Anda di halaman 1dari 3

Judul : Rindu

Penulis : Pebri Andhika

Gemuruh aktifitas datang, menunjukan bahwa akan tiba saatnya perayaan HUT RI yang akan
diselenggarakan di Lapas kelas IIB Warung Kiara, begitu banyak perlombaan yang akan di adakan
di Lapas ini. Aku terpaku dan mendekati secarik selebaran yang menempel di dinding,
mengumumkan suatu perlombaan bertuliskan “LOMBA CERPEN DALAM RANGKA
PERINGATAN HUT RI KE-75” terlintas dalam benaku untuk mengikuti perlombaan tersebut,
sekaligus menceritakan kisah diriku yang mungkin sudah lama dan mengangkat sedikit kenangan
yang dulu pernah aku alami. Konflik kedua orang tuaku yang berujung perceraian tanpa ku bisa
fahami mengapa semua bisa terjadi, hingga dirikulah yang menjadi korban dari konflik tersebut.

Tanpa pikir panjang, aku segera bergegas menuju kamar dan mengambil sebuah buku dan pulpen

Tahun 1991

Ini adalah sebuah cerita, setumpuk berkas hidupku, berupa pengalaman cerita pribadi, baik yang
bahagia maupun yang duka. Sebagai album kenangan, patut cukup dikenang saja dan dijadikan
cambuk besar sebagai pelajaran yang berharga, tetap bertahan tidak mudah menyerah, berani
untuk terus melangkah maju menjalani kehidupan ini, hingga pada suatu hari ...

Dibalik sebuah pagar yang berdindingkan sebuah papan, terlihat sosok wanita tua yang sedang
membungkuk, melihat dan menyaksikan perdebatab yang sedng berlangsung, ia tak lain adalah
Neneku yang sedang melihat perdebatantersebut, terlihat seorang ibu sedang menggendong dan
mencium , memeluknya erat anak laki-laki yang masih berusia delapam bulan, tak lain adalah
ibuku yang sedang menggendong diriku, sambil menangis, air mata yang jatuh dikedua pipinya.
Terlontar keluar dari mulut ayahku sedikit lantang nernicara kepada ibu sambil merebut diriku dari
gendongan ibu, seraya berkata “ jika setelah berpisah dan kau tak sanggup untuk menafkahi dan
membesarkan Pebri, kamu bisa titipkan Pebri ke panti asuhan atau carikan orang yang mau
mengadopsinya”. “ Aku tidak akan sedikitpun untuk meninggalkan Pebri, apalagi harus
memberikannya kepada orang lain” kata ibuku. “Baik jika kamu sudah yakin akan pendirianmu
bercerai, aku terima, karena aku sendiri, dengan tanganku aku bisa membesarkan Pebri dan
mencukupi semua kebutuhannya tanpa sedikitpun bantuan darimu” lanjut ibu berucap. Dengan
entengnya keluar dari uycapan Ayah “ Bagus kalau begitu”. Sambil meletakan aku di bawah
rerumputan, membiarkan Ibu dan membiarkan Ibu mengangkatku lalu beranjak pergi. Semenjak
kejadian itu, kuakui Ibu selalu tegar dan selalu tabah untuk melanjutkan dan membuktikan akan
membesarkanku dan membahagiakanku, mencukupi semua kebutuhanku tanpa bantuan dari
seorang suami. Ibu bekerja disebuah perusahaan sebagai Staff Administrasi, menopang
kebutuhan diriku setelah apa yang terjadi pada Ibu yang menindih hati.

24 Mei 2011

Sinar Mentari menunjukan keindahannya, membuktikan betapa indahnya karunia Tuhan, seindah
kebahagiaan yang saat ini aku jalani dan aku alami, genap di usiaku ke 24 tahun, aku menikah,
mempersunting seorang wanita yang usianya 3 tahun lebih muda dariku, wanita yang sudah cukup
lama aku kenal sejak perkenalanku dengannya tiga tahun silam, hingga menjadi calon isteri
sekaligus ibu dari anak-anaku kelak.

Kembali muram wajah Ibu dan Nenek disaat aku dapati sedang menangis disebuah kamar, aku
coba menghampirinya dan ingin menanyakan apa yang telah terjadi sehingga Ibu dan Nenek
menangis. Keningku mengerut saat memandang foto yang berada pada genggaman tangan ibu.
Foto itu tampak kusam, terlihat dari warnanya yang memudar dimakan usia. Terlihat gambar pria
yang sangat mirip dengan diriku, tak lain dia adalah Ayahku/ “ Foto Papa yang mana?” tanyaku
sambil menangis dan memeluk ibuku, aku berucap pada Ibuku “ Kelak Pebri akan cari Papa akan
Pebri tunjukan kalau Mama sudah berhasil membesarkan Pebri, tugas mama sudah selesai,
karena Pebri sudah Menikah!!” sambil memeluk erat Ibuku dan menangis di pangkuan Ibu.

27 Juni 2011

Dengan mengendarai sebuah mobil Avanza yang sudah kusam, kucari alamat yang kurang jelas,
tapi tak menyurutkan langkahku untuk mencari Ayah, meninggalkan Isteri dan Ibuku.

Mobil Avanza yang kupinjam dari salah satu Rental Mobil membawaku pergi bersama kedua
sahabatku hingga tiba di suatu desa ditepi Danau Ranau kabupaten Oku selatan. Terus tak kenal
lelah berhenti dan bertanya kepada warga setempat, dan ternyata menurut informasi warga,
Ayahku yang bernama Abdul Muhin adalah seorang Kepala Desa yang saat itu menjabat di Desa
Tanjung Besar, terletak sekitar 60-70 km dari Desa tempatku saat itu bertanya. Dalam benak
hatiku, mungkinkah ayah ku bisa mengenaliku, anak yang dulu dia tinggalkan kini sudah tumbuh
dewasa. Tak makan waktu, lantas aku dan teman ku bergegas pergi memacu kendaraan
meninggalkan desa Danau Ranau menuju desa Tanjung Besar yang kabar nya disitu tempat
tinggal ayah ku saat ini. Hampir dua jam setengah kami berjalan melewati beberapa desa, terlihat
beberapa anak muda sambil sesekali melirik ke arah mobil yang kami kendarai. Andi yang saat itu
mengemudikan mobil memperlambat laju kendaraan, karena melihat sebuah jembatan yang
bertuliskan Selamat ‘‘Datang di desa Tanjung Besar’’. Desa yang cukup ramai, terlihat dari rumah-
rumah yang padat.

Aku beranjak keluar dari mobil, terlihat di depan rumah Kepala Desa, ada seorang pria paruh baya
sedang berbincang dengan seorang perempuan, kemungkian isterinya. Aku melangkah menuju
pria paruh baya tersebut hendak menanyakan apa benar rumah yang aku tunjuk tersebut adalah
kediaman Bapak Kepala Desa yang bernama Abdul Muhin.

Setelah mendekat, belum sempat Aku melontarkan kata-kata, sontak Bapak paruh baya itu
bertanya kepadaku “ Mau kerumah siapa dek, mungkin saya bisa bantu “ tanya sang Bapak
kepadaku, “ Mau ketemu Pak Kades pak” jawabku “ Apa benar Bapak Kepala Desa Tanjung Sari
ini bernama Bapak Abdul Muhsin?” lnjutku bertanya. “ ya betul” jawab sang Bapak sambil
menjabat tanganku. “ kalau boleh tau, adek ini dari mana?” tanya si Bapak kepadaku, lalu aku
mulai menceritakan kepada si Bapak apa maksud dan tujuanku hingga aku datang dan menemui
Bapak Kepala Desa yang bernama Abdul Muhin, yaitu Ayahku Sendiri. Belum sempat aku
habiskan kata-kata dan menjelaskan, sontak Bapak paruh baya itu menunjukan sorot mata yang
berkaca-kaca, meneteskan air mata lalu memeluk erat tubuhku, ternyata tak lain Bapak paruh
baya yang sat ini bersamaku adalah kakak dari Ayahku, dia ternyata Pamanku.

Begitupun perempuan yang ada di sampingnya sontak memeluku, hingga mengakibatkan


pertumpahan air mata . kejadian ini membuat Bapak Kepala Desa mendengar apa yang sedang
terjadi.

Terdengar suara pintu rumah Bapak Kepala Desa terbuka lebar dan sesosok laki-laki datang
menghampiriku, bertanya kepada Paman yang masih memeluku, paman melepaskan pelukannya
lalu lalu bergegas menghampiri Bapak Kepala Desa menjelaskan bahwa ada yang mencarinya.
Seperti ombak yang datang menghempaskan batu karang, Ayahku Abdul Muhin datang
memegang, menatap, menempelkan kedua tangannya ke pipiku lantas berkata “ Pebri anak papah
sudah sebesar ini”. Dia berlutut di hadapan ku, menangis memohon maaf atas semua kesalahan
yang telah dia perbuat, telah menyia-nyiakan, menelantarkan dan tak bertanggung jawab menjadi
seorang Ayah. Aku menyambut kedua tangan Ayah ku dan berkata “sudahlah lah Pah, tidak perlu
di sesali semua sudah terjadi. Kedatanganku bukan untuk menuntut atau melimpahkan rasa
dendam, tapi Pebri datang hanya ingin tau siapa Ayah ku dan seperti apa Ayah ku”.

Meskipun Papa dan Mama sudah berpisah, tapi hubungan anak dengan orang tua tetap terjaga
dan harmonis, itu yang Pebri harapkan. Meskipun Mama dan Papa sudah berpisah, tetap doa ku
di sini selalu ada buat kalian. Pebri rindu Mama dan Papa, doa kan anak mu ini supaya segera
bebas dari jeruji besi dan lekas kembali

Anda mungkin juga menyukai