Anda di halaman 1dari 96

Buku ini persembahan untuk diriku sendiri, dengan luka yang

tertuang agar diri tak mudah menyerah melihat perjuangan di


masa dulu juga senang yang diberi agar tak lupa untuk
bersujud sebagai rasa syukur.
Untuk orang orang yang telah hadir di hidupku, walaupun
hanya sesaat. Agar mereka tau mereka memiliki peran penting
dalam hidupku dan aku sangat berterima kasih.
Juga untuk kalian yang bersedia membaca semoga buku ini
menjadi motivasi untuk kalian.

i
Kata Pengantar

Semua pujian adalah berkat Allah karena rahmat dan


rahmatnya. Novel ini dapat diselesaikan tepat waktu dan
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Jangan lupa
bahwa rahmat dan salam selalu dapat didedikasikan untuk
Tuhan kita Nabi Muhammad, karena dengan rahmatnya kita
bisa keluar dari jalan yang gelap menuju terang. Dia juga
membawa serta ajaran-ajaran Islam yang menjaga hati kita
tetap tenang, damai, dan aman, sebagai pedoman hidup yang
akan selalu kita bawa, sampai kapan pun.
Adapun novel saya yang berjudul “Lara & Harsa”
Namun, saya sadar bahwa tulisan saya masih jauh dari
sempurna karena orang adalah tempat yang salah untuk
dilupakan. Karena itu saya berharap pembaca akan dengan
senang hati memberikan kritik dan saran, karena berkat
kontribusi pembaca ini kami akan terus berkembang sehingga
kami dapat menghasilkan kelanjutan dari novel ini di masa
depan.

ii
Daftar Isi

1. Anak orang itu!.........................................................1


2. Purnama atau sabit?..................................................8
3. Bukan Akhir...........................................................15
4. Pulang.....................................................................25
5. (Tidak) Semenyenangkan Itu..................................31
6. Kaos Kaki...............................................................36
7. Senyum Terakhir....................................................40
8. Kambing Hitam......................................................47
9. Surat Yang Gagal...................................................53
10. Karena Coklat!.......................................................59
11. Tarian Tangis Awan...............................................67
12. Hiburan Sementara.................................................73
13. Rumah Lain............................................................79
14. Pandemi dan Sisanya..............................................85
15. Akhir Yang Tak Ditemukan...................................89
16. Tentang Penulis......................................................93

iii
Anak orang itu!

Masa kecil ku diisi dengan cerita cerita yang tak terduga.


Orang orang memanggilku dengan sebutan "Ina" dari
penggalan namaku "Aina Azzahra Aulia". Aku terlahir dari
keluarga yang sederhana dan berkecukupan yang
mengharuskan ibu dan bapak berusaha jerih parah mencari
rupiah. Aku dibawa mereka merantau sejak berusia 5 bulan,
saat aku berusia 3 tahun lahir adikku yang merupakan anak
ke-3. Bapak dan ibu berdagang di daerah pasar minggu saat
itu, tepatnya di depan kantor telkom. Aku ingat saat itu aku
diajak bermain oleh banyak orang di antaranya ada nenek
Linda, kakek Jay, om Yudi, om Tata, Om Mamat, om
Buyung, tante Ani, tante Bibah, tante Nana dan masih banyak
lagi. Sebenarnya adikku juga di manja hanya saja karena
masih kecil dia tak bisa lepas lama dari ibu.
Rasanya aku bersyukur sekali di saat kecil dikelilingi
oleh orang - orang yang menyayangiku, tak membuat masa
kecil saat itu hilang karena kesibukan ibu bapak untuk
mencari rupiah. Nenek Linda, perempuan keturunan Tionghoa
yang mempunyai bisnis bengkel, aku sering di beri baju
"cheongsam" Terlihat lucu katanya. Setiap pagi sebelum ke
1
bengkel nek Linda pasti mampir ke warung untuk melihat ku
yang sudah mandi, lebih lagi jika aku memakai baju dress
berwarna biru langit, pasti yang selalu di ucapnya adalah
"suka nenek liat Ina pake baju ini cantik banget cucu nenek".
Sambil terus menciumiku, kemudian melanjutkan perjalanan
nya ke bengkel yang jarak nya hanya ± 30 meter dari tempat
ku.
Aku menghabiskan waktu dengan bermain di kantor
telkom, di warung tongseng teh Nita, di bengkel om Joni atau
pun di tempat helm om Uda dan om Buyung.
Saat jam istirahat kantor Om Mamat menghampiri romboh
warung mencari ku.
"Mana Ina?", tanya nya pada ibu aku yang mendengar
berlari menuju pintu warung.
" Ini Ina disini", jawab ku dengan mengangkat tangan.
"Ayo ikut gak beli makan?", ajak Om Mamat kepadaku.
" Mau", yah dengan antusias tentu aku ikut karena
seperti jalan jalan saja.
Memang setiap jam makan tak jarang Om Mamat
mengajaku untuk membeli makan siang dengan menaiki
sepedanya, sambil mengobrol dengan aku yang terkadang
tertawa saat Om Mamat tidak kuat mengayuh sepeda dan
2
harus mendorong nya, di perjalanan itu kami gunakan untuk
menjadi teman karena aku takut di tinggal jika aku melawan.
Kami pulang dengan tawa yang tak lepas dari bibir ku, karena
candaan yang di lontarkan oleh Om Mamat sepanjang
perjalanan. Pasti nya aku akan langsung masuk kantor ke
tempat tante Nana atau tante Bibah hanya sekedar ngadem.
"Abis dari mana Ina, ikut Om Mamat lagi?", tanya tante
Bibah saat aku duduk lesehan di samping kursinya.
"Iya tante panas de", jawab ku mereka hanya
membiarkan aku yang menyandar pada dinding.
Tak lama bapak menghampiri ku untuk makan.
"Ayo makan dulu, udah siang", aku mengikuti bapak ke
warung untuk makan dengan lauk kesukaan ku bayam jagung.
Setelah makan aku lari ke warung tongseng di antar bapak
tentunya, ku lihat bude yang sedang mempersiapkan warung
untuk buka.
" Eh Ina mau ke atas apa mau di sini", tanya bude
menatapku sebentar.
"Mau ke teh nita bude,mau ke atas", jawab ku yang
duduk di meja dekat bude.
" Hati hati bisa gak?", tanya bude yang hendak
menghampiri ku.
3
"Bisa bude", kataku sambil menaiki tangga menuju lantai
atas. Tangga ini berbeda, tangga dari kayu yang di buat
seperti teraje. Sampai nya di lantai 2 aku menghampiri teh
Nita yang sedang melipat baju.
" Teh Ina mau pake lipen", ucapku pada teh Nita.
"Di marahin nanti sama ibu hayo, nanti teteh yang di
marahin", ucap teh nita mengingatkan aku.
"Enggak bakalan di marahin mau teh, sama di kitek ya",
ucapku.
Setelah mendapat persetujuan ku ambil tas kosmetik nya
dan ku serahkan pada teh nita, tangan nya bergerak
memakaikan lipbalm yang ku sebut lipen itu, dan
memakaikan kutek di kuku jari tangan ku yang kecil. Setelah
beres aku bermain di bersama teh nita, lalu turun karena teh
nita harus berangkat kuliah dan aku yang harus mandi.
Aku mandi setelah adzan ashar berkumandang memanggil
orang yang bergelut dengan perkerjaan dan kesibukan nya, ku
lihat kakek jay sedang membersihkan kolam ikan di kantor
tepatnya dekat kamar mandi dan mushola. Tempat para
pekerja beristirahat atau menunggu waktu giliran untuk
sembahyang.

4
"Kakek Ina mau ikutan", ucapku dengan wajah yang
riang.
"Udah mandi belum, entar di marahin sama ibu basah
basahan lagi ", tanya kakek memastikan.
"Belum ini mau mandi, boleh ya Ina nyebur kek",
pintaku yang di angguki oleh kakek jay, aku pun melewati
tembok pinggir kolam dengan bantuan kakek.
Mengejar ikan yang kesana kemari dengan lincah, di
daerah yang memang licin aku terpeleset, tak menangis tapi
hanya diam karena kaget, kakek jay yang panik mengangkat
ku keluar, tapi aku kembali memasuki kolam lagi. Kolam ikan
ini sebenarnya dangkal hanya kisaran selutut orang dewasa.
Selesai bermain dengan kolam ikan ibu datang memboyong
ku ke kamar mandi agar segera membersihkan diri, setelah
rapih ku lihat om buyung menyebrang jalan menghampiri ku
yang sedang duduk di kursi panjang depan warung memakan
cemilan yang di belikan ibu di pasar.
"Cantik banget ini anak siapa si?", tanya nya ketika kami
berhadapan, sambil mengunyel unyel pipiku.
"Ih jangan di unyel unyel pipinya sakit, Ina bilangin ibu
nih", ucapku sambil menghindar dari rasa gemasnya tapi tidak
di hiraukan.
5
"Anak orang itu yung kasian, sini Ina sama tante", ucap
tante Ani yang menunggu di jemput oleh om Yudi aku
menghampiri tante Ani dan tak lupa berterima kasih karena
senang rasanya selamat dari kegemasan om buyung itu.
Ibu menghampiri kami sambil menggendong adik ku dan
mengobrol dengan tante Ani, entah percakapan apa yang
membuat mereka terkadang tertawa. Aku hanya diam
terkadang mengerutkan kening mendengar obrolan mereka.
Tak lama om Yudi datang menjemput tante Ani, tentunya
dengan gemas mengacak dulu rambut ku, aih orang orang
dewasa itu kerap membuat ku kesal karena rasa gemas
mereka.
Malam nya setelah adzan maghrib, bapak mengajak ku
untuk membeli makan ke dekat jalan komplek brimob, dan
tentunya aku akan memilih pecel lele atau pun pecel ayam
dari banyak nya warung makan yang berjejer. Setelah pesanan
kami selesai kami bergegas kembali ke warung, aku yang
berjalan dengan ayunan tangan dan kaki sambil bersenandung
dan bapak yang memegang sebelah tangan ku dan satu tangan
membawa makanan kami.
"Bapak Ina makan nasinya sedikit aja, kenyang ntar gak
kemakan ikan nya", ucapku yang hanya di tertawakan bapak.
6
Kami makan dengan nikmat, aku menghabiskan nasi dengan
porsi seperti biasa dan 2 goreng ikan lele.
" Tadi ada yang bilang bu, makan nya mau sedikit aja eh
abis juga kayak biasa", ucap bapak pada ibu yang sedang
menyuapi adik ku saat selesai makan. Aku yang tau tujuan
bapak padaku hanya tersenyum malu. Tak lama setelah
makan dan becanda aku tidur tanpa terganggu sampai pagi,
yang terpenting perutku kenyang.

7
Purnama atau sabit?

Hari jumat sore seperti biasa masih Ramai dengan suara


kendaraan yang saling bersahutan, di hari jumat juga aku di
jemput oleh bah wawan untuk mengInap, bah wawan dan
istrinya seperti kakek nenek ku sendiri sama seperti kakek jay,
nenek, dan nek linda. Aku melihat bah wawan segera turun
dari kursi panjang itu menghampiri bapak untuk mengambil
tas gendong yang berisikan 2 pasang baju ku. Tak banyak
karena memang sudah menumpuk di sana baju yang sering
tak ku bawa pulang karena basah, atau karena lupa. Aku
duduk di depan dengan tas yang di gendong oleh abah,
perjalanan di isi oleh celotehan ku yang tak henti henti,
terutama saat melihat kereta api yang melaju dengan begitu
cepat. Begitu sampai aku akan langsung lari melihat empang
atau melihat anak anak yang berenang dj sungai Ciliwung
yang tepat berada di belakang rumah bah wawan.
"Na sini dulu ayo mandi dulu" Ucap A Dani putra
pertama abah wawan.
Aku berlari ke rumah dan bergegas mandi setelah rapih aku
makan di suapi ema wawan.

8
"Nanti abis magrib ngaji di anter teteh Ia ya", ucap ema
sambil menyuapi ku.
"Gak mau ngaji, cape jalan nya suka ngantuk", jawab ku
yang langsung di sauti oleh teh Ia.
"Kenapa gak mau, nanti abis ngaji itu jajan", aku yang
mendengar jajan langsung berantusias untuk menyiapkan
peralatan mengaji.
Biasanya aku belajar bersama ibu di warung ketika
menjelang isya, dan di sini aku belajar mengaji di tempat
mengaji bersama anak anak lainnya, kadang karena
mengantuk aku tertidur menunggu giliran ngaji. Selain belajar
mengaji, kita juga belajar menghafal nama nabi dengan
nyanyian, kisah kisah nabi dan rosul, dan hal seru lainnya.
Sepulang mengaji, pasti berkumpul di ruang keluarga
mengobrol di iringi candaan.
"A Dani kipas nya ke Ina in gerah", ucapku pada A Dani.
"Enggak ah, A Dani juga gerah", jawab nya tanpa
menoleh padaku.
" Ema A Dani nya gak mau ngasih kipas ke na", jurus
andalan ku adalah merengek pada ema.
"Ni kasihin ke si Ina berisik udah malem", lihat tentunya
pasti aku yang menang.
9
Seolah menjadi rutinitas jika aku mengInap kami berdua
akan berebut kipas sebelum tidur, jika dengan A Dani aku
selalu berdebat maka berbeda dengan teh Ia aku akan menurut
seperti anak kucing yang takut induknya.
Setelah aku menghabiskan waktu bermain dengan wIna
yang merupakan anak dari tetangga bah wawan, sekarang aku
harus pulang. Bedanya hari ini aku duduk di tengah di apit
oleh abah dan ema.
Setibanya di warung aku langsung bermain dengan adik
kecil ku lalu aku mandi. Setelah mandi seperti biasa aku akan
duduk di kursi panjang dekat warung, malam nya pasti akan
Ramai dengan orang orang yang berbelanja atau bahkan
sekedar ngopi sambil ngobrol. Salah satunya bah arim,
membicarakan banyak topik yang tentunya di timpali dengan
candaan. Sampai akhir nya aku melihat bulan terang yang
kebetulan dengan bulatan sempurna yang di sebut dengan
bulan purnama.
"Bulan nya bagus bah, terang", ucapku sambil melihat
bulan yang bulat sempurna itu
"Iya bagus terang, coba liat bulan ada isinya", ucap bah
arim sambil mengadahkan kepala.

10
Kulihat bayangan hitam seperti orang yang sedang duduk
tahiyat.
" Itu orang bah?", tanyaku.
"Isinya penyihir jahat yang di kurung di bulan", jawab
abah arim dengan wajah meyakinkan ku.
" Ada juga yang bilang itu orang lagi dzikir",
sambungnya.
Aku menatap bulan dengan tatapan kebingungan jadi
sebenarnya ada apa di bulan, penyihir atau orang berdzikir?
Pikir ku. Bah arim tertawa melihat ku.
"Nanti kalau udah sekolah tau, belajar dari sekarang",
ucapnya sambil mengacak rambutku.
Aku hanya mengangguk karena masih memikirkan
sebenarnya bulan itu isinya apa.
Aku berlari menuju warung menghampiri bapak.
" Pak Ina mau sekolah, biar tau isi bulan", ucapku yang
membuat bapak kebingungan.
Aku dan bapak menatap bah arim yang tertawa setelah
mendengar permintaan ku.
"Udah ayo tidur aja", jawab bapak lalu menimang ku di
gendongan nya.

11
Setelah tiga hari aku tidak selincah hari hari biasanya
karena sakit, tidak enak sekali bahkan orang orang sering
bertanya pada ibu "Ina kemana teh?". Setelah sembuh rasanya
ingin membalas rasa bosan ku yang selama tiga hari seperti
burung di kurung dalam sangkar.
Aku langsung lari menghampiri rumah di belakang dekat
perumahan, rumah teman bermain ku namanya Intan dia lebih
tua dari aku, usianya sama dengan kakak ku tapi kami sering
bermain, tentunya dengan gangguan kedua kakak laki laki
nya, Rifian dan Ramadan terlebih kak Fian selalu usil tak bisa
melihat kami bermain dengan tenang, seperti sekarang kami
bermain ayunan di iringi suara mas Rama yang sedang
mengoceh karena ulah dari kak Fian, dia berniat menjaili aku
dengan mengayun ku begitu kencang.
"Fian pelan pelan aja takut Ina jatuh,baru sembuh juga",
si pria remaja itu menasihati adiknya yang malah tertawa.
" Mana ada Ina takut yang ada dia mh seneng, tuh
mukanya liat tenang tenang aja", jawab nya setelah tertawa
dengan dagu yang mengarah padaku.
"Gapapa mas Rama seru kok, tapi pelanin kak Fian Ina
pusing", lirih ku ketika mulai merasa sedikit pusing.

12
Ku rasa ayunan semakin pelan hingga berhenti aku segera
turun bergantian dengan Intan yang di ayun mas Rama. Aku
duduk dengan kak Fian disamping kanan.
"Kak Fian kok kepala Ina pusing ya", aku berbicara
dengan mata yang terus melihat ke arah mas Rama dan Intan.
" Ya allah Ina, idung nya berdarah", kak Fian
menggendong ku seperti koala.
"Itu ambil sapu tangan dulu ntan", suruh mas Rama
menyuruh Intan.
Mereka panik dan aku di bawa ke ibu,ibu mengambil alih
dan bapak pergi kedekat kolam ikan belakang kantor dan
kembali dengan daun sirih di tangan nya, yang kemudian di
gunakannuntuk menyumbat darah yang terus keluar. Tak aneh
memang seperti ini, anak kecil yang selalu terlihat riang
mempunyai banyak keanehan dalam dirinya, sering mimisan
tanpa melihat keadaan, aku hanya diam ketika ibu
membersihkan darah di hidungku dan mengganti baju ku.
Intan dan kedua kakak nya pulang aku sudah berganti
baju dan duduk di warung, ku lihat mang uut penjual rujak
buah, dan buah potong nya segar tentunya dia akan berhenti
untuk menawari ku.
"Mau gak na?", tanya mang uut padaku.
13
"Ibu mau buah", ucapku pada ibu yang sedang
menidurkan adik ku setelah di setujui dan diperbolehkan aku
lari memilih buah buah segar itu.
Tentunya aku akan memilih si hijau melon yang
menyegarkan, dan juga pepaya untuk ku berbagi dengan adik
kecilku, aku duduk menikmati buah melon itu seperti bulan
ucapku. Saat sedang bermain, entah bagaimana aku kena
knalpot panas aku menangis ketika kulit paha ku memerah
ingin menyesal knpa harus saat memakai celana pendek ini.
Ibu mencoba mengobati menggunakan lidah buaya, ada
menyarankan menggunakan garam, lalu kecap, di ikuti semua
oleh ibu.
"Tinggal di goreng aja itu teh", ucap Om Mamat yang
aednav mengunci pintu menertawakan.
Mereka orang orang dewasa itu tertawa, sedangkan aku
hanya menangis. Setelah 5 hari luka itu sembuh, ku lihat
lukanya seperti bentuk bulan sabit ku beritahu pada ibu
"Ibu liat bekas knalpot nya kayak bintang", tunjuku pada
ibu.
Jadi teringat beberapa hari sebelum nya aku melihat dan
membahas bulan purnama, lalu kini aku mempunyai luka

14
berbentuk bulan sabit. Jadi lebih indah purnama atau kah
sabit?
Bukan Akhir

Pagi ini mendung, awan tak lagi berwarna putih melainkan


berwarna kelabu cuaca meredup aku duduk di bangku panjang
sedangkan ibu yang sibuk memasak, bapak yang sibuk
membereskan belanjaan, dan adik ku yang masih terlelap
nyenyak. Bersama dengan om tata yang sedang bersantai
menunggu Om Mamat membuka kantor, juga bu Ani yang
menunggu jemputan kerjanya.
"Kenapa na diem aja?", aku menoleh pada om tata yang
sedang meminum kopi.
"Bingung aja Ina, mau main kemana", jawab ku melihat
kendaraan yang berlalu lalang.
"Nanti main aja ke Intan", aku rasa om tata lupa.
"Kan Intan sekolah,kalau main sama lala nanti lala nya
suka nangis ", ucapku pada om tata.
"Eh iya om lupa", jawab om tata.
Aku bermain dengan adik ku, entah kenapa rasanya sedang
malas saja untuk kesana kemari, tak jarang orang yang
menanyakan ku mungkin sepi tak ada perusuh kecil lagi, aku
15
melihat orang berlalu lalang dengan kendaraan nya. Saat asik
bermain sendiri, om Yudi datang tumben sekali dzuhur pun
belum kenapa om Yudi ada di sini pikir ku.
"Na kenapa mukanya lemes?", tanya nya padaku yang
hanya menoleh tanpa mInat.
"Gatau lemes om", aku kembali asik bermainbermain
dengan maInan yang ibu belikan.
"Ayo ikut om aja sama tante, kita naik kereta", tawarnya
kepadaku tentunya aku akan menerima tawaran itu.
"Tunggu Ina mau bilang ibu", aku bergegas
menghampiri ibu untuk bersiap siap.
Menjelang dzuhur kami segera pergi ke stasiun pasar
minggu, perjalanan kami sebenarnya hanya ke Bogor lalu
balik lagi ke pasar minggu, naik metromini angkot akhirnya
sampai kami di ragunan. Senyum ku tentu tak luntur saat
turun dari angkot dan menunggu om yang sedang menelpon
dan akan memesan tiket, tapi tidak untuk saat ini karena suara
yang berasal dari perut ku cacing cacing itu meminta agar
segera di beri makan.
"Makan aja dulu yuk", ajak tante Ani yang mungkin
mendengar suara perut ku.

16
"Iya tadi ada bel juga, makan duku aja", ah ternyata dua
orang dewasa ini mendengar suara perut ku, aku hanya
tersenyum malu.
Kami makan di salah satu rumah makan di pinggir jalan,
dengan nasi dan sayur yang tidak boleh terlewat saat bersama
tante Ani, aku tentu makan dengan lahap agar kembali
memiliki tenaga untuk mengelilingi ragunan.
"Nanti Ina mau lihat jerapah", ucapku dengan mulut
yang masih penuh dengan nasi.
"Makan nya habisin dulu Ina", tegur om Yudi yang
memang susah selesai makan.
Aku makan dengan hati hati agar tak lagi di tegur,
setelah itu om Yudi memesan tiket untuk kami bertiga, aku
senang melihat berbagai hewan yang bersuara, berlari,
berenang. Ku lihat hewan yang ku sebut tadi, andai aku
setinggi itu pikirku melihat si Jerapah. Setelah lelah berlari,
aku memilih jalan ninja yaitu verada di gendongan om Yudi.
Keringat bercucuran di antara kedua alis ku karena berlari
jauh.
"Udah ya kita pulang", ajak tante Ani mungkin lelah
juga.
"Iya pulang aja, Ina udah cape", jawab ku.
17
Kami pulang hampir sore mungkin sudah sore, rasa lelah
membuat rasa kantuk menyerang dan tak bisa di tahan lagi.
Aku tertidur di gendongan om Yudi saat menunggu taksi, agar
lebih aman katanya. Menikmati alam mimpi yang tak
berbunga, aku di bangunkan oleh om Yudi, bukan warung
yang ku lihat tapi gedung bertuliskan carefour.
"Wah seru, mau main mandi bola boleh gak om?",
tanyaku dengan muka yang langsung ceria.
"Boleh", jawab nya menuntun ku untuk memasuki
wahana mandi bola.
Aku bermain dengan begitu ceria seolah kantuk ku
hilang begitu saja, om Yudi dan tante Ani duduk dengan
secangkir kopi hangat di tangan nya. Setelah bermain aku
mengikuti dua orang dewasa di depan ku berbelanja
kebutuhan nya. Setelah itu kami pulang dengan berjalan kaki
karena tak terlalu jauh jarak nya dari warung, melewati
jajaran lauk pauk harum nya pecel lele membuat ku kembali
merasa lapar, tapi tidak jika harus bilang aku sudah begitu
banyak merepotkan tante dan om. Setelah sampai mereka
mengobrol sebentar dengan ibu dan bapak, lalu mereka
pulang dengan menggunakan taksi.
"Bapak sama ibu udah makan?", bisik ku pada bapak.
18
"Kenapa?", bapak tertawa setelah menjawab ku.
"Ina laper", jawab ku dengan senyum malu pada bapak.
Setelah itu bapak menelpon a deden tempat biasa kami
membeli pecel. Setelah makan aku terlelap, kenyang di
dukung oleh rasa lelah.
Hari selanjutnya aku bermain di kantor telkom rasanya
senang sekali terutama jika berargumen bersama Om Mamat,
seperti sebuh hal yang jika di lewatkan itu sangat di
sayangkan. Aku bermain, memberi makan ikan di kolam
bersama kakek jay, menganggu tante Nana, melihat jari tante
Bibah yang sibuk mengetik di mesin ketik menggeser lalu
mengetik menyenangkan sekali melihat nya.
Saat aku kembali ke warung aku di suapi ibu karena adik
ku sedang bermain dengan Wa Heeh. Makan dengan bayam
jagung, entah aku tidak pernah bosan dengan menu itu. Ibu
mengobrol dengan orang aku sendiri tak terlalu
mendengarkan. Tapi kudengar sayup sayup mereka menyebut
namaku dan pulang, aku tetap asik bermain dengan maInan
sederhana ku.
Selesai makan aku pergi ke warung tongseng
menghampiri teh Nita yang baru pulang kuliah, alasan ku

19
kesini jika bukan untuk berdandan pasti mengajak main lalu
jajan. Aku melihat teh Nita membantu budhe.
"Na sini ke dalem jangan di situ", teh nita menyuruh
masuk ketika melihat ku.
" Enggak teh, mau ke om Uyung", ku gagalkan rencana
ke warung tongseng itu.
Aku berjalan kembali di tempat helm aku melihat om uda dan
om buyung sedang mengobrol.
"Assalamu'alaikum om om semua", aku mengucap salam
ketika memasuki toko helm.
"Wa'alaikumussalam", serempak mereka menoleh pada
suaraku.
" Mau main om", aku duduk di antara mereka kami
duduk melingkar.
"Mau main apa?", tanya om Uda.
"Balapan", tantangku pada mereka, sebagai orang
dewasa pastinya merasakan di anggap remeh tapi tidak
dengan mereka justru membalas dengan nada candaan.
" Ayo siapa takut mau sampe mana?", tanya om buyung
dengan nada khas nya.
"Lapangan brimob?", sambungnya lagi.

20
"Sampe warga mart aja", ucapku dengan senyum di
bibirku yang membuat mereka tertawa, apa yang lucu pikir ku
saat itu.
"Itu mah sama om Uda harusnya", jawab om Buyung
sambil tertawa.
"Itu ngajak jajan bukan ngajak balapan Ina", ah rupanya
om Uda sudah paham maksudku.
" Coba bilang dulu sama ibu", sambung nya.
"Jangan bilang ibu tar gak di bolehin, Ina pengen es krim
tau", ucapku sedikit berbisik.
Om Uda pun mengajak ku ke warga mart yang tak jauh
ada di belakang komplek. Aku membeli eskrim pelangi dan
om Uda membeli keperluan nya dan memasukan beberapa
makanan ringan. Setelah membayar aku bersemangat untuk
kembali ke tempat helm, sesampainya di sana aku segera
membuka eskrim dan memakan nya tentunya dengan
bersembunyi di belakang etalase takut - takut ibu mencari ku
lalu menemukan ku sedang memakan eskrim, ah bisa habis
aku.
Setelah itu aku pulang ke warung, ku lihat ada tante Ani
dan tante Bibah mereka sedang menunggu jemputan mungkin.
"Dari mana Ina?", tanya tante Bibah melihat ku.
21
"Dari om Uda sama om Buyung", jawab ku kemudian
duduk dekat mereka.
Tak lama jemputan mereka datang, aku segera mandi
tentunya dengan ibu. Setelah mandi aku heran karena baju ku
tinggal sedikit kemana baju lain nya. Aku menanyakan itu
kepada ibu namun tak di jawab, lalu aku bertanya pada bapak.
Dan penjelasan bapak adalah aku yang harus pulang kampung
karena harus bersekolah, aku pikir hanya bersekolah sebentar
lalu ikut lagi ternyata bukan seperti itu, sekolah bukan
Waktu yang sedikit setelah tau dari yang bapak jelaskan
aku sedikit sedih kapan lagi aku bisa ke sini.
Dengan siapa aku berargumen tapi penuh kasih sayang
jika bukan bersama Om Mamat yang tak mau mengalah
begitu saja walau pada anak seusiaku, siapa yang menjadi
korban kejailan bahkan pelaku kejailan ketika bermain selain
kak Fian dan mas Rama, siapa yang mengayomi seperti Intan,
siapa yang mengganggu orang orang dewasa yang mukanya
selalu tertekuk saat lelah tapi akan tersenyum bahkan tertawa
saat aku datang. Siapa yang akan mengajak om Joni kempesin
motor om Buyung agar memompa di om Joni, siapa yang
akan meminta di make up ke teh Nita.

22
Tapi aku harus bersekolah, aku yang pernah meminta
pada bapak agar aku sekolah untuk tau isi bulan itu apa. Aku
pulang minggu depan bersama bapak naik bis begitu katanya.
Aku tertidur dengan di ayun dalam gendongan bapak, karena
kaki ku yang entah kenapa selalu tidak nyaman jalan yang di
ambil ketika memijat kaki ku tetap gak sembuh adalah
membuat ku tertidur dengan di timang.
Paginya aku bercerita pada tante Nana bahwa aku akan
pulang.
"Tante aku mau pulang nanti sama bapak", ucapku
duduk di di kursi dekat tante Nana.
"Kenapa pulang Ina?", tanya nya sambil merapihkan
meja loket.
"Ina mau sekolah, tapi Ina sedih", lirihku.
" Bagus dong Ina sekolah, kenapa sedih?", tanya tante
Nana.
"Nanti Ina gak ketemu tante, kakek, nenek, abah, wa,
Intan, kak Fian, mas Rama, on tata, sama semuanya", ucap ku
menyebut satu persatu dengan air mata yang tertahan.
" Kan nnti liburan bisa kesini Ina, Ina pulang kalau
pulang kampung juga kesini lagi kan, sekarang juga gitu Ina
pulang sekolah nanti liburan kesini lagi, ini bukan berati akhir
23
Ina kesini jadi Ina harus semangat, katanya mau sekolah
", ucap tante Nana mencoba menghiburku.
Benar aku yang ingin sekolah, di kampung pun banyak
orang terutama ada kakak ku sendiri, dia saja tidak papa
tinggal di kampung bersama nenek ku, lalu kenapa aku tidak
bisa. Selepas bermain di kantor aku bermain di warung
bersama adikku.
"Ina, ikut ayo kita jalan - jalan", ajak kakek Jay
kepadaku.
" Mau kemana?", aku bingung hendak kemana pergi
sebelum istirahat.
"Rumah", katanya sambil memarkirkan motor.
Aku yang mendengar itu tentu tak bisa menolaknya
segera menaiki kuda besi itu dengan duduk di depan. Selama
perjalanan aku bercerita bahwa aku akan
pulang pada kakek, sehari itu aku habiskan dengan kakek
Jay, memetik belimbing wuluh, makan di warteg, aku
menghabiskan waktu dengan kakek Jay, hari berikutnya aku
bermain dengan nenek, orang bengkel, di kantor, di tempat
helm, di warung tongseng dan tentunya di rumah Intan.

24
Pulang

Hari ini terakhir aku di sini besok subuh aku harus pulang
kampung bersama bapak, ibu sendiri bersama adik ku tidak
ikut pulang. Orang yang dekat seperti om Jon, Om uda, om
Buyung, Teh Nita, uwa pangkas,Bah Arim berkumpul di
warung entah kenapa mungkin karena ini terakhir bertemu si
kecil perusuh ini. Aku tidak mengantuk meskipun sudah larut
malam begitu rasanya seperti masih sore, mereka pulang saat
bapak tutup warung pukul 11 malam.
Aku yang tidak bisa tidur bapak timang dan di pukpuk,
aku tertidur dengan lelap. Selama ini kami tidur di kantor
PLN tepatnya di tempat kakek Jay, bapak di beri izin tidur di
kantor tapi pagi pagi sudah beres, karena memang sudah
kenal lama. Malam sekali aku terbangun meminta minum
pada ibu, membangunkan ibu dan menunggu ibu mengambil
minum aku duduk dengan mata yang sudah tidak terlalu
mengantuk, saat melihat ke arah AC betapa kagetnya bahkan
membuat aku menangis ketakutan dan membuat bapak di
bangun kan ibu karena tangis ku tidak reda begitu saja.
"Kenapa Ina nya?", tanya bapak dengan wajah khawatir.

25
" Itu, takut liat", ujarku dengan tangis dan menunjuk ke
arah AC.
"Liat apa Ina nya", ibu mencoba bertanya lagi.
Ku jelaskan perlahan apa yang ku lihat, mereka
langsung membacakan ayat kursi al-fatihah dan doa. Tidak
hilang bahkan aku tetap tidur dengan rasa takut walaupun
dalam dekapan bapak. Ku lihat tangan sampai sikut seperti
bertumpu pada AC tangan itu hitam pekat, posisi jari nya
seperti melambai tak rapat. Tak lama ibu membangunkan ku
ku lihat bapak sudah rapih dengan celana jeans pendek kaos
putih juga jaket yang terpasang di tubuh nya, aku sendiri di
pakaikan jeans panjang, kaos pink dan jaket. Sebelum keluar
aku menangis bukan karena tak ingin pulang tapi kasihan ibu
harus sendiri bersama adik kecil ku terlebih kejadian tadi
malam. Ibu berusaha meyakinkan ku semuanya baik baik saja,
bis pun di berhentikan bapak di depan warung, aku dan bapak
hanya membawa tas gendong berisi beberapa pasang bajuku
katanya agar tidak repot di bawa saat nanti ibu bapak pulang
kampung saja.
Di bis aku menangis dengan terus mengucapkan
kasian ibu, aku dipangku oleh bapak dengan di usap - usap
kepalaku, hingga akhirnya tertidur. Aku terbangun merasa
26
kepanasan, ah bis ini kenapa tidak berAC bapak mengipas-
ngipasi ku dengan jaket ku, tak lama bis berhenti bapak
bertanya apakah aku ingin buang air kecil. Aku turun bersama
bapak untuk buang air kecil dan membeli minuman dingin.
Lalu perjalanan di mulai kembali bapak memberi obat saat
aku merasa mual, kantuk datang dan aku kembali terlelap.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang aku sampai
di kampung halamanku, kami berjalan kaki saat pulang ke
rumah karena dekat, tapi bapak mengajak pulang bukan
melalui jalan raya tapi melalui kebun dan tempat pemandian
umum yang masih di gunakan. Rasanya seru sekali adrenalin
ku membara dengan jantung yang berdegup ketika aku hampir
jatuh karena akar pohon yang ku gapai tak kokoh lagi. Tapi
semua terbayarkan itu pengalaman baru untuk ku kenang
untuk bisa ku cerita kan nanti.
Sampai di rumah aku di sambut oleh kakakku yang
meminta gendong pada bapak. Mungkin rindu hampir tak
bertemu tiga bulan, aku sendiri langsung mengambil minum
karena rasa haus menjalar di kerongkongan, aki dan ema
menyambut ku. Aku bermain dengan kakak ku setelah ia
turun dari gendongan bapak. Tidak lama bapak kembali
bersiap mau kemana lagi pikirku.
27
"Bapak mau kemana lagi?", tanya kakak ku yang
mewakilkan.
" Berangkat lagi kan kasian katanya ibu di sana sendiri,
nanti juga ibu bapak pulang lagi", jawab bapak dengan
mengusap rambut kakak ku.
Sedih, tentu apalagi kakak ku baru bertemu beberapa jam,
bapak mencium puncak kepala kakakku dan kepalaku
menahan tangis tak ingin terlihat cengeng.
Bapak berangkat dengan di antar kakek ku ke tempat bis
aku hanya bisa menangis karena sedih. Melihat itu bibi ku
mencoba mengajak bermain, bermain sepeda aku di bonceng
bibi dan kakakku di bonceng kakak sepupu ku yang seusia
bibi.
"Ina mau belajar sepeda", kataku pada bibi.
"Harus tinggi dulu biar bisa nahan sepeda tuh gini",
katanya menunjukan kakinya yang berpijak pada tanah.
"Kan ada sepeda kecil yang kayak orang", ucapku pada
bibi yang terus mengayuh.
"Gak seru kalau sepeda nya kecil", loh aku kan anak
kecil harus sebesar apa sepeda nya.
Bibi terus mengayuh sepeda nya, dari belakang kakak
sepupu dan kakak ku tertawa mengajak balapan, bibi semakin
28
kencang mengayuh sepeda, dengan peluh keringat yang
bercucuran karena beban yang di bawanya.
"Udah yuk pulang takut di cariin bi", ajak kakak sepupu
ku saat kami beristirahat di lapang pinggir jalan setelah
bersepeda.
"Ayo duluan aja de", ucap bibi pada kakak sepupuku
yang di sebut Dede.
Kami pulang tapi gak terlalu cape kata bibi, karena jalan
nya menurun tak perlu di kayuh tapi perlu siap dan sigap
untuk mengerem agar tak berbelok belok. Setelah pulang aku
mandi lalu makan dengan tempe oreg, sayang sekali tidak ada
menu spesial si bayam jagung yang biasa ibu masakan.
Mengingat itu aku jadi ingat ibu atau bapak belum menelpon
pada ema.
Setelah makan aku bertanya pada bibi kapan aku bersekolah.
"Ina sekolah nya kapan si bi?", tanyaku pada bibi.
"Nanti hari senin", jawab bibi yang sedang menonton
TV, jariku menghitung.
"Berati 3 hari lagi dong bi?", tanyaku lagi.
"Iya sebentar lagi", ucap bibi sedikit kesal mungkin.
Ku lihat kakakku sedang meminum susu di dot setelah
mengerjakan PR nya, pantas saja giginya seperti gigi
29
kambing, pasti tak lama lagi dia akan terlelap. Benar saja lihat
sudah terlelap padahal belum lama, aku sendiri masih belum
bisa tidur karena belum mengantuk, ema sudah menyuruhku
tidur tapi tak bisa, di tawari susu pun tak mau setiap tidur
harus di puk puk atau di timang. Ema mengipasi ku dengan
tangan satu nya mempuk - puk. Akhirnya kantuk datang dan
aku terlelap hingga pagi mendatang.
Di hari Sabtu sore aku membeli alat sekolah di antar bibi,
hanya buku, pensil dan kaos kaki karena tas sepatu sudah di
beli ketika di jakarta saat pulang kampung dulu. Sangat
antusias apakah sekolah begitu menyenangkan seperti yang
Intan, kak Fian atau mas Rama ceritakan, seperti yang di
definisikan kakak ku setiap aku pulang kampung. Rasanya tak
sabar sekali menunggu hari Senin nanti.

30
(Tidak) Semenyenangkan Itu

Hari ini hari yang aku tunggu di mana aku memakai


sepatu dan kaos menggendong tas di antar teh Riri dan Mang
Adi yang sedang menunggu di depan rumah, dengan
bersemangat aku bersiap dari pagi hari jam 6 sudah siap,
menunggu di jemput sembari di suapi. Begitu berangkat aku
berceloteh jika aku menunggu nunggu hari ini dengan begitu
antusias bahkan tak jarang aku bertanya pada bibi sampai bibi
merasa kesal. Begitu sampai di sekolah aku turun bersama teh
Riri, mang Adi pulang datang lagi ketika menjemput. Banyak
anak sebayaku ada yang bermain, ada yang berlarian, ada juga
yang berdiam bersama ibunya, pasti anak cengeng yang terus
menempel pada ibunga, pikir ku saat itu.
Ibu guru berdiri membaris kan kami, memeriksa kuku,
bernyanyi kemudian memasuki kelas. Kursi nya sudah di atur
oleh bu guru dan aku berada di kelompok Hijau. Bu Guru
melakukan perkenalan ada Bu Evi, Bu Euis yang mengajar di
kelas ku. Bu Evi sendiri adalah saudara jauh dari Nenek pihak
bapak.
Aku berkenalan dengan teman sekelas, aku tertarik
berteman dengan perempuan berambut pendek yang sedang
31
melihat ke arah ku, mungkin karena rambut kami sama sama
pendek. Saat istirahat anak perempuan itu menghampiri ku
dan mengajak untuk bermain Agistia namanya, ku sebut Agis
dia ternyata ramah dan baik sesuai yang aku pikirkan selain
itu tidak cengeng.
Dia berteman dengan 5 anak lain nya Puji, Abdika, Yudi,
Rafli, Tito. Aku pun kaget kenapa teman nya laki - laki
semua.
"Agis kok teman nya cowo semua?", tanyaku saat kami
berdua bermain ayunan.
" Biar gak ribet, kalau anak cewe suka dikit-dikit
nangis", alasanya sama dengan alasan ku.
Setelah puas berkenalan dan bermain dengan teman lain
nya kami bermain jembatan gantung begitu aku menyebutnya,
dan aku tidak bisa ku rasa karena aku terlalu pendek. Waktu
istirahat habis aku kembali memasuki kelas dengan teman
baruku, saat di kelas yang di lakukan adalah kembali
menyanyi, apakah tidak ada kegiatan lain selain bernyanyi
lagu lagu ini suka kh nyanyikan dengan ibu jadi sudah hafal,
pikir ku. Sedang asik menikmati lamunan aku merasa tepukan
ringan di bahu ku.
"Kenapa neng ina?", ternyata bu Evi yang menepuk ku.
32
"Enggak kenapa kenapa ibu", gelengan ku meyakinkan
ucapan ku.
"Kok diem aja?", tanya nya mungkin masih tak puas
dengan jawaban yang aku berikan.
"Ini gak ada belajar nya apa bu?", tanya ku dengan raut
yang sudah tak bersahabat.
"Nanti ada, sekarang nyanyi dulu ya", jawab bu Evi
mencoba menenangkan aku.
Ku ikuti perintah bu Evi dengan bernyanyi bersama
teman teman, kapan akan belajar nya jika begitu pasti
semakin lama aku menemukan jawaban yang ku cari selama
ini. Setelah bernyanyi selesai waktunya pulang kami berbaris
dengan rapih kembali memberi salam pada bu guru dan salim
lalu keluar dengan tetap berbaris, ku lihat teh Riri sudah
menunggu. Ketika di luar gerbang ku lihat mang Adi yang
sudah bersiap menjemput ku dan teh Riri.
Aku segera menaiki kuda besi itu di susul oleh teh Riri,
aku berkeluh kesal pada mang Adi dan teh Riri tentang
sekolah pertama yang hanya bernyanyi saja. Mang Adi dan
teh Riri hanya tersenyum. Sesampainya nya di rumah aku
bercerita pada Ema sekolah nya tidak seru bernyanyi terus
aku bosan.
33
"Nanti ada belajar kan baru pertama, namanya
pengenalan lama lama pasti belajar dan seru", ucap ema
menyakinkan ku.
"Udah ayo makan dulu", sambung ema menyuruh ku
untuk makan.
Setelah kakakku pulang sekolah kami diantar ema
mengaji, di pengajian aku menulis baru mengaji dengan
menunggu giliran.
Begitu terus rutinitas ku bersekolah mengani bermain
tidur, hari hari berikutnya sekolah mulai merasa
menyenangkan karena tak hanya bernyanyi seperti pertama
tapi belajar doa, menulis, mewarnai, dan berhitung.
Beberapa bulan kemudian ada manasik ramai sekali,
aku di antar nenek dari bapak bersama dengan kakak
perempuan ku, setelah manasik kami semua singgah ke
tempat wisata kolam renang, aku bermain dan membeli
boneka. Tak lama setelah itu hari berikutnya aku mengikuti
lomba mewarnai aku tentunya mau saja tapi takut setiap ikut
lomba mewarnai pasti hanya sebagai peserta yang tercamtum
di kertas piagam.
"Ina gimana tadi bisa mewarnai nya?", tanya bu guru
Euis memangku ku.
34
"Bisa, nanti Ina menang gak ya bu", tanyaku dengan
nada getar.
"Ina, juara atau enggak yang penting Ina udah nyoba", bu
Euis mengusap Kepala ku lembut.
"Ngumumin juaranya kapan?", aku menunggu
pengumuman itu penasaran.
"Nanti, gak bisa langsung sekarang kan banyakan yang
lombanya, sedangkan jurinya sedikit", bu Euis menjawab
dengan pelan.
Tidak sabar sekali menunggu waktu pengumuman itu, di
sisi lain takut kecewa yang aku rasakan jika harus kembali
menyandang sebagai peserta. Setelah menunggu aku pulang
dengan rasa penasaran, ibu Euis bilang biar bu Euis yang
menunggu, tapi saat di rumah aku terkejut dan langsung lari
ke dalam rumah melihat bapak,ibu, dan adik ku ada di rumah.
Aku langsung minta gendong pada bapak, mereka pulang
karena ibu sudah mendekati waktu lahiran.
Setelah bermanja, aku menceritakan tentang lomba
mewarnai pada ibu dan bapak, yang di ucapkan ibu sama
seperti yang bu Euis ucapkan. Aku sedikit tenang tapi harapan
namaku di barengi dengan kata Juara.

35
Kaos Kaki

Menjadi juara mungkin menjadi impian sebagian anak


anak, seperti pengakuan untuk jerih payah yang di lakukan
menambah semangat untuk kembali melakukan yang lebih
baik bahkan yang terbaik, begitu juga dengan aku,setelah
seharian kemarin ditemani rasa penasaran akhirnya
terbayarkan,pulang sekolah ibu Euis memeberikan kertas
bertuliskan namaku bersanding dengan kata Juara ternyata
pengumuman hasil lomba kemarin.
Pulang sekolah aku berlari memasuki rumah setelah turun
dari kuda besi yang mengantarku pulang, dengan tas yang
masih ku gendong, menghampiri orang rumah yang sedang
berkumpul di ruang tv.
"Liat na dapet juara yang mewarnai" Ucapku sambil
menghampiri orang rumah, dengan antusias ibu berucap,
"alhamdulillah, pinter" Sambil mengambil piagam yang
bertuliskan "Aina Azzahra Aulia Juara Harapan 1
mewarnai", lalu kakekku membeli ice cream untuk orang
rumah merayakan pencapaiankku.
Memang hanya juara harapan tapi rasanya senang sekali
membaca namaku dengan lanjutan kata juara,pencapaian di
36
bulan ke bersekolah,setelah sekian lama namaku hanya
bersanding dengan peserta. Senyumku terus merekah, rasa
senang juga syukur belum luntur hingga tiba waktu untuk
kembali bersekolah.
Pagi itu tak semudah yang di kira dengan kericuhan yang
selalu terjadi di pagi hari sama seperti pagi sebelum nya, aku
yang membuat orang orang kelimpungan hanya karena "kaos
kaki", iya kaos kaki yang menurut ku tidak nyaman,
mengganjal di sepatu, dan lain sebagainya.
" Ayo di pake kaos kakinya masa anak sekolah gak pake
kaos kaki" Bujuk bapak.
" Ih gak enak kaki na nya ngeganjel, potong aja kaos
kakinya" Ucap ku sambil menarik ujung kaos kaki, dengan air
mata yang menggenang di pelupuk.
"Mana bisa kaos kaki di potong yang ada bukan jadi
kaos kaki karena jaitan nya bakal rusak, nanti hancur kaos
kakinya" Ucap ibu yang menggendong adikku.
"Udah gapapa nanti enak, kan mau senam tuh teh Riri
udah nunggu lama" Sambung nenek ku mengingatkan bahwa
teh Riri pengasuh ku sudah datang untuk mengantar sekolah.

37
Bukan, bukan pengasuh yang mengurus ku dari bangun tidur
sampai tidur kembali, melainkan hanya sebatas mengantar
dan menunggui ku sekolah sampai pulang kembali ke rumah.
Aku berangkat masih dengan tersedu sedu. Mungkin
jika orang rumah melihat mereka akan kesal,karena begitu
sampai di sekolah aku bermain dengan senang melupakan
kaos kaki ku yang mengganjal, seolah mendadak hilang
ganjalan nya, aku memimpin senam di depan dengan
semangat bergerak ke kanan ke kiri dan berputar. Belajar
dengan senang dan antusias, terutama menanti waktu makan
bersama teman teman, mengantri cuci tangan berebut lap
juga balapan masuk kelas.
Saat istirahat aku dan keenam teman ku Agistia, Puji,
Abdika, Yudi, Rafli,dan Tito memiliki 2 kebiasaan, pertama
bermain main di luar bermain lenggang rotan atau bermain
susun balok seperti anak lainnya, lalu kedua adalah bermain
di tempat istirahat penjaga sekolah kami. Hanya bergurau
mengobrol dan hal lain yang di lakukan anak kecil, bedanya
di dampingi penjaga sekolah kami, mang apo namanya.
"Nanti kalau na gede na mau jadi dokter tapi pengen jadi
guru juga mang " Ucap ku di saat mereka sedang

38
bergurau, teman ku menyambung ucapan ku dengan
menyebut kan cita cita mereka
"Kalau gitu harus rajin belajar" respon mang apo sambil
tersenyum menatap kami.
"Selain harus rajin belajar, tidak menangis saat memakai
kaos kaki" Kami menoleh mendengar suara yang tak asing
ternyata suara bu Euis menyuruh kami masuk kelas karena
habis jam pelajaran. Bu Euis salah satu guru yang tau
kebiasaan tentang "kaos kaki" Ku dan aku dekat dengan nya.
Kami pun memasuki kelas dengan semangat hingga tiba
waktu nya pulang.
Begitu terus yang aku jalani selama mengemban pendidikan
di taman kanak kanak, tentunya dengan kejadian kejadian
yang memberi warna warni di kehidupan taman kanak kanak
ku. Pernah suatu hari aku di cakar oleh anak perempuan di
kelas ku, hanya karena berebut bangku, dia merebut bangku
ku mendadak aku mencoba untuk mengambil bangku ku di
bantu para teman teman di kelas, tapi dia tidak mau dan
akhirnya aku di cakar begitu saja. Banyak lagi kejadian yang
tidak terduga, tak terasa sudah selesai sekolah kanak - kanak
ku, aku kini memasuki Sekolah Dasar.

39
Senyum Terakhir

Selama menjalani Sekolah Dasar tentunya berbeda kini


aku kelas 3 SD, hampir 6 semester 2 tahun aku terus berusaha
memperbaiki prestasiku mengoreksi apa yang salah dalam
belajarku, dari peringkat 0,10,7,7 lalu terakhir 4, mendekati
ulangan akhir semester yang tinggal 2 bulan lagi, kelasku
kedatangan murid baru. Panjang sekali namanya yang ku
ingat hanya nama akhirnya Adam, lalu mengulang perkenalan
dan dia menyebutkan panggilan nya "Angga", setidaknya nya
lebih mudah. Semenjak kedatangan dia kelas ku menjadi lebih
ramai, komunikasi nya ternyata cukup baik, sehari sudah bisa
mengbrol dengan yang lain, hari bertambah dia cukup pintar
di bidang matematika menurutku, setelah kurang lebih
seminggu sudah akrab seperti bukan murid pindahan saja.
Mendekati ulangan aku memperkuat belajarku semoga
kali ini lebih baik nilai - nilai yang di dapatdapat, ku lihat
Angga yang begitu cepat mengerjakan Matematika, ku rasa
dia sangat bagus dalam menghitung, sedangkan aku sedikit
kesulitan.
Setelah seminggu menghadapi ulangan, berikut nya
adalah hiburan perlombaan yang di ikuti oleh siswa siswi
40
sekolah ku. Aku lihat kakakku yang ikut lomba memasukkan
benang ke jarum, lihat pasti menang karena itu keahlian nya
jeli sekali matanya, aku mengikuti lomba tepuk air, seru
sekali perlombaan ini.
Hari Jumat adalah pengumuman juara kelas juga
pembagian raport, juara 1-3 biasanya di umumkan saat
pembagian hadiah. Juara 1 masih tetap, juara 2 berbeda
dengan sebelumnya Angga menduduki peringkat 2, dan lebih
heboh lagi ketika namaku di sebut ketika mengumumkan
juara 3. Ternyata anak laki laki berkantong kura kura sesuai
dugaan ku cerdas bahkan mengalahkan juara 2 bertahan.
Saat pulang ke rumah aku menujukan raportku pada orang
rumah, tapi betapa sakit nya mendengar respon bapak.
"Cuman rangking 3", ucapan itu membuat aku sedih,
apakah tidak bisa memberi apresiasi sedikit aja.
"Tapi kan mendingan dari kemarin", sanggah ku dengan
suara bergetar.
"Masih kurang", aku tidak merespon ucapan bapak takut
takut lebih sakit, memasuki kamar lalu menangis.
Di kamar yang sudah aku dan kakakku tempati dari 3
tahun lalu setelah pindah rumah, aku merenung memikirkan
alasan kenapa bapak mengatakan hal demikian. Aku tak
41
menemukan apa alasannya malah berpikir karena kakakku si
anak kesayangan bapak tak mendapatkan peringkat, lama
berpikir ku tanya pada ibu saat melihat bapak keluar
berdasama kakakku dan adik pertamaku. Ibu bilang bapak
mengatakan hal itu karena tidak ingin aku cepat puas dan
menjadi berleha-leha, bapak ingin aku terus berusah
mendapatkan yang terbaik. Mendengar penjelasan ibu tentu
aku menjadi merasa bersalah karena berpikir alasanya karena
kakakku yang tidak mendapat peringkat.
Lalu kuceritakan tentang Angga murid pindahan yang
berhasil menggeser peringkat juara 2 bertahan.
"Tapi bu tetep aja si cucu kepala sekolah itu ranking 1",
ucapku dengan nada sedikit kesal menceritakan pada ibu.
" Gapapa, mungkin dianya pinter gak boleh suudzon",
ibu mengingatkanku.
" Tapi keren bu si Angga, kayak nya Angga pahlawan
keadilan", terdengar gelak tawa dari kami berdua.
"Pahlawan keadilan kenapa", masih dengan sedikit
menahan tawanya ibu bertanya.
"Soalnya pasti perlahan si cucu kepala sekolah itu sesuai
dengan seharusnya", ucapku.

42
Ibu hanya merespon dengan gelangan kepala mungkin merasa
aneh dengan pemikiran anak nya ini. Tak berselang lama
bapak dan kedua saudaraku pulang membawa satu galon dan
satu plastik hitam entah apa isinya.
"Ini masing masing satu", kakakku mengeluarkan 6 cup
ice cream.
" Kok beli ice cream?", tanya ibu pada kakakku.
"Kata bapak buat rayain de Ina dapet 3 besar", semakin
merasa bersalah aku mendengar itu.
Kulihat bapak menaikan galon, dan duduk di antara
kami meraih adik keduaku si bungsu yang sudah berebut
meraih ice cream nya. Aku menghampiri bapak lalu memeluk
nya mengucapkan maaf karena berpikir yang tidak tidak.
Aku sadar bapak tak ingin aku besar kepala dan menjadi
semena-mena bahkan merasa paling bisa, tanpa aku sadari
bapak sendiri ingin aku terus bersyukur tidak sekamar
sombong, dan mengetahui roda selalu berputar, di atas langit
masih ada langit.
Pagi ini aku menikmati hari ke 3 liburan, dengan
menontom TV, bermain dengan saudaraku, bermain keluar
dengan anak sebayaku, mencoret coret menggambar, ketika
siang mengaji bersama kakak dan adikku di antar bapak, naik
43
sepeda atau berjalan kaki. Bosan juga lama - lama ingin
segera sekolah rasanya. Sepulang mengaji ibu dan bapak
sudah bersiap bersama adik bungsuku yang mungkin akan di
titip di ema.
"Ina sama teteh Dila di sini dulu ya, jangan ikut ibu mau
ke rumah sakit mau nengok a Asep", ku dengar a Asep
memang sakit tapi aku tidak tau sampai di rawat di rumah
sakit.
Aku menunggu bersama kakakku, adik pertamaku di bawa
oleh ibu dan bapak. Aku mengajak kakakku bermai agar
tidak terlalu takut.
"Teh main yuk keluar", ajak ku melihat anak anak
bermain tak jauh dari rumah ku.
"Enggak Ina, udah sore", kakakku memilih di rumah
menyalakan televisi, sebelum itu menyalakan lampu agar
tenang.
Aku duduk si samping nya menikmati kartun, cukup lama
ibu pergi hari sudah mulai gelap puji pujian di Masjid sudah
berkumandang pertanda waktu isya tak lagi lama. Ibu belum
juga pulang, aku dan kakakku menutup jendela dan sedikit
gorden takut. Adzan Magrib berkumandang aku dan kakakku

44
belum beranjak dari tempat kami semula, rasa takut mulai
menggerogoti.
Setelah Magrib bapak dan ibu baru pulang, ternyata kedua
adik ku tertidur oantas saja lama. Aku tak menghiraukan
langsung tertidur karena memang lelah sekali hari ini, aku
tidur setelah Isya. Tak lama setelah ku tidur ku dengar orang
menangis samar samar. Mataku yang terpejam perlahan
terbuka melihat ibu sedang menangis sambil menggendong
adik ku.
"Ibu kenapa?", tanyaku dengan sedikit mengantuk.
"Asep Rona", ibu hanya bergumam Asep Rona sambil
terus menangis dan memukul kasur.
Aku masih tidak tau apa yang terjadi, hingga tak lama
bapak dan paman ku menjemput, bapak menenangkan ibu dan
paman ku membantu membangunkan kakakku dan adikku.
Aku disuruh segera menaiki motor di bawa kami ke rumah
ema. Ramai sekali pikirku terlebih ada ambulan yang
membuat ku langsung memasuki rumah, orang rumah
menangis dengan tersedu-sedu. Di beritahu oleh saudaraku
ternyata A Asep meninggalkan kami semua, menghembuskan
nafas terakhir nya.

45
Seketika terputar kembali peristiwa satu minggu ini yang
membuat aku tertawa, terlebih ketika A Asep jatuh karena
licin kami yang panik melihat kakinya terluka dan kotor,
setelah di bersihkan lukanya hanya baret kecil bulatan di
lututnya karena lumut. Ketika aku yang hendak mengaji dan
melihat nya sedang duduk di teras depan rumah, tawanya
yang indah itu terputar dalam kepalaku. Senyuman yang
begitu menenangkan ternyata senyum terakhir yang ku lihat.
Paman ku sudha tersedu-sedu, uwa yang pingsan tak sadarkan
diri, dan A Dede yang mencoba tegar menguatkan orang
terdekat nya.
Orang-orang mengaji membaca kan surat yasin, saat itu
sebelum dimandikan kami ditawari untuk mencium kening
nya, aku sendiri tidak berani takut entah takut akan apa.
Orang dewasa mengerjakan kewajiban seorang muslim,
memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkannya
di pagi hari.
Satu minggu kemarin adalah waktu dimana ia lebih
sering tersenyum, ternyata senyum terakhir itu ia perlihatkan
pada kami, dan seolah memberi kami pelajaran manfaatkan
waktu sebaik-baiknya.

46
Kambing Hitam

Tiga tahun berlalu aku telah selesai di sibukan dengan


ujian-ujian kelulusan membagi waktu belajar dan waktu
membantu ibu, tiga tahun yang aku lalui tidak berlalu dengan
begitu mudah saja dimulai dari kakakku yang masuk
pesantren membuatku sedikit kehilangan, hidup yang harus
hemat, dan hal yang menurutku paling sulit di saat ibu hamil
anak ke-5. Si bungsu yang membuat ibu selalu lemas terkulai
di atas kasur tidurnya, memuntahkan isi perut nya sampai
lambung nya tak terima lalu merajuk membuat ibu merasakan
perih yang hebat. Itu terjadi selama lima bulan lebih, di usia
kandungan 7 bulan ibu yang tidak mempunyai alergi
mendadak alergi dingin tapi juga alergi panas, lalu lahirlah
adikku yang bungsu ini aku membagi waktu belajar dan
membantu ibu terlebih bapak tak pulang saat ibu lahiran, juga
kakakku yang sudah setahun ini fi pondok.
Yang paling berkesan adalah mengikuti lomba dan OSN.
Saat aku mengikuti OSN IPA dan Angga mengikuti OSN
Matematika sayang nya aku mendapatkan juara ke-6
membuat tidak lolos ke tingkat Kabupaten sedangkan Angga
lolos ke tingkat Kabupaten, ada hal lucu saat mengkonfirmasi
47
data peserta guruku menanyakan tanggal lahir kami kaget dan
seperti tak percaya melihat tanggal yang kebetulan sama
bahkan bulan dan tahun nya pun sama. Lalu Aku, Angga, satu
teman ku mengikuti lomba cerdas cermat PAI, dan sayang
nya belum rezeki kami.
Besok adalah hari pengumuman kelulusan, deg-degan
rasanya tentu saja bagaimana tidak, kami takut salah satu di
antara kami ada yang tidak lulus bersama-sama kami pegang
surat kelulusan yang di beri amplop Bapak Kelapa Sekolah
memberikan sedikit nasihatnya lalu membuka surat kelulusan
dan alhamdulillah kami semua lulus.
Tidak sampai di situ setelah kelulusan aku dan beberapa
teman ku sudah di sibukan untuk mendaftar ulang ke Sekolah
Menengah Pertama karena mengambil jalur prestasi, aku di
antar oleh bapak yang sedang ada di rumah.
Setelah selesai aku menikmati masa liburan yang tidak begitu
lama, bermain dengan adikku dan menjaga adikku,
membantu ibu,juga berbelanja ke pasar.
Ketika liburan habis aku mulai bersekolah sebagai anak
SMP, memulai hari pertama dengan MPLS (Masa Pengenalan
Lingkungan Sekolah). Kami berbaris sesuai dengan kelas
yang di bagikan sebelum liburan tepatnya saat daftar ulang,
48
hari pertama aku di ajak berkenalan oleh anak perempuan
yang merupakan putri dari kenalan kakekku.
"Nanti kamu duduk sama siapa?", ucapnya padaku
setelah berkenalan.
"Mmmm, gak tau juga belum kenal sama banyakan", aku
melihat lihat teman di barisan kelas ku.
"Yaudah sama aku aja ya", tawarnya.
"Oke,boleh boleh", aku yang saat itu hanya baru
mengenal dia tentu sama aku setujui.
"Janji ya", ucapnya padaku.
" Iya", kami menautkan jemari kelingking kami.
Masa MPLS di lakukan selama tiga hari di tutup dengan
Persami, di hari MPLS terakhir ada seorang anak yang aku
baru lihat juga sepertinya pendiam.
"Namanya siapa?", aku mendekati dan duduk di kursi
depan dia.
Dia menyebut namanya tapi aku tidak mendengar dengan
begitu jelas.
" Di panggilnya siapa?", tanya ku lagi mungkin sebutan
nya lebih mudah.
"Ridha", ternyata mudah di ingat.

49
Aku menjadi lumayan dekat sejak saat itu dengan dia
juga anak yang lain. Entah bagaimana awalnya tapi aku
menjadi penghuni perpustakaan sekolah bersama guru yang
jaga perpustakaan Bu Ima namanya, tak lama ada guru baru
bernama Pak Aditya yang kemudian kami juga dekat. Tak
jarang saat jam kosong aku memilih diam di perpustakaan
mencari buku yang bisa ku baca atau sekedar mengerjakan
tugas.
Selama beberapa bulan aku masih menikmati kelas
masih berjalan aman tak ada masalah, menginjak bulan ke 5
mulai timbul masalah-masalah yang sebenarnya tidak aku
lakukan, dan bersumber dari orang yang ku rasa dekat
Saat itu ada salah satu kakak kelas yang mempunyai
hobi sepert perempuan berias seperti memakai soflens.
"Kok A Amar bisa ya pake soflens, aku kalau nyoba gak
masuk ke mata", ujarku pada teman di kelas.
"Sama aku juga gak bisa", saut salah satu temanku.
Setelah obrolan singkat itu, dua hari kemudian A Amar
dengan temannya datang ke kelas untuk mencariku, tiba tiba
gertakan dan amarah dia luapkan padaku.

50
"MAKSUDNYA APA BILANG AKU BENCONG,
MASALAHNYA APA SAMA KAMU?!!", teriaknya di
depan mukaku.
"Siapa yang bilang kamu bencong?", tanyaku mencoba
tenang dan mencoba mengerti maksudnya.
"Halah ngaku aja, temen kamu saksinya", ucapnya masih
dengan nada marah.
"Temen mana yang bilang sama kamu?", suaraku mulai
bergetar.
"Gak usah tahu, lagian ngapain nangis kalau ngerasa gak
salah ", sarkas dengan nada tinggi membuat aku merasa
di permalukan.
"Karena aku ngerasa gak salah, aku gak pernah ngomong
hal yang kamu tuduhkan, juga aku merasa kamu perlu
mencari tahu yang sebenarnya, miris sekali hanya dengan satu
suara kamu tidak mencoba mencari suara lain bahkan
menulikan suara lain", tangis ku mulai tumpah merasa marah,
kecewa, heran, sedih.
"Dan aku rasa yang seharusnya kamu cari tahu justru
kemungkinan besar orang terdekat kamu yang mengucapkan
hal itu dengan menjadikan orang lain sebagai kambing
hitam", sambungku sedikit tenang.
51
Tanpa mengucapkan apapun Amar dan temannya yang
lain pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku melihat
kelas sudah ramai, teman ku menanyakan kronologi kejadian
yang tidak aku jawab. Sudah tau siapa yang menjadikan ku
sebagai kambing hitam, masih teman ku ah pantas kah aku
sebut teman. Tak terlalu aku ambil pusing toh aku merasa
tidak mengucapkan itu dan aku tidak salah.
Perpustakaan menjadi pilihan untuk saat ini, menceritakan
permasalahan ini untuk sedikit meringankan pikiran ku, ketika
menceritakan itu Pak Aditya dan Bu Ima tertawa. Aneh
katanya, mereka saja merasa aneh apalagi aku.

52
Surat Yang Gagal

Seminggu berjalan dengan begitu baik hingga akhirnya


aku disuruh menghadap wali kelas. Setelah itu ternyata
kembali terulang laporan palsu dari teman sekelasku, rasanya
ingin menangis karena lagi - lagi aku merasa di permalukan.
Marah tentu ada tapi aku bisa apa?.
Aku mencoba menjelaskan secara perlahan agar tak keluar
isak tangisku, tapi tetap saja tidak di dengar dan aku yang
disalahkan sampai akhirnya aku hanya mengangguk tak
mengeluarkan suara sedikitpun kurasa akan tetap sia-sia, aku
keluar kantor dengan kepala menunduk bukan ke kelas tapi
lagi-lagi perpustakaan.
"Assalamu'alaikum", aku masuk lalu duduk di samping
Pak Aditya setelah salamku di jawab.
"Wa'alaikumussalam, bukan lagi mengheningkan
cipta,kenapa?", aku mengangkat pandanganku, melihat Bu
Ima yang bertanya.
"Sama kayak kemarin-kemarin", ucapku dengan mata
berkaca-kaca.
"Aneh ada masalah apa si mereka sama kamu, sini suruh
ngomong ke ibu", ucap Bu Ima sedikit kesal.
53
" Engga tau", sudah tidak bisa ku tahan isak tangisku,
aku dibawa ke dekapan Ibu Ima mengeluarkan perasaan yang
tak bisa ku ungkapan bersama dengan air mata yang mengalir.
Setelah puas meluapkan kekesalan dengan tangisan, aku
memasuki kelas yang ricuh karena tidak ada guru, duduk di
bangku menelungkupkan kepala di lipatan kedua tangan.
Rasanya lelah sekali entah, apa yang membuat mereka seperti
itu. Lagi, mataku kembali berair mencoba menahan isak
tangis, rasanya sesak sekali membuat seolah tak bisa bernapas
dengan normal, seperti di hantam batu besar dan membuat
tulang rusuk patah menekan paru-paru.
Suasana riuh karena bel istirahat kedua memanggil,
sebagian orang pergi ke kantin atau bahkan berdiam diri di
kelas sepertiku, aku hanya berdiam diri sudah malas
melakukan apapun. Mala yang kebetulan diam di kelas
menghampiriku dan menanyakan keadaanku.
"Aina kamu kenapa?", tanya dia mengusap tanganku.
"Gapapa Mal", singkatku lalu mengadahkan kepala
menatapnya.
" Tapi mata kamu merah, suara kamu juga gak
menandakan kamu baik baik aja", kekehnya.

54
"Percaya sama aku aku gapapa Mal", yakinku agar ia
percaya.
Suara panggilan belajar kembali memanggil mereka yang
sedang bersantai. Mala kembali ke tempat duduk dan aku
pergi ke toilet untuk mencuci muka. Pembelajaran
dilaksanakan dengan sedikit ramai, setelah beberapa jam
belajar suara yang membuat para siswa kesenangan berbunyi.
Kami berhamburan keluar kelas dan pulang, aku pulang naik
angkutan umum.
Sesampainya di rumah ku lihat ibu sedang menidurkan
adikku yang terus mengajak bermain mencoba menggapai
wajah ibu. Bagaimana bisa aku bercerita tentang kejadian tak
menyenangkan di sekolah, aku mengambil alih adikku
membiarkan ibu beristirahat sejenak, menimang adikku
seperti bapak menimang aku. Terbukti bayi kecil itu dalam
hitungan menit sudah terlelap dalam gendongku.
Malamnya ketika aku belajar entah terlalu lelah atau
karena hal lain aku tertidur di atas buku-bukuku.
Aku terbangun di tengah kesunyian malam, dengan
ditemani suara jangkrik yang ramai bersautan. Aku
menyelesaikan tugas sekolah yang belum terselesaikan, lalu
kembali tertidur karena kantuk sudah kembali menghampiri.
55
Kumandang adzan kembali membangunkanku yang baru
tertidur beberapa jam lalu, bersiap untuk pergi ke sekolah.
Seperti biasa menunggu angkutan umum, menyapa pak
satpam lalu ibu kantin yang kebetulan terlewati jika ingin ke
kelasku.
Aku mencoba melupakan peristiwa yang lalu berusaha
untuk biasa saja, memulai hari dengan rasa bahagia. Masih
aman selama beberapa jam hingga akhirnya sebelum istirahat
panggilan dari guru BK datang untukku. Menghela napas, ku
coba meredam segala emosi yang di rasa. Ku ucapkan
terimakasih pada sang pembawa kabar, menenangkan diri lalu
pergi ke ruang BK.
"Assalamu'alaikum", ucapku memasuki ruangan BK.
" Wa'alaikumussalam,sini Neng", jawab Guru BKku di
dalam ruangan.
Aku memasuki ruangan Bu Ai, rasa gugup mulai
mengampiri takut akan persepsi orang-orang melihatku
memasuki ruangan ini. Kembali ku tarik napas, menahannya,
dan membuang perlahan.
"Ada apa ya bu?", tanyaku dengan hati hati.
" Ini Neng Aina, betul?", pertanyaanku di jawab dengan
pertanyaan lain.
56
"Iya Bu, betul saya Aina", aku mencoba tetap tenang
" Begini Neng ibu menerima laporan tentang
pelanggaran yang Neng lakukan, pemalakan, pembullyan,
juga pengancaman", ucapnya.
Aku mendengar itu tentu kaget kenapa ada orang yang
melaporkan seperti itu, ku tanya beberapa hal untuk
meyakinkan jawabanku bahwa aku tidak melakukan itu
semua, tepatnya kapan kejadian itu terjadi, itu adalah
kuncinya. Ku dengarkan dengan seksama lalu aku bertanya.
"Jikalau saya membela diri apakah itu akan sia-sia, Bu?",
tanyaku perlahan.
Mendengar jawaban yang diberikan Ibu Ai aku menciba
memberi beberapa penjelasan, pembelaan diri. Namun, itu
ternyata sama saja sia-sia, terlalu menampiknya membuat kita
terlihat memang sebagai penjahatnya. Lihat dengan halus
tetap saja Surat Panggilan Orang Tua di hadapanku, dengan
lembut berkata untuk memberikan ini pada orang tuaku tentu
saja aku tidak bisa.
Aku mencoba meminta kesempatan untuk membuat
pembelaan, setelah dipersilahkan aku pergi ke perpustakaan
ku lihat Bu Ima dan Pak Aditya aku menghampiri Bu Ima dan
memeluknya tumpah sudah air mata. Aku menjelaskan pada
57
mereka yang telah terjadi, tanpa tunggu lama mereka
meninggalkanku memakan waktu sedikit lama mereka
mengatakan tidak perlu memanggil orang tua, entah apa yang
mereka katakan pada guru BK ku, aku sedikit tenang
setidaknya aku tidak memberikan berita tak menyenangkan
pada Ibu. Ku pendam bahkan tak ada yang tau mengenai
perihal ini entah sampai kapan. Bersyukur mengenal mereka
yang baik membela ku dengan sungguh, beruntung waktu
yang mereka sebutkan adalah waktu dimana aku
bercengkrama dengan orang-orang di perpustakaan.

58
Karena Coklat!

Hari terus belalu, bulan terus berganti hari ini tepatnya


hari pertama ujian kenaikan kelas, tidak terasa waktu begitu
cepat berlalu. Aku sudah duduh di bangku tempatku, kelas 7
di pasangkan dengan kelas 12. Aku mencoba mencari tau
siapa teman sebangkuku, tak ada nama hanya ada nomor
ujian. Sudahlah aku putus asa mencari tahu.
Bel berbunyi aku merasakan gugup takut belajarku
masih kurang dan membuat aku kesulitan menjawab soal.
Kemana si teman sebangku ini belum juga datang, tak lama
datang seorang siswa yang duduk di sampingku ternyata kita
saling mengenal, dia salah satu anggota ekstrakurikuler
Basket yang ku kenal dari kakak sepupuku. Kami saling sapa,
setidaknya teman sebangku ku tidak kaku dan diam.
Kami mengerjakan soal dengan sunyi karena pengawas
kami yang di kenal disiplin dan tegas. Aku tenang
mengerjakan tiba-tiba kakiku di senggol.
"Tau gak jawaban ini", soal IPA tidak begitu sulit
akuntau sedikit materi kelas 8.
"Jawabanya C itu", ujarku setelah membaca soalnya dan
opsi pilihan, mukanya sedikit ragu.
59
"Terserah saja mau memilih jawaban aku atau temen
kamu ", sambungku lanjut mengerjakan soal.
"Kalau yang ini apa?", dia ini pertama meragukanku tapi
terus bertanya.
" A", singkatku membaca soal yang tidak begitu sulit.
Ku biarkan dia saja dia menyenggol kakiku saat
mengerjakan soal. Aku menyelesaikan ulanganku setelah
beres aku menelungkupkan kepala di lipatan tangan. Ku
rasakan kakiku terus bergerak, aku menoleh melihat nya
tersenyum dengan kertas soal yang sudah di bulati. Ku ambil
kertas soal itu ku tukar dengan punyaku, aku mencoba
mengerjakan soal yang belum dia jawab, kenapa dia tidak
mengisi soal ini tidak begitu sulit aku saja bisa menjawab nya.
"Apa kamu tidak belajar?". Tulis ku di halaman
terakhir saat selesai mengerjakan soalnya, dia hanya
tersenyum, menyalin jawaban pada kertas lembar jawaban.
Kenapa jadi aku yang ditanyai dia pikirku.
Hari berlalu dan begitu saja terus bertanya padaku, lalu
pada temannya untuk meyakinkan jawabanku, kadang juga
aku bertanya pada dia. Hanya beberapa mata pelajaran yang
kebetulan aku bisa dan kusuka saja. Hari ini hari terakhir
ulangan dia datang dengan senyum yang ku lihat belum juga
60
luntur. Ujian ini kami laksanakan dengan begitu mudah tanpa
hambatan, saat aku bersiap menunggu bel pulang berbunyi, ia
menjulurkan satu batang coklat ternama.
"Apa ini?", tanyaku heran.
" Karena udah bantuin", hanya karena membantu
mengerjakan beberapa soal yang benar saja.
"Gapapa a aku juga jawab belum tentu bener, jadi santai
aja si ", ucapku mencoba menolak.
Tolakanku tidak di hiraukan dia mencoba membuat ku
menerima coklat itu, lelah dnegan semua itu aku
menerimanya tidak lupa mengucapkan terimakasih.
"Semoga semester depan kita sebangku lagi ya", ucapnya
dengan senyum yang terukir.
" Semoga tidak", jawab ku singkat.
Dia tidak memperpanjang obrolan, dan aku merasa
bersyukur obrolan kami berhenti sampai situ. Aku bergurau
dengan teman ku, terlintas membagikan coklat yang di
berikan kakak kelasku itu, tapi tidak enak takut jika orang nya
melihat dan tersinggung dengan yang aku lakukan. Aku
memilih mengembalikan buku-buku yang ku pinjam di
perpustakaan untuk belajar.

61
"Gimana ulangannya gampang kan?", tanya Bu Ima
padaku.
"Sabar ibu ini Na aja baru selesai buka sepatu, Bu", aku
memasuki perpustakaan lalu salam pada Bu Ima.
"Alhamdulillah seperti lalu-lalu masih bisa di handle
beberapa, sama juga kayak A Rony yang masih bertanya",
sambungku.
" Alhamdulillah nambah pahala itu", ucap Bu Ima.
"Ih tapi ibu tau gak si aku kaget, masa tadi abis ulangan
dia ngasih coklat katanya tanda terimakasih udah bantu dia,
tapi aku gaenak masa cuman bantu gitu doang malah ngasih
coklat", aku menceritakan kejadian tadi di kelas saat hendak
pulang.
Bu Ima menertawakanku setelah selesai bercerita, "itu kamu
nya kegeeran mikir kesana kemari", aih tidak tahu saja aku
bingung.
"Bukan geer tapi kan jawabannya juga belum tentu bener
", mencoba membuat Bu Ima mengerti hanya tidak enak saja.
"Ih dasar karena coklat ini tuh ya", sambungku merajuk.
Tak ingin memperpanjang aku segera mengembalikan
buku pada raknya, dan mencoba menghindari candaan itu,
sialnya keberuntungan tidak bersamaku, saat hendak keluar
62
Pak Aditya datang dan Bu Ima menceritakan yang tadi pada
Pak Aditya, sudah cukup wajahku memerah merasa malu
dnegan apa yang mereka candakan. Aku langsung menyalami
mereka dan keluar perpustakaan saat melihat teman yang ku
tumpangi hendak pulang.
Pengumuman dan pembagian raport dilaksanakan
bertepatan hari ini. Raportku di ambil oleh Tanteku istri dari
Paman. Sedikit membuat senang hati peringkat ke-2 dari 34
siswa, setidaknya tidak terlalu mengecewakan.
Liburan selama dua minggu tidak ada yang istimewa aku
di rumah membantu ibu dan sesekali bermain dengan Ridha
dan Mala ya kami lumayan dekat. Kupikir tidak ada yang
menyenangkan untuk liburan kali ini, sama seperti hari-hari
biasanya. Komunikasi dengan beberapa teman yang memang
dekat salah satunya adalah Tari, cukup dekat begitupun
dnwgan keluarganya sama seperti Mala dan Ridha.
Membeli peralatan yang baru contohnya peralatan tulis.
Seperti kegiatan rutin ketika menaiki kelas semua serba baru,
tas, sepatu, kaos kaki. Lalu kelas baru, teman baru semua
baru. Karena sekolah ku menggunakan sistem rolling teman
sekelas dan kelasnya. Melalui grup di beritahukan info kelas
dan siswa yang terdaftar di kelas itu. Aku berada di kelas 8.4
63
kembali sekelas dengan Tari bahkan kali ini sebangku, selain
itu sekelas dengan saudaraku, juga dengan beberapa orang
yang aku kenal.
Pengumuman wali kelas saat upacara, wali kelas ku
bernama Pak Hardi terlihat galak, tegas, disiplin dan memang
seperti itu. Aku kerap memanggilnya dengan sebutan Papi,
agar lebih akrab. Aku menjadi ketua kelas, tidak menarik
sekali pikirku. Setelah pembagian struktur kelas Pak Hardi
memberikan beberapa tugas untuk dilakukan, lihat baru
beberapa menit lalu sudah ada tugas saja.
Beberapa bulan kemudian kami mulai dekat satu sama
lain, pada hari ini tepat hari ulang tahun Pak Hardi, aku dan
teman lainnya menyusun strategi untuk memberikan kejutan
pada Pak Hardi. Aku menyusun rencana berpura-pura ada
temanku yang bertengkar, untuk meyakinkan aku mencoba
mengeluarkan air mata, susah sekali ternyata tapi ada 1
perkataan teman yang membuat aku bisa menangis. Aku
menghampiri Pak Hardi yang berada di ruang TU. Tapi semua
berbalik di saat ternyata aku kembali di jaili oleh orang-orang
di ruang TU, mereka tertawa karena kejutan kami gagal dan
justru aku yang dibuat terkejut.

64
Hilang sudah rencana kejutan, aku dan Pak Hardi
kembali ke kelas. Lalu anak-anak menyanyikan lagu, dan tiup
lilin. Aku lebih terkejut ketika bolu potongan pertama di
berikan untukku, dengan cara yang berbeda langsung dari
pisau yang di gunakan.
"Selamat ulang tahun", itu yang di ucapkan nya.
" Makasih bapak", ucapku dengan bergelimang air mata.
"Telat seminggu masih anget, jadi masih berlaku", lagi
aku di buat terharu ku mengadahkan kepala agar tak jatuh air
mataku.
Tahun ini sedikit sulit tak ada ucapan selamat ulang
gahun di pagi hari saat aku bangun tidur dari ibu ataupun
bapak, dengan kue bolu yang ibu buat dari beberapa jajanan
coklat, lalu sekarang Pak Hardi mengetahuinya.
"Bapak udah makan bolu nya, yang mau ambil ya".
ucapnya lalu keluar kelas.
Setelah terbagi kami memakan dengan nikmat hingga
satu orang di antara kami menyoret muka temanku dengan
cream coklat, lalu saling membalas. Aku diam saja tak akan di
dengar oleh mereka kalah oleh suara kericuhan mereka. Aku
yang tidak ikut-ikutan malah di coret juga, aku mencoba

65
menghindar dan hasilnya malah terkena kerudungku. Barulah
dari situ aku marah dan membuat mereka berhenti.
Lihat pasti tidak lama ketika keluar kelas orang orang
akan bertanya perlihal noda di kerudungku, gara-gara coklat
kue itu pasti aku akan terlihat sangat ceroboh.

66
Tarian Tangis Awan

Hari ini setelah beberapa kejadian lalu aku mencoba


memfokuskan diri melatih untuk OSN IPS meminjam buku ke
perpustakaan, mencari soal-soal tahun sebelumnya, terkadang
setiap pulang sekolah berlatih dengan kakak kelasku yang
biasa ku panggil A Idan. Dia berikan amanat mengajariku
oleh pembimbing pelajaranku. Lumayan menguntungkan
karena aku tidak canggung untuk mengatur waktu, atau
bahkan bertanya sampai paham dan kadang membuat dia
kesal.
Suasana nya sejuk, cuaca di lihat gelap, awan-awan tak
lagi bersinar ceria tak peduli suasana A Idan tetap saja belajar
seperti yang di sepakati kami berdua. Saat mengerjakan soal
yang di berikan A Idan ku rasa mulai gerimis, mencoba
meminta keringanan untuk segera pulang tapi menyebalkan
sekali dia malah menolak.
"A udah ya, nanti sisanya di rumah, gerimis tau", pintaku
agar bisa pulang.
"Kerjain dulu kalau di rumah nanti lupa sama tugas yang
lain", menyebalkan sekali bukan manusia ini.

67
Aku mengerjakan dengan buru-buru agar segera pulang,
takut gerimis bertambah besar menjadi kumpulan rintik yang
berlomba-lomba menikmati tarian di tanah bumi.
"Santai aja ngerjain nya jangan buru-buru", ucapnya
yang tak aku hiraukan.
Setelah beres aku segera memberikan jawaban itu," Gak
nerima pengulangan", ucapku meniru gayanya jika dia sudah
kesal aku terus bertanya materi. Aku siap untuk pulang,
sialnya aku lupa meminta jemput terlebih dahulu. Pilihan nya
adalah menunggu kakak sepupuku latihan basket bersama
anak SMP.
"Udah ayo bareng aja", ajakannha tak ku hiraukan.
" Sebelum ujan, cepetan", itu seperti paksaan bukan
tawaran.
"Enggak, duluan aja", tanpa menoleh aku berucap
demikian.
" Yaudah di temenin", aku menoleh kaget saat tiba - tiba
suara itu ada di sampingku.
"Gak usah pulang aja ngapain si ngikutin segala", kekeh
ku.
"Oke maaf ya, ayo pulang sebelum hujannya turun
mumpung masih kecil ", bujuknya.
68
" Kasian Na ibu kamu sendiri loh", sial dia tahu
kelemahanku.
Tanpa berdebat lagi aku berdiri berjalan kesamping motornya.
"Ayo katanya sebelum ujan gede", ucapku dengan nada
sedikit kesal.
Di perjalanan pulang itu aku menutup rapat-rapat
mulutku agar tidak bersuara. Tatapanku hanya tertuju pada
sepatu dan jalan.
"Persiapan nya di bagi mulai sekarang, buat ulangan
akhir semester nya sama buat lombanya ", ucap dia yang ku
iyakan dalam hati.
"Pelajarin lagi materi kelas 7&8, kata Bu Dian banyak
materi kelas 7-8", dia tidak berhenti mengajak berbicara.
" Iya udah tahu", lalu kami saling diam.
Hujan turun di saat yang tidak tepat, di perjalanan tiba-
tiba besar seperti wahana ember tumpah, kami menepi
memasukkan buku buku ke box motor sisanya di masukan
pada tasku yang di pasang jas hujan. Lalu dia mengajak ku
menerobos hujan. Sesampainya di rumah dia disuruh mampir
oleh ibu, hujan kasian katanya.
"Udah sini masuk dulu hujan", ajak ibu pada A Idan.

69
" Biarin si kalau gamau", aku memasuki rumah,
membuka tas berisi bukuku dan dia.
"Udah ayo masuk ke dalem tunggu hujan nya agak reda",
akhirnya aku mengajaknya juga kasian sudah baik
mengantarkan aku walau karena paksaan dia juga.
Dia masuk duduk di bawah karena basah, lalu ibu
mengambil baju dan celana milik sepupuku yang kebetulan
selalu di simpan jika mereka menginap. Ibu dan dia
mengobrol banyak aku sendiri tak terlalu menghiraukan.
Hujan perlahan hilang entah lari kebagian sebelah mana. Dia
pulang dengan jinjingan tas berisi baju seragam miliknya
yang telah basah, untungnya besok ganti seragam.
Latihan itu dilakukan selama kurang lebih dua bulan,
besok pagi adalah hari yang ditunggu olehku, hari
perlombaan. Dengan aku mewakili IPS, Angga mewakili IPA,
Mala mewakili MTK. Masih ingat Angga teman SD ku kan,
inilah Angga yang sama, dan Mala teman dekat ku dari kelas
7.
Ramai sekali, guru pembimbingku tidak bisa ikut hanya
pembimbing Angga juga Mala. Kami mengkonfirmasi data
terlebih dahulu pertama Mala, Angga, lalu aku. Ketika
bagianku para guru pembimbing itu kaget.
70
"Data kamu na", ucap salah satuny dengan raut kaget.
"Iya ibu gitu", ucapku membetulkan.
"Ini mah punya Angga", lihat kejadianya kembali
terulang.
" Enggak ibu Angga mah tempat lahirnya beda", lalu
setelah itu kami tertawa entah untuk apa.
Selesai dengan itu kami memasuki ruangan masing-
masing bidang. Degup jantungku semakin berdetak kencang
rasanya deg-degan sekali. Perlombaan di mulai aku mencoba
mengerjakan soal yang lebih mudah lebih dulu, lalu
mengerjakan soal yang sulit.
Setelah ujian selesai kami pulang kembali kerumah
dengan guru yang menjemput kami. Saat di mobil ku lihat
Angga dan Mala yang sepertinya kelelahan hingga tertidur.
Huft, lega tinggal menunggu hasil yang belum tentu
memuaskan.
Setalah tiga hari hasilnya di umumkan guru pembimbing
masing-masing. Mengecewakan mendapatkan 30 dari 90
siswa. Kecewa rasanya, tapi support orang terdekat kembali
meyakinkanku ini belum rezekiku.
"Udah gapapa yang penting kamu udah nyoba, udah
berusaha, jangan putus asa", hanya itu yang di ucapkan A
71
Idan saat aku bercerita pada dia. Hasilnya tak memuaskan,
tapi itu bisa jadi batu loncatan untuk kedepannya, agar terus
giat dan sungguh-sungguh.
Dibawah rincik hujan aku pulang bersama Idan,
memikirkan apakah dia kecewa atas hasil yang ku dapat,
apakah dia marah. Aku mencoba meredam kecewa dan
sedihku, rintik hujan itu tak lama mengalir juga dari mataku.

72
Hiburan Sementara

Akhir kelas 8 selalu ada acara rutin yaitu Tour, kali ini
angkatan kami masih sama dengan angkatan kakak kelas kami
Yogyakarta menjadi tempat tujuan. Kami beri pengumuman
mengenai pemberangkatan nanti malam, aku dan temanku.
Sebelumnya kami membagi teman kamar aku bersama Putri,
Rahma, Marsha, dan Wati. Pemberangkatan pukul 7 malam
bada isya, aku di antar oleh kakekku dengan cuaca sedikit
bergerimis.
Kami dikumpulkan di aula sekolah yang juga merupakan
gedung Olahraga. Setelah di beri wejangan oleh guru dan
menunggu bis datang kami mengantri menunggu giliran
masuk agar tertib, aku di bis 3 di gabung dengan kelas
tetangga yang sedikit heboh, tapi tak lama kehebohan itu
berlangsung. Kami berdoa bersama sebelum bis berjalan. Aku
duduk dengan Wati, permasalahannya adalah aku dan Wati
sama-sama mudah untuk tertidur belum sampai kuningan kota
saja aku sudah terlelap dengan nyenyak, dan Wati yang
menyender padaku malah ikut terlelap katanya.
Aku beberapa kali terbangun karena kepala ku yang
menyender kurang nyaman, dan aku terbangun ketika bisa
73
berhenti di rest area. Ku bangunkan Wati barangkali ingin
buang air. Pukul 4 kami tiba di dalah satu tempat yang di
gunakan untuk mandi, dan sembahyang. Aku hanya mandi
karena sedang berhalangan. Setelah mandi kami ke rumah
makan Ulu Resorts makan sambil menunggu hari terang.
Destinasi pertama yang di kunjungi adalah candi
Borobudur.
"Putri, Na cape deh". keluhku karena belum sampai juga
di puncak.
Kami beristirahat sebentar dan berpoto.
"Nanti kita poto sama bule", kami tertawa mendengar
ucapan Wati.
" Emang bisa ngomong nya Wat?", tanya Putri.
"Bisa tinggal gini aja 'Mrs atau Mr, can we take one
pictures?' gitu aja", aku melihat nya dengan tertawa bukan
karena meledek, tapi gaya nya yang meminta poto itu
membuat kami tertawa. Sambil naik tak kupa mengabadikan
berbagai momen yang mungkin nanti hanya menjadi goresan
kenangan.
Selanjutnya setelah candi Borobudur kami pergi ke
Museum Dirgantara, lalu setelah itu ke hotel tempat istirahat.
Aku membawa barang - barangku yang tak banyak itu.
74
Sesampainya di kamar kami bergantian mandi dan solat, tidur
biasa.
Tak lama setelah itu kami di panggil untuk makan,
setelah makan kembali memasuki kamar tapi entah kenapa
setelah isya kami di kumpulkan kembalj, ternyata ada yang
membawa vape dan rokok. Kami di beri nasihat. Setelah
kembali ke kamar aku di panggil guruku sudah deg-degan
ternyata karena ada bibiku. Aku sampai lupa mempunyai janji
dengannya, kebetulan bibi merupakan teman dari putra
guruku. Aku dan bibi di izinkan keluar tapi pulang ke hotel
tidak lebih dari pukul set 9.
Tak jauh aku dan bibi hanya membeli makan di salah
satu kedai. Aku memesan chicken teriyaki dengan minum
coklat dingin. Temanku menitip makanan dan mungkin akan
membelikan nasi goreng seafood agar sekalian. Setelah puas
mengobrol ternyata sudah jam 10. Bibi memesan pesanan
temanku, pukul set 11 aku baru kembali ke hotel, dan Bibi
pulang ke kostan bersama temannya. Sedikit was-was karena
dipinggir kamarku adalah kamar guru yang jaga.
"Sha, Marsha", panggilku pelan sambil mengetuk
jendela.

75
"Put, Ma", tidak ada sautan dari mereka, aku terus
mencoba mengetuk pintu hingga akhirnya terbuka dengan
memperlihatkan orang yang ternyata sudah terlelap.
"Maap ya Sha, tadi gak liat jam nih pesenannya", Marsha
menerima kotak itu dan memakannya, lalu kami kembali
tertidur setengah jam setelah Marsha selesai makan, ditemani
oleh suara hujan yang menggelegar.
Esok harinya kami kembali melanjutkan perjalanan
tujuan pertama adalah Taman Pintar. Lagi, harus mengantri
untuk mendapatkan tiket masuk nya. kami memasuki Taman
Pintar, mataku mengerjap. Banyak sekali barang yang
berkaitan dengan pelajaran IPA, kami berkeliling bersama -
sama. Menyenangkan sekali. kejadian lucku ditengah rasa
kagum yang tak hilang.
"Ini kita ke kanan apa kekiri", tanyaku pada mereka.
" Kiri" Kami mengikuti jalan lalu kami tersesat saat
hendak keluar yang bisa dilakukan menunggu orang yang
kami kenal.
Setelah dari taman pintar kami pergi ke Keraton, melihat
gemulai nya penari dan pemain gamelan, tak jarang pemain
gamelan itu juga ada yang merupakan turis. Lalu kami
mengikuti komando kami di bagi menjadi beberapa
76
kelompok, mendengarkan yang di sampaikan oleh guide toure
atau pemandunya yang menjelaskan tentang Keraton ini.
Setelah dari Keraton hendak ke tempat selanjutnya kami
melaksanakan Ibadah Salat Dzuhur.
Selanjutnya adalah Benteng Van der Burgh, sedikit
menyeramkan menurutku dengan bangunan yang seperti
model dahulu. Berkeliling dan beristirahat di dekat pohon
dengan hamparan rumput hijau. Bahkan ada yang menyewa
sepeda, becak-becakan. Aku melihat raut muka tak bersahabat
di antara puluhan senyum yang terukir indah.
Terakhir adalah Malioboro, berbelanja seperti menjadi
kebiasaan, aku sendiri membeli baju untuk ketiga adikku
hanya itu saja, karena aku yakin pasti nanti akan mengunjungi
tempat oleh-oleh. Aku menunggu teman yang lain yang masih
berburu belanja. Setelah kembali berkumpul tanpa kurang
satupun kami kembali ke tempat parkir bis. Sudah ramai juga
ternyata tapi tetap saja masih ada banyak yang belum
kembali, dari tempat orang bisa berbelanja itu.
"Na kamu beli banyak?", tanya Wati.
" Enggak kenapa?",

77
"Mau titip di bawah ya belanjaanku", aku melihat
belanjaannya yang sedikit banjak, ku biarkan dia menyimpan
barangnya.
Dugaan ku benar kami ke tempat oleh-oleh aku hanya
membeli bakpia, dan ternyata memang enak, ada temanku
yang membeli oleh-oleh dan dia membuka jastip banyak
sekali barang belanjaan yang dia beli karena jastip.
Lalu kami melanjutkan perjalanan pulang dengan tertidur
nyenyak mungkin karena sudah lelah berpetualang. Kami
semua sampai di sekolah pukul 3 dini hari.
Tour kemarin hanya selingan hiburan semata, sebelum
menghadapi ujian kenaikan kelas. Kali ini berbeda sudah
memakai komputer aku di sesi 2 ruang 2.

78
Rumah Lain

Sudah sangat siap sekali kali ini mencoba


membangkitkan semangat agar tidak merasa gugup. Ujian
terlaksana dengan khidmat, kadang ada beberapa teman yang
bertanya jika tidak mengerti. Kami paling suka di awas oleh
guru olahraga rasa tegang hilang karena musik yang
dimainkan di hp, juga terkadang memberi jawaban secara
random.
Ujian dan pembangisn raport selesai di umuman kelas
baru dan penghuni kelas itu. Kulihat anak-anak yang bisa di
bilang selalu ramai. Juga sekelas kembali dengan Angga.
Beberapa hari pertama masih diam malu malu. Setelah 3 hari
mulai dekat dan tenyata ramai sekali. Kelas 9 biasa di adakan
kemping, aku sekelompok dengan 7 teman lain nya. Nais,
Santi, Daul, Indah, Hana, Isna,dan Salma. Setelah itu kami
kecuali Salma dnegan tambahan Syarifah juga Yola menjadi
dekat, banyak cerita yang di buat dengan mereka membuat
hariku tentunya di beri warna.
Bersama teman kelas 9 banyak kejadian-kejadian yang
tidak terduga. Di saat pondasi salah satu dari kami rapuh yang
lain akan menjadi pondasi baru, ketika salah satu dari kami
79
kehilangan arah yang lain akan menjadi kompasnya, ketika
salah satu dari kami kehilangan rumahnya yang lain akan
menjadi rumah tempat pulang. Itu yang aku rasakan.
Saat itu sudah buntu pikiran ku, semangat ku sudah
hilang. Semesta tidak membiarkan aku hidup dengan
bersantai sudah memasuki usia remaja di beritahu hal yang
paling ku benci. Perubahan sikap yang begitu aku rasakan dari
bapak, aku mencoba bertanya pada ibu dan tenyata begitu
adanya. Bapak pun berbeda sikapnya pada ibu bukan hanya
padaku saja, waktu yang biasa digunakan bersama anak-
anaknya kini di gunakan untuk bersama telpon genggam nya.
Aku mencoba mengirim tugas karena kebetulan hpku
tidak bagus untuk mempoto hasilnya akan burem tidak jelas.
Tapi ku lihat poto wanita, ku pikir hanya sebatas teman,
setelah tenggelam dalam poto - poto itu aku tau bapak
bermain dengan wanita lain. Ku coba tanya kepada ibu
tentang perbedaan bapak tanpa memberi tahu yang ku
temukan di galeri bapak. Aku sudah takut rumahku akan
hancur rumah yang aku harap selalu jadi tempat pulang
untukku.
Aku menangis mengadu pada sang kuasa meminta untuk
menjaga rumahkku selalu, mencoba memendan semua tanpa
80
menceritakan pada siapapun, sebelum kebenarannya
terungkap. Perasaan ku gelisah apa yang terjadi, degup
jantungku berdegup kencang, saat aku pulang rumahku
berbeda suasana, sepi, hening, bahkan tak ada senyum yang
bisa terukir. Tak ada bapak hanya ibu seorang.
"Ibu kenapa?", tanyaku melihat ibu menangis
menggendong adikku. Aku takut.
" Na bapak ada perempuan lain", rasanya seperti
disambar petir di siang bolong.
"Kata siapa?", dengan hati hati aku pura pura tidak tahu.
" Ibu liat HP bapak ada WA, ibu nanya bapak marah
baru ngaku ", dengan tersedu-sedu ibu menjelaskan.
"Ibu udah ngobrol sama bapak nya tapi?", tanyaku.
" Udah sama ema ndah juga", ah rupanya sudah tahu.
Kini hatiku gentar, retakan ini terlalu besar entah bisa di
perbaiki atau tidak, bagaimana bisa menambal celah besar
jika hanya ada tanah dan semen sedangkan airnya tidak ada.
Aku tak bisa menahan tangis, sampai akhirnya yang
dilakukan hanya meredam tangisku dengan bantal.
Sudah seminggu sejak kejadian itu suasana rumah
membuat aku ingin pergi Rasanya tidak tahan dengan
kesunyian di rumah ini yang membuat aku selalu pulang
81
terlambat agar tak banyak waktu di rumah. Muak dengan
terus menerus seperti itu aku mencoba membuat mereka
berkomunikasi,lalu jalan tengahnya ibu memberikan bapak
kesempatan kedua.
Aku tau ibu belum bisa legowo dengan keputusannya,
rumah yang hampir runtuh itu sudah terbaiki pondasinya
walau setelah nya tak bisa berdiri Sekokoh pertama. Bapak
kembali berangkat kali ini dengan ibu aku tinggal di rumah
Ema dari ibu karena rasa khawatir orang tua. Aku tidak terlalu
khawatir ku pikir itu cara agar mereka lebih banyak
berkomunikasi. Tapi aku salah justru itu menjadi sumber
masalah kembali, kesalahan yang sama terulang lagi, aku
hancur lagi sudah tidak bisa di bendung aku menangis lagi.
Dikala rumah sudah hancur kemana aku harus pulang,
rumah yang sering ditambal retakannya bisa saja kembali
hancur. Yang pertama ku hubungi Mala dan Ridha, tak puas
karena masih mengganjal aku pergi ke rumah nya lalu
menumpahkan tangis di dekapan temanku itu.
Dari situ putus komunikasi ku dengan bapak,hingga
akhirnya perpisahan yang di pilih ibu. Benar rumah yang ku
kira bisa menjadi kastil sudha hancur lebur tak tersisa. Dan

82
aku rasa ada rumah lain untuk sekedar beristirahat sejenak
melepas jenuh dan lelah.
Setelah menghilang warna di hidupku, mereka datang
melukis kanvas hitam dengan berbagai warna, membentuk
pola abstrak yang memberi kebahagiaan jika memandangnya.
Banyak kenangan manis juga pahitnya, pernah aku sampai
ribut besar hanya karena salah paham.
Kenangan manis di akhir semester itu di antaranya
merayakan ulang tahun salah satu teman lalu makan bersama
satu kelas kecuali 6 orang yang memang pendiam, lalu aku
dengan teman ku kabur dari sekolah ke rumah Nais untuk
meliwet. Dan masih banyak lagi hal lain yang membuat aku
melupakan segala beban yang ada di pikiranku. Memberikan
dukungan ketika lomba antar kelas dengan begitu heboh.
Dimulai dari perceraian bapak dan ibu aku perlahan berubah.
Saat ulangan perceraian ibu dan bapak di proses menjadi
hantaman besar, membuat aku malas ketika di rumah, tak
berminat melakukan apapun untuk bahkan sekedar membuka
buku, hanya diam di kamar di temani suara musik yang
mengalun merdu di gendang telinga. Hingga ujian aku masih
bisa menjawab beberapa soal dengan cukup mudah, entah
benar apa tidak setidaknya tidak kosong jawabanku.
83
Selesai ujian, kini pembagian raport dan seperti
dugaanku begitu mengecewakan, peringkat ke 5 dari 36
siswa. Itu membuat aku sedikit kaget dan down. Kini harus
mulai membangun semangat yang meredup. Kembali
membakar semangat yang harus membara. Mencoba tidak
masuk terlalu dalam ke masalah orangtuaku, terkadang kesal,
kakakku di amankan dari segala masalah tak boleh ada yang
memberi tahu, sedangkan aku tak lepas dari sejengkal pun
masalah mereka. Merasa di paksa dewasa disaat jiwa kanak
kanakku belum terpenuhi hak nya.
Ada banyak rindu yang ku pendam, ada banyak tangis
yang ku redam, agar semua tetap tentram, biar aku yang
mendekam dalam luka yang mendalam.

84
Pandemi dan Sisanya.

Ketika menginjak semester 2 kelas 9 di bentuk panitia


perpisahan, juga perencanaan tour kelas 8, sayang nya
rencana itu terlaksana kalah cepat dengan pengumuman
covid-19 selama dua minggu, namun dari 2 minggu menjadi 2
tahun. Hari kelulusan yang di dambakan, memakai gaun
dengan ditambah hiasan. Sayang sekali, itu hanya sebuah
impian yang tidak bisa terwujudkan. Pandemi Covid-19
perubahan siklus kehidupan, ribuan orang kehilangan
hidupnya, orang terdekatnya, atau bahkan jati diri nya. Berita
menampilkan lock down di berbagai daerah, sebagian stres
karena kehilangan pekerjaan yang menajdi aumber
kehidupan, kehilangan kesempatan bertemu dan bertamu.
Semua dilakukan dari rumah sekolah, kerja, dan lainnya.
Di masa itu juga masa yang sulit menurutku tidak bisa
keluar rumah bertemu teman yang menjadi amunisi untukku.
Perlahan mulai berubah kebiasaanku, lebih sering di kamar
berdiam diri. Hingga pendaftaran ke Sekolah Menengah Atas
pun dilakukan secara online tanpa bertatap muka, tidak tau
siapa orang-orang yang bersangkutan.

85
Ketika sekolah daring di jenjang SMA aku kesulitan
mengikuti pelajaran, karena tidak terbiasa, ketika perintah ke
sekolah untuk menyetorkan tugas aku kebingungan tidak tahu
siapa hang mengajar ku, pada siapa yang saat ini tugas harus
aku kumpulkan.
Puncaknya ketika aku mengalami Krisis identitas,
kehilangan semangat, dan bahkan kehilangan jati diri sendiri.
Saat itu puncak permasalahan antara aku, bapak, san ibu,
juga saat pertama aku melanggar prinsip menjaga semua
milikku dengan baik, pertama kali aku terjerumus pada hal
yang tidak pernah ku lakukan dan hal yang paling ku hindari.
Menciptakan prinsip baru, " Jika orang lain bisa menyakiti
aku, maka aku pun bisa melakukannya".
Kebiasaan itu terus menerus terjadi entah sampai kapan,
mencoba untuk sembuh dari kebiasaan itu tentu sulit. Apalagi
sudah berjalan di jangka waktu yang lama.
Hingga akhirnya sekolah semester 2 mulai disatukan,
aku dekat dengan Indri, Gita, Mia, Luciana. Saat itu kami
belum terlalu dekat dengan yang lain. Banyak cerita bersama
mereka, berawal dari tugas kelompok hingga akhirnya
menjadi akrab, dan kemudian menjadi dekat. Membantu
untuk mengalihkan perasaan yang di rasa.
86
Mencoba untuk menghindari keinginan menyakiti diri,
menghindari tubuhku dari luka - luka yang baru ketika luka
lama belum juga mengering. Tapi ternyata susah belum bisa
mengontrol emosiku. Tangan kiriku kembali menjadi korban,
setiap permasalahan dengan teman, bapak, sekolah. Ketika
semua sudah tak bisa ku tampung, ku tumpahkan pada
goresan-goresan-goresan di tangan yang menjadi saksi untuk
segala sesak yang tak bisa di luapkan, untuk keluh yang tak
tersampaikan, untuk perasaan yang dipaksa untuk dipendam
dan ekspetasi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Pada saat itu guru bk memberikan materi di kelas kami,
materi menyayangi diri sendiri aku sedikit tertampar dengan
materi itu membuat sedikit terisak. Setelah kelas selesai aku
di panggil, bukan karena kasus, tapi hanya untuk bimbingan
dengan rentetan pertanyaan untuk mengeluarkan segala
perasaan. Di berikan nasihat untuk menahan dan
mengalihkan jika ada rasa ingin menyakiti diri.

87
Ingin sekali ku jelaskan, bahwa semua upaya sudah aku
lakukan tapi selalu gagal. Aku rasa bisa menghilangkan
semua itu ketika aku sendiri sudah bisa berdamai dengan
hidupku. Dan aku selalu menanti waktu itu, pandemi covid-19
awal dari permasalahan yang membuat melanggar prinsip
lama hingga membuat prinsip baru. Dan meninggalkan sisa
sisa luka di tangan.

88
Akhir Yang Tak Ditemukan

Kenaikan kelas sudah dilaksanakan menginjak kelas 12,


disibukan dengan tugas-tugas. Pertama kalinya full day
setelah 2 tahun di manjakan karena pandemi, merasa
kewalahan sekali pandemi ini tidak menyenangkan sekali. Ku
rasa kelas 12 ini berbeda dengan sebelumnya, pertemanan
juga lebih dekat dan lebih kompak, beberapa orang memang
masih masih belum bisa berbaur.
Lebih banyak juga momen kebersamaan yang bisa ku
rekam dan ku simpan dalam memori ingatan. Dan aku rasa
sejak kelas 12 aku lebih bisa mengontrol diriku, lebih bisa
menyayangi diriku sendiri bahkan aku sudah menemukan
prinsip yang harusnya aku pegang."Jika orang lain
menyakitiku, maka aku yang harus bisa menyayangi diriku
sendiri. Jika bukan aku yang membahagiakan diriku lalu siapa
lagi".
Bulan September ada mahasiswa PPL mengajar kelasku
namanya Bu Wirda aku kerap memanggilnya teh Wirda.
Awalnya kami begitu canggung tapi lama lama kami mulai
akrab. Lalu pada bulan Oktober ada Mahasiswa dari
Universitas lain, tidak mengajarku sepertinya mengajar kelas
89
11. Tetapi sepertinya mereka pendiam bahkan mungkin
mereka tipe orang yang tegas, berbicara hanya perlunya,
pernah aku berpapasan dengan tiga orang mahasiswa PPL itu,
berniat menyapa aku tersenyum, tapi hanya satu yang
membalas senyumku, sedangkan yang lainnya melewati
seolah tidak melihat ada manusia di depannya.
Pada satu hari setelah dari toilet aku menyapa guruku
yang kebetulan bersama dengan mahasiswa PPL, dari situ
kami mulai mengobrol ternyata Pamu namanya, setelah itu
aku menjadi kenal dengan yang lainnya Pak Zaki, Pak Fadil,
Bu Ara, Bu Dela, Bu Shelia. Aku banyak mengobrol dengan
mereka, dan sudah aku klaim sebagai temanku.
Hari selanjutnya kami mulai akrab saat itu, aku
menunggu hujan reda bersama mereka, kembali berbincang
banyak hal. Bu Shelia pulang terlebih dulu, dengan waktu
yang agak lama di habiskan kembali berbincang dan bergurau
bersama Pak Pamu, Pak Zaki, dan Pak Fadil. Pak Zaki
kemudian pulang, sedangkan kami masih asik mengobrol.
Tak lama setelah Pak Pamu kami juga pulang.
Dari situ entah bagaimana bisa aku mulai merasakan
perasaan yang tidak harus ada. Mencari cara agar terus bisa
mengobrol yang paling aku suka adalah ketika kami
90
mengobrol di perpustakaan. Saat aku mengerjakan tugas dia
bertanya padaku, lalu kami hanyut dalam obrolan itu.
"Bapak kalau ketemu orang bikin cape gak?l", tanyaku di
sela obrolan kami.
"Iya, makanya bapak lebih suka diem", jawabnya
menjawabku.
"Kalau sama aku bikin capek gak?" ,ucapku di selingi
candaan.
" Enggak si netral ajal", jawabnya dengan senyum yang
terpatri di bibirnya.
"Masa harusnya tambah semangat gak si pak?", kami
pun tertawa.
Membahas lagu kesukaannya, kemudian membahas
kumpulan cerpen Ahmad Tohari. Aku meminjam bukunya
yang berjudul Senyum Karyamin. Setelah membaca aku
mengembalikan buku itu dengan notes kecil, sedikit takut.
Aku pikir notes itu akan di buang, ternyata notes nya di poto
lalu dia post di story instagram nya, ada di galerinya saat dia
menunjukkan padaku. aku juga meminjam buku lainnya
seperti Bibir Dalam Pispot dan Mata Yang Enak Dipandang
ku kembalikan dengan cara yang sama,yaitu dibarengi notes.
Selain itu dia bilang notes yang dia temukan di bukunya
91
disimpan dengan baik, rasanya ribuan kupu-kupu
berterbangan dalam perutku, hatiku tumbuh bunga-bunga
indah bermekaran.
Yang terakhir adalah notes terimakasih untuk bukunya
dan bertanya bolehkah aku dan mereka poto bareng untuk
kenangan. Notes itu di ketahui oleh teman Bu Wirda
mahasiswa PPL juga. Di hari itu Bu Wirda mengatakan
padaku untuk berhenti mengirim notes itu.
"Na jangan kasih notes gitu si, nanti ada yang cemburu",
ucapnya saat kami mengobrol.
"Note nya kan cuman ucapan makasih", jawabku.
Tapi ternyata tetap saja dengan pendiriannya mencoba
menyuruhku berhenti memberi notes itu. Aku diam
mendengar dari Teh Wirda katanya Pamu dengan teman Teh
Wirda sedang dekat, Indri yang sebangku denganku dan tau
perasaanku menepuk pahaku dengan senyum yang mencoba
untuk menyemangatiku, untuk menutupi rasa sesak itu aku
dan Indri saling tatap tanpa kata dan tak lama kami tertawa.
Setelah itu aku mulai bimbang langkah apa yang harus
kupilih?.
Bertahan atau menyerah saampai di sini?.
Lagi harus merasakan sakit karena kembali gagal?.
92
Tentang Penulis

Raina Nur Aulia adalah penulis dari buku ini. Lahir di kota
Kuningan 14 Februari 2005, penulis menempuh pendidikan
mulai dari TK , dan melanjutkan SD Negeri 2 Luragung,
SMPN 1 Luragung, hingga kini telah menjadi siswi SMA
Negeri 1 Luragung. Berdasarkan pengalaman pribadi, penulis
memberikan sebuah pembelajaran bagi para. pembacanya
tentang masalah "Mencintai diri Sendiri"
Melalui karyanya Raina ingin berbagi kisah penuh Lara dan
Harsa.
Untuk berakrab diri dengan Raina, kamu bisa berkunjung
ke: IG : rynraulia

93

Anda mungkin juga menyukai