Anda di halaman 1dari 150

Tangga 

Rapuh yang Menguatkan 

Penulis: Maulidya Anggraini 
ISBN  978-623-290-203-9

Editor: Intan Erlina Sari 
Penata Letak: @timsenyum 
Desain Sampul: @timsenyum 

Copyright © Pustaka Media Guru, 2020 
vi, 140 hlm, 14,8 x 21 cm 
Cetakan Pertama, Oktober 2020 

Diterbitkan oleh 
CV. Cipta Media Edukasi
Grup Penerbit Pustaka MediaGuru (Anggota IKAPI)
Jl. Dharmawangsa 7/14 Surabaya
Website: www.mediaguru.id

Dicetak dan Didistribusikan oleh 
Pustaka Media Guru 

Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 19 
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, PASAL 72 
 

Prakata

As-salamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.


Puji syukur pengarang panjatkan ke hadirat Allah
SWT, yang memberi kesempatan dan hidayah-Nya
sehingga pengarang dapat menyelesaikan penulisan
novel berjudul Tangga Rapuh yang Menguatkan ini.
Tak lupa, shalawat serta salam pengarang haturkan
kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
mengentaskan manusia dari lembah kebodohan
menuju tempat yang terang benderang.
Novel ini menceritakan persahabatan antara Diza
dan Faiz. Kisah mereka sangat unik. Banyak sekali
rintangan yang mengguncang persahabatan mereka.
Namun, Diza gigih mempertahankan kebersamaan
mereka. Kegigihan Diza membuatnya mendapat gelar
baru, yakni Tangga Rapuh yang Menguatkan.
Pengarang mengucapkan terima kasih kepada
keluarga, teman-teman, Kak Syaiful, Kak April, dan
Tim MediaGuru, yang telah membantu dan
mendukung proses penerbitan novel pengarang. Tak

iii
 

lupa, pengarang mengucapkan terima kasih kepada


pembaca yang sudah berkenan meluangkan waktu
untuk membaca rangkaian kata dalam novel ini
hingga bagian akhir.
Novel ini merupakan karya perdana pengarang.
Oleh sebab itu, kritik dan saran teman-teman sangat
pengarang harapkan demi perbaikan karya
berikutnya. Semoga novel ini menghibur para
pembaca. Selamat membaca!

Padang, 21 Juni 2020

Pengarang
Maulidya Anggraini

iv
 

Daftar Isi

Prakata ........................................................................................... iii


Daftar Isi ......................................................................................... v
Bagian 1 Gadiza Aisyah ...................................................... 1
Bagian 2 Dia adalah Faiz .................................................... 9
Bagian 3 Masa-Masa PDKT ............................................. 17
Bagian 4 Peristiwa di Kelas .............................................. 22

Bagian 5 Cemburu .............................................................. 35


Bagian 6 Keluarga Kedua ................................................. 48

Bagian 7 Momen-Momen Berharga............................ 61


Bagian 8 Bunga Merebut Segalanya ........................... 77
Bagian 9 Pekanbaru ........................................................... 93
Bagian 10 Selvi Savana Putri........................................ 108
Bagian 11 Tangga Rapuh yang Menguatkan........ 124
Profil Pengarang .................................................................... 139

v
 

vi
 

Bagian 1
Gadiza Aisyah

N
amaku Gadiza Aisyah, biasa dipanggil Diza.
Aku dilahirkan seorang perempuan yang
kupanggil mama di Dharmasraya, pada 18
April 2007. Aku selalu dimanja oleh kedua orang
tuaku, mungkin karena mereka jarang punya waktu
luang untuk bermain denganku. Sejak kecil, aku
memang kurang mendapat perhatian dari kedua
orang tuaku. Mama dan papaku bekerja sebagai guru.
Mungkin mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan
masing-masing.
Aku duduk di bangku kelas 4 SD di SDN 09 Koto
Besar. Hobiku adalah mebaca buku. Kata guruku sih,
aku anak yang kalem dan kutu buku. Namun,
sahabatku bilang, aku cerewet dan galak walau punya
wajah yang manis. Aku tidak suka bergaul dengan
anak laki-laki. Menurutku, semua teman laki-laki di
kelas selalu mengganggu ketenanganku, apalagi

1
 

mereka suka mencontek jawabanku saat ulangan


harian berlangsung.
Hari ini, seperti biasa, kelasku ribut karena guru
Matematika kami tak kunjung datang. Teman-
temanku berdoa agar guru Matematika tidak hadir
hari ini. Setelah beberapa menit, wali kelas memasuki
kelas kami bersama salah seorang murid kelas
sebelah.
“Yah, dia lagi,” gerutu Anika, teman sebangkuku.
“Siapa dia?” tanyaku penasaran.
“Itu lho, anak kelas sebelah. Dia culun banget tahu.
Dia laki-laki, tapi sangat manja,” ucap Anika sambil
menatap anak laki-laki itu.
“Kok aku jadi penasaran sih. Namanya siapa, ya?”
batinku.
“Ayo, Nak, perkenalkan dirimu di depan teman-
teman barumu, ya,” ucap bu guru.
“Hmm. Ha…ha…hai, Teman-teman,” sapanya
dengan nada malu-malu.
“Jangan malu-malu, ya, Nak,” tegur bu guru.
“Hai, Teman-teman. Namaku Faiz Alfathan. Aku
siswa kelas sebelah. Senang bertemu dengan kalian,”
lanjutnya.

2
 

“Bu Guru, kenapa dia pindah kelas? Kan semua


kelas sama saja, Bu,” tanya seorang siswa.
“Faiz diminta orang tuanya pindah karena tidak
nyaman berada di kelas sebelah,” jelas bu guru.
Aku melihat ke arah Faiz. Ups! Ternyata
pandangan mata Faiz tertuju kepadaku. Aku yang
merasa tidak nyaman langsung berpura-pura
membaca buku. Faiz tampaknya tersenyum melihat
tingkahku yang aneh.
“Tuh kan benar. Dia itu anak manja. Buktinya,
keinginan dia untuk pindah kelas dikabulkan dengan
mudah oleh orang tuanya,” ucap Anika dengan nada
pelan. Aku hanya bisa menyimak apa yang Anika
katakan, seolah-olah tidak peduli dengan anak
pindahan itu. Padahal, aku ingin tahu lebih banyak
tentang dia.
“Nik, kamu kenal dia?” tanyaku penasaran.
“Jelas kenal, dia kan tetanggaku. Memangnya
kenapa? Nggak biasa kamu tanya seperti ini,” selidik
Anika dengan penuh curiga.
“Hmm, nggak apa-apa, cuma tanya.”
Bu guru mempersilakan anak pindahan itu
memilih tempat duduk. Ternyata, dia memilih

3
 

sebangku dengan Diva, tepatnya di sebelah tempat


dudukku dan Anika.
Kami sudah lama menunggu kehadiran guru
Matematika, tetapi pak guru tak kunjung datang.
Kriiing! Sudah saatnya istirahat. Guru Matematika
tidak masuk kelas hari ini.
“Diza, ke kantin, yuk. Aku lapar.” Anika
mengajakku ke kantin. Dia menarik paksa tanganku.
“Ih, kamu pergi aja dulu. Nanti aku nyusul deh,”
ujarku.
“Ah, kamu mah gitu. Hmm, jangan-jangan kamu
mau berduaan dengan Faiz,” ledek Anika.
“Apaan sih kamu? Udah, pergi dulu sana, nanti aku
pasti nyusul,” ucapku dengan nada kesal.
Anika mulai berjalan meninggalkanku. Sekarang,
hanya ada aku dan Faiz di kelas. Aku sibuk membaca
buku, sedangkan Faiz, entah sibuk menggambar apa.
Namun, aku juga merasa Faiz memperhatikan gerak-
gerikku. Aku hanya bisa menutupi mukaku dengan
buku. Aku mulai merasa risih dengan tingkahnya.
“Kamu jangan ganggu, dong. Aku nggak suka
dilihat seperti itu,” ucapku dengan perasaan marah.

4
 

“Mm, maaf. Aku hanya ingin berkenalan


denganmu, tapi aku malu.” Kulihat wajahnya tampak
ketakutan.
“Ya udah, kenalin, namaku Gadiza Aisyah. Kamu
bisa panggil aku Diza atau Dija,” ujarku dengan nada
lembut agar dia tidak ketakutan lagi.
“Namaku Faiz Alfathan. Kamu bisa panggil aku
Faiz,” balasnya dengan tersenyum.
Setelah berbincang cukup lama dengan Faiz, aku
pamit menyusul Anika ke kantin. Aku bergumam
begitu sampai di kantin.
“Entah kenapa, aku merasa baru kali ini aku bisa
care dengan teman laki-laki. Aku merasa, Faiz
berbeda dengan anak laki-laki yang lain.”
“Mungkin kamu lagi jatuh cinta,” ucap Anika
dengan tertawa karena mendengar gumamanku.
Aku yang masih lugu pun tanpa pikir panjang
langsung bertanya, “Cinta? Cinta itu apa?”
Anika tertawa semakin keras melihat polosnya
diriku. Aku semakin bingung dengan tingkah Anika.
Aku tidak tahu apa itu jatuh cinta.
Tanpa pikir panjang, sepulang sekolah, aku
langsung menemui mamaku di MAN, tempat beliau

5
 

mengajar. MAN itu tidak jauh dari sekolahku. Aku


langsung menyalami mamaku dan segera
menanyakan hal yang membuatku penasaran.
“Dija boleh tanya sesuatu nggak, Ma?”
“Iya, mau tanya apa?” tanya mama.
“Kata Anika, Dija lagi jatuh cinta dengan Faiz, Ma.
Cinta itu apa sih, Ma?” tanyaku polos.
“Faiz itu siapa, Dija?”
“Teman baru Dija, Ma. Anak Bu Rina dan Pak
Satria,” jawabku. Mamaku hanya bisa tertawa melihat
keluguanku.
“Dija, kamu masih kelas 4 SD kok sudah tahu
istilah cinta?” tanya mama sambil tertawa.
“Dengarkan Mama, ya. Cinta itu terjadi pada dua
orang dewasa yang saling menyukai satu sama lain.
Mereka saling menyayangi. Dalam dunia Dija, belum
ada istilah cinta. Kalau Dija menyayangi Faiz, artinya
Dija menganggap Faiz sebagai seorang sahabat,”
lanjut mama.
Sekarang, aku baru mengerti arti cinta sebenarnya.
Setelah mendengar penjelasan mama, aku suka
mengkhayal sebelum tidur. Aku membayangkan
bersahabat dengan Faiz, dekat dengan orang tua Faiz,

6
 

selalu satu sekolah dengan Faiz, pokoknya semua


yang berkaitan dengan Faiz.
“Kenapa, ya, aku mikirin Faiz? Sebelumnya, aku
nggak pernah tuh berpikir punya teman laki-laki.
Jangan-jangan benar kata Anika? Tapi, kata mama,
cinta hanya untuk orang dewasa, pasti mama tidak
bohong. Faiz memang berbeda dengan teman laki-
laki di kelas. Dia juga lumayan ganteng dan putih,
sayangnya tubuhnya pendek.” Aku berbicara sendiri.
“Ih, aku kok mikirin Faiz sih? Kan aku belum kenal
dekat dengan Faiz. Ah, sudahlah, lebih baik aku tidur.
Toh, besok aku akan bertemu dengan Faiz di sekolah.”
Aku terus saja bergumam.
Aku ingin tahu lebih banyak tentang Faiz. Aku
ingin bersahabat dengannya. Aku juga mau dekat
dengan orang tuanya. Entahlah, baru kali ini aku
merasa bisa akrab dengan anak laki-laki. Ternyata,
bermain dengan anak laki-laki seru juga. Tidak semua
anak laki-laki itu nakal.
Tanpa kusadari, papa mendengarkanku berbicara
sendiri dari balik pintu kamarku.
“Aduh, Diza, kamu ngomong apa sih? Haha.
Sekarang kamu tidur biar besok bisa ketemu dengan

7
 

sahabat barumu. Ngomong-ngomong, siapa sih


sahabat barumu itu, Diza? Cerita dong ke Papa,” ujar
papa.
“Hehehe, besok sepulang sekolah Diza cerita, Pa.
Sekarang, Diza mau tidur dulu, ya, Pa,” kataku dengan
malu-malu.
“Ya sudah, mimpi indah, ya, Nak. Jangan lupa
berdoa sebelum tidur.”
“Iya. Good night, Pa,” ucapku.

***

8
 

Bagian 2
Dia adalah Faiz

K
riiing! Alarmku berbunyi, menandakan sudah
pukul 05.30 WIB. Aku langsung bangkit dari
tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Setelah mandi, aku shalat Subuh.
“Ya Allah, semoga hari ini Dija bisa lebih dekat
dengan Faiz, amin.” Tanpa kusadari, mama
mendengar doa yang kupanjatkan.
“Dija, sudah selesai berdoa?” tanya mama sambil
tersenyum.
“Eh, iya, Ma. Dija udah selesai berdoa kok,
hehehe.”
“Ya sudah, siap-siap ke ruang makan untuk
sarapan, ya,” pesan mama.
“Iya, Ma.” Aku segera menyiapkan peralatan
sekolah, lalu ke ruang makan untuk sarapan.
“Dija berangkat sekolah dulu, ya, Ma, Pa,” pamitku.
“Dija mau Papa antar ke sekolah?” tanya papa.
“Nggak deh, Pa. Dija mau jalan aja,” jawabku.

9
 

“Ya sudah, hati-hati, ya, Nak.”


“Iya, Dija pergi dulu, Ma, Pa. Assalamu’alaikum,”
pamitku.
“Wa’alaikumussalam.”
Sesampaiku di sekolah, teman-teman dekatku
langsung menghampiri.
“Hai, Diza, kok jalan kaki?” tanya Gina, kawan
dekatku.
“Hehe, biar sehat, Gin. Emang kamu, diantar pakai
mobil, padahal rumahmu dekat dari sekolah,” ledekku.
“Hehe, tadi papaku sekalian berangkat kerja,”
jawab Gina.
“Ya udah, aku masuk kelas dulu, ya, Gina,” kataku.
“Oke, Diza.”
Ketika masuk kelas, aku hanya melihat Anika, Diva,
dan Faiz di sana.
“Apa kabar, Dija?” sapa Faiz sambil tersenyum.
“Eh, alhamdulllah, baik. Tumben tanya?” tanyaku.
Belum sempat Faiz menjawab, Diva sudah menarik
tanganku dan mengajakku keluar kelas.
“Ih, apaan sih kamu? Aku kan lagi ngomong sama
Faiz,” ujarku kesal.
“Dija, kamu mau bantu aku, nggak?” tanya Diva.

10
 

“Ngapain?”
“Bantu aku dong. Aku mau punya sahabat seperti
Bunga,” jelas Diva.
Bunga adalah siswi kelas 4A. Dia termasuk anak
yang pintar. Sayangnya, kepintaran itu terkadang
membuat dirinya meremehkan banyak orang.
“Ya elah, sahabatan dengan Anika sana. Pasti
asyik, dia kan tomboi,” ujarku.
“Idih, Anika itu kasar, suka nonjok orang
sembarangan,” keluh Diva.
“Kamu aja yang lemah jadi cowok, haha.”
“Ya udah deh kalau nggak mau bantu. Aku
berusaha sendiri aja,” kata Diva menyerah.
“Hahaha, selamat berjuang. Semoga berhasil,”
ucapku. Seketika itu, Diva marah dan pergi
meninggalkanku.
“Ya elah, gitu doang ngambek, haha.” Aku tak bisa
menahan tawa.
Aku pun kembali ke kelas. Saat itu, kelas begitu
sepi. Tidak ada satu orang siswa pun di dalamnya.
Entah, ke mana mereka semua. Aku pun duduk di
bangkuku. Beberapa menit kemudian, datang Faiz
dengan membawa dua cone es krim.

11
 

“Hei, kok murung? Mau es krim, nggak?” tanyanya.


“Ya ampun, Faiz, masih pagi kok makan es krim
sih? Nanti demam, lho. Aku nggak mau,” tolakku.
“Ya ampun, lebay banget kamu, haha. Makan nih
es krim.” Faiz menempelkan es krim itu ke hidung
Diza.
“Ih, Faiz. Huhu, Papaaa!” teriakku.
“Hush, diam. Aku jadi kangen papaku nih,” ucap
Faiz sambil memasang raut muka cemberut.
“Emangnya papa kamu ke mana? Maaf, ya, aku
hanya ingin tahu.”
“Papaku lagi di penjara sekarang. Katanya sih
karena kakekku menjual minyak yang sebenarnya
sudah dilarang oleh pemerintah untuk diedarkan.
Papaku nggak tega lihat kakek dipenjara. Makanya,
papaku yang menggantikannya,” jelas Faiz sambil
menundukkan kepalanya.
“Maaf, ya, Faiz. Aku tadi nggak tahu. Udah, kamu
jangan sedih lagi, aku bakal selalu nemenin kamu,”
hiburku.
“Makasih, ya, Dija,” ucapnya.
“Iya, sama-sama.”

12
 

“Cie, lagi ngapain kalian berdua? So sweet,” ejek


Anika.
“Anika! Apaan sih?” ucapku dengan kesal.
“Hei, Anika, jangan berisik, dong!” tegur Yogi.
“Hei, Yogi, nggak usah marah-marah juga kali,”
jawab Anika.
“Kamu sih berisik!” ucap Yogi dengan nada tinggi.
“Ya Allah, kalian kok malah bertengkar sih?
Sudahlah, ini semua bisa diselesaikan baik-baik,” kata
Diza. Yogi yang masih kesal pun meninggalkan kelas.
Tak lama kemudian, bel berbunyi. Kelas akan
segera dimulai. Guru mulai memasuki kelas masing-
masing.
“Baik, Anak-anak, hari ini kita tukar posisi duduk,
ya,” kata bu guru begitu masuk kelas.
“Yah, Bu, kami sudah nyaman dengan teman
sebangku,” protes Anika.
“Kalau kamu tidak mau, silakan keluar,” balas bu
guru dengan tegas.
“Maaf, Bu.”
“Sekarang Ibu yang menentukan teman sebangku
kalian. Hmm, Regina duduk dengan Diva, ya,” ujar bu
guru.

13
 

“Ya elah, kenapa harus dengan Diva sih,” gerutu


Regina.
“Anika, kamu duduk dengan Yogi,” lanjut bu guru.
“Ya Allah, aku nggak mimpi, kan? Gawat! Kenapa
aku harus duduk dengan musuh bebuyutanku?” Yogi
memasang wajah kesal.
“Diza, kamu duduk dengan Faiz,” titah bu guru.
Akhirnya! Aku berterima kasih kepada Allah karena
telah mengabulkan doaku. Aku ingin lebih dekat
dengan Faiz. Aku sangat ingin menjadi sahabatnya.
“Diza?”
“Eh, iya, Bu. Maaf.” Lamunanku buyar setelah
mendengar panggilan bu guru.
“Jangan melamun, Diza. Ayo, silakan pindah
tempat duduk,” ujar bu guru.
“Hai, Dija,” sapa Faiz begitu aku duduk di
sampingnya.
“Hai,” jawabku singkat.
Selama pelajaran berlangsung, aku berusaha tidak
berbicara sepatah kata pun pada Faiz. Namun, dia
malah membuka percakapan.
“Diza, nomor dua itu jawabannya apa? Lihat dong,
hehe,” ujarnya sambil cengar-cengir.

14
 

Selama ini, kukira Faiz adalah siswa yang rajin dan


pintar. Kenyataannya, beginilah Faiz sebenarnya.
“Kamu kok tanya aku sih? Kamu cari jawaban
sendiri dong,” protesku.
“Aku nggak paham, Diza. Sama sekali nggak
paham,” jawabnya.
“Selama ini, kukira kamu lebih pintar dariku,”
ujarku blak-blakan.
“Hehe, aku cari jawaban sendiri deh. Maaf, ya,”
kata Faiz.
Bel istirahat pun berbunyi. Aku dan Anika pergi ke
kantin untuk membeli jajan, sementara Faiz duduk di
dalam kelas bersama teman laki-laki yang lain.
“Faiz, sini bentar,” ujar Yogi.
“Ada apa, Gi?”
“Ikut aku ke gudang sekolah,” ucap Yogi sambil
menarik lengan baju Faiz.
“Kita mau ngapain di sini, Yogi?” tanya Faiz begitu
mereka sampai di gudang sekolah.
“Eh, dengar, ya. Aku udah usaha buat jadi teman
Diza. Jadi, jangan terlalu dekat dengan Diza!”
“Iya, Yogi. Aku nggak bakal sedeket itu dengan
Diza,” jawab Faiz ketakutan.

15
 

“Awas kamu! Aku akan buat kamu nggak betah di


kelas dan ingin pindah lagi,” ancam Yogi.
“Iya, Gi. Aku janji nggak dekat-dekat Diza lagi,”
ujar Faiz.
“Ya udah, pergi kamu!”
“Iya, Gi.”

***

16
 

Bagian 3
Masa-Masa PDKT

F
aiz kembali ke kelas dengan raut muka masam
dan sedikit kesal karena ancaman yang
diberikan Yogi kepadanya. Aku pun heran
melihat Faiz yang tiba-tiba cuek. Karena penasaran,
aku menghampirinya.
“Eh, Faiz, kamu ngapain? Kok jadi pemurung gini
sih?” tanyaku.
“Nggak apa-apa. Kamu bisa pergi sekarang juga?
Aku lagi nggak mau diganggu hari ini,” jawab Faiz.
“Oh, maaf. Kalau aku punya salah, aku minta
maaf.”
“Udah, pergi sana!” bentak Faiz.
“Maaf, ya, Faiz. Iya, aku akan pergi kok.” Aku
melangkahkan kaki perlahan-lahan meninggalkan
Faiz. Aku kembali ke tempat duduk dengan raut wajah
sebal.
“Kenapa sih Faiz? Aku kan nggak ada salah apa-
apa. Kok dia jadi gitu sih? Kalau aku tahu dia seperti

17
 

itu, sebaiknya aku nggak sebangku dengannya,”


gerutuku.
Ketika pelajaran dimulai, aku kehilangan
penghapusku. Aku mencarinya ke mana-mana, tapi
belum juga menemukannya.
“Nik, kamu lihat penghapusku, nggak? Kok hilang,
ya,” tanyaku pada Anika.
“Ya Allah, Dija, ngapain aku mencuri
penghapusmu?” Anika balik bertanya.
“Ih, siapa yang nuduh kamu? Kalau kamu nemu
penghapusku, berikan ke aku, ya,” pesanku pada
Anika.
Tiba-tiba, Faiz mengambil sesuatu di bawah
bangku, lalu memberikannya padaku.
“Ini penghapus kamu, tadi jatuh di dekat kakiku,”
ujar Faiz.
“Kukira kamu masih marah. Makasih, ya,” ucapku.
“Ya, sama-sama.”
Kriiing! Bel sekolah pun berbunyi, menandakan
jam pelajaran sudah berakhir dan waktunya warga
sekolah pulang.
“Diz, mau pulang bareng, nggak? Kebetulan, aku
bawa sepeda nih,” tawar Asti.

18
 

“Nggak deh, Ti. Nanti kalau jatuh gimana?


Hahaha,” candaku.
“Yakin nggak mau pulang bareng? Nanti sekalian
aku ajak keliling-keliling,” tanya Asti sekali lagi.
“Eh, aku ikut deh, Ti. By the way, kamu tahu rumah
Faiz, nggak? Kalau kamu tahu, aku mau dong kamu
beri tahu di mana rumahnya,” ujarku.
“Iya, tahu. Jadi, kamu mau pulang bareng aku?”
“Ya, jelas mau dong, hehehe,” jawabku. Aku dan
Asti pun bergegas menuju parkiran sekolah.
Ketika Asti sedang berusaha mengambil sepeda,
datanglah Regina dengan raut wajah yang tampak
terburu-buru.
“Ti, aku mau ikut juga. Aku malas jalan kaki,” keluh
Regina.
“Dasar mageran, haha,” ledekku.
“Ya elah, masa kita bonceng tiga? Mirip ‘cabe-
cabean’. Kan nggak enak dilihat orang,” ucap Asti.
“Rumahku dekat kok, Ti. Mau, ya?” Regina
memohon.
“Ya udah deh, naik aja.”
Siang itu, aku dan teman-teman sangat menikmati
angin sepoi-sepoi yang berembus ketika kami naik
sepeda bersama. Cuaca hari ini sangat cerah. Ketika

19
 

Asti menunjuk ke arah rumah Faiz dari kejauhan, rasa


penasaranku mulai muncul. Terlebih lagi, saat aku
melihat seorang perempuan dewasa sedang menyapu
teras rumah Faiz. Asti pun menyapa ibu tersebut. Aku
bertanya pada Asti, siapa sebenarnya ibu-ibu itu.
Ternyata, itu adalah Mama Faiz. Aku pun ikut
menyapa Mama Faiz dengan sebutan “Tante”.
Sepulang dari berkeliling bersama Asti, aku
merasa sangat capek karena kepanasan. Aku pun
memilih tidur sejenak. Sebelum tidur, aku
mendengarkan lagu sambil mengkhayal. Dua hal itu
kini menjadi kebiasaanku sebelum terlelap. Aku mulai
mengkhayal bisa dekat dengan keluarga Faiz, bisa
liburan bareng keluarga Faiz, pokoknya jadi sahabat
Faiz.
“Jika aku benar-benar jadi sahabat Faiz, aku tak
akan meninggalkannya sampai kapan pun. Tak akan
berhenti aku menyayanginya,” ujarku dalam khayalan.
Aku terbangun saat jam mulai menunjukkan pukul
16.00 WIB. Azan Asar pun mulai berkumandang. Aku
pun bangkit dari tempat tidur untuk melaksanakan
shalat Asar. Setelah shalat, aku mandi.
Usai melakukan beberapa hal, saatnya aku
bersantai. Aku memainkan handphone mama karena

20
 

tak memiliki handphone sendiri. Aku keasyikan main


handphone hingga tak terasa jam sudah menunjukkan
pukul 17.30 WIB. Mama sudah mencari-cari
handphone miliknya. Aku segera mengembalikan
handphone itu pada mama.
“Diza, kamu pakai akun Facebook Mama? Kalau
kamu membutuhkannya, kamu bisa buat akun
sendiri,” ujar mama.
“Emang bisa, ya, Ma? Diza kan nggak punya
handphone,” tanyaku.
“Nanti malam kita cari handphone buat kamu.
Namun, kamu harus janji menggunakannya sebaik
mungkin,” pesan mama.
“Asyik! Iya, Ma, Diza janji akan memakai
handphone itu sebaik mungkin.”
Malam itu, aku pergi ke konter handphone
bersama mama dan papa. Konter itu tak terlalu jauh
dari rumah. Akhirnya, aku kini memiliki handphone
sendiri. Meskipun handphone-ku tidak begitu mahal,
aku sangat menyukainya. Aku tidak perlu meminjam
handphone mama lagi. Aku pun langsung membuat
akun Facebook.
***

21
 

Bagian 4
Peristiwa di Kelas

H
ari ini seluruh siswa akan mengikuti ujian
akhir semester genap, aku dan teman-teman
sangat bersemangat. Sebentar lagi, kami
akan naik ke kelas 5. Aku yakin, kami semua naik
kelas. Anak laki-laki tampak santai mengikuti ujian
akhir semester ini. Mereka punya prinsip tingginya
nilai bergantung pada solidaritas teman-teman. Ya,
begitulah teman laki-laki di kelasku, susah diatur dan
hanya pandai mencontek.
Hari demi hari berlalu. Hari ini seluruh siswa akan
mendapatkan hasil kerja keras kami selama lima hari
mengikuti ujian. Aku berdoa supaya masih bisa
mendapatkan juara. Sebelum menerima rapor, kami
berfoto-foto di depan kelas untuk mengabadikan
momen yang tak akan pernah kami lupakan. Setelah
puas berfoto, kami membuat video dengan efek slow
motion yang sedang viral akhir-akhir ini.

22
 

“Pembagian rapor berapa jam lagi, ya? Aku udah


nggak sabar nih,” ujar Bunga.
“Aku mah nggak peduli soal itu. Pasti Diza juara
satu lagi,” kata Anika. Aku tersenyum malu dan
berdoa supaya perkataan Anika benar.
Sewaktu penerimaan lapor, aku tak begitu
semangat. Aku mendengar kabar buruk. Farel, yang
sangat kukagumi itu, kabarnya semakin dekat dengan
Elvina. Ah, padahal aku sangat ingin mempunyai
sahabat seperti Farel.
Guru-guru mulai mengumumkan pemuncak tiap-
tiap kelas. Kini, sampailah pengumuman pemuncak
kelas 4.
“Juara 1 diraih oleh Gadiza Aisyah. Selamat untuk
Diza,” ucap bu guru.
Semua teman bersorak gembira menyambutku
yang mulai berjalan ke depan untuk menerima
hadiah. Aku masih memasang wajah cemberut karena
memikirkan kabar buruk yang kudengar tadi. Semua
temanku tampak bingung melihat raut wajahku yang
tidak sesuai dengan hal yang kualami.
“Harusnya dia senang dapat juara, kok ini malah
sedih sih?” celetuk temannya.

23
 

Selain penerimaan rapor, hari ini juga merupakan


hari pembagian kelas. Kira-kira, aku masuk kelas 5A
atau 5B, ya?
“Moga aja aku nggak sekelas dengan Farel dan
Elvina,” batinku.
Tak lama kemudian, bu guru menempelkan daftar
nama siswa yang masuk kelas 5A dan 5B. Aku masuk
kelas 5B. Keinginanku juga terkabul. Aku tidak sekelas
dengan Farel dan Elvina karena mereka masuk kelas
5A. Namun, aku masih sekelas dengan Faiz dan
Bunga. Aku jadi bingung, aku harus merasa senang
atau sedih.
Aku takut Faiz masih marah denganku.
Bagaimanapun juga, aku tidak mungkin pindah kelas.
Aku pun segera memasuki kelas dan duduk di barisan
paling depan. Ternyata, tempat dudukku
bersebelahan dengan tempat duduk Faiz. Untungnya,
kami tidak sebangku. Aku sebangku dengan Asti.
Saat pelajaran dimulai, Asti melemparkan “bola”
kertas ke arah Faiz. Faiz pun membaca isi kertas itu,
lalu membalasnya. Aku sempat membaca tulisan yang
dibuat Asti. Ada namaku di sana. Walau tidak terlalu
jelas, aku yakin mereka sedang membicarakanku.

24
 

Tak lama kemudian, bu guru menyuruh Asti dan


Faiz maju. Ternyata, bu guru melihat mereka yang
sedang asyik bermain surat-suratan.
“Kenapa kalian berdua malah main surat-suratan?
Seharusnya kalian memperhatikan Ibu,” tegur bu
guru.
“Maaf, Bu, tadi ada hal penting yang harus kami
bicarakan sebentar. Jadi, kami buat surat, Bu,” jelas
Asti.
“Ibu tidak mau tahu. Sekarang kalian keluar, lalu
bersihkan taman di depan,” titah bu guru. Aku hanya
bisa tawa mengetahui mereka berdua kena hukuman.
Kriiing! Saatnya istirahat. Aku segera menuju ke
kantin untuk menemui Asti. Aku bertanya apa yang
Asti bicarakan dengan Faiz tentangku. Asti
mengatakan bahwa sebenarnya Faiz ingin berteman
dekat denganku. Aku bertanya kembali kepada Asti
hal lain yang dikatakan Faiz. Asti mengatakan bahwa
Faiz semaksimal mungkin akan berusaha
mendekatiku. Aku masih berpikir. Dulu, aku sempat
sangat ingin bersahabat dengan Faiz, tapi sejak sikap
Faiz berubah, aku tidak lagi menginginkannya.
“Tapi, Ti.”

25
 

“Udahlah, Diza. Aku kasihan lihat Faiz yang nggak


punya sahabat,” desak Asti.
“Hmm, iya deh.”
“Rabu besok, dia mau kasih kamu kejutan,” ujar
Asti.
Aku tersentak kaget, kenapa Faiz sampai mau
memberiku kejutan, pasti butuh biaya yang cukup
besar, padahal kami baru kelas 5. Asti bilang, Faiz
nggak mau nunggu lama-lama untuk dapat sahabat
baru. Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Asti.
Tak lama kemudian, datanglah Faiz yang berniat
menemui Asti. Asti menyuruhku minta maaf kepada
Faiz karena dulu suka menyuruh Faiz berkawan
dengan Bunga. Faiz pun memaafkanku dan
melarangku mengulanginya lagi. Akhirnya, Faiz dan
Asti meninggalkanku sendiri di kantin.
Faiz pasti mengajak Asti ke taman untuk
membicarakan rencana kejutan yang akan
diberikannya padaku lusa. Faiz pasti meminta
pendapat Asti tentang benda atau apa pun yang akan
diberikan padaku.
Setelah masuk kelas, Asti bercerita padaku. Tak
lama setelah Faiz mengajaknya ke taman, Yogi datang

26
 

menemui Faiz. Asti menceritakannya dengan detil


hingga percakapan antara mereka bertiga.
“Faiz, aku tahu kok kamu mau kasih Diza kejutan,”
ujar Yogi.
“Yo…Yogi. Ka…kamu tidak suka, ya, aku jadi
sahabat Diza?” tanya Faiz gugup.
“Emangnya kenapa sih? Eh, Yogi, kalau kamu juga
mau punya sahabat, ada Bunga,” ujar Asti.
“Maaf, ya, Yogi, aku melanggar perjanjian kita.
Kalau kamu maunya dengan Diza, nggak apa-apa kok.
Aku nggak jadi kasih dia kejutan,” ujar Faiz pasrah.
“Santuy ajalah, Iz. Kamu sepertinya lebih pantas
jadi sahabat Diza, bukan aku. Ya udah, semoga
berhasil, ya,” ucap Yogi memberi semangat. Setelah
mengucapkan itu, Yogi pergi meninggalkan Faiz dan
Asti.
Asti mengingatkanku soal rencana yang akan
dilakukan Faiz. Faiz dan Asti sepakat menjalankan
rencana itu Rabu, tepat setelah jam istirahat.
Hari yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Hari ini
Faiz akan memberiku kejutan. Saat jam istirahat, Asti
menyuruh semua teman kami keluar kelas, kecuali
aku. Asti menyuruhku untuk berdiam diri di kelas. Faiz

27
 

kemudian datang membawa sebuah kalung yang


sangat indah. Teman-teman bersorak agar Faiz segera
memasangkan kalung itu ke leherku. Ternyata, Asti
sudah mengatur semuanya. Dia mengajak semua
teman kami untuk bersorak ketika Faiz memberiku
kejutan dan teman-teman menyetujuinya.
“Faiz, cepat bilang ke Diza,” seru Asti.
“Cepetan bilang. Ah, kamu sok grogi,” ledek Yogi.
“Diza, kamu mau kan jadi sahabatku?”
Seisi kelas bersorak dan mendesakku menerima
permintaan Faiz. Akhirnya, aku mengangguk dan Faiz
memasang wajah sangat gembira.
“Cepatlah, Faiz, pasang kalung itu ke leher Diza,”
ujar Yogi dengan semangat.
Faiz pun memasangkan kalung itu ke leherku lalu
meloncat-loncat kegirangan. Akhirnya, kami resmi
bersahabat pada 15 Februari 2018.
Setelah kejadian itu, tiap hari selalu ada tingkah
teman-teman untuk membuat kami lebih dekat.
Waktu itu, Bunga pernah membuat permainan untuk
Faiz.
“Faiz, kalau kamu bisa menendang bola ini hingga
masuk ke dalam ban ini, maka kamu harus jadi teman

28
 

dekat Diza selama sebulan.” Faiz menendang bola


tersebut dan berhasil memasukkannya ke dalam ban.
“Kalau kamu bisa melakukannya sekali lagi, maka
kamu harus jadi sahabat Diza selama setahun,” ujar
Bunga. Lagi-lagi, Faiz berhasil memasukkan bola
tersebut ke dalam ban.
Aku hanya bisa memasang wajah masam.
Sebenarnya, aku tidak lagi menyukai Faiz semenjak
sikapnya padaku berubah. Aku terpaksa menerima
permintaan Faiz karena Asti. Aku juga melakukan ini
untuk membuat Faiz senang. Aku mempunyai rencana
jujur kepada Faiz tiga hari lagi.
“Asti, Sabtu aku jujur ke Faiz, ya.” Sudah kuduga,
Asti memasang wajah kesal kepadaku.
“Kamu jujur seminggu lagi aja. Jangan buat dia
sedih dulu, ya,” pinta Asti. Aku pun menyetujuinya
walau sebenarnya berat bagiku untuk menjalaninya.
Di lain sisi, Faiz dan Bunga masih sibuk dengan
permainan yang mereka lakukan di taman tadi. Kata
Bunga, jika Faiz berhasil memasukkan bola ke dalam
ban sekali lagi, maka persahabatannya denganku
akan bertahan selama dua tahun. Ternyata, Faiz tidak

29
 

berhasil memasukan bola itu. Faiz terlihat kecewa


sehingga Bunga memberinya kesempatan kedua.
“Faiz, kalau kali ini kamu berhasil memasukkan
bola ke dalam ban itu, maka persahabatanmu dengan
Diza berlangsung selamanya,” ujar Bunga.
Sayangnya, Faiz kembali gagal memasukkan bola
tersebut ke dalam ban. Faiz pun mengatakan kalau itu
hanya permainan. Dia tidak akan membawa “ramalan”
Bunga ke dunia nyata. Syukurlah, Faiz tidak kecewa.
Sabtu merupakan hari yang paling
membahagiakan bagiku. Walaupun sebenarnya aku
tidak lagi suka pada Faiz, aku mulai terbiasa dengan
kehadirannya di dekatku. Saat itu, aku ke kantin, ingin
membeli es krim kesukaanku. Namun, ibu kantin
mengatakan es krim itu telah habis dan pembeli es
krim terakhir adalah Faiz. Aku kecewa karena es krim
yang dibeli Faiz adalah es krim favoritku. Ketika
hendak masuk kelas, aku dihadang oleh Faiz yang
membawa dua buah es krim.
“Hai, Anak Manis, mau ke mana?” tanya Faiz.
“Ih, kamu nggak usah ganggu deh. Aku mau
masuk kelas,” ujarku agak kesal.

30
 

“Oh, katanya kamu mau es krim, nih buat kamu.


Aku sengaja beli dua. Satu buat kamu, hehehe.” Faiz
menyodorkan salah satu es krim yang dibawanya
padaku.
“Oh, jadi kamu yang ambil es krim aku? Dasar
pencuri!” teriakku kesal.
“Pencuri es krim atau pencuri hati kamu? Pencuri-
pencuri gini, aku sayangnya cuma sama kamu lho,”
ujar Faiz.
“Dasar kamu, ya, tukang gombal!” Akhirnya, kami
pun kejar-kejaran di lapangan sekolah.
Hari demi hari berlalu hingga tiba saatnya aku
harus jujur kepada Faiz. Asti sudah mulai memberi
kode-kode terhadap Faiz. Asti mengatakan bahwa
sebentar lagi Faiz akan merasakan kegalauan luar
biasa. Faiz dengan santai mengatakan bahwa hal itu
tidak akan terjadi. Asti pun terkejut dan segera
menghampiriku.
“Kamu nggak jadi jujur ke Faiz hari ini? Atau
nunggu seminggu lagi?”
“Maaf, Asti, sepertinya aku nggak jadi jujur ke Faiz
deh. Aku sudah nyaman bersahabat dengan Faiz,”
jelasku.

31
 

Asti tampak senang karena aku tidak jadi jujur


kepada Faiz. Asti pun berterima kasih kepadaku. Akan
tetapi, aku merasa ada yang aneh. Kenapa Asti sangat
kegirangan, padahal yang menjalani hubungan
persahabatan ini adalah aku dan Faiz. Namun, aku
juga senang, berkat Asti, aku sadar bahwa Faiz adalah
sahabat terbaik untukku. Aku berjanji akan selalu
menyayangi Faiz, menjadi perempuan baik-baik, dan
tak pernah berhenti menemani Faiz.
Hari ini, 24 Februari, merupakan hari ulang tahun
Bunga. Bunga mengajak semua siswa kelas 5 untuk
makan-makan di pondok ikan bakar. Semua siswa
laki-laki menolak, kecuali Faiz dan Ikhsan. Mereka
berdua sama sekali tidak gengsi. Mereka ikut karena
tidak enak menolak ajakan Bunga. Akhirnya, kami
sepakat pergi bersama dengan jalan kaki menuju
pondok tersebut sepulang sekolah.
Bel sekolah yang kami tunggu-tunggu pun
berbunyi. Kami langsung berangkat menuju pondok
ikan bakar. Sesampainya di sana, kami langsung
menyantap ikan bakar yang sudah dibeli Bunga untuk
kami. Setelah makan-makan, Asti mengajak kami
main ke bendungan. Semua pun setuju.

32
 

Berbagai rintangan kami lalui sepanjang jalan


menuju bendungan tersebut. Meski begitu, tak butuh
waktu lama, kami sudah tiba di bendungan. Air yang
mengalir begitu deras dan udara yang begitu sejuk
membuat suasana di bedungan tersebut
menenangkan. Kami juga sempat membuat video
untuk mengabadikan momen tak terlupakan ini.
Setelah cukup lama berada di bendungan, kami
pulang melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang
kami lewati saat berangkat. Kini kami melewati sawah
yang hijau dan subur, tetapi cukup licin.
“Hati-hati, Diza. Jangan sampai kamu jatuh,” ucap
Faiz sambil memegang tasku.
“Iya, aku bisa. Kamu diam aja deh,” ujarku.
“Hati-hati, Diza. Jembatan ini kecil banget, lho,”
tambah Faiz.
“Kamu cerewet banget sih. Aku bilang, aku bisa,”
jawabku ketus.
Karena terlalu banyak berbicara, aku terpeleset
dan terjatuh ke kolam. Saat terjatuh, aku bisa
merasakan tangan Faiz menarik tanganku sekuat
tenaga agar aku tidak terhanyut. Faiz tampaknya
khawatir jika hal buruk terjadi padaku. Namun, saat

33
 

itu aku justru menyuruh Faiz memegang handphone


baruku.
“Diza, kamu nggak apa-apa, kan? Aku khawatir
banget kamu kenapa-napa,” ujar Faiz dengan wajah
panik.
“Ih, lebay banget sih kamu. Kolam ini kan dengkal.
Tolong pegang handphone-ku. Udah, sekarang bantu
aku naik,” pintaku. Faiz pun mengulurkan tangannya
padaku.
“Pegang kuat-kuat, ya, Diza Manis,” pesan Faiz.
Semua teman sontak bersorak.
“Cieee, Diza dan Faiz so sweet.”
Akhirnya, aku berhasil keluar dari kolam. Huft, itu
merupakan salah satu momen yang tak akan pernah
kulupakan.

***

34
 

Bagian 5
Cemburu

“C
emburu dalam suatu hubungan itu wajar;
yang tidak wajar itu cemburu berlebihan.”
Begitulah kata Only Human.
Hobiku membaca novel romansa. Kutipan itu
kuambil dari sebuah novel yang pernah kubaca. Sama
seperti yang dialami tokoh dalam novel itu, aku juga
pernah merasa cemburu.
Waktu itu, aku sedang akrab dengan sahabat Faiz.
Namanya Ikhsan Maulana. Dia lucu, baik, nggak
baperan, dan asyik. Sejauh yang kutahu, dia tidak
pernah menyakiti orang lain, apalagi teman
perempuan. Saat itu, aku cukup akrab Ikhsan. Aku
ingin lebih banyak tahu tentang Faiz darinya. Sebab,
Ikhsan adalah satu-satunya teman laki-laki Faiz yang
setia menemaninya.
Hari itu merupakan hari ulang tahunku yang ke-
11. Faiz memberiku kejutan luar biasa. Dia menyuruh
teman-teman keluar kelas, meninggalkanku dan Bu

35
 

Yulia, wali kelas kami saat itu. Ternyata, dia sudah


menyusun rencana bersama Bu Yulia untuk
memberiku surprise. Bu Yulia pun menyuruh Faiz
segera memberikan kado tersebut kepadaku. Faiz pun
menghampiri mejaku. Dia memberiku ucapan selamat
ulang tahun, disusul teman-teman yang satu per satu
masuk kelas. Karena waktu itu adalah hari ulang
tahunku, aku mengajak teman-teman bermain ke
kolam renang di Muara Bunga pada hari Minggu.
Hari yang kutunggu-tunggu pun datang. Sejak
pagi, aku duduk di depan rumah sambil menunggu
kedatangan teman-temanku. Orang yang pertama
datang adalah Melita, disusul Ikhsan, lalu Bintang dan
Faiz. Sebenarnya, aku kecewa karena hanya mereka
berempat yang menerima ajakanku. Aku juga malu
jika ketahuan orang tuaku mengajak Faiz. Selama ini,
aku memang sering bercerita tentang persahabatanku
dengan Faiz.
Ketika Faiz datang, aku langsung masuk rumah
karena malu. Sewaktu aku berada di kamar, kudengar
mama sempat menggoda Faiz.
“Ini Faiz, sahabat Diza, kan? Yang waktu itu
membelikan Diza satu setel baju. Makasih, ya, Nak,”

36
 

ujar mamaku. Kudengar Faiz hanya tertawa dan


mengatakan bahwa dia memang sengaja
mengumpulkan uang untuk membelikanku kado.
Begitu semua siap, kami langsung berangkat
menuju Muara Bunga. Selama dalam perjalanan, kami
bernyanyi, berfoto, dan sempat membuat vlog.
Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, kami
sampai tujuan. Begitu gembiranya aku, bisa berlibur
bersama orang-orang yang kusayang.
Sesampai di area kolam renang, kami langsung
berlari menuju ruang ganti untuk mengganti pakaian
kami.
“Kami sudah selesai. Kami pergi dulu, ya,” ujar
Ikhsan dan Faiz.
“Eh, mentang-mentang kalian laki-laki, mudah
ganti bajunya, kalian malah ninggalin kami. Nggak
setia kawan banget sih,” gerutuku sambil memasang
wajah kesal kepada Ikhsan dan Faiz. Sebab, aku dan
Melita masih harus menunggu Bintang keluar dari
ruang ganti.
“Haha, janganlah, San. Kita tunggu saja mereka,
lagian nggak seru kalau nggak ada mereka,” kata Faiz.

37
 

Akhirnya, Bintang selesai mengganti baju. Kami


memutuskan untuk pergi ke wahana seluncuran
paling tinggi dan tidak mengarah ke kolam. Ketika
hendak naik tangga, tiba-tiba mamaku memanggil
kami untuk segera makan. Kami pun menolaknya
karena ingin berenang terlebih dahulu.
“Semangat, tangganya jauh banget ke atas,” ucap
Melita.
“Ya ampun, tangga ini lebih tinggi daripada
jenjang seribu,” keluh Ikhsan.
Kini kami telah sampai di anak tangga paling atas.
Ketika hendak berseluncur, kami merasa takut.
Akhirnya, tidak ada yang berani bermain di
seluncuran tersebut
“Kok pada diam? Ayo, kita main seluncuran,” ajak
Ikhsan.
“Kok ngeri, ya? Aku takut,” ucap Bintang.
Melita yang sejak tadi hanya diam, tiba-tiba
mengambil posisi di atas seluncuran tersebut. Dialah
orang yang pertama meluncur. Tidak mau kalah,
Ikhsan langsung berseluncur, dilanjutkan Faiz,
Bintang, kemduian aku. Ketika sampai di tengah
perjalanan, celana Ikhsan tidak bersahabat dengan

38
 

seluncuran tersebut. Tubuh Ikhsan tidak bisa


meluncur sempurna, tersendat-sendat hingga kami
berempat bertabrakan. Faiz pun mendorong-dorong
tubuh Ikhsan.
“Gara-gara Ikhsan ini, nggak seru jadinya, haha,”
ledek Faiz.
“Ya udah, kita ulang sekali lagi. Kali ini kuvideo, ya.
Jadi, aku harus di depan,” ucapku.
“Memang handphone-mu antiair, Diza?” tanya
Ikhsan.
“Iya dong, pasti itu, haha,” jawabku sambil
tertawa.
Kami pun mengulanginya. Kali ini, aku memimpin.
Perjalanan kami kali ini lancar karena Ikhsan meluncur
paling belakang. Aku pun mengabadikan kegiatan
seru kami ini dalam bentuk video. Beberapa kali aku
menengok ke belakang untuk memastikan Ikhsan
tidak tertinggal.
Setelah berseluncur, kami berenang. Usai puas
berenang di kolam yang dangkal, aku, Melita, dan
Ikhsan memasuki kolam yang lebih dalam. Faiz dan
Bintang tetap berenang di kolam yang dangkal.
“Kok Faiz nggak ikut ke sini?” tanya Ikhsan.

39
 

“Ih, kolam ini kan dalam, Ikhsan,” jawabku.


“Iya, kami tahu kok kalau kami pendek. Ah, kalian
malah ejek kami,” gerutu Bintang. Kami bertiga
tertawa mendengar ucapan Bintang yang tampak
sebal.
“Ya udah, berenang di tepi aja, yuk,” ajakku.
Mereka berdua menyetujuinya.
Setelah berenang, kami mengganti baju,
kemudian makan bersama. Aku merasa senang sekali
karena bisa makan bersama teman-teman, terutama
Faiz. Menurutku, hari itu adalah hari
keberuntunganku.
Selesai makan, kami berfoto bersama di objek
wisata tersebut sebagai kenang-kenangan. Mama
mengatur posisi kami agar foto yang dihasilkan
bagus. Mama menyuruhku berdiri di dekat Ikhsan.
Sebenarnya, aku tidak ingin berada di samping
Ikhsan. Aku ingin berdiri di dekat Faiz. Ketika berpose,
aku melihat Faiz memasang wajah yang muram.
Kurasa Faiz cemburu karena tidak bisa foto di
sampingku.
Ketika kami hendak pulang, mama menyuruhku
berfoto berdua dengan Faiz. Demi Tuhan, aku merasa

40
 

seperti sedang bermimpi. Namun, ini nyata! Aku


kegirangan, sedangkan Faiz tampak malu-malu.
Setelah mama membujuk Faiz untuk berfoto
denganku, dia pun setuju. Pokoknya, hari itu sangat
menyenangkan bagiku.
Di tengah perjalanan pulang, Papa Faiz
menelepon dan menanyakan kami sudah sampai
mana. Setelah berbicara dengan papanya, Faiz
memberikan handphone-nya padaku dan mengatakan
bahwa papanya ingin berbicara denganku. Wah, aku
sangat malu.
Ketika papanya mulai berbicara, aku hanya diam,
mendengarkan dengan cermat. Ternyata, Papa Faiz
menginginkan oleh-oleh dari kami, yaitu martabak.
Aku hanya bisa tertawa mendengarkan permintaan
papanya. Segera kukembalikan handphone tersebut
kepada Faiz begitu aku selesai berbicara dengan
papanya. Aku pun meminta papaku berhenti sejenak
untuk membeli martabak.
“Tumben Diza mau martabak? Emang untuk siapa,
Nak?” tanya papaku.
“Hmm, untuk guru Diza, Pa. Guru Diza sedang
menghias kelas bersama beberapa wali murid,” ujarku.

41
 

Papa Faiz memang sedang berada di sekolah,


membantu wali kelas kami menghias kelas.
Pukul 20.00 WIB, kami sampai di sekolah. Hari
memang sudah malam, tetapi kami tetap menepati
janji untuk mengirimkan oleh-oleh kepada wali kelas
dan wali murid yang sedang berada di sana, termasuk
Papa Faiz. Aku langsung turun dari mobil dan
memberikan martabak tersebut.
“Aduh, Nak, repot-repot membelikan martabak,
padahal tadi saya hanya bercanda,” ujar Papa Faiz
sambil tersenyum.
“Pas sekali,” ucap bu guru yang melihatku
membawa martabak untuk beliau dan wali murid. Aku
hanya bisa tersenyum. Aku langsung berlari ke dalam
mobil karena malu.
Senin, 23 April merupakan hari yang paling
menyebalkan seumur hidupku. Padahal, sehari
sebelumnya merupakan hari paling menyenangkan
bagiku. Banyak momen indah yang terjadi. Pada hari
menyebalkan itu, aku bertengkar dengan Faiz.
“Diza, aku punya permainan baru, lho,” ucap
Ikhsan.
“Apa?” tanyaku.

42
 

Aku melihat Faiz memasang wajah marah. Namun,


Ikhsan langsung menarik tangan Faiz dan
mengajaknya bermain bersama. Ikhsan mengatakan
bahwa kami akan bermain Truth or Dare (ToD) yang
artinya jujur atau tantangan. Aku masih belum paham
dengan permainan Ikhsan, sedangkan Faiz malah
senang mendengar bahwa kami akan bermain ToD.
“Kita putar botol ini, ya. Jika botol ini berhenti
pada seseorang, dialah yang diberi pilihan untuk jujur
atau tantangan,” ujar Ikhsan.
Botol pun diputar dan menujuk ke arah Faiz. Dia
memilih truth. Ikhsan pun memberikan pertanyaan.
“Apakah kamu benar-benar sayang pada Diza?”
Faiz menjawab bahwa dia benar-benar
menyayangiku. Aku sangat senang mendengar
jawaban Faiz.
Sesi kedua pun dimulai. Kali ini botol mengarah
kepada Ikhsan. Ikhsan memilih truth, seperti Faiz. Aku
pun memberinya pertanyaan.
“Siapa nama orang yang kamu suka?” tanyaku.
Ikhsan menjawab bahwa dia tidak suka dengan
siapa pun. Aku langsung meledek Ikhsan, tapi dia

43
 

hanya tersenyum. Ketika sesi ketiga hendak dimulai,


Asti menghampiri kami dan ingin ikut bermain.
Sesi ketiga pun dimulai. Kali ini botol mengarah
kepadaku dan aku memilih dare. Asti memberi
tantangan dengan cara berbisik kepadaku. Dia
memintaku mengatakan bahwa aku menyayangi Faiz.
Aku terkejut mendengar perkataan Asti dan
menolaknya. Namun, Asti memaksaku. Dia juga
mengatakan bahwa dia saja berani, mengapa aku
tidak.
“Coba aja kalau berani,” suruhku.
“Oke,” jawab Asti.
Kupikir Asti hanya berpura-pura. Ternyata, dia
benar-benar melakukannya. Faiz pun terkejut melihat
tindakan Asti, sedangkan Asti mengatakan bahwa itu
merupakan tantangan dariku. Aku langsung pergi ke
belakang kelas untuk melepas rasa cemburuku. Aku
mengatakan pada diriku sendiri bahwa sebenarnya
sahabat Faiz itu Asti, bukan aku. Aku merasa kacau
dan tak ingin diganggu oleh siapa pun. Namun,
kulihat Faiz berjalan menghampiriku.
“Diza, maafin Asti, ya. Lagian itu salah kamu,
kenapa menyuruh Asti yang aneh-aneh,” ujar Faiz.

44
 

Aku ingin sekali marah karena Asti telah


menuduhku, padahal dia sendiri yang
menginginkannya. Namun, aku menahan amarahku.
Aku pun menjauh dari Faiz, mengarah ke belakang
gudang karena ingin menyendiri.
Ketika aku ingin menulis kisah dalam diariku,
Ikhsan menghampiriku. Dia mencoba menghiburku.
Sebenarnya, aku sama sekali tidak terhibur, tetapi aku
menghargai usaha Ikhsan. Tiba-tiba Faiz menghampiri
kami.
“Oh, pantas kamu tidak mau bersamaku. Ternyata,
kamu sedang asyik dengan Ikhsan di sini. Ikhsan,
kamu juga. Kalau kamu suka Diza, bilang saja. Jangan
seperti ini!” omel Faiz.
Ikhsan menjelaskan kepada Faiz bahwa dia sama
sekali tidak bermaksud mendekatiku. Dia hanya ingin
menghiburku. Namun, Faiz sama sekali tidak mau
tahu, bahkan menyuruh Ikhsan pergi. Aku langsung
marah kepada Faiz dan mengatakan bahwa dia hanya
salah paham. Akan tetapi, dia malah mengatakan
bahwa aku tidak punya hati.
“Dasar nggak punya hati!” bentaknya. Aku merasa
tersakiti dengan kata-kata Faiz.

45
 

“Ya udah, terserah. Kamu mau marah, silakan saja,”


ujarku dengan nada lembut diiringi senyuman palsu.
“Dasar nggak tahu diri!” ujar Faiz sambil menarik
Ikhsan, menjauhkannya dariku.
Aku pergi meninggalkan mereka berdua. Aku
tidak ingin berdebat. Aku sangat merasa bersalah.
Karena ulahku, persahabatan mereka berdua hancur.
Aku langsung menulis diari untuk mengabadikan
pengalaman ini.
23 April 2018
Faiz, jika kamu lebih ingin bersahabat dengan
orang lain, bilang saja. Melihat kamu bahagia, aku ikut
bahagia. Jangan kamu bersikap seperti ini padaku.
Yang aku minta, persahabatan tulus, bukan
persahabatan penuh kepura-puraan. Namun, aku
tidak ingin kamu pergi, tetaplah denganku agar semua
tahu bahwa kau adalah sahabat terbaikku.
“Ternyata susah, ya, bersahabat dengan anak laki-
laki. Jika aku tahu akan seperti ini, lebih baik aku tetap
seperti dulu. Kenapa hal ini terjadi padaku? Namun,
aku sudah berjanji akan selalu ada untuk Faiz. Baiklah,
aku tidak akan menyakitinya.” Itulah yang kuucapkan
ketika sendirian, menenangkan diri atas semua hal

46
 

yang telah terjadi. Apa mungkin diriku bisa


mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya jika tetap
bersahabat dengan Faiz?

***

47
 

Bagian 6
Keluarga Kedua

H
ari ini adalah hari terakhir duduk di kelas 6
semester 1. Besok, kami akan mengikuti
ujian akhir semester. Seluruh siswa mulai
mempersiapkan diri.
“Diza, nanti belajar bareng, yuk,” ajak Melita.
“Okelah, aman,” jawabku.
Sepulang sekolah, aku dan Melita belajar dengan
serius agar bisa mendapatkan nilai memuaskan.
Setelah cukup lama belajar, aku iseng memainkan
handphone-ku untuk mengistirahatkan otakku. Aku
mendapatkan notifikasi dari Dian. Dia menyuruhku
segera ke rumah Faiz karena mamanya ingin bertemu
denganku.
Aku sempat kaget karena aku tidak pernah main
ke rumah teman laki-laki. Aku mempertimbangkan,
harus ke sana atau tidak. Hubungan persahabatanku
dengan Faiz juga masih belum membaik.

48
 

Aku langsung mengatakannya pada Melita. Melita


menyuruhku segera ke sana karena itu permintaan
Mama Faiz. Namun, aku takut jika nantinya aku akan
dimarahi oleh Mama Faiz akibat renggangnya
persahabatan kami.
“Diza, Mama Faiz nggak galak kok.” Melita
berusaha meyakinkanku.
“Iya deh, kamu mau aku antar pulang?” tanyaku.
“Nggak usah, Diza. Lebih baik sekarang kamu
langsung ke rumah Faiz,” ujar Melita.
Aku pun memberanikan diri ke rumah Faiz. Aku
melihat ada Dian di dalam. Dian menyuruhku masuk
ke rumah yang memanjang ke belakang itu.
Kedatanganku disambut hangat oleh Mama Faiz.
Ternyata, Mama Faiz menyuruhku datang agar aku
bisa belajar bersama Dian dan Faiz.
Dian mulai bercerita kepada Mama Faiz kalau aku
dan Faiz sedang bertengkar. Mama Faiz langsung
memanggil Faiz dan menyuruhnya meminta maaf
kepadaku. Setelah itu, mamanya menyuruh kami
melanjutkan kegiatan belajar bersama.

49
 

“Diza, ajarin Faiz Matematika, ya. Faiz nggak terlalu


bisa dalam mata pelajaran Matematika,” pesan Mama
Faiz.
“Iya, Ma, pasti Diza ajarin,” jawabku.
Kami pun mulai membuka buku, membaca materi,
menjawab soal latihan, dan merangkum. Ketika aku
sedang membuat rangkuman untuk Faiz, dia
menatapku lama. Aku mulai salah tingkah karena Faiz
memperhatikanku. Dian langsung meledek kami.
Aku tertawa mendengar ejekan Dian. Aku pun
kembali mengejek Dian dengan mengatakan bahwa
dia iri. Kami bertiga pun tertawa bersama. Setelah
rangkuman selesai dibuat, kami menghafalkan rumus-
rumus matematika dan melakukan tanya jawab.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 16.30
WIB, saatnya aku pulang. Ketika aku ingin pulang,
Papa Faiz baru pulang dari bekerja. Papa Faiz
melarangku pulang terlebih dahulu. Papa Faiz
mengadakan kuis berhadiah. Pertanyaan akan diambil
dari materi yang sudah kami pelajari tadi. Faiz sangat
bersemangat ketika tahu bahwa kuis ini berhadiah.
Papa Faiz mulai memberikan pertanyaan dan aku
selalu menjadi orang pertama yang berhasil

50
 

menjawab dengan benar. Akhirnya, aku keluar


sebagai pemenang. Setelah menerima hadiah, barulah
aku diizinkan pulang. Hadiah yang diberikan Papa Faiz
adalah es krim kesukaanku. Aku sangat senang karena
kebahagiaan kembali datang padaku.
Sesampai di rumah, aku langsung bercerita pada
mamaku. Aku mengatakan bahwa aku menang kuis
yang diadakan Papa Faiz dan mendapatkan sebuah es
krim. Mamaku agak heran karena kali ini aku berani
main ke rumah teman laki-lakiku. Aku hanya tertawa
sambil berjalan meninggalkan mama untuk pergi
mandi dan segera shalat.
Hari pertama ujian datang juga. Aku, Faiz, dan
Dian sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian
ini. Jam pertama dimulai. Mata pelajaran yang
diujikan adalah Bahasa Indonesia. Ternyata, hampir
semua soal yang dibacakan Papa Faiz keluar dalam
ujian ini. Aku merasa beruntung karena bisa
menjawab semua soal ujian.
Selesai ujian, kami diperbolehkan istirahat sejenak.
Aku segera ke kantin, menemui Dian dan Faiz untuk
membahas soal yang kami kerjakan tadi.
“Eh, jawaban nomor 16 D, kan?” tanya Faiz.

51
 

“Hah? Kok malah D sih? Jelas-jelas jawabannya A,”


kata Dian.
“Eh, kalian berdua salah. Jawabannya itu surat
pribadi, kan bahasa yang digunakan tidak formal. Jadi,
jawabannya C,” jelasku.
Dian dan Faiz kebingungan mendengarkan
penjelasanku. Aku hanya memasang ekspresi wajah
datar dan melanjutkan membaca buku. Dian kembali
bertanya, bagaimana aku bisa mengetahui jawaban
untuk soal itu. Aku dengan santai menjawab bahwa
soal itu merupakan salah satu pertanyaan kuis Papa
Faiz kemarin. Mereka berdua kaget.
“Kami berdua nggak nyimak pertanyaan itu, Diza,”
ujar Dian. Ah, pantas saja mereka berdua tidak
mengerti. Ternyata, kemarin mereka berdua asyik
mengobrol.
Bel berbunyi, saatnya siswa-siswi masuk kembali
ke ruang ujian. Kali ini, mata pelajaran yang diujikan
adalah Matematika. Selama ujian berlangsung, aku
melihat banyak temanku tampak ragu saat
mengerjakan soal. Di sisi lain, aku bisa menjawab
soal-soal ujian dengan mudah. Akhirnya, akulah orang
pertama yang berhasil menyelesaikan soal dan keluar

52
 

ruang ujian. Aku menunggu Faiz dan Dian keluar dari


ruang ujian cukup lama.
“Eh, kok ujian Matematika susah banget, ya?
Sepertinya nilai Matematikaku rendah deh,” ujar Faiz
pesimis.
“Habis, aku ajarin nggak ngerti-ngerti kamu,”
kataku.
Dian pergi meninggalkan aku dan Faiz berdua di
halaman sekolah. Mungkin Dian kesal karena dia
belum selesai menjawab soal, sementara waktu ujian
telah habis.
Ujian hari ini selesai dilaksanakan. Aku dan teman-
teman mengikuti khataman Qur’an di Masjid At-
Taqwa di dekat rumah kami. Di situlah terjadi
pertemuan antara keluargaku dan keluarga Faiz untuk
pertama kalinya.
Waktu itu, aku dan Faiz sedang bermain di depan
masjid sambil menunggu acara dimulai. Tiba-tiba,
temanku yang bernama Alya datang sambil
membawa kamera. Dia langsung memotret kami yang
sedang berbicara. Lama-lama, aku menyadari
kehadiran Alya. Karena tahu Alya membawa kamera,

53
 

aku memintanya memotretku dengan Faiz yang


sedang memegang Al-Qur’an.
Ketika sedang berfoto, tiba-tiba terdengar
pengumuman bahwa acara akan segera dimulai. Aku,
Faiz, dan Alya segera memasuki masjid. Ketika semua
santri berkumpul untuk berfoto, aku melihat mamaku
dan Mama Faiz sedang asyik mengobrol, begitu pun
Papa Faiz dengan papaku. Sepertinya, tidak hanya aku
dan Faiz yang bersahabat, tetapi orang tua kami juga.
Hal yang dibicarakan mamaku dan Mama Faiz saat itu
adalah persahabatan kami.
Mama Faiz mengatakan, “Biarkan saja mereka
bersahabat. Kita dukung saja mereka. Siapa tahu bisa
jadi penyemangat mereka untuk lebih giat belajar.”
Mamaku dan Mama Faiz tersenyum dan segera
memperhatikan kami yang sedang menunggu
antrean untuk maju. Ketika kegiatan khataman selesai,
pengumuman juara pun dibacakan. Banyak orang
menyangka bahwa akulah yang akan menjadi juara 1
karena tajwidku benar dan adabku saat membaca Al-
Qur’an pun bagus.
Ternyata, yang menjadi juara 1 bukanlah aku,
melainkan Elvina. Selama ini, akulah yang

54
 

membenarkan tajwid Elvina ketika dia melakukan


kesalahan. Walau begitu, aku tidak dendam. Ini
hanyalah sebuah perlombaan. Yang kita cari pahala,
bukan piala.
Ketika hendak mengucapkan selamat kepada
Elvina, hatiku merasa kecewa. Aku merasa gagal,
seharusnya aku yang meraih piala tersebut. Ekspresi
kekecewaanku ternyata terlihat oleh Mama Faiz.
Mama Faiz pun langsung mengajakku keluar dari
masjid.
“Diza, kalah ataupun menang itu biasa, Nak. Allah
sengaja merendahkanmu dari yang biasanya. Allah
tahu, jika kamu terus berada di atas, kamu mungkin
akan sombong,” kata Mama Faiz.
“Iya, Ma, tapi Diza akan membuktikan bahwa Diza
juga pantas mendapatkan piala itu. Diza akan ikut
perlombaan ini lagi Ramadan besok,” ujarku.
Mama Faiz berusaha menenangkanku agar rasa
kecewaku hilang. Aku tetap tidak bisa menghilangkan
perasaan itu sebelum piala itu berada di tanganku.
Namun, akhirnya aku menyadari bahwa aku terlalu
egois dan sombong. Aku selalu beranggapan bahwa

55
 

dalam setiap lomba harus akulah pemenangnya. Tak


lama kemudian, Faiz menemuiku dan mamanya.
“Ma, maafin Faiz, ya. Faiz nggak bisa dapat juara,”
ujar Faiz sambil menundukkan kepalanya.
“Kalah ataupun menang itu biasa, Sayang,” ucap
mamanya. Faiz mengangguk, lalu mengulurkan
tangannya padaku.
“Selamat, ya, Diza. Kamu berhasil dapat juara
harapan 3. Lain kali, harus juara 1, ya,” ucap Faiz
sambil tersenyum.
Kata-kata yang diucapkan Faiz membuat
semangatku kembali bangkit. Aku merasa bahwa
ucapan itu merupakan sebuah permintaan. Oleh
karena itu, aku menjadi semangat untuk berlatih lebih
giat lagi.
Setelah lama mengobrol, mama memanggil dan
mengajakku pulang. Aku pun berpamitan kepada Faiz
dan mamanya. Mamaku juga menyempatkan diri
berpamitan kepada Mama Faiz.
“Pamit pulang dulu, ya. Kalau ada waktu, kita
bertemu lagi.”
***

56
 

Bulan Ramadan pun tiba. Tiap sore aku


mengunjungi pasar takjil untuk membeli takjil
bersama teman-temanku, termasuk Faiz. Terkadang,
aku hanya pergi dengan Faiz dan Alya.
Kali ini aku terdaftar sebagai peserta pesantren
Ramadan di masjid, begitu juga dengan Faiz. Selama
pesantren Ramadan, Faiz sering tidak ikut karena
malas. Faiz memang pemalas dan mudah capek.
Suatu hari, Faiz tidak ikut pesantren Ramadan.
Ternyata, Faiz pergi dengan Fari, Dian, dan papanya
menggunakan sepeda motor. Fari adalah adik Faiz.
Dia duduk di depan, sedangkan Faiz di belakang
bersama Dian.
Ketika aku hendak masuk masjid, aku tak sengaja
melihat mereka yang sedang lewat. Begitu
cemburunya aku melihat Faiz duduk berdempetan
dengan Dian, apalagi mereka pergi bersama Papa
Faiz. Aku cemburu karena merasa bahwa Dian lebih
akrab dengan keluarga Faiz dibandingkan aku. Ketika
aku memperhatikan mereka, Alya mengajakku masuk
masjid untuk tadarus bersama.
Hari itu merupakan hari yang cukup buruk bagiku.
Aku tidak seberuntung Dian. Hari berikutnya, aku

57
 

mengalami kejadian yang menyenangkan. Faiz


mengajakku main sekaligus ikut menemani mamanya
mengecek kandungan. Ya, saat itu mamanya hamil
tujuh bulan. Namun, aku menolak tawaran Faiz karena
tidak ingin melewatkan pesantren Ramadan.
Ketika Faiz sampai di tempat tujuan, dia
mengajakku video call dan meminta aku memilih
makanan kesukaanku. Sebenarnya, aku tidak mau
karena takut merepotkan. Namun, mama dan Papa
Faiz juga memaksa sehingga aku memilih beberapa
macam makanan kesukaanku.
Ketika sedang asyik video call dengan Faiz,
ternyata mama memperhatikanku. Mama pun segera
mendekatiku. Aku bercerita bahwa aku sempat diajak
Faiz pergi bersama, tapi aku menolak karena tidak
ingin melewatkan pesantren Ramadan hari ini. Lagi
pula, aku belum mendapat izin dari mama.
“Lain kali, kalau mau ikut, pergi ajalah, Diza.
Lagian, mama udah dekat kok dengan Mama Faiz,”
ujar mama. Aku menyesal tidak ikut dengan Faiz hari
itu. Jika saat itu aku ikut, pasti aku punya kesempatan
untuk lebih dekat dengan keluarga Faiz.

58
 

Untuk mengobati rasa kecewaku, mama langsung


mengajak keluarga Faiz untuk buka bersama.
Keluarga Faiz sempat menolak karena mereka baru
saja pulang dari perjalanan jauh. Namun, aku
memohon-mohon kepada mereka sehingga mereka
setuju. Kami pun langsung pergi ke tempat tujuan
untuk buka bersama.
Di sepanjang perjalanan, aku duduk di samping
Faiz. Baru kali ini aku duduk di dekat Faiz saat di
mobil. Ketika hari mulai senja, Faiz mengantuk dan
tertidur.
Ketika sudah sampai, aku segera membangunkan
Faiz dan Fari untuk mengajak mereka keluar dari
mobil. Setelah duduk beberapa menit, waktu berbuka
puasa pun tiba. Kami semua berbuka bersama dan
menikmati acara ini. Setelah semua selesai, kami
mengambil foto sebagai kenang-kenangan. Aku
senang karena bisa dekat dengan keluarga sahabatku.
Usai puas berfoto, kami segera pulang. Di dalam
perjalanan pulang, aku banyak mengobrol dengan
Faiz.
“Diza, masa nama panggilan kita Faiz–Diza doang,
sih?” tanya Faiz.

59
 

“Lha, terus panggilan kita apa?” tanyaku.


“Kalau panggilan mama dan papa dulu Abang–
Adik,” goda Mama Faiz.
Semua tertawa. Aku menyetujui saran Mama Faiz.
Akhirnya, nama panggilan kami adalah Abang–Adik.
Ketika Faiz dan Fari mulai mengantuk kembali, aku
menawarkan pundakku sebagai tempat mereka
bersandar. Mereka pun bersandar ke bahuku.
Mama Faiz menoleh ke belakang dan mengatakan
bahwa kami bertiga seperti adik kakak. Aku hanya
bisa tertawa sambil memandang wajah mereka
berdua.
“I will always be there for you. No matter the
circumstances,” kataku dalam hati.
Bagiku, ini merupakan momen berharga. Aku tidak
akan pernah melupakannya. Walaupun jika kelak aku
tidak bersama Faiz, aku akan selalu menganggap
keluarganya seperti keluargaku sendiri.

***

60
 

Bagian 7
Momen-Momen Berharga

H
ari ini merupakan hari terakhir di bulan
Ramadan. Orang-orang sibuk membeli baju
lebaran. Begitu pun aku saat bermain ke
rumah Faiz. Aku diajak Papa Faiz membeli baju
lebaran untuk Faiz dan Fari. Maklum, Mama Faiz tidak
bisa ke sana kemari karena hamil.
Sesampai di toko baju, Papa Faiz menyuruhku
mencarikan baju yang cocok untuk Faiz dan Fari. Aku
pun segera mencarinya. Aku tertarik pada kemeja
berwarna putih yang cocok untuk Faiz. Aku langsung
menunjukkannya kepada Faiz dan papanya. Mereka
menyetujuinya. Kini, giliran kami mencarikan baju
untuk Fari.
Setelah mendapatkan beberapa baju yang cocok
untuk Faiz dan Fari, Papa Faiz menyuruhku memilih
sebuah baju. Awalnya, aku tidak mengerti mengapa
Papa Faiz menyuruhku memilih baju. Ternyata, Papa
Faiz juga membelikanku baju. Begitu senangnya

61
 

hatiku. Kata Papa Faiz, aku sudah dianggap sebagai


anak sendiri.
Pada hari pertama lebaran, aku bangun pagi-pagi
sekali. Aku segera mandi, kemudian memakai baju
lebaran yang dibelikan Papa Faiz. Setelah siap, aku
berfoto dengan baju itu untuk kutunjukkan kepada
Faiz.
“Cantik, Dik,” puji Faiz melalui pesan singkatnya.
Aku gembira membaca pesan dari Faiz. Dia pun
mengirimkan fotonya memakai baju lebaran yang
kupilihkan. Aku senang karena baju itu cocok sekali di
badan Faiz. Dia tampak keren menggunakan kemeja
itu, apalagi dia juga memakai peci.
Sayang sekali, tempat kami melaksanakan shalat
Id berbeda. Dia shalat di lapangan, sedangkan aku di
dalam masjid. Selesai shalat Id, aku mengajak Melita,
Tuti, Fari, dan Faiz bersilaturahmi ke rumah teman-
teman dan guru sambil mencari THR, hehe.
Setelah semua rumah kami kunjungi, kami berfoto
untuk mengabadikan momen di hari raya ini. Kami
pergi ke dekat perbukitan untuk mendapatkan latar
foto yang bagus. Meskipun Faiz adalah satu-satunya

62
 

lelaki yang sebaya dengan kami, dia tidak malu


berfoto dengan kami.
Usai berfoto-foto, kami istirahat sejenak di rumah
Faiz sambil menikmati kue yang dihidangkan. Setelah
cukup lama kami di sana, Papa Faiz memberi kami
THR yang cukup banyak. Kami sangat senang.
Ketika kami hendak pulang, Melita memberi tahu
teman-teman melalui pesan singkat bahwa kami hari
ini bertamu ke rumah Faiz dan mendapat THR yang
cukup banyak. Maka, teman sekolah kami datang
berbondong-bondong ke rumah Faiz. Aku memarahi
Melita karena menyebarkan berita ini. Namun, orang
tua Faiz malah senang dan tertawa. Ternyata, mereka
suka melihat anak-anak dan keramaian.
Hari kedua lebaran merupakan hari terakhirku
menghabiskan waktu di rumah. Keesokan harinya, aku
akan pulang kampung. Aku menyempatkan diri ke
rumah Faiz karena kemarin, sebelum pulang, Papa
Faiz berpesan agar hari ini aku berkunjung ke sana.
Papa Faiz mengatakan bahwa ada suatu hal penting
yang harus kukerjakan. Sesampai di sana, aku diajak
berkumpul dengan keluarga Faiz dan beberapa orang
yang sedang bertamu ke rumah Faiz. Aku diminta

63
 

bersalaman dengan para tamu, lalu duduk di dekat


Mama Faiz.
“Diza, ini keluarga Faiz dari Padang,” kata Papa
Faiz.
Mereka mulai memperhatikan wajahku sambil
tersenyum dan mengatakan bahwa aku cantik. Papa
Faiz yang mendengar perkataan tersebut, spontan
bercanda dengan mengatakan bahwa aku adalah
calon menantunya. Mama Faiz dan para tamu lantas
tertawa mendegar candaan yang dilontarkan Papa
Faiz.
Setelah para tamu pulang, aku diajak berfoto
bersama keluarga Faiz. Aku duduk di sebelah Faiz
sambil tersenyum, sedangkan mama, papa, dan adik
Faiz duduk di sampingku dan Faiz. Ketika hendak
berfoto, Faiz disuruh papanya memegang bahuku,
sementara Papa Faiz memegang bahu Faiz. Jadilah di
foto itu kami tampak seperti satu keluarga. Faiz
langsung meminjam handphone-ku dan segera
meng-upload foto kami di akun media sosial milikku.
Selesai berfoto, Papa Faiz menyuruhku dan Faiz
berfoto berdua. Papa Faiz menyuruh Faiz kembali
memegang bahuku dan menyuruhku bersandar di

64
 

bahu Faiz. Mama Faiz menggoda kami sepanjang


pemotretan. Aku hanya bisa tertawa.
Tanpa kusadari, Papa Faiz meng-upload foto kami
berdua di akun media sosialku. Aku lupa
mengamankan handphone-ku tadi. Foto itu disukai
oleh banyak orang. Teman-temanlangsung
mengomentari fotoku dengan Faiz. Ada yang
mengatakan bahwa kami so sweet. Ada juga yang
mengatakan bahwa kami seperti pasangan yang
dijodohkan. Haha, ada-ada saja.
Aku senang sekali bisa foto berdua dengan Faiz.
Karena tidak mau kalah dariku, Faiz langsung
membuat akun media sosial sepertiku. Dia senang,
mulai sekarang dia bisa mengobrol denganku lewat
akun itu tanpa takut chat kami dibaca lagi oleh
papanya.
***
Bulan demi bulan berlalu, kegiatan belajar
mengajar akan segera berakhir. Hari ini merupakan
hari terakhir kami duduk di kelas 6. Kakak kelas kami
menginginkan acara perpisahan dilakukan di luar
sekolah. Karena banyak teman yang kurang mampu,

65
 

kami pun mengusulkan untuk mengadakan acara


perpisahan di sekolah saja.
Kami, siswa kelas 6, dibagi menjadi dua regu
untuk menampilkan suatu pertunjukan di panggung.
Aku masuk ke Regu B bersama teman-temanku,
termasuk Faiz. Aku pun usul agar kami melakukan
dance. Kami pun menyetujuinya dan memilih lagu
Good Boy yang dipopulerkan oleh Taeyang dan G-
Dragon. Regu A juga memilih dance, tetapi
menggunakan lagu-lagu yang diciptakan Alan Walker.
Malam perpisahan yang dinanti-nantikan pun
datang. Acara diawali dengan pertunjukan tari
persembahan, dilanjutkan dengan berbagai tari
lainnya. Setelah kami menikmati beberapa
pertunjukan tari, protokol pun mempersilakan siswa
kelas 6 menguasai pentas. Aku dan teman-teman
telah bersiap naik panggung. Namun, Regu A
mendapat kesempatan menampilkan dance mereka
terlebih dahulu.
Selama dance berlangsung, Regu A ditonton
banyak orang. Akan tetapi, kulihat tidak ada orang
yang memberikan tepuk tangan. Sepertinya,

66
 

penonton agak bosan melihat dance tersebut karena


gerakan mereka kurang kompak dan monoton.
Selesai penampilan mereka, protokol
mempersilakan reguku untuk naik panggung. Kami
yang sudah banyak mengeluarkan tenaga demi
latihan, akhirnya maju untuk menampilkan dance
kami. Banyak orang bersorak selama menonton
penampilan kami. Kudengar, mereka juga memberi
semangat dan tepuk tangan untuk kami. Mereka
merasa bahwa dance kami cukup bagus dan memiliki
gerakan yang beragam.
Ketika pertunjukan dance berakhir, acara
perpisahan juga berakhir. Sebagai penutup, protokol
meminta salah seorang siswa untuk menyanyikan
sebuah lagu. Semua mata tertuju kepadaku karena
aku suka bernyanyi meskipun suaraku sumbang.
Teman-teman memaksaku, tetapi aku menolaknya.
Faiz ikut membujukku untuk membawakan sebuah
lagu, barulah aku mau.
Teman-teman menyeretku ke atas panggung. Aku
segera menyanyikan lagu berjudul Perfect yang
dipopulerkan oleh Ed Sheeran. Dari panggung, aku
melihat Faiz bersalaman dengan mamaku dan segera

67
 

duduk di dekatnya sambil merekam video aku sedang


bernyanyi. Melihat mereka berdua, aku semakin
semangat menyanyikan lagu itu. Setelah bernyanyi,
semua teman memberiku tepuk tangan yang meriah.
Berakhirlah seluruh acara pada malam perpisahan itu.
Selesai acara, guru-guru menawarkan kami untuk
tidur di sekolah sebagai momen terakhir yang bisa
dihabiskan bersama sebagai siswa kelas 6. Aku dan
teman-teman segera memasuki kelas, tetapi kami
tidak langsung tidur. Kami masih bercerita mengenai
banyak hal. Karena kecapekan, Melita tertidur di
bangku yang sengaja diletakkan di depan kelas.
Melihatnya tidur sendiri di luar, aku memutuskan
untuk menemani Melita tidur.
Tiba-tiba, Papa Faiz membangunkanku dan
memberikan bantal bergambar wajah Faiz untukku.
Aku menerimanya, lalu membangunkan Melita,
mengajaknya masuk kelas. Di kelas, hanya Bunga
yang tertidur. Oleh karena itu, kami memutuskan
untuk tidur bertiga berdekatan. Kata beberapa teman,
ketika kami bertiga tertidur pulas, Faiz dan Elin masuk
kelas dan iseng memotret kami yang sedang tertidur.

68
 

Setelah mendapatkan foto itu, mereka segera keluar


dari ruangan agar tidak diketahui oleh guru-guru.

***
Hari ini adalah hari pendaftaran siswa baru. Karena
tidak mau berpisah sekolah dengan Faiz, maka aku
akan ikut ke sekolah mana pun Faiz mendaftar. Ketika
sudah lama mempertimbangkan hal ini, Faiz memilih
melanjutkan sekolah ke pesantren bernama ICBS
Payakumbuh. Aku senang karena Faiz mau masuk
pondok pesantren.
Kami pun mencari informasi mengenai ICBS.
Ternyata, pendaftaran dibuka tanggal 22–25 Januari;
tes tanggal 26–27 Januari; pengumuman tanggal 2
Februari. Aku dan Faiz mendaftarkan diri sebagai
peserta. Aku ingin sekali selalu satu sekolah dengan
Faiz.
Ketika tanggal 27 Januari tiba, keluargaku dan
keluarga Faiz berangkat menuju sekolah tersebut.
Dian ikut bersama kami karena dia juga mendaftar ke
sekolah tersebut. Selama dalam perjalanan, aku dan
Dian sibuk membuat video sebagai kenang-
kenangan, sementara Faiz mulai mengantuk dan tidur.

69
 

Ketika malam datang, aku dan Dian juga mulai


mengantuk. Akhirnya, Dian tidur dan bersandar di
bahuku. Ketika aku sedang tertidur, ternyata Faiz
mengambil handphone-ku dan hendak membaca
“catatan rahasiaku” di sana. Aku yang terbangun
akibat pancaran sinar handphone-ku langsung
merebutnya dari Faiz. Faiz menyuruhku untuk tidur
kembali. Aku pun tertidur sambil memegang
handphone-ku.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan
malam sudah cukup larut, kami pun menginap di
wisma dekat sekolah tersebut.
“Besok semuanya harus bangun pagi, ya,” pesan
mamaku. Kami bertiga menganggukkan kepala,
kemudian bergegas tidur di tempat yang telah
disediakan.
Keesokan harinya, begitu bangun, kami bergegas
melaksanakan shalat Subuh dan mandi pagi. Selesai
mandi, kami bertiga keluar untuk melihat
pemandangan sekitar dan berfoto-foto. Aku berfoto
berdua dengan Faiz. Setelah itu, kami berfoto dengan
Dian memakai seragam hitam putih untuk tes nanti.

70
 

Waktu menunjukkan pukul 08.04 WIB, kami pun


bersiap berangkat ke ICBS dan mengikuti tes di sana.
Usai tes, kami menyempatkan diri mengunjungi objek
wisata yang tak jauh dari sekolah tersebut. Kami pun
bermain sepuasnya di tempat itu. Setelahnya, kami
kembali ke rumah.
2 Februari merupakan hari pengumuman. Kami
akan mengetahui siapa saja yang dinyatakan lulus tes
di pesantren tersebut. Alhamdulillah, kami bertiga
lulus. Dalam pengumuman itu juga tertera jadwal
daftar ulang, yakni paling lambat 8 Februari. Papa Faiz
langsung membayar biaya daftar ulang yang cukup
mahal itu.
Papaku terkejut mengetahui biaya daftar ulang
yang harus kami bayarkan. Papa pun menyuruhku
untuk mempertimbangkan kembali keinginanku
masuk ICBS. Aku bersikeras ingin tetap masuk ICBS
karena Faiz bersekolah di sana hingga akhirnya mama
menyuruhku ikut tes di sekolah terbaik di Sumatra
Barat.
Awalnya, aku menolak. Namun, setelah
mendapatkan beragam nasihat dari orang tuaku dan

71
 

support dari Faiz, aku menyetujuinya. Harapanku


untuk satu sekolah dengan Faiz hilanglah sudah.
“Dik, biarlah sekarang kita pisah sekolah. Yang
penting, saat SMA nanti, Abang akan selalu bersama
Adik layaknya sewaktu kita SD,” ujar Faiz
menyemangatiku.
“Iya, Abang. Walaupun satu sekolah saat SMP, kita
juga nggak akan bertemu. Laki-laki dan perempuan
dipisah, kan?” jawabku.
“Adik tenang saja. Walaupun nanti Abang bertemu
Adik hanya sekali dalam tiga bulan, Abang akan selalu
menyemangati Adik belajar,” kata Faiz sambil
tersenyum.
Rasa sedih bercampur dengan senang saat
mendengar ucapan yang dilontarkan Faiz. Aku senang
karena Faiz tetap menyemangatiku. Namun, aku juga
sedih karena kami akan jarang bertemu.
Hari pelaksanaan tes pun tiba. Ketika aku dan
keluargaku hendak berangkat menuju Padang
Panjang, mama menyuruh papaku berhenti di rumah
Faiz. Aku bingung, mengapa mama melakukannya.
Kupikir, mama ingin aku berpamitan pada Faiz dan

72
 

keluarganya. Ternyata tidak. Mamaku menyuruh Faiz


pergi bersama kami.
“Na, Faiz ikut kami pergi, ya, biar jadi
penyemangat Diza. Karena sekolah ini paling unggul,
siapa tahu Faiz bisa membangkitkan semangat Diza,”
izin mamaku kepada Mama Faiz.
“Iya, Bu. Semoga Diza lulus di sana,” jawab Mama
Faiz. Aku senang karena Faiz ikut bersamaku. Aku pun
mengajak Fari agar kami berdua tidak merasa
kesepian.
Setelah menempuh perjalanan cukup lama, kami
sampai. Kami menginap di sebuah hotel yang cukup
terkenal di Padang Panjang.
Keesokan harinya, ketika hari mulai pagi, kami
bersiap-siap menuju sekolah tersebut. Begitu sampai,
aku memasuki ruangan khusus untuk mengikuti tes.
Saat aku mulai kebingungan menjawab soal, Faiz
menyemangatiku dari balik jendela. Dia tersenyum
sambil mengangkat tangannya, memberi support dari
kejauhan. Aku sangat bersemangat karena tindakan
yang dilakukan Faiz tersebut.
Selesai tes, mamaku mengajak kami mengunjungi
objek wisata yang cukup ramai, yaitu Mifan Padang

73
 

Panjang. Objek wisata itu berupa kolam renang yang


areanya sangat luas. Aku sangat senang karena aku
banyak menghabiskan waktuku bersama Faiz tahun
ini.
Sesampai di sana, kami langsung mengganti baju
dan berenang di kolam renang anak-anak. Sayang
sekali, ketika kami berenang, hujan turun dan
membuat kolam renang semakin dingin. Aku
meminta Faiz dan Fari untuk berteduh terlebih
dahulu. Faiz menolaknya, sedangkan Fari berteduh
terlebih dahulu. Faiz mengajakku membuat video
agar bisa menjadi kenang-kenangan saat kami besar
nanti. Aku mulai merekam video kami sedang
berenang.
Kami pun mulai membuat video menyelam.
Sepertinya kami terlalu lama menenggelamkan diri
sehingga kami kehabisan napas untuk bertahan lebih
lama lagi di dalam air. Karena sibuk merekam video
sambil menyelam, kami pun tidak sadar bahwa hujan
sudah reda. Kami segera bermain perosotan
menggunakan karpet bersama Fari.
Setelah puas bermain, mama menyuruh kami
mengganti pakaian. Sehabis dari tempat ini, kami

74
 

akan berwisata ke Jam Gadang Bukittinggi. Aku


senang sekali karena merasa seperti sudah keliling
Sumatra Barat bersama keluargaku, Faiz, dan Fari.
Sesampai di Jam Gadang, kami turun dan
langsung memotret pemandangan sekitar untuk
diunggah ke media sosial kami masing-masing. Ketika
Faiz dan Fari sibuk memainkan handphone mereka,
mataku tertuju pada penjual aksesoris. Aku segera
menghampiri pedagang tersebut.
“Om, ada kalung berliontin huruf F?” tanyaku.
“Oh, ada, Dik. Sebentar, ya, Om carikan.”
Aku menunggu pedagang itu mengambilkan
kalung yang kumaksud. Ketika kalung itu siap, aku
berusaha mengambil kalung tersebut. Namun, sebuah
tangan tiba-tiba terulur mengambil kalung tersebut.
Si pemilik tangan itu langsung menanyakan harganya.
Ternyata, dia adalah Faiz. Dia juga ingin membeli
sebuah kalung. Dia memilih kalung yang bisa diberi
ukiran nama “Diza”.
Setelah ukiran pada kalungnya selesai, dia
memamerkannya padaku. Dia menyuruhku
memasang kalung yang kubeli. Dia membantuku
memakai kalung berliontin F itu.

75
 

“Abang pasang sendiri kalung Abang, ya. Abang


kan udah besar,” kataku sambil mencubit lengan Faiz.
Faiz segera membalas cubitanku, tetapi aku sudah
terlebih dulu lari menjauhinya. Dia pun mengejarku.
Maka, berlari-larianlah kami di sekitar Jam Gadang.
Karena hari mulai gelap, Faiz tidak dapat
menemukanku di tempat persembunyian. Akhirnya,
aku mengejutkan Faiz dari belakang. Faiz agak kesal
dan segera lari ke arah Fari. Melihat kami kecapekan
setelah berlari, Fari membelikan kami minuman.
Tak lama kemudian, kami diajak pulang oleh
mama dan papaku. Kami pun pulang, meninggalkan
segala kenangan yang kami buat di tempat ini. Aku
berharap, suatu saat nanti Faiz tidak melupakan
momen indah ini. Aku merasa sangat beruntung
karena hal-hal yang kuinginkan akhirnya terkabul.

***

76
 

Bagian 8
Bunga Merebut Segalanya

H
ari ini merupakan hari pengumuman siapa
saja yang lulus tes menjadi siswa di sekolah
unggul tersebut. Sekolah itu merupakan
MTsN terbaik di Sumatra Barat. Aku bangun pagi-pagi
sekali dan segera mengambil handphone-ku. Aku
membuka laman yang memuat pengumuman
kelulusan tersebut. Ternyata, aku terdaftar sebagai
salah satu siswa di MTsN tersebut. Aku sangat
gembira dan segera memberitahukan info ini kepada
orang tuaku dan orang tua Faiz. Mereka sangat
senang mendengar kabar baik ini.
Aku pun bersiap-siap pergi ke sekolah. Sesampai
di sekolah, aku sudah tidak sabar memberitahukan
kabar gembira ini kepada teman-teman.
“Kawan-kawan!” sapaku sambil melambaikan
tangan. Dian dan Anisa pun menoleh ke arahku.
“Aku lulus!” kataku histeris.

77
 

“Ah, sebentar, lulus? Lulus apa?” tanya mereka


serentak.
“Aku lulus tes di sebuah MTsN di Padang
Panjang,” jawabku sambil loncat-loncat kegirangan.
“Dian, kamu jadi masuk ICBS?” tanyaku.
“Nggak jadi, Diz. Aku disuruh bersekolah di
Pekanbaru,” jawab Dian.
“Yah, berarti nanti kamu pindah dari sini?”
“Iya, Diz,” jawab Dian singkat.
Aku sedih karena akan pisah dengan teman lama
yang sudah menjadi saksi kisah persahabatanku
bersama Faiz. Namun, dia mengatakan akan pulang
sekali-sekali dan bermain lagi bersamaku. Karena
sejak tadi Anisa hanya memperhatikan kami berdua
mengobrol, dia mengajak kami masuk kelas.
Setiba kami di kelas, aku menghampiri Faiz dan
memberitahukan berita baik ini kepadanya. Namun,
Faiz hanya terdiam sambil termenung.
“Bang, kenapa? Kok termenung?” tanyaku sambil
melambai-lambaikan tanganku di depan wajah Faiz.
Faiz bercerita bahwa semalam dia bermimpi aku
tidak lagi menjadi sahabatnya dan malah bersahabat
dengan Yogi. Dia takut mimpi itu akan menjadi

78
 

kenyataan. Aku hanya menyimak sambil memasang


raut wajah heran.
“Kok mimpi Abang aneh-aneh sih? Lagian, itu
nggak akan terjadi kok,” ujarku sambil meyakinkan
Faiz.
“Iya, Dik, tetapi terkadang mimpi kita itu bisa
berubah menjadi kenyataan,” ucap Faiz yang masih
cemas.
Aku duduk di samping Faiz dan meyakinkannya
bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal itu.
Namun, Faiz malah terdiam dan menjauh dariku. Aku
heran mengapa Faiz kesal dengan adegan dalam
mimpi yang belum tentu akan terjadi.
Saat aku sedang asyik bermain bersama Bunga,
Faiz menyapa kami berdua. Aku langsung menjawab
sapaan itu, sedangkan Bunga hanya diam.
“Ih, pede banget. Faiz menyapa Bunga kok,”
katanya.
Aku terkejut karena orang yang disapa Faiz
bukanlah aku, melainkan Bunga. Aku hanya
tersenyum tipis sambil menjauh dari Faiz. Bunga
langsung memarahi Faiz karena ulahnya padaku.
Namun, Faiz mengatakan bahwa dia lebih suka

79
 

berteman dengan Bunga dibandingkan denganku. Hal


ini membuatku kecewa.
Aku berlari ke belakang gudang sekolah untuk
mencurahkan semua rasa sakitku. Bunga
menghampiriku dan langsung meminta maaf
kepadaku walaupun ini bukan kesalahannya. Aku
mengerti maksud Bunga. Ketika asyik mengobrol, Faiz
menghampiri kami berdua dan sengaja menyenggol
pundak Bunga sambil tertawa kecil.
“Hei, Faiz! Harusnya kamu sadar kalau Diza tulus
bersahabat denganmu. Kenapa malah kamu sia-
siakan?” ujar Bunga.
Aku bingung, kenapa Faiz bisa berubah secepat
itu, padahal sebentar lagi usia persahabatan kami
genap satu tahun. Tanpa kusadari, air mataku
menetes, tetapi tidak ada seorang pun yang peduli
padaku. Menurutku, itulah momen terburuk yang
terjadi dalam hidupku sejauh ini.
Sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Faiz. Aku
melihat Faiz dan Fari sibuk menghitung uang.
“Dik, Abang mau beli jam tangan couple untuk
Abang dan sahabat Abang,” ujar Faiz kepada Fari.

80
 

Ketika menyadari kehadiranku, Faiz memintaku


menemani mereka ke toko jam. Aku yakin, kejadian di
sekolah tadi hanyalah prank. Buktinya, sekarang dia
ingin membelikanku jam tangan. Aku bersemangat
menemani Faiz dan Fari ke toko jam. Aku pun memilih
jam tangan terbaik untuk Faiz dan seseorang yang
dimaksud olehnya itu.
Setelah membeli jam tangan, Faiz mengajakku
membeli kertas kado. Aku semakin gembira karena
dia akan memberikan jam tangan tersebut dengan
cara istimewa. Dia membungkus jam tangan itu
dengan sangat rapi. Setelah semua siap, aku pamit
pulang.
Sampai di rumah, aku kecapekan dan tertidur di
sofa. Aku mulai nyenyak tidur dan bermimpi. Di dalam
mimpi, aku melihat Faiz sedang duduk di samping
Bunga sambil mengatakan bahwa dia sangat ingin
bersahabat dengan Bunga. Aku yang berada di
belakang Faiz langsung menangis dan mulai
mengatakan bahwa Bunga telah merebut sahabatku.
Aku pun tersentak dari mimpiku. Kukira itu nyata,
ternyata hanya mimpi.

81
 

Ketika berangkat sekolah, aku memasang raut


wajah cemberut hingga sampai di sekolah. Di tengah
jam pelajaran, kami ditinggalkan guru di kelas. Guru-
guru akan mengikuti rapat. Saat itu, aku sedang fokus
belajar dan mengerjakan soal-soal latihan yang
diberikan guru. Tiba-tiba, Faiz mengeluarkan kado
yang dibungkusnya semalam dan memberikannya
kepada Bunga. Aku sangat terkejut, kenapa dia malah
memberikannya pada Bunga, bukan kepadaku.
Faiz menyuruh Bunga membuka kado tersebut. Di
dalamnya ada sepucuk surat yang isinya adalah
untaian kata Faiz agar Bunga mau menjadi
sahabatnya. Sebenarnya, Bunga juga ingin bersahabat
dengan Faiz, tetapi dia menolak karena merasa tidak
enak padaku. Namun, hampir seluruh teman
sekelasku mendukung persahabatan mereka, Bunga
pun menerima permintaan Faiz.
Aku tidak percaya Bunga akan menerimanya.
Selama dua tahun terakhir, Bunga berteman baik
denganku. Akhirnya, Faiz memasangkan jam tangan
tersebut kepada Bunga. Aku tidak tahu harus
bagaimana lagi. Faiz tidak peduli lagi padaku
sekarang. Dia selalu mengabaikanku.

82
 

Karena rasa cemburuku sudah membara, aku pun


menyuruh Rachel, salah satu teman baikku, untuk
berpura-pura meminjam jam tangan Bunga. Setelah
itu, Rachel harus memberikannya padaku.
“Jam ini tidak pantas melingkar di pergelangan
tangan orang munafik,” ucapku sambil memecahkan
jam tangan tersebut.
Rachel kaget melihat tindakanku. Dia tidak
menduga aku akan merusak jam tangan itu. Faiz yang
melihat kejadian itu langsung memukulku. Aku hanya
terdiam setelah membuang jam tangan tersebut.
“Eh! Kalau nggak suka, bilang saja. Jangan
merusak barang orang lain! Kamu pikir, ngumpulin
uang mudah, hah?” kata Faiz sambil marah.
Aku hanya bisa terdiam sambil menahan rasa sakit
akibat pukulan Faiz tadi. Aku tidak menyangka Faiz
tega memukulku. Saking kesalnya, Faiz berusaha
memukulku sekali lagi, tapi Diva menahan tangan
Faiz.
“Eh, Faiz, jangan kasar dong!” bentak Diva sambil
mendorong tubuh Faiz.
“Diva, kamu jangan ikut campur. Biar saja dia
memukulku. Aku memang bersalah dan pantas dia

83
 

pukul seperti itu,” ujarku sambil menjauhkan tubuh


Diva dari Faiz.
“Pokoknya kamu harus ganti rugi, Diza! Aku nggak
mau tahu!” kata Faiz sambil menarik jilbabku.
Aku tetap terdiam hingga akhirnya Bunga
melarang kami berdua bertengkar. Karena sakit hati,
aku langsung mengatakan bahwa Bunga merupakan
penyebab aku dan Faiz bertengkar. Aku juga
menyebut Bunga sebagai perebut sahabat. Bunga
malah menangis dan keluar kelas. Faiz pun
meninggalkanku untuk mengejar Bunga dan
menenangkannya.
Ketika api cemburuku sudah mulai padam dan aku
sudah tenang, Faiz kembali menghampiriku. Dia
kembali memukulku, kali ini lebih keras. Teman-teman
yang melihat kejadian itu terkejut. Yogi menghampiri
kami dan segera mendorong Faiz menjauh dariku.
Faiz hanya terdiam, lalu pergi menghampiri Bunga.
“Diza, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Yogi.
“Iya, aku nggak apa-apa. Lagian, pukulan Faiz
nggak sakit kok,” jawabku sambil mencoba
tersenyum.

84
 

“Diza, jangan bercanda. Lebih baik kamu pulang


daripada gemetaran seperti ini terus,” saran Dian
kepadaku.
Dian dan Yogi pun mengantarkanku pulang. Di sisi
lain, Faiz senang karena bisa lebih dekat dengan
Bunga tanpa mendapatkan gangguan dariku.
Sesampai di rumah, aku menangis sejadi-jadinya
karena tidak ada satu orang pun di rumah saat itu.
Aku tidak percaya bahwa mimpiku itu menjadi
kenyataan. Aku terus menangis hingga tertidur.
Keesokan harinya, aku mulai membiasakan diri
untuk menjaga jarak dengan Faiz. Ketika aku sedang
termenung, Bu Yulia menyuruhku untuk tetap tinggal
di kelas sepulang sekolah nanti. Aku pun
mengangguk dan menuruti perkataan Bu Yulia.
Setelah semua siswa pulang, aku tetap berada di
kelas. Kukira hanya aku yang harus tetap di kelas,
ternyata juga ada Faiz. Bu Yulia pun menemui kami
berdua setelah mengunci pintu agar pembicaraan
kami tidak terdengar oleh orang lain di luar kelas.
“Kenapa kalian berdua bertengkar kemarin?
Sampai main fisik juga, kan?” tanya Bu Yulia. Aku dan
Faiz hanya terdiam.

85
 

“Tidak perlulah seperti itu. Semua masalah dapat


diselesaikan baik-baik,” ujar Bu Yulia.
Faiz pun angkat bicara. Dia mengatakan bahwa
aku telah merusak barang yang bukan milikku. Bu
Yulia langsung memarahiku dan memintaku
mengganti rugi jam tangan Bunga yang telah
kuhancurkan. Sepanjang “sidang”, Bu Yulia hanya
memarahiku dan selalu membela Faiz karena aku
sama sekali tidak mau berbicara.
“Satu hal lagi, Diza, mengapa kamu selalu bermain
ke rumah Faiz? Kamu itu perempuan, mungkin saja
kamu dibicarakan oleh tetangga-tetangga Faiz. Kamu
tidak malu?” tanya Bu Yulia.
Aku mulai meneteskan air mata. Aku langsung
berlari pergi setelah proses interogasi itu selesai. Aku
menuju rumah Faiz. Sesampai di sana, aku langsung
menemui Mama Faiz.
“Ma, salahkah kalau Diza sering main ke sini?”
tanyaku sambil menangis terisak-isak. Aku memang
memanggil Mama Faiz dengan sebutan mama karena
aku sudah menganggap Mama Faiz sebagai mamaku
sendiri.

86
 

“Siapa yang melarang kamu main ke sini, Nak?”


tanya Mama Faiz.
“Kata Bu Yulia, anak perempuan tidak boleh
sering-sering main ke rumah anak laki-laki, Ma. Nanti
bisa jadi bahan omongan orang-orang,” jawabku.
Mama Faiz langsung menelepon Bu Yulia dan
menjelaskan alasanku sering main ke rumah Faiz.
Hatiku jadi sedikit tenang karena Mama Faiz
mengatakan hal yang sebenarnya terjadi kepada Bu
Yulia. Mama Faiz mengungkapkan semua hal yang
tidak bisa kukatakan sejak di kelas tadi.
Ketika aku sudah tenang, Mama Faiz bertanya
kepadaku, apakah aku dan Faiz sedang bertengkar.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Mama
Faiz hanya mengatakan bahwa aku harus banyak
bersabar menghadapi Faiz.
Pada hari-hari berikutnya, aku mulai terbiasa
untuk bergaul dengan teman-teman yang lain.
Selama ini, aku hanya berteman dengan Faiz dan
beberapa orang yang kupercaya. Namun, kali ini aku
ingin berteman dengan semua orang, termasuk anak
laki-laki. Dulu, aku sangat tidak suka berteman

87
 

dengan anak laki-laki, tapi aku tidak boleh terus-


terusan memandang mereka sebelah mata.
Suatu hari, ketika aku sedang mengobrol dengan
teman-temanku di kantin, aku mendapat kabar bahwa
Bunga sedang demam. Sebagai anggota PMR, aku
segera mengajak Bunga ke UKS meski sebenarnya aku
masih kesal dengan Bunga. Aku pun mengompres
keningnya dan menyuruhnya minum obat. Tiba-tiba,
Faiz datang dan segera menghampiri Bunga. Aku
merasa cemburu sehingga aku memutuskan untuk
pergi dari ruang UKS.
Saat aku akan pergi ke kantin, Rachel memberi
tahuku bahwa dia melihat Faiz menghibur Bunga
dengan menyanyi dan mengatakan get well soon
kepada Bunga. Aku berusaha untuk tampak biasa saja,
tapi hati ini tidak bisa memendam rasa sakit terlalu
lama. Akhirnya, aku berlari ke dalam kelas dan segera
mengunci pintu. Ya, aku seorang diri di dalam kelas.
“Diza, buka pintunya. Kamu nggak perlu cemburu.
Faiz itu tidak pantas menjadi sahabat kamu,” kata Diva
sambil mengetuk-ngetuk pintu kelas. Aku menghapus
air mata dan segera membuka pintu kelas.

88
 

“Diza, nanti kamu tetap les malam, kan? Nggak


libur lagi, kan? Jangan galau karena Faiz terus dong,”
ujar Diva.
Aku mengangguk dan menyuruh Diva
meninggalkanku sendiri. Aku pun termenung di
dalam kelas sambil mengingat momen-momen
indahku bersama Faiz.
Malam harinya, aku les Matematika di rumah
guruku. Faiz memutuskan pindah ke tempat les
Bunga. Perasaanku campur aduk, antara senang dan
sedih. Aku senang karena tidak ada lagi orang yang
menunjukkan wajah penuh kebencian kepadaku saat
les. Namun, aku juga sedih karena tidak lagi memiliki
penyemangat saat belajar.
Sebelum berangkat les, Bu Winda, guru
Matematika kami memberi tahu kami bahwa hari ini
kegiatan belajar ditiadakan. Kami semua senang. Aku
disuruh teman-temanku membawa kamera untuk
berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.
“Aku boleh nggak foto dengan semua teman laki-
laki? Selama ini aku tidak punya foto dengan mereka.
Boleh, kan?” tanyaku.

89
 

Semua teman laki-lakiku setuju. Aku pun berdiri di


tengah-tengah mereka agar foto kami terlihat bagus.
Banyak yang meledekku, tapi aku tidak peduli. Dari
sekian banyak laki-laki di sini, yang kuanggap sebagai
teman dekat hanyalah Diva dan Yogi. Merekalah yang
selalu menghiburku, terutama saat aku kehilangan
sahabat seperti Faiz. Mereka juga yang selalu
membelaku saat teman-teman Bunga meledekku.
“Aku cuma ingin kembali bersahabat dengan Faiz.
Namun, aku juga tidak ingin merusak persahabatan
Bunga dengan Faiz,” ucapku kepada Diva dan Yogi
ketika bersembunyi di kolong meja sambil menangis
setelah dilabrak teman-teman Bunga.
“Diza, kamu tidak perlu takut nggak punya teman.
Kamu kan masih punya kami berdua,” kata Diva
kepadaku.
Perlahan-lahan aku mulai terbiasa berteman
dengan mereka berdua dan mulai melupakan Faiz.
Tanpa kusadari, aku lebih dekat dengan Yogi
dibandingkan Diva. Menurutku, Yogi termasuk orang
yang sangat perhatian dan tidak kasar kepada
perempuan, tidak seperti Faiz yang suka main fisik.

90
 

Yogi tampaknya juga nyaman saat berinteraksi


denganku. Aku takut jika suatu saat kami tidak
mampu menghadapi masalah, dia akan membenciku
dan tidak mau lagi bersahabat denganku, seperti Faiz.
Aku menceritakan semua ini kepada Diva.
Berita kedekatanku dengan Yogi sampai juga di
telinga Faiz, tepatnya 7 Maret 2019. Dia tidak percaya
bahwa aku juga bisa menemukan sahabat baru. Pada
hari itu juga, semua teman laki-laki di kelas meledek
Faiz. Dia pun tampak menyesal sudah menyia-nyiakan
persahabatan kami.
“Eh, Faiz, sepertinya kami semua lebih setuju Diza
bersahabat dengan Yogi dibandingkan denganmu.
Saat bersahabat denganmu, dia menderita. Kamu
yang melarang Diza untuk bermain bersama kami,
kan?” ujar Diva kepada Faiz.
Faiz tak menghiraukan perkataan Diva bahkan
berjalan menjauh. Diva melanjutkan perkataannya
dari kejauhan bahwa hubungan persahabatan Faiz
dan Bunga tidak akan bertahan lama. Ketika aku dan
teman-teman sedang asyik berfoto, Faiz menghampiri
kami. Dia ingin ikut foto.

91
 

“Faiz, kenapa nggak ajak Bunga? Biar nanti bisa


foto berdua gitu, lho,” ledekku.
“Nggak apa-apa, Diz. Lagian, aku lagi malas
dengan Bunga,” kata Faiz.
Tumben Faiz bosan dengan Bunga?
Mengherankan. Aku pun mengajak Faiz berfoto
denganku. Awalnya, Faiz menolak karena takut Yogi
akan marah. Ternyata, Yogi mengizinkannya. Aku pun
berfoto dengan Faiz seperti yang biasa kami lakukan
dulu.
“Benar Yogi nggak cemburu? Nanti marah pula
padaku,” tanya Faiz sekali lagi.
“Udah, santuy ajalah, Iz,” jawab Yogi sambil
tersenyum.
Aku bingung kenapa Faiz kembali mendekat
padaku. Aku mulai berpikiran buruk. Aku takut Faiz
akan mengacaukan persahabatanku dengan Yogi.
Namun, aku selalu berusaha untuk bersikap baik agar
bisa berhubungan baik dengan Faiz walaupun tidak
sedekat dulu.

***

92
 

Bagian 9
Pekanbaru

M
alam ini, Dian mengajak aku dan Anisa
untuk makan bakso bersama. Ketika kami
sampai di tempat tujuan, Dian
mengatakan bahwa dia akan mentraktir kami. Aku
dan Anisa senang karena tidak perlu membayar.
Ketika kami sedang asyik makan, tiba-tiba Papa
Faiz menelepon dan menyuruhku ke rumah Faiz
setelah makan bakso. Aku bingung harus mengiyakan
atau menolak permintaan Papa Faiz. Setelah berpikir,
aku menyetujuinya dan melanjutkan makan bakso.
“Diza, ngapain Papa Faiz telepon kamu?” tanya
Dian sambil menyantap baksonya.
“Nggak tahu. Aku disuruh ke rumah Faiz nanti. Eh,
kalian nanti temenin aku, ya,” pintaku sambil
memperhatikan mereka berdua.
Kami segera menghabiskan bakso, kemudian
berangkat menuju rumah Faiz. Ketika kami sampai,
aku masuk rumah, lalu diminta Papa Faiz untuk

93
 

bersalaman dengan Faiz. Awalnya, aku menolak.


Namun, Papa Faiz berusaha meyakinkan bahwa aku
adalah saudara Faiz, tidak baik aku bersikap seperti
itu.
Ketika ingin mengawali pembicaraan, Faiz diminta
papanya untuk duduk di dekatku. Faiz pun duduk di
sampingku. Papa Faiz menjelaskan maksud
menyuruhku datang kemari. Papa Faiz bertanya,
apakah aku masih ingin bersahabat dengan Faiz. Faiz
menoleh kepadaku dengan tatapan sinis. Papa Faiz
menceritakan bahwa Faiz kini tidak lagi dekat dengan
Bunga karena Faiz lebih senang bersahabat
denganku.
“Ya, mungkin karena Diza lebih tulus bersahabat
dengan Faiz dibandingkan Bunga,” ujar Papa Faiz.
Aku hanya tersenyum. Papa Faiz mulai bertanya
serius kepadaku, apakah aku masih menyayangi Faiz
sebagai sahabat. Aku mengiyakan. Papa Faiz pun
kembali bertanya mengenai kedekatanku dengan
Yogi. Aku pun menjawab bahwa aku memang
bersahabat dengan Yogi.
“Sekarang, Diza harus pilih, Faiz atau Yogi?” tanya
Faiz.

94
 

Aku kesusahan menjawab pertanyaan tersebut.


Aku memiliki banyak kenangan bersama Faiz, tetapi
Yogi lebih perhatian padaku ketimbang Faiz. Di
sanalah perasaanku yang sesungguhnya diuji. Jika aku
lebih memilih Yogi, maka Faiz akan menjauh dariku.
Namun, jika aku memilih Faiz, aku harus menjauh dari
Yogi. Aku bingung harus memilih yang mana.
Anisa dan Dian memaksaku kembali bersahabat
dengan Faiz karena Yogi bukan tipe sahabat yang
setia. Huft, setelah memikirkan hal ini cukup lama. Aku
pun memilih berbaikan dengan Faiz. Dian dan Anisa
senang, begitu juga dengan Faiz. Papa Faiz menyuruh
aku dan Faiz foto berdua sebagai penanda bahwa
kami telah berbaikan dan akan kembali bersahabat.
“Pokoknya, kamu harus jauhi Yogi mulai malam
ini,” ucap Dian.
Papa Faiz yang mendengarkan perkataan tersebut
melarangku melakukan hal tersebut. Papa Faiz ingin
aku dan Yogi tetap berteman. Aku pun
menyetujuinya.
Keesokan harinya, aku mulai memberikan kode
kepada Yogi. Aku menyuruhnya menemuiku di
belakang kelas karena ada hal penting yang ingin

95
 

kubicarakan dengannya. Saat aku sampai di belakang


kelas, ternyata Yogi sudah ada di sana bersama
teman-temannya. Aku kesal karena Yogi mengajak
gengnya, padahal aku menyuruhknya datang sendiri.
“Tanpa kamu bilang pun, aku tahu kamu mau
ngomong apa,” kata Yogi sambil mengalihkan
wajahnya dari pandanganku.
Aku heran dari mana Yogi mengetahuinya. Aku
sama sekali belum mengatakan sepatah kata pun.
Ternyata, Faiz-lah yang mengatakan kepada teman-
temannya bahwa aku sudah berbaikan dengannya.
Kabar ini pun terdengar oleh Yogi.
“Kamu bersenang-senang saja dengan Faiz. Aku
bisa bahagia dengan sahabat-sahabatku. Emang, ya,
kamu perempuan jahat! Kamu hanya memanfaatkan
aku saat kamu bertengkar dengan Faiz. Sekarang,
ketika Faiz kembali mendekat, kamu meninggalkan
aku,” ujar Yogi dengan intonasi meninggi.
Aku langsung berlari meninggalkan Yogi dan
masuk kelas sambil menangis. Ketika aku tersedu-
sedu, datanglah Faiz. Dia langsung menghapus air
mata yang mengalir di pipiku dan berusaha
menghiburku. Saat itu, aku merasa sedang berada di

96
 

fase sangat dipedulikan oleh orang yang kusayang.


Tidak selamanya Faiz bersikap cuek. Ternyata, dia juga
bisa menunjukkan perhatian. Aku beruntung karena
merasa tidak salah memilih.
“Diza, jangan sedih. Ingat, Faiz bakal selalu ada
buat Diza. Udah, ya, jangan nangis lagi,” ujar Faiz
menenangkanku.
Aku merasa sedang duduk bersama malaikat
penjaga hidupku. Aku tersenyum kepada Faiz. Setelah
aku tenang, Faiz masih tetap duduk di sampingku.
“Gitu aja terus. Kalian ini lebay banget,” ejek Aldo,
musuh Faiz sejak dulu.
Faiz berusaha terlihat tenang, tetapi Aldo terus-
menerus mengejeknya. Faiz pun kehilangan
kesabaran dan memukul Aldo. Karena tubuh Faiz
lebih kecil, Aldo langsung mengangkat tubuh Faiz,
kemudian menjatuhkannya. Aku bahkan bisa
mendengar suara tubuh Faiz saat menyentuh lantai.
Aku yang tidak terima Faiz diperlakukan seperti itu,
langsung menarik kerah baju Aldo dan memarahinya.
Aldo berusaha melawan, tetapi teman-teman di kelas
sudah siap pasang badan, berjaga-jaga kalau Aldo
berani memukulku.

97
 

Aldo pun menyerah dan lari dari kelas. Dia


mengira bahwa teman-temanku akan
mengeroyoknya. Faiz pun berterima kasih kepadaku.
Namun, aku sibuk mencemaskan keadaan tubuhnya.
Dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Namun,
aku tahu, dia sedang menyembunyikan rasa sakitnya.
Faiz mengatakan bahwa malam ini dia akan
kembali les di tempat Bu Winda. Setelah cukup lama
menunggu, aku melihat Faiz datang bersama
temannya yang bernama Teguh. Tanpa sadar, aku dan
Faiz memakai baju yang sama. Semua temanku mulai
meledek kami. Aku dan teman-teman sangat gembira.
Namun, ketika Yogi datang sambil memasang raut
wajah cemberut, mood-ku mulai kacau. Faiz berusaha
membuatku melupakan perkataan kasar Yogi tadi
siang dengan mengajakku bergurau.
Ketika mengerjakan latihan soal, Faiz mendekat
padaku. Kami pun mengerjakan soal-soal itu bersama.
Hal ini membuat Yogi kesal. Dia pun memutuskan
untuk belajar di luar bersama sahabatnya, Diva. Faiz
tertawa melihat sikap Yogi, sementara aku masih
sibuk mengerjakan latihan soal.

98
 

Selesai les, aku pulang dengan perasaan gembira.


Aku membuka handphone-ku. Ketika sibuk
menghapus foto-fotoku bersama Yogi, aku
mendapatkan pesan dari Faiz. Dia mengajakku video
call. Aku gembira karena kami mulai melakukan hal-
hal yang biasa kami lakukan dulu. Aku segera
merekam layar agar video call kami menjadi kenang-
kenangan.
Saat masih asyik video call dengan Faiz, masuklah
notifikasi dari Yogi. Aku segera memblokir kontaknya
dan melanjutkan video call bersama Faiz. Ternyata,
mama memperhatikanku video call dengan Faiz.
Mama pun mendekat dan ikut nimbrung. Mama
mengajak Faiz pergi berenang ke sungai yang
terkenal sangat jernih airnya. Faiz langsung
memanggil mamanya untuk ikut video call. Akhirnya,
mamaku berbincang-bincang dengan Mama Faiz.
Mama Faiz menolak ikut karena sebentar lagi akan
melahirkan. Namun, Faiz dan Fari memohon-mohon
untuk diizinkan ikut. Akhirnya, mereka diperbolehkan
ikut.
Keesokan harinya, aku menyiapkan pakaian untuk
berenang. Aku pun berangkat bersama keluarga Faiz,

99
 

kecuali mamanya. Selama dalam perjalanan, aku sibuk


membalas pesan teman-temanku dan membuat
Insta-story, sedangkan Faiz dan Fari sibuk main game.
Sesampai di sana, aku langsung menyewa ban dan
berenang di sekitar sungai.
Dari kejauhan, aku melihat ayunan yang
tampaknya terbuat dari akar pohon. Aku kurang tahu
pasti. Aku segera mendekatinya dan memanggil Faiz
untuk berfoto bersamaku di ayunan yang indah itu.
Aku berulang kali memanggil nama Faiz, tetapi dia
tidak kunjung datang. Tiba-tiba, ada sesuatu yang
memegang kakiku.
“Ya ampun, apa ini? Apa ada buaya di sini?” ujarku
sambil ketakutan.
Faiz langsung muncul dan mengejutkanku.
Ternyata, dia mendengar panggilanku dan
menghampiriku dengan cara menyelam. Aku yang
terkejut dengan kedatangan Faiz langsung tergelincir
ke sungai. Aku menahan napas di dalam air agar Faiz
cemas karena aku tidak kunjung muncul ke
permukaaan air. Nyatanya, Faiz malah
meninggalkanku. Aku begitu kesal karena merasa Faiz
tidak peduli padaku. Sebelum dia berjalan terlalu jauh,

100
 

aku menariknya dan mengajaknya berfoto denganku


di ayunan tersebut.
Hari itu, usai berenang, Papa Faiz memfoto aku,
Faiz, dan Fari. Dalam foto itu, kami bertiga sedang
menikmati mi rebus yang masih hangat.
***
Tanggal 18 Juli, adik Faiz yang kedua pun lahir.
Berjenis kelamin laki-laki dan bernama Varlan Azura.
Adik Faiz itu sangatlah lucu dan menggemaskan.
Pipinya tembam, punya lesung pipi, dan berkulit
putih. Dia dilahirkan dengan cara operasi. Ketika
mama dan papaku tahu adik Faiz telah lahir, mama
mengajakku menjenguk Mama Faiz sekaligus
menengok Varlan ke rumah sakit. Mama
membelikannya sebuah cincin emas yang begitu
mungil.
Di rumah sakit, aku tidak melihat Faiz. Kata
mamanya, Faiz sudah pulang bersama omnya. Mama
Faiz menyuruhku datang ke rumah besok untuk
membereskan rumah bersama Faiz sambil menunggu
kedatangan Varlan.
Keesokan harinya, aku datang ke rumah Faiz. Aku
membantu Faiz dan Fari membereskan rumah.

101
 

Pekerjaan kami selesai bersamaan dengan datangnya


adik baru ke rumah. Kami semua menyambut
kedatangannya secara hangat.
Beberapa bulan kemudian, Varlan sudah mulai
bisa merangkak dan berbicara sedikit-sedikit. Ada
sedikit perubahan yang terjadi ketika Varlan lahir.
Papa Faiz mulai cuek kepadaku. Papa Faiz lebih sering
memainkan handphone dibandingkan berbicara
dengan kami akhir-akhir ini. Sebenarnya, aku ingin
sekali tahu apa yang dilakukan Papa Faiz dengan
handphone-nya. Namun, aku selalu saja gagal.
***
Saat dinyatakan lulus dari kelas 6 dan segera
masuk sekolah baru, aku merasa sedih. Aku akan
berpisah dengan Faiz. Namun, Faiz justru senang
karena akan segera menempati sekolah baru. Setelah
acar perpisahan, kami libur. Aku lebih banyak
menghabiskan waktu untuk berdiam diri di rumah
sambil memainkan handphone kesayanganku.
Ketika aku iseng log in dengan akun Faiz, aku
melihat pesan perempuan yang memanggilnya
dengan sebutan abang. Kupikir, dia adalah saudara
Faiz. Namun, ketika aku melihat riwayat chat mereka

102
 

dari awal, aku bisa menyimpulkan bahwa perempuan


itu adalah sahabat baru Faiz. Namanya Nadia Atika
Putri. Dia berasal dari Pekanbaru. Dia mengenal Faiz
dari media sosial. Sebenarnya, aku bingung. Setahuku,
Faiz jarang memegang handphone, lalu bagaimana
dia bisa mendapatkan sahabat baru melalui media
sosial? Aku menanyakan hal ini kepada Faiz. Ternyata,
selama ini akun Faiz dikendalikan oleh papanya.
Hari demi hari berlalu, tibalah hari terakhirku di
rumah sebelum memasuki sekolah baru. Mama Faiz
mengajakku pergi ke Pekanbaru untuk berjalan-jalan
sebelum masuk sekolah. Sebenarnya, aku ingin sekali
ikut. Namun, karena mama melarangku, aku hanya
berdiam diri di rumah.
Aku tidak tenang. Aku takut Faiz bertemu dengan
perempuan bernama Nadia tersebut. Namun, Papa
Faiz meyakinkanku bahwa mereka tidak akan
bertemu. Papa Faiz mengatakan tidak tahu di mana
rumah Nadia. Aku sedikit tenang mendengar ucapan
Papa Faiz.
Sebelum Faiz dan keluarganya berangkat, aku
mengajak mereka berfoto bersama. Setelah mereka
berangkat, aku bersama keluargaku pun pergi menuju

103
 

sekolah baruku. Selama di perjalanan, aku berusaha


untuk menghubungi Faiz melalui video call, tetapi
tidak pernah ada jawaban darinya. Aku pun
memutuskan untuk mematikan handphone-ku.
Waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB,
sementara aku tak kunjung sampai di Padang
Panjang. Mama dan papa memutuskan untuk
beristirahat dan makan terlebih dahulu. Aku sempat
tertidur di dalam mobil. Ketika terbangun saat mobil
berhenti, aku mengecek handphone-ku. Aku
mendapatkan spam chat dari sahabatku, Alya. Aku
langsung membuka pesan-pesan Alya.
Dalam chat itu, Alya mengirimkan foto-foto Faiz
berdua dengan Nadia. Aku tidak percaya mereka bisa
bertemu. Kukira, aku masih bermimpi. Sayangnya, ini
nyata. Aku langsung menghubungi Faiz dan ternyata
Nadia-lah yang mengangkat telepon dariku. Sedetik
kemudian, dia langsung mematikan teleponnya.
“Diza, yuk, turun. Kita makan dulu, ya,” ajak
mamaku.
“Nggak, Ma, Diza masih ngantuk. Diza di mobil
aja, ya,” kataku. Sebenarnya, aku hanya ingin mencari
informasi mengenai Faiz dan Nadia di mobil.

104
 

Akhirnya, mama dan papa meninggalkanku sendiri


di dalam mobil. Aku langsung menangis sekencang-
kencangnya dan berusaha teriak. Aku langsung
mencurahkan isi hatiku kepada Alya. Dia mengatakan
bahwa aku memang terlalu baik untuk jadi sahabat
Faiz. Selama ini, Faiz hanya memanfaatkanku. Dua kali
Faiz mempermainkan persahabatan kami.
Aku langsung menelepon Papa Faiz dan
mengatakan bahwa Papa Faiz telah berbohong
padaku. Papa Faiz berusaha menjelaskan bahwa Faiz
dan Nadia bersaudara. Namun, kata-kata yang
diucapkan Papa Faiz sama sekali tidak membuatku
percaya. Aku membenci situasi ini. Aku frustrasi
mengetahui fakta bahwa Faiz tidak pernah tulus
bersahabat denganku.
Alya menelepon dan menasihatiku agar tidak
sampai melakukan hal bodoh hanya karena sahabat
yang tidak baik seperti Faiz. Aku hanya terdiam
mendengarkan nasihat Alya.
Usai menutup panggilan telepon dari Alya, aku
mendapatkan panggilan masuk dari Faiz. Dia
mengajakku video call. Aku mengangkat panggilan
itu. Aku melihat sosok Nadia di samping Faiz. Mereka

105
 

melambaikan tangan kepadaku. Aku sedih sekali


melihat kebersamaan mereka. Aku langsung
mematikan video call kami. Ini adalah kali kedua Faiz
mempermainkan persahabatan kami. Alya kembali
menghubungiku karena tadi aku hanya terdiam.
“Kamu itu harus kuat, jangan nangis terus.
Tunjukkan kalau kamu bisa mendapatkan
kebahagiaan tanpa harus bersahabat dengan Faiz,”
nasihat Alya.
Aku menjawab, “Iya.”
Aku tidak tahu harus berkata apalagi. Hatiku
sudah terlanjur sakit. Aku tidak sanggup menceritakan
rasa sakitku kepada siapa pun. Ketika membuka akun
Facebook-ku, aku melihat banyak orang yang
menandaiku foto Faiz yang sedang bersama Nadia.
Mereka menanyakan, apakah benar itu sahabat baru
Faiz. Aku membalas komentar mereka semua dengan
emoji fake smile.
Saat mama dan papa datang, aku segera
menghapus air mataku dan pura-pura tertidur
nyenyak di dalam mobil. Untungnya, mama dan papa
tidak melihat keanehan pada diriku. Papa kembali
fokus menyetir mobil, sementara mama tertidur. Saat

106
 

aku berbaring di kursi bagian tengah, aku mengingat


semua kenanganku bersama Faiz di dalam mobil
ketika kami hendak jalan-jalan bersama. Aku mulai
menjatuhkan air mata. Akhirnya, aku tertidur nyenyak
setelah lama menangis.

***

107
 

Bagian 10
Selvi Savana Putri

S
ampai juga aku di MTsN. Aku segera
mempersiapkan semua barangku dan masuk
asrama. Sebelumnya, aku melihat postingan
Faiz yang akan ditinggal oleh mama dan papanya. Dia
tampak senang bahkan sama sekali tidak menangis.
Aku selalu bertanya-tanya, apakah Faiz akan
mengingatku selama di asrama? Apakah dia akan
tetap mau bersahabat denganku setelah pulang dari
pesantren? Pertanyaan bodoh itu terus terngiang-
ngiang di benakku.
Untuk menambah semangat belajarku, aku
sengaja membawa foto Faiz ke asrama. Dengan
begitu, aku akan merasa bahwa kami masih satu
sekolah. Saat menatap foto Faiz, aku ingin sekali
menangis karena teringat pada kejadian semalam.
Saat orang tuaku berpamitan pulang, aku
berusaha keras menahan tangisku. Aku harus mulai
bergaul dengan teman asrama. Aku merasa banyak

108
 

sekali perubahan yang kurasakan. Dulu, di SD, aku


dan teman-teman suka memberi julukan
sembarangan dan ejek-ejekan di dalam kelas. Kini,
kenangan itu tidak bisa terulang.
Pertama kali memasuki kelas baru, aku melihat
semua orang menampilkan raut wajah serius, seperti
tidak bisa diajak bercanda. Aku takut bergaul dengan
teman-teman baruku. Namun, aku tetap berusaha
mendekati mereka meski sifat mereka tidak seperti
teman-temanku di SD dulu. Tidak ada yang membuat
heboh; tidak ada yang menyanyi-nyanyi tidak jelas;
tidak ada pula yang suka bercanda di kelas. Ini
membuatku tidak betah bersekolah di sekolah
unggulan ini. Aku pasti akan merasa terkekang karena
dituntut untuk selalu serius belajar di sini.
Saat jam Olahraga, kami diberi tugas membuat
rangkaian gerakan senam secara berkelompok. Aku
sekelompok dengan orang-orang yang belum bisa
bercanda denganku. Di dalam kelompokku, ada
seorang anak laki-laki yang tingginya hampir sama
dengan Faiz. Aku jadi mengingat sahabatku itu,
apalagi ketika dia tidak bisa serius latihan senam. Dia
mengejek dan menjahiliku, membuatku berlari

109
 

mengejarnya. Ini mengingatkanku pada momen kejar-


kejaran dengan Faiz ketika kami berada di Bukittinggi.
Ah, aku sangat merindukannya.
Aku ingin Faiz berada di dekatku untuk
menyemangatiku belajar seperti dulu kembali. Karena
lelah, aku berhenti mengejar anak laki-laki itu.
Namun, dia malah mengajakku kembali latihan. Dia
mulai serius dengan gerakan yang kuajarkan. Saat aku
mempraktikkan gerakan senam, teman-teman
memperhatikanku dengan tatapan serius. Aku
menghentikan gerakanku dan meminta Chika, salah
satu anggota kelompokku, mengulangi gerakanku.
Saat aku memperhatikan Chika, seseorang mulai
mendekat dan mengajakku berkenalan.
“Hai, nama kamu siapa?” tanyanya.
“Oh, hai. Namaku Gadiza Aisyah, biasa dipanggil
Diza atau Dija,” jawabku.
“Namaku Nadia Akhila Putri, biasa dipanggil Nadia
atau Nanad.”
Aku terkejut mendengar namanya. Kukira dia
adalah sahabat baru Faiz. Namun, setelah kupandang
wajahnya dengan teliti, ternyata bukan dia orangnya.
Dia pun menanyakan alasanku kaget setelah

110
 

mendengar namanya. Aku pun menjawab bahwa


namanya hampir sama dengan nama temanku agar
dia tidak terlalu curiga.
“Oh, ya? Memangnya, nama teman kamu itu
siapa?” tanya Nadia.
“Namanya Nadia Atika Putri,” jawabku
“Iya, ya, beda nama tengahnya doang,” ujar Nadia.
Aku teringat kembali pada kejadian video call
malam itu. Air mataku mulai mengumpul, sepertinya
sebentar lagi akan menetes. Aku butuh teman untuk
menceritakan semua ini agar aku merasa lega.
Namun, aku takut orang tersebut akan mengadukan
hal ini kepada pembimbing dan aku mendapatkan
hukuman. Katanya, jika ketahuan berpacaran ataupun
berteman terlalu dekat dengan anak laki-laki, kami
akan diikat di tiang net bola voli dan diguyur air.
Hukuman tersebut membuatku semakin tidak betah
di sekolah ini.
Dulu ketika SD, bersahabat dengan anak laki-laki
dianggap sebagai hal yang wajar. Bahkan, sewaktu
SD, teman-teman suka saling menjodohkan teman di
kelas sebagai bahan candaan. Rasanya, aku ingin
kembali ke SD. Aku ingin lebih lama bersama Faiz.

111
 

Aku ingin lebih awal mengenalnya agar kami bisa


mengukir lebih banyak kenangan.
Hari ini adalah jadwal kunjungan. Orang tua akan
datang ke asrama untuk menjenguk anak mereka.
Aku tidak sabar memegang handphone-ku. Ketika
mama datang, aku langsung memeluknya dan
meminta handphone-ku yang tidak dapat kubawa ke
asrama. Aku langsung mengecek akun Instagram Faiz
untuk melihat postingan terbarunya. Ternyata, aku
tidak menemukan postingan baru. Aku pun
memutuskan untuk menelepon mama dan Papa Faiz.
Aku menanyakan kabar mereka sekaligus jadwal
kunjungan ke pesantren Faiz. Ternyata, mereka baru
akan berkunjung ke pesantren minggu depan. Aku
pun harus menunggu lebih lama lagi untuk melihat
wajah Faiz meski hanya melalui foto di media sosial.
Minggu berikutnya, aku kembali dikunjungi orang
tuaku. Di asramaku memang ada waktu kunjungan
setiap minggu. Seperti minggu lalu, aku menelepon
mama dan Papa Faiz. Mereka mengatakan bahwa
mereka sedang menunggu Faiz di luar asrama, tetapi
Faiz belum juga keluar.

112
 

Setelah beberapa menit, Papa Faiz mengajakku


video call dan aku menerimanya. Aku melihat Faiz di
sana. Dia mulai menyapaku. Namun, kali ini Faiz
menyapaku dengan mengucapkan nama, bukan
dengan sebutan “Adik” seperti biasanya. Mungkin,
Faiz sudah tidak menganggapku sebagai sahabatnya.
Walau begitu, aku tetap melanjutkan obrolan video
dengannya.
Selesai video call, aku mengunggah hasil rekaman
layar ke story media sosialku. Ternyata, story itu dilihat
Nadia. Aku beru teringat bahwa aku belum
menyembunyikannya dari Nadia. Saat membuka story
Nadia, aku baru tahu bahwa dia juga mengunggah
hasil screenshot video call bersama Faiz. Hal ini
membuatku patah samangat. Aku menyesal karena
tidak bisa satu sekolah dengan Faiz. Aku juga teringat
pada janji Faiz yang akan selalu menyemangatiku
meski dari kejauhan. Aku pun memblokir kontak
Nadia dan memutuskan untuk tidak terlalu
mengharapkan Faiz menepati janjinya.

***

113
 

Ketika libur panjang tiba, aku sangat bersemangat


untuk pulang. Aku memang sudah berusaha tidak
terlalu berharap pada Faiz, tetapi aku ingin bermain
ke rumah Faiz seperti saat kami kelas 6 dulu. Aku pun
memberi kabar kepada mama dan Papa Faiz bahwa
aku akan segera ke sana. Namun, mereka mengatakan
bahwa Faiz belum pulang bisa pulang dari pesantren.
Papa Faiz pun mengajakku ikut menjemput Faiz ke
Payakumbuh. Aku senang sekali. Aku akan tahu di
mana kampus Faiz berada. Aku mengajak Anika ikut
bersamaku dan dia mau.
Selama di perjalanan, Anika banyak bercerita,
mengajakku berfoto bersama, dan tertawa
bersamaku. Ketika kami sampai di kampus Faiz, Anika
tercengang. Kampus Faiz begitu besar. Dia langsung
mengunggah Insta-story. Aku meledeknya karena
baru pertama kali pergi ke Payakumbuh. Dia tertawa
dan mengatakan bahwa udara di sini sejuk. Dia
memang baru pertama kali datang ke kota ini.
Saat Faiz keluar dari asrama, dia langsung menuju
mobil. Dia kaget saat melihat aku dan Anika berada di
sana. Aku malu bertemu dengan Faiz sehingga aku
hanya diam. Sementara itu, Anika menyapa Faiz

114
 

seperti biasa. Faiz membalas sapaan itu, kemudian


duduk di sampingku. Aku melihat wajah Faiz sedikit
berubah. Dia semakin tampan dan putih. Sayangnya,
tinggi badannya masih belum bertambah.
Selama di perjalanan, aku sama sekali tidak
berbicara dengan Faiz, berbeda dengan Anika yang
selalu memiliki pertanyaan untuk dilontarkan pada
Faiz. Aku hanya menyimak obrolan mereka. Obrolan
itu terhenti saat Anika terkagum-kagum saat melihat
lembah-lembah disertai air terjun. Anika senang sekali
melihat pemandangan tersebut. Dia pun sibuk
memotret pemandangan indah itu.
“Ya ampun, Nik, kamu norak banget, ih. Seperti
nggak pernah lihat pemandangan aja,” ejekku sambil
tertawa.
“Ya, iyalah. Aku kan baru kali ini ke sini. Kapan-
kapan ajak aku ke sini lagi, ya, hehe,” jawab Anika.
Aku tertawa melihat kepolosan Anika. Bisa-bisanya
dia mengatakan hal itu di depan Faiz dan papanya.
Walaupun dia cerewet, aku sangat menyayanginya.
Dialah yang selalu bisa menghibur ketika aku sedih.

115
 

Saat kami berhenti untuk makan, Papa Faiz


membuka handphone miliknya. Aku tak sengaja
melihat Papa Faiz sedang membalas pesan dari Nadia.
“Jadi, selama Faiz di pesantren, Papa yang balas
pesan Nadia?” tanyaku kepada Papa Faiz.
“Iya, Diza. Kalau nggak dibalas, dia akan marah
pada Faiz,” jawab Papa Faiz.
Aku pun iseng membuka akun Faiz. Tiba-tiba ada
notifikasi masuk dari Nadia. Aku hanya membaca
pesan itu karena bingung harus menjawab apa. Tak
lama kemudian, ada pesan masuk lagi dari Nadia.
Dalam pesan itu, Nadia mengatakan bahwa Faiz tidak
peduli lagi kepadanya dan dia ingin memutuskan
hubungan persahabatan mereka. Aku terkejut dan
langsung memberitahukan hal ini pada Faiz. Namun,
Faiz tidak peduli. Aku pun menceritakan masalah ini
kepada Papa Faiz.
“Kalau itu maunya, ya, gimana lagi? Itu haknya.
Lagian, Faiz juga udah nggak peduli, Diza,” ujar Papa
Faiz. Aku sedikit bahagia mengetahui hal ini karena
aku dan Faiz bisa memperbaiki hubungan
persahabatan ini. Anika turut senang melihatku
tersenyum kembali.

116
 

“Berarti kamu bisa bersahabat dengan Faiz lagi,


Diza,” ujar Anika.
Awalnya, aku memang bahagia mengetahui hal
ini. Namun, lama-kelamaan aku juga sedih. Walaupun
kini Faiz tidak lagi bersahabat dengan Nadia, apakah
dia masih akan setia bersahabat denganku? Aku
yakin, perjuanganku mempertahankan persahabatan
kami akan sia-sia seperti dulu. Lagi pun, jika ketahuan
bersahabat dengan laki-laki, aku pasti akan mendapat
hukuman di asrama. Aku mengatakan ketakutanku ini
kepada Anika.
Hari-hari berikutnya, Faiz mulai memperlihatkan
kepeduliannya padaku seperti dulu. Aku mulai
mengharapkan persahabatan kami kembali. Di sisi
lain, aku juga sadar, hal itu tidak akan mungkin. Saat
aku sedang berdua dengan Faiz, aku mulai
menanyakan banyak hal kepadanya, asramanya,
sekolahnya, dan sebagainya. Namun, Faiz hanya
menjawab dengan ekspresi wajah datar.
Aku pun beranjak melihat foto-foto yang
terpajang di ruang tamu rumah Faiz. Dulu, kami
pernah mencetak foto keluargaku bersama keluarga
Faiz, kemudian memajangnya di ruang tamu. Namun,

117
 

hari ini aku tidak menemukan foto itu. Ternyata, foto


itu telah tergantikan oleh foto Faiz berdua dengan
Nadia.
“Kenapa foto keluarga kita nggak dipajang lagi,
Pa?” tanyaku kepada Papa Faiz.
“Mungkin jatuh atau apa gitu. Ya udah, Diza,
pasang aja fotonya,” jawab Papa Faiz yang sedang
sibuk membalas pesan orang-orang melalui
handphone-nya.
Aku berusaha mengintip, ternyata Papa Faiz
sedang membalas chat dari seorang perempuan
bernama Selvi Savana Putri di akun Faiz. Aku langsung
mencari akun tersebut dan mengirim pesan untuknya.
Ketika dia membalas, aku langsung bertanya, apakah
dia mengenal Faiz. Ternyata, dia adalah teman baru
Faiz.

***
Hari demi hari berlalu. Aku iseng melihat story
Nadia, ternyata dia sudah punya sahabat baru. Aku
senang karena Nadia sudah menemukan sahabat
baru, yang tampak sangat serasi dengannya. Aku pun

118
 

menunjukkan foto sahabat baru Nadia kepada Faiz,


tetapi Faiz hanya memasang raut wajah biasa saja.
“Masih ganteng Faiz,” katanya.
Aku hanya tersenyum sambil melihat story Nadia
lainnya. Tiba-tiba aku teringat pada Selvi. Aku yang
kepo pun mencoba stalking Selvi menggunakan akun
palsuku. Ternyata, dia masih kelas 6 SD, setahun lebih
muda dibandingkan aku. Dia lumayan cantik dan
tinggi. Rambutnya pirang dan panjang. Rumahnya
tidak terlalu jauh dari rumahku dan rumah Faiz.
Setelah stalking, aku mendapatkan informasi bahwa
dia juga punya akun Tiktok. Aku langsung mengecek
akun miliknya. Aku melihat banyak video berisi
kompilasi foto Faiz yang diiringi lagu-lagu romantis,
layaknya video remaja zaman sekarang. Aku hanya
tersenyum kecil karena tahu bahwa semua ini
hanyalah candaan.
Pada hari berikutnya, aku bermain bersama
teman-temanku. Saat mengecek handphone, aku
melihat ada ratusan notifikasi dari Nadia. Dia memberi
tahuku bahwa Faiz sedang dekat dengan Selvi. Aku
hanya tertawa karena aku sudah tahu sebelumnya.
Aku juga tahu kalau itu hanya candaan. Namun, Nadia

119
 

berusaha meyakinkanku bahwa mereka benar-benar


berhubungan baik. Aku mengiyakan perkataan Nadia
agar dia senang.
Nadia terus berusaha meyakinkanku bahwa Selvi
dan Faiz benar-benar memiliki kedekatan yang tak
biasa. Dia mengirimkan screenshot story Selvi yang
isinya rekaman video call dengan Faiz. Aku kaget dan
segera membuka story WhatsApp Selvi. Ya, memang
ada rekaman video call mereka berdua dalam story
itu.
Tak lama kemudian, Selvi menghapusnya.
Sepertinya, dia terkejut saat mengetahui aku melihat
story-nya. Walau begitu, aku tetap tidak percaya kalau
mereka benar-benar dekat. Untung saja, aku sudah
menyimpan story Selvi. Aku menontonnya berulang
kali. Aku masih berharap itu merupakan video editan.
Ternyata, mereka memang melakukan video call. Aku
semakin tidak percaya diri bisa bersahabat lagi
dengan Faiz. Sekalipun kami masih dekat, rasanya
tidak bisa seakrab dulu.
Seketika, aku badmood. Aku tidak ingin bertemu
lagi dengan Faiz. Aku sudah berkali-kali berusaha
menjauh dari Faiz, tetapi tidak bisa, mungkin karena

120
 

aku terlalu menyayanginya. Aku termenung sejenak


dan berusaha membangkitkan semangatku. Sampai
akhirnya, aku berjanji tidak akan menyerah
memperbaiki hubungan persahabatanku dengan Faiz.
Aku pun mulai mendekati Faiz. Awalnya, dia masih
cuek kepadaku, tetapi aku tidak peduli. Ketika dia
mendapatkan banyak tugas dari sekolah, aku
membantunya mengerjakan tugas. Walau tidak
semua bisa kukerjakan, setidaknya bantuanku bisa
meringankan tugas Faiz. Lama-kelamaan, Faiz mulai
terbiasa mengerjakan tugas bersamaku lagi. Dia mulai
sering memintaku datang ke rumahnya untuk
membantunya mengerjakan tugas.
Aku tahu, banyak tetangga Faiz yang
membicarakanku. Namun, Mama Faiz mengatakan
bahwa kita tidak perlu mendengarkan omongan
orang lain. Selama kita berbuat baik, kita tidak perlu
takut. Aku pun sama sekali tidak memedulikan
omongan tetangga Faiz. Toh, aku ke sana hanya
untuk membantu Faiz mengerjakan tugas.
Saat aku menjelaskan meteri pelajaran yang Faiz
tidak mengerti, tiba-tiba dia tertawa. Aku bingung
kenapa dia tertawa, tapi dia mengatakan bahwa dia

121
 

tiba-tiba ingin tertawa saat melihat wajahku. Ketika


Faiz mengerjakan latihan soal, aku membuka akun
Faiz. Ini memang sering kulakukan dan Faiz tidak
keberatan. Di akun itu, tidak ada chat dengan Selvi.
“Faiz, kok nggak pernah chat Selvi, sih?” tanyaku
sambil memperlihatkan akun Faiz.
“Nggak, ah. Nggak ada gunanya, lagian Faiz
banyak tugas,” jawabnya.
“Faiz sebenarnya sayang nggak sih pada Selvi? Kan
kalian sahabatan,” tanyaku kembali.
“Hmm, nggak. Faiz nggak sedeket itu dengan
Selvi. Saat itu, cuma video call. Faiz menganggap dia
sebagai teman,” ujar Faiz. Aku senang mendengar
jawaban Faiz. Aku pun melanjutkan belajar
dengannya.
Saat Papa Faiz datang, Faiz minta pendapat
papanya, bagaimana jika dia jujur saja kepada Selvi.
Faiz ingin Selvi bahagia dan bisa menemukan sahabat
baru. Selama ini, Faiz pun tidak pernah berkomunikasi
dengan Selvi. Papa Faiz mengangguk. Faiz pun segera
mengirim pesan kepada Selvi. Namun, Selvi menolak
memutuskan hubungan pertemanan mereka. Dia

122
 

merasa menyayangi Faiz meski Faiz selalu cuek


kepadanya.
“Ya Allah, Faiz sudah secuek itu saja masih
dipertahankan. Memang susah ternyata mendapatkan
hati Faiz,” batinku.
“Ya udah Faiz, biarkan saja. Nanti dia juga bosan
sendiri,” ujar Papa Faiz. Faiz hanya mengangguk,
kemudian melanjutkan belajar bersamaku.

***

123
 

Bagian 11
Tangga Rapuh
yang Menguatkan

A
ku mulai terbiasa dekat dengan Faiz. Aku
mulai memperlihatkan perhatianku untuk
Faiz. Dia juga mulai terbiasa. Sampai akhirnya,
dia terbiasa berkirim pesan denganku. Saat itu, dia
mengucapkan salam melalui pesan singkat. Aku
menjawabnya seperti biasa dan kami asyik berbalas
pesan. Ketika cukup lama saling berbalas pesan, dia
mulai memanggilku dengan sebutan “Adik”. Namun,
dia mengatakan kalau dia hanya salah ketik.
Aku tertawa karena tingkah lucu Faiz. Kupikir, dia
masih menyayangiku seperti dulu. Namun, aku
berusaha tampak biasa saja. Aku mengelak dengan
mengatakan kekhawatiranku terhadap Selvi, yang
mungkin nanti akan cemburu. Faiz menjawab bahwa
dia tidak memiliki kedekatan dengan Selvi
sebagaimana aku dekat dengannya dulu. Dia juga

124
 

mengatakan bahwa dia sama sekali tidak memiliki


perasaan khusus untuk Selvi.
Saat aku main ke rumahnya untuk minta bantuan
mengerjakan tugas, dia terlihat sangat gembira. Dia
pun menolongku menyelesaikan tugas. Ketika aku
sibuk menulis, dia meminjam handphone-ku. Tiba-tiba
dia tertawa kecil, lalu mengembalikan handphone-ku.
“Kok wallpaper-nya diganti foto Faiz, sih?” tanyaku
yang menyadari perubahan wallpaper handphone-ku.
Sebelumnya, aku memasang fotoku sendiri sebagai
wallpaper.
“Nggak apa-apa, dong. Faiz kan ganteng,” ujarnya.
Aku hanya tertawa dan membiarkan foto Faiz
terpajang di layar handphone-ku.
Saat aku sedang asyik memainkan handphone,
Faiz menempelkan kertas kecil di keningku. Dia
melarangku melepaskan atau membacanya. Karena
aku sangat kepo dengan tulisan yang dibuat Faiz, aku
nekat melepaskan kertas itu dari keningku. Ketika aku
ingin membacanya, Faiz langsung merebut kertas itu,
lalu membuangnya. Dia mengatakan bahwa tidak ada
tulisan apa pun di kertas itu. Namun, aku sama sekali
tidak memercayai perkataan Faiz.

125
 

Saat Faiz keluar dari ruang belajar, aku mencari-


cari kertas tersebut. Akhirnya, aku menemukannya.
Aku pun segera membacanya. Ternyata, di sana
tertulis I Love .... Aku senang mendapatkan kertas
tersebut dari Faiz walaupun Faiz tidak menuliskan
nama siapa pun di sana.
Ketika keluar dari kamar, aku melihat Faiz sedang
bermain game. Dia mempersilakanku duduk di
sampingnya. Dalam situasi seperti ini, aku teringat
pada kenangan kami. Tampaknya, dia masih
menyayangiku seperti dulu, tapi entahlah.
Tiba-tiba Faiz memintaku mengajarinya bermain
game. Aku dengan senang hati mengajarinya. Dia pun
mengucapkan terima kasih kepadaku. Dia mengakhiri
ucapannya dengan panggilan “Sayang”. Aku tertawa.
“Ada-ada saja,” ujarku. Faiz pun ikut tertawa dan
mengatakan bahwa dia hanya bercanda.
Saat malam tiba, aku diajak mama dan Papa Faiz
untuk makan malam di sana. Awalnya, aku menolak
karena aku tidak diperbolehkan keluar sampai
semalam ini. Namun, Faiz terus membujukku. Dia
mengatakan rumah itu akan berubah sepi apabila
tidak ada aku. Ditambah lagi, Varlan, adik Faiz, suka

126
 

bermain denganku. Aku pun segera meminta izin


kepada mama dan papaku di rumah.
Sesampai di rumah, aku tidak melihat papaku.
Kata mama, papa sedang ada keperluan di luar. Aku
meminta izin kepada mamaku untuk makan malam di
rumah Faiz. Mama mengizinkanku.
Ketika aku sedang bermain dengan Faiz dan Fari,
mama menelepon dan memintaku segera pulang.
Yah, padahal aku belum makan malam bersama
keluarga Faiz. Kata mama, papaku marah karena aku
masih pergi main malam-malam begini. Aku pun
segera pulang.
“Anak gadis kok keliaran malam-malam begini.
Nanti tetangga mengira kamu nggak diurus oleh
orang tua. Kamu mau mempermalukan Papa?” tanya
papaku dengan nada tinggi setibaku di rumah.
Aku hanya terdiam, lalu berlari ke dalam kamar.
Aku mendengar papaku di luar sana mengatakan
ketidaksukaannya pada Faiz. Kurasa, papaku kesal
karena aku lebih banyak menghabiskan waktu
bersama keluarga Faiz. Aku bermain ke rumah Faiz
karena mama dan papaku selalu sibuk bekerja.

127
 

“Mulai sekarang, hanya boleh main ke rumah Faiz


dua hari sekali. Kalau kamu tetap mau main tiap hari,
nggak akan Mama bolehin lagi ke sana!” bentak
mamaku.
“Kok Mama tiba-tiba marah, sih?”
“Udahlah, jangan jawab terus!” bentak mamaku
lagi.
Aku bingung, setiap aku dekat dengan keluarga
Faiz, kenapa selalu ada yang tidak suka. Aku sedih
karena keluargaku dan keluarga Faiz tampaknya tidak
dapat bersatu lagi. Aku tidak ingin dua keluarga ini
memutuskan komunikasi. Namun, itulah yang kini
mulai terjadi. Kedua keluarga ini tidak pernah lagi
liburan bersama. Mereka tidak bisa seakrab dulu lagi.
Aku pun memandangi foto dua keluarga ini dan
mengingat kenangan indah kami.
Dua hari dikurung di rumah membuatku semakin
tidak betah diam di rumah. Hari ini, aku diizinkan
bermain ke rumah Faiz. Aku langsung menuju rumah
Faiz dan meminta maaf karena tidak bisa sering-
sering main ke sana. Faiz memaafkanku, tetapi tak
lama kemudian dia meninggalkanku. Dia beralasan
akan bermain bersama teman-temannya.

128
 

“Eh, Faiz mau ke mana? Ini ada Diza di rumah, lho.


Masa kamu tinggalin begitu aja?” tanya Mama Faiz.
“Diza main dengan mama aja. Faiz mau main bola
dengan teman-teman,” jawab Faiz sambil berjalan
meninggalkan rumah.
Faiz begitu cuek setelah aku tidak bermain
bersamanya selama dua hari terakhir. Mood Faiz
memang selalu berubah-ubah. Mungkin, hari ini dia
sedang tidak ingin bermain denganku.
Dua hari berikutnya, aku kembali ke rumah Faiz.
Namun, Faiz sama sekali tidak menghiraukan
kehadiranku. Dia sama sekali tidak peduli, tidak
seperti hari-hari sebelumnya, ketika dia selalu
bermain bersamaku. Aku sadar, aku bukan sahabat
Faiz lagi. Jadi, wajar kalau Faiz cuek. Semua itu
terserah padanya.
Saat senja tiba, aku pamit pulang. Sesampai di
rumah, aku langsung masuk ke kamar, kemudian
memainkan handphone-ku. Aku mendapat notifikasi
dari Faiz dan segera membacanya. Pada saat yang
sama, papaku, yang sedang bersantai di ruang tamu,
menyuruhku membuatkannya secangkir kopi. Aku
menolak karena masih capek.

129
 

“Kalau disuruh Papa Faiz, cepat kamu kerjakan.


Kalau papa minta tolong sedikit saja, kamu tidak
mau,” sindir papaku.
Aku tidak mengerti mengapa papa tiba-tiba
membandingkan dirinya dengan Papa Faiz. Jika aku
tidak capek, aku pasti dengan senang hati
membuatkan kopi papa. Aku semakin merasa papa
tidak bisa mengertiku. Aku pun mengunci pintu
kamar dan tidak memedulikan perkataan papa tadi.
Aku senang karena Faiz mulai mengirim pesan lagi
untukku. Dia memanggilku dengan sebutan “Adik”
seperti saat itu. Aku tahu, dia hanya bercanda.
Makanya, aku tidak baper. Dia mulai membicarakan
soal SMA. Dia mengatakan keinginannya untuk satu
sekolah denganku saat SMA. Dia ingin sukses
bersamaku.
Saat obrolan tentang SMA berakhir, aku mulai
menanyakan siapa orang yang disayangi Faiz
sebenarnya karena dia punya banyak sekali teman
perempuan. Dia menjawab bahwa dia akan memilih
orang yang tepat sewaktu SMA nanti.
“Nanti kalau Faiz naksir orang itu, bilang Diza, ya,
biar Diza bantu deketin,” kataku dalam chat.

130
 

“Hmm, tidak perlu susah-susah. Orang yang Faiz


pilih udah ditentuin,” balas Faiz.
“Hah, maksudnya?”
“Hmm, lupakan,” jawab Faiz.
Mungkin aku terlalu berharap, tapi menurutku dia
akan memilihku. Aku dengan bangganya langsung
mengambil screenshot isi chat tersebut dan
mengunggahnya ke story. Story tersebut langsung
ditonton oleh Selvi. Mungkin karena merasa cemburu,
Selvi memblokir kontak Faiz. Aku tahu hal itu dari Faiz.
Faiz malah senang jika Selvi menjauh darinya.
Setelah kejadian itu, Faiz mulai cuek lagi padaku
walau terkadang masih menunjukkan perhatian. Saat
diminta mengirim video saat menghafal Al-Qur’an, dia
meminta bantuanku. Aku bertugas merekamnya
sedang membacakan ayat Al-Qur’an. Dia melakukan
beberapa kesalahan saat membaca, lalu tertawa.
Setelah mendapatkan video yang paling baik, yang
mana dia lancar membaca ayat tersebut, dia langsung
mengirimkan video itu kepada ustadznya. Aku iseng
mengedit video Faiz yang sedang tertawa, kemudian
mengunggah video tersebut. Ketika Selvi melihatnya,
dia menyindirku melalui story-nya.

131
 

“Teman kok nikung.” Begitu tulisnya dalam story.


Aku tertawa membaca kalimat itu karena akulah
yang lebih dahulu mengenal Faiz. Aku langsung
mengomentari story tersebut. Aku mengatakan bahwa
aku adalah saudara Faiz. Dia berusaha mengelak
dengan mengatakan bahwa story tidak diunggah
untuk menyindirku. Aku yakin bahwa dia sangat kesal
kepadaku, tetapi takut mengatakan hal sejujurnya
kepadaku.
Hari demi hari telah kulewati bersama Faiz. Lama-
kelamaan, aku mulai akrab dengan Nadia dan Selvi.
Mungkin, aku memang tipe orang yang mudah akrab
dengan orang lain. Ketika Selvi berada di warung
sebelah rumah Faiz, aku menyuruhnya mampir ke
rumah Faiz. Dia menolak karena merasa malu dengan
keluarga Faiz. Meski dia bukan lagi sahabat Faiz, aku
tetap mendesaknya ke sana. Namun, Selvi tetap
menolak, lalu pergi.
Aku segera memberitahukan hal ini kepada mama
dan Papa Faiz. Mama dan Papa Faiz pun menyuruhku
mengajak Selvi ke rumah Faiz besok. Aku langsung
mengirim pesan kepada Selvi yang mengatakan
bahwa dia diminta ke rumah Faiz besok.

132
 

Keesokan harinya, Selvi datang. Awalnya, dia malu


masuk rumah. Faiz pun malu bertemu dengan Selvi.
Aku menyuruh Faiz duduk di dekat Selvi, tetapi Faiz
menolak dan duduk di sampingku. Aku menyuruh
Selvi bersalaman dengan Faiz. Ketika mereka
bersalaman, aku meledek mereka.
“Cie, cie….” ucapku
Faiz memarahiku dan mengatakan bahwa mereka
tidak ada hubungan apa-apa. Selvi hanya tersenyum.
Aku berusaha membuat mereka berdua akrab. Aku
juga menyuruh mereka berfoto bersama sebagai
kenang-kenangan. Mereka pun setuju. Sayangnya,
mereka tidak mau berdekatan. Selesai foto, Papa Faiz
menyuruhku berfoto berdua dengan Faiz. Aku senang
karena ini akan menjadi foto pertamaku dengan Faiz
setelah bersekolah di tempat yang berbeda.
“Sekarang, tinggal Bunga dan Nadia yang belum
foto dengan Faiz,” kata Papa Faiz.
“Nadia jauh, Pa. Gimana kalau besok dengan
Bunga saja?” usulku. Papa Faiz menyetujuinya dan
meminta Selvi bermain ke sini lagi besok.
Keesokan harinya, aku menjemput Bunga untuk
bermain ke rumah Faiz. Sesampai di sana, Bunga

133
 

malu-malu bertemu Faiz. Aku juga menyuruh mereka


bersalaman.
Ketika semua sudah berkumpul, Papa Faiz
mengajak kami berfoto bersama. Faiz tertawa dan
mengatakan kalau dia seperti playboy karena
dikelilingi sahabat-sahabat perempuannya. Aku
meminta Faiz mentraktir kami milkshake. Faiz setuju
dan membelikan milkshake untuk kami.
Setelah lama di sana, Papa Faiz mengajak kami
video call dengan Nadia. Saat Nadia mengangkat
video call, dia menangis karena tidak bisa ikut kami
berkumpul. Saat itu juga, Papa Faiz menyatakan
bahwa mulai hari ini semuanya menjadi saudara Faiz.
Aku senang. Bunga, Selvi, dan Nadia pun demikian.
Papa Faiz mengatakan bahwa urusan “suka-sukaan”
dihentikan mulai saat ini. Jadi, tidak boleh ada rasa
cemburu di antara kami berempat. Jujur, di dalam
hatiku, aku masih tidak bisa berhenti menyayangi Faiz.
Namun, aku harus menyembunyikan semua perasaan
ini. Aku harus memendamnya hingga aku besar nanti.
Sebenarnya, aku juga masih ingin bertanya, siapa
di antara kami berempat yang masih Faiz sayangi. Aku
menganggap bahwa akulah orangnya. Selama ini,

134
 

bagaimanapun keadaannya, Faiz selalu bersamaku.


Susah ataupun senang dilaluinya bersamaku. Aku
tidak akan pernah berhenti menyayangi orang yang
kuanggap sahabat sejatiku ini.

***
Saat aku sudah mulai jarang bermain dengannya,
aku iseng membuka akunnya dan menemukan chat
dia dengan Bunga. Dia tampak kembali akrab dengan
Bunga. Dia menanyakan kabar Bunga, sekolah Bunga,
semua tentang Bunga. Dari chat ini, aku mulai
menyadari bahwa sahabat sejati Faiz adalah Bunga,
bukan aku. Buktinya, saat bersamaku, dia selalu
tampak kesal. Dia tidak suka jika aku
mengganggunya. Sementara itu, ketika dengan
Bunga, dia selalu ramah bahkan sering menggunakan
kata-kata manis.
Suatu hari, aku sengaja bermain ke rumah Faiz
untuk melihat keseharian Faiz. Aku melihatnya
mengukir namaku di dekat akuarium. Aku tersenyum
karena dia maasih mengingatku. Saat itu juga, Papa
Faiz memanggil dan mengajakku berbicara.
“Diza benar-benar sayang Faiz?” tanya Papa Faiz.

135
 

“Iya, Pa, Diza sayang Faiz,” jawabku.


“Kenapa kamu masih mengharapkan
persahabatan dengan Faiz?” tanya Papa Faiz.
“Diza juga nggak tahu, Pa. Tanpa Faiz, semangat
belajar Diza menghilang. Tanpa Faiz, Diza tidak bisa
merasa bahagia,” ujarku sambil tersenyum kecil.
Tanpa kusadari, aku mulai meneteskan air mata.
Papa Faiz memberiku support. Papa Faiz mengatakan
bahwa selama ini beliau berusaha mendekatkan Faiz
dengan teman-teman perempuanku yang lain untuk
menguji kesetiaanku sebagai sahabat. Papa Faiz
hanya ingin tahu apakah aku benar-benar serius
bersahabat dengan Faiz. Papa Faiz ingin menemukan
seseorang yang serius dan tulus bersahabat dengan
Faiz, tidak untuk bermain-main saja.
“Kamu adalah perempuan yang rapuh, Diza.
Namun, keinginanmu yang kuat membuatmu kuat
pula. Persahabatan kalian telah Faiz khianati, tetapi
kamu masih saja memaafkan Faiz. Kamu sering dihina,
tetapi kamu masih menyayanginya. Kamu adalah
orang yang luar biasa,” puji Papa Faiz.
Aku menangis mendengar perkataan Papa Faiz.
Aku tidak menyangka bahwa selama ini aku hanya

136
 

diuji dan aku berhasil melewati berbagai rintangan


itu. Papa mengatakan, kalau orang lain berada di
posisiku, dia mungkin akan mencari pengganti Faiz.
Papa Faiz mengatakan bahwa Faiz masih belum
terlalu memahami makna persahabatan sehingga dia
masih kurang menghargaiku. Dia tidak mengetahui
bahwa ada orang yang mau menerimanya dengan
sangat tulus.
“Intinya, jangan lepaskan Faiz jika kamu ingin
selalu bersahabat dengannya. Jika suatu saat ternyata
kalian berjodoh, wah, kalian adalah pasangan yang
luar biasa,” ujar Papa Faiz.
Aku mendengarkan Papa Faiz dengan baik walau
aku tahu sampai hari ini Faiz masih menyayangi
Bunga. Aku sering menyimak chat mereka berdua.
Walau begitu, aku tidak patah semangat untuk
mempertahankan persahabatanku dengan Faiz. Di sisi
lain, aku harus mulai belajar ikhlas apabila Faiz
memang lebih nyaman bersahabat dengan orang lain.
Meski semua itu menyakitkan, aku yakin, jika dia
memang ditakdirkan bersahabat denganku, dia pasti
akan kembali padaku.

137
 

Biarlah hari ini aku menahan sakit melihat


kedekatan mereka berdua. Suatu saat nanti,
kebahagiaan pasti akan berpihak kepadaku.
Kebahagianku sesungguhnya adalah Faiz.
Perjuanganku mempertahankan persahabatan
dengan Faiz membuat Papa Faiz memberiku gelar
“Tangga Rapuh yang Menguatkan”. Meski aku belum
berhasil, kuharap Faiz bisa menyadari bahwa sahabat
sejatinya adalah aku. Aku akan menunggu Faiz
menyadari semua ini secara perlahan.

***
Aku tidak percaya cinta itu bahagia melihat orang
lain bahagia. Namun, aku percaya, cinta itu belajar
ikhlas melihat orang lain bahagia.

138
 

Profil Pengarang

Assalamu’alaikum w.w.
Hai! Namaku Maulidya Anggraini.
Kalian bisa memanggilku Maul. Jika
kalian merasa aneh dengan nama
panggilan itu, kalian juga boleh
memanggilku Lidya. Aku lahir di
Kabupaten Dharmasraya, 18 April 2007. Aku anak
kedua dari dua bersaudara. Saat ini, aku duduk
bangku kelas 7 MTsN Ganting, Padang Panjang.
Hobiku sejak kecil adalah bernyanyi. Walaupun
suaraku tidak semerdu suara orang lain, tetapi aku
tetap menikmati setiap lagu yang kunyanyikan. Cita-
citaku belum menentu, terkadang aku ingin menjadi
dosen; terkadang ingin menjadi ustadzah; bahkan
terkadang ingin jadi Youtuber.
Aku pernah menorehkan beberapa prestasi, di
antaranya Juara 2 Video Reportase tingkat Kabupaten,
Juara 3 Lomba Cerdas Cermat tingkat Kabupaten,

139
 

Juara 1 MTQ Cabang Tilawah tingkat Kecamatan, dan


selalu menjadi bintang kelas sejak kelas 1 SD.
Jika kalian ingin mengenalku lebih lanjut, kalian
bisa follow akun Instagram-ku: @Iyaaa1502 dan
@Ccp_Lidya23.

140

Anda mungkin juga menyukai