“ayo nak makan, ibu sudah menyiapkan lodeh kentang dan ikan asin”
Usai sholat isya’ aku berbaring di tikar dengan lampu petromaks menyinari
kamar tidurku. Pyaarrrr suara gelas pecah terdengar dari dapur aku segera
bangun dan menuju dapur. Ibu terlihat sangat lemas dengan darah dimulutnya.
Aku sangat panik dan mengangkat tubuh kurus dan keriput ibuku, kuambil
sebuah kain untuk mengompres kening ibuku. Suhu tubuh ibu sangat tinggi. Aku
ingin meminta pertolongan tetapi waktu menunjukkan pukul 02.30 dini hari.
Adzan subuh berkumandang aku menuju ke rumah Senja.
Aku berlari kecil menuju ke rumah senja. Udara dingin menyengat ke tulang
dengan suara-suara burung bersahutan membuyarkan lamunanku. Yaa aku telah
sampai di rumah senja. Ku ketuk pintunya, terlihat sahabatku dengan rambutnya
tergerai panjang .
“ Ada apa tar pagi-pagi sudah sampai disini? Ibumu tidak apa apa kan?”
katanya dengan panik
“ Bolehkah aku meminjam uangmu lagi sen tabunganku sudah habis untuk
membayar utang ibu kemarin” sahutku dengan suara gemetar
“Iya tidak apa apa sen” aku pun menangis dan senja memelukku erat-erat.
Di ruangan mantri yang terletak diujung desa, aku memikirkan keadaan ibuku
yang makin parah. Ibuku disarankan untuk dibawa ke kota. Mantri muda
tersebut juga menolak pembayaran menggunakan sepeda. Ia juga mengatakan
kepadaku bahwa ibu adalah malaikat tanpa sayap yang mampu
memperjuangkan kita waktu kecil,ketika kita dewasa maka kita harus membalas
kebaikannya.
Hari demi hari mulai berlalu tubuh ibuku yang semakin kurus dan lemas.
Anjas setiap sore tetap memeriksa ibuku. Anjas adalah nama mantri muda itu.
Aku tidak tau harus bagaimana membalas budi baiknya.
Muntah darah merupakan rutinitas pagi yang dilakukan ibuku. Hatiku sangat
sakit melihatnya seperti itu. Ibuku mengatakan bahwa umurnya sudah tidak
lama lagi. Setiap sore aku membaca surat yasin di hadapannya. Tak seperti
biasanya ibuku tersenyum saat akuu membacakan surat yasin, tetapi ia
mengatakan sesuatu yang serius.
“Nak …”
“umur ibu sudah tidak lama lagi, tolong balaskan budi baik mantri anjas”
“menikahlah dengannya”
Tepat satu jam setelah mengatakan permintaan itu ibuku di panggil sang
maha kuasa. Tak henti hentinya aku menangis. Senja dan mantri anjas
memberikan kekuatan yang sangat besar untuk keadaanku. Hari demi hari aku
jalani sendiri di rumah yang merupakan satu-satunya harta yang kumiliki.
Dan saat ini aku telah memakai kebaya putih di sebuah kantor urusan agama.
Terdengar suara sah yang membuatku bahagia,sedih,dan haru . Aku sangat
bahagia bisa mengabulkan permintaan ibuku.