Anda di halaman 1dari 2

Aku Rindu Ibu

Judul Cerpen Aku Rindu Ibu

Jam berdeting makin cepat tanpa sarat, jantungku berdetak dag dig dug bak pacuan
kuda yang berenergi. Langit seperti menunjukkan suatu kesedihan kepada dunia, ilalang-
ilalang sekitar jalan tak berterbangan, menunduk tak ada secercah harapan. Jarum pendek
arlojiku menunjukkan pukul 20.00 tepat, tak sebuah kendaraan umum melaju, hanya
beberapa kendaraan pribadi yang berlalu lalang, menambah sedikit kebisingan dalam
kesunyian membawaku dalam lintasan bundar yang melayang. Tidak, aku harus kuat. Aku
harus pulang. gerutuku dalam hati.

Ku kuatkan menempuh jarak 5 km dengan menahan perihnya kaki. Dua setengah jam
kemudian, berdirilah aku istirahat sejenak di gubuk jalan setapak 10 menit lagi hampir
sampai rumah. Sepi suasananya, jangkrik pun tak mau berceloteh, hanya gerimis yang
membulatkan keberanianku. 7 meter dari arah pandangan sepertinya ada orang-orang berlalu
lalang namun tak ramai jua, ada pula cahaya yang menyoroti depan rumahku. Nampak
seorang lelaki tua duduk lemas tak berdaya, aku berlari terengah-engah menuju laki-laki tua
itu.

Bendera putih berkibar terbawa angin yang menyapu gerimis malam itu, ayah ku panggil
lelaki tua itu dengan lemah, apa ini beberapa tetangga mengelilingiku sembari menundukkan
kepala. Seorang perempuan setengah baya berlari pelan memelukku, kuatkan, tabahkan. Ini
sudah menjadi takdir-Nya. Bisik bibiku menenangkan. Ibu, di mana Ibu teriakku lemah.
Lihatlah lelaki tua itu hanya diam, menteskan air mata, tak tanggung-tanggung aku melaju
menuju ruang tengah.

Nampaklah seorang yang terlihat cantik, bibirnya tertarik ke atas sedikit rambutnya panjang
diikat rapi. Dia terbaring memejamkan matanya, diselimuti jarit dengan corak batik solo
berwarna cokelat di atas karpet merah. Perlahan aku mendekatinya, memandanginya,
membelainya, Ibu aku pulang, Ibu, aku rindu Ibu aku teng suara jam klasik di dinding itu
sontak membuatku terkejut dan menghentikan ucapanku. Pening rasanya, orang-orang
terlihat sibuk membuat rangkaian bunga, menghitung kepingan logam lima ratus rupiah. Aku
tahu itu biasanya akan ditaburkan di atas keranda, tapi aku tidak peduli aku merindukan
ibuku, tak seorang pun bisa memisahkan aku darinya.

Fajar itu menyilaukanku, seolah membangunkan dari mimpiku. Nazwa sayang, kau telah
bermalam dengan Ibumu, biarkan Bibi mandikan Ibumu. Aku hanya mengangguk. Semua
prosesi persiapan pemakaman sudah selesai, ayahku sudah tua renta tidak mampu mengikuti
ke pemakaman. Maka aku putri tunggalnya yang mewakili. Entah mengapa aku merasa kuat
dan tegar mengantarkan ibuku sampai ke peristirahatan terakhirnya.

Berakhirnya semua itu, membuatku seperti rumah tak yang tak berfondasi, aku mampu
meneduhkan ayahku yang tua renta namun aku mudah terombang-ambing situasi. Ayah dan
ibuku menikah dikaruniai dua orang putri, usia kami terpaut jauh 15 tahun, maka tak heran
bila ayah sudah tua di usiaku yang 23 tahun. Namun kini hanya aku yang masih bertahan,
kakakku meninggal dunia di saat akan mengikuti ujian nasional beberapa tahun yang lalu.

Kala itu pukul 06.00 kakak mengantarku ke penitipan anak yang berjarak 250 meter dari
sekolahnya, aku dititipkan karena ayah bekerja dan ibu berjualan di pasar. Kakak lupa
memberikan aku uang saku, lalu aku berlari mengejarnya karena langkahnya sudah cukup
jauh. Tanpa terdengar klakson sebuah mobil sedan berwarna putih melaju kencang,
tolong aku menutup mataku dengan tangan mungilku.

Perlahan mataku terbuka, langit atap yang ku lihat dikelilingi gangsing yang berputar,
ternyata aku baru sadar. Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan kakak namun hanya ibu
yang terlihat mendekapku, menenangkanku, sepertinya aku bukan berada di rumahku sendiri.
Suara tangisan dan rengekan anak kecil menggaduhkan ruangan kecil yang aku tempati. Hari
berikutnya aku pulang, di sana nampak ayah dan orang-orang seisi rumah yang terlihat sedih.
Mereka bilang kakakku pulang ke rumah yang lebih indah maka aku harus senang, aku tidak
paham dengan makna itu.

Setelah 17 tahun sikap ibu berubah kepadaku, kasih sayangnya nampak berkurang. Seiring
berjalannya waktu hubunganku dengan ibu tidak begitu baik, kami sering bertengkar karena
aku lelah bersabar bahwa aku penyebab kematian Zeynep kakakku ayahlah yang selalu
menjadi penengah kami. Hingga suatu hari dimana hari pertama aku bekerja setelah satu
tahun lebih menganggur, ibu selalu berkata bahwa aku percuma dikuliahkan kalau-kalau
hanya menganggur, dia selalu membandingkan aku dengan kakak Zeynep yang sangat pandai
dan prihatin, tak seperti biasa kemarahanku kini meluap hingga terlontar kata-kata kasar
untuk ibu.

kau wanita tua, Ibuku. Seharusnya kau menyayangiku agar aku mau mengurusmu dalam
kerentaanmu, kalau kau begini terus aku sudah tidak peduli lagi denganmu! gertakku dalam
amarah. Ibu terlihat kaget mengetahui aku berani melontarkan kata dan nada kasar. Aku
berlari dalam kemarahan, dan bergulat dalam hati apa aku berdosa? Ahh wanita itu sering
mendzalimiku, biarlah. Aku harus tunjukkan kalau aku bisa memberikan apa yang telah dia
berikan kepadaku. Ini pekerjaanku yang sangat baik bonafide lagi, tentu gajiku bisa
membelinya!

Itulah yang aku ingat sebelum berangkat kerja, sehari sebelum ibu meninggalkan aku dan
ayah untuk menyusul kakak. Aku merasa menyesal dan berdosa. Hari ini aku berjanji untuk
ibu aku akan mengurus ayah dengan baik, mengunjungi makam kakak dan ibu tiga bulan
sekali, dan selalu mendoakan mereka. Tidak bisa berbuat lebih dari itu, jika aku mengingkari
janjiku terhadap ibu maka aku hanya bagaikan seonggok daging tidak bertulang, dalam jiwa
yang lemah atas dosaku terhadap ibuku. Aku sayang Kakakku Bu, dan aku sangat
merindukanmu Ibu, aku rindu Ibu.

Anda mungkin juga menyukai