i
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
Anak orang itu!
4
"Kakek Ina mau ikutan", ucapku dengan wajah yang
riang.
"Udah mandi belum, entar di marahin sama ibu basah
basahan lagi ", tanya kakek memastikan.
"Belum ini mau mandi, boleh ya Ina nyebur kek",
pintaku yang di angguki oleh kakek jay, aku pun melewati
tembok pinggir kolam dengan bantuan kakek.
Mengejar ikan yang kesana kemari dengan lincah, di
daerah yang memang licin aku terpeleset, tak menangis tapi
hanya diam karena kaget, kakek jay yang panik mengangkat
ku keluar, tapi aku kembali memasuki kolam lagi. Kolam ikan
ini sebenarnya dangkal hanya kisaran selutut orang dewasa.
Selesai bermain dengan kolam ikan ibu datang memboyong
ku ke kamar mandi agar segera membersihkan diri, setelah
rapih ku lihat om buyung menyebrang jalan menghampiri ku
yang sedang duduk di kursi panjang depan warung memakan
cemilan yang di belikan ibu di pasar.
"Cantik banget ini anak siapa si?", tanya nya ketika kami
berhadapan, sambil mengunyel unyel pipiku.
"Ih jangan di unyel unyel pipinya sakit, Ina bilangin ibu
nih", ucapku sambil menghindar dari rasa gemasnya tapi tidak
di hiraukan.
5
"Anak orang itu yung kasian, sini Ina sama tante", ucap
tante Ani yang menunggu di jemput oleh om Yudi aku
menghampiri tante Ani dan tak lupa berterima kasih karena
senang rasanya selamat dari kegemasan om buyung itu.
Ibu menghampiri kami sambil menggendong adik ku dan
mengobrol dengan tante Ani, entah percakapan apa yang
membuat mereka terkadang tertawa. Aku hanya diam
terkadang mengerutkan kening mendengar obrolan mereka.
Tak lama om Yudi datang menjemput tante Ani, tentunya
dengan gemas mengacak dulu rambut ku, aih orang orang
dewasa itu kerap membuat ku kesal karena rasa gemas
mereka.
Malam nya setelah adzan maghrib, bapak mengajak ku
untuk membeli makan ke dekat jalan komplek brimob, dan
tentunya aku akan memilih pecel lele atau pun pecel ayam
dari banyak nya warung makan yang berjejer. Setelah pesanan
kami selesai kami bergegas kembali ke warung, aku yang
berjalan dengan ayunan tangan dan kaki sambil bersenandung
dan bapak yang memegang sebelah tangan ku dan satu tangan
membawa makanan kami.
"Bapak Ina makan nasinya sedikit aja, kenyang ntar gak
kemakan ikan nya", ucapku yang hanya di tertawakan bapak.
6
Kami makan dengan nikmat, aku menghabiskan nasi dengan
porsi seperti biasa dan 2 goreng ikan lele.
" Tadi ada yang bilang bu, makan nya mau sedikit aja eh
abis juga kayak biasa", ucap bapak pada ibu yang sedang
menyuapi adik ku saat selesai makan. Aku yang tau tujuan
bapak padaku hanya tersenyum malu. Tak lama setelah
makan dan becanda aku tidur tanpa terganggu sampai pagi,
yang terpenting perutku kenyang.
7
Purnama atau sabit?
8
"Nanti abis magrib ngaji di anter teteh Ia ya", ucap ema
sambil menyuapi ku.
"Gak mau ngaji, cape jalan nya suka ngantuk", jawab ku
yang langsung di sauti oleh teh Ia.
"Kenapa gak mau, nanti abis ngaji itu jajan", aku yang
mendengar jajan langsung berantusias untuk menyiapkan
peralatan mengaji.
Biasanya aku belajar bersama ibu di warung ketika
menjelang isya, dan di sini aku belajar mengaji di tempat
mengaji bersama anak anak lainnya, kadang karena
mengantuk aku tertidur menunggu giliran ngaji. Selain belajar
mengaji, kita juga belajar menghafal nama nabi dengan
nyanyian, kisah kisah nabi dan rosul, dan hal seru lainnya.
Sepulang mengaji, pasti berkumpul di ruang keluarga
mengobrol di iringi candaan.
"A Dani kipas nya ke Ina in gerah", ucapku pada A Dani.
"Enggak ah, A Dani juga gerah", jawab nya tanpa
menoleh padaku.
" Ema A Dani nya gak mau ngasih kipas ke na", jurus
andalan ku adalah merengek pada ema.
"Ni kasihin ke si Ina berisik udah malem", lihat tentunya
pasti aku yang menang.
9
Seolah menjadi rutinitas jika aku mengInap kami berdua
akan berebut kipas sebelum tidur, jika dengan A Dani aku
selalu berdebat maka berbeda dengan teh Ia aku akan menurut
seperti anak kucing yang takut induknya.
Setelah aku menghabiskan waktu bermain dengan wIna
yang merupakan anak dari tetangga bah wawan, sekarang aku
harus pulang. Bedanya hari ini aku duduk di tengah di apit
oleh abah dan ema.
Setibanya di warung aku langsung bermain dengan adik
kecil ku lalu aku mandi. Setelah mandi seperti biasa aku akan
duduk di kursi panjang dekat warung, malam nya pasti akan
Ramai dengan orang orang yang berbelanja atau bahkan
sekedar ngopi sambil ngobrol. Salah satunya bah arim,
membicarakan banyak topik yang tentunya di timpali dengan
candaan. Sampai akhir nya aku melihat bulan terang yang
kebetulan dengan bulatan sempurna yang di sebut dengan
bulan purnama.
"Bulan nya bagus bah, terang", ucapku sambil melihat
bulan yang bulat sempurna itu
"Iya bagus terang, coba liat bulan ada isinya", ucap bah
arim sambil mengadahkan kepala.
10
Kulihat bayangan hitam seperti orang yang sedang duduk
tahiyat.
" Itu orang bah?", tanyaku.
"Isinya penyihir jahat yang di kurung di bulan", jawab
abah arim dengan wajah meyakinkan ku.
" Ada juga yang bilang itu orang lagi dzikir",
sambungnya.
Aku menatap bulan dengan tatapan kebingungan jadi
sebenarnya ada apa di bulan, penyihir atau orang berdzikir?
Pikir ku. Bah arim tertawa melihat ku.
"Nanti kalau udah sekolah tau, belajar dari sekarang",
ucapnya sambil mengacak rambutku.
Aku hanya mengangguk karena masih memikirkan
sebenarnya bulan itu isinya apa.
Aku berlari menuju warung menghampiri bapak.
" Pak Ina mau sekolah, biar tau isi bulan", ucapku yang
membuat bapak kebingungan.
Aku dan bapak menatap bah arim yang tertawa setelah
mendengar permintaan ku.
"Udah ayo tidur aja", jawab bapak lalu menimang ku di
gendongan nya.
11
Setelah tiga hari aku tidak selincah hari hari biasanya
karena sakit, tidak enak sekali bahkan orang orang sering
bertanya pada ibu "Ina kemana teh?". Setelah sembuh rasanya
ingin membalas rasa bosan ku yang selama tiga hari seperti
burung di kurung dalam sangkar.
Aku langsung lari menghampiri rumah di belakang dekat
perumahan, rumah teman bermain ku namanya Intan dia lebih
tua dari aku, usianya sama dengan kakak ku tapi kami sering
bermain, tentunya dengan gangguan kedua kakak laki laki
nya, Rifian dan Ramadan terlebih kak Fian selalu usil tak bisa
melihat kami bermain dengan tenang, seperti sekarang kami
bermain ayunan di iringi suara mas Rama yang sedang
mengoceh karena ulah dari kak Fian, dia berniat menjaili aku
dengan mengayun ku begitu kencang.
"Fian pelan pelan aja takut Ina jatuh,baru sembuh juga",
si pria remaja itu menasihati adiknya yang malah tertawa.
" Mana ada Ina takut yang ada dia mh seneng, tuh
mukanya liat tenang tenang aja", jawab nya setelah tertawa
dengan dagu yang mengarah padaku.
"Gapapa mas Rama seru kok, tapi pelanin kak Fian Ina
pusing", lirih ku ketika mulai merasa sedikit pusing.
12
Ku rasa ayunan semakin pelan hingga berhenti aku segera
turun bergantian dengan Intan yang di ayun mas Rama. Aku
duduk dengan kak Fian disamping kanan.
"Kak Fian kok kepala Ina pusing ya", aku berbicara
dengan mata yang terus melihat ke arah mas Rama dan Intan.
" Ya allah Ina, idung nya berdarah", kak Fian
menggendong ku seperti koala.
"Itu ambil sapu tangan dulu ntan", suruh mas Rama
menyuruh Intan.
Mereka panik dan aku di bawa ke ibu,ibu mengambil alih
dan bapak pergi kedekat kolam ikan belakang kantor dan
kembali dengan daun sirih di tangan nya, yang kemudian di
gunakannuntuk menyumbat darah yang terus keluar. Tak aneh
memang seperti ini, anak kecil yang selalu terlihat riang
mempunyai banyak keanehan dalam dirinya, sering mimisan
tanpa melihat keadaan, aku hanya diam ketika ibu
membersihkan darah di hidungku dan mengganti baju ku.
Intan dan kedua kakak nya pulang aku sudah berganti
baju dan duduk di warung, ku lihat mang uut penjual rujak
buah, dan buah potong nya segar tentunya dia akan berhenti
untuk menawari ku.
"Mau gak na?", tanya mang uut padaku.
13
"Ibu mau buah", ucapku pada ibu yang sedang
menidurkan adik ku setelah di setujui dan diperbolehkan aku
lari memilih buah buah segar itu.
Tentunya aku akan memilih si hijau melon yang
menyegarkan, dan juga pepaya untuk ku berbagi dengan adik
kecilku, aku duduk menikmati buah melon itu seperti bulan
ucapku. Saat sedang bermain, entah bagaimana aku kena
knalpot panas aku menangis ketika kulit paha ku memerah
ingin menyesal knpa harus saat memakai celana pendek ini.
Ibu mencoba mengobati menggunakan lidah buaya, ada
menyarankan menggunakan garam, lalu kecap, di ikuti semua
oleh ibu.
"Tinggal di goreng aja itu teh", ucap Om Mamat yang
aednav mengunci pintu menertawakan.
Mereka orang orang dewasa itu tertawa, sedangkan aku
hanya menangis. Setelah 5 hari luka itu sembuh, ku lihat
lukanya seperti bentuk bulan sabit ku beritahu pada ibu
"Ibu liat bekas knalpot nya kayak bintang", tunjuku pada
ibu.
Jadi teringat beberapa hari sebelum nya aku melihat dan
membahas bulan purnama, lalu kini aku mempunyai luka
14
berbentuk bulan sabit. Jadi lebih indah purnama atau kah
sabit?
Bukan Akhir
16
"Iya tadi ada bel juga, makan duku aja", ah ternyata dua
orang dewasa ini mendengar suara perut ku, aku hanya
tersenyum malu.
Kami makan di salah satu rumah makan di pinggir jalan,
dengan nasi dan sayur yang tidak boleh terlewat saat bersama
tante Ani, aku tentu makan dengan lahap agar kembali
memiliki tenaga untuk mengelilingi ragunan.
"Nanti Ina mau lihat jerapah", ucapku dengan mulut
yang masih penuh dengan nasi.
"Makan nya habisin dulu Ina", tegur om Yudi yang
memang susah selesai makan.
Aku makan dengan hati hati agar tak lagi di tegur,
setelah itu om Yudi memesan tiket untuk kami bertiga, aku
senang melihat berbagai hewan yang bersuara, berlari,
berenang. Ku lihat hewan yang ku sebut tadi, andai aku
setinggi itu pikirku melihat si Jerapah. Setelah lelah berlari,
aku memilih jalan ninja yaitu verada di gendongan om Yudi.
Keringat bercucuran di antara kedua alis ku karena berlari
jauh.
"Udah ya kita pulang", ajak tante Ani mungkin lelah
juga.
"Iya pulang aja, Ina udah cape", jawab ku.
17
Kami pulang hampir sore mungkin sudah sore, rasa lelah
membuat rasa kantuk menyerang dan tak bisa di tahan lagi.
Aku tertidur di gendongan om Yudi saat menunggu taksi, agar
lebih aman katanya. Menikmati alam mimpi yang tak
berbunga, aku di bangunkan oleh om Yudi, bukan warung
yang ku lihat tapi gedung bertuliskan carefour.
"Wah seru, mau main mandi bola boleh gak om?",
tanyaku dengan muka yang langsung ceria.
"Boleh", jawab nya menuntun ku untuk memasuki
wahana mandi bola.
Aku bermain dengan begitu ceria seolah kantuk ku
hilang begitu saja, om Yudi dan tante Ani duduk dengan
secangkir kopi hangat di tangan nya. Setelah bermain aku
mengikuti dua orang dewasa di depan ku berbelanja
kebutuhan nya. Setelah itu kami pulang dengan berjalan kaki
karena tak terlalu jauh jarak nya dari warung, melewati
jajaran lauk pauk harum nya pecel lele membuat ku kembali
merasa lapar, tapi tidak jika harus bilang aku sudah begitu
banyak merepotkan tante dan om. Setelah sampai mereka
mengobrol sebentar dengan ibu dan bapak, lalu mereka
pulang dengan menggunakan taksi.
"Bapak sama ibu udah makan?", bisik ku pada bapak.
18
"Kenapa?", bapak tertawa setelah menjawab ku.
"Ina laper", jawab ku dengan senyum malu pada bapak.
Setelah itu bapak menelpon a deden tempat biasa kami
membeli pecel. Setelah makan aku terlelap, kenyang di
dukung oleh rasa lelah.
Hari selanjutnya aku bermain di kantor telkom rasanya
senang sekali terutama jika berargumen bersama Om Mamat,
seperti sebuh hal yang jika di lewatkan itu sangat di
sayangkan. Aku bermain, memberi makan ikan di kolam
bersama kakek jay, menganggu tante Nana, melihat jari tante
Bibah yang sibuk mengetik di mesin ketik menggeser lalu
mengetik menyenangkan sekali melihat nya.
Saat aku kembali ke warung aku di suapi ibu karena adik
ku sedang bermain dengan Wa Heeh. Makan dengan bayam
jagung, entah aku tidak pernah bosan dengan menu itu. Ibu
mengobrol dengan orang aku sendiri tak terlalu
mendengarkan. Tapi kudengar sayup sayup mereka menyebut
namaku dan pulang, aku tetap asik bermain dengan maInan
sederhana ku.
Selesai makan aku pergi ke warung tongseng
menghampiri teh Nita yang baru pulang kuliah, alasan ku
19
kesini jika bukan untuk berdandan pasti mengajak main lalu
jajan. Aku melihat teh Nita membantu budhe.
"Na sini ke dalem jangan di situ", teh nita menyuruh
masuk ketika melihat ku.
" Enggak teh, mau ke om Uyung", ku gagalkan rencana
ke warung tongseng itu.
Aku berjalan kembali di tempat helm aku melihat om uda dan
om buyung sedang mengobrol.
"Assalamu'alaikum om om semua", aku mengucap salam
ketika memasuki toko helm.
"Wa'alaikumussalam", serempak mereka menoleh pada
suaraku.
" Mau main om", aku duduk di antara mereka kami
duduk melingkar.
"Mau main apa?", tanya om Uda.
"Balapan", tantangku pada mereka, sebagai orang
dewasa pastinya merasakan di anggap remeh tapi tidak
dengan mereka justru membalas dengan nada candaan.
" Ayo siapa takut mau sampe mana?", tanya om buyung
dengan nada khas nya.
"Lapangan brimob?", sambungnya lagi.
20
"Sampe warga mart aja", ucapku dengan senyum di
bibirku yang membuat mereka tertawa, apa yang lucu pikir ku
saat itu.
"Itu mah sama om Uda harusnya", jawab om Buyung
sambil tertawa.
"Itu ngajak jajan bukan ngajak balapan Ina", ah rupanya
om Uda sudah paham maksudku.
" Coba bilang dulu sama ibu", sambung nya.
"Jangan bilang ibu tar gak di bolehin, Ina pengen es krim
tau", ucapku sedikit berbisik.
Om Uda pun mengajak ku ke warga mart yang tak jauh
ada di belakang komplek. Aku membeli eskrim pelangi dan
om Uda membeli keperluan nya dan memasukan beberapa
makanan ringan. Setelah membayar aku bersemangat untuk
kembali ke tempat helm, sesampainya di sana aku segera
membuka eskrim dan memakan nya tentunya dengan
bersembunyi di belakang etalase takut - takut ibu mencari ku
lalu menemukan ku sedang memakan eskrim, ah bisa habis
aku.
Setelah itu aku pulang ke warung, ku lihat ada tante Ani
dan tante Bibah mereka sedang menunggu jemputan mungkin.
"Dari mana Ina?", tanya tante Bibah melihat ku.
21
"Dari om Uda sama om Buyung", jawab ku kemudian
duduk dekat mereka.
Tak lama jemputan mereka datang, aku segera mandi
tentunya dengan ibu. Setelah mandi aku heran karena baju ku
tinggal sedikit kemana baju lain nya. Aku menanyakan itu
kepada ibu namun tak di jawab, lalu aku bertanya pada bapak.
Dan penjelasan bapak adalah aku yang harus pulang kampung
karena harus bersekolah, aku pikir hanya bersekolah sebentar
lalu ikut lagi ternyata bukan seperti itu, sekolah bukan
Waktu yang sedikit setelah tau dari yang bapak jelaskan
aku sedikit sedih kapan lagi aku bisa ke sini.
Dengan siapa aku berargumen tapi penuh kasih sayang
jika bukan bersama Om Mamat yang tak mau mengalah
begitu saja walau pada anak seusiaku, siapa yang menjadi
korban kejailan bahkan pelaku kejailan ketika bermain selain
kak Fian dan mas Rama, siapa yang mengayomi seperti Intan,
siapa yang mengganggu orang orang dewasa yang mukanya
selalu tertekuk saat lelah tapi akan tersenyum bahkan tertawa
saat aku datang. Siapa yang akan mengajak om Joni kempesin
motor om Buyung agar memompa di om Joni, siapa yang
akan meminta di make up ke teh Nita.
22
Tapi aku harus bersekolah, aku yang pernah meminta
pada bapak agar aku sekolah untuk tau isi bulan itu apa. Aku
pulang minggu depan bersama bapak naik bis begitu katanya.
Aku tertidur dengan di ayun dalam gendongan bapak, karena
kaki ku yang entah kenapa selalu tidak nyaman jalan yang di
ambil ketika memijat kaki ku tetap gak sembuh adalah
membuat ku tertidur dengan di timang.
Paginya aku bercerita pada tante Nana bahwa aku akan
pulang.
"Tante aku mau pulang nanti sama bapak", ucapku
duduk di di kursi dekat tante Nana.
"Kenapa pulang Ina?", tanya nya sambil merapihkan
meja loket.
"Ina mau sekolah, tapi Ina sedih", lirihku.
" Bagus dong Ina sekolah, kenapa sedih?", tanya tante
Nana.
"Nanti Ina gak ketemu tante, kakek, nenek, abah, wa,
Intan, kak Fian, mas Rama, on tata, sama semuanya", ucap ku
menyebut satu persatu dengan air mata yang tertahan.
" Kan nnti liburan bisa kesini Ina, Ina pulang kalau
pulang kampung juga kesini lagi kan, sekarang juga gitu Ina
pulang sekolah nanti liburan kesini lagi, ini bukan berati akhir
23
Ina kesini jadi Ina harus semangat, katanya mau sekolah
", ucap tante Nana mencoba menghiburku.
Benar aku yang ingin sekolah, di kampung pun banyak
orang terutama ada kakak ku sendiri, dia saja tidak papa
tinggal di kampung bersama nenek ku, lalu kenapa aku tidak
bisa. Selepas bermain di kantor aku bermain di warung
bersama adikku.
"Ina, ikut ayo kita jalan - jalan", ajak kakek Jay
kepadaku.
" Mau kemana?", aku bingung hendak kemana pergi
sebelum istirahat.
"Rumah", katanya sambil memarkirkan motor.
Aku yang mendengar itu tentu tak bisa menolaknya
segera menaiki kuda besi itu dengan duduk di depan. Selama
perjalanan aku bercerita bahwa aku akan
pulang pada kakek, sehari itu aku habiskan dengan kakek
Jay, memetik belimbing wuluh, makan di warteg, aku
menghabiskan waktu dengan kakek Jay, hari berikutnya aku
bermain dengan nenek, orang bengkel, di kantor, di tempat
helm, di warung tongseng dan tentunya di rumah Intan.
24
Pulang
Hari ini terakhir aku di sini besok subuh aku harus pulang
kampung bersama bapak, ibu sendiri bersama adik ku tidak
ikut pulang. Orang yang dekat seperti om Jon, Om uda, om
Buyung, Teh Nita, uwa pangkas,Bah Arim berkumpul di
warung entah kenapa mungkin karena ini terakhir bertemu si
kecil perusuh ini. Aku tidak mengantuk meskipun sudah larut
malam begitu rasanya seperti masih sore, mereka pulang saat
bapak tutup warung pukul 11 malam.
Aku yang tidak bisa tidur bapak timang dan di pukpuk,
aku tertidur dengan lelap. Selama ini kami tidur di kantor
PLN tepatnya di tempat kakek Jay, bapak di beri izin tidur di
kantor tapi pagi pagi sudah beres, karena memang sudah
kenal lama. Malam sekali aku terbangun meminta minum
pada ibu, membangunkan ibu dan menunggu ibu mengambil
minum aku duduk dengan mata yang sudah tidak terlalu
mengantuk, saat melihat ke arah AC betapa kagetnya bahkan
membuat aku menangis ketakutan dan membuat bapak di
bangun kan ibu karena tangis ku tidak reda begitu saja.
"Kenapa Ina nya?", tanya bapak dengan wajah khawatir.
25
" Itu, takut liat", ujarku dengan tangis dan menunjuk ke
arah AC.
"Liat apa Ina nya", ibu mencoba bertanya lagi.
Ku jelaskan perlahan apa yang ku lihat, mereka
langsung membacakan ayat kursi al-fatihah dan doa. Tidak
hilang bahkan aku tetap tidur dengan rasa takut walaupun
dalam dekapan bapak. Ku lihat tangan sampai sikut seperti
bertumpu pada AC tangan itu hitam pekat, posisi jari nya
seperti melambai tak rapat. Tak lama ibu membangunkan ku
ku lihat bapak sudah rapih dengan celana jeans pendek kaos
putih juga jaket yang terpasang di tubuh nya, aku sendiri di
pakaikan jeans panjang, kaos pink dan jaket. Sebelum keluar
aku menangis bukan karena tak ingin pulang tapi kasihan ibu
harus sendiri bersama adik kecil ku terlebih kejadian tadi
malam. Ibu berusaha meyakinkan ku semuanya baik baik saja,
bis pun di berhentikan bapak di depan warung, aku dan bapak
hanya membawa tas gendong berisi beberapa pasang bajuku
katanya agar tidak repot di bawa saat nanti ibu bapak pulang
kampung saja.
Di bis aku menangis dengan terus mengucapkan
kasian ibu, aku dipangku oleh bapak dengan di usap - usap
kepalaku, hingga akhirnya tertidur. Aku terbangun merasa
26
kepanasan, ah bis ini kenapa tidak berAC bapak mengipas-
ngipasi ku dengan jaket ku, tak lama bis berhenti bapak
bertanya apakah aku ingin buang air kecil. Aku turun bersama
bapak untuk buang air kecil dan membeli minuman dingin.
Lalu perjalanan di mulai kembali bapak memberi obat saat
aku merasa mual, kantuk datang dan aku kembali terlelap.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang aku sampai
di kampung halamanku, kami berjalan kaki saat pulang ke
rumah karena dekat, tapi bapak mengajak pulang bukan
melalui jalan raya tapi melalui kebun dan tempat pemandian
umum yang masih di gunakan. Rasanya seru sekali adrenalin
ku membara dengan jantung yang berdegup ketika aku hampir
jatuh karena akar pohon yang ku gapai tak kokoh lagi. Tapi
semua terbayarkan itu pengalaman baru untuk ku kenang
untuk bisa ku cerita kan nanti.
Sampai di rumah aku di sambut oleh kakakku yang
meminta gendong pada bapak. Mungkin rindu hampir tak
bertemu tiga bulan, aku sendiri langsung mengambil minum
karena rasa haus menjalar di kerongkongan, aki dan ema
menyambut ku. Aku bermain dengan kakak ku setelah ia
turun dari gendongan bapak. Tidak lama bapak kembali
bersiap mau kemana lagi pikirku.
27
"Bapak mau kemana lagi?", tanya kakak ku yang
mewakilkan.
" Berangkat lagi kan kasian katanya ibu di sana sendiri,
nanti juga ibu bapak pulang lagi", jawab bapak dengan
mengusap rambut kakak ku.
Sedih, tentu apalagi kakak ku baru bertemu beberapa jam,
bapak mencium puncak kepala kakakku dan kepalaku
menahan tangis tak ingin terlihat cengeng.
Bapak berangkat dengan di antar kakek ku ke tempat bis
aku hanya bisa menangis karena sedih. Melihat itu bibi ku
mencoba mengajak bermain, bermain sepeda aku di bonceng
bibi dan kakakku di bonceng kakak sepupu ku yang seusia
bibi.
"Ina mau belajar sepeda", kataku pada bibi.
"Harus tinggi dulu biar bisa nahan sepeda tuh gini",
katanya menunjukan kakinya yang berpijak pada tanah.
"Kan ada sepeda kecil yang kayak orang", ucapku pada
bibi yang terus mengayuh.
"Gak seru kalau sepeda nya kecil", loh aku kan anak
kecil harus sebesar apa sepeda nya.
Bibi terus mengayuh sepeda nya, dari belakang kakak
sepupu dan kakak ku tertawa mengajak balapan, bibi semakin
28
kencang mengayuh sepeda, dengan peluh keringat yang
bercucuran karena beban yang di bawanya.
"Udah yuk pulang takut di cariin bi", ajak kakak sepupu
ku saat kami beristirahat di lapang pinggir jalan setelah
bersepeda.
"Ayo duluan aja de", ucap bibi pada kakak sepupuku
yang di sebut Dede.
Kami pulang tapi gak terlalu cape kata bibi, karena jalan
nya menurun tak perlu di kayuh tapi perlu siap dan sigap
untuk mengerem agar tak berbelok belok. Setelah pulang aku
mandi lalu makan dengan tempe oreg, sayang sekali tidak ada
menu spesial si bayam jagung yang biasa ibu masakan.
Mengingat itu aku jadi ingat ibu atau bapak belum menelpon
pada ema.
Setelah makan aku bertanya pada bibi kapan aku bersekolah.
"Ina sekolah nya kapan si bi?", tanyaku pada bibi.
"Nanti hari senin", jawab bibi yang sedang menonton
TV, jariku menghitung.
"Berati 3 hari lagi dong bi?", tanyaku lagi.
"Iya sebentar lagi", ucap bibi sedikit kesal mungkin.
Ku lihat kakakku sedang meminum susu di dot setelah
mengerjakan PR nya, pantas saja giginya seperti gigi
29
kambing, pasti tak lama lagi dia akan terlelap. Benar saja lihat
sudah terlelap padahal belum lama, aku sendiri masih belum
bisa tidur karena belum mengantuk, ema sudah menyuruhku
tidur tapi tak bisa, di tawari susu pun tak mau setiap tidur
harus di puk puk atau di timang. Ema mengipasi ku dengan
tangan satu nya mempuk - puk. Akhirnya kantuk datang dan
aku terlelap hingga pagi mendatang.
Di hari Sabtu sore aku membeli alat sekolah di antar bibi,
hanya buku, pensil dan kaos kaki karena tas sepatu sudah di
beli ketika di jakarta saat pulang kampung dulu. Sangat
antusias apakah sekolah begitu menyenangkan seperti yang
Intan, kak Fian atau mas Rama ceritakan, seperti yang di
definisikan kakak ku setiap aku pulang kampung. Rasanya tak
sabar sekali menunggu hari Senin nanti.
30
(Tidak) Semenyenangkan Itu
35
Kaos Kaki
37
Bukan, bukan pengasuh yang mengurus ku dari bangun tidur
sampai tidur kembali, melainkan hanya sebatas mengantar
dan menunggui ku sekolah sampai pulang kembali ke rumah.
Aku berangkat masih dengan tersedu sedu. Mungkin
jika orang rumah melihat mereka akan kesal,karena begitu
sampai di sekolah aku bermain dengan senang melupakan
kaos kaki ku yang mengganjal, seolah mendadak hilang
ganjalan nya, aku memimpin senam di depan dengan
semangat bergerak ke kanan ke kiri dan berputar. Belajar
dengan senang dan antusias, terutama menanti waktu makan
bersama teman teman, mengantri cuci tangan berebut lap
juga balapan masuk kelas.
Saat istirahat aku dan keenam teman ku Agistia, Puji,
Abdika, Yudi, Rafli,dan Tito memiliki 2 kebiasaan, pertama
bermain main di luar bermain lenggang rotan atau bermain
susun balok seperti anak lainnya, lalu kedua adalah bermain
di tempat istirahat penjaga sekolah kami. Hanya bergurau
mengobrol dan hal lain yang di lakukan anak kecil, bedanya
di dampingi penjaga sekolah kami, mang apo namanya.
"Nanti kalau na gede na mau jadi dokter tapi pengen jadi
guru juga mang " Ucap ku di saat mereka sedang
38
bergurau, teman ku menyambung ucapan ku dengan
menyebut kan cita cita mereka
"Kalau gitu harus rajin belajar" respon mang apo sambil
tersenyum menatap kami.
"Selain harus rajin belajar, tidak menangis saat memakai
kaos kaki" Kami menoleh mendengar suara yang tak asing
ternyata suara bu Euis menyuruh kami masuk kelas karena
habis jam pelajaran. Bu Euis salah satu guru yang tau
kebiasaan tentang "kaos kaki" Ku dan aku dekat dengan nya.
Kami pun memasuki kelas dengan semangat hingga tiba
waktu nya pulang.
Begitu terus yang aku jalani selama mengemban pendidikan
di taman kanak kanak, tentunya dengan kejadian kejadian
yang memberi warna warni di kehidupan taman kanak kanak
ku. Pernah suatu hari aku di cakar oleh anak perempuan di
kelas ku, hanya karena berebut bangku, dia merebut bangku
ku mendadak aku mencoba untuk mengambil bangku ku di
bantu para teman teman di kelas, tapi dia tidak mau dan
akhirnya aku di cakar begitu saja. Banyak lagi kejadian yang
tidak terduga, tak terasa sudah selesai sekolah kanak - kanak
ku, aku kini memasuki Sekolah Dasar.
39
Senyum Terakhir
42
Ibu hanya merespon dengan gelangan kepala mungkin merasa
aneh dengan pemikiran anak nya ini. Tak berselang lama
bapak dan kedua saudaraku pulang membawa satu galon dan
satu plastik hitam entah apa isinya.
"Ini masing masing satu", kakakku mengeluarkan 6 cup
ice cream.
" Kok beli ice cream?", tanya ibu pada kakakku.
"Kata bapak buat rayain de Ina dapet 3 besar", semakin
merasa bersalah aku mendengar itu.
Kulihat bapak menaikan galon, dan duduk di antara
kami meraih adik keduaku si bungsu yang sudah berebut
meraih ice cream nya. Aku menghampiri bapak lalu memeluk
nya mengucapkan maaf karena berpikir yang tidak tidak.
Aku sadar bapak tak ingin aku besar kepala dan menjadi
semena-mena bahkan merasa paling bisa, tanpa aku sadari
bapak sendiri ingin aku terus bersyukur tidak sekamar
sombong, dan mengetahui roda selalu berputar, di atas langit
masih ada langit.
Pagi ini aku menikmati hari ke 3 liburan, dengan
menontom TV, bermain dengan saudaraku, bermain keluar
dengan anak sebayaku, mencoret coret menggambar, ketika
siang mengaji bersama kakak dan adikku di antar bapak, naik
43
sepeda atau berjalan kaki. Bosan juga lama - lama ingin
segera sekolah rasanya. Sepulang mengaji ibu dan bapak
sudah bersiap bersama adik bungsuku yang mungkin akan di
titip di ema.
"Ina sama teteh Dila di sini dulu ya, jangan ikut ibu mau
ke rumah sakit mau nengok a Asep", ku dengar a Asep
memang sakit tapi aku tidak tau sampai di rawat di rumah
sakit.
Aku menunggu bersama kakakku, adik pertamaku di bawa
oleh ibu dan bapak. Aku mengajak kakakku bermai agar
tidak terlalu takut.
"Teh main yuk keluar", ajak ku melihat anak anak
bermain tak jauh dari rumah ku.
"Enggak Ina, udah sore", kakakku memilih di rumah
menyalakan televisi, sebelum itu menyalakan lampu agar
tenang.
Aku duduk si samping nya menikmati kartun, cukup lama
ibu pergi hari sudah mulai gelap puji pujian di Masjid sudah
berkumandang pertanda waktu isya tak lagi lama. Ibu belum
juga pulang, aku dan kakakku menutup jendela dan sedikit
gorden takut. Adzan Magrib berkumandang aku dan kakakku
44
belum beranjak dari tempat kami semula, rasa takut mulai
menggerogoti.
Setelah Magrib bapak dan ibu baru pulang, ternyata kedua
adik ku tertidur oantas saja lama. Aku tak menghiraukan
langsung tertidur karena memang lelah sekali hari ini, aku
tidur setelah Isya. Tak lama setelah ku tidur ku dengar orang
menangis samar samar. Mataku yang terpejam perlahan
terbuka melihat ibu sedang menangis sambil menggendong
adik ku.
"Ibu kenapa?", tanyaku dengan sedikit mengantuk.
"Asep Rona", ibu hanya bergumam Asep Rona sambil
terus menangis dan memukul kasur.
Aku masih tidak tau apa yang terjadi, hingga tak lama
bapak dan paman ku menjemput, bapak menenangkan ibu dan
paman ku membantu membangunkan kakakku dan adikku.
Aku disuruh segera menaiki motor di bawa kami ke rumah
ema. Ramai sekali pikirku terlebih ada ambulan yang
membuat ku langsung memasuki rumah, orang rumah
menangis dengan tersedu-sedu. Di beritahu oleh saudaraku
ternyata A Asep meninggalkan kami semua, menghembuskan
nafas terakhir nya.
45
Seketika terputar kembali peristiwa satu minggu ini yang
membuat aku tertawa, terlebih ketika A Asep jatuh karena
licin kami yang panik melihat kakinya terluka dan kotor,
setelah di bersihkan lukanya hanya baret kecil bulatan di
lututnya karena lumut. Ketika aku yang hendak mengaji dan
melihat nya sedang duduk di teras depan rumah, tawanya
yang indah itu terputar dalam kepalaku. Senyuman yang
begitu menenangkan ternyata senyum terakhir yang ku lihat.
Paman ku sudha tersedu-sedu, uwa yang pingsan tak sadarkan
diri, dan A Dede yang mencoba tegar menguatkan orang
terdekat nya.
Orang-orang mengaji membaca kan surat yasin, saat itu
sebelum dimandikan kami ditawari untuk mencium kening
nya, aku sendiri tidak berani takut entah takut akan apa.
Orang dewasa mengerjakan kewajiban seorang muslim,
memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya
di pagi hari.
Satu minggu kemarin adalah waktu dimana ia lebih
sering tersenyum, ternyata senyum terakhir itu ia perlihatkan
pada kami, dan seolah memberi kami pelajaran manfaatkan
waktu sebaik-baiknya.
46
Kambing Hitam
49
Aku menjadi lumayan dekat sejak saat itu dengan dia
juga anak yang lain. Entah bagaimana awalnya tapi aku
menjadi penghuni perpustakaan sekolah bersama guru yang
jaga perpustakaan Bu Ima namanya, tak lama ada guru baru
bernama Pak Aditya yang kemudian kami juga dekat. Tak
jarang saat jam kosong aku memilih diam di perpustakaan
mencari buku yang bisa ku baca atau sekedar mengerjakan
tugas.
Selama beberapa bulan aku masih menikmati kelas
masih berjalan aman tak ada masalah, menginjak bulan ke 5
mulai timbul masalah-masalah yang sebenarnya tidak aku
lakukan, dan bersumber dari orang yang ku rasa dekat
Saat itu ada salah satu kakak kelas yang mempunyai
hobi sepert perempuan berias seperti memakai soflens.
"Kok A Amar bisa ya pake soflens, aku kalau nyoba gak
masuk ke mata", ujarku pada teman di kelas.
"Sama aku juga gak bisa", saut salah satu temanku.
Setelah obrolan singkat itu, dua hari kemudian A Amar
dengan temannya datang ke kelas untuk mencariku, tiba tiba
gertakan dan amarah dia luapkan padaku.
50
"MAKSUDNYA APA BILANG AKU BENCONG,
MASALAHNYA APA SAMA KAMU?!!", teriaknya di
depan mukaku.
"Siapa yang bilang kamu bencong?", tanyaku mencoba
tenang dan mencoba mengerti maksudnya.
"Halah ngaku aja, temen kamu saksinya", ucapnya masih
dengan nada marah.
"Temen mana yang bilang sama kamu?", suaraku mulai
bergetar.
"Gak usah tahu, lagian ngapain nangis kalau ngerasa gak
salah ", sarkas dengan nada tinggi membuat aku merasa
di permalukan.
"Karena aku ngerasa gak salah, aku gak pernah ngomong
hal yang kamu tuduhkan, juga aku merasa kamu perlu
mencari tahu yang sebenarnya, miris sekali hanya dengan satu
suara kamu tidak mencoba mencari suara lain bahkan
menulikan suara lain", tangis ku mulai tumpah merasa marah,
kecewa, heran, sedih.
"Dan aku rasa yang seharusnya kamu cari tahu justru
kemungkinan besar orang terdekat kamu yang mengucapkan
hal itu dengan menjadikan orang lain sebagai kambing
hitam", sambungku sedikit tenang.
51
Tanpa mengucapkan apapun Amar dan temannya yang
lain pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku melihat
kelas sudah ramai, teman ku menanyakan kronologi kejadian
yang tidak aku jawab. Sudah tau siapa yang menjadikan ku
sebagai kambing hitam, masih teman ku ah pantas kah aku
sebut teman. Tak terlalu aku ambil pusing toh aku merasa
tidak mengucapkan itu dan aku tidak salah.
Perpustakaan menjadi pilihan untuk saat ini, menceritakan
permasalahan ini untuk sedikit meringankan pikiran ku, ketika
menceritakan itu Pak Aditya dan Bu Ima tertawa. Aneh
katanya, mereka saja merasa aneh apalagi aku.
52
Surat Yang Gagal
54
"Percaya sama aku aku gapapa Mal", yakinku agar ia
percaya.
Suara panggilan belajar kembali memanggil mereka yang
sedang bersantai. Mala kembali ke tempat duduk dan aku
pergi ke toilet untuk mencuci muka. Pembelajaran
dilaksanakan dengan sedikit ramai, setelah beberapa jam
belajar suara yang membuat para siswa kesenangan berbunyi.
Kami berhamburan keluar kelas dan pulang, aku pulang naik
angkutan umum.
Sesampainya di rumah ku lihat ibu sedang menidurkan
adikku yang terus mengajak bermain mencoba menggapai
wajah ibu. Bagaimana bisa aku bercerita tentang kejadian tak
menyenangkan di sekolah, aku mengambil alih adikku
membiarkan ibu beristirahat sejenak, menimang adikku
seperti bapak menimang aku. Terbukti bayi kecil itu dalam
hitungan menit sudah terlelap dalam gendongku.
Malamnya ketika aku belajar entah terlalu lelah atau
karena hal lain aku tertidur di atas buku-bukuku.
Aku terbangun di tengah kesunyian malam, dengan
ditemani suara jangkrik yang ramai bersautan. Aku
menyelesaikan tugas sekolah yang belum terselesaikan, lalu
kembali tertidur karena kantuk sudah kembali menghampiri.
55
Kumandang adzan kembali membangunkanku yang baru
tertidur beberapa jam lalu, bersiap untuk pergi ke sekolah.
Seperti biasa menunggu angkutan umum, menyapa pak
satpam lalu ibu kantin yang kebetulan terlewati jika ingin ke
kelasku.
Aku mencoba melupakan peristiwa yang lalu berusaha
untuk biasa saja, memulai hari dengan rasa bahagia. Masih
aman selama beberapa jam hingga akhirnya sebelum istirahat
panggilan dari guru BK datang untukku. Menghela napas, ku
coba meredam segala emosi yang di rasa. Ku ucapkan
terimakasih pada sang pembawa kabar, menenangkan diri lalu
pergi ke ruang BK.
"Assalamu'alaikum", ucapku memasuki ruangan BK.
" Wa'alaikumussalam,sini Neng", jawab Guru BKku di
dalam ruangan.
Aku memasuki ruangan Bu Ai, rasa gugup mulai
mengampiri takut akan persepsi orang-orang melihatku
memasuki ruangan ini. Kembali ku tarik napas, menahannya,
dan membuang perlahan.
"Ada apa ya bu?", tanyaku dengan hati hati.
" Ini Neng Aina, betul?", pertanyaanku di jawab dengan
pertanyaan lain.
56
"Iya Bu, betul saya Aina", aku mencoba tetap tenang
" Begini Neng ibu menerima laporan tentang
pelanggaran yang Neng lakukan, pemalakan, pembullyan,
juga pengancaman", ucapnya.
Aku mendengar itu tentu kaget kenapa ada orang yang
melaporkan seperti itu, ku tanya beberapa hal untuk
meyakinkan jawabanku bahwa aku tidak melakukan itu
semua, tepatnya kapan kejadian itu terjadi, itu adalah
kuncinya. Ku dengarkan dengan seksama lalu aku bertanya.
"Jikalau saya membela diri apakah itu akan sia-sia, Bu?",
tanyaku perlahan.
Mendengar jawaban yang diberikan Ibu Ai aku menciba
memberi beberapa penjelasan, pembelaan diri. Namun, itu
ternyata sama saja sia-sia, terlalu menampiknya membuat kita
terlihat memang sebagai penjahatnya. Lihat dengan halus
tetap saja Surat Panggilan Orang Tua di hadapanku, dengan
lembut berkata untuk memberikan ini pada orang tuaku tentu
saja aku tidak bisa.
Aku mencoba meminta kesempatan untuk membuat
pembelaan, setelah dipersilahkan aku pergi ke perpustakaan
ku lihat Bu Ima dan Pak Aditya aku menghampiri Bu Ima dan
memeluknya tumpah sudah air mata. Aku menjelaskan pada
57
mereka yang telah terjadi, tanpa tunggu lama mereka
meninggalkanku memakan waktu sedikit lama mereka
mengatakan tidak perlu memanggil orang tua, entah apa yang
mereka katakan pada guru BK ku, aku sedikit tenang
setidaknya aku tidak memberikan berita tak menyenangkan
pada Ibu. Ku pendam bahkan tak ada yang tau mengenai
perihal ini entah sampai kapan. Bersyukur mengenal mereka
yang baik membela ku dengan sungguh, beruntung waktu
yang mereka sebutkan adalah waktu dimana aku
bercengkrama dengan orang-orang di perpustakaan.
58
Karena Coklat!
61
"Gimana ulangannya gampang kan?", tanya Bu Ima
padaku.
"Sabar ibu ini Na aja baru selesai buka sepatu, Bu", aku
memasuki perpustakaan lalu salam pada Bu Ima.
"Alhamdulillah seperti lalu-lalu masih bisa di handle
beberapa, sama juga kayak A Rony yang masih bertanya",
sambungku.
" Alhamdulillah nambah pahala itu", ucap Bu Ima.
"Ih tapi ibu tau gak si aku kaget, masa tadi abis ulangan
dia ngasih coklat katanya tanda terimakasih udah bantu dia,
tapi aku gaenak masa cuman bantu gitu doang malah ngasih
coklat", aku menceritakan kejadian tadi di kelas saat hendak
pulang.
Bu Ima menertawakanku setelah selesai bercerita, "itu kamu
nya kegeeran mikir kesana kemari", aih tidak tahu saja aku
bingung.
"Bukan geer tapi kan jawabannya juga belum tentu bener
", mencoba membuat Bu Ima mengerti hanya tidak enak saja.
"Ih dasar karena coklat ini tuh ya", sambungku merajuk.
Tak ingin memperpanjang aku segera mengembalikan
buku pada raknya, dan mencoba menghindari candaan itu,
sialnya keberuntungan tidak bersamaku, saat hendak keluar
62
Pak Aditya datang dan Bu Ima menceritakan yang tadi pada
Pak Aditya, sudah cukup wajahku memerah merasa malu
dnegan apa yang mereka candakan. Aku langsung menyalami
mereka dan keluar perpustakaan saat melihat teman yang ku
tumpangi hendak pulang.
Pengumuman dan pembagian raport dilaksanakan
bertepatan hari ini. Raportku di ambil oleh Tanteku istri dari
Paman. Sedikit membuat senang hati peringkat ke-2 dari 34
siswa, setidaknya tidak terlalu mengecewakan.
Liburan selama dua minggu tidak ada yang istimewa aku
di rumah membantu ibu dan sesekali bermain dengan Ridha
dan Mala ya kami lumayan dekat. Kupikir tidak ada yang
menyenangkan untuk liburan kali ini, sama seperti hari-hari
biasanya. Komunikasi dengan beberapa teman yang memang
dekat salah satunya adalah Tari, cukup dekat begitupun
dnwgan keluarganya sama seperti Mala dan Ridha.
Membeli peralatan yang baru contohnya peralatan tulis.
Seperti kegiatan rutin ketika menaiki kelas semua serba baru,
tas, sepatu, kaos kaki. Lalu kelas baru, teman baru semua
baru. Karena sekolah ku menggunakan sistem rolling teman
sekelas dan kelasnya. Melalui grup di beritahukan info kelas
dan siswa yang terdaftar di kelas itu. Aku berada di kelas 8.4
63
kembali sekelas dengan Tari bahkan kali ini sebangku, selain
itu sekelas dengan saudaraku, juga dengan beberapa orang
yang aku kenal.
Pengumuman wali kelas saat upacara, wali kelas ku
bernama Pak Hardi terlihat galak, tegas, disiplin dan memang
seperti itu. Aku kerap memanggilnya dengan sebutan Papi,
agar lebih akrab. Aku menjadi ketua kelas, tidak menarik
sekali pikirku. Setelah pembagian struktur kelas Pak Hardi
memberikan beberapa tugas untuk dilakukan, lihat baru
beberapa menit lalu sudah ada tugas saja.
Beberapa bulan kemudian kami mulai dekat satu sama
lain, pada hari ini tepat hari ulang tahun Pak Hardi, aku dan
teman lainnya menyusun strategi untuk memberikan kejutan
pada Pak Hardi. Aku menyusun rencana berpura-pura ada
temanku yang bertengkar, untuk meyakinkan aku mencoba
mengeluarkan air mata, susah sekali ternyata tapi ada 1
perkataan teman yang membuat aku bisa menangis. Aku
menghampiri Pak Hardi yang berada di ruang TU. Tapi semua
berbalik di saat ternyata aku kembali di jaili oleh orang-orang
di ruang TU, mereka tertawa karena kejutan kami gagal dan
justru aku yang dibuat terkejut.
64
Hilang sudah rencana kejutan, aku dan Pak Hardi
kembali ke kelas. Lalu anak-anak menyanyikan lagu, dan tiup
lilin. Aku lebih terkejut ketika bolu potongan pertama di
berikan untukku, dengan cara yang berbeda langsung dari
pisau yang di gunakan.
"Selamat ulang tahun", itu yang di ucapkan nya.
" Makasih bapak", ucapku dengan bergelimang air mata.
"Telat seminggu masih anget, jadi masih berlaku", lagi
aku di buat terharu ku mengadahkan kepala agar tak jatuh air
mataku.
Tahun ini sedikit sulit tak ada ucapan selamat ulang
gahun di pagi hari saat aku bangun tidur dari ibu ataupun
bapak, dengan kue bolu yang ibu buat dari beberapa jajanan
coklat, lalu sekarang Pak Hardi mengetahuinya.
"Bapak udah makan bolu nya, yang mau ambil ya".
ucapnya lalu keluar kelas.
Setelah terbagi kami memakan dengan nikmat hingga
satu orang di antara kami menyoret muka temanku dengan
cream coklat, lalu saling membalas. Aku diam saja tak akan di
dengar oleh mereka kalah oleh suara kericuhan mereka. Aku
yang tidak ikut-ikutan malah di coret juga, aku mencoba
65
menghindar dan hasilnya malah terkena kerudungku. Barulah
dari situ aku marah dan membuat mereka berhenti.
Lihat pasti tidak lama ketika keluar kelas orang orang
akan bertanya perlihal noda di kerudungku, gara-gara coklat
kue itu pasti aku akan terlihat sangat ceroboh.
66
Tarian Tangis Awan
67
Aku mengerjakan dengan buru-buru agar segera pulang,
takut gerimis bertambah besar menjadi kumpulan rintik yang
berlomba-lomba menikmati tarian di tanah bumi.
"Santai aja ngerjain nya jangan buru-buru", ucapnya
yang tak aku hiraukan.
Setelah beres aku segera memberikan jawaban itu," Gak
nerima pengulangan", ucapku meniru gayanya jika dia sudah
kesal aku terus bertanya materi. Aku siap untuk pulang,
sialnya aku lupa meminta jemput terlebih dahulu. Pilihan nya
adalah menunggu kakak sepupuku latihan basket bersama
anak SMP.
"Udah ayo bareng aja", ajakannha tak ku hiraukan.
" Sebelum ujan, cepetan", itu seperti paksaan bukan
tawaran.
"Enggak, duluan aja", tanpa menoleh aku berucap
demikian.
" Yaudah di temenin", aku menoleh kaget saat tiba - tiba
suara itu ada di sampingku.
"Gak usah pulang aja ngapain si ngikutin segala", kekeh
ku.
"Oke maaf ya, ayo pulang sebelum hujannya turun
mumpung masih kecil ", bujuknya.
68
" Kasian Na ibu kamu sendiri loh", sial dia tahu
kelemahanku.
Tanpa berdebat lagi aku berdiri berjalan kesamping motornya.
"Ayo katanya sebelum ujan gede", ucapku dengan nada
sedikit kesal.
Di perjalanan pulang itu aku menutup rapat-rapat
mulutku agar tidak bersuara. Tatapanku hanya tertuju pada
sepatu dan jalan.
"Persiapan nya di bagi mulai sekarang, buat ulangan
akhir semester nya sama buat lombanya ", ucap dia yang ku
iyakan dalam hati.
"Pelajarin lagi materi kelas 7&8, kata Bu Dian banyak
materi kelas 7-8", dia tidak berhenti mengajak berbicara.
" Iya udah tahu", lalu kami saling diam.
Hujan turun di saat yang tidak tepat, di perjalanan tiba-
tiba besar seperti wahana ember tumpah, kami menepi
memasukkan buku buku ke box motor sisanya di masukan
pada tasku yang di pasang jas hujan. Lalu dia mengajak ku
menerobos hujan. Sesampainya di rumah dia disuruh mampir
oleh ibu, hujan kasian katanya.
"Udah sini masuk dulu hujan", ajak ibu pada A Idan.
69
" Biarin si kalau gamau", aku memasuki rumah,
membuka tas berisi bukuku dan dia.
"Udah ayo masuk ke dalem tunggu hujan nya agak reda",
akhirnya aku mengajaknya juga kasian sudah baik
mengantarkan aku walau karena paksaan dia juga.
Dia masuk duduk di bawah karena basah, lalu ibu
mengambil baju dan celana milik sepupuku yang kebetulan
selalu di simpan jika mereka menginap. Ibu dan dia
mengobrol banyak aku sendiri tak terlalu menghiraukan.
Hujan perlahan hilang entah lari kebagian sebelah mana. Dia
pulang dengan jinjingan tas berisi baju seragam miliknya
yang telah basah, untungnya besok ganti seragam.
Latihan itu dilakukan selama kurang lebih dua bulan,
besok pagi adalah hari yang ditunggu olehku, hari
perlombaan. Dengan aku mewakili IPS, Angga mewakili IPA,
Mala mewakili MTK. Masih ingat Angga teman SD ku kan,
inilah Angga yang sama, dan Mala teman dekat ku dari kelas
7.
Ramai sekali, guru pembimbingku tidak bisa ikut hanya
pembimbing Angga juga Mala. Kami mengkonfirmasi data
terlebih dahulu pertama Mala, Angga, lalu aku. Ketika
bagianku para guru pembimbing itu kaget.
70
"Data kamu na", ucap salah satuny dengan raut kaget.
"Iya ibu gitu", ucapku membetulkan.
"Ini mah punya Angga", lihat kejadianya kembali
terulang.
" Enggak ibu Angga mah tempat lahirnya beda", lalu
setelah itu kami tertawa entah untuk apa.
Selesai dengan itu kami memasuki ruangan masing-
masing bidang. Degup jantungku semakin berdetak kencang
rasanya deg-degan sekali. Perlombaan di mulai aku mencoba
mengerjakan soal yang lebih mudah lebih dulu, lalu
mengerjakan soal yang sulit.
Setelah ujian selesai kami pulang kembali kerumah
dengan guru yang menjemput kami. Saat di mobil ku lihat
Angga dan Mala yang sepertinya kelelahan hingga tertidur.
Huft, lega tinggal menunggu hasil yang belum tentu
memuaskan.
Setalah tiga hari hasilnya di umumkan guru pembimbing
masing-masing. Mengecewakan mendapatkan 30 dari 90
siswa. Kecewa rasanya, tapi support orang terdekat kembali
meyakinkanku ini belum rezekiku.
"Udah gapapa yang penting kamu udah nyoba, udah
berusaha, jangan putus asa", hanya itu yang di ucapkan A
71
Idan saat aku bercerita pada dia. Hasilnya tak memuaskan,
tapi itu bisa jadi batu loncatan untuk kedepannya, agar terus
giat dan sungguh-sungguh.
Dibawah rincik hujan aku pulang bersama Idan,
memikirkan apakah dia kecewa atas hasil yang ku dapat,
apakah dia marah. Aku mencoba meredam kecewa dan
sedihku, rintik hujan itu tak lama mengalir juga dari mataku.
72
Hiburan Sementara
Akhir kelas 8 selalu ada acara rutin yaitu Tour, kali ini
angkatan kami masih sama dengan angkatan kakak kelas kami
Yogyakarta menjadi tempat tujuan. Kami beri pengumuman
mengenai pemberangkatan nanti malam, aku dan temanku.
Sebelumnya kami membagi teman kamar aku bersama Putri,
Rahma, Marsha, dan Wati. Pemberangkatan pukul 7 malam
bada isya, aku di antar oleh kakekku dengan cuaca sedikit
bergerimis.
Kami dikumpulkan di aula sekolah yang juga merupakan
gedung Olahraga. Setelah di beri wejangan oleh guru dan
menunggu bis datang kami mengantri menunggu giliran
masuk agar tertib, aku di bis 3 di gabung dengan kelas
tetangga yang sedikit heboh, tapi tak lama kehebohan itu
berlangsung. Kami berdoa bersama sebelum bis berjalan. Aku
duduk dengan Wati, permasalahannya adalah aku dan Wati
sama-sama mudah untuk tertidur belum sampai kuningan kota
saja aku sudah terlelap dengan nyenyak, dan Wati yang
menyender padaku malah ikut terlelap katanya.
Aku beberapa kali terbangun karena kepala ku yang
menyender kurang nyaman, dan aku terbangun ketika bisa
73
berhenti di rest area. Ku bangunkan Wati barangkali ingin
buang air. Pukul 4 kami tiba di dalah satu tempat yang di
gunakan untuk mandi, dan sembahyang. Aku hanya mandi
karena sedang berhalangan. Setelah mandi kami ke rumah
makan Ulu Resorts makan sambil menunggu hari terang.
Destinasi pertama yang di kunjungi adalah candi
Borobudur.
"Putri, Na cape deh". keluhku karena belum sampai juga
di puncak.
Kami beristirahat sebentar dan berpoto.
"Nanti kita poto sama bule", kami tertawa mendengar
ucapan Wati.
" Emang bisa ngomong nya Wat?", tanya Putri.
"Bisa tinggal gini aja 'Mrs atau Mr, can we take one
pictures?' gitu aja", aku melihat nya dengan tertawa bukan
karena meledek, tapi gaya nya yang meminta poto itu
membuat kami tertawa. Sambil naik tak kupa mengabadikan
berbagai momen yang mungkin nanti hanya menjadi goresan
kenangan.
Selanjutnya setelah candi Borobudur kami pergi ke
Museum Dirgantara, lalu setelah itu ke hotel tempat istirahat.
Aku membawa barang - barangku yang tak banyak itu.
74
Sesampainya di kamar kami bergantian mandi dan solat, tidur
biasa.
Tak lama setelah itu kami di panggil untuk makan,
setelah makan kembali memasuki kamar tapi entah kenapa
setelah isya kami di kumpulkan kembalj, ternyata ada yang
membawa vape dan rokok. Kami di beri nasihat. Setelah
kembali ke kamar aku di panggil guruku sudah deg-degan
ternyata karena ada bibiku. Aku sampai lupa mempunyai janji
dengannya, kebetulan bibi merupakan teman dari putra
guruku. Aku dan bibi di izinkan keluar tapi pulang ke hotel
tidak lebih dari pukul set 9.
Tak jauh aku dan bibi hanya membeli makan di salah
satu kedai. Aku memesan chicken teriyaki dengan minum
coklat dingin. Temanku menitip makanan dan mungkin akan
membelikan nasi goreng seafood agar sekalian. Setelah puas
mengobrol ternyata sudah jam 10. Bibi memesan pesanan
temanku, pukul set 11 aku baru kembali ke hotel, dan Bibi
pulang ke kostan bersama temannya. Sedikit was-was karena
dipinggir kamarku adalah kamar guru yang jaga.
"Sha, Marsha", panggilku pelan sambil mengetuk
jendela.
75
"Put, Ma", tidak ada sautan dari mereka, aku terus
mencoba mengetuk pintu hingga akhirnya terbuka dengan
memperlihatkan orang yang ternyata sudah terlelap.
"Maap ya Sha, tadi gak liat jam nih pesenannya", Marsha
menerima kotak itu dan memakannya, lalu kami kembali
tertidur setengah jam setelah Marsha selesai makan, ditemani
oleh suara hujan yang menggelegar.
Esok harinya kami kembali melanjutkan perjalanan
tujuan pertama adalah Taman Pintar. Lagi, harus mengantri
untuk mendapatkan tiket masuk nya. kami memasuki Taman
Pintar, mataku mengerjap. Banyak sekali barang yang
berkaitan dengan pelajaran IPA, kami berkeliling bersama -
sama. Menyenangkan sekali. kejadian lucku ditengah rasa
kagum yang tak hilang.
"Ini kita ke kanan apa kekiri", tanyaku pada mereka.
" Kiri" Kami mengikuti jalan lalu kami tersesat saat
hendak keluar yang bisa dilakukan menunggu orang yang
kami kenal.
Setelah dari taman pintar kami pergi ke Keraton, melihat
gemulai nya penari dan pemain gamelan, tak jarang pemain
gamelan itu juga ada yang merupakan turis. Lalu kami
mengikuti komando kami di bagi menjadi beberapa
76
kelompok, mendengarkan yang di sampaikan oleh guide toure
atau pemandunya yang menjelaskan tentang Keraton ini.
Setelah dari Keraton hendak ke tempat selanjutnya kami
melaksanakan Ibadah Salat Dzuhur.
Selanjutnya adalah Benteng Van der Burgh, sedikit
menyeramkan menurutku dengan bangunan yang seperti
model dahulu. Berkeliling dan beristirahat di dekat pohon
dengan hamparan rumput hijau. Bahkan ada yang menyewa
sepeda, becak-becakan. Aku melihat raut muka tak bersahabat
di antara puluhan senyum yang terukir indah.
Terakhir adalah Malioboro, berbelanja seperti menjadi
kebiasaan, aku sendiri membeli baju untuk ketiga adikku
hanya itu saja, karena aku yakin pasti nanti akan mengunjungi
tempat oleh-oleh. Aku menunggu teman yang lain yang masih
berburu belanja. Setelah kembali berkumpul tanpa kurang
satupun kami kembali ke tempat parkir bis. Sudah ramai juga
ternyata tapi tetap saja masih ada banyak yang belum
kembali, dari tempat orang bisa berbelanja itu.
"Na kamu beli banyak?", tanya Wati.
" Enggak kenapa?",
77
"Mau titip di bawah ya belanjaanku", aku melihat
belanjaannya yang sedikit banjak, ku biarkan dia menyimpan
barangnya.
Dugaan ku benar kami ke tempat oleh-oleh aku hanya
membeli bakpia, dan ternyata memang enak, ada temanku
yang membeli oleh-oleh dan dia membuka jastip banyak
sekali barang belanjaan yang dia beli karena jastip.
Lalu kami melanjutkan perjalanan pulang dengan tertidur
nyenyak mungkin karena sudah lelah berpetualang. Kami
semua sampai di sekolah pukul 3 dini hari.
Tour kemarin hanya selingan hiburan semata, sebelum
menghadapi ujian kenaikan kelas. Kali ini berbeda sudah
memakai komputer aku di sesi 2 ruang 2.
78
Rumah Lain
82
aku rasa ada rumah lain untuk sekedar beristirahat sejenak
melepas jenuh dan lelah.
Setelah menghilang warna di hidupku, mereka datang
melukis kanvas hitam dengan berbagai warna, membentuk
pola abstrak yang memberi kebahagiaan jika memandangnya.
Banyak kenangan manis juga pahitnya, pernah aku sampai
ribut besar hanya karena salah paham.
Kenangan manis di akhir semester itu di antaranya
merayakan ulang tahun salah satu teman lalu makan bersama
satu kelas kecuali 6 orang yang memang pendiam, lalu aku
dengan teman ku kabur dari sekolah ke rumah Nais untuk
meliwet. Dan masih banyak lagi hal lain yang membuat aku
melupakan segala beban yang ada di pikiranku. Memberikan
dukungan ketika lomba antar kelas dengan begitu heboh.
Dimulai dari perceraian bapak dan ibu aku perlahan berubah.
Saat ulangan perceraian ibu dan bapak di proses menjadi
hantaman besar, membuat aku malas ketika di rumah, tak
berminat melakukan apapun untuk bahkan sekedar membuka
buku, hanya diam di kamar di temani suara musik yang
mengalun merdu di gendang telinga. Hingga ujian aku masih
bisa menjawab beberapa soal dengan cukup mudah, entah
benar apa tidak setidaknya tidak kosong jawabanku.
83
Selesai ujian, kini pembagian raport dan seperti
dugaanku begitu mengecewakan, peringkat ke 5 dari 36
siswa. Itu membuat aku sedikit kaget dan down. Kini harus
mulai membangun semangat yang meredup. Kembali
membakar semangat yang harus membara. Mencoba tidak
masuk terlalu dalam ke masalah orangtuaku, terkadang kesal,
kakakku di amankan dari segala masalah tak boleh ada yang
memberi tahu, sedangkan aku tak lepas dari sejengkal pun
masalah mereka. Merasa di paksa dewasa disaat jiwa kanak
kanakku belum terpenuhi hak nya.
Ada banyak rindu yang ku pendam, ada banyak tangis
yang ku redam, agar semua tetap tentram, biar aku yang
mendekam dalam luka yang mendalam.
84
Pandemi dan Sisanya.
85
Ketika sekolah daring di jenjang SMA aku kesulitan
mengikuti pelajaran, karena tidak terbiasa, ketika perintah ke
sekolah untuk menyetorkan tugas aku kebingungan tidak tahu
siapa hang mengajar ku, pada siapa yang saat ini tugas harus
aku kumpulkan.
Puncaknya ketika aku mengalami Krisis identitas,
kehilangan semangat, dan bahkan kehilangan jati diri sendiri.
Saat itu puncak permasalahan antara aku, bapak, san ibu,
juga saat pertama aku melanggar prinsip menjaga semua
milikku dengan baik, pertama kali aku terjerumus pada hal
yang tidak pernah ku lakukan dan hal yang paling ku hindari.
Menciptakan prinsip baru, " Jika orang lain bisa menyakiti
aku, maka aku pun bisa melakukannya".
Kebiasaan itu terus menerus terjadi entah sampai kapan,
mencoba untuk sembuh dari kebiasaan itu tentu sulit. Apalagi
sudah berjalan di jangka waktu yang lama.
Hingga akhirnya sekolah semester 2 mulai disatukan,
aku dekat dengan Indri, Gita, Mia, Luciana. Saat itu kami
belum terlalu dekat dengan yang lain. Banyak cerita bersama
mereka, berawal dari tugas kelompok hingga akhirnya
menjadi akrab, dan kemudian menjadi dekat. Membantu
untuk mengalihkan perasaan yang di rasa.
86
Mencoba untuk menghindari keinginan menyakiti diri,
menghindari tubuhku dari luka - luka yang baru ketika luka
lama belum juga mengering. Tapi ternyata susah belum bisa
mengontrol emosiku. Tangan kiriku kembali menjadi korban,
setiap permasalahan dengan teman, bapak, sekolah. Ketika
semua sudah tak bisa ku tampung, ku tumpahkan pada
goresan-goresan-goresan di tangan yang menjadi saksi untuk
segala sesak yang tak bisa di luapkan, untuk keluh yang tak
tersampaikan, untuk perasaan yang dipaksa untuk dipendam
dan ekspetasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Pada saat itu guru bk memberikan materi di kelas kami,
materi menyayangi diri sendiri aku sedikit tertampar dengan
materi itu membuat sedikit terisak. Setelah kelas selesai aku
di panggil, bukan karena kasus, tapi hanya untuk bimbingan
dengan rentetan pertanyaan untuk mengeluarkan segala
perasaan. Di berikan nasihat untuk menahan dan
mengalihkan jika ada rasa ingin menyakiti diri.
87
Ingin sekali ku jelaskan, bahwa semua upaya sudah aku
lakukan tapi selalu gagal. Aku rasa bisa menghilangkan
semua itu ketika aku sendiri sudah bisa berdamai dengan
hidupku. Dan aku selalu menanti waktu itu, pandemi covid-19
awal dari permasalahan yang membuat melanggar prinsip
lama hingga membuat prinsip baru. Dan meninggalkan sisa
sisa luka di tangan.
88
Akhir Yang Tak Ditemukan
Raina Nur Aulia adalah penulis dari buku ini. Lahir di kota
Kuningan 14 Februari 2005, penulis menempuh pendidikan
mulai dari TK , dan melanjutkan SD Negeri 2 Luragung,
SMPN 1 Luragung, hingga kini telah menjadi siswi SMA
Negeri 1 Luragung. Berdasarkan pengalaman pribadi, penulis
memberikan sebuah pembelajaran bagi para. pembacanya
tentang masalah "Mencintai diri Sendiri"
Melalui karyanya Raina ingin berbagi kisah penuh Lara dan
Harsa.
Untuk berakrab diri dengan Raina, kamu bisa berkunjung
ke: IG : rynraulia
93