Anda di halaman 1dari 8

1.

Menjauhi Pergaulan Bebas

“Pulang sekolah mau langsung ke rumah?” tanya Adin pada Ama setelah jam pelajaran usai. Ama
yang sedang memberesi alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas menoleh ke arah asal suara.

“Langsung pulang. Besok ulangan,” jawabnya dingin.

“Minggu lalu nggak ikut kumpul bareng kita. Minggu ini mau bolos nongkrong lagi?” Adin
menyelidik.
“Aku nggak sempet nongkrong bareng geng, Din. Aku harus bagi waktu buat belajar
dan nungguin papa di rumah sakit,” wajah Ama mendadak sedih. Ayahnya baru saja mengalami
kecelakaan dan Ama mendapatkan tugas menjaga bergantian dengan ibunya.
“Nggak seru, Ma,” Adin langsung berlalu meninggalkan Ama. Ia merogoh sesuatu dari kantongnya
dan mengeluarkan korek. Adin merokok. Meskipun jam sekolah sudah selesai, seharusnya siswa tetap
menjaga etika dan tidak melakukan hal-hal negatif. Mungkin saja Adin sudah tidak sabar untuk
merokok.

Ama menghela nafas panjang. Jujur saja, sebenarnya ia tidak menemukan hal positif dari
pertemanannya. Ia kira bergabung dengan murid terpintar akan membuatnya terbawa semangat
belajar. Tapi ternyata tidak. Ia justru banyak diajak untuk jalan-jalan dan makan di luar, sehingga
waktu belajarnya terbuang. Dari kejauhan terlihat Adin menyapa teman-temannya dan bergegas pergi.
Ia melihat Ama sebentar sebelum akhirnya membuang muka.

“Kok jadi jarang kumpul sama Adin?” tanya Bino memecah lamunan Ama.

“Pada lagi sakit, Bin. Hari ini giliranku jagain sambil belajar buat ulangan besok,” jawab Ama.
“Bagus, deh. Aku dukung kamu. Kemarin Adin dan temen-temen gengnya beli miras. Nggak
tau mereka mau apa,” ujar Bino membuat Ama terperanjat.
“Mm..aku duluan, deh,” Ama segera meninggalkan Bino karena terkejut dengan apa yang
dikatakannya. Ama tidak menyangka bahwa Adin akan bertindak sejauh itu. Ama pun beranjak dari
tempatnya dan berjalan ke rumah sakit. Di sana ada papanya yang sudah menunggu. Sembari
menunggu papanya, Ama mengeluarkan buku dan mulai belajar. Tidak sengaja matanya menangkap
layar televisi.
“Ada apa, Nak?” tanya papa Ama.

Ama menatap layar tanpa berkedip. Ada Adin sedang digiring polisi karena membawa minuman keras
bersama pelajar lainnya. Mata Ama berkaca-kaca. Untunglah ia menolak diajak tadi. Tidak
terbayangkan jika ia menuruti Adin, pasti ia juga sedang berada di sana.

2. Terbalik

Gadis itu terpaku. Matanya sinis terhadap apa yang ia lihat. Ia melihat sosok gadis seumuran
dengannya bermanja ria dengan orang tuanya duduk di resto. Ia yang melihat pemandangan dari
luar cafe itu hanya bisa berdiam.
“Kamu kenapa, Ri?,” sapaan temannya menghentikan lamunannya

“Gak apa-apa, ayo kita ke rumah Jihan!” Riri ceria kembali dan menyembunyikannya dari teman-
temannya.
Gadis berusia 15 tahun itu menguncir rambutnya sambil jalan. Sifatnya yang ceria membuat siapa pun
senang berteman dengannya.

Ia pun disegani guru-guru karena pintar dan sopan. Tapi, tanpa orang-orang sadari, ia memiliki lubang
hitam di hatinya yang belum terlihat oleh siapa pun.

Jarak antara SMP dan rumah Jihan hanya beberapa meter. Alhasil mereka hanya jalan dan masuk ke
kompleks rumah. Pada saat perjalanan pulang, Jihan yang berjalan di depan menghentikan langkah.
“Ri! Ri! Itu bapak kamu kan?” Jihan menunjuk mobil yang ditumpangi bapaknya Riri. Terlihat juga
ada seorang wanita muda yang duduk di jok sampingnya.

Riri berdiam lalu kembali berlari ke arah sekolah. Ia tak mau melewati mobil ayahnya yang sedang
bersama wanita selingkuhan.

Sontak teman-temannya pun mengejar dan merasa kebingungan. Mereka memanggil-manggil Riri,
tapi tak digubris.

Sampai akhirnya di taman sekolah yang sudah sepi, mereka menemukan Riri tersungkur di pojok
dinding taman.

“Tenang ya, Ri,” ujar Hana.

“Kita bakal bantu kamu kok apa pun yang terjadi,” ujar Jihan sambil memeluk Riri.

Pada hari itu, menjadi hal yang akan diingat oleh Riri. Bahwa masa mudanya tidak selalu berjalan
mulus.

Akan selalu ada kepedihan yang akan diingat. Satu di antarnya ialah masalah keluarganya. Untungnya
teman-teman Riri bisa diandalkan. Riri pun menjadi tenang kembali.

3. Berbeda Jalan

Sari melangkahkan kaki dengan tergesa. Ia sudah terlambat 10 menit dari jadwal busnya hari ini,
sehingga ia tertinggal bus jemputan. Ia perlu keluar dari gerbang kompleks dan mencari ojek.

Hari ini semakin sial, tidak ada satu pun ojek di pangkalan. Hari Senin seperti ini memang biasanya
menjadi sangat sibuk, begitu pun tukang ojek. Di seberang jalan, ia melihat sosok lelaki yang
menertawakan raut wajahnya. Sari semakin mendengus kesal, lelaki itu semakin menertawakannya.
Dialah Ario.

Ario dengan motornya mendatangi Sari di seberang Jalan dan menawarkan untuk mengantarnya.
Awalnya Sari menolak, karena pasti Ario, teman masa kecilnya akan mengejeknya habis-habisan di
jalan. Tapi, di saat tergesa, akhirnya Sari pun menerima ajakan Ario.

“Gimana rasanya terlambat sekolah?” Tiba-tiba Ario bertanya saat di perjalanan.


“Ya sama aja kayak kamu terlambat ke turnamen lah.” Jawab Sari asal-asalan.
“Aku sih gak pernah terlambat turnamen, Sar. Hahaaa”

“Bodo amat, cepet ngebut!” Ario pun yang terkekeh kembali mengencangkan gasnya.
Ario memang atlet bulu tangkis yang sudah tidak pernah sekolah umum sejak SMP. Ia memilih fokus
untuk menjadi atlet dan memilih home schooling. Dari teman masa kecil Sari, Ariolah yang sudah
memantapkan diri menjadi apa yang ia mau. Walau berbeda jalan dengan Sari, Ario selalu
menemukan cara untuk menikmati masa remajanya.
Sesampainya di sekolah, Ario mengucapkan,

“Belajar yang rajin ya Bu Dokter!” Sari tersenyum, sambil terkekeh. Merasa senang dan puas, entah
mengapa.
4. Perpustakaan Kota

Aku menaiki anak tangga perpustakaan itu. Dengan seragam putih abu-abu yang sudah lusuh karena
seharian beraktivitas di sekolah, aku memaksakan untuk menukarkan buku di perpustakaan kota.

Buku ber-cover warna biru putih itu sudah lama belum aku kembalikan. Jika aku menundanya lagi,
sudah pasti tunggakanku makin banyak.
Aku tak selesai membacanya karena hanya berisi cerpen remaja yang remeh temeh tentang cinta.
Setelah sampai ke meja pustakawan, terlihat pustakawan sudah siap-siap mau pulang.

Segera, aku bilang untuk memberitahu ingin mengembalikan buku. Hanya saja, ibu pustakawan yang
sudah beruban itu bilang, “Diurus sama mas yang itu, ya. Lagi magang dia. Reno, sini, No”. Sosok
tinggi berusia 20 tahunan itu pun langsung menghampiri meja pustakawan. “Ibu pulang duluan ya, No.
Anak bakal rewel nih“.
“Ah iya bu,” lelaki itu hanya tersenyum sopan. Lantas ibu itu pergi keluar dan menyisakan kami
berdua.

“Bidhari, ya.. tunggakannya Rp20.000,” ujarnya sambil mengecek di layar komputer. Aku serahkan
uang itu kepadanya, lantas ia tersenyum sambil menerima uangku, “Namanya bagus”.

“Terima kasih, Mas,” hanya itu yang bisa kuucapkan karena terlalu salah tingkah dengan pujian yang
aku terima. Pasalnya, baru pertama kali ada yang memuji namaku.

Segera aku berbalik arah dan mencoba tidak berbalik. Namun, ia memanggil dan menyusulku. Ia pun
menghalangi jalanku dengan postur tubuhnya.

“Kartu perpusnya ketinggalan, Dek,” ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali kikuk dan mengucapkan
terima kasih.

Sepertinya kikukku terlihat jelas olehnya. Segera kupercepat langkah juga. Namun, saat perjalanan
pulang, aku terus memikirkannya.

Inikah yang dirasakan para tokoh-tokoh remaja di buku cerpen remaja saat jatuh cinta? Sekarang, aku
menjadi tahu apa yang harus kulakukan, sesering mungkin ke perpustakaan kota.

5. Fans Cinta
Hari pertama masuk sekolah SMA, aku bertemu dengan kakak OSIS yang menurutku sangat keren.
Waktu itu adalah hari Senin, dan sedang diadakan upacara pembukaan bagi peserta didik baru di SMA
itu, aku melihat dia menggunakan almamater OSIS dan baris di sebelah kiri lapangan.

Aku sangat berharap kalau nanti dia yang akan menjadi koordinator kelasku. Akhirnya doaku pun
terkabul, yang menjadi koordinator kelasku adalah Kak Raka yang keren itu dan Kak Tuning.

MOS hari pertama kelasku sangat sepi, mungkin karena belum pada kenal dengan teman-teman satu
kelasnya. Hari itu juga aku disuruh memperkenalkan diriku di depan kelas.

Aku sangat grogi di depan kelas karena aku tidak terbiasa berdiri di depan kelas apalagi di sampingku
ada Kak Raka, makin bertambah saja groginya. Perkenalan selesai, waktu istirahat aku gunakan untuk
menyelidiki tentang Kak Raka.

Aku mengikuti Kak Raka sampai depan kelasnya. Ternyata dia anak XI.IA.2, betapa kerennya dia,
sudah ganteng ditambah pintar. Saat itu aku jadi semangat belajar untuk mendapatkan kelas IPA.
Hari kedua MOS diadakan tes penjurusan, aku datang pagi-pagi sekali ke sekolah untuk meneruskan
belajarku yang semalam. Pukul 7.30 tes dimulai, aku berusaha konsentrasi mengerjakan soal tes satu
per satu.

Setelah dua jam, tes pun selesai, waktunya istirahat. Waktu istirahat aku bertemu dengan Kak Raka di
kantin sekolah, aku menyapanya “hai Kak” sambil tersenyum, dan dia pun membalas sapaanku “hai
juga, Dek” dengan senyumnya yang sangat manis.

Hari ketiga MOS sekolahku mengadakan seni gembira, kelas yang tampil diacak dan kelasku
mendapat giliran pertama. Betapa tegangnya aku berdiri di atas panggung dengan teman-temanku dan
disaksikan kakak kelas dari kelas 11 sampai kelas 12.

Kelasku bernyanyi dengan iringan gitar yang dimainkan oleh Kak Raka. Penampilan hari itu selesai,
dilanjutkan dengan kegiatan di dalam kelas. Kami duduk lesehan di lantai sambil bernyanyi bersama
Kak Raka dan Kak Tuning sampai jam pelajaran selesai.

Hari keempat waktunya demo ekskul. Aku memperhatikan satu per satu ekskul yang tampil, tapi aku
tidak melihat Kak Raka ada di dalam ekskul tersebut sampai ekskul yang terakhir tampil adalah ekskul
karate.

Ternyata Kak Raka ikut ekskul karate. Saat Kak Raka ditunjuk oleh pelatihnya untuk memecahkan
besi, dia ke depan tepat di depan besi yang akan dipatahkan. Teman-temannya berteriak
“kakak follback, kakak follback” yang tujuannya meledek Kak Raka. Tapi, Kak Raka tidak marah
malah tersenyum.
Saat demo ekskul selesai, aku mendapat edaran kertas untuk memilih ekskul yang diinginkan. Tanpa
berpikir lagi aku langsung memilih ekskul karate. Tanpa aku sadar aku berteriak, “Kak Raka keren!!!”
dia melihatku dan berkata “terima kasih, Dek”. Aku langsung malu dan pergi ke kelas dan tidak keluar
lagi.

6. MUNGKIN ANDA SUKA

“Yuk kita dengarkan lagu Melly Goeslaw, yang berjudul ‘Ku Bahagia’. Selamat Mendengarkan!”
Lagu itu dirilis 2002 bersamaan dengan film terfenomenal pada masanya, yaitu Ada Apa dengan
Cinta. Kedua ikon itu seolah mengisi masa remajaku saat itu. Dan hari ini, di penghujung 2019, aku
berdiri kembali di sekolah ini, dengan radio yang sama, dan lagu yang sama. Aku takjub, ekskul radio
ini masih terus bertahan, di tengah banyaknya aplikasi musik di HP siswa zaman sekarang.
Apabila tak ada keperluan untuk legalisir ijazah, tak mungkin aku mendengarkan lagi siaran-siaran
dari radio sekolah ini. Lagu itu seolah membawaku bagaimana aku masih aktif di radio sekolah dan
menghabiskan masa mudaku dengan teman-teman. Masa itu seolah memanggilku kembali.

Di lorong sekolah menuju kantor, dahulu tidak ada atapnya. Sekarang dilengkapi atap berwarna biru
tua. Memang benar, sekolah ini sudah bermetamorfosis sempurna. Aku jadi teringat ketika dahulu
kehujanan basah kuyup dari kantor sampai ruangan kelas sehabis mengantarkan tugas.

Kemudian secara tiba-tiba, Pak Mustofa mendatangiku. Pak Mustofa merupakan guru seni yang
menjabat juga sebagai pembina radio. Keriputnya kini semakin banyak, tetapi, gaya dan jiwanya tak
pernah kelihatan tua. Setelah saling bertukar kabar, ia pun mengantarkanku pula ke ruang TU.

“Inikan lagu kesukaan mu sama gengmu, ya, Nay”

“Yaampun, Bapak, masih inget aja.”


“Mereka pada gimana, Nay sekarang? Resti, Kiki, dan Lia?”
“Baik-baik, Pak” Jawabku singkat, “Sepertinya..” jawabku dengan suara pelan.

Aku jadi teringat mereka bagaimana menghabiskan masa SMA dengan suka duka. Mengerjakan tugas
bareng, ke kantin bareng, mengurusi segala hal tentang radio, sampai lulus bareng dan kita masing-
masing tak tahu kabar lagi. Entah mengapa aku menjadi rindu hal tersebut. Setelah dari sini, aku
putuskan untuk mencari mereka dan mengembalikan masa remajaku. Apa pun yang terjadi.

7. Jono dan Kepala Sekolah

Lelaki bertubuh agak gempal itu sering kali memasuki sekolah tanpa atribut lengkap. Ditambah selalu
mengeluarkan baju seragamnya. Ia pun berteman dengan anak-anak nakal yang terkadang suka rusuh
di sekolah. Tetapi, ia pintar bukan kepalang. Semua orang mengetahuinya saat pertama kali MPLS
(Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) di SMP ku. Pasalnya, ia adalah orang yang berani bersuara
tentang kebijakan MPLS.

“Maaf Kak, saya izin bertanya. Untuk apa ya kami disuruh bawa semua barang ini? Apalagi barang-
barang ini cukup banyak dan harganya di atas Rp.10.000. Kalau ada orang yang kurang beruntung,
bagaimana?”

Kakak-kakak OSIS itu mencoba menjelaskan sedetail mungkin, tapi tetap saja suara riuh peserta
MPLS membuat OSIS juga terbungkam. Alhasil, barang-barang yang tadinya dikatakan akan
dijadikan hadiah bagi para peserta terbaik, menjadi tidak wajib untuk dibawa oleh peserta. Hanya
peserta yang mampu saja yang diwajibkan untuk membelinya.

Ialah Jono yang berani mempertanyakan kebijakan itu. Selama MPLS, ia tetap mengikuti peraturan
sekolah, hanya saja ia berani mengeluarkan unek-uneknya secara langsung di depan panitia. Setelah
seminggu, akhirnya MPLS pun selesai. Saat upacara penutupan, Jono dipanggil ke depan lapangan
oleh Kepala Sekolah.

“Ananda bernama Jono Laksono, silahkan keluar dari barisan. Dan ke depan”

Sontak semua peserta, panitia, dan guru-guru pun saling berpandang. Awalnya Jono ragu untuk
mendatangi Kepala Sekolah di depan halaman, namun akhirnya ia memberanikan diri. Orang-orang
menyangka, Jono akan ditegur atau dihukum karena membantah pada saat MPLS. Tapi, ternyata..

“Terima kasih, Jono. Kamu sudah mengkritik beberapa hal yang tidak etis saat adanya MPLS ini.” Pak
Kepala Sekolah justru mengucapkan terima kasih di depan semua orang dan sehabis itu menyalami
Jono.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba terdapat tepuk tangan lalu menjadi riuh. Aku ingat saat itu Jono
sangat senang. Sampai saat ini, ketika ia berdiri di lapangan lagi karena memenangkan lomba Sains,
aku tersenyum. Aku mengingat obrolan dengannya waktu pertama kali bertemu saat MPLS.

“Jangan terlalu menilai dari kulitnya. Tidak ada yang tahu, isinya arang atau emas” Ujar Jono kala aku
menyempatkan diri untuk berkenalan dengannya.

8. Kita Belum Jadi Apa-Apa

Dio sedang berjalan mengikuti Erwin dari belakang bahkan tidak mempedulikan saat Erwin mengoceh
dan meminta Dio untuk berhenti mengikutinya.

Hingga akhirnya mereka akrab dan Erwin mau menerima Dio sebagai temannya sehingga saat di
sekolah ataupun pulang mereka selalu bersama. Dio selalu menemani Erwin berjalan menuju
rumahnya yang tidak jauh dari terminal.

Erwin bilang bahwa rumah Dio searah dengan terminal dan berjalan bersama Dio lumayan tidak
membuat perjalanan merasa melelahkan walaupun cukup jauh.
Hal itu terus berlanjut hingga pada suatu hari Erwin merasa curiga dengan Dio yang selalu tidak mau
saat Erwin hendak menemaninya menunggu angkutan.

Saat itu saat Erwin seharusnya pulang justru ia memperhatikan Dio dari jauh dan benar saja semua
keanehan terjawab sudah. Dio menaiki sebuah mobil pribadi mewah yang berhenti tepat di terminal.

Erwin sudah curiga sejak pertama kali Dio yang seperti anak orang kaya kenapa harus naik angkutan
umum. Tentu saja Erwin marah dengan Dio yang membohonginya dan mereka bertengkar cukup hebat
keesokan harinya.

Saat itu ucapan Dio menyadarkan Erwin “Gue bukan mau nipu elo tapi gue benaran mau bersahabat
sama elo Win” ucap Dio.

“Kenapa anak orang kaya mau main sama anak pemulung kaya gue”

Dio mendaratkan tonjokan tepat di wajah Erwin hingga ia jatuh tersungkur “Yang kaya itu orang tua
gue sama yang pemulung itu orang tua elo, bukan kita. Saat ini kita belum jadi apa-apa. Gue tulus mau
temenan sama elo yang juga tulus sama gue, enggak pernah manfaatin uang gue”

Erwin menangis terharu mendengar sahabatnya yang selama ini rela berbohong dan jalan jauh demi
bersamanya.

9. Kode Ujian

Kegaduhan kelas tidak terlihat sama sekali, justru ketegangan dan kesunyian yang saat ini sangat
terasa. Semua itu karena saat ini sedang ada ujian di sekolah dan tentu saja ini menjadi momen remaja
paling diam saat KBM.

Namun percayalah itu hanya yang terlihat dari luarnya saja tetapi aslinya justru menyimpan kegaduhan
yang teramat sangat dan hanya dapat dimengerti oleh siswa-siswi sekolahan.

Reno sedang asik menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, semua itu ia lakukan sengaja untuk
memberikan sinyal pada temannya yang ada di belakang. Dimana jarinya akan terangkat menandakan
butuh jawaban dari nomor sesuai jarinya.

Marta yang melihatnya mulai membaca sinyal dan berdehem “Ehem, ehem, ehem” dimana 3 kali
deheman menandakan jawaban adalah C.

Haikal merebahkan kepalanya pada meja sembari berusaha memasang wajah seserius mungkin untuk
membuat guru pengawas tidak mencurigainya.

Setelah itu Haikal menoleh ke arah kiri tempat Reno duduk sembari membuka mulutnya tanpa suara
yang hanya dapat dimengerti mereka. Reno yang mengerti memainkan jarinya kembali sembari
mengacak-ngacak rambut dan memperlihatkan 3 jarinya menandakan jawaban C.

Kertas-kertas kecil mulai dioper dari satu bangku ke bangku yang lainnya, tentu saja isi kertas tersebut
adalah jawaban atas soal yang begitu banyaknya.

Namun perlu diketahui para remaja ini sebenarnya menggantungkan nasib mereka dari teman ke
teman tanpa tahu bagaimana akhirnya. Semua itu karena terkadang jawaban yang menyebar tidak
diketahui asal usulnya dan apakah itu benar atau tidak.

Saat ini yang terpenting adalah jumlah soal yang hampir 100 soal ini habis terisi, masalah jawaban di
akhir saja dipikirkan. Toh nanti remedial bersama-sama juga.
Namun hal ini tentu saja tidak dilakukan oleh semua remaja yang bersekolah masih ada mereka yang
jujur dengan giat belajar dan mengerjakan semuanya sendiri.

Tentu saja saat hasil keluar mereka yang menggunakan otak sendiri memperoleh nilai yang cukup
memuaskan. Sedangkan yang bermain kode harus menyesuaikan kehokian, apakah setidaknya
jawaban mereka bisa membuat nilai aman.

Justru remedial bukanlah momok menakutkan karena tentu saja mereka akan melaluinya bersama-
sama. Mereka semua belum sadar, dunia yang nantinya akan dihadapi tidak bisa dengan mudah
diselesaikan hanya dengan kode saja.

Indigo Juga Manusia


Seorang remaja putri tampak terduduk diam di bangku belakang paling ujung. Hal itu ia lakukan
karena dirinya berbeda dan masih banyak orang yang tidak menerima perbedaan itu. Setiap hari, Lea
pun berusaha untuk tidak mempedulikan tatapan teman-temannya yang menatap aneh.

“Alea Pramanda.”

Lea berdiri “Saya bu,” ucap Lea.

Seketika kelas menjadi gaduh dan menatap Lea dengan penuh kebingungan.

Mata tajam yang sangat dingin memandangi Lea dari bangku guru “Anak baik, dipanggil ibu ya harus
jawab ya,” ucap wanita itu sebelum akhirnya matanya memelotot dan darah mulai mengalir dari
mulutnya.

“Lea duduk,” ucap seorang guru yang baru saja membuka pintu.

Namun terlambat, teman Lea yang ada di depan saat ini sudah kejang-kejang. Perlahan tapi pasti
akhirnya semua murid berteriak histeris dan hanya menyisakan Lea dan guru yang baru datang.

Lea ketakutan, tapi guru tersebut berusaha menenangkan “Lea tidak apa ibu di sini, kamu bisa bantu
teman-temanmu? Sekali ini saja Lea tolonglah.”

Sebenarnya Lea tidak mau menolong mereka, beberapa minggu yang lalu Lea hampir dikeluarkan dari
sekolah karena mereka yang berdemo dan menginginkan Lea pergi dari sekolah.

Lea tidak pernah meminta untuk berbeda, Lea hanya ingin mereka tahu bahwa walaupun Lea seorang
indigo, ia tetaplah manusia.

Langkah Lea yang perlahan menyelinap kerumunan teman-temannya yang sedang menjerit-jerit. Lea
menghentikan langkahnya tepat pada sesosok makhluk yang selalu Lea benci, sesosok makhluk yang
tidak tahu tempat dan hanya menyusahkan Lea.

“Pergi!!!!” ucap Lea saat berada tepat di depan makhluk yang mampu menimbulkan kegaduhan satu
sekolah.

Tenaga Lea terasa terserap dan tubuhnya benar-benar lemas, akhirnya Lea jatuh pingsan tidak
sadarkan diri karena kelelahan.

Lea terkadang berharap matanya tidak terbuka lagi jika hanya untuk melihat mereka yang tidak sama
dengannya. Rasanya sudah sangat lelah. Namun nyatanya Tuhan masih memberikan Lea umur
panjang.
Hanya saja yang berbeda saat ini, saat membuka mata ada beberapa teman di kelasnya yang menunggu
Lea sadar dan mengucapkan terima kasih. Hati Lea terasa sangat hangat dan isak tangis tak
tertahankan.

10.Perpustakaan Kota

Aku menaiki anak tangga perpustakaan itu. Dengan seragam putih abu-abu yang sudah lusuh karena
seharian beraktivitas di sekolah, aku memaksakan untuk menukarkan buku di perpustakaan kota.

Buku bercover warna biru putih itu sudah lama belum aku kembalikan. Jika aku menundanya lagi,
sudah pasti tunggakanku makin banyak.

Aku tak selesai membacanya karena hanya berisi cerpen remaja yang remeh temeh tentang cinta.
Setelah sampai ke meja pustakawan, terlihat pustakawan sudah siap-siap mau pulang.

Segera, aku bilang untuk memberitahu ingin mengembalikan buku. Hanya saja, ibu pustakawan yang
sudah beruban itu bilang, “Diurus sama mas yang itu, ya. Lagi magang dia. Reno, sini, No”. Sosok
tinggi berusia 20 tahunan itupun langsung menghampiri meja pustakawan. “Ibu pulang duluan ya, No.
Anak bakal rewel nih”.

“Ah iya bu,” lelaki itu hanya tersenyum sopan. Lantas ibu itu pergi keluar dan menyisakan kami
berdua.

“Bidhari, ya.. tunggakannya Rp.20.000,” ujarnya sambil mengecek di layar komputer. Aku serahkan
uang itu kepadanya, lantas ia tersenyum sambil menerima uangku, “Namanya bagus”.

“Terima kasih, Mas,” hanya itu yang bisa kuucapkan karena terlalu salah tingkah dengan pujian yang
aku terima. Pasalnya, baru pertama kali ada yang memuji namaku.

Segera aku berbalik arah dan mencoba tidak berbalik. Namun, ia memanggil dan menyusulku. Ia pun
menghalangi jalanku dengan postur tubuhnya.

“Kartu perpusnya ketinggalan, Dek,” ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali kikuk dan mengucapkan
terima kasih.

Sepertinya kikukku terlihat jelas olehnya. Segera kupercepat langkah juga. Namun, saat perjalanan
pulang, aku terus memikirkannya.

Inikah yang dirasakan para tokoh-tokoh remaja di buku cerpen remaja saat jatuh cinta? Sekarang, aku
menjadi tahu apa yang harus kulakukan, sesering mungkin ke perpustakaan kota.

Anda mungkin juga menyukai