Anda di halaman 1dari 3

Untuk Mu Ibu

Adzan subuh berkumandang dari mikrofon masjid. Suara sang muadzin begitu merdu
meliuk-liuk di pagi yang masih basah. Belum terdengar kokok ayam. tapi ibu sudah
membangunkan ku seperti biasanya untuk menunaikan ibadah kepada sang Maha
Pencipta. Dengan tergopoh-gopoh aku berjalan sempoyongan menuju keran yang
hanya berjarak beberapa meter dari kamarku. Air masih seperti es yang baru meleleh
menusuk-nusuk permukaan kulitku. Lalu setelah semuanya aku tunaikan barulah aku
beranjak menuju dapur.

Dapur ibuku hanya sebuah ruangan sempit yang tak lebih besar dari kamar tidurku. Ada
sebuah tungku api untuk memasak air dan satu buah kompor minyak tanah untuk
memasak lauk-pauk.. di sisi sebelah kiri piring-piring berjejer rapi serta gelas-gelas
tertancap kuat pada rak besi. Lalu di dinding yang setengahnya hanya terbuat dari kayu
menepel dua panci dengan ukuran berbeda, satu buah wajan dan satu buah nampan
bundar. Di tengah langit-langit rumah tergantun bohlam yang hanya memberikan
cahaya kuning sekedarnya. Di sinilah ibuku membuat kue-kue tradisionalnya untuk
kemudian ia jajakan di pasar.
Ibu pun memulai kegiatan rutinnya. Mula-mula ia mengambil semangkuk besar tepung
beras yang ia taruh dalam wadah cekung, kemudian ia menambahkan 3 gelas air dan
satu sendok garam, sembari tangannya mengaduk-aduk dengan menggunakan sendok
kayu. Setelah semuanya tercampur rata barulah ia membentuk satu persatu menjadi
bulatan yang kemudian ia pipihkan dan ia goreng. Bila telah matang maka ia akan
mencelupkan pada mangkuk yang sudah berisi gula aren yang telah dilarutkan.
Kemudian untuk kue kedua kali ini ia menggunakan tepung terigu yang dicampur
dengan air gula dan santan. Setelah tercampur rata adonan tersebut ia bentuk kotak
dan pada bagian tengahnya ia sisipkan pisang manis yang sudah dipotong memanjang
lalu ia membungkusnya dengan daun pisang untuk kemudian ia kukus. Dari kesemua
tahapan yang ibu lakukan, tugasku hanyalah satu. Membantu memasukkan kue-kue
yang telah jadi ke dalam keranjang kemudian menhitung jumlahnya.

Pekerjaan ini telah dilakoninya 15 tahun yang lalu pasca ia ditinggal mati oleh
suaminya. Satu rumah kecil, satu anak perempun dan beberapa ratus ribu uang
pesangon menajdi warisan terakhir yang ia terima, disamping status Janda yang masih
disandangnya hingga kini. Aku masih sangat kecil saat itu. Usiaku baru 7 tahun dan
baru saja memulai memakai seragam merah putiih.

Pagi mulai menampakkan wujudnya. Sinar-sinar putih mulai meringsek masuk melalui
cela-cela dinding. Ciut-ciut burung kutilang di luar sana bernyanyi begitu girang.
Suara-suara kehidupan mulai timbul satu persatu. Ibu telah selesai menyelesaikan
pekerjaan dan aku pun demikian. 100 biji kue telah aku atur sejajar seperti barisan
prajurit dalam 2 keranjang. Tepat pukul 07:00 ibu telah bersiap-siap berangkat. Matahari
masih terasa hangat. Ibu memelukku erat lalu kemudian pamit dan segera naik ke
becak langgananya. Di ambang pintu mataku mengawal kepergian ibu sampai
sosoknya tak terlihat.

“Harapan adalah salah satu hal yang terindah yang pernah kita miliki. Tanpa harapan
hidup akan kosong.” Begitulah salah satu ungkapan yang pernah aku baca. Bagi ibuku,
aku adalah satu-satunya harapan dalam hidup. Ia rela berdamai dengan takdir. Ia kukuh
bertahan dari sekelumit peesoaln hidup dan penderitaan yang menggerogotinya.
Memulai paginya di dapur yang sempit berasap dan menghabiskan siang dan sorenya
di pasar lapang yang beraroma aneh. Namun ia jalani dengan penuh ketabahan
semata-mata demi memenuhi kebutuhan kami berdua. Dari hasil penjualannya setiap
hari selalu ia sisihkan untuk menyetor pada tempatku menimba ilmu. Selebihnya
cukuplah untuk mengganjal perut kami dua kali sehari.

Satu ketika aku menungguinya di ambang pintu. Adzan mghrib telah lewat langit juga
sudah mulai pucat. Jalan-jalan mulai lengang, tapi ia belum juga terlihat. Rasa was-was
mulai menyelimutiku. Sesekali aku mondar-mandir untuk meredam sedikit
kegelisahaanku. Tapi hingga larut ia belum juga kembali. Akhirnya aku memutuskan
untuk menyusul ia ke pasar. Tapi saat aku tiba di sana tak ada satuu pun kios yang
masih terbuka.. Semua telah ditinggal pemiliknya. Aku berjalan menyusuri jalanan yang
sempit dan agak becek. Langkaku pelan dan mataku menjelajah setiap lorong-lorong
pasar, tapi tetap tak ku temui sosok ibuku. Setelah lelah mencari aku kemudian
menayakan keberadaan ibuku pada warga yang bermukim di sana. Dari informasi yang
aku dapat ibuku saat ini berada di pasar malam dekat pinggiran kota.

Saat itu aku memilih berjalan kaki. Satu kilometer adalah jarak yang harus kutempuh.
Sedangkan malam semakin merambat. Jalanan mulai lengang. Angin
mengendus-endus melalui cela ranting pepohonan. Jengkrik berjingkrak-jingkrak sambil
bersautan. Kelap kelip lampu jalan kujadikan penerang. Sesekali lampu kendaraan
meyorot tubuhku dari belakang kemudian akan melaju kencang dan hilang di balik
tikungan. Aku mengayuh langkahku lebih cepat agar segera sampai di tujuan.

Dari arah kejauhan cahaya-cahaya berserakan. Komedi putar berputar-putar. Jeritan


suara-suara sumbang semakin lama kini semakin nyaring. Bianglala telah dinaikkan
pada ketinggian tertentu. Lalu yang kurasakan keheningan tiba-tiba sirna. Aku menarik
nafas panjang dan menghembuskan pelan-pelan. Ada sesuatu yang tercekat di
tenggorokan leherku.

Aku telah tiba. Suasana terang benderang. Anak-anak berlarian kesana kemari. Para
muda-mudi tertawa genit. Di setiap tempat permainan berjubel antrian panjang..
Pedagang-pedagang berteriak-teriak dengan suara lantang. Dan aku menagkap
sosoknya. dia duduk di bangku kayu tak jauh dari tempat ku berdiri. Matanya
memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Suaranya yang lemah sesekali
terdengar “kue-kue”. Namun usahanya tak terbalas, tak ada satu pun orang yang
menoleh ataupun sekedar singgah menayakan barang dagangannya. Sesekali ia
membuka keranjang kuenya yang masih terisi penuh. wajahnya tampak lesu, sinar
matanya redup, tubuh ringkihnya lemah.
Pandangaku nanar. Ada perasaan menjarah ku seketika. Dadaku terasa sesak. Air
mata yang sejak tadi bersembunyi di kedua bola mataku kini meronta-ronta ingin keluar.
Satu persatu bercucuran tanpa bisa ku bendung. Pipiku basah mataku memerah Aku
terisak menahan tangis yang semakin menjadi.

Beberapa tarikan nafas kuambil. Saat ku rasa jauh lebih tenang aku mulai
menghampirinya. Wajahnya sedikit terkejut saat melihatku. Lalu air mataku kembali
terurai.. Kini semakin deras. Aku memeluknya erat-erat dan tangisku semakin tak
terbendung. Kurasakan tangan lemahnya mengusap punggungku. Seperti mengerti
maksud kedatanganku dia pun segera bangkit dari duduknya dan menggiring ku
pulang. Kami pulang melewati jalan yang tadi aku lalui. Aku membawa keranjang
kuenya dan ia merangkul tanganku. Kelap kelip lampu jalan masih jadi penerang.
Jengkrik masih asyik berjingkrak-jingkrak. Lalu di belakangku cahaya pasar malam
perlahan-lahan meredup.

Malam itu kami memilih tidur bersama. Kami saling berhadapan. Lampu di langit-langit
rumah menghadiahkan kami cahaya kuning. Malam belum beranjak meninggalkan
kami. Sesekali terdengar burung gagak dari kejauhan Ibu mengusap rambutku dengan
lembut. Saat-saat seperti ini biasanya ia menceritakan padaku kisah Para Nabi dan
Rasul yang penuh hikmah dan pelajaran. Sampai katup mata ku tertutup rapat, ia
terlelap dan malam menjemput pagi.

Tubuhnaya kini tak sekuat dulu. Keriput-keriput halus mulai bermunculan di wajahnya.
Usianya juga mulai memasuki gerbang senja. Namun semangatnya masih seperti api
yang berkobar-kobar. Tak pernah sekalipun kata mengeluh meluncur dari mulutnya,
meskipun aku seringkali membebaninya dengan biaya pendidikan yang tinggi. Aku
ingat ia pernah mengatakan padaku. “Carilah ilmu selagi kau bisa nak, karena itulah
satu-satunya harta yang tidak pernah akan hilang, dirampas orang ataupun di curi. Dan
tetaplah berada di jalan lurus dan benar maka kebagiaan akan datang padamu”.
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Merangsang kinerja otakku untuk
terus menimba ilmu dari tahun ketahun. Menumbukan kepercayaan diriku. Dia adalah
sumber inspirasi terbesar dalam hidupku. Dia adalah Malaikat nyata yang dikirim oleh
Sang Pencipta untukku. Saat itulah aku tanamkan janji dalam hatiku. Untuk kelak
menjadi orang yang berhasil dalam hidup dan akan membahagiakan dirinya.

Hari yang ditunggu-tunggu oleh ibuku tiba. Dia memakai pakaian terbaiknya. Kebaya
berwarna putih yang ia padukan dengan rok cokelat bercorak batik. Meskipun terlihat
sedikit kuno tapi ibu terlihat anggun memakainya. Rambutnya ia sanggul tinggi dan ia
selipkan jepitan di kanan kirinya. Bedak mencerahkan wajahnya. Gincu memerahkan
bibirnya. Pensil mata menajamkan tatapannya. Dan Aroma wangi menguap dari
tubuhnya. Sedangkan aku mengenakan baju toga dengan dandanan sedikit menor.
Kami menaiki becak langganan ibuku. Udara sangat cerah. Angin bertiup pada garisnya
dan matahari tertawa-tawa riang. Di sepanjang jalan senyum ibu tak pernah luntur dari
wajahnya. Sesekali ia merapikan sanggulnya dan menambah polesan bedaknya.

Kami telah tiba di dalam gedung yang mulai disesaki manusia. Aku menuntun ibuku ke
tempat tamu undangan, Lalu aku berbaur bersama para calon Sarjana Muda. Pambawa
acara membuka acara. Ia mempersilahkan para pengajar memberikan kata sambutan.
Setelah itu, ia memanggil saru persatu nama kami untuk kemudian melakukan
penobatan titel. Kami dihadiahi sebuah kertas yang digulung memanjang berisi sertifikat
kelulusan dan yang bewenang dipersilahkan menggeser tali dari topi kami. Setelah
prosesi sebagaimana mestinya telah dilakukan, kami kembali pada tempat duduk
semula dan menunggu hingga acara berakhir.

ibu telah menungguku di depan gedung. Senyumnya mengembang, Matanya


berkaca-kaca. Ia membelai pipiku dengan lembut dan mengucapkan selamat untukku.
Kali ini aku kembali memeluknya. Air mata kebahagiaan menetes begitu saja tanpa
kuduga. Juru foto menghampiri kami berdua. Dan senyum kami melebar saat kilatan
kamera.
“Ini adalah hadiah untuk mu ibu”

Anda mungkin juga menyukai