunas," sahut Aan dan rasanya ingin terbahak.
"Ponsel lo pantengin, jangan sampai pesan dari gue
nggak lo gubris. Urusan Mona gampang, siapa juga
berani saingan sama gue," tutur Aan lalu meninggalkan
Ayu.

"Ck, keluar kandang sapi masuk kandang beruang,"


gumam gadis itu.

xl
Terjebak
"Udah? Ayo," ajak Kanta ketika melihat Jati.

"Belum, tapi mules gue udah hilang. Ternyata toilet


pojok yang katanya angker beneran angker," ungkap Jati
sambil memakai helmnya.

"Angker, gimana?"

"Ada suara-suara gitu dari toilet cewek."


"Perasaan lo doang kali. Hobi nonton film mafia, tapi
denger suara aja ketakutan," ejek Kanta.

"Eh iya, tadi Aan belum ketemu Ayu ya?"

"Belum, udah cepet naik," titah Kanta yang sudah duduk


ganteng di atas motor.

"Nanti dulu bro, tadi gue dengar cewek-cewek bilang


nggak bakalan ada yang nemuin Ayu dan kemungkinan
besok dia bakal ditemukan. Maksudnya apa ya?"

"Mana gue tahu, kenapa nggak lo tanya sama yang


ngomong masalah itu," seru Kanta.

"Gue kasih tahu Aan aja deh," usul Jati.

Sedangkan di toilet tempat Ayu berada. Dia sudah lelah


menggedor pintu karena usahanya sia-sia sebab
penghuni sekolah tentu saja sudah pulang. Ayu
membersihkan lantai lalu mengalasi dengan lembaran

xli
kertas dari buku tulisnya. Duduk bersandar pada dinding
toilet, berharap ada yang datang dan mengecek kondisi
di dalam.

Gadis itu memandang ponselnya yang sudah mati karena


kehabisan daya, bahkan dia tidak membawa charger.

"Sebelumnya ada Geng Mona yang sering buat aku


susah, tapi kali ini Aan bukan hanya sekedar bikin susah
tapi juga membahayakan," gumam Ayu. Terdengar bunyi
perutnya yang lapar dan haus. Dia juga memikirkan
ibunya yang sudah tentu khawatir karena sampai
sekarang belum juga pulang.

"Ya Tuhan, kirimkan pahlawanmu. Tolong aku," ujar


Ayu lirih.

"Nanti malam pada mau balap di lokasi baru," ujar Riko.

Aan yang mendengar info tersebut belum komentar


apapun. Saat ini dia dengan Aan sedang Bersama
anggota geng motor lainnya,berkumpul di tempat biasa.
Lapangan dengan taman kota, yang dekat dengan
kawasan penduduk.

Aan melirik jam tangannya sudah hampir jam delapan


malam, sebentar lagi geng motor itu akan bergerak
menuju lokasi yang Riko maksud.

"Mau nggak?"

xlii
"Nggak, gue off dulu balap liar bareng kalian. kekalahan
kemarin aja belum gue tuntasin," jawab Aan menolak
permintaan Riko.

"Halah, lemah."

"Terserah. Perasaan gue lagi nggak enak, kalau dipaksain


khawatir ada sesuatu yang nggak pernah kita duga," tutur
Aan lalu menghidupkan mesin motornya bahkan
memasang helm di kepala.

"Mau ke mana?" tanya Riko.

"Balik. Lagi nggak mood gue ikut yang beginian."

Aan menggerakan motornya meninggalkan tempat itu


dan pulang ke rumah. Jati dan Kanta yang absen
kegiatan geng motor malam ini, ikut berpengaruh dengan
moodnya. Sampai di rumah, Aan mengecek ponselnya.
Bahkan dia masih berdiri di beranda rumah ketika
membaca pesan dari Jati.

[Tadi gue dengar cewek-cewek bilang nggak akan ada


yang nemuin Ayu.Paling besok. Lo bisa hubungi Ayu.
Takutnya dia diumpetin atau masih ketiduran di kelas]

Aan menghubungi nomor Ayu tapi tidak aktif. Sepulang


sekolah pun gadis itu tidak menemuinya, padahal
menjawab iya ketika dirinya memberikan beberapa
perintah.

xliii
"Jati nggak ngot4k amat sih, kenapa nggak dia cek dari
tadi." Aan kembali menaiki motornya untuk

kembali ke sekolah.

Entah apa yang membuatnya begitu khawatir kalau yang


dimaksud Jati adalah Ayu terkunci salah satu ruangan di
sekolah. Dengan caranya mengendarai motor kecepatan
kencang tentu saja membuat dia cepat sampai di tujuan.

"Loh, ngapain kamu malam-malam ke sekolah?" tanya


bagian keamanan.

"Buka pak, kayaknya temen saya terkunci di salah satu


ruangan," ujar Aan.

Setelah memarkir motornya, salah satu penjaga


keamanan mengekor langkah Aan memasuki area
sekolah.

"Terkunci di mana?"

"Nah itu yang saya nggak tahu. Memang nggak ada


pengecekan ruangan setelah siswa pulang?" tanya Aan
sambil melongok ke dalam ruang kelas yang dia lewati.

"Ada, tapi kayaknya formalitas doang."

Dengan cara mendatangi ruangan satu persatu, akan


menghabiskan waktu dan tenaga. Apalagi sekolahnya
cukup luas.

xliv
"Heh, maksudnya gimana? Gue udah di sekolah nih,"
seru Aan ketika menghubungi Jati.

"Gue Cuma denger cewek-cewek ngomongin Ayu."

"Ck, nggak ada clue lain?"

"Sempat bilang toilet gitu, yang jauh dari ruang guru.


Perasaan gue semua toilet siswa memang jauh dari ruang
guru ya," sahut Jati di ujung telpon.

Aan mengakhiri panggilannya lalu bertanya pada


penjaga keamanan letak toilet siswa. Bergegas dia
menuju arah pertama, tapi nihil. Yang kedua pun sama,
tidak ada Ayu bahkan pintu toilet tidak terkunci.

"Hoax kali, mungkin aja Cuma informasi iseng."

Aan mengernyitkan dahinya, lalu menuju lokasi ketiga.


Toilet di ujung koridor dekat lapangan basket. Benar
saja, pintu toilet tertutup dan ... terkunci.

"Pegang kuncinya?" tanya Aan.

"Nggak."

Aan memukul pintu dan berteriak.

"Ayu, lo di dalam?"

Kembali menggedor pintu dan....

xlv
"lya, tolong aku."

"Hah. Beneran ada orang," seru petugas keamanan.

"Gue dobrak aja," usul Aan. "Lo mundur, gue mau


dobrak pintunya!" teriak Aan lagi.

Hentakan ketiga, akhirnya pintu pun berhasil dibuka


paksa.

"Ayu ...."

"Aan. Sumpah aku terkunci di sini, bukan tidak mau


penuhi permintaan kamu," ungkap Ayu lirih.

Aan menatap lantai di mana berserakan kertas yang tadi


dijadikan Ayu alas duduk. Lalu beralih pada penampilan
Ayu yang kusut dan lelah.

"Ikut gue, kita pulang."

"Loh, ini pintunya gimana?" tanya petugas keamanan.

"Urus sama lo."

xlvi
Superhero
"Emang lo nggak bisa teriak?" tanya Aan saat keduanya
sudah berdiri dekat motor miliknya.

"Aku sudah teriak-teriak, tapi nggak ada yang dengar.


Kayaknya udah pada pulang. Sudah sore waktu dibawa
ke sana," sahut Ayu.

Aan tidak habis pikir kalau dia tidak datang, apa Ayu
akan tidur di toilet itu dan tidak makan. Bagaimana
kondisinya sampai besok ketika ditemukan, tapi untuk
apa juga dia memikirkan hal itu. Bukannya Aan sedang
memanfaatkan kedekatan agar Ayu menyukainya dan
momen ini tentu saja akan membekas dihati Ayu. Aan
akan dianggap sebagai superhero yang sudah
menyelamatkannya.Aan hampir saja tersenyum
membayangkan Ayu yang memeluk atau bahkan
menciumnya karena sudah menjadi pahlawan di
hidupnya. Namun, saat menatap wajah Ayu yang kusut
dan rambut berantakan bahkan kacamatanya... Aan
malah bergidik membayangkan dipeluk oleh gadis itu.

"Kayak nggak ada perempuan lain aja," gumam Aan dan


sudah berada di atas motor. "Naik!" titah pria itu pada
Ayu.

"Gimana naiknya?"

"Owh loncat aja."

"Kok loncat sih, motor kamu tinggi banget," keluh Ayu.

xlvii
"Pake cara normal orang naik motor aja, cupu. Lo nggak
pernah dibonceng motor?"

"Pernah, tapi bukan motor kayak gini."

"Udah cepet naik atau gue tinggal."

Ayu pun berhasil duduk di belakang tubuh Aan, sesuai


arahan dari pria itu. Namun, duduknya tidak nyaman
karena rok yang dikenakan semakin naik
memperlihatkan kedua paha putih dan mulus.

"Ck, ribet bener nih cewek," seru Aan lalu melepas


jaketnya dan memberikan pada Ayu. "Tuh, tutupin aset
lo."

Motor Pun melaju meninggalkan area sekolah. Dalam


perjalanan, Ayu bersyukur akhirnya bisa pulang. Ibunya
pasti khawatir karena dia belum juga pulang dan tidak
bisa dihubungi.

"Ke mana lagi?" tanya Aan agak berteriak karena


mengenakan helm.

"Di depan belok kiri," jawab Ayu sambil menunjuk arah


dan dia tidak ingin diantar sampai rumah. Tempat
tinggalnya terlalu kontras dengan kehadiran Aan juga
motornya. Ayu tinggal di perkampungan dengan tingkat
ekonomi menengah ke bawah. Walaupun bukan area
padat penduduk, tapi ini sudah cukup malam dan deru
motor Aan akan mengganggu para tetangganya.

xlviii
"Di sini saja," pinta Ayu sambil menepuk bahu Aan agar
menepi. "Terima kasih," ujar Ayu sambil mengembalikan
jacket milik Aan.

"Makasih untuk apa?"

"Terima kasih karena sudah menolongku dan


mengantarkan aku pulang."

"Hm," sahut Aan sambil memakai lagi jaketnya.

"Tapi... jangan tambahkan masa hukumanku karena


kejadian ini ya," pinta Ayu sambil menunduk.

"Aishh, seharusnya aku dapat sesuatu ini malah kamu


minta sesuatu. Besok pagi temuin gue di tempat biasa!"

Ayu memandang Aan yang perlahan menjauh begitupun


deru mesin motor yang semakin lama tidak
terdengar.Ayu meletakan tasnya lalu mengeluarkan
ponsel yang sejak tadi terasa bergetar.

"Ya ampun, apa dia sudah datang? Tumben amat nggak


terlambat," gumam Ayu kemudian bergegas keluar kelas.

Saat berjalan di koridor, Ayu berpapasan dengan tiga


cewek yang kemarin menjahilinya. Ketiga cewek itu
terkejut, bahkan salah satu bertanya untuk memastikan
sesuatu.

"Lo masih hidup?"

xlix
"Memang ada yang dikurung di wc terus mati?" tanya
Ayu.

"Ya mungkin saja, kalau nggak bisa ditemukan," sahut


yang lainnya.

"Ini sekolah elite, ada banyak cctv kalau kalian lupa. Ada
yang melihat kelakuan kalian, walaupun aku sampai mati
di sana kalian tidak akan bisa bebas macam sekarang,"
tutur Ayu. Entah keberanian dari mana dia bisa
mengatakan hal itu.

"Eh cupu, kalau sampai sekolah tahu kalau kita bertiga


udah ngurung lo. Balasannya akan lebih kejam dari yang
kemarin," ancam salah satu cewek bahkan sambil
menunjuk bahu Ayu dengan jarinya yang lentik.
"Permintaan kita Cuma satu, jauhin Aan. Karena lo
nggak pantes, bahkan lo jadi kacungnya pun kita

nggak rela."

Ayu hanya menghela nafasnya setelah ketiga cewek tadi


berlalu.

"Kenapa sekarang banyak remaja yang sakit ... jiwa."

Aan sudah nangkring di atas motornya dan dua


sahabatnya pun ada pula tidak jauh dari pria itu. Ayu
bergegas menghampiri.

"Ayu, jadi bener lo semalam terkunci?" taya Jati.

l
Gadis itu mengangguk kan kepalanya.

"Di toilet mana?" Kanta pun ikut bertanya, tapi dijawab


oleh Aan sekaligus menceritakan kronologi kejadian dia
menemukan Ayu. Tentu saja agar terlihat keren di mata
gadis cupu.

"Hah, apa jangan-jangan suara pintu itu lo ya? Gue kabur


waktu lewat dan dengar suara dari toilet itu," ujar Jati
lirih.

"Heran gue, kenapa betah temenan sama lo. Memang


pikir itu bunyi apaan?" tanya Aan dengan gemas bahkan
dia melepaskan sepatunya dan dilempar ke arah Jati.

"Gue kira setan," jawab Jati melempar balik sepatu Aan.

Aan menggelengkan kepalanya. "Sini lo!" titah Aan pada


Ayu. Posisi Ayu kini hanya dua langkah dari Aan. "Siapa
pelakunya?"

Mengingat ancaman ketiga pelaku tadi, nyali Ayu pun


ciut. Pertanyaan Aan pun tidak dijawab. "Cukup aku saja
yang tahu siapa mereka, aku tidak ingin nantinya mereka
akan lebih jahat lagi karena aku melaporkan kejadian
ini," tutur Ayu.

"Ini yang bikin lo makin dibully, karena lo lemah. Kalau


lo berani, nggak bakal ada yang menindas." Jati dan
Kanta setuju dengan pendapat Aan.

li
"Kalau aku berani, kamu juga nggak bisa memanfaatkan
aku ya," tutur Ayu lalu menutup mulutnya dengan kedua
tangan.

"Berani lo ke gue?" tanya Aan.

Ayu menggelengkan kepala. Jati terbahak karena Aan


kemakan omongannya sendiri.

"Udahlah percuma ngomong sama lo. Nih kerjain tugas


punya gue, jangan sampai salah," titah Aan sambil
menyerahkan dua buku tugasnya.

Ayu baru akan membuka mulutnya, tapi di sela oleh Aan.


"Nggak usah protes. Lo boleh berani ke yang lain, tapi
ke gue nggak boleh."

"Mana bisa gitu?"

"Bisalah. Ayo cabut," ajak Aan pada Jati dan Kanta.

lii
Ulah Aan
Ayu menuju kantin di mana Aan sudah menunggunya.
Suasana kantin cukup ramai dan seperti biasa, Aan
menjadi pusat perhatian. Bahkan bukan satu dua siswi
yang mendekati dan menawarkan makanan.

Saat Ayu berdiri tepat di depan Aan, suasana kantin agak


hening karena Ayu menjadi pusat perhatian. Mereka
menduga Ayu akan menjadi bulan-bulanan Aan atau
bahkan dirundung seperti biasanya.

"Duduk!" titah Aan yang masih fokus pada gadgetnya.

Jati dan Kanta ada di sana, tapi berada di meja lain.


Tepatnya sedang menggoda siswi yang sedang makan.

Ayu duduk dan menunggu Aan bicara.

"Ngapain si cupu di situ?""Tau, kepedean banget."

"Lagi dihukum kali, bentar lagi juga diberi sama Aan."

Ayu menghela nafasnya mendengar dia dibicarakan.

"Untung semalam gue nggak ikutan," gumam Aan yang


mendapatkan kabar bahwa Riko dan anggota geng motor
lainnya sempat terjaring razia. Sebagian saat ini ada di
kantor polisi, beruntung Riko bisa kabur.

Pria itu menatap Ayu yang sedang menunduk.

liii
"Heh, tadi kelas gue ulangan fisika."

Ayu pun akhirnya berani menatap Aan. Walaupun ada


rasa takut, karena Aan mulai bersikap aneh seperti
kemarin. Bahkan saat mengantarnya pulang, Aan dengan
sengaja sering ngerem mendadak membuat tubuh
mereka mau tidak mau bersentuhan.

"Dasar mesum," gumam Ayu mengingat ulah Aan


kemarin.

"Apa lo bilang?"

"Ah nggak, aku nggak bilang apa-apa."

"Lo tahu berapa nilai ulangan fisika gue?"

Ayu menggelengkan kepala karena tidak tahu dan tidak


mau tahu. Yang dia inginkan hanya ingin segera beranjak
dari hadapan Aan. Dia tidak ingin berurusan dengan
barisan penggemar Aan.

"Nilai gue paling besar di kelas cuy. Amazing, bukan?"

"Lalu?" tanya Ayu.

"Kayaknya hasil belajar bersama kita kemarin cukup


efektif, makanya gue minta lo ajarin gue lagi. Beres
sekolah aja," usul Aan.

Ayu memperbaiki letak kacamatanya sambil memandang


sinis pada pria dihadapannya. Jelas-jelas Aan kemarin

liv
tidak fokus dan dia yakin kalau Aan memang punya
kecerdasan di atas rata-rata. Jadi nilainya bukan karena
belajar bersama, tapi karena Aan memang termasuk
siswa pintar.
"Aku nggak bisa."

"Oh, ya nggak masalah. Jati, mana nota perbaikan motor


gue kemaren. Si cupu katanya mau tanggung jawab nih,"
cetus Aan.

"Oh ada kok." Jati membuka dompetnya,pura-pura


mencari nota yang dimaksud. Padahal motor Aan rusak
pun tidak dan diservice juga nggak.

"Eh bukan gitu," ujar Ayu.

"Bukan gitu gimana?" tanya Aan dengan tangan


bersedekap menatap Ayu. diam-diam dia memperhatikan
wajah itu, wajah yang menurutnya lebih cantik tanpa
kaca mata bod*hnya. Seharusnya Ayu menggunakan
softlens atau kacamata dengan frame yang lebih manis
dan bergaya, dibandingkan frame tebal dan besar seperti
yang dikenakannya saat ini.

"Aku nggak bilang akan tanggung jawab. Oke kita akan


belajar lagi, tapi aku nggak janji nilai kimia kamu akan
bagus, karena aku pun lemah di pelajaran itu."

"Lo lemah? Tenang aja, gue kuat kok. Bahkan tanpa


bantuan obat," canda Aan dan Ayu tidak paham dengan
candaan itu. "Ck, dasar bolot."

lv
"Jadi, kita belajar di mana? Aku nggak mau ke rumah
kamu lagi," gumam Ayu.

"Di perpus aja, di sana tutup sampai jam lima sore."


Sebenarnya Ayu ingin cepat pulang, seharian ini
pelajaran di isi dengan latihan soal dan ulangan. Gadis
itu sempat memijat kepalanya yang pening, tapi
urusannya dengan Aan tidak boleh diabaikan.

Suasana perpustakaan saat ini sudah sepi, walaupun


masih ada beberapa siswa yang berdiri diantara rak buku
atau mengisi salah meja baca.

Setelah mengisi daftar pengunjung perpustakaan, Ayu


mencari keberadaan Aan. Ternyata pria itu sedang berdiri
bersandar pada rak buku sejarah, di sampingnya ada
seorang siswi yang Ayu tahu juara olimpiade sains tahun
lalu.

Entah apa yang dibahas oleh Aan dan perempuan itu,


yang jelas si perempuan sempat mengatakan tidak
percaya dan Aan mencoba meyakinkan.

"Hari gini jomlo, aku kok nggak yakin ya."

"Dibilanginnya, gue beneran jomlo loh. Kalau nggak


percaya lo bisa belah dada gue nih."

Ayu berekspresi ingin muntah mendengar rayuan Aan


pada perempuan itu. Bukannya menjauh Ayu malah ingin
menjahilinya.

lvi
"Hemm. Aku cari-cari tahunya di sini," ujar Ayu.

Aan dan perempuan itu pun menoleh.

"Jadi nggak, udah sore nih," seru Ayu lagi.

"Kamu udah janji loh."

"Dia siapa? Teman kamu?"

"Ck, kelamaan." Ayu pun berbalik dan menjauh sambil


terkekeh.

"Kamu janjian dengan cewek tadi?"

"Ck, dasar cupu. Bisa-bisanya jailin gue," gumam Aan.


"Gue tinggal ya," ujar Aan pada si perempuan.

"Eh tunggu dulu," seru perempuan tadi.

Aan mencari keberadaan Ayu sambil berkomat-kamit


memaki. Dia merasa Ayu mulai berani, terbukti dengan
sengaja menggodanya seakan mereka memang dekat.

"Di sini lo?"

Ayu terkejut karena Aan sudah berada di belakangnya.


Gadis itu berbalik dan melangkah mundur karena Aan
semakin dekat.

"Kenapa, takut? Katanya tadi nyari gue,” ujar Aan.

lvii
"Jadi belajarnya? Kalau nggak aku mau pulang."

Aan mengajak Ayu menggunakan meja yang ada di


ruang sebelah, di mana banyak rak-rak tinggi berisi
buku-buku lama.Ayu menatap sekitar dan tidak
menemukan satu orang siswa pun di sana. Hanya ada
dirinya dan Aan. Di rumah yang ada asisten rumah
tangga saja, Aan berani berulah apalagi di sini yang
cukup sepi.

"Kita pindah di sekat sana saja ya," ajak Ayu sudah


berdiri.

"Nggak, di sini aja. Ayo buka!"

"Buka apa?"

"Bukunya cupu, masa baju lo. Kayaknya lo emang


pengen banget buka baju depan gue ya."

"Siapa bilang? Aku bertanya karena perintah kamu


ambigu."

Ayu pun mengeluarkan buku pelajaran dan mulai


mengulas beberapa istilah dan mengerjakan latihan soal.
Mereka duduk bersisian di kursi kayu tanpa sandaran.

Rupanya Aan sengaja memanfaatkan situasi tersebut, dia


semakin merapatkan tubuh termasuk wajahnya.

lviii
"Ngerti nggak?" tanya Ayu kemudian menoleh dan
wajah Aan ternyata begitu dekat. Bahkan hembusan
nafas pria itu terasa di pipi Ayu.

Perlahan Aan semakin mendekat lagi dan hidung mereka


hampir bersentuhan. Dia memiringkan wajahnya lalu
berniat mempertemukan bibir mereka. Aan
memanfaatkan situasi untuk mencium Ayu.

Awalnya Ayu sempat terbawa suasana, tapi kemudian dia


sadar lalu mendorong tubuh Aan hingga terjungkal ke
lantai.

"Dasar cupu, sakit tau," keluh Aan sambil mengusap


bo_kongnya.

"Ma-af, lagi pula kamu mau ngapain?"

Wajah Ayu sudah merona membayangkan kalau dia dan


Aan hampir berciuman bahkan jantungnya berdetak
tidak karuan.

"Cukup Ayu, jangan kegeeran. Aan memang tampan, tapi


dia pemain. Kamu lihat dia dengan perempuan tadi
'kan," ucap Ayu dalam hati.

"Mau diajarin yang enak, malah dapat nggak enak,"


keluh Aan.

lix
Nanti Jatuh Cinta
Hari ini ada kegiatan outbond menjelang rangkaian
kegiatan ujian. Ayu pun ikut serta, bahkan gadis itu
menikmati perjalanan dan menganggap kegiatan tersebut
sebagai healing untuk dirinya. Peserta kegiatan adalah
seluruh siswa kelas dua belas SMK Bina Bangsa.

Ketika tiba di lokasi, para peserta berjalan bergerombol


menuju titik kumpul. Yang paling mencolok diantara
semua tentu saja Mona CS dan yang menjadi pusat
perhatian para perempuan tentu saja Aan.

Setelah acara dibuka oleh prakata dari kepala sekolah,


seluruh peserta dibagi menjadi tiga kelompok untuk
bergantian menggunakan fasilitas outbond.

"Ngeri banget," keluh Ayu yang takut ketinggian setelah


merasakan flying fox, lalu berjalan di pinggir sungai.

"Eh, lihat tuh si cupu. Gua udah nggak bisa manfaatin


dia lagi," keluh Mona yang berada tidak jauh dari Ayu.

"Emang kenapa sih, kita nggak bisa macem-macem lagi


sama si Ayu?"

"Karena Aan, tau deh ada masalah apa dia sama Aan,"
jawab Mona.

"Mungkin nggak kalau Aan suka sama Ayu?"

lx
Mona terkekeh mendengar pertanyaan yang menurutnya
sangat tidak mungkin.

"Nggak mungkinlah, Aan mana doyan sama si cupu. Eh,


kita kerjain yuk!"

Mona CS berjalan mendekat ke arah Ayu dan Mona


dengan sengaja menyenggol tubuh Ayu.

"Eh, maaf. Gue sengaja," cetusnya lalu terbahak. Begitu


pun dengan teman-temannya.

Sedangkan Ayu yang dalam posisi tidak siap, bukan


hanya jatuh tersungkur tapi berguling terus sampai jatuh
ke dalam air. Ternyata Ayu tidak bisa berenang dan area
di mana dia berada lumayan dalam.

"Tolong!," teriak Ayu dengan suara kecipak dari gerakan


tubuhnya.

"Rasain lo," ejek Mona lalu menertawakan Ayu.Trio


chuakerz, tidak lain dan tidak bukan Aan serta Jati dan
Kanta malas antri menggunakan fasilitas outbond,
menunggu di salah satu saung mendengar keributan dari
arah sungai.

"Ada yang tenggelam."

"Panggil guru sama petugas!"

"Ada apaan sih?" tanya Aan yang sudah membelah


kerumunan diikuti Jati dan Kanta.

lxi
"Itu Ayu," pekik Jati.

Ayu yang hanya jadi tontonan tentu saja membuat Aan


geram, pria itu melepas jaket dan sepatu bahkan
melempar dompetnya lalu berteriak memaki teman-
temannya yang hanya jadi penonton dan segera
melompat ke sungai.

"Diam, gue udah pegang lo," ujar Aan pada Ayu yang
kedua kakinya terus menendang dalam air agar bisa
mengapung.

Namun, Ayu sepertinya panik dan tidak menyadari


kehadiran Aan untuk menolongnya. Dia menendang Aan
lalu tenggelam.

"Shittt," teriak Aan lalu menarik nafas dan menyelam.


Dia menemukan Ayu dan menarik tubuh gadis itu agar
muncul dipermukaan.Aan membawa Ayu menepi, sudah
ada Jati dan Kanta membantu menarik tubuh Ayu yang
sudah tidak sadarkan diri.

"Ada apa ini?" tanya salah satu guru yang baru datang.

Aan memberikan pertolongan pada Ayu dengan menekan


dada gadis itu dan mengabaikan teriakan panitia acara
agar membawa Ayu ke pos kesehatan. Entah Aan
memang tahu prosedur menyelamatkan korban
tenggelam atau hanya melihat dari adegan film, dia
memberikan nafas buatan yang disambut sorakan teman-
temannya. Wajah Ayu tanpa kaca matanya memang

lxii
terlihat beda, gadis itu sebenarnya cantik dan Aan
menyadari itu.

Bug.

"Aaahh," pekik Aan yang kembali mendapat tendangan


dari Ayu.

Gadis itu sadar dan berontak, menduga dia masih ada di


dalam air.

"Ayu, ini gue. Lo selamat," ujar Aan yang sudah


menangkup wajah Ayu.

"Aku nggak bisa berenang," keluhnya.

"Aan, bawa Ayu ke pos kesehatan. Sekarang!"

Ayu menolak ikut ke pos kesehatan, alasannya tidak


ingin menjadi perhatian. Tubuh dan pakaian gadis itu,
begitu basah. Sedangkan pakaian ganti bersama tas dan
perlengkapan lainnya pun juga basah

Saat ini Ayu sedang berada di dalam toilet, bingung


bagaimana dia hsrus keluar dan pulang dengan
kondisinya.

"Ayu, buka!"

Suara Aan dan ketukan pintu. Ayu hanya menyembulkan


kepalanya di celah pintu yang terbuka.

lxiii
"Ck, apaan sih." Aan malah mendorong pintu lebih lebar
lalu membuka tasnya dan menyerahkan kaos serta celana
training miliknya. "Pake ini, terus lapisin pake jaket
gue."

"Kamu sendiri, gimana?" tanya Ayu.

"Itu urusan gue."

"Nih." Jati menyerahkan sandal jepit pada Ayu.

"Cepet bersih-bersih terus ganti. Emang lo mau sakit?"

Ayu menggelengkan kepalanya lalu menutup pintu toilet.


Sedangkan Jati ber cie cie sambil mengerlingkan
matanya ke arah Aan.

"Kenapa lo?"

"Romannya perhatian banget," ejek Jati.

Ayu menghampiri Aan yang kembali berteduh di saung.


Ternyata pria itu menggunakan pakaian ganti milik Jati.

"Hm, makasih sudah tolong aku," ujar Ayu sambil


mengeratkan jaket yang dia kenakan untuk menutupi
lekuk tubuhnya karena tidak mengenakan pakaian dalam.
Pakaian Aan sebenarnya agak kebesaran, tapi tidak
masalah dari pada dia kedinginan.

"Siapa yang dorong lo?"

lxiv
"Nggak ada, aku kepleset terus jatuh," jawab Ayu.

"Eh cupu, kalau mau bohong yang agak masuk akal.


Otak lo nggak beg*, nggak bisa berenang terus sengaja
main di pinggiran kali."

"Udah jujur aja, biar Aan yang kasih peringatan sama itu
orang. Ini masalah nyawa, gimana kalau tadi lo lewat?"
tutur Kanta.

"Setelah kejadian tadi, aku yakin mereka nggak akan


berani isengin aku lagi," ungkap Ayu masih menutupi
kalau Mona yang sudah dengan sengaja mendorongnya.

"Duduk lo! Berdiri terus, semakin tinggi juga nggak."

Sampai acara berakhir, Ayu tetap berada bersama Aan


CS. Sebelum pulang semua peserta kembali
dikumpulkan untuk mendapatkan arahan.

"Tes tes," ujar Aan dengan mic di tangannya.

"Aan, mau ngapain kamu?" tanya ketua panitia yang


menunggu kehadiran kepala sekolah untuk menutup
acara.

"Perhatian untuk semua siswa," ujar Aan yang suaranya


terdengar di pengeras suara. "Hari ini terakhir gue lihat
Ayu dirundung dan dicelakai. Masih ada yang berani
ngelukain dia,lo semua berurusan sama gue. Aan
Rakabuming."

lxv
"Huhhhh." Aan disambut dengan sorakan.

"Gue serius kampreett"

"Aan!" ketua panitia mengambil alih mic dari tangan


Aan. "Kembali ke barisan!"

Ayu yang ada di tengah peserta hanya menundukkan


wajahnya karena ulah Aan membuatnya kembali menjadi
pusat perhatian.

Akhirnya acara pun ditutup, semua peserta menuju bus


untuk pulang. Ayu bergegas naik bus, duduk dan
menatap keluar jendela. Terasa ada yang duduk di
sampingnya, gadis itu pun menoleh.

"Kamu kenapa di sini? Nanti dicari pembimbing kamu,"


ujar Ayu pada Aan.

"Kenapa, lo nggak suka gue duduk di sini?"

"Bukan gitu, tapi...."

"Ssttt, berisik. Gue mau tidur." Aan menyandarkan


kepala, lalu bersedekap dan memejamkan mata.

Ayu menatap Aan dan tersenyum, hari ini terasa


menyenangkan walaupun tadi dia sempat celaka.
Namun, pria di sampingnya telah merubah hari-harinya
yang kelabu menjadi berwarna.

lxvi
"Jangan kelamaan lihatin gue, nanti lo jatuh cinta," seru
Aan dengan mata terpejam.

Ayu berdehem lalu mengalihkan pandangannya ke luar


jendela dan kembali tersenyum.

lxvii
Tanda ~ Tanda
"Woy cupu, bangun!"

Ayu pun perlahan mengerjapkan matanya dan terjaga.


Menyadari kepalanya bersandar pada bahu Aan
membuatnya terkejut.

"Maaf," ujar Ayu.

"Hm."

Kami sudah sampai di Kalimantan dan terjebak macet


padahal sedikit lagi sampai ke sekolah dan saat ini sudah
malam.

"Lo pulang gimana?" tanya Aan.

Ayu baru menyadari dia belum tahu bagaimana dia


kembali ke rumah. Ponselnya sudah pasti tidak bisa
digunakan karena terendam di air. Sebelumnya saja
sudah sering hang, apalagi sekarang.

"Ojek, tapi tolong pesankan ya. Ponselku kayaknya


rusak." Aan bergeming mendengar permintaan Ayu.

Akhirnya sampai di sekolah, Ayu turun dari bus diikuti


oleh Aan. Pria itu menarik tangan Ayu agar
mengikutinya.

"Lo tunggu di sini, gue ambil motor."

lxviii
Saat menunggu Aan, Mona lewat dan menatap Ayu
dengan kesal. Ayu tidak peduli, sepertinya dia harus
mulai berani dan melawan ketika dirundung. Namun, dia
belum memiliki keberanian itu.

Terdengar klakson menyadarkan lamunan Ayu. ternyata


Gundur dengan motornya.

"Naik!"

Tangan kiri Ayu memegang tasnya yang masih basah


sedangkan tangan kanan berada di pinggang Aan karena
dia takut jatuh ke belakang. Ayu berusaha untuk tidak
menempelkan tubuhnya, apalagi saat ini dia tidak
memakai apapun selain kaos dan jaket milik Aan.

"Terima kasih," ucap Ayu ketika Aan menurunkan Ayu di


tempat biasa.

"Hm. Kaca mata lo hilang 'kan?" tanya Aan. Ayu


mengangguk pelan. "Kalau beli baru, cari yang
bentuknya nggak norak. Kalau perlu pake softlens aja,
biar tampang lo enak dilihat," usul Aan sebelum kembali
melaju.

"Enak dilihat?" gumam Ayu.

Ternyata setelah mengantar Ayu, Aan tidak pulang ke


rumah melainkan ke tempat tongkrongan geng
motornya. Sudah ada Riko yang hari ini tidak ikut
kegiatan.

lxix
"Gue kira lo ikut di jeruji," ejek Riko.

"Ck, gue berhasil kabur," sahut Aan.

"Woy, kita bergerak!" teriak pemimpin geng motor The


Rangers. Riko dan Aan pun melaju dan meliukan motor
bersama gerombolannya. Rute malam ini mereka
mengelilingi dalam kota dan sengaja akan melewati area
tongkrongan geng Hunters. Untuk menantang geng
tersebut.

Benar saja, geng Hunters pun terpancing dan dua


gerombolan itu akhirnya saling berpadu di jalan raya
yang saat ini masih ramai dan berakhir di jalanan yang
biasa dipakai balap liar.

"Naikan taruhan kalian!" teriak Riko. "Lo ikut?" tanya


Riko pada Aan.

"Nggak, lagi males gue. Lo aja," tolak Aan ketika diajak


untuk ikut balap.Beberapa kali putaran dan entah siapa
yang menang, akhirnya semua bubar. Riko mengajak
Aan ke tempatnya untuk minum, tapi ditolak karena dia
akan berakhir dengan mabuk. Aan tiba di rumah lewat
tengah malam.

Esoknya, Aan terlambat tiba di sekolah. Setelah


memarkirkan motornya dia diminta berbaris di lapangan
bersama para siswa yang terlambat juga. Nasihat yang
disampaikan oleh guru piket tidak didengar, terutama
oleh Aan.

lxx
"Sebagai sanksi atas kelalaian kalian, silahkan bersihkan
auditorium dan lapangan."

Aan malah melipir akan menuju kantin.

"Aan, ke sini kamu!"

"Ck, apaan sih Pak. Pagi-pagi udah marah-marah aja,


nanti darah tinggi loh."

"Mau ke mana kamu?"

"Kantin Pak."

"Kerjakan hukuman kamu!"

Aan tidak ingin berdebat akhirnya dia menuju


auditorium dari pada harus berpanasan di lapangan.
Tidak ingin mengerjakan tugasnya sendiri, dia pun
memanggil Ayu.

"Shitt, ponselnya kan rusak," gumam Aan lalu meminta


salah satu siswa memanggil Ayu.

Sedangkan di tempat berbeda, Ayu tidak bisa konsentrasi


dengan pelajaran mengingat kejadian kemarin.
Terkadang wajahnya merona mengingat perhatian Aan
dan tersenyum simpul.

Aku kenapa sih, batin Ayu. selain selalu memikirkan


Aan, detak jantungnya sering kebat kebit kalau ada di

lxxi
dekat pria itu. Padahal sebelumnya dia sering kesal
dengan pria itu karena selalu memanfaatkannya.

Ayu dikejutkan dengan salah seorang siswa yang


memanggilnya dan meminta Ayu ke auditorium dengan
alasan perintah Guru piket. Gadis itu bergegas karena
tidak ingin mencari masalah. Sampai di auditorium dia
tidak menemukan seorang guru pun yang ada hanya
beberapa siswa sedang membersihkan ruangan tersebut.

"Lama amat sih."Ayu menoleh, ternyata Aan.

"Kamu...."

"Apa? Nih, bantuin gue nyapu ini," titah Aan sambil


menyodorkan sebuah sapu.

"Maksudnya?"

"Ck. Maksudnya lo sapuin gantiin gue. Wilayah gue dari


sana sampai ke sana," ujar Aan lagi. "Cepat ya! Gue
lihatin tuh dari sana."

Ayu masih terpaku dengan tangan memegang sapu yang


diberikan Aan.

"Jadi yang panggil aku ke sini bukan guru piket tapi Aan
dan aku harus gantikan dia," gumam Ayu.

Ternyata Aan duduk di kursi agak sudut sambil bermain


game, sedangkan Ayu menggantikannya menyapu.

lxxii
"Yang bersih ya!" teriak Aan.

Ayu mencibir mendengar perintah Aan. Lumayan


menguras tenaga, bahkan Ayu sampai berkeringat dan
haus. Sedangkan yang diberi tugas malah asyik di
pojokan sambil sesekali berteriak ketika dia hampir
kalah dalam permainannya.

"Sudah selesai. Lain kali aku nggak mau menggantikan


kamu mengerjakan hukuman. Ini pasti kamu berbuat
salah, bukannya kerjakan malah panggil aku," keluh Ayu
dengan bibir mengerucut dan berdiri d hadapan Aan.

Pria itu mengangkat wajahnya menatap Ayu. Wajah Ayu


yang dipenuhi titik-titik keringat dan bibir semerah ceri
dan cemberut membuat Aan harus menelan saliva
memandangnya.

"Bibir lo kondisikan, sengaja ya biar gue sosor?"

"Ngaco kamu."

"Lo mulai berani ya sekarang," ucap Aan yang saat ini


sudah berdiri berhadapan dan agak menunduk karena
perbedaan tinggi tubuh dia dan Ayu. Aan maju dan Ayu
mundur ke belakang.

"Mulut lo udah berani nasihatin gue." Aan mengulurkan


tangannya, Ayu memejamkan mata. Dia menduga Aan
akan memukul atau menamparnya.Loh kok nggak sakit,
batin Ayu. Ternyata tangan Aan bukan ingin memukul

lxxiii
gadis itu, tapi menyentuh kening dan menghapus
keringat Ayu.

"Otak lo mesum ya, ngapain pake menutup mata," ujar


Aan sambil terkekeh lalu mendorong kening Ayu dengan
telunjuknya.

lxxiv
Hubungan Yang Sah
Kejadian semalam begitu berkesan bagi Ayu. Belum
pernah ada teman sedekat itu dengannya, apalagi seorang
pria. Rasa benci yang duu ada perlahan berubah menjadi
debaran cinta. Ayu merasakan dunianya sudah berbeda,
lebih berwarna dan berkesan.

Hari ini Aan ternyata tidak masuk, pria itu hanya


mengirimkan pesan agar Ayu mengerjakan tugas sekolah
miliknya. Walaupun kecewa karena tidak bisa bertemu
Aan, tapi titah tetap Ayu laksanakan dengan baik.
Berharap bisa menjadi alasan untuknya bertemu dengan
Aan.

"Aku kenapa ya?" gumam Ayu menepuk kedua pipinya


karena tersenyum simpul mengingat kejadian semalam,
padahal Aan hanya mengusap pipinya.
Pulang dari sekolah, Ayu lakukan semua tugas rumah
tangga. Dia baru saja membersihkan diri dan
menyelesaikan makan siang yang terlambat saat
mendengar suara deru mesin motor yang berhenti di
depan rumahnya.

"Aan," ucap Ayu menyadari pria yang mengisi hari dan


pikirannya akhir-akhir ini sudah berada di depan rumah.
Ayu sempat terpaku dan memeriksa penampilannya
sekilas. Khawatir jika dia terlihat buruk di mata Aan.

Sedangkan Aan yang masih duduk di atas motor setelah


melepas helm, memandang Ayu tidak berkedip.
Penampilan gadis itu dengan setelan rumahan, tanpa

lxxv
kaca mata dan rambut panjang terurai terlihat cantik
alami.

"Kamu ... ngapain ke sini?"

"Ck, ada tamu tuh disambut senyum dong," ujar Aan.

Tidak menghiraukan pertanyaan Ayu dan kegundahan


gadis itu karena Aan sudah berada di dalam rumah.
Duduk di sofa yang terlihat kontras dengan penampilan
Aan.

"Aan ....."

"Gue mau ambil buku tugas doang," sahut Aan


beralasan. Sebenarnya sudah rencananya datang ke
kediaman Ayu dengan alasan mengambil tugas. Dia
harus bergerak cepat untuk mengakhiri misinya karena
desakan Riko. Jika dalam waktu dekat dia belum
berhasil membuat Ayu jatuh cinta atau mendapatkan Ayu
sepenuhnya, maka Riko akan memberikan tantangan lain
yang mungkin lebih gila.

Tas sekolah Ayu kebetulan tergeletak di atas sofa. Buku


tugas Aan tentu saja sudah diberikan. Khawatir Ayu akan
mengusirnya pulang, Aan memikirkan ide agar bisa
berlama. Ternyata semesta mendukung keinginan pria
itu, langit sore yang sejak tadi mendung akhirnya
semakin gelap dan turunlah hujan.

"Ya ampun, lo ngusir gue. Nggak lihat di luar hujan


deras. Lo tega gue kehujanan, basah kuyup."

lxxvi
Ayu membuatkan teh manis hangat untuk Aan dan
meletakan di atas meja. Keduanya duduk berhadapan.

Kalau kayak gini mana gue bisa beraksi, batin Aan.

Ayu menatap keluar rumah di mana hujan semakin deras,


dia memikirkan ibunya yang belum pulang.

"Gue nggak ngerti soal yang ini nih, ajarin dong!"

Ayu berbalik mendengar permintaan Aan, lalu duduk di


samping pria itu. Setelah membaca soal yang dimaksud,
Ayu menjelaskan sambil menatap pada buku yang ada di
tangan Aan. Sedangkan Aan mendekatkan wajahnya lalu
mencium pipi Ayu.

"Eh," pekik Ayu yang terkejut karena ulah Aan dan


wajah mereka begitu dekat.

Jantung Ayu berdetak tak beraturan, wajahnya semakin


merona karena mereka sangat-sangat dekat. Apalagi
Gintur kembali memgulurkan tangan mengusap pipinya.
Serasa ada banyak kupu-kupu mengepakan sayap di
perutnya dan meninggalkan sensasi yang tidak biasa.

"Aan ...."

"Sttt." Aan kembali mendekatkan wajahnya dan


mencium bibir Ayu sekilas.

Gadis itu mematung, tidak menolak dan tidak merespon


apapun. Aan yang merasa Ayu tidak menolaknya,

lxxvii
mungkin saja menyukai ulahnya tadi melanjutkan
kembali aksinya. Kali ini bukan hanya sekilas, tapi Aan
meraup bibir Ayu dan menahan tengkuk gadis itu. Ayu
awalnya hanya diam, perlahan dia merespon dan
membuka pelan bibirnya membuat Aan kembali
menjelajah. Pertukaran saliva dengan situasi yang
mendukung membuat Aan bebas melakukan aksinya.

Saat tangan Aan mulai beraksi menyentuh bagian lain


karena Ayu yang polos terbawa suasana dan terlena oleh
ulah Aan, tiba-tiba

"Woy, ngapain lo!"

Aan dan Ayu terkejut, sudah ada beberapa orang


merangsek masuk ke dalam rumahnya.

"Eh, tenang dulu Bang," ujar Aan sudah berdiri.

"Tenang... tenang. Lo berdua kalau nggak dihentikan


pasti bakal enak-enak. Ayu mana ibu lo?"

Ayu yang ketakutan hanya menggelengkan kepala sambil


memilin jemarinya. Sedangkan Aan masih berdebat
dengan orang-orang itu, sampai akhirnya seseorang
datang lagi bersama Pak RT. Akhirnya semua kondusif
dan kini Aan, Ayu dan Pak RT duduk berhadapan.

"Coba ceritakan bagaimana kejadiannya!" titah Pak RT


pada salah satu saksi.

lxxviii
Ternyata tetangga Ayu yang heran ada motor mewah
rumah si depan rumah tersebut, penasaran dan berusaha
melihat siapa yang datang. Bertepatan dengan ulah Aan
yang sedang berpagut ria bersama Ayu.

"Nggak bener mereka, si Ayu ini juga semalam pulang


jam satu pagi Pak. Pasti sama bocah ini juga."

"Sudah pak, nikahin aja. Bikin malu doang."

"Eh, nanti dulu dong. Nikah apa? Kita nggak macem-


macem Cuma "

"Nggak macem-macem karena ketahuan, coba kalau


nggak?"

Ayu menunduk masih memilin jemarinya, bukan hanya


gugup tapi juga didera ketakutan. Apalagi saat ibunya
datang.

"Kenapa rumah saya ramai begini?"

"I-ibu," ucap Ayu terbata.

"Duduk dulu, Bu!" titah Pak RT lalu menceritakan


kronologis kejadian pada Ibu Ayu.

Ibu Ayu menatap putrinya dan Aan bergantian, dia tidak


menduga Ayu melakukan hal itu.

"Ayu, katakan kalau orang-orang ini salah. Anak Ibu


nggak mungkin lakukan hal begini!"

lxxix
Ayu tidak menjawab, malah terisak.

"Ayu!"

"Maaf Bu."

"Halah drama, udah Pak RT nikahin aja atu kita arak.


Pilih mana tuh."

Suasana kembali ramai dan akhirnya Pak RT menyetujui


usulan dari orang-orang itu. Ayu dan Aan dinikahkan
secara agama. Berbeda dengan Ayu dan Ibunya yang
bungkam, Aan protes.

"Yaelah Pak, hari gini Cuma nyosor bibir aja dinikahin.


Kayak kalian nggak pernah muda aja," seru Aan yang
memancing kemarahan. Suasana kembali gaduh, bahkan
Aan dan salah satu warga hampir adu jotos.

"Sudah, ini hampir maghrib. Kamu harus terima karena


salah," ujar Pak RT pada Aan. Kemudian meminta warga
memanggil pemuka agama untuk menikahkan Aan dan
Ayu.

Ayu terisak, kecewa dengan ulah dan nasib dirinya.


Sedangkan Ibu Ayu hanya bisa diam dan pasrah dengan
kenyataan yang ada. Aan masih berkelit menolak
pernikahan itu.dia bersedia karena ancaman salah satu
warga yang akan membakar motornya kalau tidak
mempertanggung jawabkan ulahnya.

lxxx
Dengan dibimbing oleh pemuka Agama, Aan berhasil
melakukan ijab qabul. Pernikahan dadakan, bahkan
mahar yang Aan berikan hanya beberapa lembar uang.

Setelah kepergian para warga, tangis Ayu semakin


kencang.

"Bu, maafkan Ayu."

"Ibu kecewa dengan kamu, tapi Ibu bisa apa kalau sudah
begini."

Aan mengusap kasar wajahnya. Berharap bisa


menyelesaikan tantangan malah membuat situasi
menjadi kacau bahkan berakhir dengan pernikahan

lxxxi
Ada Aku
Beberapa hari ini sikap Aan tidak jelas dan menyebalkan,
tepatnya setelah dia dan Ayu harus menikah. Malam itu
Aan meninggalkan rumah Ayu dengan alasan akan
membicarakan dengan keluarga. Tentu saja hal itu hanya
alasan, bahkan dia tidak menghubungi Ayu setelahnya.

"Lo kenapa sih?" tanya Jati.

"Tau, nyebelin kayak cewek PMS. Nggak jelas," ejek


Kanta.

Aan berdecak, karena dua sahabatnya itu tidak tahu


masalah yang dihadapi Aan.

"Lo kalau nggak tahu masalah, diem. Jangan bikin gue


tambah kesel."

"Berantem kali sama si cupu," cetus Jati pada Kanta.

"Ah iya, pasti karena ini."

Aan heran, kenapa Ayu tidak menghubunginya atau


mencarinya.

"Coba lo lihat ke kelasnya, masih hidup nggak si cupu!"


titah Aan.Tidak lama Jati pun kembali membawa berita
tentang Ayu, gadis cupu yang sudah membuat hari-hari
Aan tidak karuan.

"Ayu nggak ada," ungkap Jati.

lxxxii
"Hah. Nggak ada ke mana?"

"Mana gue tahu, lo yang dekat sama Ayu. Yang jelas dia
nggak sekolah, katanya udah beberapa hari gitu."

Aan menatap layar ponsel tepatnya kontak Ayu. Dia


ingin menghubungi, tapi ragu. Akhirnya memutuskan
untuk menemui Ayu usai sekolah. Aanmenghentikan
motornya di ujung jalan kediaman Ayu. Dia melihat
bendera kuning. Lebih terkejut lagi saat tiba di depan
kediaman Ayu. Di pagar rumah tersemat juga bendera
kuning, tapi kondisi rumah itu terlihat sepi. Pintunya pun
tertutup rapat.

"Ayu," panggil Aan.

Tidak ada jawaban.

"Al," panggilnya lagi.Ke mana si Ayu, batin Aan.

Karena tidak ada sahutan, Aan kembali menaiki motor


untuk meninggalkan tempat itu.

"Nak Aan."

Kebetulan Pak RT lewat dan melihat Aan lalu menyapa,


Aan pun menanyakan keberadaan Ayu karena sejak tadi
tidak ada sahutan juga bendera kuning yang ada di pagar
rumah Ayu.

"Loh, nak Aan nggak tahu?"

lxxxiii
"Tahu apa Pak?"

"Memang kalian tidak tinggal bersama?"

Aan menggelengkan kepalanya.

"Ck, pernikahan kalian itu bukan main-main. Sah di


mata agama," tutur Pak RT. "Ibu Ayu kemarin
meninggal."

"Ah, yang bener Pak?"

"Masa iya saya bercanda."

"Meninggal kenapa pak? Ayu nggak bilang apa-apa,"


sahut Aan. "Barusan saya panggil juga nggak dijawab."

Pak RT menyarankan Aan untuk masuk ke dalam, karena


Ayu ada di dalam. Tidak mungkin dia pergi, karena dia
hanya tinggal bersama Ibunya. Tidak ada kerabat lain.

Aan kembali mengetuk pintu rumah Ayu, masih tidak


ada jawaban. Ternyata pintu tidak terkunci, ketika Pria
itu menekan handle pintu dan membukanya.

"Ayu," panggil Aan. Masih tidak ada jawaban.

Aan memberanikan diri melangkah ke dalam, hanya ada


satu kamar yang pintunya hanya tertutup setengah.

lxxxiv
"Ayu," panggil Aan. Ternyata gadis itu sedang berbaring
miring memunggungi pintu. Entah sadar atau tidak akan
kehadiran Aan yang sejak tadi mengganggilnya.

"Ayu," panggil Aan lagi bahkan sudah duduk di tepi


ranjang. tangannya terulur ingin menyentuh kepala Ayu.

"Pergi! Tinggalin aku sendiri."

"Ayu, gue nggak tahu kalau Ibu ...."

"Sekarang kamu sudah tahu, jadi silahkan pergi."

"Kita harus bicara Al, ayo bangun dulu," ajak Aan.

"Nggak perlu, silahkan pergi. Kamu bebas, aku nggak


akan tahan kamu di sini."

"Gue tunggu di depan, kita perlu bicara."

Hampir satu jam Aan menunggu, tapi Ayu tidak


menunjukkan batang hidungnya. Akhirnya Aan kembali
ke kamar, mendapati Ayu yang duduk bersandar dengan
wajah dibenamkan pada kedua lutut yang ditekuk. Tubuh
gadis itu berguncang, karena isak tangis.

"Al...."

Ayu mengangkat wajahnya lalu mengusap air mata.


Wajah gadis itu sembab, bahkan kedua matanya
bengkak. Mungkin karena terlalu lama menangis.

lxxxv
"Kamu bisa talak aku lalu kembali ke hidupmu.
Pernikahan kita hanya pernikahan siri, aku tidak akan
bisa menuntut apapun," tutur Ayu.

"Ayu.""Jangan khawatir, aku tidak akan bocorkan hal ini


ke sekolah. Lagi pula aku sudah tidak berminat kembali
sekolah."

"Al, sebentar lagi ujian."

"Yang buat aku semangat sekolah itu Ibu. Aku ingin bisa
kerja dan gantikan Ibu cari uang, tapi Ibu udah nggak
ada jadi untuk apa aku teruskan ini. Aku hanya perlu cari
uang untuk keperluan hidupku, nggak perlu sampai
tamat SMK. Lagi pula sekolah rasanya bagai neraka,
tidak ada yang ramah dan tulus.

"Kenapa nggak hubungi gue, waktu Ibu nggak ada?"

"Untuk apa? Kamu bukan siapa-siapa kami," jawab Ayu.

"Al...."

"Setelah kita dinikahkan, tetangga membicarakan aku.


Berita yang beredar berlebihan, bahkan melenceng dari
kejadian sebenarnya. Ibu tidak kuat, karena gunjingan
tetangga. Dia mengeluh sakit. Keluhannya sesak, belum
sempat aku bawa ke dokter...ON sudah tiada." Ayu
meraung sambil memukul dadanya. Aan terenyuh
melihat hal itu, dia mendekat dan meraih tubuh Ayu ke
dalam pelukan. Gadis itu butuh sandaran, mulutnya
boleh menolak Aan tapi tidak dengan jiwa dan raganya.

lxxxvi
"Sabar Al, masih ada gue. Maaf, semua ini terjadi karena
gue."

"Aku bukan pelac*r seperti yang mereka bilang. Ibu


tidak sanggup mendengar hinaan itu." 1

Aan mengusap punggung Ayu, istrinya.

"Sekarang lo ikut gue, di sini lo bakal sedih terus."

"Ikut ke mana?" tanya Ayu sambil mengusap air mata di


pipinya.

"Ke rumah gue, kita udah suami dan istri. Hidup lo udah
jadi tanggung jawab gue."

lxxxvii
Tanggung Jawab
"Taksinya sudah datang, mana yang mau dibawa?" tanya
Aan sudah berdiri di tengah pintu kamar.

Ayu tidak menjawab, hanya menunjuk koper dan tas


sekolahnya. Tidak banyak pula barang atau perlengkapan
miliknya dan juga mendiang Ibunya.

"Ya udah ini aja dulu, lo bisa sortir lagi nanti. Gue bakal
perpanjang sewa satu atau dua bulan ke depan deh," tutur
Aan. Ayu mengikuti pria itu berjalan membawa koper
dan tasnya, lalu dimasukan ke dalam bagasi taksi.

"Ayo," ajak Aan yang sudah membuka pintu mobil untuk


Ayu, gadis itu pun masuk.

Aan akan membawa Ayu tinggal bersamanya, tidak


mungkin koper Ayu dibawa menggunakan motor
sportnya. Akhirnya Aan memesan taksi. Tidak mudah
meyakinkan Ayu untuk ikut bersamanya, tapi karena
gadis itu sudah tidak ada kerabat di Kalimantan mau
tidak mau dia pun patuh pada Aan yang sudah berstatus
suaminya.

"Bik," teriak Aan ketika tiba di rumah.

Ayu hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Aan


lalu memandang sekeliling rumah yang begitu mewah.
Tidak pernah membayangkan dia akan tinggal di sini.
sebelumnya gadis itu pernah datang sebagai tamu.

lxxxviii
Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh
menghampiri Aan yang sudah duduk di sofa, tepat di
depan tv.

"Iya Den."

"Bik, barang-barang di depan bawa ke kamar gue. Terus


siapin makan dong."

"Baik Den Aan."

"Eh, kenalin dulu ini Ayu. Mulai hari ini dia tinggal di
sini, layani seperti kalian melayani gue."

"Aan," panggil Ayu yang sudah duduk di samping pria


itu.

"Hm." Aan sedang fokus pada ponselnya.

"Bagaimana kalau orangtua kamu tanya siapa aku?"

"Ya tinggal jawab, nama lo Ayu. Masa sama nama


sendiri lupa," sahut Aan masih fokus pada layar ponsel.

"Ish, bukan itu. Gimana kalau mereka nggak bisa terima


aku."

Aan menoleh, menatap wajah Ayu yang pucat mungkin


karena kurang tidur. Juga matanya yang masih bengkak.

"Itu urusan gue. Kita ke kamar aja, kayaknya lo butuh


istirahat."

lxxxix
Ayu pun kembali mengekor langkah suaminya. Berharap
ke depan hidupnya tidak terlalu sulit, mengingat sudah
tidak ada lagi keluarga. Dengan Aan dia masih belum
yakin, pria itu benar-benar bisa diandalkan.

"Pakaian lo nanti simpan di sana," tunjuk Aan ke arah


ruang ganti. "dan lo tidur disitu," ujar Aan lagi menunjuk
sofa yang ada di kamar. Sofa yang cukup lebar dan
nyaman ketika diduduki. "Kecuali lo udah siap kita tidur
satu ranjang, gue sih udah siap banget."
Ayu mencebik.

"Lo istirahat deh, nanti bibi anterin makanan ke sini. Gue


mau ke bawah."

Ayu hanya mengangguk, kemudian menyeret kopernya


menuju ruang ganti. Isi pakaian dalam kopernya seperti
insecure melihat pakaian dan perlengkapan milik Aan di
ruangan itu. Deret lemari berisi berbagai jenis pakaian,
sepatu, sandal termasuk ikat pinggang dan jam tangan,
juga berbagai macam tas.

Ayu sudah terlelap di sofa, sedangkan Aan duduk di tepi


ranjang menatap sambil bersedekap. Situasinya sudah
berbeda dengan tujuan awal mendekati gadis itu. Bisa
dikatakan yang terjadi dengan Ayu adalah ulahnya juga,
walaupun masalah takdir bukan ranahnya.
Terdengar ketukan pintu.

xc
"Aan, buka pintunya!"

Tidak ingin Ayu bangun karena mendengar keributan


ulah mamihnya, Aan pun bergegas membuka pintu.

"Mami apaan sih, teriak-teriak," sahut Aan.

"Minggir mami mau masuk," ujar wanita itu sambil


menggeser tubuh Aan. "Katanya kamu bawa pulang
perempuan." Mami Aan melihat Ayu berbaring di sofa.
"Dia siapa?"

"Ayu," jawab Aan nyantai dan kembali duduk di tepi


ranjang. "Jangan berisik, dia baru tidur."

"Dia siapa Aan, Mami tidak tanya namanya tapi untuk


apa dia ada di kamar kamu?" tanya Anggi sambil
menekan suaranya.

"Dia sudah jadi tanggung jawab gue, karena kami sudah


menikah."

"Apa Mami nggak salah dengar?"

Aan berdecak karena Maminya kembali berteriak,


sempat melihat sekilas memastikan kalau Ayu masih
terlelap lalu mengajak maminya keluar dari kamar.

"Apa maksud kamu menikah, kamu menghamili


perempuan itu?"

xci
"Mih, kalau ngomong jangan asal. Nyentuh juga belum,
gimana mau hamil."

Aan mengajak Anggi bicara di bawah, lalu menceritakan


hubungannya dengan Ayu.

"Tapi kalian masih muda, pendidikan kalian pun belum


seberapa dan sekarang kamu sudah disibukkan menjadi
suami."

"Memangnya kenapa? Mami dan Papi menikah di usia


matang aja bubar, coba Mami ngaca hidup Mami
sekarang gimana?"

Anggi memukul pelan lengan putranya.

"Kita sedang bicarakan kamu dan gadis itu, jangan


mengalihkan pembicaraan," cetus Anggi.

"Yang jelas sekarang Mami dan Papi harus siapkan biaya


pendidikan bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk
Ayu."

"Nah, Papi kamu udah tahu belum?"

"Belum, kami menikah belum ada satu minggu," sahut


Aan.

"Temui Papi kamu, sampaikan hal ini. Mami nggak mau


dia tahu dari orang lain, lalu marah-marah sama Mami
dan menyalahkan Mami."

xcii
"Biarin ajalah ...."
"Aan, ini bukan tentang kamu lagi tapi juga hidup gadis
itu. Kalau Papi tidak setuju dan minta kalian pisah,
gimana? Kamu masih bisa hidup enak, tapi Ayu mau ke
mana. Kamu sendiri yang bilang, kalau dia sudah jadi
tanggung jawab kamu," tutur Anggi.

"Ck, iya nanti aku temui Papi."

"Secepatnya, kalau perlu besok pagi."

"lya."

"Sebaiknya Ayu tidur di kamar tamu, lebih bagus lagi


kalau kalian tidak macam-macam."

"Tidak macam-macam gimana? Kami udah sah, mau aku


apain juga udah halal. Malah disuruh jangan macam-
macam."

"Aan, Ayu masih polos untuk kamu yang player. Mami


hanya tidak ingin kalau Ayu sampai hamil, kalian masih
muda. Lagi pula apa istrimu itu sudah siap punya anak?"

"Gampanglah, itu biar jadi urusanku. Tugas Mami di sini


hanya siapkan jatah untukku dan Ayu," ujar Aan lalu
beranjak meninggalkan Anggi. "Jaga kelakuan di depan
menantu, awas aja kalau Mami bawa pria ke rumah ini
lagi," ancam Aan.

Anggi hanya berdecak mendengar ancaman putranya.


Walaupun tidak setuju dengan pernikahan Aan dan Ayu

xciii
tapi dia bisa apa karena sudah terjadi. Ada hal positif
yang bisa dia lihat dari putranya karena masalah dengan
Ayu, Aan lebih bertanggung jawab. Wanita itu berharap
dengan hadirnya Ayu, Aan bisa menjadi pribadi yang
lebih baik. Meskipun orang tuanya tidak bisa
memberikan contoh berumah tangga yang baik.

xciv
Pacar Gue
"Udah jangan sedih terus," ujar Aan.

Pagi ini Ayu terbangun berada di kamar Aan, lalu


teringat Ibunya. Biasanya wanita itu akan bangunkan
Ayu sebelum pergi ke pasar. Namun, kali ini berbeda.
Ayu terbangun di kamar suaminya tidak ada lagi nasihat
keluar dari mulut ibunya.

Gadis itu merasa sangat bersalah karena penyebab awal


kepergian ibunya karena masalah dengan Aan.

"Al," panggil Aan yang melihat Ayu masih terisak.

Ayu sudah berseragam dan hendak memakai sepatunya.


Aan tidak tega melihat gadis itu kembali bersedih, dia
pun menghampiri dan duduk di samping Ayu.

"Ada gue, lo aman di sini," ujarnya sambil mengusap


punggung Ayu.

"Yakin? Kamu nggak akan usir aku?"

Aan menghapus air mata di wajah Ayu lalu menangkup


wajah itu.

"Kenapa harus gue usir, lo banyak manfaatnya buat gue,"


ejek Aan dan berhasil mendapatkan cubitan di perut dari
Ayu.

xcv
Pria itu mengaduh sambil mengusap perutnya, "Sakit
Al."

Saat ini Ayu dan Aan sudah berada di meja makan. Jika
Aan menikmati sarapannya, berbeda dengan Ayu karena
ada Anggi di sana.

"Ck, kamu pasti dibodohi Aan ya. Kalau nggak mana


mungkin kamu bisa terjebak dan suka sama dia," ujar
Anggi.

Ayu tersedak mendengar ucapan Anggi. Gadis itu


menyadari perasaannya untuk Aan, pernikahan terpaksa
yang mereka lakukan meskipun membawa luka karena
diiringi kepergian Ibunya tapi ada rasa bahagia di sudut
lain hatinya. Tidak disangka, ternyata Mami Anggi bisa
membaca perasaan Ayu untuk Aan.

"Pelan-pelan makannya," ujar Anggi lagi.

"Mami ngomong apa sih, jangan jelek-jelekin anak


sendiri deh," protes Aan kemudian mengakhiri
sarapannya.

"Eh, temui Papi kamu. Mami nggak mau dia marah-


marah karena hal ini. Ingat Ayu sekarang tanggung
jawab kamu."

"Iya, bawel bener. Ayu, ayo," ajak Aan.

xcvi
Ayu pun berdiri dan menyalami Anggi. Tentu saja wanita
itu terkejut, putranya saja tidak pernah melakukan hal itu
tapi ini Ayu ... menantunya.

Aan dan Ayu tidak berangkat bersama, karena tidak ingin


sampai diketahui sekolah kalau mereka sudah menikah.
Ayu berangkat menggunakan taksi, walaupun sempat
menolak dan ingin naik angkutan umum yang lebih
murah. Sampai di sekolah Aan memastikan kalau Ayu
sudah tiba dan masuk ke kelasnya dengan aman.

"Lo pesan makanan ke cupu nggak? Gue lapar," tanya


Jati.

"Gue gorengan aja nggak apa-apa," seru Kanta.

"Kampreet lo pada, beli sendiri di kantin.Kalaupun Ayu


bawa, ya untuk guelah," pekik Aan.

Saat ini jam istirahat dan trio gaje itu ada di tempat
biasa, pojok parkiran di mana ada deretan kursi tunggu
yang dimonopoli oleh ketiganya. Aan memang
menunggu Ayu membawakan makanan untuknya, tidak
akan menghentikan perintah itu agar Ayu tidak
dimanfaatkan oleh siswa lain.

"Yang ditunggu datang juga," seru Jati menghampiri Ayu


merebut kantong yang dibawa gadis itu.

"Eh, punya gue itu," ujar Aan.

xcvii
Jati dan Kanta tidak peduli dengan teriakan Aan dan
fokus pada makanan. Sedangkan Aan menepuk kursi di
sampingnya agar Ayu duduk.

"Nggak mau orang tahu hubungan kita, tapi panggil aku


ke sini," ujar Ayu lirih.

"Ck, itu lain cerita." Aan menyampaikan pulang sekolah


akan langsung menemui Papinya, jadi Ayu bisa langsung
pulang ke rumah.

"Kalau papi kamu menentang pernikahan kita,gimana?"


tanya Ayu pelan agar tidak ada yang mendengar apa
yang mereka bicarakan. Jati dan Kanta pun tidak
mendengar jelas apa yang dibicarakan Aan dan si Cupu.

"Itu urusan gue."

Ternyata interaksi Aan dan Ayu menjadi perhatian para


penggemar Aan yang sengaja berada di sekitar Aan.

Terdengar arahan bahwa seluruh kelas dua belas harus


kumpul di auditorium. Ayu yang akan kembali ke kelas
pun beranjak, Aan cs mengekor walaupun berjarak.
Sampai di ruangan, Ayu yang akan duduk di salah satu
kursi tersungkur karena didorong oleh seorang siswi.

"Ups, sorry. Gue nggak lihat lo, karena emang lo nggak


pantes ada di sini."

"Hooh, ngaca loh. Ngapain juga deket-deket sama Aan.


Sok kecakepan."

xcviii
Bukan mendapat pertolongan, Ayu malah dicecar dengan
ejekan dan hinaan. Gadis itu malas berdebat dan
membalas perbuatan teman-temannya. Apalagi di depan
sudah ada beberapa dewan guru dan kepala sekolah.

"Itu ada apa rame-rame, ayo cepat duduk!" terdengar


arahan lewat pengeras suara.

Aan hendak menghardik dan membalas ulah iseng yang


diterima Ayu pun urung, karena ditarik oleh Jati agar
segera duduk.

"Lo belain si cupu di sini hanya menambah masalah,"


bisik Jati.

Aan sengaja duduk tepat di belakang Ayu dan


mengawasi sekitar termasuk cibiran dan para siswi dan
bisikan mengejek Ayu. rasanya Entah mengapa ada rasa
murka di hati Aan, tidak terima Ayu diperlakukan seperti
itu.

"Gue kenapa sih? Kenapa rasanya mau belain dan


ngelindungin Ayu," ucap Aan dalam hati.

Cukup lama arahan terkait kegiatan Ujian yang akan


diselenggarakan sekolah, termasuk banyaknya kegiatan
tambahan belajar.

"Kurang-kurangin tuh kegiatan lo jadi joki," bisik Kanta.

"Berisik!" hardik Aan.

xcix
"Siapa yang berisik?" tanya kepala sekolah terdengar di
pengeras suara. "Kamu atau saya yang berisik?"

Aan pun disoraki oleh sebagian siswa yang adalah dalam


ruangan, bahkan Ayu pun ikut tertawa.

"Lanjut, Pak," teriak Aan.

"Saya atau kamu yang mau lanjut?" tanya kepala


sekolah.

"Yaelah ribet banget nih orang," ujar Aan lirih.

Akhirnya pengarahan pun selesai, siswa berebut keluar


dari auditorium untuk kembali ke kelas. Aan beranjak
berdiri di belakang kursi Ayu, agak membungkuk dan ...
mencium pipi gadis itu. Bukan hanya Ayu yang terkejut,
teman-teman Ayu dan Aan menyaksikan momen
tersebut.

"Gue duluan ya sayang, nggak usah takut ada yang iseng


lagi. Kecuali mereka bosan hidup," teriak Aan lalu
mengusap kepala Ayu. "Kalian dengar ya, ada lagi yang
usil sama pacar gue berarti lo cari gara-gara."

"Denger tuh, Ayu pacar Aan," ujar Jati. "Eh, apaan pacar
lo?"

"Cabut!" titah Aan pada Jati dan Kanta.

c
Riko yang ikut menyaksikan ulah Aan menunggu di luar
gedung sambil bersedekap, sedangkan Mona sudah
diusir karena dia ingin bicara dengan Aan.

"Woy, gimana sih. Kenapa malah jadi pacaran?


Perjanjian kita nggak begini loh," seru Riko.

"Tenang aja, tinggal tunggu waktu dia bilang suka sama


gue atau kami akan berakhir di ranjang," sahut Aan
beralasan.

"Gue tunggu ya, segera!" titah Riko.

ci
Janji Aan
"Apa? Menikah?" tanya Buana Rakabuming dengan
suara tegas.

Aan sempat tersentak mendengar respon Buana - papi -


setelah menceritakan statusnya saat ini sudah menikah
dengan Ayu. Entah kenapa nyalinya agak ciut, tidak
seperti biasanya dia selalu berani bahkan kadang
menantang Papi juga Maminya.

Namun, kali ini berbeda. Kali ini posisinya bersalah.

"I-iya."

"Kamu menikah, bahkan belum lulus SMK. Di mana


kamu taruh otakmu itu hah? Jajan dan biaya pendidikan
saja masih orangtua, sekarang kamu harus menafkahi
perempuan dengan status istri kamu?" cecar Buana.

Aan hanya bisa menatap wajah Buana tanpa berani


berkata-kata lagi.

"Sekarang Papi harus salahkan siapa, hah?"

"Salahin masyarakatlah, mereka salah paham,"sahut


Aan.

Papi Aan mengambil map di hadapannya lalu dipukulkan


ke kepala putranya. Berharap otak anaknya yang geser
bisa kembali ke tempat semula.

cii
"Mereka tidak mungkin salah paham, kalau kamu tidak
macam-macam. Papi tanya, kamu sedang apa waktu
warga datang?"

Aan menunduk dan berdecak.

"Aan! Kamu laki-laki, mengakulah kamu memang


salah."

"Kami sedang bercium4n," ujar Aan lirih.

"Di mana sekarang gadis itu?"

"Di rumah."

"Temukan Papi dengan dia, bawa juga Mami kamu,"


titah Buana.

Brak.

"Ya ampun, kamu ngagetin aja."

Ayu yang sedang fokus dengan buku pelajaran dan


bersandar pada sofa, terkejut dengan kedatangan Aan
membanting pintu kamar lalu menghempaskan tubuhnya
di ranjang.

"jadi bertemu dengan Papi kamu?" tanya Ayu.

ciii
Aan yang terlentang menatap langit-langit kamar dengan
kedua kaki masih menjuntai ke lantai, hanya menjawab
dengan berdehem.

"Lalu?"

"Papi ingin bertemu kamu juga Mami."

"Hahh."

Aan beranjak duduk, menatap Ayu yang berdiri


menatapnya. Makin ke sini, Ayu terlihat semakin
berbeda. Entah karena dirinya yang mulai menyukai
gadis itu atau memang Ayu sengaja merubah
penampilannya.

"Nanti malam, Papi undang makan malam. Nggak tahu


deh Mami mau ikut atau nggak, mereka kalau bertemu
udah kayak tom and jerry," tutur Aan lalu beranjak
menuju toilet sambil membuka satu persatu seragam
sekolah yang masih dikenakan.Ayu membalikan badan
ketika Aan hanya mengenakan boxer dan kembali ke
arahnya.

"Kenapa lo?" tanya Aan sambil terkekeh.

"Kamu mau mandi 'kan? Cepat masuk ke toilet ngapain


ke sini lagi." Ayu masih membelakangi Aan, karena tidak
ingin menod@i mata dan pikirannya dengan menatap
tubuh Aan.

civ
"Yaelah, ini berkah tahu. Para penggemar gue ngarep
banget bisa lihat beginian, lo 'kan istri gue jadi wajar aja
lihat lebih dari ini."

"Aan," teriak Ayu sambil menghentakan kakinya.

Beberapa jam kemudian.

"Ayo," ajak Aan yang sudah memakai jaket kulitnya.

Ayu menghela nafasnya pelan, mengenakan dress terbaik


yang dia punya dilengkapi dengan cardigan tentu saja
dengan kacamata menghias wajahnya dan rambut diikat
rapi.

"Gimana kalau Papi kamu tidak setuju dengan


pernikahan kita, lalu aku disuruh pulang?" Ayu bertanya
sambil menuruni anak tangga. Aan yang berjalan di
depannya mengabaikan pertanyaan Ayu, karena dia pun
tidak tahu apa yang akan disampaikan Papinya setelah
bertemu dengan Ayu.

"Aan," rengek Ayu ketika keduanya sudah berdiri di


samping motor.

"Apaan?"

"Ish, kamu dengar nggak sih apa yang aku bilang dari
tadi?"

"Dengarlah."

cv
"Lalu?"

"Aku nggak tahu Al, mending kita temui Papi deh biar
nggak bertanya-tanya terus."

Ayu pun menaiki motor Aan.

"Pegangan," titah Aan, Ayu berdecak kemudian


mengalungkan tangannya di pinggang pria itu.

Tidak sampai tiga puluh menit, mereka sudah tiba di


restoran di mana Buana sudah menunggu. Aan
menggenggam tangan Ayu waktu berjalan memasuki
restoran. Seorang pelayan membukakan pintu private
room dan mempersilahkan Aan dan Ayu masuk.

Sudah ada seorang pria paruh baya yang masih terlihat


gagah, tidak kalah tampan dari Aan.

"Malam Pih," sapa Aan.

"Hm, duduklah!."

Aan dan Ayu duduk bersisian, berhadapan dengan pria


itu. Ayu menunduk karena mendapatkan tatapan tajam
dari Papi Aan.

"Dia Ayu pih," ujar Aan. "Ayu, beliau Buana


Rakabuming. Pria yang sudah menyebabkan aku lahir ke
dunia ini, seru Aan.

cvi
Ayu berdiri lalu memutari meja dan menghampiri Buana
yang mengernyitkan dahinya melihat gadis bernama Ayu
mendekat bahkan mengulurkan tangannya. Pria itu
menduga kalau Ayu ingin berjabat tangan, tapi setelah
tangannya terulur Ayu malah mencium punggung
tangannya. L

"Saya Ayu, Om."

"Hm, duduklah," titah Buana. "Di mana Mami kamu?"

Belum juga Aan menjawab, pintu ruangan terbuka dan


masuklah Anggi.

"Sorry telat," ujarnya lalu duduk di samping Buana.

"Jangan bertengkar. Kalian bertengkar, kita bakal


tinggal," seru Aan pada pasangan di hadapannya.

Anggi mengusulkan untuk memesan makanan, sebelum


mereka bicara. Sambil menunggu pesanan datang, Buana
pun mengawali pembicaraan.

"Apa rencanamu dengan mereka berdua?"

tanya Buana.

"Rencana aku? Harusnya kamu bantu cari solusi harus


bagaimana, jangan serahkan semua ke aku."

"Ck, mulai sela Aan.

cvii
"Aku bukan serahkan semua ke kamu, tapi aku tanya
kamu sudah ada rencana atau belum?"

"Ya belumlah, aku baru bertemu dengan gadis ini


semalam," sahut Anggi.

Buana menatap Aan dan Ayu bergantian, kemudian


memijat pelan dahinya.

"Sebentar lagi kalian ujian dan Papi tidak ingin


pendidikan kamu terganggu, kamu harus tetap kuliah
sesuai kesepakatan kita," tutur Buana. "dan kamu Ayu."

Ayu menegakkan tubuhnya menunggu Buana kembali


bicara.

"Apa rencanamu ke depan?"

"A-aku sebelumnya ingin bekerja. Bantu ibu cari uang,


tapi sekarang... aku tetap akan bekerja karena aku nggak
tahu masa depanku akan bagaimana," tutur Ayu lalu
menunduk.

"Aan, Papi tanya lagi. Kamu sebagai suami Ayu, akan


lakukan apa untuk hidupnya?"

"Aku sudah bilang ke Mami tadi pagi. Bukan

hanya biaya pendidikan untuk aku yang kalian harus


siapkan, tapi juga untuk Ayu. Aku nggak akan biarkan
dia bekerja," ungkap Aan.

cviii
"Kamu cinta dengannya?" tanya Mami.Ayu menoleh ke
arah Aan, menunggu jawaban pria itu. Sedangkan Aan
yang menjadi pusat perhatian istri dan orangtuanya,
menggaruk kepala yang tidak gatal.

"I-iya gimana ya ...."

"Kalau kamu tidak cinta sama Ayu, talak dia lalu mami
akan urus tempat tinggal dan kuliahnya tapi kamu jangan
pernah ganggu dia lagi."

"Ck, nggak ada ya. Aku nggak akan talak Ayu. setelah
kami lulus aku ingin pernikahan kami didaftarkan secara
resmi."

"Sebelum itu terjadi, pastikan Ayu tidak hamil. Kalau


perlu kalian jangan tinggal satu kamar," cetus Papi Aan.

"Hahh, pisah kamar? Nggak, nggak bisa gitu. Kalau


masalah jangan hamil sebelum lulus, itu mah gampang,"
seru Aan.

"Maaf, aku tidak ingin jadi beban keluarga kalian. Aku


tidak masalah tidak lanjut kuliah. Lagi pula aku tidak
yakin Aan akan tetap pada keputusannya. Mana tahu
besok dia ...."

"Gua serius...Ayu."

cix
Pernyataan Cinta Ayu
Sudah lebih dari satu minggu Ayu tinggal bersama Aan,
dan Anggi selalu bertindak seakan satpam di antara putra
dan menantunya. Selama itu pula Aan hanya bisa gigit
jari karena Ayu tidur di kamar terpisah.

"Mau ngapain kamu?" tanya Anggi sudah berada di


belakang Aan yang hendak mengetuk kamar Ayu.

"Yaelah Mih, aku mau tanya tugas doang."

"Halah, Mami nggak percaya. Kamu dilahirkan dengan


otak yang lumayan cerdas, masalah tugas sekolah bukan
alasan. Balik ke kamarmu," titah Anggi yang dibalas
dengan decakan.

"Mih, senin kami ujian. Masa kami gak boleh belajar


bareng," keluh Aan.

"Boleh dong, tunggu di bawah aja nanti Mami dan Ayu


nyusul."

"Hah, di bawah?"

"Iya, memang kamu berharapnya di mana? Kalau belajar


di kamar, yang ada kalian hanya fokus belajar biologi."3
Aan merajuk pada Anggi, tapi wanita itu tidak mau kalah
karena sudah sepakat dengan Buana agar memisahkan
sementara Aan dan Ayu sampi keduanya selesai ujian.

cx
"Sudah sana ke kamar kamu, tunggu sampai beres ujian.
Nggak sabar banget sih," keluh Anggi sambil mendorong
pelan punggung Aan agar menjauh.

Sampai di kamar, Aan menghentakan kaki dan mengacak


rambutnya.

"Padahal gue mau dekat sama istri sendiri, tapi susah


amat ya. Gue tunggu sampai Mami tidur, setelah itu gue
beraksi," gumam Aan.

Pria itu berbaring di ranjang dan membuka ponsel.,


mengirim pesan untuk Ayu.

[Ayu]

Tidak lama ada balasan dari Ayu.

[lya. Jangan minta yang aneh-aneh, Mami ada di luar]

"Astaga, Mami kayak nggak pernah muda aja," teriak


Aan.

Alih-alih beristirahat atau belajar untuk persiapan ujian,


Aan malah pergi dan bergabung dengan teman geng
motornya. Apalagi ini malam minggu, mereka bisa
berkeliling atau kumpul di satu tempat sampai tengah
malam bahkan mungkin hingga pagi menjelang.

"Woy mana janji lo, gimana kalau tantangannya gue


ganti," seru Riko.

cxi
"Janganlah, Ayu udah di tangan gue. Lo nggak tahu
kalau dia tuh udah menunjukan kalau dia suka, artinya
gue udah lakuin tantangan dari lo."

"dan gue lihat lo juga suka sama Ayu," cetus Riko. "Ya
udahlah, malam ini kita rayakan kalau lo hampir
menang," usul Riko.

Aan, Riko dan yang lainnya menghabiskan malam


dengan minum alkohol. Walaupun tidak sampai mabuk
parah, tapi Aan mulai oleng.

"Kayaknya gue duluan, kelamaan di sini bisa semaput.


Yang ada gue dipecat sama bokap gue."

"Halah, cemen lo," ejek Riko.

"Terserah lo, gue dalam pemantauan. Dari pada dicoret


dari kartu keluarga," ungkap Aan.

Aan mengendarai motornya dengan penglihatan tidak


jelas dan kepala berat. Bahkan dia hampir menabrak
kendaraan lain yang melintas berlawanan arah.

"Shitt," maki Aan menghindari tabrakan dengan


membanting motornya dan ... terguling bersama
motornya.

"Aaaa," erang Aan merasakan nyeri di kakinya.

Karena sudah tengah malam, tidak banyak orang yang


ada disekitar kejadian Aan terjatuh. Dibantu menepi

cxii
termasuk juga motornya, Aan menghubungi Ayu dan
Maminya tapi tidak ada jawaban. Sepertinya para wanita
itu sudah tidur dan tidak menyadari panggilan telepon
dari Aan.

"Tinggal di mana Bang?"

"Nggak jauh dari sini kok," sahut Aan.

"Mau diantar ke rumah sakit Bang?:

"Pulang aja, tapi nanti tunggu mereka bangun untuk


jemput," ujar Aan.

Menjelang subuh Ayu terjaga dan melihat ada banyak


panggilan telepon dari Aan. Gadis itu mendatangi kamar
Aan dan

"Ayu, Aan kecelakaan," ujar Mami Anggi.

"Kecelakaan?"

"Hm, semalam dia keluar. Katanya sih terguling, dari


motor. Sekarang lagi di jemput supir Mami."
"Dijemput? Nggak dibawa ke rumah sakit aja Mih," usul
Ayu.

"Aan bilang nggak ada luka parah, kita lihat nanti deh."

Ayu menunggu kedatangan Aan dengan cemas, gadis itu


begitu mengkhawatirkan suaminya. Dia menyesal
semalam mengabaikan Aan dan berakhir seperti

cxiii
sekarang. Terdengar deru mobil, sepertinya Aan sudah
tiba. Pria itu masuk dipapah oleh supir Mami Anggi.

"Bawa ke kamar aja!" titah Mami Anggi.

Sampai kamar, Ayu menunjuk sofa, akhirnya Aan


didudukan di sofa. Anggi menatap putranya sambil

bersedekap.

"Mami nggak habis pikir dengan kelakuan kamu,


masalah satu belum kelar udah cari masalah lain."

"Udah Mih, nggak usah ceramah. Aku ngantuk dan ini


pada perih," keluh Aan.

"Ayu, gantikan baju Aan lalu obati luka-lukanya. Setelah


itu pastikan dia tidur."

"Mami biarkan aku dan Ayu se kamar?" tanya Aan.

"Memang kamu mau ngapain dengan luka dan jalan aja


harus dibantu," ejek Anggi lalu meninggalkan kamar
Aan.

Ayu bergegas mengambil pakaian ganti dan air untuk


menyeka luka di tubuh Ayu.

"Al," panggil Aan karena Ayu bungkam meskipun


tangannya cekatan melepaskan pakaian pria itu dan
hanya menyisakan boxer.

cxiv
"Al pelan-pelan," rengek Aan ketika Ayu membersihkan
luka dan mengoleskan obat.

"Perih?" tanya Ayu.

"Iya, sakit tahu."

"Kamu mabuk 'kan? Waktu minum dan keluyuran nggak


mikir kalau bakalan begini, sekarang mengeluh," ujar
Ayu dengan suara bergetar.

"Al, lo nangis ya?" Aan menahan tangan Ayu dan


menangkup wajah gadis itu dan benar saja Ayu memang
menangis. "Tenang aja sih, ini mah luka kecil. Gue
pernah rasakan lebih parah dari ini."

"Tenang kamu bilang? Waktu Mami bilang kamu


kecelakaan, aku... takut."

Aan menghapus air mata di wajah Ayu. "Tapi gue nggak


apa-apa, Al."

"Kamu pernah berpikir nggak, kalau sesuatu terjadi sama


kamu lalu aku harus gimana? Aku nggak ada siapa-siapa
lagi yang bisa diandalkan selain kamu," tutur Ayu.

Kalimat Ayu cukup mengena di hati Aan. Apa yang


terjadi dengan gadis itu adalah ulahnya dan dirinya satu-
satunya tempat Ayu bersandar.

"Iya, nggak usah nangis Al. Gue baik-baik saja."

cxv
"Kamu nggak ngerti, aku tuh sayang sama kamu dan ...."

"Tunggu! Lo bilang sayang sama gue?"

Ayu mengusap pipinya dan mengangguk pelan.

"Iya, aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu.


Terserah kamu mau percaya atau nggak, mau dibalas
atau nggak. Yang jelas hmmm....."

Aan menghentikan ocehan Ayu dengan membungkam


mulut gadis itu dengan bibirnya

cxvi
Baby Twin
"Maksudnya kembar, Dok?" Aan memastikan apa yang
dia dengar.

Sambil menggenggam tangan Ayu yang berbaring di


brankar, dimana sedang dilakukan USG untuk
mengetahui perkembangan janin yang dikandungnya.
Aan menata layar yang menunjukan kandungannya.

"Iya, ini ada dua kantung," ujar dokter lagi.

Aan menoleh, menatap Ayu yang juga menatap ke


arahnya. Senyum terbit di wajah Aan lalu mencium
kening istrinya.

"Ada dua Al, anakku ada dua," bisiknya.

"Kita dengarkan detak jantungnya ya."

Terdengar detakan jantung calon bayi Aan dan Ayu,


benar saja ada dua detakan. Artinya anak mereka
memang kembar. Aan mengusap wajahnya karena begitu
bahagia. Tidak pernah dia menduga akan menjadi
orangtua semuda ini, bahkan dengan Ayu sebagai
istrinya. Sedangkan hubungan mereka dulu jauh dari rasa
sayang.

Saat ini kandungan Ayu sudah memasuki bulan ke


empat. Pemeriksaan sebelumnya, dokter tidak pernah
mengatakan kalau Ayu hamil anak kembar.

cxvii
"Ini tali pusatnya Pak, air ketubannya juga bagus.
Perkembangan berat dan panjang untuk bayi kembar bisa
dikatakan ini normal ya," jelas dokter masih dengan alat
yang ditempelkan pada bagian bawah perut Ayu.

"Jangan mengerjakan yang berat-berat ya Bu. Bergerak


boleh, aktivitas juga boleh dan jangan sedih apalagi
stress. Sangat tidak baik untuk perkembangan bayi."

Pemeriksaan selesai, Aan dan Ayu sudah duduk di depan


meja dokter. Mendengarkan kembali apa yang harus dan
boleh mereka lakukan. Aan tidak melepaskan
genggaman tangan Ayu.

"Ini saya resepkan vitamin, dihabiskan ya bu. Apa ada


yang ingin ditanyakan," ujar dokter pada pasangan yang
terlihat bahagia.

"Ehm, itu dok masalah ...." Aan tidak melanjutkan


ucapannya dan melirik Ayu yang mengernyitkan
dahinya.

Ayu tidak tahu Aan akan bertanya apa. Tidak biasanya


pria itu terlihat ragu dan takut, pada Ayu tentunya.

"Ada masalah lain atau keluhan lain yang saya tidak


tahu?" tanya dokter menatap bergantian calon orangtua
di depannya.

"Oh, bukan masalah. Hanya mau tanya, sesering apa


saya boleh sentuh istri saya dok?" tanya Aan sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

cxviii
"Owh itu," sahut dokter sambil tersenyum, mungkin
pertanyaan biasa yang ditanyakan oleh pasangan yang
menunggu kelahiran anak mereka.

Ayu melirik sinis pada suaminya, sedangkan Aan hanya


terkekeh pelan. Wanita itu lupa kalau suaminya memiliki
tingkat kemesuman yang cukup tinggi dan cenderung
tidak tahu malu.

"Boleh saja, tapi harus dilakukan dengan pelan dan


mengutamakan kenyamanan ibu hamil. Biasanya wanita
hamil akan sangat berhati-hati dan dibatasi jangan setiap
hari ya pak, kasihan Ibunya."

"Denger tuh," seru Ayu.

"Iya, sayang," ujar Aan sambil mengusap kepala istrinya.

Setelah meninggalkan ruang pemeriksaan, Aan


mengantri di farmasi dan Ayu menunggu di deretan kursi
tunggu. Ayu sudah bisa menjalani kehamilannya dengan
baik, karena rasa mual dan muntahnya sudah mulai
hilang. Hanya sesekali saja, rasa mual kembali mendera
meskipun tidak sampai mengeluarkan isi perutnya.

"Ayo," ajak Aan mengulurkan tangannya.

"Sudah beres?" tanya Ayu sambil menengadah.

"Sudah, ini vitaminnya."

cxix
Ayu memeluk lengan Aan sepanjang berjalan di koridor
rumah sakit menuju parkiran. Sesekali dia tersenyum
karena Aan berbisik menggodanya.

"Mau makan sesuatu atau beli sesuatu?" tanya Aan


setelah memastikan Ayu sudah duduk dengan nyaman
dan seat belt telah terpasang.

"Langsung pulang aja. Mami bilang kalau aku mau


makan sesuatu sebaiknya minta Bibi yang buat, nggak
baik beli di luar."

"Hm, ya sudah kita pulang ya."

Sepanjang perjalanan, Aan bersenandung sambil fokus


pada kemudi sedangkan Ayu fokus pada layar ponselnya.

"Eh, Al. Kalau setiap hamil kita dapat anak kembar, tiga
kali kamu hamil dan melahirkan... jumlahnya sudah
enam. Efektif juga ya, kalau kembar terus," tutur Aan
dan langsung mendapat cubitkan di pinggang dari
istrinya.

"Sakit yang, kok cubit-cubit sih."

"Enak aja kalau ngomong. Tiga kali hamil dapat kembar


terus. Ini saja masih proses, sudah pikirkan yang nanti-
nanti."

"Namanya juga rencana. Biar kamu nggak capek, bolak-


balik hamil," ujar Aan lagi.

cxx
Sampai di rumah, kebetulan ada Anggi yang tidak
beraktivitas. Karena tahu Ayu dan Aan pergi untuk
memeriksakan kehamilan Ayu, tentu saja disambut
dengan antusias.

"Gimana, sehat 'kan bayi kalian?"

"lya Mih," jawab Ayu.

"Mih, kami akan kasih Mami dan Papi dua cucu. Yes yes
yes," seru Aan sambil menarik kepalan tangannya
layaknya ekspresi orang yang sedang mendapatkan atau
memenangkan sesuatu.

"Dua? Maksudnya kembar?"

"Iya. Aku bakal dapat bayi kembar."

"Beneran Al?"

Ayu tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Tentu


saja Anggi ikut senang bahkan langsung menghubungi
suaminya.

"Aan bawa istrimu ke kamar. Istirahat bukan main yang


aneh-aneh," titah Anggi. "Halo, Pih," seru wanita itu
menjauh dengan ponsel ditempelkan pada telinganya.

"Ayo sayang, kita ke kamar."

"Aku mau ambil buah dulu."

cxxi
"Nanti aku bawakan, sekarang kamu ke kamar. ganti
baju dan rebahan-rebahan cantik."

"Kata Mami jangan main yang aneh-aneh."


"Aku nggak ajak kamu main yang aneh, tapi main yang
enak.

"Aan, Ih!"

"Nggak sayang, bercanda doang kok. Ayo kita ke


kamar."

Ayu kembali memeluk lengan suaminya, begitu erat


seakan takut kalau Aan akan pergi atau
meninggalkannya. Setelah membersihkan diri dan
berganti dengan dress maternity rumahan yang simple
dengan bahan lembut di kulit, Ayu berbaring di
ranjangnya.

"Aku ambilkan buah atau makan?"

"Makan nanti saja, aku masih kenyang. Buah aja, yang


seger ya."

"Hm."

Aan bukan hanya terlihat menjadi suami bucin, bahkan


dia mulai membiasakan tidak menyebut lo gue ketika
berbicara dengan Ayu. Pria itu sedang menunggu bibi
memotong buah kesukaan Ayu, sambill membuka ponsel
karena sejak tadi terasa getaran dan notifikasi.

cxxii
Ada beberapa pesan masuk, salah satunya dari Riko.
Menginformasikan kalau geng motor di mana mereka
masih aktif sebagai anggota, ditantang geng lain untuk
balap liar.

[Lo belum jadi pengecut untuk menolak ajakan ini,


'kan?]

Aan berdecak membaca pesan paling akhir dari Riko.


Ayu masih mengizinkan Aan bergabung dengan
komunitasnya, tapi kalau balap liar baik Ayu atau
orangtuanya tentu saja tidak mengizinkan.

cxxiii
Geng Motor
Aan menghentikan mobilnya setelah parkir dengan rapi,
sempat heran ketika melihat ada mobil asing berada di
carport kediaman orang tuanya.

"Kayaknya ada tamu," seru Ayu.

"Hm."

Keduanya pun keluar dari mobil dan bergegas ke dalam


rumah. Jika Ayu bergegas karena tidak sabar ingin
bertemu dengan si kembar, lain halnya dengan Aan yang
ingin tahu siapa tamu yang datang. Dia pun kangen juga
dengan si kembar, tapi rasa penasarannya lebih kuat
dibandingkan ketenangan karena bayi-bayinya yang
aman bersama Anggi.

"Loh, nggak ada tamunya. Terus itu mobil siapa,"


gumam Aan.

"Mobil Papi yang lain mungkin."

"Nggak mungkin, bukan style Papi model mobil kayak


gitu."

Ternyata ada interaksi di ruang keluarga. Orang Tua Aan


juga seorang gadis yang terlihat mengoceh dan berhenti
bicara karena kedatangan Aan dan Ayu.

cxxiv
"Eh kalian sudah datang?" tanya Anggi. "Si kembar lagi
tidur, ada Sus Mela yang jaga. Kamu bebersih dulu ya
sebelum ketemu mereka," titah Anggi pada Ayu.

"Iya ...."

"Lo ngapain di sini?" bentak Aan, bahkan Ayu sampai


menghentikan ucapannya.

"Aan, yang sopan," tegur Buana.

"Sama dia ngapain gue harus sopan. Mami ngapain juga


harus menerima ini orang," tunjuk Aan pada gadis yang
duduk terpisah dengan orangtuanya.

Gadis yang ditunjuk Aan adalah Aida, putri sambung


Buana. Aan mengenalnya karena sang Papi pernah
mengenalkan pada keluarga besar ketika masih hidup
bersama dengan Ibu dari gadis itu.

"Urusannya apa sama lo, gue mau ketemu Ayah," ujar


Aida.

"Ayah tiri dan sekarang udah nggak ada hubungan sama


lo. Dia udah cerai sama Ibu lo," pekik Aan. Anggi hanya
menggelengkan kepala melihat kemarahan Aan.

"Aan," panggil Ayu sambil menggenggam tangan


suaminya untuk meredakan emosi pria itu.

"Sudah Aan, kamu lebih baik ke atas. Ini urusan Papi."

cxxv
"Nggak bisa gitu Pih, aku tahu dia ke sini Cuma mau
morotin papi sama kayak...."

"Aan! Ada mami di sini, paling tidak kamu hargai


beliau," sela Buana menghentikan Aan agar tidak
semakin meluapkan kalimat yang mungkin lebih kasar.

"Ayo ke atas," aja Ayu.

"Hati-hati Mih, jangan percaya sama mulutnya," teriak


Aan ketika menaiki anak tangga.

"Kamu dengar tadi? Apa yang dikatakan oleh Aan benar.


Kamu bukan putri kandung Buana, jadi jangan menuntut
apa-apa. Masih baik suamiku mau membiayai kuliah
kamu, bukan gaya hidup kamu," ujar Anggi dengan
ketus. Berbeda dengan gaya bicara dengan Ayu.

"Kalau Ayah Buana nggak keberatan kenapa Tante


sewot."

"Aida, tentu saja aku keberatan. Aku hanya akan biayai


kuliah kamu sampai sarjana, tidak untuk yang lain."

"Ayaaah," rengek Aida. "Terus perempuan tadi siapa?


Kenapa kalian terlihat baik sama dia."

"Itu Ayu istrinya Aan, menantu keluarga ini," sahut


Anggi.

"Hahh, Aan udah nikah? Nggak salah," ejek Aida lalu


terbahak.

cxxvi
Anggi beranjak dari duduknya, "Pih, cepat usir dia. Aku
nggak mau kita bertengkar atau hubungan keluarga ini
renggang karena kehadiran dia."

Anggi pun meninggalkan Buana dan Aida. Aida kembali


merengek, sedangkan Buana acuh dan terlihat
menghubungi seseorang.

"Hm. Aku sudah transfer untuk pendidikan Aida.


Nasehati dia agar tidak mengganggu keluargaku," ujar
Buana dengan ponsel menempel di telinga dan menatap
Aida.

"Ayah hubungi siapa sih?"

"Ibumu. Pulanglah!"

"Nggak bisa gitu dong, Ayah nggak adil. Masa ke Arya


sampai ngasih modal untuk buka usaha, aku yang minta
dibiayai untuk liburan aja nggak dikasih."

"Ini beda kasus Aida, Arya perlu didukung karena ada


urusannya dengan masa depan bukan foya-foya seperti
kamu. Sudahlah, aku sibuk," ujar Buana lalu beranjak
meninggalkan Aida.

"Ish, nyebelin."

"Perempuan itu siapa?"

Aan masih dengan wajah kesal, tidak langsung


menjawab. Pria itu melepaskan sepatunya lalu

cxxvii
menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Anak mantan istrinya Papi," sahut Aan. "Paling ke sini


untuk morotin uang papi."

"Masa sih? Jangan buruk sangka dulu dong, mungkin aja


mau silaturahmi dengan Papi."

"Nggak mungkin." Terdengar tangisan dari salah satu


bayi mereka, Ayu pun bergegas menuju connection door
menuju kamar baby. "Sayang, bersih-bersih dulu dong,
mana tahu ada kuman di tubuh kamu."

"Iya."

Sementara Ayu sibuk dengan kedua bayinya, Aan berada


di balkon dan melihat masih ada mobil milik Aida.

"Kampreett, ngapain dia belum pulang juga." Pria itu


bergegas turun ke lantai satu dan menemui Aida yang
masih asyik bermain ponsel di ruang keluarga.

"Belum pulang juga lo? Nggak tahu malu juga ya," ejek
Aan.

"Apaan sih, aku mau ketemu ayah. Nggak usah usir-usir


deh."

"Sana cari Ayah kandung lo, Buana itu Papi gue," teriak
Aan. "Papi dan Mami udah bahagia, jangan ganggu
lagi."

cxxviii
Perdebatan itu berakhir ketika Ayu turun menggendong
Cipta.

"Bad boy nikah muda," ejek Aida.

"Bukan urusan lo. Yang penting gue bahagia dan nggak


ngerusak rumah tangga orang."

"Pantea jarang lihat lo di komunitas, taunya ngumpet di


ketiak istri lo."

"Komunitas? Komunitas apa?" tanya Ayu.

"Geng motorlah, lo nggak tahu?" tanya Aida.

Cinta Sang Berandal (2)


Beberapa tahun ke belakang, Buana begitu terlena
dengan keluarga barunya begitu pun dengan Anggi yang

cxxix
sibuk dengan kekasihnya. Tanpa sadar kalau mereka
hanya dimanfaatkan. Bahkan ketika kembali rujuk,
Buana masih saja diganggu dengan kehadiran Aida -
anak sambungnya.

"Jangan ditanggapi lagi Pih."

"Hm. Papi hanya ingin hidup kita tidak ada masalah dan
aman-aman saja. Sudah ada orang yang akan urus
masalah ini. Kamu fokus saja dengan kuliah dan
keluarga kecilmu. Perusahaan dan asset Papi yang lain
akan tetap menjadi milik kamu sepenuhnya," tutur
Buana. Sukses dan hanya memiliki anak kandung satu-
satunya yang akan meneruskan apa yang dia milik.

"Bukan gitu Pih, aku hanya tidak ingin keluarga kita


terganggu."

Entah rahasia apa yang Aida miliki sampai berani


mengancam Buana, membuat Aan semakin tidak
menyukai perempuan itu.

"Bro, ternyata nyali lo Cuma segitu aja. Padahal ini


kesempatan, kita udah punya nama dan pengalaman,
ayolah gabung."

Riko masih membujuk dan agak memaksa Aan untuk


bergabung dalam komunitas. Jiwa berandalan pria itu
kembali berkobar ketika ada ajakan untuk membentuk
komunitas baru. Aan masih pada keteguhan hatinya
untuk tidak lagi terlibat dengan masalah geng motor.

cxxx
"Lo mau ejek gue sampai bibir bengkak juga terserah
aja. Sudah cukup kita main-main, sekarang waktunya
mikirin masa depan."

"Halah, orangtua kita tuh pengusaha dan mereka sukses.


Sudah pasti kita yang akan meneruskan apa yang mereka
punya, nyantai aja sih."

"Terserah lo. Gue tetep nggak bisa ikut."

"Cemen lo!"

Aan meninggalkan Riko, bosan dengan ocehan tidak


masuk akal dari sahabat masa putih abunya. Sedangkan
Riko langsung menemui geng barunya.

"Gimana, berhasil?" tanya Aida.

"Nggak mau dia, udah kalah sama Ayu. Aan sekarang


lebih takut kehilangan istrinya dari pada harga dirinya,"
ejek Riko.

"Apa istimewanya si Ayu itu, bahkan Ayah Buana pun


lebih respek sama tuh cewek. Gue udah belain pindah
kampus," keluh Aida.

Rencana Aida sepertinya tidak main-main, sengaja


berada dekat dengan Aan dan Ayu bahkan sengaja
mendorong Aan agar ikut dalam geng motor di mana dia
juga terlibat.

cxxxi
"Sudahlah, Aan urusan gue. Bukan Cuma masalah
keluarga Aan alasan lo pindah gabung dengan kita, tapi
gue 'kan?"

"Itu tahu. Ayolah kita cabut, lagi malas kuliah."

"Tunggu!"

Ibra ketua geng yang baru saja dibentuk menghentikan


niat Riko dan Aida yang akan meninggalkan
perkumpulan itu. Bandits, nama geng yang baru saja
dikukuhkan termasuk memilih Ibra sebagai ketua dan
Riko sebagai perekrut anggota.

"Kalian tahu perkumpulan ini dibentuk sebagai ajang


kita unjuk gigi, bukan karena urusan lo dan lo dengan
seseorang. Gue nggak peduli si Aan atau Gantar
sebelumnya joki handal atau apalah, tapi sekarang fokus
lo untuk Bandits."

"Tenang bro, gue tahu itu. Maksudnya gue mau rekrut


Aan untuk menambah kekuatan kita," sahut Riko.

"Terserah. Malam ini kita beraksi, jangan sampai telat.


Khusus untuk lo," tunjuk Ibra pada Aida. "Jangan sok
kecakepan, perempuan yang gabung dengan geng motor
sudah pasti rusak. Gue yang berkuasa, bukan lo."

"Gue penasaran, apa hebatnya Aan dan ceweknya," ujar


Ibra setelah Riko dan Aida pergi.

cxxxii
"Bukan ceweknya, tapi istri. Aan sudah menikah," jelas
salah satu anggota Bandits.

Sedangkan di tempat lain, Ayu dan Mona baru saja


keluar kelas karena kuliahnya berakhir. Pandangan mata
keduanya terpaku pada pasangan yang baru saja lewat.
Riko dan Aida.

"Riko."

"Aida."

Ayu dan Mona serempak bergumam.

"Lo kenal cewek itu?"

"Aan yang lebih kenal," sahut Ayu. "Kayaknya mereka


dekat deh, kamu nggak apa-apa?"

Mona mengedikkan bahunya. Cemburu pasti, tapi


terpuruk hanya akan membuat dirinya rugi. Tetap ada
sesal karena kebersamaan dengan Riko selama ini harus
berakhir dan bodohnya dia sudah berikan semua pada
pria itu.

"Sakit sih, tapi mau gimana lagi," ujar Mona lirih.

Ayu menepuk bahu sahabatnya seraya memberi kekuatan


dan semangat.
"Riko bukan yang terbaik untuk kamu. Aku yakin nanti
akan ada pria yang memang lebih pantas menjadi masa
depan kamu."

cxxxiii
"Apa masih ada yang mau nerima gue?"

"Pastilah, kamu cantik dan ...."

"Tapi gue udah, lo tahu 'kan?"

"Al, udah selesai?" tanya Aan yang berjalan ke arah Ayu


dan Mona.

"Aku duluan ya," pamit Ayu.

Mona mengangguk dan melambaikan tangannya, lalu


berbelok ke arah berbeda dengan Ayu dan Aan.

Sampai di mobil, Ayu menanyakan masalah Aida dan


Riko.

"Aida sama Riko? Kamu nggak salah lihat?"

"Nggak, aku yakin banget. Mona juga lihat kok. Mereka


dekat dan bahkan gandengan tangan dan Riko
mengabaikan Mona. Sumpah aku kesal lihatnya, gimana
jadi Mona ya."

"Ngapain Aida di kampus kita?" gumam Aan.


"Kayaknya aku harus tanya Papi."

Babak Belur

cxxxiv
Aan mendekat lalu mengusap kepala istrinya, juga
mengusap pelan pipi Ayu.

"Apa aku menakutimu? Maaf," ujar Aan.

"Siapa yang berani menyakiti dan mengusikmu, hmm?"

Ayu menelan salivanya, tiba-tiba lidah terasa kelu dan


tenggorokan mendadak kering bak musim kemarau.

"Siapa dia Al, apa aku mengenalnya?"

"Riko," jawab Ayu lirih.

Aan mengernyitkan dahi, tangannya mulai mengepal.


Raut tegang wajah sudah begitu kentara. Entah apa yang
akan dia lakukan pada Riko karena sudah berani
mengusik hidupnya

"Aan," panggil Ayu sembari turun dari brankar lalu


mengambil tasnya dan mengejar langkah suaminya.

"Aan," panggil Ayu lagi.Langkah Aan menuju kelas dan


tidak ada Riko di sana. Ketika berada di koridor dan
menanyakan posisi Riko pada teman yang ditemui. la
berpapasan dengan Ibra dan Doni. Doni menanyakan
keadaan Ayu yang terlihat lelah dan ketakutan.

"Kalian mau kemana?" tanya Doni. "Kamu kenapa Al?"

"Lo lihat Riko?" tanya Aan.

cxxxv
"Apa Riko buat masalah lagi?" tanya Ibra.

"Bukan masalah, tapi rasanya ingin gue bu nuh dia."

"Aan," tegur Ayu.

"Kayaknya dia berulah juga sama Ayu? Apa temen lo itu


banc! ya, tadi dia ganggu Mona."

"Udahlah nggak usah kelamaan, lo lihat Riko nggak?"


tanya Aan.

"Tadi dia berulah di koridor sana," tunjuk Ibra. "Entahlah


sekarang ada di mana."

Ayu kembali mengejar Aan dan ... gotcha. Ada Riko


sedang berbincang di antara beberapa mahasiswi junior.
Dari jauh terdengar kalau pria itu sedang membual dan
sombong untuk mendapatkan perhatian dari para
perempuan.

"Lo mau nemenin gue balap nggak? Setiap joki biasanya


didampingi cewek, keren 'kan kalau bisa nemenin gue."

Bugh.

"Bangs4t," pekik Riko setelah ia terjungkal karena


tendangan Aan. Riko bangkit dan perempuan-perempuan
tadi bubar karena takut terlibat atau berada dalam
masalah.
"Ada apaan sih?" tanya Riko seakan tanpa rasa bersalah.

cxxxvi
Aan mencengkram kerah kemeja Riko lalu melayangkan
kepalan tangan ke wajah pria itu.

"Aan," panggil Ayu yang ketakutan. Takut jika Riko


membalas lebih parah dan membuat Aan terluka.

"Ayu, jangan," ujar Ibra ketika Ayu akan menghampiri


Aan. "Riko harus dapat pelajaran."

Wajah Riko bahkan sudah babak belur. Ujung bibirnya


berdarah begitupun dari hidung keluar darah segar.

"Aan lo gil4 ya? Rela ngerusak persahabatan kita?"


tanya Riko dengan rahangnya dalam cengkraman Aan.

Pertanyaan Riko membuat Aan menghentikan tangan


yang siap menghantam.

"Lo yang bikin persahabatan kita rusak. Apa maksud lo


melukai Ayu?" teriak Aan.

"Yaelah, bro. Jadi karena perempuan itu? Lo bisa cari


lagi kali, masih banyak yang lebih cantik dari Ayu," ujar
Riko dengan enteng dan merendahkan.

Ibra dan Doni bahkan menggelengkan kepala juga


berdecak mendengar pernyataan pria yang sudah hampir
tidak berdaya dan saat ini mengaduk kesakitan.

"Gara-gara perempuan. Cari lagi. Gue tanya sekarang,


apa ada perempuan baik di samping lo? Ada mudah lo
cari cewek yang serius dan baik? Nggak 'kan? Dua

cxxxvii
wanita paling berharga di hidup gue yaitu Mami dan
Ayu, lo udah mengusik hidup gue dengan mencelakai
Ayu. Dengan mudahnya bacot lo minta gue cari lagi?
Udah nggak waras lo ya," tutur Aan sambil berteriak.

"Yaelah."

"Gue lebih baik nggak kenal sama lo daripada


kehilangan Ayu." Aan mundur lalu mengambil ancang-
ancang dan kembali menendang tubuh Riko hingga
terpental membentur tiang.

Pria itu merintih kesakitan sambil memegang wajahnya


yang sudah terlihat lebam dan babak belur.

"Aan, cukup!" teriak Ayu.

Aan kembali akan merangsek untuk memberikan


pelajaran. Namun, ditahan oleh Doni karena kondisi
Riko yang sudah parah dan banyak yang menyaksikan
kejadian tersebut.

"Cukup. Yang harus kamu perhatikan kondisi Ayu. Dia


pasti terkejut dan ketakutan, melihat suaminya memukuli
orang dengan membabi buta meski untuk membelanya,"
ujar Doni lirih.

Aan menoleh dan melihat Ayu menatapnya pilu dan


takut. Segera ia menghampiri dan merangkul bahu Ayu.
"Maaf, aku terbawa emosi. Kita pulang ya," ajak Aan.

cxxxviii
Ayu hanya menggangguk. Kalau tadi ia takut jika Aan
terluka, ternyata untuk urusan berkelahi Aan memang
jago. Bukan hanya juara di arena balap, benar-benar
berandalan. Kali ini Ayu khawatir kalau Riko akan
menuntut Aan karena penganiayaan.

Selama dalam perjalanan pulang, keduanya hanya diam


dan tidak ada yang membuka suara. Walaupun sesekali
Aan menoleh untuk memastikan kondisi Ayu, tapi ia
masih meredakan emosinya. Ketika sudah tiba di rumah,
Ayu bergegas melepas seat belt.

"Al, maaf ya. Aku hanya melindungi orang yang aku


sayang."

Ayu tersenyum dan mengangguk, Aan melepas seatbelt


dan mendekat lalu mencium kening Ayu. Setelah
memastikan Ayu sudah masuk ke rumah, Aan
menghubungi seseorang. Tentu saja dia tahu kalau
ulahnya tadi beresiko dan memungkinkan tuntutan dari
pihak Riko.

Aan menghubungi asisten Buana, yaitu ayah dari Doni


untuk memastikan Riko tidak menuntutnya dan
menyiapkan bukti-bukti lain yang juga bisa menjerat
Riko.

Sedangkan di kampus, setelah kepergian Ayu dan Aan.


Ibra mencari keberadaan Mona. Beruntung ada salah
satu anggota Bandits yang melihat wanita itu.
"Mona," panggil Ibra yang berjalan tertatih menghampiri
Mona. "Are you okay?"

cxxxix
Mona hanya mengedikkan bahunya dan melayangkan
pandangan ke arah lain.

"Riko babak belur oleh Aan," seru Ibra dan sukses


mendapatkan perhatian Mona.

"Hah, kok bisa?"

"Hm, pria itu bukan hanya berulah sama kamu tapi juga
Ayu."

"Ayu diapain?" tanya Mona antusias seakan melupakan


kemurungannya karena ulah Riko. Bersahabat dengan
Ayu yang begitu tulus, membuat dia khawatir mendengar
Riko berulah juga pada Ayu.

"Nggak ngerti sih, diapainnya. Kalau lihat Aan separah


itu, jelas kalau Ayu tersakiti."

"gue harus temui mereka."

Ibra menahan tangan Mona lalu menggelengkan


kepalanya.

"Ayu sahabat gue, lo nggak akan ngerti."


"Justru karena gue ngerti makanya lo jangan temui
mereka. Ayu sedang shock karena melihat sendiri
bagaimana suaminya memukuli orang."

"Ya udah gue mau pulang."

cxl
"Loh kok pulang?"

"Mau ngapain lagi, kuliah udah beres."

"Aduh Mon, kaki gue sakit. nggak mungkin gue


nungguin Doni anter gue pulang. Lo bisa tolong gue
nggak?" Ibra meringis sambil mencengkram tongkatnya.

"Modus, bilang aja minta diantar pulang. Pake alasan


sakit segala."

Ibra tergelak karena ulahnya diketahui oleh Mona.

"Mudah ditebak ya? Emang nggak bakat modusin cewek


sih. Gue biasa sat set sat set."

Mona dan Ibra sudah berada di depan pintu unit


apartemen Ibra.

"Eh tunggu dulu. Di dalam nggak ada orang, terus nanti


Cuma kita berdua dong?"
"Iya, yang ketiga 'kan setan. Nggak mungkin ada yang
mau nemenin kita karena takut disebut setan."

Ibra menekan password kunci pintu lalu mempersilahkan


Mona untuk masuk.

"Gue langsung pulang aja ya," ujar Mona.

"Yaelah Mon, gue mau ngobrol sama lo. Dipikir gue


bakal ngapain dengan kaki begini."

cxli
Gue Pasti Menang

cxlii
"Ibra!" teriak Mona sambil terus mengetuk pintu
apartemen pria itu. bel sudah berkali-kali di tekan. Entah
karena menghindar atau memang benar tertidur, tapi
bukan itu yang menjadi masalah. Kabar dari Riko kalau
mereka akan bertanding malam ini membuat Mona
gusar.

Untuk apa?

Bagaimana kalau benar dirinya yang menjadi bahan


taruhan?

Membayangkan kalau Ibra kalah dari Riko lalu dia harus


kembali pada pria brengs3k itu membuat Mona bergidik.
la tidak terima menjadi bahan taruhan dan Ibra harus
menjelaskan, bersyukur kalau hal itu hanya ulah Riko
membuatnya emosi saja.

"Sumpah Ibra, kalau sampai aku bertemu denganmu.


Aku akan buat perhitungan," gumam Mona kemudian
meninggalkan unit tempat tinggal kekasihnya.

Ibra memang menghindari Mona, berharap wanita itu


tidak tahu rencana balap yang akan dia lakukan bersama
Riko. saat ini Ibra sedang bersama Doni mencari motor
yang bisa digunakan untuknya nanti malam, karena
motornya sudah dalam keadaan tidak baik untuk digeber.

"Kamu yakin?"

"Gimana kalau Mona tahu atau kamu kalah?"

cxliii
Cecar Doni membuat Ibra berdecak sambil
memperhatikan motor yang akan digunakan nanti
malam. Setelah menggerungkan mesin motor dan
mencobanya ke jalan, Ibra memilih motor tersebut.

"Ini memang sering dipake balap, tapi resmi. Tidak


seperti kamu, balap liar dan geng motor," ejek Doni.

"Untuk ukuran laki-laki, lo termasuk bawel. Atur


biayanya, gue pake yang ini."

Ibra dan Doni bersahabat sejak SMK, jika bukan


hubungan pertemanannya tidak mungkin Doni patuh dan
mengikuti apa perintah pria itu.

"Pertanyaan aku belum dijawab, gimana kalau kamu


kalah dari Riko?"

"Jangan sampai kalah dong, lo gimana sih. Sekarang


tugas lo cari tahu, kebusukan Riko. Gue curiga dia mau
niat curang untuk dapatkan Mona. Urusannya sama
Mona bukan lagi masalah cinta, tapi obsesi."

"Hm. Nanti aku urus masalah itu."

Ibra merogoh kantong celananya dan mengeluarkan


ponsel. Mulutnya kembali mengeluarkan decakan ketika
mengetahui siapa yang baru saja menelpon, bahkan
berkali-kali.

"Kenapa lagi?"

cxliv
"Macan nelpon terus, padahal gue udah bilang mau tidur
biar dia nggak curiga."

"Macan?" tanya Doni heran. Siapa pula yang dimaksud


Ibra dengan macan.

"Iya, Mona manis dan cantik."

Doni menggelengkan kepala melihat kekonyolan


sahabatnya. Ibra bisa menjadi pria lebay ketika jatuh
cinta. (1

"Gimana?" tanya Ibra ketika Doni datang ke lokasi


pertandingan.

Sudah ramai anak geng motor, baik bandits ataupun geng


motor lainnya yang memang akan menggunakan lokasi
itu untuk balap liar.

"Kalian dapat putaran pertama, hanya kamu dan Riko.


Setah itu arena dipakai geng lain."

Ibra manggut-manggut, sambil menenteng helm. Motor


yang dia pilih tadi siang sudah ada di dekatnya.

"Lo udah selidiki kemungkinan si pea curang?"

"Sudah aman, udah ada yang bikin clear. Fokus saja


sampai ke garis finish lebih dulu dari Riko, atau Mona
akan lepas dari tangan kamu."

cxlv
Ada motor menghampiri Ibra dan Doni, bahkan dengan
sengaja menggerungkan knalpotnya. Tentu saja itu
kelakuan Riko, yang kemudian melepas helm.

"Udah siap kalah belum?" tanya pria itu dengan


sombong.

Ibra melayangkan pandangan ke arah lain, rasanya dia


ingin menendang tubuh pria songong itu. karena
fokusnya hanya menang, Ibra mencoba menahan
emosinya.

"Tadi siang gue ketemu Mona. Eh, sengaja nemuin


Mona," seru Riko sambil memperbaiki helaian rambut
menatap spion motor dan ucapannya sukses
mendapatkan atensi Ibra. "Gue bilang kita bakal tanding
dan dia jadi hadiahnya."

"Bangs4t lo, gue bilang ini antara kita nggak usah


libatkan dia. Lo siap-siap kalah dan hengkang dari
Bandits."

Ibra akan menghantamkan helm yang dipegang ke tubuh


Riko, tapi ditahan oleh Doni.

"Ingat bro, fokus sampai garis finish lebih cepat dari


dia," ujar Doni masih menahan tubuh Ibra.

Riko terkekeh melihat Ibra yang menahan geram.

"Gue tunggu di sana ya, udah nggak sabar nih dapetin


Mona lagi. Malam ini dia akan jadi kucing piaran gue,

cxlvi
yang selalu mengeluskan kepalanya dan menjilat kaki
gue," seru Riko lalu meninggalkan Ibra dan Doni menuju
garis start pertandingan.

"Tahan emosi kamu, itu bisa merusak konsentrasi."

"Gue harus menang, bagaimanapun caranya gue harus


menang. Lo pastikan dia nggak main curang."

"Ibra!"

Ibra dan Doni menoleh, ternyata Mona yang berjalan


menghampiri.

"Mampus, dia sudah tahu," gumam Ibra.

Bugh.

Mona mendorong tubuh Ibra, tapi tenaganya tidak


membuat tubuh itu berpindah.

"Gila lo ya, ngapain pake tanding sama Riko. Segala gue


jadi bahan taruhan. Lo nggak waras ya?"

"Mon."

"Bilang mau tidur, tapi ngerencanain beginian. Lo sama


sakit jiwanya dengan Riko," pekik Mona.
"Mon, please dengerin dulu." Ibra menyentuh lengan
Mona agar lebih tenang dan mendengarkan
penjelasannya, tapi ditepis dengan kasar oleh Mona.

cxlvii
"Lo yang denger! Mau siapapun yang menang diantara
kalian, hidup gue milik gue sendiri. Kayaknya gue nggak
bisa lanjut sama ...."

"Ssttt, cukup!" ujar Ibra menghentikan ucapan Mona.


"Denger Mon, gue nggak ada niat jadikan lo taruhan tapi
hal ini harus gue lakuin biar si bangs4t itu nggak ganggu
hubungan kita. Udah muak gue."

"Nggak gini caranya."

"Cuma ini, karena ini yang dia minta."

Mona menghela nafasnya menatap sekeliling.

"Lo nggak ngerti perasaan gue. Gue nggak mau lagi jadi
pelampiasan...."

"Nggak akan Mon, gue janji. Cukup lo semangatin gue


dan si kutu kupret itu nggak akan ganggu kebahagiaan
kita lagi. Oke?"

Ibra sudah berada di atas motor di belakang garis start,


bersisian dengan Riko. Sedangkan Mona ada di pinggir
jalan menatap lekat pada Ibra. Baik Ibra dan Riko sedang
menggerungkan motornya, tiba-tiba Ibra memberi aba-
aba agar menunda dimulainya pertandingan.

Pria itu turun dari motor dan melepas helmnya


menghampiri Mona.

"Gue butuh vitamin untuk penyemangat."

cxlviii
"Vitamin apa?" tanya Mona heran.

Ibra mendekat, tangannya menarik tengkuk Mona dan


menahan kepala wanita itu lalu melummat bibir yang
selalu mengoceh dan menyalak untuknya. Terdengar
sorak dari sekeliling yang menyaksikan adegan tersebut,
bahkan Riko mendengus kesal melihat pemandangan itu.

"Gue pasti menang, gue janji," ujar Ibra setelah


mengurai pagutannya.

Aku Milikmu (1)

"Wah, cantiknya anak Mama."

cxlix
Mona yang sedang mematut wajahnya di cermin pun
tersipu. Hari ini akan menjadi hari bersejarah untuknya
juga Ibra, dimana akan diselenggarakan pernikahan
mereka. Ijab qabul akan diadakan di kediaman orangtua
Mona, sedangkan resepsi digelar sore sampai malam di
salah satu hotel berbintang.

"Mah, aku kok deg-degan ya?" tanya Mona sambil


memegang dadanya.

"Wajar sayang, Mama juga dulu gitu. Sini duduk dulu."


Mama Mona menepuk sisi ranjang di sebelahnya agar
Mona mendekat dan duduk.

Melepas sang putri untuk menikah tentu saja bukan hal


yang sepele, apalagi Mona adalah anak satu-satunya.
Namun, Mama dan Papa Mona percaya Ibra adalah pria
yang bertanggung jawab. Hal itu terlihat dari keberanian
dan juga sikap Ibra yang berani mengambil resiko
menolak kerajaan bisnis ayahnya dan memilih membuka
usaha sendiri.

"Kamu dan Ibra sudah bicarakan akan tinggal di mana


setelah ini?"Mona menggelengkan kepalanya. Banyak
hal yang belum mereka bicarakan termasuk masalah
tempat tinggal.

"Kalau Mama boleh saran, kalian tinggalah di sini. toh


Mama dan Papa sering ke luar kota. Lagi pula kamu
masih sibuk kuliah."

cl
"Iya Mah, nanti aku bicarakan dengan Ibra."

Ternyata Ibra dan keluarganya sudah tiba, salah satu


panitia dari WO menyampaikan dan mengarahkan Mona
untuk turun karena ijab qabul akan segera dimulai.

Ibra menghembuskan nafasnya ketika melangkah keluar


dari mobil dan memasuki kediaman orang tua Mona.
Didampingi oleh Ayahnya karena Bundanya belum bisa
melakukan perjalanan jauh. Ketika sudah duduk
berhadapan dengan Papa Mona dan penghulu, perasaan
Ibra semakin tidak karuan.

Bukan hanya bahagia karena akan menjadikan Mona


sebagai pasangan halal, tapi tidak lengkapnya orangtua
mendampingi proses sakral yang ingin dilaksanakan
hanya sekali seumur hidupnya.

"Jangan gugup, yang ada kamu lupa dengan lafaz ijab


qobul," bisik Ayah Ibra sambil menepuk bahunya.Aan,
Ayu dan Doni pun sudah hadir di tengah ruangan untuk
menyaksikan momen bahagia untuk sahabat mereka.

"Rileks aja bro, kalau tegang mah nanti malam aja," ujar
Aan pada Ibra.

Pembawa acara pun membuka acara dan


mempersilahkan mempelai wanita untuk hadir. Ibra yang
tadi menundukan wajahnya sambil mengatur nafas untuk
lebih rileks menoleh ketika Mona sudah duduk di
sampingnya.

cli
Pria itu menelan saliva melihat Mona yang tampak
berbeda dengan polesan make up dan kebaya putih serta
aksesoris di kepalanya. Terdengar deham dari belakang
membuat Ibra tersadar karena sejak tadi hanya menatap
sang pujaan hatinya.

"Bisa kita mulai?" tanya penghulu.

"Bisa, pak. Lebih cepat lebih baik," sahut Ibra dan


sontak membuat kerabat yang hadir bersorak.

Penghulu membacakan identitas mempelai lalu


mempersilahkan Papa Mona dan Ibra berjabat tangan
untuk mengucapkan ijab qabul.

"Saya terima nikah dan kawinnya Mona Andini binti


Farhan Mahendra dengan mas kawin tersebut dibayar
tunai," ujar Ibra lantang dalam satu tarikan nafas setelah
Papa Mona melafalkan ijab.

"Sah!" teriak para saksi yang kerabat yang hadir dan


menyaksikan momen tersebut.

"Alhamdulillah," ucap Ibra sambil mengusap wajahnya.

Berbagai arahan dari pembawa acara mulai dari


memasang cincin, sungkem dan foto keluarga sudah
dilakukan oleh pasangan itu dan kerabat yang hadir
sedang menikmati hidangan yang sudah disediakan. Ibra
menyapa sahabatnya yang datang untuk menyaksikan
akad nikah dan memberikan doa agar pernikahan
tersebut berjalan langgeng dan penuh keberkahan.

clii
"Hebat bisa menaklukan bokapnya Mona," ujar Aan.

"Lebih hebat lagi anaknya bisa dia buat jatuh cinta.


Macan gitu loh," ejek Doni. Ibra berdecak mendengar
ejekan Aan dan Doni.

"Punya istri itu enak loh. Nggak percaya buktikan aja


nanti," ujar Aan. "Mulai dari bangun tidur sampai tidur
lagi."

"Aku nggak ngerti," seru Doni sambil mengernyitkan


dahinya.

"Mana lo ngerti, makanya nikah biar ngerti."

"Coba jelaskan, biar aku lebih semangat untuk segera


cari calon istri."

"Lo tanya aja ke Ibra," seru Aan.

Obrolan para pria itu terus berlanjut, bahkan sesekali


terdengar mereka tergelak bersama. Sedangkan Mona
yang ditemani Ayu ada di sudut ruangan lain.

"Akhirnya ikut jejak aku juga, menikah muda."

"Sudah jodoh kali, dari pada aku sama Ibra macam-


macam. Hidup makin rusak."

"Aku dengar kamu sempat sakit ya?" tanya Ayu sambil


memperbaiki posisi Candra yang berada dalam

cliii
gendongannya, sedangkan Catra ada bersama Sus Mela.

"Iya, kata Mama godaan menjelang pernikahan. Al,


menurut kamu aku harus menunda kehamilan atau
nggak?"

"Loh kenapa ditunda? Siap menikah harus siap juga


dengan kehadiran buah hati, tapi sebaiknya kamu
bicarakan dengan Kak Ibra. Hak kalian berdua mau

menunda atau tidak, tapi kamu harus ingat kalau


menunda kehamilan akan ada efek di tubuh kita. Jadi
bicarakan dan konsultasikan lebih jelas untuk
memutuskan."

Apa yang dikatakan Ayu memang benar, dia harus


membicarakan dengan Ibra. Kalau ingat kericuhan Ayu
menjalani pendidikan dengan bayi kembarnya, Mona
sepertinya tidak ingin menunda. Namun, yang
mengherankan baik Aan dan Ayu tidak terlihat terbebani
bahkan cenderung bahagia dengan apa yang mereka
jalani.

Sebagai kerabat sudah bubar termasuk rekan Mona dan


Ibra, ada juga yang sudah menuju hotel tempat
diselenggarakannya resepsi.

"kalian berangkat kapan?" tanya Mama Mona sambil


melirik jam tangannya.

"Sebentar lagi Mah, saya lihat Mona dulu," sahut Ibra,


karena Mona sudah meninggalkan ruangan ketika Ayu

cliv
pamit pulang.

"Jangan kelamaan ya, istirahat di sana saja. Lagi pula


Mona harus di make up lagi."

"Iya mah."

Ibra menuju kamar Mona di lantai dua. Tanpa mengetuk,


pria itu langsung membuka pintu. Mona baru saja keluar
dari ruang ganti menyeret koper dan tas berisi
perlengkapan yang akan dibawa ke hotel.

"Sayang."

Pertama kalinya mereka berdua setelah sah sebagai


suami istri. Mona menggigit bibirnya menahan senyum
ketika berhadapan dengan Ibra.

"Ah, pake resepsi segala. Udah nggak tahan pengen


nyicip."

"Nyicip apa?"

"Nyicip jadi suami istri."

Mona yang akan menjawab ucapan sang suami terkejut


karena bibirnya sudah dibungkam oleh pagutan Ibra.
Kedua tangan Mona yang menahan dada suaminya agar
tidak semakin menempel berubah menjadi cengkraman.

"Hah," hela Ibra setelah mengurai pagutannya.

clv
"Mama bilang kita harus berangkat sekarang." Mona
berucap karena situasinya sungguh canggung.

"Bentar lagi sayang, aku ...."

"Kita berangkat sekarang, kamu sabar dulu. Aku nggak


mau nanti MUA melihat yang aneh-aneh di leher aku
atau susah jalan pas acara," tutur Mona sambil mengusap
pipi suaminya.

"Iya deh, tapi beres resepsi aku bebas ngapain aja ya."

"Iya sayang, aku milikmu," imbuh Mona sambil


mencium singkat bibir suaminya.

Aku Milikmu (2)


Setelah kejadian kolaps beberapa hari yang lalu, kondisi
Mona masih terus dipantau. Bahkan kemarin

clvi
dipanggilkan dokter keluarga karena wajah Mona masih
pucat dan terlihat lemah.

Mona dan Ibra sudah berada di kamar hotel, MUA pun


sibuk merias wajah Mona.

Akhirnya, dengan Mengenakan gaun yang terlihat elegan


membuat Mona terlihat memukau begitupun dengan
Ibra. Penampilan Ibra yang gagah dengan setelan jas
membuatnya terlihat tampan dan kesan berandal tetap
ada, karena tato yang mencolok di leher pria itu.

Resepsi pernikahan Mona dan Ibra pun dimulai.


Pasangan bak raja dan ratu sehari sudah berada di tengah
acara, menerima ucapan selamat dari para tamu.
Awalnya Mona masih antusias, tapi kelamaan bosan dan
lelah. Apalagi harus terus memasang wajah tersenyum.
Banyak tamu yang hadir sebagian adalah kenalan orang
tua Mona dan juga kerabat dan rekanan ayah Ibra.

"Capek," keluh Mona ketika tamu berikutnya masih


berada di undakan tangga.

"Sabar, sayang." Ibra mengusap punggung Mona.

"Aku mau lepas heels, tapi susah," rengek Mona lagi.

"Hm, biar aku bantu." Ibra pun berjongkok dan Mona


memegang bahu suaminya agar tidak oleng dan
melepaskan heels yang dia kenakan. Rupanya ulah
pasangan itu menjadi perhatian, bahkan Mama Mona
menghampiri ke pelaminan.

clvii
"Kenapa sayang?"

"Kaki aku pegel, harusnya aku pakai sandal aja," bisik


Mona.

Ayu dan Aan ikut hadir pula di resepsi sahabatnya, kali


ini tidak membawa si kembar karena tahu pesta itu akan
ramai dengan para tamu. Berkali-kali, Mona mengajak
pasangan itu berfoto termasuk selfie berdua dengan Ayu.
Aan dan Ibra bahkan hanya menggelengkan kepala
melihat ulah para istri mereka.

Semakin malam para undangan masih ramai, walaupun


yang naik ke pelamin sudah tidak ada. Ibra sedang
keliling bersama Papa Mona berbaur di tengah para
tamu. Mona sendiri ditemani salah satu WO menikmati
makan malam lalu menuju ruangan yang dikhususkan
untuk keluarga.

Keluarga Mona sedang berbincang dengan Ibu sambung


Ibra, termasuk juga Nola ada di sana. Mona yang sudah
kelelahan hanya menyimak sambil memijat kakinya
yang terasa pegal.

"Capek?" tanya Ibra yang baru datang dan langsung


duduk di samping istrinya.
"Hm."

"Ayo istirahat, wajah kamu udah pucat loh," seru Ibra.

clviii
"Istirahat atau istirahat," ejek salah satu kerabat Ibra.
"Santai aja bro, istri lo katanya habis sakit."

Ibra tidak menyahut karena ada Ayahnya bergabung dan


duduk di hadapannya.

"Kalian kapan honeymoon? Ayah dengar istrimu sedang


libur kuliah."

"Belum tahu. Rencananya aku ingin ajak Mona bertemu


Bunda dulu."

"Ayah dan Mama mau kasih hadiah perjalanan


honeymoon, tujuan terserah kalian saja."

Ibra menoleh ke arah istrinya. "Bagaimana sayang?"


tanya Ibra.

"Aku terserah kamu saja."

"Kami putuskan nanti Yah, Mona masih belum sehat


untuk bepergian jauh."

Sebenarnya Ibra ingin menolak apa yang Ayahnya


tawarkan, Mona pasti akan ikut saja apa keputusannya
meskipun mereka hanya menghabiskan waktu hanya di
rumah atau berada di hotel beberapa malam daripada
bepergian jauh. Sedangkan pengantin baru seperti
mereka pasti akan lebih senang berada di kamar.

Akhirnya Ibra mengajak Mona ke kamar. Saat menunggu


lift, Mona sudah bergelayut manja di lengan suaminya.

clix
"Kayaknya udah lelah banget, sabar ya sayang."

Saat tiba di kamar, Mona menghempaskan tubuhnya di


sofa setelah melemparkan heelsnya sembarangan. Ibra
mengecek koper mereka yang sudah diletakan di sudut
kamar, lalu melepaskan jas dan dasi yang terasa
mengikat erat lehernya.

"Aku mandi dulu, kamu ...."

"Eh, aku duluan." Mona beranjak sambil mengangkat


tinggi gaunnya agar mudah melangkah. "Tapi bantu aku
lepaskan ini," ujar Mona sambil menggoyangkan
kepalanya. Maksudnya adalah aksesoris yang menghias
rambutnya.Dengan telaten Ibra membantu Mona
melepaskan jepit dan aksesoris lain bahkan menghapus
make up di wajah istrinya.

"Sepertinya aku butuh berendam."

"Jangan kelamaan, ini sudah malam," sahut Ibra.


"Kenapa lagi?" tanya Ibra melihat Mona berbalik.

"Resletingnya."

Ibra menghampiri Mona, berdiri di belakang tubuh


wanita itu lalu menarik turun resleting dan menunjukan
punggung putih mulus tanpa ada penutup lain. Tangan
Ibra terjulur meraba punggung itu membuat darah Mona
berdesir.

clx
"Su-dah belum?"

"Sudah. Jangan kelamaan, aku menunggumu," bisik Ibra,


bahkan hembusan nafas pria itu terasa di pipi Mona.

Brak.

Mona menutup pintu toilet dan bersandar di belakang


pintu sambil memegang dada. Detak jantungnya
berdetak bagai genderang.

"Kenapa aku takut ya," gumam Mona. "Ibra pasti ingin


minta haknya, tapi aku takut. Ya ampun, gimana dong."

"Mona," panggil Ibra dari luar toilet.

"I-iya."

"Bagaimana kalau kita mandi bersama?"

"What? Mandi bersama?" gumam Mona. "Nope, aku


hanya sebentar," teriak Mona kemudian bergegas
melanjutkan niatnya.

Tidak sampai sepuluh menit, Mona sudah selesai dengan


urusan mandi. Niat berendam dia urungkan, khawatir
Ibra tiba-tiba memaksa masuk dan ... bahaya. Dengan
pelan wanita itu membuka pintu toilet lalu keluar dengan
langkah pelan, hanya mengenakan bathrobe.

"Kemarilah!" titah Ibra yang sudah duduk di tepi ranjang


dengan tangan bersedekap.

clxi
Mona melangkah ragu-ragu, Ibra bahkan menarik
tangannya agar tubuhnya mendekat. Pasangan itu sudah
saling menatap dengan posisi Ibra duduk dan Mona
berdiri.

Mona menelan salivanya membayangkan apa yang akan


mereka lakukan setelah itu. Gambaran adegan dewasa
seakan berputar di otaknya, membuat wanita itu
menggelengkan kepala untuk mengenyahkan apa yang ia
pikirkan.

"Masih lemas?"

Mona menggelengkan kepalanya.

"Pusing?"

Mona kembali menggelengkan kepalanya.

"Sesuai janjimu tadi, aku berhak melakukan apapun.


Buka!" titah Ibra.

"Buka apa?"

Ibra berdecak kemudian menunjuk bathrobe yang


dikenakan Mona dengan dagunya. Mona pun menarik
simpul tali dan perlahan melepaskan penutup tubuhnya.
Ibra memandang tanpa berkedip lalu bersiul karena
tubuh molek istrinya akan segera dia rasakan.

clxii
Saat tangan Ibra menyentuh bagian depan tubuh Mona,
wanita itu sempat menghela karena gugup.

"Kamu gugup?"

"Mana ada perempuan tidak gugup di malam


pernikahannya," gumam Mona tanpa berani menatap
wajah Ibra.

Terdengar kekehan dari pria itu dan sekarang sudah


beranjak dari duduknya. Tangan Ibra meraih dagu Mona
membuat wajah itu menengadah dan bibir mereka pun
bertemu. Awalnya pagutan itu terasa manis dan lembut,
lalu berubah menjadi pagutan dalam dan liar.

Tangan Mona yang sudah melingkar di leher Ibra sempat


terlepas dan berusaha mendorong tubuhnya menjauh
karena ia butuh oksigen. Setelah mengurai pagutannya
hanya untuk meraup oksigen, Ibra kembali menya_tukan
bibirnya. Mona terlena bahkan tubuhnya sudah berbaring
di ranjang dengan Ibra berada di atas tanpa melepaskan
tautan bibirnya.

"Oh, sayang. Aku tidak kuat," ujar Ibra lalu berpindah


merasakan bagian lain. Mulai dari leher, terus turun ke
dada bahkan sampai di bawah sana.

Mona hanya bisa menahan dessahannya sambil kedua


tangan mencengkram sprei di bawahnya.

"Ibra ...."

clxiii
"Hm."

"Aku ... lakukan sekarang," gumam Mona membuat Ibra


beranjak mengungkung tubuhnya.

Mona memejamkan matanya ketika Ibra melepaskan


pakaian yang masih tersisa.

"Rileks sayang," bisik Ibra ketika mengarahkan tepat


miliknya di tempat yang seharusnya. Pria itu merasa
heran karena Mona sempat memekik pelan bahkan
menancapkan kuku-kukunya karena kedua tangan
mencengkram erat tangannya, ketika ia berhasil
mendorong miliknya dan terbenam sempurna meskipun
agak sulit.

"Kok masih rapet sih," ucap Ibra dalam hati.

Bagaimana Denganmu?
Ibra duduk bersandar pada sofa dengan tangan masih
memegang kaleng soda. Tatapannya masih mengarah
pada Mona yang masih terlelap dengan posisi miring.
Rambut yang agak berantakan dan bahu yang terbuka

clxiv
karena tubuh itu hanya berbalut selimut, membuat Ibra
kembali merasakan gejolak.

Masih ia ingat penyatuan diri yang semalam mereka


lakukan. Rasanya tidak cukup hanya sekali, Ibra
inginkan lagi dan lagi. Kalau saja tidak kasihan melihat
istrinya yang sudah terkulai lemas, ingin sekali ia terus
menggempur sampai tersalurkan hasr*tnya hingga
meledak sempurna.

Namun, masih ada hal yang mengganjal yang pria itu


rasakan. Jika Mona dan mantan kekasihnya sudah pernah
melakukan perbuatan terlarang itu, jalan yang harus
dilewati pasti akan mudah tapi semalam Ibra merasakan
sensasi luar biasa bahkan Mona beberapa kali memekik
kesakitan di awal.

"Punya gue yang kegedean apa punya si Riko yang


bentuknya mini," gumam Ibra lalu terbahak membuat
sang macan terjaga. Perlahan Mona menggeliat dan
mengerjapkan matanya.

"Morning babe," sapa Ibra.

Mona menoleh lalu mengernyitkan dahinya, perlahan ia


beranjak duduk dengan tangan menahan selimut agar
tidak merosot jatuh dan memperlihatkan bagian depan
tubuhnya yang akan berakhir menjadi sarapan sang
suami.

"Kalau masih pagi kenapa minum soda."

clxv
"Aku haus babe. Olahraga kita semalam benar-benar
menguras tenaga sampai dehidrasi. Di kulkas hanya ada
soda."

Ibra beranjak mendekati ranjang membuat Mona


canggung dan takut. Takut kalau Ibra kembali
mengajaknya main sedangkan ia masih merasakan tidak
nyaman di bawah sana.

"Mau sarapan di kamar atau ke bawah?" Ibra


mengulurkan tangannya merapikan rambut Mona yang
agak berantakan.

"Di kamar aja."

Ibra pun meraih pesawat telepon di atas nakas dan


menghubungi layanan kamar untuk mengantarkan
sarapan ke kamar.

"Mau mandi bersama?"

Mona mengerucutkan bibirnya mendengar tawaran Ibra.


Mandi hanya akan menjadi wacana kalau bersama pria
itu.
"Nggak mau, aku bisa mandi sendiri," ujar Mona lalu
menggeser tubuhnya dengan pelan. sempat menatap
sekitar ranjang mencari bathrobe yang semalam ia
loloskan begitu saja.

"Cari apa?"

clxvi
"Baju. Kalau aku ke toilet nggak pakai baju, bisa
bahaya."

Ibra terkekeh lalu menyibak selimut yang masih


menutupi sebagian tubuh Mona membuat wanita itu
menjerit pelan, bahkan ketika tubuhnya seakan melayang
karena berada dalam gendongan Ibra bergegas ia
mengalungkan tangan di leher kokoh pria itu.

"Ibra ...."

"Ssttt, aku tahu kamu tidak nyaman di situ," tunjuk Ibra


pada bagian inti tubuh istrinya hanya dengan tatapan
mata. "Aku sudah mandi, nggak usah takut aku minta
jatah. Kamu akan aman untuk pagi ini, tapi entah siang
atau malam nanti."

"Ishh, Ibra. Punya aku sakit tahu."

"Sakit apa enak?" tanya Ibra sambil mendudukan Mona


di kloset yang tertutup. "Jangan lama-lama," ujar pria itu
lalu meninggalkan Mona. Belum juga Mona beranjak,
Ibra sudah kembali membawakan pakaian ganti untuk
istrinya.
Berbeda dengan tadi malam mandi kilat, kali ini Mona
menghabiskan waktu agak lama untuk membersihkan
diri. Bukan hanya membersihkan sisa-sisa
percintaannya, tapi juga memastikan kalau tubuhnya
sudah bersih dan tidak memalukan kalau Ibra kembali
merasakannya.

clxvii
"Kemarilah, ini sarapanmu sudah datang," ujar Ibra
sambil menepuk sofa tepat di sampingnya. Mona
mengenakan dress di atas lutut tanpa lengan dan belahan
dada agak rendah, tentu saja membuat beberapa bagian
enak dilihat bagi Ibra. Sempat berpikir kapan dia
membeli dress tersebut.

"Makan yang banyak biar ada tenaga," cetus Ibra setelah


menyesap kopinya.

Mona tidak merespon, ia lebih tertarik dengan menu


sarapan yang terhidang. Bahkan pertanyaan atau
celetukan Ibra hanya dijawab dengan anggukan atau
gelengkan kepala, karena mulutnya sibuk mengunyah.

Terdengar dering ponsel, pasangan itu menoleh ke arah


suara. Ibra beranjak mengambil ponsel Mona yang
berdering dan memberikan pada istrinya.

"Kenapa nggak dijawab?" tanya Ibra.

"Mama, paling mau kasih tahu kalau dia mau pulang."

"Harusnya dijawab dulu."

"Nanti aja aku telpon balik, lagi nggak mood dengerin


nasehat Mama. Kamu nggak tahu Mama kalau udah
ngomong kayak aра."

"Namanya juga orang tua, wajar kalau perhatian ke anak.


Apalagi anak satu-satunya dan perempuan pula."

clxviii
"Kita jadi ke Bandung?"

Ibra mengangguk dan kembali menyesap kopinya.

"Besok pagi sayang, tunggu kamu fit lagi."

Ibra dan Mona sudah tiba di Bandung, diantar supir


sesuai titah Papa Mona. Tidak ingin ada sesuatu terjadi
di perjalanan karena Ibra dan Mona pasti kelelahan,
kelelahan setelah rangkaian proses pernikahan mereka.

"Ayo masuk," ajak Ibra meraih tangan Mona dan


digenggamnya.

Mona sempat memandang kediaman yang ia datangi.


Rumah di mana Bunda Ibra dan kerabatnya tinggal. Ibra
mengucapkan salam ketika memasuki rumah itu.

"Ibra," ujar seorang wanita paruh baya yang duduk di


kursi roda didorong oleh seorang wanita.

"Bunda, aku pulang bawa menantumu," ujar Ibra lalu


memeluk dan bersimpuh di depan wanita itu.

"Ini menantuku? Cantik sekali. Apa dia tidak salah pilih


suami."

Ibra berdecak mendengar ejekan Bundanya.

"Sayang, kemarilah!"

clxix
Mona mengenalkan diri lalu mencium tangan Ibu
mertuanya.

"Kalian duduklah, pasti lelah perjalanan dari


Kalimantan."

Sama seperti orangtua pada umumnya, selalu


memberikan nasihat dan wejangan. Begitupun Bunda
Ibra yang terus mengoceh menasehati Ibra dan dibalas
dengan anggukan kepala, sesekali Ibra menimpali
membuat Bundanya gemas dan memukul lengan pria itu.

"Bunda dengar kamu masih kuliah?"

"Iya Bun, aku baru semester empat."

"Jangan sampai berhenti kuliah ya, karena mengurus


rumah tangga, menjadi seorang istri dan ibu yang baik
butuh ilmu."

"Ingat, kamu sudah punya istri nggak usah lagi motor-


motoran. Geng motor atau apalah itu namanya."

"Nggaklah Bunda, udah insyaf aku. Sekarang aku sibuk


kerja dan menyenangkan istri Bun," sahut Ibra.
"Halah, yang ada bukan disenangi tapi dikerjai terus."

Hanya tiga hari pasangan itu tinggal di kediaman Bunda


Ibra, setelah itu kembali ke Kalimantan. Ibra sempat
membujuk Ibunya untuk tinggal di Kalimantan,
memudahkan dia mengawasi dan ikut merawat wanita
yang sudah melahirkannya ke dunia. Namun, permintaan

clxx
Ibra ditolak dengan alasan masih banyak kerabat di
daerah itu dibandingkan di Kalimantan.

"Sudahlah, fokus dengan keluarga dan berdamailah


dengan Ayahmu."

"Ayolah Bun, ikut aku."

"Bunda nyaman di sini, ada bibik dan uwakmu yang


setiap hari datang menemui Bunda."

Hati Mona menghangat melihat sikap Ibra yang begitu


menyayangi Ibunya, sang berandal ternyata sangat
mencintai dan menghargai keluarganya. Lagi-lagi Mona
ditunjukan kalau Ibra memang pria yang tepat untuknya.

Dalam perjalanan kembali ke Kalimantan, mereka


sempat berhenti di rest area karena Mona harus ke toilet
dan menunggu Ibra yang sedang merokok. Mona sempat
membahas masalah mereka akan tinggal di mana,
termasuk tawaran Mamanya agar tetap tinggal bersama
di rumah itu.

"Kalau sekarang aku tidak masalah. Lagi pula kamu


masih kuliah dan jam kerjaku masih tidak beraturan, jadi
lebih aman kalau kita tinggal di rumah Papamu."

"Kenapa?" tanya Ibra melihat Mona seperti masih ada


yang mengganjal.

"Hei, katakan. Jangan terbiasa memendam masalah,


sampaikan dan kita cari solusinya."

clxxi
"Kita sudah berkali-kali melakukan itu, tapi kamu tidak
pakai... pengaman."

"Lalu?"

"Kalau aku hamil, gimana?"

"Ya baguslah, sudah pasti itu anakku."

"Kamu nggak masalah kalau nanti aku langsung hamil?"

"Nggak, justru aku senang. Bagaimana denganmu?"

Duo Bumil

clxxii
Masa libur kuliah Mona sudah selesai, hubungan mereka
terlihat semakin mesra. Papa dan Mama Mona semakin
tenang ketika harus mengurus usaha mereka ke luar kota,
karena ada Ibra yang dipastikan bisa menjaga Mona.

Mona tidak masalah dipercaya mendapatkan keturunan


sambil menyelesaikan pendidikannya, tapi Ibra yang
berhati-hati. Memahami istrinya mudah emosi dan tidak
sabar, membuatnya harus lebih sabar menahan
keinginannya mendapatkan keturunan menunggu sampai
Mona menyelesaikan kuliahnya.

Sore ini, Ibra sudah berada di kampus untuk menjemput


istrinya. Saat dihubungi, Mona mengatakan masih
berada di perpustakaan. Wanita itu tidak tahu kalau Ibra
sudah tiba.

"Mon, aku duluan ya," pamit Ayu.

"Oke, hati-hati ya."

Mona masih asyik menyelesaikan tugasnya, bahkan ada


seseorang yang duduk di hadapannya pun tidak dia
sadari.

"Mon."

Mona menoleh sekilas dan kembali fokus pada layar


laptop dan buku yang dia pegang. Ada Riko di
hadapannya, entah untuk apa pria itu ada di sana. Kalau
dipikir kenapa bisa ia dulu pernah menyukai pria itu,
yang semakin ke sini terlihat tidak lebih baik.

clxxiii
"Mona, lo dengar gue?"

"Lo pikir gue tuli, jangan ganggu gue lagi sibuk."

"Gimana pernikahan lo? Bahagia lo sama Ibra?" 1

"Jelas bahagialah, dia anggap gue ratunya. Makanya gue


kerjakan tugas di sini, karena kalau di rumah gue nggak
akan sempat urus yang kayak gini."

"Ck, gue nggak percaya."

"Terserah."

Ponsel Mona bergetar, ternyata notifikasi pesan dari Ibra.


Mengatakan sudah ada di depan perpustakaan, pria itu
tidak bisa masuk karena sudah bukan lagi mahasiswa di
sana. Mona pun bergegas membereskan buku dan
laptopnya mengabaikan Riko yang masih memandang.

"Nggak usah aneh-aneh, laki gue bisa hajar lo kalau


macam-macam sama gue. Bahkan bisa lebih kejam dari
Aan waktu lo jahatin Ayu," ancam Mona sebelum
meninggalkan perpustakaan.

Mona sudah berada di luar perpustakaan lalu menoleh


kiri dan kanan mencari keberadaan Ibra, ternyata
suaminya duduk di kursi koridor sambil fokus pada
ponsel. Mahasiswi yang lalu lalang mencuri pandang ke
arah suaminya.

clxxiv
"Sayang," panggil Mona membuat Ibra menoleh.

Ibra menoleh dan tersenyum lalu menghampiri istrinya,


bahkan tidak sungkan mendaratkan bibir di kening
Mona. Sempat melihat Riko keluar pula dari
perpustakaan, tentu saja pria itu melihati interaksi Mona
dengan dirinya.

Bukannya marah, emosi atau cemburu karena Riko dan


Mona sudah pasti bertemu di perpustakaan. Ibra malah
terbahak, membuat Mona heran.

"Kamu kenapa?"

Ibra menggelengkan kepala, masih terkekeh pelan


mengingat momen di mana ia dan Mona sempat mandi
bersama di hotel sebelum bertolak ke Bandung. Mona
terbelalak melihat belalai miliknya dan tidak sengaja
membandingkan kalau milik Riko jauh lebih kecil.

"Kenapa sih, nggak jelas banget deh," keluh Mona.

"Nggak apa-apa sayang, aku hanya ingat kejadian yang


sangat lucu."

"Apa?" tanya Mona sambil berjalan dengan jemari saling


terpaut.

"Lupakan saja, bukan hal yang penting," ujar Ibra sambil


terkekeh pelan.

clxxv
Hari-hari berlalu, pernikahan Aan dan Ayu juga Ibra dan
Mona terlihat semakin harmonis. Para pria itu bucin dan
mesra dengan caranya masing-masing. Kuliah Aan, Ayu
dan Mona sudah berada di semester akhir dan sedang
dalam proses skripsi.

Aan tidak menemukan kendala berarti dalam


penyusunan karya ilmiahnya bahkan sudah hampir
rampung. Berbeda dengan Ayu,ia suit untuk konsentrasi
dengan penyelesaian skripsi bukan karena si kembar
yang hampir berumur tiga tahun sedang aktif-aktifnya.
Namun, karena kondisi fisiknya yang tidak fit.

"Kenapa lagi?" tanya Aan sambil mengu lum senyum


melihat istrinya memijat kepala, bahkan wanita itu
langsung menutup layar laptop dan menuju ranjang
merebahkan diri.

"Kepalaku semakin sering pusing. Kalau kayak gini


mana bisa cepat selesai skripsi aku," keluh Ayu.

"Kita berobat yuk, mungkin saja kamu terlalu lelah dan


butuh vitamin dosis tinggi."

Ayu menggelengkan kepala masih memijat dahinya


pelan. Tubuhnya tidak mendukung keinginan untuk bisa
fokus, padahal si kembar sedang diajak Opa dan
Omanya berlibur termasuk Sus Mela yang masih setia
menjadi pengasuh Candra dan Catra.
"Atau mau vitamin dari aku?" tanya Aan yang sudah
mengunci pintu.

clxxvi
Ayu berdecak, dia paham betul maksud vitamin yang
dikatakan oleh suaminya. Tubuhnya benar-benar tidak
bisa diajak kompromi, Ayu pun menolak maksud Aan.

"Aku lelah, sumpah ini lemes banget. Mainnya lain kali


aja ya," usul Ayu berbaring miring menghadap suaminya
yang masih berdiri di dekat ranjang menatap ke arahnya.

"Iya, lagi pula mana aku tega. Kayaknya nggak boleh


terlalu sering, aku akan coba bersabar beberapa bulan ke
depan."

Ayu masih belum memahami clue yang disampaikan


suaminya, sedangkan Aan sudah bisa membaca kalau
Ayu sepertinya hamil lagi. Sudah merencanakan dengan
baik ketika mereka menyelesaikan pendidikan, ia akan
membuat Ayu hamil kembali. Ternyata terbukti,
meskipun agak lebih cepat.

"Tidurlah, nanti sore kita ke dokter."

Ayu pun memejamkan matanya, tapi kemudian


mengerjap dan beranjak duduk. Wanita itu sedang
memikirkan sesuatu lalu mengambil ponsel di atas
nakas. Aan yang sudah duduk di sofa menatap heran ke
arahnya.

"Kenapa?"
"Kayaknya kita belum ada libur main ya, kalau tidak
salah period aku seharusnya ... minggu lalu." Ayu
membuka aplikasi kalender dan mengingat kembali
kapan dia datang bulan.

clxxvii
"Aan, kayaknya aku telat."

"Oh," seru Aan yang sudah fokus dengan layar


ponselnya.

"Kok oh sih? Ini telat loh, aku hamil."Aan pun


menolehkan wajahnya menatap Ayu.

"Ya bagus dong kalau hamil, artinya si kembar akan


punya adik."

Ayu turun dari ranjang lalu mendekat ke sofa dan duduk


tepat di samping suaminya. Bahkan memukul lengan
pria itu.

"Aduh, sayang. Sakit tahu, ini namanya kekerasan dalam


rumah cinta."

"Nggak lucu, aku lagi serius. Kalau aku hamil gimana?"

"Nggak gimana-gimana, itu anak aku."

"Aan, aku sedang skripsi dan nggak mau ngulang


semester," tutur Ayu sambil merengek.

"Siapa yang suruh kamu ngulang semester, semangat


dong. Aku sudah cari pengasuh untuk menemani Sus
Mela mengasuh si kembar. Mami yang akan mengawasi
langsung kalau kamu konsen dengan kuliah. Mona juga
sedang hamil kan?"

clxxviii
Ayu terdiam, apa yang dikatakan Aan memang benar.
Kenapa harus dia berpikir yang aneh-aneh. Bukankah
kehamilan adalah rezeki juga.

"Istirahatlah, nanti sore kita ke dokter dan pastikan


kehamilan kamu!" titah Aan.

Sedangkan di tempat berbeda, Mona yang sedang fokus


di depan laptop tidak menyadari kehadiran suaminya.

"Ck, serius amat sampai suami pulang tidak disambut."

Mona pun berdiri lalu memeluk Ibra dan membenamkan


wajahnya di dada pria itu dan disambut dengan dekapan
hangat.

"Sudah makan belum?"

Mona menggelengkan kepalanya.

"Kamu duduk dari kapan? Ingat sayang, kamu sedang


hamil," ujar Ibra sambil mengurai pelukan Mona. la
berusaha berkata pelan agar tidak dianggap memarahi
atau bahkan membentak istrinya. Sejak diketahui Mona
akhirnya mengandung, wanita itu terlihat begitu sensitif
dan emosional. Kadang bahagia dan mudah sekali
tertawa, tapi kadang begitu cengeng padahal hanya hal
kecil yang dihadapi tapi bisa membuatnya menangis dan
meraung.

"Belum lama kok, cuma revisi hasil bimbingan


sebelumnya," sahut Mona.

clxxix
Ibra mengusap perut Mona yang mulai membuncit.
Tubuh Mona semakin terlihat berisi semenjak hamil,
tentu saja membuat Ibra semakin mencintainya.
Ditambah Mona terlihat semakin menggemaskan.

"Jagoan daddy pasti kangen dikunjungi ya," ujar Ibra


masih mengusap perut Mona.

"Ish, tadi pagi 'kan sudah."

"Ya nggak masalah kalau kita lakukan lagi, asal pelan-


pelan."

"Nggak ah, aku lapar," ujar Mona lalu meninggalkan


Ibra menuju pintu kamarnya.

"Sayang, ayolah kita main dulu sebentar," rengek Ibra.

Berandal Insyaf
"Pelan-pelan." Ibra membuka pintu mobil dan
mempersilahkan Mona keluar. Jadwal kuliah Mona

clxxx
sudah tidak padat hanya ada dua mata kuliah di tambah
skripsi.

Ibra selalu menyempatkan waktu untuk mengantar ke


kampus, mengingat istrinya sedang hamil dan tidak
mengizinkan menyetir sendiri.

"Nanti aku jemput," ujar Ibra sambil menutup pintu


setelah Mona keluar.

"Nggak usah, aku pakai taksi aja. Kayaknya nggak lama


kok, habis bimbingan aku kembalikan buku ini terus
pulang."

"Ya sudah, tapi hati-hati." Ibra pun mencium kening


Mona sebelum pergi.

"Cie, suami siaga," ejek Aan sambil terkekeh melihat


interaksi Mona dan Ibra.

"Eh. Mana Ayu?"

"Di rumah, sementara nggak ke kampus dulu. Paling dua


minggu lagi baru mulai lanjut bimbingan," jawab Aan.

"Kenapa begitu?" tanya Mona heran.

"Morning sickness, kepalanya pusing terus jadi banyak


rebahan."

"Hah, serius lo! Ayu lagi hamil lagi?"

clxxxi
Aan menganggukan kepalanya sambil menepuk dada.
"Aan gitu loh."

"Kalau urusan jadi bapak, dia memang senior," tunjuk


Ibra pada Aan. "Aku berangkat ya!"

Mona melambaikan tanganya ketika mobil Ibra perlahan


melaju, lalu bersama Aan menuju ruang dosen.

"Kasihan Ayu tahu, kenapa kalian nggak program hamil


setelah wisuda aja."

"Maunya gitu, tapi dikasih lebih awal masa ditolak.


Tenang aja, gue bantuin skripsi Ayu. Punya gue udah
hampir selesai kok."

Aan sudah selesai dengan urusan bimbingan, tapi


menemani Mona yang masih menunggu dosen
pembimbingnya. Mona adalah temannya juga sahabat
dari istrinya, apalagi perempuan itu sedang hamil Aan
pun tidak tega meninggalkan sendiri.Sudah lebih dari
sepuluh menit Mona berada di ruang dosen, akhirnya
keluar dan menghampiri Aan yang asyik dengan
ponselnya.

"Gue udah selesai."

"Eh, udah?"

"Hm."

"Ibra jemput lo atau gimana?"

clxxxii
"Nggak, gue naik taksi."

"Ayo, gue temenin sampai depan."

Setelah Mona menaiki taksi online, barulah Aan menuju


parkiran motor. Namun, ada Riko menghampiri.
Rupanya pria itu melihat interaksi Aan dan Mona.

"Mona nggak sama Ibra, bukannya lagi hamil ya?"

"Iya, lo lihat sendiri perutnya udah buncit. Tadi pagi ada


Ibra yang ngantar, gue lihat kok. Lo masih ngarep?
Udahlah, mending cari yang lain," titah Aan sambil
mengibaskan tangannya. "Mona udah bahagia dengan
Ibra, sama kayak gue sama Ayu."Riko hanya berdecak
mendengar nasihat Aan.

"Papi gue bilang, Aida nggak dipenjara karena Papi


mengusulkan untuk rehab malah sekarang tinggal di
pesantren. Gue yakin Aida masih cinta sama lo," ujar
Aan lagi.

"Aida nggak ada seujung kuku pun dengan Mona."

"Tiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-


masing. Lo nggak bisa bandingkan cewek manapun
dengan Mona, apalagi lo sendiri yang dulu putusin Mona
dan pilih Aida. Oke bro, gue duluan."

Sampai di rumah, Aan di sambut oleh si kembar yang


berlarian menghampirinya.

clxxxiii
"Wah, jagoan Ayah." bukannya memeluk salah satu atau
meraih ke dalam gendongan, Aan malah menghindar dan
berlari membuat Candra dan Catra berteriak
mengejarnya. "kita berenang yuk!" ajak Aan dan si
kembar melonjak kegirangan.

"Sus, tolong ganti pakaian mereka. Saya lihat Ayu dulu,"


ujar Aan kemudian meninggalkan si kembar dengan
pengasuhnya.

"Sayang," sapa Aan ketika memasuki kamar dan melihat


istrinya terbaring dengan wajah pucat.

Pria itu membiarkan istrinya tidur, karena semalam tidak


nyenyak merasakan nyeri kepala dan mual. Aan
mengganti pakaian dengan celana pendek dengan
bertelan_jang dada, karena akan menemani si kembar
berenang.

"Sudah pulang?" tanya Ayu lirih.

"Loh, kebangun?"

Ayu bergeser posisinya menjadi berbaring miring lalu


Aan duduk di sisi ranjang tepat di hadapannya.

"Kok nggak pakai baju?"

"Aku mau ajak anak-anak berenang."


"Hm."

clxxxiv
"Istirahatlah, dokter bilang ini hanya keluhan awal
kehamilan. Nanti kalau sudah enakan, aku bantu
selesaikan skripsimu. Tidak usah jadi pikiran," ujar Aan
sambil mengusap kepala istrinya.

"Tapi anak-anak masih kecil."

"Ayah Bundanya juga masih kecil waktu mereka lahir."

"Ck, Aan aku serius."

Aan terkekeh mendengar istrinya kesal. Rasa cinta pria


itu pada istrinya semakin tidak terbendung, apalagi Ayu
kembali mengandung keturunannya. Rasa khawatir kalau
Ayu akan berpaling karena wanita itu terlihat semakin
menawan dan tidak sedikit para pria melirik ketika
mereka berada di luar rumah, perlahan akan sirna karena
Ayu pun juga sudah bucin dan memastikan kalau mereka
akan saling setia.

"Jalani saja sayang. Kamu nggak dengar kata Mami,


dulu dia ingin punya anak banyak bukan hanya punya
aku tapi tidak bisa. Padahal Papi dan Mami sama-sama
sehat, jadi kita syukuri kalau Tuhan kasih kita banyak
anak."

"Ada aku, ada Mami dan Papi dan para pengasuh kalau
kami merasa kesulitan untuk menjaga mereka. Tidak ada
orangtua yang siap menjadi orangtua, semua butuh
proses dan yang terpenting dijalani bukan dipikirkan.
Paham sayang!"

clxxxv
"Semakin ke sini kamu semakin bijak."

"Semakin ke sini kamu semakin menggemaskan,"

ujar Aan membalas ucapan istrinya.

Ayu berteriak kegelian ketika Aan membenamkan wajah


di lehernya.

"Bahaya Al, aku ke bawah ya. Kamu istirahat deh," ujar


Aan sambil terkekeh lalu mengusap pipi Ayu sebelum
meninggalkan kamar.

"Gimana Al, di acc?" tanya Mona.

"Masih ada revisi, sedikit lagi kok," jawab Ayu lalu


duduk di samping Mona sedangkan Aan berdiri
membawakan berkas dan tas istrinya.

Berbeda dengan Mona yang skripsinya sudah selesai,


bahkan sudah mendaftar sidang. Sedangkan Ayu masih
proses karena sempat tertunda beberapa minggu ketika
mengalami morning sickness. Namun, keduanya akan
melaksanakan wisuda bersamaan sesuai jadwal yang
telah disampaikan oleh kampus.

"Semangat ya, lo pasti bisa dan kita bakal wisuda


bareng."Ayu tersenyum sambil manggut-manggut. Jika
kehamilan Mona sudah lebih dari tujuh bulan dan
perutnya terlihat membola, kehamilan Ayu baru tiga
bulan dan perutnya belum terlihat membuncit.

clxxxvi
"Lo udah sidang 'kan?" tanya Mona pada Aan.

"Sudah dong, sekarang waktunya mendampingi nyonya


besar," sahut Aan.

"Eh iya, kemarin gue ketemu Riko. Aneh tau nggak,


masa dia minta maaf kalau pernah buat salah sama gue
dan minta doa restu dia mau menikah habis wisuda ini.
Lo tahu dia nikah sama siapa?" tanya Mona pada Aan.

"Nggak tahu sih karena belum ketemu Riko juga, tapi


gue bisa tebak siapa cewek yang bakal dinikahin sama
Riko."

"Siapa?" tanya Mona dan Ayu serempak.

"Aida."

"Hah, serius? Emang keluarganya Riko bolehin Aida jadi


menantu, bukannya ...."

"Aida nggak dipenjara, tapi rehabilitas. Sudah sadar dan


berubah kali, malah sekarang hidupnya lebih religius
dibandingkan kita. Kalau Riko menikah dengan Aida,
bertambah deh berandal yang insyaf," tutur Aan
kemudian terbahak.
Sang Berandal Happy Ending
Aan keluar dari ruang sidang bersiul dengan kedua
tangan berada di saku celana. Rekan-rekan yang
menunggu giliran sidang pun menghampiri karena Aan
adalah peserta sidang pertama di ruang tersebut.

clxxxvii
"Gimana hasilnya, lo lulus?"

"Lulus dong," sahut Aan sambil menepuk dadanya.


"Berkat doa istri solehah," ujarnya lagi.

"Aduh gue makin gugup deh," ujar teman Aan.

Riko yang juga sidang hari itu pun menghampiri Aan,


memberi selamat kepada sahabatnya. Tentu saja Aan
menyambut jabat tangan Riko. Setelah ini mereka pasti
akan jarang bertemu, karena aktivitas pekerjaan yang
berbeda. Meskipun Riko pernah berulah, tentu saja Aan
sudah memaafkan.

"Oh iya, gue dengar lo mau nikah. Ini serius?" tanya


Aan.

"Iya. Nanti gue kabarin kalau sudah pasti tanggal dan


tempatnya."

"Dan perempuan itu ...."

"Aida," sahut Riko menyela ucapan Aan. "Dia Aida. Gue


datangi pesantren yang lo sebut waktu itu dan Aida
bener-bener berubah."
Aan manggut-manggut mendengarkan cerita Riko,
kemudian menepuk bahu pria itu.

"Semoga lancar sampai hari pernikahan kalian. Gue ikut


bahagia," ujar Aan.

clxxxviii
"Hm, gue minta maaf pernah buat lo dan Ayu kesal."

"Udah lewat dan gue yakin lo menyesali apa yang sudah


pernah lo lakukan."

Setelah berbincang dengan Riko, Aan pun bergegas


pulang. Tentu saja untuk mengabari keluarganya kalau
dia sudah lulus sarjana dan siap bergabung di perusahaan
Papinya. Suara deru motor, seakan menjadi tanda
kepulangannya.

Candra dan Catra yang sedang berada di ruang keluarga,


melonjak kegirangan lalu berlari keluar.

"Candra, Catra, jangan lari," teriak Ayu.

NOVELTOON

Pengasuh si kembar bergegas mengikuti langkah dua


bocah aktif dan lucu tersebut. Aan meraih tubuh kedua
anaknya ke dalam pelukan membuat kedua bocah
tergelak.

"Mana Bunda kamu, hm?"

"Bunda," teriak Candra juga Catra.


"Gimana sidangnya?" tanya Ayu, Aan pun menurunkan
si kembar lalu memeluk istrinya erat dan mendaratkan
bibir pada kening Ayu. "Kalau responnya begini sih
sudah pasti lulus dong."

clxxxix
"Mana mungkin nggak lulus, aku dikelilingi oleh support
system yang luar biasa. Ada istri yang solehah dan kedua
bocah ini."Ayu tersenyum lalu balas memeluk Aan.
"Lalu apa setelah ini? Mau lanjut kuliah atau ..."

"Hm, berikutnya aku akan ikut Papi dan tentu saja


memastikan istriku ini bisa segera menyelesaikan
skripsinya karena kita harus wisuda bersama."

"Hm, terima kasih Ayah Aan."

"Ayolah semangat, yang penting sudah di acc. Yuk kita


buat slide untuk presentasi."Aan sudah menarik kursi ke
samping Ayu yang terlihat penat. Bayangkan saja,
seminggu kemarin ia mengejar ketertinggalan bimbingan
karena dosen pembimbingnya sempat pergi ke luar kota
dan baru kembali seminggu ini. Padahal jadwal sidang
terakhir sudah dekat. Meskipun Ayu akhirnya
mendapatkan persetujuan dan bisa mendaftar sidang,
masih ada kekesalan dalam hatinya.

"Iya, kesel aja. Coba kalau ngga dapat acc, aku nggak
bisa sidang dan kita tidak wisuda bareng."

Aan tersenyum lalu mengusap kepala istrinya. "Jangan


emosi, kasihan yang di sini," ujarnya lagi sambil
mengusap perut Ayu.

Dengan sabar Aan menemani Ayu membuat slide untuk


presentasi, sesekali pria itu memberi masukan mana
yang harus ditambahkan atau dihilangkan. Ayu pun

cxc
melatih dirinya berbicara dengan Aan berlagak sebagai
dosen penguji.

"Aman ini mah, sudah pasti lulus," seru Aan. "Ayo


istirahat, kalau kurang tidur malah pusing." Ayu pun
patuh, segera ia membereskan berkas dan mematikan
laptopnya.

Sebelum tidur, Ayu sempatkan melihat anak-anaknya


yang sudah pulas. Hati wanita itu menghangat ketika
kembali ke kamarnya, Aan sudah menyiapkan air minum
dan vitamin yang

harus dikonsumsi.

"Terima kasih Ayah Aan, sudah jadi suami siaga."

Aan tersenyum dan kembali mengusap kepala istrinya.


Keduanya tidur dalam arti yang sebenarnya dan yang
lebih dulu terjaga adalah Aan. Pria itu terbangun karena
mendengar salah satu putranya menangis, tidak ingin
membuat Ayu terbangun bergegas ia mendatangi kamar
si kembar.

"Kenapa Sus?" tanya Aan.


"Catra haus, kalau Candra tidak terbangun karena
tangisan Catra."

Candra diangkat oleh Aan dan dibawa keluar dari kamar.


Buana yang sudah bangun menyambut cucunya.

cxci
"Aan, kamu bantu Ayu siap-siap deh. Biar anak-anak
sama Mami dan Sus Mela," titah Anggi.

Satu jam kemudian, Ayu dan Aan bergabung di meja


makan. Ransel berisi laptop dan berkas yang dibutuhkan,
sudah Aan simpan di bagasi mobil. Hati Ayu lagi-lagi
menghangat melihat Anggi dan Buana yang telaten
menyuapi Candra dan Catra menggantikan dirinya yang
harus segera berangkat.

"Ayu makan dulu, bibi juga sudah siapkan cemilan untuk


dibawa. Jangan pikirkan anak-anak, fokus saja dengan
sidang kamu," seru Anggi.

"Iya Mih." Wanita itu terharu bukan karena sedih, tapi


sangat bahagia. dia dikelilingi oleh orang-orang baik.
Aan dan keluarganya.

"Jagoan Ayah jangan nakal ya, Bunda mau berjuang.


Setelah ini, Bunda akan fokus jaga kalian dan adik bayi,"
ujar Aan setelah mencium Candra dan Catra bergantian.
"Habiskan babe," bisik Aan di telinga istrinya.

Ayu pun pamit pada mertuanya juga si kembar yang


melambaikan tangan.

"Baik-baik sama Oma dan sus Mela ya."

Aan sudah membuka pintu mobil untuk istrinya, bahkan


dia juga memasangkan seatbelt.

cxcii
"Aku bisa sendiri," ujar Ayu tapi diabaikan Aan yang
mencuri kesempatan mencium bibir wanita itu.

Mobil pun melaju meninggalkan kediaman Buana


menuju kampus. Sengaja mereka berangkat lebih awal
agar tidak terburu-buru dan terhindar dari macet.Ayu
mendapat giliran kedua di ruang sidangnya, masih ada
waktu untuk kembali membaca bahan yang akan
dipresentasikan. Aan setia menemani, termasuk
mengingatkan agar lebih rileks dan tidak gugup.

Akhirnya tiba giliran Ayu dipanggil, lebih dari satu jam


wanita itu di dalam ruangan. Aan masih menunggu,
ketika pintu ruang terbuka dan keluar Ayu. Pria itu tidak
mencecar dengan pertanyaan apapun, melainkan
mendudukan istrinya di kursi lalu menyodorkan botol air
mineral.

"Selamat ya," ujar Aan sambil tersenyum.

"Dari mana tahu aku lulus?"

"Istriku ini punya otak cerdas, kalau hanya presentasi


skripsi bukan urusan sulit."

Ayu tersenyum dan memukul pelan lengan suaminya.

"Jadi dong kita wisuda bareng dan tidak lama lagi


anakku lahir," seru Aan sambil mengusap perut Ayu.
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba, wisuda sarjana
Aan dan Ayu. Pagi ini kediaman Buana sudah heboh

cxciii
karena semua anggota keluarga sedang bersiap
berangkat.

"Mih, sudah rapi belum?" tanya Aan yang sudah siap


dengan setelan jasnya.

"Sudah. Ayu belum selesai?" tanya Anggi yang juga


sudah siap dan sedang memastikan perlengkapan si
kembar tidak ada yang tertinggal.

"Masih make up. Cewek memang repot dan ribet. Sudah


pakaian, tatanan rambut dan make up segala."

"Halah, mulut kamu itu ya. Ayu cantik juga untuk kamu,
pake ngeluh."

"Bukan ngeluh Mih, Ayu tanpa make up tetap cantik dan


paling cantik di dunia," tutur Aan. "Hei jagoan Ayah,
kalian nanti tidak boleh masuk ruangan. Jangan bete ya,
sama Oma dan Sus Mela."

Ayu menuruni anak tangga dengan flat shoes di tangan


kiri dan hand bag di tangan kanan. Setelan kebaya
dengan model maternity karena perutnya sudah terlihat
membuncit, serta tatanan rambut sederhana juga polesan
make up membuat wanita itu terlihat menawan.
"Tuh 'kan Mih, cantik banget," puji Aan menyambut Ayu
dengan mengulurkan tangannya.

"Istrinya siapa sih?" ejek pria itu.


"Sudah siap? Ayo jalan," ajak Buana.

cxciv
Sampai di lokasi, Anggi, Sus Mela dan si kembar tidak
bisa masuk ke ballroom karena tidak diperkenankan
untuk anak kecil. Sudah memesan private room untuk
mereka menunggu acara selesai. Hanya Buana, keluarga
yang hadir untuk Aan dan Ayu.

Setelah memakai toga, Aan dan Ayu pun duduk di kursi


yang sudah disiapkan. Mereka terpisah karena beda
jurusan. Ayu duduk tidak jauh dari Mona, sedangkan Aan
dekat dengan Riko yang satu jurusan.

Acara pun dimulai, sampai akhirnya saat pemanggilan


para wisudawan. Aan yang sudah dipanggil tidak
langsung duduk, menunggu istrinya menaiki panggung.

Ayu sempat menoleh ke arah para tamu undangan, ada


Buana di sana yang menatap ke arahnya dengan wajah
tersenyum. Kedua mata wanita itu berkaca-kaca,
mengingat mendiang orangtuanya. Kini ada Buana dan
Anggi yang menganggapnya seperti putri kandung
mereka.

"Pelan-pelan," ujar Aan membantu Ayu turun dari


panggung lalu minta foto berdua. Keduanya masih
menunggu Mona yang sudah hamil besar. Bahkan Ibra
pun sudah siap dengan kameranya.

"Pelan-pelan aja," seru Aan membantu Mona turun.

"Ayo fotoin," titah Aan pada Ibra yang menggelengkan


kepalanya.

cxcv
Aan berada di tengah kedua wanita hamil, ada Ayu dan
Mona. Ibra pun beberapa kali mengambil gambar
mereka.

"Ayo sayang," ujar Ibra mengantarkan Mona kembali ke


kursinya.

Mona berjalan pelan, Ayu pun mengekor langkah wanita


itu.

"Sakit lagi?" tanya Ayu.

"Hah, kamu sakit?" Ibra ikut bertanya.

"Bukan sakit, tapi mulas. Kayaknya kontraksi palsu,


udah biasa begini."

"Sudah waktunya lahir kah?" Ibra khawatir dan


mengusap perut Mona.

"HPLnya masih tiga minggu lagi. Ayo Al, kita duduk.


Pegal aku dari tadi berdiri."

Ibra memastikan Mona sudah duduk baru dia kembali ke


kursinya. Setelah acara selesai, semua bergabung dengan
keluarga masing-masing. Ayu dan Aan bersama
keluarganya untuk berfoto, begitupun Mona dan Ibra
juga orang tua Mona.

Aan berinisiatif berfoto bersama dengan Ayu, Mona dan


Riko. Ibra sudah siap dengan kameranya dan keluarga
besar mereka menyaksikan momen tersebut. Keempat

cxcvi
orang itu memang berteman sejak SMK, jadi wajar kalau
mereka ingin mengabadikan momen yang tidak mungkin
akan terulang.

Aan dan Ayu berdiri bersisian, sedangkan Riko ada di


samping kanan Aan dan Mona di samping Ayu. Ibra
memberi aba-aba untuk berganti gaya mereka.

"Aduh," pekik Mona sambil memegang perutnya.

"Sayang, perut kamu sakit?" tanya Ibra sudah mendekat.


Mona hanya mengangguk pelan.

"Mungkin memang sudah pembukaan, sejak tadi Mona


memang mengeluh sakit tapi hilang timbul," ujar Ayu.
Orangtua Mona dan Ibra langsung membawa Mona ke
rumah sakit. Ayu sempat berbisik menyemangati Mona.

"Kita pulang, jenguk Mona kalau sudah lahiran saja,"


ajak Aan.

Dua tahun kemudian.

"Sudah USG?" tanya Ayu mengusap perut Aida.

"Sudah, kata dokter laki-laki," jawab Aida.

"Anakku juga laki-laki lagi," sahut Mona sambil


mengusap perutnya yang membola.

Saat ini mereka berkumpul memenuhi undangan Riko


dan Aida, di syukuran tujuh bulan kehamilan Aida. Ibra

cxcvii
sedang bersama para pria, mengawasi anak pertamanya.
Sedangkan Aan menggendong Citra, putrinya yang
belum genap berusia dua tahun dan mengantuk dalam
pelukan Ayahnya.

"Kamu nggak ada rencana hamil lagi?" tanya Mona pada


Ayu.

"Cukuplah, anakku sudah tiga. Kalau Aan sih iya aja


maunya nambah lagi, tapi yang hamil dan melahirkan
aku bukan dia."

Para pria itu menghampiri istrinya masing-


masing.Berbincang sambil sesekali tertawa, mengingat
masa lalu mereka. Para berandal yang sudah bucin
dengan pasangan dan cintanya masing-masing.

TAMAT

cxcviii
Haiii, akhirnya Cinta Sang Berandal tamat juga yess.
Terima kasih sudah mengikuti sampai akhir dan selalu
memberikan jejak cinta. Jangan lupa mampir ke karya
aku yang baru. Sehat-sehat untuk kita semua, peluk
online untuk kalian.

cxcix

Anda mungkin juga menyukai