Rapuh yang Menguatkan
Penulis: Maulidya Anggraini
ISBN 978-623-290-203-9
Editor: Intan Erlina Sari
Penata Letak: @timsenyum
Desain Sampul: @timsenyum
Copyright © Pustaka Media Guru, 2020
vi, 140 hlm, 14,8 x 21 cm
Cetakan Pertama, Oktober 2020
Diterbitkan oleh
CV. Cipta Media Edukasi
Grup Penerbit Pustaka MediaGuru (Anggota IKAPI)
Jl. Dharmawangsa 7/14 Surabaya
Website: www.mediaguru.id
Dicetak dan Didistribusikan oleh
Pustaka Media Guru
Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, PASAL 72
Prakata
iii
Pengarang
Maulidya Anggraini
iv
Daftar Isi
v
vi
Bagian 1
Gadiza Aisyah
N
amaku Gadiza Aisyah, biasa dipanggil Diza.
Aku dilahirkan seorang perempuan yang
kupanggil mama di Dharmasraya, pada 18
April 2007. Aku selalu dimanja oleh kedua orang
tuaku, mungkin karena mereka jarang punya waktu
luang untuk bermain denganku. Sejak kecil, aku
memang kurang mendapat perhatian dari kedua
orang tuaku. Mama dan papaku bekerja sebagai guru.
Mungkin mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan
masing-masing.
Aku duduk di bangku kelas 4 SD di SDN 09 Koto
Besar. Hobiku adalah mebaca buku. Kata guruku sih,
aku anak yang kalem dan kutu buku. Namun,
sahabatku bilang, aku cerewet dan galak walau punya
wajah yang manis. Aku tidak suka bergaul dengan
anak laki-laki. Menurutku, semua teman laki-laki di
kelas selalu mengganggu ketenanganku, apalagi
1
2
3
4
5
6
7
***
8
Bagian 2
Dia adalah Faiz
K
riiing! Alarmku berbunyi, menandakan sudah
pukul 05.30 WIB. Aku langsung bangkit dari
tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Setelah mandi, aku shalat Subuh.
“Ya Allah, semoga hari ini Dija bisa lebih dekat
dengan Faiz, amin.” Tanpa kusadari, mama
mendengar doa yang kupanjatkan.
“Dija, sudah selesai berdoa?” tanya mama sambil
tersenyum.
“Eh, iya, Ma. Dija udah selesai berdoa kok,
hehehe.”
“Ya sudah, siap-siap ke ruang makan untuk
sarapan, ya,” pesan mama.
“Iya, Ma.” Aku segera menyiapkan peralatan
sekolah, lalu ke ruang makan untuk sarapan.
“Dija berangkat sekolah dulu, ya, Ma, Pa,” pamitku.
“Dija mau Papa antar ke sekolah?” tanya papa.
“Nggak deh, Pa. Dija mau jalan aja,” jawabku.
9
10
“Ngapain?”
“Bantu aku dong. Aku mau punya sahabat seperti
Bunga,” jelas Diva.
Bunga adalah siswi kelas 4A. Dia termasuk anak
yang pintar. Sayangnya, kepintaran itu terkadang
membuat dirinya meremehkan banyak orang.
“Ya elah, sahabatan dengan Anika sana. Pasti
asyik, dia kan tomboi,” ujarku.
“Idih, Anika itu kasar, suka nonjok orang
sembarangan,” keluh Diva.
“Kamu aja yang lemah jadi cowok, haha.”
“Ya udah deh kalau nggak mau bantu. Aku
berusaha sendiri aja,” kata Diva menyerah.
“Hahaha, selamat berjuang. Semoga berhasil,”
ucapku. Seketika itu, Diva marah dan pergi
meninggalkanku.
“Ya elah, gitu doang ngambek, haha.” Aku tak bisa
menahan tawa.
Aku pun kembali ke kelas. Saat itu, kelas begitu
sepi. Tidak ada satu orang siswa pun di dalamnya.
Entah, ke mana mereka semua. Aku pun duduk di
bangkuku. Beberapa menit kemudian, datang Faiz
dengan membawa dua cone es krim.
11
12
13
14
15
***
16
Bagian 3
Masa-Masa PDKT
F
aiz kembali ke kelas dengan raut muka masam
dan sedikit kesal karena ancaman yang
diberikan Yogi kepadanya. Aku pun heran
melihat Faiz yang tiba-tiba cuek. Karena penasaran,
aku menghampirinya.
“Eh, Faiz, kamu ngapain? Kok jadi pemurung gini
sih?” tanyaku.
“Nggak apa-apa. Kamu bisa pergi sekarang juga?
Aku lagi nggak mau diganggu hari ini,” jawab Faiz.
“Oh, maaf. Kalau aku punya salah, aku minta
maaf.”
“Udah, pergi sana!” bentak Faiz.
“Maaf, ya, Faiz. Iya, aku akan pergi kok.” Aku
melangkahkan kaki perlahan-lahan meninggalkan
Faiz. Aku kembali ke tempat duduk dengan raut wajah
sebal.
“Kenapa sih Faiz? Aku kan nggak ada salah apa-
apa. Kok dia jadi gitu sih? Kalau aku tahu dia seperti
17
18
19
20
21
Bagian 4
Peristiwa di Kelas
H
ari ini seluruh siswa akan mengikuti ujian
akhir semester genap, aku dan teman-teman
sangat bersemangat. Sebentar lagi, kami
akan naik ke kelas 5. Aku yakin, kami semua naik
kelas. Anak laki-laki tampak santai mengikuti ujian
akhir semester ini. Mereka punya prinsip tingginya
nilai bergantung pada solidaritas teman-teman. Ya,
begitulah teman laki-laki di kelasku, susah diatur dan
hanya pandai mencontek.
Hari demi hari berlalu. Hari ini seluruh siswa akan
mendapatkan hasil kerja keras kami selama lima hari
mengikuti ujian. Aku berdoa supaya masih bisa
mendapatkan juara. Sebelum menerima rapor, kami
berfoto-foto di depan kelas untuk mengabadikan
momen yang tak akan pernah kami lupakan. Setelah
puas berfoto, kami membuat video dengan efek slow
motion yang sedang viral akhir-akhir ini.
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
***
34
Bagian 5
Cemburu
“C
emburu dalam suatu hubungan itu wajar;
yang tidak wajar itu cemburu berlebihan.”
Begitulah kata Only Human.
Hobiku membaca novel romansa. Kutipan itu
kuambil dari sebuah novel yang pernah kubaca. Sama
seperti yang dialami tokoh dalam novel itu, aku juga
pernah merasa cemburu.
Waktu itu, aku sedang akrab dengan sahabat Faiz.
Namanya Ikhsan Maulana. Dia lucu, baik, nggak
baperan, dan asyik. Sejauh yang kutahu, dia tidak
pernah menyakiti orang lain, apalagi teman
perempuan. Saat itu, aku cukup akrab Ikhsan. Aku
ingin lebih banyak tahu tentang Faiz darinya. Sebab,
Ikhsan adalah satu-satunya teman laki-laki Faiz yang
setia menemaninya.
Hari itu merupakan hari ulang tahunku yang ke-
11. Faiz memberiku kejutan luar biasa. Dia menyuruh
teman-teman keluar kelas, meninggalkanku dan Bu
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
***
47
Bagian 6
Keluarga Kedua
H
ari ini adalah hari terakhir duduk di kelas 6
semester 1. Besok, kami akan mengikuti
ujian akhir semester. Seluruh siswa mulai
mempersiapkan diri.
“Diza, nanti belajar bareng, yuk,” ajak Melita.
“Okelah, aman,” jawabku.
Sepulang sekolah, aku dan Melita belajar dengan
serius agar bisa mendapatkan nilai memuaskan.
Setelah cukup lama belajar, aku iseng memainkan
handphone-ku untuk mengistirahatkan otakku. Aku
mendapatkan notifikasi dari Dian. Dia menyuruhku
segera ke rumah Faiz karena mamanya ingin bertemu
denganku.
Aku sempat kaget karena aku tidak pernah main
ke rumah teman laki-laki. Aku mempertimbangkan,
harus ke sana atau tidak. Hubungan persahabatanku
dengan Faiz juga masih belum membaik.
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
***
60
Bagian 7
Momen-Momen Berharga
H
ari ini merupakan hari terakhir di bulan
Ramadan. Orang-orang sibuk membeli baju
lebaran. Begitu pun aku saat bermain ke
rumah Faiz. Aku diajak Papa Faiz membeli baju
lebaran untuk Faiz dan Fari. Maklum, Mama Faiz tidak
bisa ke sana kemari karena hamil.
Sesampai di toko baju, Papa Faiz menyuruhku
mencarikan baju yang cocok untuk Faiz dan Fari. Aku
pun segera mencarinya. Aku tertarik pada kemeja
berwarna putih yang cocok untuk Faiz. Aku langsung
menunjukkannya kepada Faiz dan papanya. Mereka
menyetujuinya. Kini, giliran kami mencarikan baju
untuk Fari.
Setelah mendapatkan beberapa baju yang cocok
untuk Faiz dan Fari, Papa Faiz menyuruhku memilih
sebuah baju. Awalnya, aku tidak mengerti mengapa
Papa Faiz menyuruhku memilih baju. Ternyata, Papa
Faiz juga membelikanku baju. Begitu senangnya
61
62
63
64
65
66
67
68
***
Hari ini adalah hari pendaftaran siswa baru. Karena
tidak mau berpisah sekolah dengan Faiz, maka aku
akan ikut ke sekolah mana pun Faiz mendaftar. Ketika
sudah lama mempertimbangkan hal ini, Faiz memilih
melanjutkan sekolah ke pesantren bernama ICBS
Payakumbuh. Aku senang karena Faiz mau masuk
pondok pesantren.
Kami pun mencari informasi mengenai ICBS.
Ternyata, pendaftaran dibuka tanggal 22–25 Januari;
tes tanggal 26–27 Januari; pengumuman tanggal 2
Februari. Aku dan Faiz mendaftarkan diri sebagai
peserta. Aku ingin sekali selalu satu sekolah dengan
Faiz.
Ketika tanggal 27 Januari tiba, keluargaku dan
keluarga Faiz berangkat menuju sekolah tersebut.
Dian ikut bersama kami karena dia juga mendaftar ke
sekolah tersebut. Selama dalam perjalanan, aku dan
Dian sibuk membuat video sebagai kenang-
kenangan, sementara Faiz mulai mengantuk dan tidur.
69
70
71
72
73
74
75
***
76
Bagian 8
Bunga Merebut Segalanya
H
ari ini merupakan hari pengumuman siapa
saja yang lulus tes menjadi siswa di sekolah
unggul tersebut. Sekolah itu merupakan
MTsN terbaik di Sumatra Barat. Aku bangun pagi-pagi
sekali dan segera mengambil handphone-ku. Aku
membuka laman yang memuat pengumuman
kelulusan tersebut. Ternyata, aku terdaftar sebagai
salah satu siswa di MTsN tersebut. Aku sangat
gembira dan segera memberitahukan info ini kepada
orang tuaku dan orang tua Faiz. Mereka sangat
senang mendengar kabar baik ini.
Aku pun bersiap-siap pergi ke sekolah. Sesampai
di sekolah, aku sudah tidak sabar memberitahukan
kabar gembira ini kepada teman-teman.
“Kawan-kawan!” sapaku sambil melambaikan
tangan. Dian dan Anisa pun menoleh ke arahku.
“Aku lulus!” kataku histeris.
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
***
92
Bagian 9
Pekanbaru
M
alam ini, Dian mengajak aku dan Anisa
untuk makan bakso bersama. Ketika kami
sampai di tempat tujuan, Dian
mengatakan bahwa dia akan mentraktir kami. Aku
dan Anisa senang karena tidak perlu membayar.
Ketika kami sedang asyik makan, tiba-tiba Papa
Faiz menelepon dan menyuruhku ke rumah Faiz
setelah makan bakso. Aku bingung harus mengiyakan
atau menolak permintaan Papa Faiz. Setelah berpikir,
aku menyetujuinya dan melanjutkan makan bakso.
“Diza, ngapain Papa Faiz telepon kamu?” tanya
Dian sambil menyantap baksonya.
“Nggak tahu. Aku disuruh ke rumah Faiz nanti. Eh,
kalian nanti temenin aku, ya,” pintaku sambil
memperhatikan mereka berdua.
Kami segera menghabiskan bakso, kemudian
berangkat menuju rumah Faiz. Ketika kami sampai,
aku masuk rumah, lalu diminta Papa Faiz untuk
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
***
107
Bagian 10
Selvi Savana Putri
S
ampai juga aku di MTsN. Aku segera
mempersiapkan semua barangku dan masuk
asrama. Sebelumnya, aku melihat postingan
Faiz yang akan ditinggal oleh mama dan papanya. Dia
tampak senang bahkan sama sekali tidak menangis.
Aku selalu bertanya-tanya, apakah Faiz akan
mengingatku selama di asrama? Apakah dia akan
tetap mau bersahabat denganku setelah pulang dari
pesantren? Pertanyaan bodoh itu terus terngiang-
ngiang di benakku.
Untuk menambah semangat belajarku, aku
sengaja membawa foto Faiz ke asrama. Dengan
begitu, aku akan merasa bahwa kami masih satu
sekolah. Saat menatap foto Faiz, aku ingin sekali
menangis karena teringat pada kejadian semalam.
Saat orang tuaku berpamitan pulang, aku
berusaha keras menahan tangisku. Aku harus mulai
bergaul dengan teman asrama. Aku merasa banyak
108
109
110
111
112
***
113
114
115
116
117
***
Hari demi hari berlalu. Aku iseng melihat story
Nadia, ternyata dia sudah punya sahabat baru. Aku
senang karena Nadia sudah menemukan sahabat
baru, yang tampak sangat serasi dengannya. Aku pun
118
119
120
121
122
***
123
Bagian 11
Tangga Rapuh
yang Menguatkan
A
ku mulai terbiasa dekat dengan Faiz. Aku
mulai memperlihatkan perhatianku untuk
Faiz. Dia juga mulai terbiasa. Sampai akhirnya,
dia terbiasa berkirim pesan denganku. Saat itu, dia
mengucapkan salam melalui pesan singkat. Aku
menjawabnya seperti biasa dan kami asyik berbalas
pesan. Ketika cukup lama saling berbalas pesan, dia
mulai memanggilku dengan sebutan “Adik”. Namun,
dia mengatakan kalau dia hanya salah ketik.
Aku tertawa karena tingkah lucu Faiz. Kupikir, dia
masih menyayangiku seperti dulu. Namun, aku
berusaha tampak biasa saja. Aku mengelak dengan
mengatakan kekhawatiranku terhadap Selvi, yang
mungkin nanti akan cemburu. Faiz menjawab bahwa
dia tidak memiliki kedekatan dengan Selvi
sebagaimana aku dekat dengannya dulu. Dia juga
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
***
Saat aku sudah mulai jarang bermain dengannya,
aku iseng membuka akunnya dan menemukan chat
dia dengan Bunga. Dia tampak kembali akrab dengan
Bunga. Dia menanyakan kabar Bunga, sekolah Bunga,
semua tentang Bunga. Dari chat ini, aku mulai
menyadari bahwa sahabat sejati Faiz adalah Bunga,
bukan aku. Buktinya, saat bersamaku, dia selalu
tampak kesal. Dia tidak suka jika aku
mengganggunya. Sementara itu, ketika dengan
Bunga, dia selalu ramah bahkan sering menggunakan
kata-kata manis.
Suatu hari, aku sengaja bermain ke rumah Faiz
untuk melihat keseharian Faiz. Aku melihatnya
mengukir namaku di dekat akuarium. Aku tersenyum
karena dia maasih mengingatku. Saat itu juga, Papa
Faiz memanggil dan mengajakku berbicara.
“Diza benar-benar sayang Faiz?” tanya Papa Faiz.
135
136
137
***
Aku tidak percaya cinta itu bahagia melihat orang
lain bahagia. Namun, aku percaya, cinta itu belajar
ikhlas melihat orang lain bahagia.
138
Profil Pengarang
Assalamu’alaikum w.w.
Hai! Namaku Maulidya Anggraini.
Kalian bisa memanggilku Maul. Jika
kalian merasa aneh dengan nama
panggilan itu, kalian juga boleh
memanggilku Lidya. Aku lahir di
Kabupaten Dharmasraya, 18 April 2007. Aku anak
kedua dari dua bersaudara. Saat ini, aku duduk
bangku kelas 7 MTsN Ganting, Padang Panjang.
Hobiku sejak kecil adalah bernyanyi. Walaupun
suaraku tidak semerdu suara orang lain, tetapi aku
tetap menikmati setiap lagu yang kunyanyikan. Cita-
citaku belum menentu, terkadang aku ingin menjadi
dosen; terkadang ingin menjadi ustadzah; bahkan
terkadang ingin jadi Youtuber.
Aku pernah menorehkan beberapa prestasi, di
antaranya Juara 2 Video Reportase tingkat Kabupaten,
Juara 3 Lomba Cerdas Cermat tingkat Kabupaten,
139
140