Anda di halaman 1dari 3

Mentari pun Bersinar kembali

Sinar matahari menembus jendela kamarku,aku segera bangun dari


tidurku dan bergegas ke kamar mandi.Ibu memanggilku untuk sarapan pagi.
Ketika sedang berbincang bincang dengan ibu,sahabatku telah sampai didepan
rumah. Seperti biasa suara bel sepeda yang sudah familiar di telingaku beberapa
tahun terakhir. Segera ku ambil sepeda. Ku kayuh pedalku menuju perkebunan
teh yang hanya beberapa meter dari rumahku. Aku dan senja setiap akhir pekan
bekerja memetik daun teh. Ya Senja namanya, sahabat yang selama ini
mendengarkan seluruh masalah di kehidupanku.

Kini telah usai pekerjaanku memetik daun teh,sesampainya dirumah terlihat


seorang wanita tua renta yang terbatuk-batuk duduk di teras rumah. Dia adalah
ibuku,aku mulai khawatir dengan kesehatan beliau.

“Nak sudah sampai rumah”

“Masuk bu udara dingin tak baik untuk kesehatan”

“ayo nak makan, ibu sudah menyiapkan lodeh kentang dan ikan asin”

Ketika usai makan , sambil membereskan piring-piring ke dapur seperti


biasa aku memberikan obat-obatan yang diminum ibu selama ini. Ibuku
mengidap penyakit di paru-parunya. Aku sangat sedih melihat keadaannya, ibu
hanya memeriksakan pada mantri di desaku. Lalu kurangkul ibu menuju
kamarnya untuk beristirahat. Malam itu aku termenung akan nasib ke
depanku,ayah telah meninggalkan ibu sejak aku kecil. Aku hanyalah lulusan SMP
yang bekerja sebagai pelayan restoran. Selama ini aku ingin memeriksakan
kesehatan ibuku pada dokter spesialis di kota.

Usai sholat isya’ aku berbaring di tikar dengan lampu petromaks menyinari
kamar tidurku. Pyaarrrr suara gelas pecah terdengar dari dapur aku segera
bangun dan menuju dapur. Ibu terlihat sangat lemas dengan darah dimulutnya.
Aku sangat panik dan mengangkat tubuh kurus dan keriput ibuku, kuambil
sebuah kain untuk mengompres kening ibuku. Suhu tubuh ibu sangat tinggi. Aku
ingin meminta pertolongan tetapi waktu menunjukkan pukul 02.30 dini hari.
Adzan subuh berkumandang aku menuju ke rumah Senja.
Aku berlari kecil menuju ke rumah senja. Udara dingin menyengat ke tulang
dengan suara-suara burung bersahutan membuyarkan lamunanku. Yaa aku telah
sampai di rumah senja. Ku ketuk pintunya, terlihat sahabatku dengan rambutnya
tergerai panjang .

“ Ada apa tar pagi-pagi sudah sampai disini? Ibumu tidak apa apa kan?”
katanya dengan panik

“ Bolehkah aku meminjam uangmu lagi sen tabunganku sudah habis untuk
membayar utang ibu kemarin” sahutku dengan suara gemetar

“ Maaf mentari uang tabunganku sudah digunakan untuk menggarap sawah”

“Iya tidak apa apa sen” aku pun menangis dan senja memelukku erat-erat.

Senja mengantarku pulang dengan mengendarai sepeda. Ibuku lagi-lagi


menyambutku didepan rumah. Aku segera menuju kepadanya dan
merangkulnya agar dia masuk ke rumah. Siang harinya ku bawa ibuku ke
mantra desa . aku berniat pembayarannya menggunakan sepedaku.

Di ruangan mantri yang terletak diujung desa, aku memikirkan keadaan ibuku
yang makin parah. Ibuku disarankan untuk dibawa ke kota. Mantri muda
tersebut juga menolak pembayaran menggunakan sepeda. Ia juga mengatakan
kepadaku bahwa ibu adalah malaikat tanpa sayap yang mampu
memperjuangkan kita waktu kecil,ketika kita dewasa maka kita harus membalas
kebaikannya.

Aku mengayuh sepeda ke sana ke mari untuk meminjam uang untuk


membawanya ke Kota. Namun, sama sekali tidak ada orang yang bisa
membantuku. Mantri muda itu setiap sore mampir ke rumahku untuk
memeriksa ibuku tanpa meminta uang sepeserpun. Aku mulai mengagumi
mantri itu.

Hari demi hari mulai berlalu tubuh ibuku yang semakin kurus dan lemas.
Anjas setiap sore tetap memeriksa ibuku. Anjas adalah nama mantri muda itu.
Aku tidak tau harus bagaimana membalas budi baiknya.
Muntah darah merupakan rutinitas pagi yang dilakukan ibuku. Hatiku sangat
sakit melihatnya seperti itu. Ibuku mengatakan bahwa umurnya sudah tidak
lama lagi. Setiap sore aku membaca surat yasin di hadapannya. Tak seperti
biasanya ibuku tersenyum saat akuu membacakan surat yasin, tetapi ia
mengatakan sesuatu yang serius.

“Nak …”

“iya bu, ada apa?’

“umur ibu sudah tidak lama lagi, tolong balaskan budi baik mantri anjas”

“bagaimana aku membalasnya bu ?”

“menikahlah dengannya”

“Iiiiyaaa bu “ aku sangat terkejut atas permintaan ibuku

Tepat satu jam setelah mengatakan permintaan itu ibuku di panggil sang
maha kuasa. Tak henti hentinya aku menangis. Senja dan mantri anjas
memberikan kekuatan yang sangat besar untuk keadaanku. Hari demi hari aku
jalani sendiri di rumah yang merupakan satu-satunya harta yang kumiliki.

Dan saat ini aku telah memakai kebaya putih di sebuah kantor urusan agama.
Terdengar suara sah yang membuatku bahagia,sedih,dan haru . Aku sangat
bahagia bisa mengabulkan permintaan ibuku.

Karya : Latifa Irma Damayanti

Anda mungkin juga menyukai