Anda di halaman 1dari 4

Sinopsis:

Saat ini, aku sedang membantu nenek memasak di dapur yang sudah berumur. Ketika rumah-
rumah tetangga sudah menggunakan kompor gas nenekku masih menggunakan kayu bakar,
mereka menggunakan blender untuk menghasulkan bumbu nenekku menghasulkannya secara
manual, dan ketika mereka menggunakan beberapa bumbu instan, nenekku tetap
menggunakan bumbu dapur biasa dan rempah-rempah. Tanganku dengan cekatan meraih
beberapa bumbu dapur dan mengahaluskannya menggunakan ulekan. Tidak sulit membuat
makanan hanya untuk dua orang.

Bumbu tersebut akan digunakan untuk memasak makan malamku bersama Nenek. Sudah
hampir 15 tahun aku tinggal bersama nenek. Orang tuaku menitipkan ku pada nenek ketika
aku masih burumur 2 tahun. Di rumah sederhananya, idak ada banyak peralatan di sini, hanya
dua kamar tidur, satu dapur yang sekaligus menjadi tempat makan, halaman rumah yang
hanya ada tanah saja, serta satu kamar mandi yang terpisah dengan rumah. Meski begitu, aku
tetap ingin berada di sini.

Setelah makan malam selesai, nenek akan duduk-duduk di depan rumah. Biasanya aku akan
menemaninya, sambal bertukar cerita. Nenek akan menceritakan kisah-kisahnya ketika masih
remaja. Meski sudah tua, nenek tetap asik ketika bercerita dan selera humornya tidak terlalu
tinggi. Sesekali aku juga menambahkan lelucon di sela-sela cerita, dan kami akan tertawa
bersama.

Akan tetapi, kali ini aku tidak menemani nenek, aku sedang menerima telefon dari Mamaku.

“Rina, minggu depan ibu mau datang ke sana, jemput kamu. Kamu siapain barang-
barangmu sekarang!”

“Untuk apa Ma?”

“Kamukan sudah lulus SMA, kuliahnya di sini aja. Banyak Universitas bagus di sini”

Percakapanku dengan Mama selesai setelah mengatakan beberapa kalimat yang tidak
sepenuhnya aku dengar dengan jelas. Pikiranku sudah diambil alih dengan perkataan Mama
bahwa aku akan meninggalkan Nenek. Aku tidak tau harus bagaimana. Mengajak Nenek ke
kota bukanlah hal mudah karena Nenek tidak suka tinggal di sana. “Kakekmu akan sendiriran
jika Nenek pergi ke kota,” begitulah kata Nenek jika aku memohon pada Nenek. Aku
berjalan menuju kamar Nenek, ia sudah tertidur dengan dengan pulas. Kain batik dijadikan
selimut olehnya untuk mengurasi rasa dingin. Tidak mungkin aku meninggalkan Nenek
sendirian.

Keesokan paginya aku memberi tahu Nenek, tentang rencana kepergianku. Mau tidak mau
aku tetap harus memberi tau Nenek, aku tidak mau memberi tahunya terlalu mendadak.

“Nenek ikut ke kota aja, biar Lia bisa jagain Nenek”

“Nggak usah, Nenek di sini aja. Nanti kasian Kakek, sendirian,” sudah kukatakan, Nenek
pasti akan berkata seperti itu.

“Kalo Nenek sendirian di sini, nggak ada yang jagain Nenek. Kakek pasti juga pingin ada
yang jagain Nenek.”

Nenek hanya tersenyum menanggapi ku. Percakapan ini akan sulit menemui ujungnya. Aku
juga tidak bisa menolak Mama. Mama orang yang tegas dan tidak suka di bantah. Papa juga
tidak pernah puduli pada apapun. Dia selalu berkerja setiap hari, dari pagi hingga malam. Hal
itu juga yang menyebabkan aku lebih memilih untuk tinggal bersama Nenek.

Malamnya Nenek tiba-tiba sakit, badannya sangat panas dan batuk-batuk terus tanpa henti.
Aku segera membuatkan teh hangat dan mengkompres Nenek, berharap Nenek lekas sembuh.
Mulutku terus bergerak untuk menucapkan doa-doa supaya Nenek lekas sembuh. Akan
tetapi, doaku belum dikabulkan. Pada saat subuh panas Nenek belum reda juga, malah
semakin meningkat. Batuknya juga bertambah parah. Aku segera berlari menuju puskesmas
terdekat meminta bantuan. Bu Bidan yang melihatku datang dengan wajah pucat, segera
membereskan perlatannya dan menuju rumah Nenek.

Bu bidan segera memeriksa keadaan nenek. Dikeluarkannya thermometer untuk mengukur


suhu tubuh nenek dan stetoskop untuk mengecek denyut jantung. ….

“Nenek hanya panas biasa dan kelelahan saja,” kata bu bidan.

Aku mengembuskan nafas lega dan tubuhku sudah tidak setegang tadi. Aku menatap nenek
dengan sendu. Kerutan-kerutan di wajahnya bertambah banyak dan semakin jelas. Rambut
berubannya juga semakin banyak. Matanya terpejam dengan tenang. Pikiran tentang Mama
menyuruhku kuliah di kota kembali menyerangku. Dengan keadaan Nenek seperti ini, tidak
mungkin aku meninggalkannya. Siapa yang akan merawat Nenek jika aku ke kota.

Setelah bu bidan menyelesaikan kegiatannya, dia menyuruhku beli beberapa obat di apotek.
Ia juga bilang supaya Nenek jangan terlalu bekerja berat terlebih dahulu. Ia juga
menyarankan untuk menambahkan kain untuk selimut tidur Nenek. Dengan cuaca dingin
seperti ini, satu kain batik tipis tidaklah cukup dijadikan selimut. Setelah mengatakan satu
dua kata lagi, bu bidan kembali kerumahnya. Dia akhir kalimatnya, ia mengatakan bahwa jika
aku sedang ada masalah, aku bisa menceritakan padanya. Bu bidan akan mendengarkan. Aku
akui, bu bidan sudah kuanggap seperti keluarga sendiri bagiku.

Aku mencoba menyingkirkan pikiranku tentang kuliah di kota karena saat ini Kesehatan
nenek yang lebih penting. Dua hari ini, aku membuatkan bubur untuk makan nenek. Bukan
hal sulit untuk membuat bubur bagi seorang gadis yang selalu bekerja di dapur. Awalnya saat
hari pertama, Nenek tidak terlalu memperdulikan hanya makan dengan bubur dan sayur
bening. Tetapi ketika hari kedua, nenek mulai tidak suka. Apalagi nenek bukanlah pecinta
nasi halus yang bercampur dengan air.

Aku mecoba membujuknya agar tetap mau memakannya. Dia bercerita betapa tidak enaknya
bubur yang hanya di beri sayu bening. Bahkan rasa dari bubur itu tidak ada, manis tidak, asin
juga tidak.

“Ini terakhir nek. Besok nenek boleh makan yang lain,” aku berusaha membujuk nenek.

“Ini terakhir. Besok biar Nenek yang masak. Nenek bakal masak masakan yang ada rasanya.”

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Akhirnya nenek mau memakan buburnya.

Kesehatan nenek terus berkembang. Setelah di beri obat oleh bu bidan dan istirahat penuh,
nenek kembali sehat seperti biasa. Untuk usia 76 tahun, Nenek termasuk orang yang memiliki
badan bugar. Ia masih terlihat segar dan bergerak dengan lancer untuk seusianya.

Usai makan bersama dengan Nenek, aku mencoba berbicara dengan Mama. Aku mencoba
bernegosiasi dengan Mama supaya tetap dapat tinggal bersama Nenek.

“Tapi Ma, Nenek bakal sendirian. Mama tega gitu biarin Nenek tinggal sendiri?” negosiasi
tersebut tidak berjalan lancar.

“Mau gimanapun kamu tetap harus kuliah di kota. Di sana itu nggak ada universitas yang
bagus. Bakalan susah cari kerja kalo kamu lulusan universitas biasa,”

“Masa depanku bukan ditentuin dari tempat aku kuliah, Ma. Kalau aku berusaha, aku tetap
bisa raih mimpiku meski di universitas biasa.”

“Seterah! Mama tetep akan jemput kamu besok!”


Mama mematikan teleponnya secara sepihak. Aku harus bagaiamna lagi. Mendengar suara
Mama yang seperti tadi, dapat dipastikan Mama sudah tidak mau bernegosiasi lagi.
Kesempatan terakhirku adalah membujuk Nenek.

Sebelum aku menghampiriri Nenek, Nenek sudah menghampiriku terlebih dahulu.


Sepertinya, Nenek mendengar pembicaraanku dengan Mama. Nenek mengambil tanganku,
dielusnya dengan tangan kasar tapi terasa lembut. Nenek menatapku dengan sangat dalam.

“Nenek ingin Lia kuliah di tempat yang bagus. Punya tempat belajar yang nyaman, biar bisa
lebih fokus belajarnya. Di sini tidak ada universitas seperti itu, jika ada pun tempatnya sangat
jauh. Pasti capek buat perjalanan pulang perginya. Mamamu ingin kamu kuliah di sana juga
mungkin karna dia kangen sama kamu. Jarang sekali kalian tinggal bersama kan? Nenek
nggak papa di sini. Nenek ingin lihat Lia pakai baju wisuda.”

Aku menahan air mataku supaya tidak jatuh, aku tidak ingin Nenek melihatku menangis.
Dalam hatiku, aku tetap tidak ingin meninggalkan Nenek, aku masih tidak rela. Tetapi, jika
itu yang diminta Nenek, aku tidak bisa menolaknya. Aku akan mengambulkan keinginan
Nenek. Aku juga janji akan sering-sering mengunjungi Nenek.

4 Tahun Kemudian

Hari ini adalah hari yang special bagiku. Aku mengenakan

Anda mungkin juga menyukai