Anda di halaman 1dari 9

Ketika Aku dan Kamu Menjadi “Kita”

(Ayu Rosi)

Sejak saat itu aku merasa muak dengan kata sekolah, entahlah, mungkin karena aku terlalu mengambil hati
dan merasa tidak dihargai berada dalam lingkungan mereka.
“Kilaa, kamu kemana saja? Sudah 2 hari kamu tidak masuk sekolah” tanya Ibu Ida yang merupakan wali
kelasku. “Saya?, ya di rumah Bu,” jawabku singkat. “Kalo kamu di rumah, kenapa orang tuamu tidak
memberitahu ibu seperti biasa?” jelas Ibu Ida. “Saya yang minta Bu,” singkatku “Mau saya telepon orang
tuamu?” ancam Bu Ida. Saat itu aku hanya memandangi langit-langit ruangan kantor, seandainya yang ada
di hadapanku bukanlah orang tua pasti aku akan lawan dan mengelak. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”
tanya Ibu Ida lagi. “Ya bu, saya berbohong dan saya minta maaf, saya bolos tanpa sepengetahuan orang tua
saya.”
“Ada alasan apa kamu berani bolos seperti itu? Yang Ibu lihat sih kamu sedang ada masalah, kamu itu baru
sebulan sekolah di sini dan masih kelas 10 tapi sudah berani bolos,” ucap Bu Ida. “Saya baik-baik saja kok
Bu. Lagi malas aja, hehe,” kujawab Bu Ida dengan berbohong. “Ibu bisa baca tatapan matamu yang
berbohong Kila, cerita saja sama Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu toh.” Aku pun menceritakan apa yang sedang
kualami saat ini, merasa tidak dihargai dan dikucilkan karena aku berbeda dengan mereka. Perbedaan
membuat mereka tidak menghargaiku, mereka berbicara seenaknya dan tidak memikirkan bagaimana
perasaanku.
Terkadang aku hanya diam dan mencoba untuk bersabar, tapi rasanya kesabaran itu hilang ketika mereka
benarbenar tidak menganggapku lagi. “Kenapa kamu mengambil hati? Mungkin mereka hanya ingin
bercanda dan ingin dekat denganmu,” jelas Bu Ida. “Bercanda gak harus kaya gitu kan Bu? Mereka
keterlaluan Bu, kadang mereka membicarakan aku dibelakang dan suka mengejekku.” “Ya memang, tapi
tidak semua seperti itu, karena masih ada kok yang berteman sama kamu. Kamu hanya melihat sebelah mata
Kila, cobalah lihat yang lain.” “Iya Bu ada, tapi saya jera dengan ledekan-ledekan seperti itu.
Ada beberapa yang membuat saya jadi malas. Pertama, ada Joko yang suka menganggap dirinya paling
benar Bu, dia kayanya benci Bu sama saya. Setiap saya ajak bicara dia selalu tertawa dan tidak menganggap
saya. Kedua, Lita dia terkadang baik sekali tapi dia tiba-tiba berubah judes kalau sudah bergabung dengan
teman-temannya. Yang terakhir ada Bani yang suka menyontek sama saya Bu. Tapi dia tidak pernah bilang
terima kasih sama saya Bu,” jelasku lagi supaya Bu Ida mengerti akan persoalanku. “Nanti Ibu akan panggil
siapa yang meledek kamu tadi. Sekarang Ibu harap kamu jangan malas untuk ke sekolah dan kamu harus
fokus mengikuti setiap pelajaran yang ada. Kamu itu pintar jadi sayang kalo disia-siakan. Mengerti? Nanti
ibu akan minta penjelasan sama mereka sekarang kamu boleh kembali ke kelas,”
Bu Ida mencoba menenangkanku dan memberi saran yang baik. Setelah aku pikir-pikir lagi tidak ada
salahnya jika aku menuruti saran yang Ibu Ida berikan. “Baik Bu, saya minta maaf karena sudah bolos
sekolah, saya tidak akan mengulanginya lagi Bu,” balasku dengan kepala tertunduk. Aku pun kembali ke
kelas, seperti biasa aku hanya duduk diam dan mendengarkan penjelasan dari guru. * * * Beberapa jam
kemudian. “Permisi, maaf bu saya ada perlu dengan Kila.” Seorang lakilaki yang meminta ijin pada guru
kami untuk memanggilku karena ada keperluan. Aku pun keluar sembari memikirkan apa yang akan terjadi.
Entahlah. “Ada apa ya?” tanyaku saat di depan kelas. “Ikut aja ayo, Bu Ida panggil kamu,” jawabnya
singkat. Aku pun mengikuti laki-laki itu dan melihat lebih jelas, sontak aku teringat bahwa dia adalah salah
satu siswa yang sering kali menggangguku. “Selamat siang Bu. Ini Kilanya sudah datang,” sapanya. “Ya,
duduk kalian berdua, sebentar Ibu panggilkan yang lainnya,” seru Bu Ida. Kami hanya mengangguk dan
duduk manis sambil menunggu Bu Ida memanggil yang lainnya, entah siapa, melalui telepon. Tidak lama
kemudian datang segerombolan orang-orang yang selama ini aku tidak sukai, orang-orang yang selalu
menggangguku karena sebuah perbedaan. “Ya, karena kalian sudah berkumpul disini, Ibu mau bertanya
terlebih dahulu kepada Joko,” seru Bu Ida memulai percakapan serius kami.
“Saya bu? Ada apa dengan saya?” Joko kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya
tidaklah gatal. “Joko, kamu kenal perempuan yang di sebelah kamu?” “Ya kenallah Bu, dia kan teman
sekelas saya.” “Apa kamu merasa ada yang salah antara kalian berdua?” tanya Bu Ida lagi. “Emmm...” Joko
mulai berpikir. “Saya pikir tidak ada Bu, saya berteman baik dengan Kila, iya kan Kila?” jawab Joko dan
aku hanya melihatnya dengan wajah kebingungan. “Sekarang Ibu tanya kalian berdua, Lita dan Bani. Kalian
juga kenal kan sama Kila?” Ku lihat mereka hanya tersenyum sinis dan mengiyakan pertanyaan Bu Ida. “Ibu
kenapa sih nanya-nanya gitu? Kami kan sekelas Bu, ya pasti kami kenal lah, hehhe,” jawab Lita yang sedikit
kesal. “Kalian bertiga tidak merasa ada yang salah? Ibu dengar dari Kila kalo kalian suka sekali mengejek
dan menyonteknya?” tanya Ibu Ida lebih serius lagi.
“Hah? Ngejek Kila? Nyontek?” sontak Joko, Lita, dan Bani menjawab dengan bersamaan. “Hahaha gak lah
Bu, masa kita ngeledekin temen sendiri. Ya kalo nyontek kan wajar Bu, saya gak bisa, Kila kan pinter bu,”
jawab Bani. “Ya Ibu tau kalo kamu tidak pintar Bani, tapi kamu harus belajar bukan nyontek sama teman!”
jawab Ibu Ida sedikit marah. “Baik bu, maafkan kami. Saya suka mengejek Kila karena menurut saya dan
teman-teman dia susah untuk bergaul Bu, dia selalu menutup diri untuk bergabung dengan kami,” jawab
Lita dengan wajah serius dan sebentar-sebentar dia melirik ke arahku. “Baiklah, Ibu sudah menemukan
permasalahannya. Ibu akan membantu kalian berdamai dan menyelesaikan permasalahan ini.”
“Bu, kami tidak bermaksud untuk menyakiti Kila, kami pikir kami bisa bergaul baik dengan Kila, ya kami
sadar ternyata cara kami bercanda dan itu salah,” seru Joko mencoba menjelaskan. “Iyaaa emang salah
bercanda, jangan bawa-bawa kepercayaan kan bisa. Aku emang beda sama kalian tapi jangan ledekin aku
dong,” jawabku. “Iya kita minta maaf ya Kil. Tapi harusnya kamu terbuka sama kami, jadi gak ada salah
paham kaya gini, maklumi kami juga ya soalnya kami pertama kali dapet temen yang beda agamanya,“ seru
Bani. “Tolong maafkan kami dan kami janji gak akan bercanda kelewatan, semoga kita bisa jadi teman
dekat ya Kil, dan kita bisa berbagi,” seru Joko lagi yang membuat hati ku sedikit tenang. “Ya udah, aku
maafin, soalnya aku diajarin buat maafin orang lain. Dalam keyakinanku, aku diajar untuk mengasihi
sesamaku manusia. Jadi aku harus mengampuni kalian, aku gak nuntut banyak kok, cukup hargai aku aja
temen-temen.” Mereka pun memahami perkataanku dan hanya mengangguk serta tersenyum padaku.
“Nah, seperti ini kan bagus, karena perbedaan itu jika disatukan sangatlah indah. Bayangkan jika pelangi
hanya ada satu warna? Akankah dia tampak indah? Tuhan menciptakan pelangi itu dengan berbagai warna,
tujuannya adalah supaya menghasilkan warna yang indah. Sama halnya dengan kita, bayangkan jika kita
hanya ada satu warna kulit, wajah kita sama semua, memiliki suku yang sama, kepercayaan yang sama sifat
yang sama? Kalo semua sama bagaimana kita menerapkan cara menghormati perbedaan? Jadi Ibu harap
kalian bisa menjadi teman baik, bergaul dengan baik. Oke?” jelas Bu Ida yang membuatku pun sadar bahwa
perbedaan itu memang indah apabila kita bersatu dan hidup secara berdampingan. Setelah kejadian itu, aku
pun memiliki banyak teman di kelas. Bukan hanya di kelas saja, tetapi satu sekolah. Aku mulai mengikuti
ekstrakurikuler seperti basket, paduan suara, dan drama. Aku begitu menikmati setiap harinya membuatku
semangat untuk pergi ke sekolah, belajar, dan bermain bersama-sama dengan teman-temanku. Kami sering
kali saling bertukar cerita, bertukar ajaran atau menyamakan berbagai hal yang ada dalam Kitab Suci kami.
Ternyata, kami menemukan banyak hal atau ajaran yang sama. Hal itu membuat kami menjadi semakin
akrab dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Bahkan, orang yang dulu aku kenal jahat ternyata mereka
begitu baik dan ceria. Aku salah menilai mereka dan begitu pun dengan mereka yang salah menilaiku.
Terima kasih teman karena sudah mau menerima perbedaan ini.
Pelangi Sehabis Hujan
(Faomasi)
Gemuruh ombak sayup-sayup terdengar memecah keheningan, membuat suasana malam itu terasa semakin
dingin. Etta yang pada saat itu masih berusia 5 tahun tampak sedang berbaring sembari menatap remang-
remang cahaya yang menyusup melalui celah pintu kamarnya. Tak lama kemudian, terdengar suara
keributan dari ruang tamu. “Sekarang kamu harus memilih, aku atau dia,” ujar bu Marta sambil menunjuk
perempuan itu. “Aku memilih dia,” ujar Pak Ann sambil menunjuk wanita tersebut. “Baiklah, jika kamu
memilih wanita ini maka aku akan pergi bersama anak-anak,” ujar bu Marta lagi. Ia terdiam, dan hanya bisa
mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya. Ia tak mampu melakukan apa-apa pada saat itu, mengingat
usianya yang masih sangat kecil.
Pertengkaran kedua orang tuanya merupakan hal yang paling dia benci. Entah mengapa mereka selalu
bertengkar, ini bukan pertengkaran yang pertama. Ada rasa kesedihan yang mendalam dalam hatinya. Ia tak
bisa melakukan apapun selain melihat segala yang terjadi dengan keluarganya dan menyimpan kesedihan itu
dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, “Eta, ayo ikut mama. Kita pergi nak,” ujar bu Marta sambil membangunkan Etta
dari tempat tidur. Etta pun segera bangkit dan menggandeng tangan ibunya. Sesampainya di pintu “ Aku
memilihmu saja, karna anakku ada bersamamu”, ujar Pak Ann tiba-tiba. Bu Marta pun terdiam sesaat, dan
kemudian berkata “Baiklah, jika kau memilihku maka wanita ini harus pergi dari sini”. Pertengkaran pun
akhirnya mereda, malam pun kembali sunyi. Etta pun kembali ke tempat tidur dan terlelap. Peristiwa ini
bukan yang pertama kali terjadi dalam keluarganya, beberapa waktu lalu hal seperti ini juga pernah terjadi.
Entah sejak kapan Pak Ann yang pada awalnya sangat mencintai Bu Marta berpaling menghianatinya saat
ini. Pak Ann adalah seorang supir antar kota yang jarang pulang ke rumahnya. Dalam pekerjaannya ia
bertemu dengan banyak klien yang diantaranya adalah wanita-wanita penggoda. Para wanita tersebut sering
memberikan barang-barang kepada Pak Ann. Pak Ann pun selalu berusaha menutupi kesalahannya, dan
anehnya bu Marta selalu berhasil mengungkapnya. Ketika Bu Marta mencoba untuk mengungkapkan
kesalahan suaminya itu, Pak Ann selalu memukulnya dan melakukan hal-hal lain yang bagi Etta itu sangat
menyakitkan, sehingga membuatnya sempat trauma dan memutuskan untuk tak ingin menikah. Keesokan
harinya, wanita itu berpamitan kepada ibuku dan bersiap-siap untuk meninggalkan rumah kami. Ada
perasaan lega dalam hatiku, dan aku berharap wanita tersebut tidak akan kembali.
Beberapa minggu setelah peristiwa itu, Bu Marta dan Pak Ann memutuskan untuk pindah tempat tinggal.
Etta merasa cukup sedih, karena harus meninggalkan kampung halamannya dan saudara-saudaranya.
Kebersamaan yang selama ini mereka rasakan terpaksa terhenti karena kepindahannya. Dengan berat hati
dan berlinang air mata Etta memasuki mobil L300 yang berwarna biru tua itu. Ada kecemasan, kesedihan
dan kerinduan yang dalam akan kampung halamannya itu. “Sampai bertemu kembali kampung halamanku”,
bisiknya dalam hati. *** Beberapa lama setelah kepindahan keluarga Pak Ann, tibatiba terdengar kabar yang
begitu memilukan. Tempat tinggal mereka dahulu terkena bencana alam. Ombak menyapu habis seluruh
rumah dan isinya, termasuk beberapa dari saudara Pak Ann juga ikut menjadi korban bencana alam yang
dahsyat itu. Beberapa tahun setelah peristiwa itu, Etta pun menyadari bahwa kalau bukan Tuhan yang
berencana memindahkan mereka, maka mungkin mereka akan menjadi salah satu korban peristiwa tersebut.
PENGEMIS KECIL ITU
Karya Aprilia Dwi Iriani
“Uugh! Udara siang ini panas sekali. Mana rumah masih jauh pula,” gerutuku. Memang, matahari kali ini
tak seteduh biasanya. Aku berjalan sambil menahan rasa lapar. Aku berharap ibu telah selesai memasak.
Jadi, ketika sampai di rumah, aku langsung bisa makan. Kutendang kerikil-kerikil di tengah jalan yang
lengang ini. Seketika pikiranku kembali pada kejadian di sekolah tadi.
“Selamat siang, anak-anak. Pada perpisahan siswa kelas tiga tahun ini, sekolah kita mengadakan liburan
bersama ke Bali.” “Horeee! Kita liburan ke Bali!” seru temantemanku. “Tapi, setiap siswa wajib
berpartisipasi dalam urusan anggaran dananya. Ibu akan membagikan surat permohonan izin pada orang tua
kalian. Dalam surat itu juga sudah terdapat rincian biaya perjalanan…” “Ooh, no! Biaya sendiri?” Pupuslah
harapan liburanku. Ayah dan ibu pasti tak akan menandatangani surat permohonan izin ini. “Hei, Randy.
Kamu ikut, kan?” tanya Tio. “Hhhmm, belum tau. Nanti kutanyakan dulu pada ayah dan ibu.”
“Hahaha, kayaknya kamu nggak bakal diizinkan, deh, Ran. Paling orang tuamu nggak bisa bayar. Kalau aku
sudah pasti ikut. Masalah biaya, mah, gampang. Aku kan anak orang kaya. Hahaha….” Begitulah
sombongnya Dimas padaku. Aku kesal. Aku harus ikut ke Bali agar Dimas tak meremehkanku lagi. Setelah
kurang lebih 20 menit, aku sampai juga di rumahku yang meskipun kecil, tetapi lumayan nyaman untuk
ditinggali. “Assalamualaikum, Bu!” salamku pada ibu. Kulempar sepatuku ke atas rak sepatu silver di
samping dapur. “Waalaikumsalam. Pulang sekolah, kok marahmarah, Ran?” “Bu, di perpisahan kelas tiga
tahun ini sekolah ngadain liburan ke Bali. Ini surat permohonan izinnya dari sekolah. Aku ikut, ya? Semua
temanku pada ikut, Bu. Aku bakalan malu kalau nggak ikut. Pokoknya, aku harus ikut!” paksaku pada ibu
sambil membantingkan diri ke sofa ruang tamu. “Biaya sendiri, Ran? Sebanyak ini? Kayaknya ayah dan ibu
nggak bisa, deh.” “Ayolah, Bu. Semua teman Randy pasti ikut, masak Randy nggak boleh?” jawabnya
ketus.
“Bukannya nggak boleh, sayang. Kamu kan tahu sendiri, uang ayah dan ibu tidak banyak. Kamu akan
masuk SMA dan Mbak Vita kan kuliah. Tahun ini kita butuh biaya yang nggak sedikit untuk sekolah kalian.
Jadi, kita harus memilih hal-hal yang prioritas. Kalau hanya sekadar liburan, kamu kan bisa jalan-jalan dan
main sama teman-teman kompleks atau sama Mbak Vita.” “Aahhh, Ibu, tapi aku malu diejek teman-teman
kalau nggak ikut. Ibu mau kalau kita dibilang miskin hanya karena nggak punya uang untuk liburan?”
“Assalamualaikum!” sapa Mbak Vita. Umur panjang, tu, mbak Vita. Baru disebut namanya, eh udah
muncul. “Waalaikumsalam,” jawabku dan ibu. Ah, aku sudah malas bicara.
Segera aku beranjak dari sofa dan menuju ke kamarku. “Kenapa, Bu, si Randy? Ngambek ya?” tanya mbak
Vita. “Ran, nanti Ibu coba bicarakan dengan Ayah dulu. Kamu ganti baju lalu langsung makan, ya?” teriak
ibu dari ruang tamu. “Terlambat, Bu. Nafsu makanku telah lenyap seiring pernyataan tiada biaya untuk
liburanku tadi.” Gubrakk! Kubanting pintu keras-keras untuk melampiaskan kekesalanku.
*** “Kenapa, Yah? Padahal, kan tidak membutuhkan banyak biaya. Aku pengen sekali ikut. Aku kan belum
pernah ke Bali, Yah. Kalau aku nggak ikut, apa kata teman-teman nanti?” “Apa kamu bilang? Tidak
membutuhkan banyak biaya? Kamu kira liburan ke Bali kayak mancing di sungai kampung sebelah?
Biarkan saja teman-temanmu itu mengolok-olokmu. Memangnya, mereka yang membiayai hidupmu? Kamu
kan tahu, Nak. Ayah hanya seorang guru. Penghasilan ayah nggak seberapa, sedangkan ibumu tidak bekerja.
Gaji ayah harus cukup untuk menghidupi kalian dalam sebulan.” “Tapi, Yah….” “Sudahlah, pokoknya
kamu nggak bisa liburan ke Bali. Titik. Kalau kamu masih melawan, pilih, liburan ke Bali atau melanjutkan
sekolahmu ke SMA?” Ayah beranjak ke ruang tengah menyisakan bisu di mulutku.
Diputarnya TV dengan volume keras. Aku berpikir sejenak, mana mungkin hanya karena liburan ke Bali
lalu aku tidak melanjutkan sekolah? Tapi, aku malu pada teman-teman. Mereka pasti mengatai aku miskin.
Aarrghh! Aku pusing! Kupikir lebih baik aku bermain saja di luar rumah. Kutinggalkan tugas menyapu dari
ibu. Kan ada mbak Vita, biar dia saja yang mengerjakannya. Kucari sandal hitam bututku yang berserakan di
antara sandal-sandal penghuni rumah lainnya. Entah mengapa mereka enggan menata sandal-sandal mereka
di rak sepatu, sehingga teras rumahku yang kecil ini menjadi lautan sandal. Awalnya, aku ingin mengubah
kebiasaan itu. Namun, tidak ada kesadaran dari mereka. Ya sudah, aku juga masa bodoh. Ikut kuletakkan
pula sandalku di teras. Setelah sandalku ketemu, segera kutelusuri setiap ruas jalanan kampungku.
“Kok sepi, ya? Ke mana anakanak yang biasa meramaikan kampung di pinggiran kota ini? Mungkin mereka
lagi istirahat.” Niatku untuk bermain terhapus oleh sepinya jalan. Aku pun terus melanjutkan perjalanan
sambil masih memikirkan cara agar aku tetap bisa liburan ke Bali. “Kenapa, ya, orang tuaku miskin? Minta
ini nggak dipenuhi, minta itu nggak bisa juga. Coba kayak temantemanku, orang tua mereka ada yang
dokter, pegawai bank hingga pejabat negara. Uang mereka banyak. Kenapa ayahku cuma guru yang gajinya
sangat kecil? Ke mana hormat negara ini pada guru-gurunya?” Beragam tanya menghinggapi otakku.
Tak terasa sudah hampir 1.800 detik aku berjalan tanpa arah. Di mana ini? Kutengokkan kepala ke kanan
dan kiri, mencari-cari nama daerah tempatku berdiri sekarang. “Oooh, ternyata Desa Sukasari, tidak begitu
jauh dari kampungku.” Namun, letak desa ini lebih ke tengah kota dibanding kampungku. Suasananya lebih
ramai. Tiba-tiba, “Kak, kasihani saya, Kak. Sudah dua hari belum makan.” Sebuah suara lirih
mengagetkanku. Kutundukkan kepala. Terlihat seorang bocah yang kirakira berumur delapan tahun,
berpakaian tambalan serta lusuh menengadahkan tangan padaku. Aku menelan ludah, terdiam sesaat
mengamatinya. “Gila! Anak sekecil ini diajari ngemis? Dia pun belum makan dua hari!” Kurogoh saku
celana, hanya menemukan tiga ratus rupiah. “Aku hanya punya segini,” kataku, lalu menaruhnya di telapak
tangan bocah malang itu. “Nggak apa-apa, Kak. Ini pun sudah cukup. Makasih, ya, Kak.”
“Makanan apa yang harganya tiga ratus?” tanyaku heran sambil membayangkan betapa kecilnya porsi
makanan itu. “Satu bungkus roti nanas di warung itu, Kak. Sekali lagi makasih, ya, Kak.” jawabnya sambil
berlalu menuju warung di seberang jalan. Aku tersadar dari diamku. Aku segera mengikuti anak itu.
Ternyata, ia sedang menikmati roti nanas di bawah pohon ketapang di samping warung. Di sebelahnya
tergelar koran yang di atasnya terdapat sebuah kaleng berisi sekitar empat atau lima uang logam. Aku duduk
di sampingnya. “Eh, Kakak. Makasih, ya, rotinya. Sekarang perutku nggak melilit lagi.” katanya sambil
melahap potongan terakhir roti nanas dengan rakusnya. Memang, gaya makannya bagaikan tidak menyentuh
makanan seminggu. “Namamu siapa? Kamu kenapa bisa nggak makan dua hari?” tanyaku. “Namaku Iwan.
Ibu udah nggak punya uang lagi. Semua persediaan makanan juga sudah habis. Jadi, ibu menyuruh kami
berusaha sendiri mencari makan di jalan. Ibu pun mencari makan sendiri.” jawabnya polos. “Ibu macam apa
itu? Menyerah begitu saja. Bagaimana bisa dia menelantarkan anaknya di jalan tanpa tanggung jawab.” aku
bergumam dalam hati. Terlihat bocah itu melamun. “Kamu kenapa?” tanyaku membuyarkan lamunannya.
“Aku lagi mikir, ibu dan saudara-saudaraku udah dapat makan belum, ya?” jawabnya dengan raut muka
lelah. “Sepertinya, ia telah berhari-hari tidak istirahat.” “Saudaramu berapa? Ke mana ayahmu? Kok ayah
dan ibumu tidak bekerja untuk dapat uang?” cecarku karena rasa iba yang dibalut penasaran. “Saudaraku ada
empat. Ayah sudah meninggal. Hiiks…sudah meninggal dua minggu lalu, dikeroyok preman terminal pas
lagi jualan hiikks…” jawabnya dengan gaya cerita khas anak kecil disertai isak tangis yang terdengar pelan.
Hatiku tertusuk mendengar cerita bocah ini. Aku kasihan padanya. Terbersit keinginan melihat kehidupan
keluarganya. “Kamu tinggal di mana? Aku boleh main ke rumahmu?” “Di sana,” jarinya menunjuk ke arah
utara. “Kakak mau main apa di rumahku? Tidak ada mainan apa-apa, rumahku nggak enak. Kakak nggak
usah ikut aku pulang.” Namun, aku tetap bersikeras ikut pulang bersamanya. Akhirnya, aku diperbolehkan.
Aku tahu sekarang mengapa tadi Iwan melarangku ke rumahnya. Ternyata, rumahnya hanya sepetak
ruangan yang terbuat dari susunan kardus-kardus bekas dengan dedaunan kering yang ditumpuk-tumpuk
sebagai atapnya. Rumah tetangganya pun sama, terbuat dari kardus. Wilayahnya lumayan kotor. Padahal, di
tengah kota. Di samping wilayah ini berdiri sebuah gedung megah bertingkat-tingkat yang entah berlantai
berapa.
Terlihat dua anak kecil terbaring lemah di dalam rumah kardus milik Iwan. Mereka itu adik-adik Iwan.
Tidak seberuntung Iwan, hari ini mereka belum mendapat makanan apa pun. Beberapa saat kemudian,
seorang anak yang kirakira berumur dua tahun di bawahku memasuki rumah kardus ini. “Adik-adik, ini
Kakak bawa sebungkus nasi. Ayo kita makan sama-sama.” Ternyata, ia kakaknya Iwan. “Horeee! Akhirnya,
kita makan!” sorak kedua adik Iwan dan seketika terlintas senyum di wajah mereka. “Iwan, kamu kok nggak
makan?” tanya kakaknya dengan mulut penuh makanan. “Jatah Iwan buat yang lainnya aja. Tadi Iwan sudah
makan roti di jalan. Kakak itu yang kasih.” jawabnya sambil menunjuk ke arahku. Lalu aku pun berkenalan
dengan saudara-saudara Iwan. Kakak Iwan bernama Didi, sedangkan kedua adiknya bernama Amad dan
Bobi.
Setelah itu, aku diam saja, tidak ingin mengganggu kenikmatan acara makan mereka. Beberapa menit
kemudian, mereka selesai makan. “Tapi, kok nasinya disisain ya? Lalu sisanya dibungkus lagi.” “Kok,
makanannya nggak dihabisin?” tanyaku. “Ini untuk ibu, Kak. Ibu pasti belum dapat makan hari ini.” jawab
Didi sambil mengikat bungkusan nasi itu dengan karet. “Wow! Dalam keadaan kelaparan sekalipun mereka
masih sanggup berbagi. Apa kenyang, ya, nasi segitu untuk makan rame-rame? Kalau di rumah, malah aku
sering nambah.” Aku mulai ngobrol dengan Iwan dan Didi, sedangkan Amad dan Bobi tidur untuk menutupi
setengah rasa lapar yang masih tersisa. “Dulu kami sekeluarga ngontrak rumah di gang itu.” Cerita Didi
mengawali obrolan kami. Iwan hanya duduk dengan tatapan kosong di samping kakaknya.
“Waktu itu, ayah dan ibu masih jualan di terminal. Kami berempat pun masih sempat bersekolah.” Sekolah,
ya sekolah. Hal itu lupa kutanyakan pada mereka. “Tapi, suatu hari, ada seorang preman yang sering
ngutang rokok pada ayah, saat ayah menagih utangnya, sang preman nggak terima. Dia manggil teman-
temannya dan ngeroyok ayah. Akhirnya, ayah meninggal.” Diam merayapi kami. “Ibu pun tak berjualan lagi
di terminal. Karena tidak lagi punya uang, kami pun diusir dari rumah kontrakan. Kami bingung mau tinggal
di mana. Akhirnya, atas ajakan teman ibu, kami tinggal di kompleks ini. Walaupun sangat tidak layak, yang
penting masih bisa berteduh.” “Deg! Oh, tidak!” Mereka rela tinggal di kompleks kumuh seperti ini? Lalu
bagaimana dengan kebutuhan lainnya? Bagaimana dengan masa depan mereka? Bagaimana dengan sekolah
mereka? Aku kasihan sekali pada mereka. Kok tidak ada yang membantu orang-orang seperti mereka, ya?
Ke mana orang-orang kaya itu? Aku membayangkan bagaimana kalau aku menjadi mereka, pasti aku lebih
memilih mati. Makan susah, hidup susah, menangis pun tanpa air mata karena air mata itu sudah kering
untuk menangisi kesusahankesusahan di hari kemarin.
“Sebenarnya, kami masih ingin melanjutkan sekolah, tapi apa daya untuk makan saja harus mengemis. Cari-
cari pekerjaan lain, susah sekali. Mau tidak mau kami harus ngemis.” lanjut Didi. “Sungguh sangat tidak
bersyukur diriku jika masih menggerutu akan kehidupanku. Aku banyak menuntut pada orang tuaku.
Sedangkan aku, apa yang aku berikan untuk mereka? Aku menyesali semua keluhanku di masa lalu.
Padahal, masih banyak orang yang jauh di bawahku. Ke mana aku selama ini?”
*** “Kak Randy, ini bagaimana?” tanya Iwan. “Oh, ini begini…” jawabku dengan sabar walaupun soal ini
telah berkali-kali kujelaskan, namun Iwan masih saja tidak bisa mengerjakannya. Ya, di liburan panjang ini,
aku mengajak Iwan serta saudara-saudara dan teman-temannya untuk bermain di rumahku. Kami bermain di
halaman rumahku yang tidak begitu besar, tetapi lumayan asri. Kami main petak umpet, kejar-kejaran,
berkebun, bahkan aku dan Mbak Vita juga mengajari mereka pelajaran-pelajaran dasar, seperti berhitung,
menulis, membaca, dan lain-lain. Ternyata di antara mereka masih banyak yang belum bisa membaca. Aku
sudah melupakan liburanku ke Bali. Biarlah aku dikatai yang macam-macam oleh teman-temanku. Toh,
memang ayah dan ibu lagi tidak punya uang untuk membiayainya. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku,
aku harus mengerti mereka. Mungkin, di lain waktu kalau mereka sudah punya uang, baru aku bisa jalan-
jalan ke luar kota. Yang penting, liburanku kali ini berbeda dari liburan-liburan sebelumnya, lebih indah
karena aku bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Janji Harus Ditepati
(Enda Utami)
Sejak kecil toni senang bermain mobil-mobilan bersama teman-temannya. Oleh karena sering bermain
mobil-mobilan itu, Toni dijuluki sebagai “Pembalap Hebat” oleh teman-temannya. Hal itu wajar karena ia
selalu menang dalam perlombaan mobil-mobilan diarena perlombaan. Itu julukan menyenagkan Toni dan
keluarganya karena sejak kecil Toni bercita-cita ingin menjadi pembalap. Meskipun masih pembalap mobil-
mobilan, keluarga Toni juga berkeinginan menjadikannyas pembalap mobil sungguhan. Pada suatu ketika,
Toni mengikuti lomba balap mobil-mobilan di area balap mobil-mobilan. Arena balap itu bernama “Rino”
yang letaknya di Jalan MT Haryono, Yogyakarta. Persiapan dilakukannya sejak membaca pengumuman di
tempat itu. Ia kemudian minta izin kepada Ibu untuk mengikuti perlombaan itu. Ibu pun tidak melarangnya,
bahkan menyanggupinya. Akan tetapi, Ibu meminta Toni untuk memenuhi syarat, yaitu harus mempunyai
nilai bagus pada kenaikan kelas nanti. “Baiklah Ibu, Toni berjanji untuk dapat memperoleh nilai yang bagus
di kenaikan kelas. Akan tetapi, Ibu juga harus berjanji,” pinta Toni. “Apa yang Toni inginkan dari Ibu?”
tanyanya dengan tegas. “Ibu jangan lupa membelikan mobil-mobilan balap karena Toni ingin sekali ikut
lomba balap mobil-mobilan itu,” pinta Toni.
Mereka sama-sama berharap. Toni mengharapkan mobil-mobilan baru, sedangkan ibunya mengharapkan
nilai Toni saat kenaikan bagus. Mereka kompak. Dengan penuh semangat dan penuh harap mereka terus
saling bertepuk tangan kanan. “Ayo Bu, so Bu!” pinta Toni. Mereka pun saling mengangkat tangan
kanannya, sambil berujar yelyel“So!,”lalu berpelukan. Pada esok harinya Toni berangkat ke sekolah.
Kesepakatan dengan Ibu diceritakannya kepada temanteman sekelas. Teman-teman sekelas pun juga
memberikan semangat kepada Toni untuk belajar rajin. Harapannya, jika Toni berhasil, teman-teman juga
akan ikut menyaksikan perlombaan mobil-mobilan yang menyenangkan itu. “Aku punya ide,” kata Toni
kepada kawan-kawannya. “Idea pa Ton?” tanya salah satu kawan Toni. “Jika nilaiku bagus, kan aku akan
ikut lomba. Bagaimana jika nilai kawan-kawan bagus akan aku ajak masuk arena balap?! Setuju? Artinya
yang nilainya kurang baik tidak bisa masuk dalam arena balap tentunya,” kata Toni dengan tegas. Kawan-
kawan Toni mengiyakan ajakannya. Secara serentak mereka berseru, “Setujuuuuu.” “Jadi, untuk
menghadapi kenaikan kelas nanti kita harus belajar keras.” Hari demi hari telah mereka lalui bersama.
Jadwal ujian kenaikan kelas pun sudah dekat. Oleh karena itu, Toni selalu belajar untuk menyiapkan ujuan
yang sebentar lagi akan tiba.
Tiada waktu tanpa belajar. Toni selalu belajar. Melihat hal seperti itu, Ibu merasa iba, namun itulah saat
yang tepat untuk memberikan contoh dan ajaran kepada anakya. Ibu selalu menyiapkan makanan dan
minuman serta menemaninya belajar. Ibu mengatakan, “Ibu senang melihat usahamu untuk mendapatkan
nilai bagus. Akan tetapi, jangan karena hadiah kamu terus rajin belajar. Namun, karena kewajiban dan
tanggung jawabmu Toni,” kata Ibu dengan penuh perhatian. “Ya, Bu,” jawab Toni. Toni kemudian berpesan
kepada Ibu. “Bu, jika nanti ada kawanku datang, katakana saja jika aku sedang belajar. Gitu ya, bu,” pesan
Toni. “Ya,” jawab Ibu dengan tegas pula. Hal itu disampaikan pada Ibu karena Toni pernah diajak
kawannya untuk bermain. salah seorang teman Toni yang pernah mengajaknya bermain sepak bola itu
adalah Edi. Beruntung Toni ingat janjinya terhadap Ibu. Dengan berat hati Toni menolak ajakan temannya
itu. Toni memilih belajar untuk menghadapi ujian kenaikan kelas, walaupun ingin bermain sepak bola.
Hari berikutnya, Toni juga diajak temannya untuk bermain layang-layang. Demi ingin mendapatkan uang
untuk membeli mobil-mobilan, Toni tetap memilih belajar. Dengan halus Toni berkata kepada temannya itu,
“He!…. kawan, aku akan ikut lomba mobil-mobilan. Ibu akan membelikan mobil-mobilan itu jika aku naik
kelas dengan nilai yang bagus. Jadi harus belajar, karena aku tidak mau mengecewakan Ibu. Bukankah kita
kemarin di kelas sudah bersepakat. Jadi, jika kalian ingin masuk arena balap, nilaimu juga harus bagus,”
kata Toni sambil mengingatkan kawannya itu. Besok kalau aku berhasil, semua akan aku ajak masuk ke
arena balap, asalkan nilai kalian juga bagus,” kata Toni meyakinkan kawannya. Ujian kenaikan kelas pun
tiba. Toni pun telah siap menghadapinya. Saat yang biasanya menegangkan itu, bagi Toni tidak merupakan
masalah lagi. Situasi kelas yang sepi saat berlangsung ujian itu menyadarkannya bahwa jika rajin belajar
pasti nilai akan bagus. Hal itu juga pernah disampaikan Bapak Guru kelas III dulu. Katanya, jika kalian
bersedia bersusah-susah dulu, insaallah akan baik hasilnya. Bagaikan pepatah, “Berakit-rakit ke hulu,
berenang renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Toni sangat gembira pagi
itu. Yang terpancar dari wajahnya. Tiga hari ujian kenaikan kelas telah ia lewati dengan baik. Nilainya pun
baik.
Toni merasa sukses menempuhnya, tinggal menunggu nilai rapor yang akan dibagikan oleh Ibu Guru dan
diambil oleh orang tuanya besok. Kenaikan kelas yang dinantikan Toni dan orang tuanya telah tiba. Mereka
bertiga datang ke sekolah guna memenuhi undangan Kepala Sekolah. Toni, ibuToni, dan ayah Toni duduk di
deretan kursi paling depan. Seolaholah mereka menjadi tamu kehormatan. Dengan rasa yang berdebar-
debar, Toni menyimak penjelasan Kepala Sekolah. Kepala Sekolah mengumumkan bahwa Toni
memperoleh peringkat dan nilai tertinggi di antara teman-teman sekelas. Toni naik ke kelas VI. Seketika
Toni diciumi ayah dan ibunya. Mereka tampak bahagia. Kepala Sekolah berpesan agar Toni lebih giat
belajar supaya nanti dapat memilih SMP yang terbagus. Toni sangat gembira pagi itu karena telah berhasil
mendapatkan nilai terbagus. Sesampainya di rumah, Toni dihadiahi uang oleh ibunya untuk membeli mainan
mobil-mobilan.
“Toni, anakku, kamu memang kebanggaan Bapak dan Ibu. Kamu telah berhasil menempuh ujian, berarti
memang pantas untuk mendapatkan hadiah, ini janji Ibu. Jadi, Ibu telah menepati janji. Kamu beli sendiri
mainan itu, ya. Mobil-mobilan apa yang kamu sukai,” kata Ibu penuh rasa bahagia. Pada keesokan harinya,
Toni berangkat ke sekolah. Ia ingin menyampaikan kabar gembira itu kepada temantemannya. Wajah Toni
nampak berbinar-binar dan penuh semangat. Sesampai di sekolah, Toni bertemu dengan Tita, yang terlihat
sedih. Tita kemudian menceritakan bahwa ibunya sedang sakit keras sejak dua hari lalu. Ayah Tita belum
membawa ibunya ke rumah sakit karena tidak mempunyai biaya. Tita sebenarnya tidak bermaksud untuk
meminjam uang kepada Toni, namun Toni merasa harus membantu orang tua kawannya itu.
Toni merasa tergerak hatinya untuk membantu Tita kemudian mengurungkan niatnya untuk membeli
mainan baru dan memberikan uang itu kepada Tita. Toni tidak merasa sedih dan tidak kecewa meskipun
tidak jadi membeli mainan. Sebaliknya, ia merasa bahagia jika bisa membantu teman yang sedang
kesusahan. Dalam pikiranya, Tita lebih membutuhkan uang itu untuk pengobatan ibunya. Toni menceritakan
masalah Tita kepada temantemannya di sekolah. Ia juga menceritakan hal itu kepada ibunya di rumah.
Teman-temannya pun memahaminya. Ibunya Toni pun merasa bangga karena kerelaan hat Toni menolong
orang yang lebih membutuhkan. Sebagai gantinya, Ibu membelikan mainan untuk Toni. Toni sangat
gembira dan mainan itu adalah mobil-mobilan seperti yang diharapkannya. Sejak saat itu pula, Toni
mendaftarkan diri untuk mengikuti perlombaan yang direncanakan. Hal ini dilakukan karena Toni juga
pernah berjanji pada kawankawannya. Siapa aja yang nilainya bagus, akan diajak masuk secara gratis ke
dalam arena lomba balap mobil-mobilan.
Saat yang menegangkan di arena balap pun mulai terasa. Banyak saingan Toni sudah mahir mengendalikan
mobil mainannya. Itu diketahui oleh Toni dan kawankawannya ketika berlatih dulu. Akan tetapi, Toni tidak
pernah merasa kecil hati. Dia semakin bersemangat dan tertantang untuk menang. Kawan-kawannya pun
menyorakinya dengan lantang. Toni!Toni!Toni! Toni!Toni!Toni! Sementara pendukung saingan Toni pun
juga meyemangati kawannya. Ruangan yang tampak menyerupai arena balap yang sesungguhnya itu pun
menjadi semakin hiruk pikuk. Ayo!Ayo!Ayo! Toni!Toni!Toni! Saat mendekati garis finis, mobil-mobilan
Toni mengalami gangguan. Tiba-tiba pengontrolnya tersenggol oleh pesaing di sampingnya. Penonton pun
semakin bersorak-sorai. Mereka melihat mobil saingannya sedikit terganggu. Ternyata benar, mobil Toni
yang semula selalu mengungguli lawan-lawannya itu pada akhirnya disalip oleh mobil lawannya. Toni pun
kalah,bukan juara pertama, tetapi kedua. Situasi yang panas dan menegangkan itu pun akhirnya berakhir.
Perlombaan ini diikuti oleh peserta anak-anak yang sudah lihai mengendalkan pengontrol mobil-moblan itu.
Sekalipun Toni bukan juara pertama, namun tidak menjadi masalah. Yang membanggakan Toni justru dia
bisa mengajak kawan-kawan ke arena balap. karena nilai rapor yang dicapai di sekolah bagus.
Kalau Belajar Pasti Bisa
Oleh : Restu Purnawingsih
Di sebuah desa di lereng gunung yang amat indah, hiduplah dua orang sahabat Ani dan Rani. Mereka sudah lama
bersahabat. Dalam persahabatan itu, mereka tidak pernah bertengkar. Di mana pun ada Ani, pasti di situ ada Rani. Ani
dan Rani memang sepasang sahabat yang tidak dapat dipisahkan. Mereka kini duduk di kelas V SD. Wajar jika
mereka selalu bersama karena duduk di kelas yang sama. Pekerjaan rumah dan tugas-tugas pun juga dikerjakan
bersama. Ani, gadis kecil yang amat cantik. Rambutnya hitam dan selalu dikepang dua. Dia anak sulung dari tiga
bersaudara. Ia sangat rajin membantu ibunya. Selain itu, ia juga seorang siswa yang rajin belajar. Hal inilah yang
membuat Ani selalu mendapat nilai bagus jika mendapat tugas dari gurunya. Namun, Ani tidak sombong, bahkan
pandai bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah. Berbeda dengan sahabatnya yang bernama Rani. Rani adalah
seorang siswa yang kurang pandai. Ia sering mendapat nilai yang kurang bagus ketika mengerjakan tes, padahal Rani
sering belajar. Rani pun selalu diejek teman-temannya karena nilainya jelek. Akan tetapi, hal ini tidak membuat Rani
dendam kepada mereka. Akan tetapi, justru menjadi pemacunya dalam belajar. Apalagi setelah Ani selalu memberi
semangat kepada Rani agar selalu belajar dan tidak mudah berputus asa. Rani tambah bersemangat.
Hari yang sangat membosankan bagi Rani di sekolah adalah hari jika ada tes matematika. Rani memang kurang
menguasainya. Wajar jika nilainya selalu jelek. Kali ini Rani mendapat nilai kurang bagus, sedangkan Ani mendapat
nilai 10. Teman-teman sekelas Rani biasanya mengejeknya. Akan tetapi, dengan penuh perhatian Ani
menggembirakan hati Rani. Hati Rani yang bersedih pun kini menjadi ceria kembali karena Ani berjanji akan
mengajarinya sampai Rani bisa. Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Mereka pulang bersama-sama. Di antara
mereka, ada yang hatinya riang, namun ada pula yang hatinya sedih karena ada yang mendapat nilai baik dan ada yang
jelek. Tepat di belakang mereka, ada sekelompok teman satu kelas yang jahil. Wisnu adalah pemuka kelompok anak
jahil itu. Rani merasa sedih karena pasti akan diejek oleh Wisnu dan teman-temannya yang jahil itu.
Wisnu memang anak paling jahil. Dia adalah ketua pemuka anak-anak nakal di sekolahnya. Ia suka menjahili teman-
teman di sekolahnya. Ia juga dikenal suka membuat onar di sekolah. Rani pun sering menjadi korban ejekan Wisnu.
Akan tetapi, Rani selalu dibela oleh Ani. “Hai , teman-teman mau lihat tidak? Ada burung bangau terbang loh di
kertas pekerjaan Rani.” Teriak Wisnu. “Ha… ha….” tawa teman-teman Wisnu. “Wow, ada burung bangau
terbang…!” ejek mereka semua. Rani pun merasa bersedih dan malu karena ulah Wisnu dan temantemannya. Dengan
cepat Ani mengambil kertas pekerjaan tes Rani dari tangan Wisnu. Ternyata Wisnu memang anak jahil. Betapa tidak,
Wisnu telah mengambil paksa hasil tes Rani dari dalam tasnya. Ani mengajak Rani berjalan cepat dan meninggalkan
Wisnu dan teman-temannya untuk pulang. Ani juga minta agar kertas pekerjaan itu dibawa Bapak Guru.
Rani kini bertambah sedih karena dipermalukan temannya sendiri. Air matanya pun mulai berlinang. Ani pun
berusaha menyenangkan hati Rani yang bersedih itu. “Sudahlah Rani, jangan dipikirkan Wisnu dan kawankawannya
itu.” kata Ani menghibur. “Ani, kenapa ya, kalau ulangan kamu selalu mendapat nilai bagus? Sedangkan aku
mendapat nilai jelek dan pasti diejek teman-teman.” tanya Rani pada Ani. “Aku selalu belajar Rani. Meskipun harus
membantu ibu mengasuh adik-adikku, aku pasti meluangkan waktu untuk belajar.” jawab Ani. “Ya aku paham itu.
Aku pun selalu belajar setiap ada tes, tetapi nilaiku tetap tidak bagus. Cara belajarmu bagaimana, An? Aku ingin bisa
seperti kamu An.” kata Rani. “Kamu bisa kok seperti aku asalkan belajarmu lebih rajin. Coba kamu membaca
berulang-ulang materi yang telah diajarkan di sekolah. Membaca berulang-ulang akan lebih paham dan tentunya akan
lebih jelas.” jawab Ani panjang lebar.
Sejak saat itu Rani mulai bertambah rajin belajar. Ia mengikuti apa yang disarankan Ani, sahabatnya. Setiap hari ia
menyempatkan waktu untuk mengulang materi yang diajarkan di sekolah. Belajar dengan Ani pun sering
dilakukannya. Hari-hari Rani kini penuh dengan membaca dan belajar. Karenanya, nilai tes Rani pasti bagus dan tidak
seperti dulu lagi. Kawan-kawannya tidak berani lagi mengejeknya. Kawan-kawannya juga heran karena kini Rani
bertambah pintar. Bahkan, juga ada kawan Rani yang ingin pintar sepertinya. Ani kini bertambah sayang kepada
temannya, Rani. Persahabatan mereka berdua pun bertambah akrab dan erat. Rani pun menyadari apabila berusaha
dengan gigih, penuh semangat dan pantang menyerah, sesuatu yang diinginkan akan tercapai. Siapa pun bisa
mendapat nilai yang bagus karena selalu rajin belajar, seperti Rani dan Ani.

Anda mungkin juga menyukai