Anda di halaman 1dari 48

SERAGAM

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu


terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali
tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat
dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung
menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balaibalai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi
pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh
yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti
upacara bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat
hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata.
Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami
berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah
yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk
menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus
mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya
sejak itu.
Jadi, apa yang membawamu kemari?
Kenangan.
Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun
setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum
kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari
magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada
pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak
setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula,
bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai
seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang
menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama
sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben,
ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok
lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang
tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa,
berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi
tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja
yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu
yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup
keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari
jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan
ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramairamai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrikjangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi,
ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai
ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya
sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi
malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa
menolak.
Tidak ganti baju? tanya saya heran begitu dia langsung memimpin
untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya
sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia
memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa

dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik,
rasanya sangat-sangat tidak elok.
Tanggung, jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari
tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal
persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam
gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya
obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim
kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah
angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya
merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya
dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke
dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya
mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah
kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit
masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang
tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia
tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh
karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru
terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah
api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat
obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong
sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
Berguling! Berguling! terdengar teriakannya sembari melepaskan
seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut
dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau
tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat
bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk
berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak
karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam
yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang
mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar
dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya,
sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat
saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat
saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu
dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian
mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan
pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu
berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya
memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti
memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang
didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar
Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat
Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh
mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah
agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir
sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari
Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
Salahmu sendiri, tidak minta ganti, kata saya selesai kami mengingat
kejadian itu.
Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu
bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan

tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang
baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan
kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu
bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah
menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah
bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak
lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat
kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian
keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan
dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini
menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua
justru tergadaikan.
Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu.
Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.
Ulahnya? Dia mengangguk.
Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik
kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya
mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku
percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama
terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini
beban berat ada di pundakku. Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang
remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalankenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik
satu-satunya.
Kami akan bertahan, katanya tersenyum saat melepas saya setelah
hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari
sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum
pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan
seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah
membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa
timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran
jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata,
seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil
dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam
coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang
akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

DUA WAJAH IBU


Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian
menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan
napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu
kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya,
menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme
yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang
timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindihnindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium
menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.

Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu
terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang
berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim
hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin
selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding
triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila
tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi
kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya
yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta
yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang
sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak
Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuanperempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu
yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba
tak bisa ia bayangkan.
Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak.
Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak, itulah suara Jamal kepadanya
beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio
tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda
aneh di genggamannya.
Dengan siapa Mak ke situ? lontarnya. Ada keinginan yang
menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah
lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah
dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau
anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang
telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu.
Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu
Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit
Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan
kukembalikan ongkos Emak ke sini, itulah janji anak lanangnya sebelum
mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.

Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape
dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah
tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau
menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya
menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata
lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik
kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau
pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap
itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu.
Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembangembang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium
melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi
rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang
berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya
dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya.
Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas
pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus.
Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya
begitu beberapa nyamuk
membabi-buta di kulit keringnya. Ia
menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik.
Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji
petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpahserapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah
berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari
cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang
terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak
tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah
beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini.
Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya
ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat
memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak
ditebang orang, karet pun sayang tak disadap, lontar Mak Inang di pagi
yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota
yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan
orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun
datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak
Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.

Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah
bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak
jalan-jalan mutar Jakarta, ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan
mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu
silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang
kian membuatnya tak nyaman.
Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya.
Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak
Sangkut dan Wak Rifah, terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur
yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak
nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap.
Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap.
Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu
kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab,
muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli
mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan
menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini
hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak
lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di
kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada
berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan
panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan
sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk
hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut
melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen
anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut,
menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan
tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah
jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut
itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang
ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat
mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satudua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga.
Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah,
mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh
dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik.
Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul
tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak
lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya
serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang
dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung

dan gegas membawa kakinya ke mushola, mendahului muadzin yang


sebentar lagi mengumandangkan adzan.
Lampu benderang. Serentak. Seperti telah berkongsi sebelumnya.
Berkelip-kelip macam kunang-kunang di malam kelam. Lagi, terdengar suara
desingan tajam di atas ubun-ubun Mak Inang. Ia pun kembali mendongakkan
wajah, mata lamurnya melihat lampu merah, kuning, hijau berkelip-kelip di
langit temaram. Nyamuk-nyamuk pun kian ganas dan membabi-buta
menyerang kulit keringnya.
Wajah Mak Inang kian mengelap, hatinya menghitung-hitung angka di
almanak dalam benak. Berapa hari lagi menuju akhir bulan? Rasa-rasanya,
telah seabad Mak Inang melihat muka Jakarta yang di luar dugaannya. Benak
Mak Inang pun hendak bertanya: Mengapa kau tak pulang saja, Mal? Ajak
anak-binimu di kampung saja. Bersama Emak, menyadap karet, dan
merawat limas. Tapi, mulut Mak Inang terkunci rapat.
Malam di langit ibu kota merangkak bersama muka Mak Inang yang
terkesiap karena seekor tikus got hitam besar mendadak berlari di depannya.
Keterkejutan Mak Inang disudahi suara adzan dari televisi. Perempuan itu
kembali menekan tuas sumur pompa, air mengalir, jatuh ke dalam ember
plastik. Ia membasuh muka tuanya dengan wudhu. Bersamaan dengan itu,
mendadak gerimis turun, seolah ibu kota pun hendak mencuci muka
kotornya dengan wudhu bersama Mak Inang. Muka tua yang telah keriput,
mengkerut, dan carut-marut.

TANGAN-TANGAN BUNTUNG
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak
mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai
pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera
disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka
akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi
rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat,
lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai
menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan Hidup Presiden
Nirdawat, terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat,
namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat,
dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk
tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat
sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak
lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat
melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan
salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya
diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam
hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan
sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak
akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam
negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan
sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana
dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak
pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja
khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah
diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan,
industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah
diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara
mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan.
Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena
dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan
bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga
kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja
sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai
keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai
berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara
Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh
masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda
menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan
negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk
memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu.
Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden
Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian
digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya

beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos


dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat
tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung
Nirdawat.
Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu.
Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan
lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan
kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu
merupakan cita-cita mulia.
Cobalah kita tengok peta dunia ini, kata Nirdawat dalam sebuah
pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta
dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amatamatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah
negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini
berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik
Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul
oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah
sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar
seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan
gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera
bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal
negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara
itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai
undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai
dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah
wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan
dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil
menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah
menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin
oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak
menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang,
semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undangundang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak
boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam
undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas
mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama
presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah
presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya,
maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan
kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini,
pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan
karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang
dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai
akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak
Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada
undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam
undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi
presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat,
tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai

warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik
demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik
Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai
penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak
Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia
dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat
sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke
tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden
bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi
karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk
menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja
suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak
mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun,
maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan
menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit
demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan
malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong
tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan.
Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha
memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia
pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa
pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui
siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan
dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi
komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun
televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu
nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera
berwajahkan Nirdawat.
Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu
mendampingimu, kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat
lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu
mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh
diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama.
Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam
waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga.
Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode,
masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu
nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit,
disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong
dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji.
Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik
Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering
melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di
Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara
memberi penjelasan kepada wartawan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat
penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik
Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa

menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba


sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.
Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi, kata sekian banyak
wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara
mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya
sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi
pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik
Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta
besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum
mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir
tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh
Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan
pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatancatatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji
keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan
kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden
Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang
sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang
tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun
sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga.
Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi
pemimpin, dan tetap dihormati.

SERAYU, SEPANJANG ANGIN AKAN BEREMBUS


Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak
mencintaiku lagi setelah ini.
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahanlahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsurangsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya
matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar
sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat
senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang
sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita
kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu
keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika
melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar
sungai.
Aku melihat senja, lalu memikirkanmu. Ucap seorang wanita pada
kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk
menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat
kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja
yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk
senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di
mana.
Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja? tanya
wanita itu.
Si lelaki tak menjawab, toh sebentar lagi pasti wanita itu menjawab
pertanyaannya sendiri.
Karena senja seperti dirimu, pendiam, tapi menyenangkan.
Nah.
Serayu, serupa apakah kenangan dalam bungkusan senja yang konon
lebih luas dari aliran sungai Gunung Slamet menuju pantai selatan itu?
Aku tetap suka berada di sini meski kau diam saja.
Begitukah?
Lelaki itu memang masih diam.
Kalau tidak ada kamu, pasti senja membuatku merasa ditimbun
kenangan.
Sepanjang angin berembus, wanita itu terus berbicara. Tapi hari masih
terang, burung-burung terbang rendah di atas mereka, tak beraturan. Belum
waktunya pulang, beberapa burung kecil duduk di besi jembatan, kemudian
terbang lagi. Senja belum datang, dan kereta juga belum datang.
Benarkah ada kereta yang selalu datang ketika senja? tanya lelaki itu.
Mungkin ia gusar dengan keheningannya sendiri.
Tentu saja.
Kereta apa? Kereta senja?
Ah, bukan. Jangan terlalu klise, Sayang.
Lalu?
Hanya kereta, dengan gerbong-gerbong penumpang seperti biasa. Itu
saja.
Pasti ada namanya. Bahkan kereta barang yang mengangkut minyak
pun ada namanya.
Ketel maksudnya?
Ya.
Kalau begitu, anggap saja ini kereta kenangan.
Kenangan lagi. Seperti diksi yang luar biasa picisan, namun kadang
sepasang kekasih bisa mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang picisan,
bahkan pembicaraan selanjutnya seperti tak akan menyelamatkan mereka.

Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum
turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah
dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta
melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang
bersinggungan dengan rel baja itu.
Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh. Ucap lelaki itu
Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.
Tapi ini terlalu dekat.
Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk
yang seperti ini.
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai
ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya,
ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di
besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia,
seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau
awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topitopi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan
sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa
saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing
dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di
jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal.
Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik
terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali
ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si
wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di
sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari
bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu.
Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di
kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi
melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras,
nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau;
seorang wanita penggemar kereta dan senja.
Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang
melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.
Kau ingin aku jadi masinis?
Ya.
Artinya aku akan selalu pergi.
Aku masih bisa memikirkanmu.
Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan
orang lain?
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada
gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki
terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru
saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu.
Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela,
melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu
saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa
lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem,
sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai
Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga
perasaan yang tak ada maknanya lagi.
Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?

Ah, rindu memang seperti paksaan. Ketika kereta semakin dekat ke


jembatan Serayu, si masinis melihat sepasang kerkasih yang sedang duduk
di salah satu sudut jembatan itu, mereka melambai ke arah kereta, seakan
tak pedulidengan kebisingan mesin lokomotif dan suara roda yang
bergesekan dengan rel serta besi jembatan. Masinis itu membalas lambaian
mereka. Sementara di bagian bagian kanan, warna merah pada langit
dengan lapisan awan tipis membentuk garis-garis menggumpal yang artistik
dengan warna merah saling tindih.
Masinis itu tertegun, seperti itukah senja yang dahulu pernah
didambakan kekasihnya?
Namun belum selesai kekagumannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi,
mesin lokomotif kereta itu mendadak mati, tenaga menurun drastis, kereta
pun berangsur-angsur mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti tepat di
tengah jembatan, tampak dari barisan jendela, para penumpang di dalam
gerbong terkejut, penasaran ada apa, mengapa berhenti di tengah jembatan.
Apakah kereta tertahan sinyal masuk sebuah stasiun? Atau ada kejadian luar
biasa di depan? Tapi kadang kita tak butuh jawaban untuk sebuah kenangan
yang magis, bukan? Kereta itu, barangkali pernah memiliki kekasih pula,
yaitu kereta lain yang selalu mengingatkannya tentang senja di mana pun ia
melaju, agar berhenti sebentar untuk mengingat ucapan kekasihnya:
Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku
lagi setelah ini.

HENING DI UJUNG SENJA


Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di
sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang
bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati,
siapa mereka berdua?
Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh
dari tepi Danau Toba, katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam
hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat
tahun barangkali. Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan
kita bersama-sama satu kelas pula, katanya melanjutkan. Aku tersenyum
sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia
seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. Wajahmu masih
seperti dulu, katanya melanjutkan. Tidakkah engkau peduli kampung
halaman? tanyanya. Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?
tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati
untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah
dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.
Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya? kataku. Ia mengangguk.
Kalau begitu, kau si Tunggul?
Ya, jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.
Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. Jangan
biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan
bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka, katanya dengan penuh
keyakinan. Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu.
Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.
Akan kupikirkan, kataku. Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,
jawabku.
Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakakberadik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan
sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia
dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat
tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di
hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca
sambil mulutnya berkata, Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku.
Sudah berbulan-bulan. Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak
bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan
persoalannya kepada keluarga dekat.
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat
dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, Tunggul sudah tiada,
pada usia yang ke-67.
Oh, Tuhan, kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang
sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu!
Giliranku? bisikku pada diriku.
***
Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu
ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia
mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul
kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat
Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai
kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melemparlemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi
kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.
Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa
duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah
keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah.
Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan

dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan
untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup
harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah
jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri
seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus
kehidupan.
Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup
pada usia senja.
Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri,
dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah
serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai
di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar
toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas
diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama
yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di
Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi
kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan
dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota Y.
Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia
berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan
saja yang menghantarnya ke tempat istirah.
Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.
***
Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir
jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk.
Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun
ke-61.
Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.
Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia
lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya.
Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu
meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah
menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli
waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.
Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang
menaungi makamnya.
Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena
anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan
pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam
tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali
bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor
selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus
dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan
ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut,
matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat
mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.
Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:
Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab
Sucinya banyak mata uang asing.
Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal
dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya
yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika
penguburannya.
Ibu Maria meninggal mendadak.
***
Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam
usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu

sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu


berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku
dan buyut, supaya mereka tetap sehat.
Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya
belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang
sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna
sebelum tiba giliranku?
Aku tepekur.
Hening di ujung senja.

KABUT IBU
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak
dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah,
ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras
depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap
api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka
tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat
hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka
hanya akan saling berbisik, Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa
Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang
begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan
dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah
meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus
mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah
berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan,
tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun
terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah
gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat
pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari
ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru
melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu
cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku
terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan
dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah,
ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami.
Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan
segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku.
Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing
senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggilmanggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu
sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu
pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku
dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku
bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak
merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti
darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku
pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di
depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu
tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
Mengapa kita tak jadi pulang, Bah? tanyaku.
Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu. Abah tersengal-sengal
mengayuh kereta untanya.
Kotor kenapa, Bah?
Abah terdiam beberapa jenak, Ya kotor, mungkin semalam banjir.
Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?
Ya banjir.
Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.

Hus!
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal
sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah
sebelum abah datang.
Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan
rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam
itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa
mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali.
Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak
kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya
di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka.
Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan.
Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab
singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah
mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian,
dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati
adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
semuanya akan didatangi kematianlantaran mereka pernah hidup. Maka
serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras
rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak
menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar,
apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia
akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya
bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada
sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada
dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor
meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam
lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang
mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya.
Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah
yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu
selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu
muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup
kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan
saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari
mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari
matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami
muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap
lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya
butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu.
Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak
lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman
kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi
peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang
kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali.
Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari
dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus
mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika,
aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benarbenar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan
ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan
hantaman.
Pintu
itu
bergeming.
Kami
terus
menghantamnya,
mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela
lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah.
Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu
menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang
membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di
sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar.
Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan
hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu
sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan
sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak
juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu.
Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya.
Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang.
Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut
itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat
kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah
pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar
mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan
ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah
setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami
yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana
ia menelan ibu.

TUKANG PIJAT KELILING


Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian
Darko dalam memijat. Standar tukang pijat pada layaknya.
Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya pikat
tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang
membuat kami senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu
kami terus membicarakannya.
Entah darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba
saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami sempat
menganggap dia adalah pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh
jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena usia. Peci
melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan
kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia
menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai
selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.
Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada
tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami saling
pijat memijat dengan istri di rumah masing- masing, itu pun hanya
sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin
merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami
yang terkilir.
Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani.
Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan.
Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan
keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat
kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.
Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur dari gang
ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan
tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah
menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap merabaraba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali
penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.
Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani
pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu
apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah sekali pun
dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan
mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan
pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan
lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang
perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah
seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang
tertidur saat sedang dipijat.
Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah, tidak
mengherankan bila orang- orang kampung segera merasa akrab dengan
dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun
begitu, kami tetap tidak tahu asal usulnya dengan jelas. Bila kami
menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung
yang jauh di kaki gunung.
Kemudian kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko kembali ke
tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang.
Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di
sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta
peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila
ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja.
Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah
apa-apa. Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan

bagaimana aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam,


menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan.
Kami lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja. Namun dia
tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah, dia lebih
memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja.
Seminggu kemudian orang- orang kampung gusar. Pak Lurah
mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan
utama, akan segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah
warga dengan alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid
senantiasa dipenuhi jemaah.
Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan tanah
masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar
masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di
pelosok permukiman, harus melewati gang yang meliuk- liuk dan becek
seperti garis nasib kami.
Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang
kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang
kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah
mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling
memendam di dalam hati masing- masing tentang dugaan bahwa Darko
memiliki kejelian menangkap hari lusa.
Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang warga kampung
yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan nasibnya.
Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat
kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa
selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat,
Darko pun menuruti permintaannya.
Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak tangan Kurit,
menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan
adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa
maksudnya, Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim.
Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.
Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring.
Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus membuntuti,
tambahnya.
Kurit mengangguk, masih tanpa ucap.
Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan, Darko
permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lengang. Langkahnya
begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah menimbulkan
bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko,
berharap akan menjadi kenyataan.
***
Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukangundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir
di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang
melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya
bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka
yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap
membantu para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur,
supaya tanah lebih mudah digali.
Begitulah, saat siang hari kami tak pernah melihat Darko keliling
kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman.
Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu
penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam,
mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu
membakarnya. Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah
berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan
memang tak pernah ada masalah dengan penglihatannya.

Kurit membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang dipanennya kini


lebih besar dan segar daripada hasil panen sebelumnya. Bertepatan dengan
naiknya harga bawang yang memang tak menentu. Dengan meluap-luap
Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang kepada siapa
saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara, beredar
di perkampungan.
Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya.
Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai
menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang
tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya.
Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat
sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya
menawarkan jasa pijat, bukan ramalan.
Di warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya. Mereka
saling menceritakan ramalan masing-masing.
Akan datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.
Eh, dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa penantianku, kata
perempuan pemilik warung dengan nada berbunga- bunga. Ia hampir layu
menunggu lamaran.
Dia menyarankan supaya aku beternak ayam saja, seseorang
menambahi.
Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan
masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu
dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus
menetes sepanjang hari.
Sungguh tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya
benar-benar terjadi. Talim dianugerahi bayi perempuan yang sehat dari
rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si perawan tua menerima lamaran
seorang duda dari kampung sebelah. Sementara Tasrip bergembira
mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan kejadiankejadian serupa.
Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang- orang kampung.
Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak
musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari
hari ke hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang belum pernah
merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah yang
bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai.
Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai
dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel
yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng
sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit
memohon. Darko diam beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia
pun menyebutkan angka sejumlah empat kali diikuti gerak jari- jari
tangannya. Kali ini Pak Lurah yang tersenyum, gembira melintasi raut
mukanya.
Seperti biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan,
Darko permisi. Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang lembab.
***
Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak
menjumpai Darko keliling kampung. Kami hanya bisa menduga dengan
kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian geram, merasa
dilecehkan. Mendapati nomer togel pemberiannya tak kunjung tembus.
Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan beberapa
wargaterutama
yang
lelakiguna
memindahkan
perlengkapan
penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin sesak,
membutuhkan lahan luang yang lebih.
Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu,
kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam

perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih
sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang
akan terjadi?

BUKAN CERITA BIASA


Cinta itu ibarat perang, berawalan dengan mudah namun sulit di akhiri.
Suatu hari, bermula dari pertemuan-pertemuan yang menyenangkan
disekolah. Kebiasaan-kebiasaan ramah, saling bertatap wajah. Bercanda
gurau habiskan masa-masa sekolah (dari tk, sd, smp, sampe sma) penuh
suka, penuh gembira. Hingga akhirnya tercipta sebuah rasa yang dinamakan
cinta.
***
Tak terasa masa-masa sekolah akan berakhir didepan mata. Masa muda
yang penuh cita siap menantang dunia berupaya mengubah jalan cerita di
hidupnya. Kemudian ada cinta yang merangkul rasa menemani ceria yang
sebentar lagi akan berbalut luka. Karna akan berpisah selamanya.
Begini ceritanya, Anatasha dan Reza, sejak kecil sampai remaja selalu
bersama. Alasan apapun tak pernah membuat mereka berpisah. Tak pula
mereka hanya sahabat saja, melainkan sejoli yang tangguh dan kokoh dalam
cintanya.
Meski Reza tau Anatasha tak bisa bertahan hidup lebih lama darinya.
Hal itu tak membuatnya goyah ataupun menyerah mencintai kekasihnya.
Hanya saja, Reza tak kuasa menahan airmatanya manakala Anatasha
memintanya pergi dan mencari pengganti dirinya yang tak sampai 1 bulan
lamanya menikmati dunia.
Bukit berbunga, tepat dibelakang sekolah akan jadi saksi cinta mereka
yang setia. Tempat favorit yang sering mereka kunjungi untuk
mendengarkan lagu kesukaan bersama, belajar bersama, menikmati
indahnya sunset yang jingga, tempat yang penuh akan kenagan manis
mereka. Itu semua akan jadi kenangan yang kemudian akan segera pudar
sebagaimana tinta hitam yang melekat pada kertas putih kemudian terkena
air lalu memudar dan akhirnya menghilang.
***
Ada pula cinta yang coba memaksa, datang menghantui Reza,
memburamkan pandangannya agar Anastasha menghilang dari hatinya.
Lantas cinta itu tak kuat merasuk ke hatinya hingga hilang dan berlalu begitu
saja. Anatasha lah pemilik hati Reza seutuhnya. Hingga tak ada celah yang
tersisa. Tak sedikit air mata Reza yang tertumpah untuk Anatasha, manakala
melihat tempat yang sering mereka lalui berdua hanya akan jadi kenangan.
Tak kalah hebat cinta Anatasha untuk Reza, korban rasa jadi hal biasa
untuknya. Berpura-pura lupa telah mencinta, menyiksa hatinya demi
kebohongan belaka. Hingga Reza tak terluka lagi dihatinya. Meski ceroboh
tapi Anatasha melakukan yang terbaik untuk kekasihnya. Tak terasa sampai
pada waktu dimana 1 bulan kebersamaan mereka hanya tersisa 1 jam saja.
T ak banyak yang bisa dipersembahkan Reza untuk Anatasha yang
waktunya hanya tersisa satu jam saja. Kemudian handphonenya berdering.
Tak lama membuka handphone, airmatanya bercucuran di pipi. waktu anda
tersisa 1 jam begitulah tertulis pada catatan handphonenya. Pantas
airmatanya berderai.
Kenapa Reza menangis.
Aku hanya bahagia pernah berdampingan denganmu. Airmata ini
sepertinya tulus keluar dari mataku, Reza hanya tersenyum agar Anatasha
tak mengkhawatirkan perasaannya.
Meski itu bohong tapi aku bahagia mendengar ucapanmu, tepisnya
ragu perasaan Reza.
Reza hanya tersenyum. Kemudian bergerak, jalan menuju Anastasha.
Hanya ada satu jam waktuku bersamamu, lalu apa yang kamu inginkan
dariku? Apa aku harus melompat dari gedung tertinggi itu, ujar Reza
menunjuk gedung paling tinggi ditempat mereka berada, Atau kamu mau
aku menunggumu kembali? lanjut Reza. Airmata tulus mulai meleleh dari
mata Anatasha. Sudah saatnya cintamu diperbarui!!! Hari ini kurasa
cintamu sudah sampai dibatas akhir.

Kalaupun kudapatkan kesempatan itu. Aku hanya ingin memperbarui


cintaku dengan orang yang sama bukan dengan yang baru.
Bagaimana jika orang yang sama itu tiba-tiba menghilang?
Aku akan menunggunya kembali!!! Kapanpun aku menemukannya, aku
akan mencintainya lagi. Seperti ini, iya benar-benar seperti ini.
Anatasha menangis tanpa suara, melangkah tak bernada, kemudian
bergerak, berdiri tepat membelakangi lelaki yang di cintainya.
Waktumu hanya tersisa setengah jam. Lalu apa yang kamu inginkan
dariku?
Gendong aku kemanapun kamu mau, kemudian bila aku diam, jangan
pernah menoleh kebelakang. Jangan pernah berbalik melihatku, biarkan aku
menghilang.
Sekali lagi aku mohon, saat aku tiada jangan pernah berbalik untuk
mencariku, biarkan saja aku menghilang. Kumohon biarkan aku jadi bagian
terindah dimasa lalumu. Biarkan aku tergantikan oleh orang lain. Lanjut
Anatasha terbata-bata dengan airmata yang membasahi pipinya.
Bagaimana kubisa lakukan itu? Sementara sebentar saja aku tak
melihatmu, aku berlari mencarimu. Mungkinkah aku bisa membiarkanmu
pergi untuk selamanya? Aku tak akan menemukanmu lagi meski aku berlari
lebih cepat dari biasanya.
Sebelum bertemu denganmu, aku hanya punya lem dan benang
ditepian hatiku. Kemudian kamu datang merajut hatiku dengan benang itu,
dan kamu kuatkan rajutan itu dengan lemnya. Lantas, bagaimana ia akan
terbuka lagi? lanjut Reza dengan airmata yang perlahan menetes.
Biarkan ia sampai mengeras, tak lama ia akan pecah. Kemudian ada
celah yang terbuka disana. Perlahan benangnya akan putus karna rapuh.
Lalu ia sepenuhnya akan terbuka.
Tidak.! Jika benangnya putus dan hatiku terbuka, aku akan
merajutnya kembali, meski itu menyakitkan. Tapi aku akan melakukannya.
Biarkan saja ia terbuka. Suara Anatasha mulai letih, matanya
terpejam. Tak lama badannya memberat.
Akhirnya, cinta mereka berhenti pada masa yang berbahagia. Dimana
mereka saling tau apa yang dirasa, meski airmata yang jadi saksinya. Cukup
yang dicinta tau apa yang di rasa, itu sudah cukup untuk bahagia.

AKHIR PERTUALANGAN CINTA SANG PLAYBOY


Bicara tentang cinta, ya Boy dah biangnya. Si petualang cinta alias sang
play boy ini akan mati-matian dan bila perlu sampe bersujud untuk merayu
dan mendapatkan seorang cewek cantik. Sang play boy ini tidak akan pernah
tahan bila sudah melihat cewek cantik melintas di depan matanya, seakan
matanya tidak akan pernah berkedip untuk terus mengikuti langkah kaki
sang cewek. Ya bila perlu sampe membuntuti dari belakang (emangnya mau
nyopet, Boy?).
Singkat cerita Boy bakalan jungkir balik dah untuk mendapatkan sang
cewek bila sudah naksir banget. Boy kagak perduli apakah nantinya itu
cewek bakalan mau apa nggak? Apakah hubungannya nanti akan
berlangsung lama atau nggak? Bagi Boy kudu mandapatkannya dulu,
apapun caranya.
Lantaran cap play boy nya itu, si petualang cinta ini suka gonta ganti
cewek (kayak baju aja Boy, digonta ganti). Tapi sayang dimata cewek-cewek
di sekolahnya kartunya udah mati kagak bisa diperpanjang (kayak KTP aja
ah). Sehingga sang play boy harus berpetuang di tempat lain, kecuali ada
anak baru di sekolah ini yang kagak tahu dengan belangnya Boy.
Awal cerita neh. Pada suatu hari, Boy lagi ngebet banget sama Lila, adik
kelasnya yang baru aja menjadi siswi di sekolahnya. Padahal saat itu, Boy
sudah memiliki gandengan (kayak truk aja pake gandengan segala), si Ivon
anak SMU 2.
Jek, gua naksir banget nih ame anak baru, kata Boy curhat dengan
sobatnya Jaka yang biasa dipanggil Jek.
Ah! Elo kagak boleh melihat barang baru apalagi yang cantik-cantik
dan mulus-mulus, jawab Jek. Tuh! Ada yang mulus, kenapa kagak lo embat
aja sekalian? lanjut Jek sambil tertawa menunjuk ke arah Pak Didin, guru
Fisika yang jidatnya emang rada botak licin.
Bercanda lu ah! Gua serius nih, gerutu Boy.
Untuk cewek-cewek baru angkatan Lila, memang Lila bidadarinya.
Orangnya cantik, putih dan tinggi lagi, perfect dah pokoknya. Tapi sepertinya
bila dilihat, kayaknya Lila terlalu tangguh, lincah dan pinter untuk ditaklukan
oleh sang play boy. Hati-hati Boy! Ini bakalan jadi batu sandungan buat lo.
Lila juga terbilang cukup menonjol dan heboh diantara temen-temennya.
Apalagi kalau sudah ngumpul maka suaranya akan lebih menonjol dan
kedengeran kemana-mana.
Tapi dasar udah bergelar master play boy, akhirnya sang petualang
berhasil juga dengan perjuangannya yang mati-matian dan bisa dibilang
jungkir balik, rada susah banget memang untuk mendapatkan Lila. Akhirnya
Sang play Boy berhasil meruntuhkan tembok hati Lila, runtuh oleh rayuan
maut sang play boy yang memang sudah terkenal itu.
Ups! Tapi tunggu dulu sobat. Tadinya memang Lila belum tahu dengan
Boy, tapi karena ia sudah lama temenan dengan Ivon, sehingga ia akhirnya
tahu juga siapa Boy. Boy nggak tahu dengan situasi itu, ya karena asal
seruduk aja kagak diselidiki dulu, siapa cewek yang bakal diseruduk (yah, itu
tadi kelemahan si Boy maen seruduk aja. Kambing kali ya?) sorry Boy!.
Rupanya Sob, sang play boy sudah terperangkap dalam jeratan
permainan cintanya sendiri. Boy terperangkap ke dalam skenario sandiwara
cinta yang sudah dibuat oleh Lila. Lila memang menerima cintanya Boy, tapi
ada maksud dan tujuannya. Itu bukan berarti ia mau berkhianat dengan
temennya sendiri, Ivon. Karena skenario itu sudah ia beritahu sebelumnya
kepada Ivon.
Lila yang cantik, lincah dan pintar ini, rupanya hanya ingin memberi
pelajaran ekstra kurikuler kepada sang play boy. Dia tidak ingin
kecantikannya dimanfaatkan hanya untuk dipermainkan, termasuk Ivon yang
telah menjadi korbannya.

Walau terbilang anak baru, Lila termasuk cepat menyesuaikan keadaan


dan peka dengan situasi perkembangan yang ada di sekolahnya, demikian
juga dengan watak dan perilaku Boy yang sebaliknya akan menjadi
korbannya. Ya, lantaran karena dia cukup gaul, sehingga sangat cepat
mendapat kabar baru atau gosip-gosip dari teman-temannya.
Tapi secara naluriah wanita, mata hatinya tak bisa memungkiri, jika Boy
terbilang cakep sehingga layak menjadi play boy. Wajar kalau Ivon pun jatuh
cinta kepada Boy waktu itu. Cuma sayang kegantengan yang dimilkinya
hanya untuk merayu dan berpetualang guna mendapatkan cewek-cewek
cantik yang ia sukai. Boy lupa diri sehingga ia tidak tahu bahwa kaum cewek
juga harus dan wajib dihargai dan disayangi, bukan untuk dipermainkan.
La, elo kok mau aja menerima cintanya Boy. Nekat lu! kata Mery
merasa khawatir dan prihatin sama Lila. Wajar Mery khawatir, karena ia takut
temannya yang cantik ini hanya akan menjadi boneka mainan, korban
keserakahan cinta sang play boy.
Terima kasih ya, Mer kamu telah mengingatkan dan menasehati aku.
Aku tahu kamu khawatir kalau aku akan menjadi korban cintanya Boy. Tapi
kamu tidak usah takut dan khawatir, aku sudah tahu kok siapa Boy
sebenarnya. Aku menerima dia, bukan lantaran kegantengannya atau rayuan
gombal murahannya. Lantas aku dengan begitu murahannya jatuh ke dalam
pelukan Boy. Caranya dan rayuannya udah kuno terlalu konvensional, mudah
ditebak, sayang, kata Lila meyakinkan sobatnya Mery.
Syukurlah kalau kamu sudah tahu siapa dia. Aku berdoa moga kamu
tidak terjebak dalam permainan cintanya Boy, kata Mery lagi.
Iya aku mengerti Sob. Tapi percayalah, sebenarnya skenario ini aku
jalani ada maksud dan tujuannya, Mer. Tapi bukan berarti aku juga mau
mempermainkan orang atau mau balas dendam sama cowok yang seperti
ini, seperti yang pernah aku alami sebelumnya (ooo ...pernah mengalami
bro). Gua hanya ingin dia bisa membuka mata dan hatinya, agar dia juga
bisa menghargai kita sebagai kaum wanita yang secara fisik lemah dan
butuh perlindungan. Kita bukan boneka yang hanya bisa dipermainkan untuk
menjadi eksperimen cintanya kaum laki-laki. Lanjut Lila.
Baguslah kalau kamu punya pemikiran dan prinsip yang begitu luar
biasa untuk memperjuangkan dan mempertahankan harga diri wanita, kata
Mery senang.
Gua yakin, dia tidak akan bisa berbuat banyak dan macam-macam
sama gua. Justru dia akan terperangkap sendiri dalam permainnan ini. Biar
kelak dia tahu rasa, bagaimana rasanya kalau dipermainkan. Kuharap satu
saat kelak dia nyadar telah menyakiti hati cewek-cewek yang telah menjadi
korbannya.
Bener. Dalam tiga bulan hubungan Lila dengan Boy, apa yang
dikhawatirkan oleh Mery, benar-benar terjadi. Rupanya diam-diam Boy
sedang menjalin hubungan dengan Kania, tetangga barunya Jek. Tapi bagi
Lila itu bukanlah sebuah berita menakutkan, ibarat kesambar petir disiang
bolong. Baginya itu bukan sebuah kejutan atau petaka baginya yang harus
disesali dan yang ditakutkan oleh semua cewek. Apa yang akan terjadi
kedepan semua sudah jauh ada dalam pikirannya. Itu pasti akan terjadi
cuma menunggu waktu. Dalam pikirannya justru itu adalah awal petaka bagi
Boy dan tentunya akan menambah serunya rencana permainan yang akan
dibuat oleh Lila.
Ingat Boy! Ada pepatah mengatakan sepintar-pintar tupai melompat
pasti akan jatuh juga, dan sepandai-pandai orang menyimpan kebusukan
pasti akan tercium juga. Hukum karma pasti akan ada, Boy.
Elo bukan play boy, Boy. Elo lebih tepat dibilang bajing yang bajingan.
Tunggu tanggal mainnya, lo. Semua akan berakhir, Boy. Gua akan beraksi,
yang akan bikin lo bertekuk lutut di kaki gua, bisik Lila dalam hati.
Boy yang piawai dengan rayuannya dan ditambah dengan akting
sempurna, bolehlah dibilang jagonya. Kata-katanya begitu manis dan santun

dengan rayuannya akan membuat siapapun terkena tipu dayanya. Ditambah


lagi dengan kepandaiannya mengatur strategi jitu dalam mengatur jadwal
ngapel ke rumah pacar-pacarnya. Biar nggak dicurigai, ia selalu bilang
kepada cewek-ceweknya, kalau ia ngapel nggak tergantung hanya pada
malam minggu (kalau ngapelnya malam Jumat, yasinan aja sekalian, Boy.
He...he..he). Tetapi strategi seperti itu sudah duluan terbaca oleh Lila. (lagilagi terlalu konvensional, coy). Basi tau nggak! Sehingga Lila pun kagak
terlalu mikirin banget tu anak mau ngapel atau kagak, termasuk pada malam
minggu.
Melihat pertualangan sang play boy sudah over pede dan semakin
menggila, karena denger-denger lagi, dia baru aja mau mendekati seorang
cewek. Gila nggak tuh! Padahal ia belum lama menggaet si Lila (Gila bro! Lo
doyan cewek apa lagi nuntut ilmu, Boy. Harus sampe berapa sih, cewek yang
harus lo dapet, biar ilmu lo sempurna?).
Akhirnya Lila pun mulai mengatur rencana dan strategi pula buat
ngerjain Boy. Seminggu sebelum menjalankan rencananya, Lila segera
menghubungi Ivon. Sementara karena si Kania belum ia kenal, kemudian ia
dan Ivon pun berusaha mencari dan menemui Kania. Setelah Lila dan Ivon
menceritakan semua rencanya kepada Kania, mereka pun sepakat dan
menjadi akrab sehingga mereka pun bersatu untuk menumpas kejahatan
(kayak di sinetron silat aja).
Beberapa hari menjelang hari eksekusi terhadap Boy, ketiga bidadari itu
pun sering berkumpul di rumah Lila dan berbagi cerita termasuk strategi
nantinya. Merekapun akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu membikin
kapok dan mempermalukan si Boy, yang emang nggak punya rasa malu.
Sabtu, sehari sebelum rencana Lila dan temen-temennya dilaksanakan,
mereka bertiga sengaja ngumpul di rumah Lila, karena hari itu rencananya
Boy akan datang ke rumah Lila.
Sebentar lagi Boy akan datang. Ntar kalian berdua ngumpet aja dulu di
kamarku sambil nguping, kata Lila mengatur strategi awal.
Siplah! jawab Kania.
Terus langkah selanjutnya gimanah nih? tanya Ivon pula.
Nanti biarkan kita berdua seolah-olah enjoy dulu, ntar tugas kamu Von
teleponin si Boy. Biar dia gelisah kita kerjain. Tapi ingat ini baru sebahagian
dari rencana kita yang sebenarnya, karena rencana besar itu besok baru kita
tumpahkan, kata Lila ngejelasin.
Oke kalau begitu, kata Ivon sambil mengangguk dan bersemangat.
Tak beberapa lama setelah mereka bertiga ngerumpi, akhirnya Boy pun
datang walaupun agak terlambat dari waktu yang telah dijanjikannya kepada
Lila. Tapi itu semua tidak berarti bagi Lila, dan masa bodoh ah! baginya.
Dasar jam karet, bentak Lila pura-pura menggerutu seolah perhatian.
Sorry deh telat dikit, jawab Boy seolah tanpa dosa dan pede banget.
Oya, gimana kalau kita keluar aja? ajak Boy guna mengalihkah agar Lila
nggak marah.
Emangnya mau kemana? tanya Lila asal.
Terserah kemana, yang penting kita keluar aja, kata Boy.
Gua lagi males nih. Gua pingin di rumah aja, jawab Lila penuh
sandiwara. Sementara apa yang berputar dalam otak Lila, mampus ntar lo,
nayawamu tinggal sedikit lagi, Boy.
Ketika Boy mau bicara lagi, tiba-tiba aja Hpnya berdering. Sementara
dari raut wajahnya terlihat salah tingkah dan gugup banget, karena ternyata
yang menghubunginya adalah Ivon. Gawat! Mati gue! pikirnya. Lila yang
sudah tahu sebelumnya ambil gaya berpura-pura cuek dan nggak peduli
banget, karena ia sudah tahu kalau itu dari Ivon.
Bentar La, kata Boy sambil meninggalkan Lila dari ruang tamu dengan
penuh gundah menuju teras rumah, karena ia takut pembicaraannya
didengar Lila. Padahal bagi Lila itu nggak penting banget.

Halo Boy! Elo lagi dimana? Kok nggak jadi ke rumah kemaren? tanya
Ivon iseng seolah-olah ia berharap banget. Padahal ia hanya ingin menguji
kejujuran Boy aja, walaupun sebenarnya dia sudah tahu apa jawabannya.
Ya nggak mungkin akan jujur orang seperti ini, abis emang sudah dari
sononya nggak pernah jujur. Janjian mau ketemu dengan Ivon aja bisa batal.
Ntah keduluan janjian dengan siapa saat itu sehingga nggak jadi ke rumah
Ivon.
Sorry ya, kemaren gua lupa. Gua sekarang lagi di rumah Jek, jawabnya
berbohong. Sementara matanya terus mengamati Lila di dalam rumah,
karena khawatir kalau Lila nanti bisa mendengar pembicaraanya dengan
Ivon. Bisa kiamat pikirnya.
Lo nggak perlu khawatir Boy, walau Lila nggak dengar, Lila nggak
bakalan percaya sama elo. Jujur aja orang sudah kagak percaya sama elo,
apalagi kalau elo berbohong.
Tapi sayang, rupanya suara Boy terdengar juga dengan Lila. Busyet!
Sialan! Emang dasar buaya darat kampungan, kata Lila ngomel sendiri dari
dalam rumah. Elo lebih mentingin si Jek daripada kita-kita, lanjut Lila lagi
yang emang udah geram banget sama Boy.
Elo lebih mentingin Jek daripada gua, jawab Ivon pula dengan asal.
Bukan begitu, sayang. Kemaren gua lupa ngasih tahu ke elo, kalau
kemaren di rumah Jek lagi ada selamatan, jawab Boy dengan penuh gombal
kampungan. Sorry Jek, elo jadi tempat berlindung gua, bisik hati Boy.
Sayang kentut lo! bisik hati Ivon.
Ya udah kalau begitu, sampe ketemu, kata Ivon menutup
pembicaraan.
Tak beberapa lama kemudian, dengan penuh salah tingkah si Boy pun
kembali masuk ke dalam menemui Lila.
Dari siapa sih? kata Lila iseng pura-pura bertanya.
Kontan aja, mendengar pertanyaan Lila itu Boy terlihat serba salah dan
salah tingkah, ia galau dan gelisah dengan wajah penuh dusta. Mampus dah!
Dari Jek, jawabnya santai.
Elo gak tahu kalau gua sudah tahu semua kebohonganmu. Dasar
bajingan kampung, kata Lila ngedumel dalam hati. Lila pun kemudian diam
seolah-olah percaya aja dengan jawaban Boy barusan. Baginya yang penting
tujuan untuk mengerjain Boy harus lebih penting.
Boy yang emang sudah galau dan gelisah merasakan suasana sudah
tidak nyaman, padahal nuansa di rumah Lila lagi nyaman dan adem.
Akhirnya Boy pun terasa nggak betah dan pulang lebih cepat diluar dugaan
Lila.
Keesokan harinya, yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Lila,
Ivon dan Kania untuk menghabisi dan menghentikan pertualangan sang play
boy, Boy. Cukup sampe disini Boy, kata mereka bertiga.
Hari ini merupakan giliran Kania janjian ketemu dengan Boy. Mereka
berdua sepakat ketemuan di kafe tempat pertama kali mereka bertemu,
tempat pertama kali Kania menjadi korban rayuan gombalannya Boy. Boy
benar-benar nggak nyadar kalau semuanya ini sudah diatur. Boy pun nggak
nyadar kalau ia sudah masuk dalam sebuah perangkap skenario besar dari
korban-korbannya sendiri.
Lila dan Ivon terlihat sedikit gelisah dan sudah tidak sabar menunggu
kehadiran Boy. Mereka memang sudah pada duluan hadir di tempat itu dan
berada di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Boy.
Tepat pukul 20.00 wib, akhirnya Boy yang ditunggu-tunggu pun tiba
langsung menghampiri Kania. Kania pun lantas berdiri dari duduknya
menyambut kedatangan Boy.
Sudah lama nunggunya? tanya Boy kepada Kania.
Basa basi doang lo! Bisik Kania dalam hati. Nggak, barusan aja aku
disini, balas kania juga dengan basa basi.

Lebih kurang tiga puluh menit sudah, Boy dan Kania berada di kafe ini
sambil menikmati makanan yang mereka pesan, namun tiba-tiba aja Hp Boy
berbunyi lantaran dihubungi oleh Ivon.
Halo, met malam, Von, kata Boy kalem membuka pembicaraan sambil
menjauh dari Kania.
Ya, malem, jawab Ivon. Elo lagi dimana sih? lanjut Ivon iseng
bertanya.
Gua lagi di rumah, jawab Boy spontan.
Benar-benar bangsat, lo! Udah basi, telat lo ngelesnya! Bisik Ivon dalam
hati. Kesini dong, gua lagi bete nih, rayu Ivon sambil mencuil lengan Lila.
Gua lagi capek banget, lagi males mau keluar. Sorry ya! kata Boy
pede dengan kebohongannya.
Ya udah kalau begitu, nggak papa, balas Ivon.
Setelah kontaknya diputus, Ivon dan Lila pun nggak bisa menahan
tawanya sambil menutup mulutnya dengan tangan agar tidak didengar oleh
Boy.
Rasain lo, sebentar lagi dengan pembalasan kita. Waktu untuk
pembinasaan lo tinggal menghitung detik doang, Boy, kata Ivon bicara
pelan dengan Lila.
Lila dan Ivon sudah benar-benar nggak sabaran untuk menghabisi Boy.
Nasib baik lagi nggak berpihak, hukum karma sepertinya segera berlaku buat
Boy. Sementara Kania sudah gelisah menunggu kehadiran kedua temennya
untuk beraksi menjalankan skenarionya. Mereka bertiga memang sudah
nggak sabaran mengacak-acak mukanya Boy dan menyiramkan jus
mengkudu busuk kesekujur tubuh Boy, yang memang sudah mereka
persiapkan dari rumah.
Malam itu merupakan malam yang naas dan apes bagi Boy. Dia harus
mempertanggujawabkan atas semua perbuatannya terhadap ketiga cewek
ini. Skenario yang diatur oleh Lila berjalan mulus. Boy yang lagi asik, tibatiba aja menjadi kaget nggak karuan melihat kehadiran korban-korbannya,
Lila dan Ivon tiba-tiba datang secara bersamaan. Boy hanya terpaku diam
menunggu eksekusi. Tapi dasar play boy tengik, dia berusaha terlihat santai,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya berkecamuk nggak
karuan dan jantungnya berdebar kencang. Mampus dah gua! Pikirnya.
Dasar bajingan! Buaye lu! Jadi ini kerja lo selama ini? kata Ivon berang
banget.
Lila yang nggak bicara, nggak tinggal diam. Lila lalu dengan
semangatnya menyiramkan jus mengkudu tadi ke tubuh Boy. Pyuuuuur
basah. Duh! Bau banget. Mampus deh lo, Boy!
Kania dan Ivon pun terus mencaci maki Boy habis-habisan. Lila yang
sudah geram banget, akhirnya nggak tahan juga menahan emosinya, lalu
dengan spontan menggampar muka Boy. Plaaaaaak, Boy tidak mengelak dan
hanya diam.
Boy yang seperti maling ketangkap basah nggak bisa berkutik dan
hanya diam dan pasrah tanpa perlawanan apa-apa dengan perlakuan ketiga
cewek tadi. Mau bicara pun sudah nggak sanggup lagi. Mau ngeles pun
sudah nggak bisa lagi. Ia seperti orang yang sudah kehilangan akal. Ia malu
banget karena belangnya selama ini sudah ketahuan.
Dengan peristiwa itu membuat semua tamu di kafe pun tertuju kepada
mereka berempat dan membuat membuat pengunjung heboh dan tertawa
sambil bertepuk tangan melihat seorang cowok yang sudah basah kuyup
menjadi bulan-bulanan tiga orang cewek. Rasain deh, Boy!
Cukup sudah pertualangan cinta lo sama kita, Boy, kata Lila sambil
berlalu meninggalkan Boy berdiri sendirian.
Lila, Ivon dan Kania akhirnya pergi meninggalkan Boy sendiri. Boy pun
akhirnya dengan perasaan malu banget pulang meninggalkan kafe yang
menjadi neraka buatnya malam itu. Mimpi apa gua semalam, bisik hatinya
seperti nggak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Selama diperjalanan, mereka bertiga melepas tawa sejadi-jadinya di


dalam mobil sedan yang dikendarai oleh Lila. Mereka pun merasa puas
setelah sukses mengerjai Boy.
Makanya Boy, jadi orang jangan sombong banget dengan
kegantenganmu, sehingga membuatmu lupa akan daratan. Kalau elo masih
nggak nyadar juga, maka tunggu aja sebuah hukum karma yang mungkin
lebih besar dari malam ini akan menghampirimu lagi. Percaya deh! Tuhan
Maha Pengampun, kembalilah ke jalan yang benar, Boy. Insyaallah.

KAU YANG MERUBAH HATIKU


Awal dari sebuah rasa manis akan tetap manis jika kita pintar megolah
rasa manis itu agar tetap manis. Cerita itu berawal pada sebuah hubungan
antara cewek manis yang sering disapa Indi dengan cowok yang sering
dipanggil Ihsan. Hubungan mereka yang telah berjalan hampir 9 bulan ini
berawal mulus dan penuh dengan bahagia.
Rasa pahit ini dimulai saat hari-hari sebelum ulang tahun aku diakhir
bulan awal tahun ini. Sebuah perubahan terjadi pada Ihsan. Waktu yang tak
pernah ada untukku membuatku sudah kehabisan kesabaran untuk selalu
ngertiin Leo yang sibuk berkerja,hingga hari liburpun ia tetap bekerja. Hingga
2 minggu sebelum ulang tahunku,aku mengirim sebuah pesan panjang
kepada Ihsan.
To : (085643xxx890) Ihsan sayang
Aku tak tau knp km berubah. Km lupa dgn semua janji hubungn kita.
Aku rasa ini puncak dari sebuah rsa sabarku. Aku ingin kita udahan aja,jalan
ini mgkn yg terbaik. Maaf utk smua dan maksh untuk hari2 lalu. Aku bukn
berhnti mencintai tpi aku ingin berhnti menyakiti hati.
Dengan rasa berat hati dan meneteskan air mata,aku mengirim pesan
itu ke dia. Namun seperti yang sudah aku duga,tak ada tanggapan dari Ihsan
hingga satu minggu sebelum ulang tahun.
Hari-hariku sangat berat saat ia sedang menghadapi ujian yang sedang
berlangsung di kampusnya aku juga harus menghadapi masalah dengan
Ihsan
Saat aku berkeluh kesah dengan sahabat akrabnya yang suka dpanggil
Sipit namun ia juga tak memberi respon bahkan saat aku memulai cerita,
pit,aku sebel deh ama Ihsan,aku dicuekin,sampe aku ngomong putus
aja gak direspon,pokonya akau penegen putus dari Ihsan .
Belum selesai aku bercerita sipit langsung jawab dengan pernyataan
juteknya dan muka jelek, udah ah mb Indi,aku mau pulang,capek
aku,sambil dia meanarikku untuk pulang. Dengan rasa sedih aku
menganggukkan untuk mengiyakan agar sipit pulang.
Aku berjalan menuju tempat parkir motor sambil memikirkan,kenapa
dengan Sipit. Otakku ini penuh banget,Sipit jadi berubah, Ihsan juga gak
kalah berubah,ditambah ujian yang bakal dihadapi. Dalam hatiku cuma
berucap ujian hidup dan ujian kampus kok berat banget. Aku mencoba
menghubungi Pit berulang kali namun jawaban dari operator selalu sama
nomor yang anda tuju sedang sibuk. Aku mencoba sms Sipit..
To : (085678901xxx) Sipit
Pit,kok sekarang kmu berubah,saat ini kau butuh kamu pit
Sambil menunggu balasan dari Sipit aku berpikir apa Sipit juga punya
masalah jadinya gak mau dicurhatin. Tak berapa lama ada pesan masuk
dihandphoneku,dalam hati inginnya leo yang sms aku. Tap aku yakin pasti
Sipit yang balas.
Jreng,,dengan terkejut
Dari : (085643xxx890) Ihsan sayang
Sayang aku lagi sibuk buat beberapa minggu ini.
Setelah baca ini ada rasa lega tersendiri ternyata dia sibuk tapi makan
hati juga kalau gini terus. Lalu tak berapa lama sipit menyusul membalas
sms dariku.
Dari : (085678901xxx) Sipit
Mb Ndi,sorry aku lagi irit pulsa,gak bisa balas smsmu.
Dengan rasa yang udah bercampur dihati sms mereka takku balas,dan
membuang handphoneku dari hadapanku. Jam dinding di kamarku yang
udah nunjukkin pukul 23.00 WIB tapi mata susah banget dipejamin. Udah
beberapa hari ini aku tidur diatas jam 01.00 WIB. Tapi aku berusaha
memejamkan mata namun handphone berdering,sebuah lagu menjadi lagu

tanda panggilan masuk. Aku tak ingin melihat siapa yang menelpon malam
gini,tapi telepon itu tidak berhenti berdering.
Ku coba melirik handphone dan melihat sebuah nama yang taka
sing,karena ternyata yang telepon itu adalah Ihsan. Dengan segera aku
menganggat telepon.
Assalammualaikum, Ndi. Sebuah salam yang terdengar dari seberang
namun kali ini Ihsan berubah karena memanggilku Indi.
Walikumsalam,gimana ada apa? dengan gaya biasa karena tetep aku
jaga gengsi. Hehehe..
kok belum tidur,Ndi,dengan nada datar dan tanpa dosa.
belum aja,belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa belum tidur juga?
Kok panggilnya kamu ?. Ihsan ini paling gak suka kalau dipanggil
kamu walaupun lagi marahan.
Aku juga Cuma jawab singkat,kamu ja panggil aku Ndi.
Malam ini begitu dingin,sekalinya telepon seperti ini. Lama sekali kami
terdiam,entah apa yang dipikirkan oleh Ihsan saat ini.
Em,tidur yuk,udah malam,nanti sakit. sebuah ucapan manis dari Ihsan
ini lumayan menyejukkan hati kalau dia masih perhatian denganku.
Aku dengan sedikit menghilangkan gengsi,ya udah tidur,besok kan
kamu kerja juga
ya udah,met malam ya. Tuttt.. Tuttt..Tutttt
Tiba-tiba telepon itu terputus,aku belum sempat membalas ucapannya.
Bahkan ucapan yang sering dilakukkan pun tiba-tiba hilang.
Aku tetap tidak bisa tidur,aku berpikir terus apa yang kamu mau sih
Ihsan,putus gak dikasih jawaban,tapi masih perhatian. Dengan gemasnya
boneka beruang yang pernah ia berikanpun jadi sasaran kemarahanku. Aku
coba mengajak bicara boneka itu,
apa sih mau mu Ihsan?
aku ini masih pacaramu bukan?
aku bingung ma kamu. Sambil kupukul-pukul boneka itu,jawab
dong,diem aja kamu.
Tiba-tiba air mata ini menetes perlahan dan dengan rasa sayang aku
memeluk boneka.
Dengan lirih aku berucap, Ihsan aku sayang ama kamu,tapi kamu bikin
aku nagis terus.
Pelukanku keboneka menemaniku hingga aku terbangun dari tidurku.
Pagi cerah ini dengan mata agak sedikit sembab mencoba untuk
bersemangat ke kampus. Hari ini bakal jadi jadwal yang paling bosen,kuliah
dan rapat organisasi hingga sore. Tapi aku berpikir ini mungkin cara
menghilangkan rasa sedihku.
Seperti biasa aku janjian dengan Sipit di kampus karena beberapa mata
kuliah kami sama jadi kadang kami sekelas. Kami mendapat julukan emak
dan anak karena tiap Sipit dating duluan yang ditanyain aku begitu juga
sebaliknya.
Dari belakang mencoba mengagetkan Sipit,dorPit,,,
yeeemb Indi,kagetin aja. Gak sedih lagi ni?
udah enggak dong,kan males mikir orang yang gak mikir aku
kenapa Ndi mata kamu,dicium nyamuk apa semut cowok
ni.hahahaha. Dengan gaya khas ketawa sambil matany merem sipit
mengejekku.
apaan sih kamu,Pit.. Ini mata sembab karena aku pompa,niatnya
matanya biar belok dan gak Sipit kayak kamu. Sambil aku membuka mata
dengan jariku dan berlari karena aku ngejek Sipit.
Seketika itu pikiranku tentang Ihsan hilang, ya walaupun Sipit gak
dengerin ceritaku, setidaknya bisa bikin ketawa aku. Karena kami punya
semboyan Kita gak sedih lagi,gak nangis lagi. Itu Cuma kalimat dari lirik
lagu Smash tapi bisa bikin seneng.

Hari-hari berikutnya terasa cepat sekali,sampai gak inget kalau besok


udah hari ulang tahunku. Dan beberapa hari ini gak nyangka nama Ihsan
hilang di pikiranku,kita sama-sama gak saling smsan atau telepon.
Hari yang ditunggu namun bikin kecewa,semalaman aku tak tidur
berharap Ihsan bakal jadi orang pertama yang mengucapkan ulang tahun ini.
Tapi aku gak begitu peduliin itu,karena banyak sahabat,keluarga yang
memberiku ucapan dan lebih special.
Lebih malasnya lagi hari ini masuk kuliah,sesampainya disana. Sebuah
kejutan kecil dari temen-temen.
happy bday to u,,,happy bday to u,,happy bday,happy bday,happy
bday Indi..
Sebuah donat kecil dan lilin diatasnya dibawa oleh Sipit untukku.
Tiup lilinya mb Ind,tapi,,,make a wish dulu ya
Ku memejamkan mata dengan sebuah doa,dan saat ku buka mata ini ku
meniup lilin. Donat kecil itu ku potong kecil-kecil agar semua temen ikut
menikmati,walaupun dikit. Suapan pertama untuk sipit sambil cipika cipiki.
Happy bday mb Indi
makasih sayangku
Dan hari ini waktu itu cepat sekali,kejutan dan ucapan tak hentihentinya datang. Namun tak satu smspun dari Ihsan untuk mengucapkan
ulang tahun. Sekalinya aku lihat jam udah jam 17.00 WIB. Dan saatnya
pulang kerumah dengan rasa penuh kebahagiaan. Aku jadi mengerti arti
sebuah persahabatan.
balik yuk,Pittttt,udah capek ni seharian dan aku juga udah bosan kalau
ketemu kamu terus.heheheh.. sambil gemes ama pipinya yang chubby
banget.
Dengan jengekelnya Sipit menarik tanganku,sakit tauuuhehehehe.
Serius ni bosan ma aku?hehehe.
iya,untung aja kuliah itu gak 24 jam,coba 24 jam bisa mati konyol
ketawa ma kamu terus.
Agh,nyebelin mb Indi ni,dengan muka manyunnya.
Tapi kalau ketawa sambil merem dan gak boleh manyun ntar tak
tinggal pulang lho
jangan,,nebeng sampe depan ya,dengan muka melas dia dan senyum
Sipitnya.
Dengan sikap hormat,aku menjawab siap laksanakan boss..sipitnya
mana sipitnya,aku mencoba masih menggodanya.
Aku dan sipit menuju parkir kampus untuk mengambil motor . Saat
menuju motorku aku heran kok ada sebuah kantong plastik yang tergantung
dimotorku.
Pit,tu ada plastik punya sapa ya?
Ya punya mb Indi dong,kan dimotor mb Indi
Tapi aku tadi gak bawa apa-apa,jangan-jangan..
jangan-jangan apa mb Indi?
jangan-jangan Bom Pit,kaburrrrrr,aku langsung berlari berniat
ngerjain sipit yang kaget. Sipit juga ikut lari dan berterika,Mb Indi tunggu,
dengan nada manja anak kecil.
mb Indi,liat aja yuk
Kami mencoba kembali ke motor kami dan melihat isi kantong yang ada
di motorku itu.
Jrengggjrenggg coba tebak apa isinya
Agh,flasdisk??,aku dan sipit mengatakan hal yang sama.
tau gitu aku nitip kamu aja biar,masak ngomong aja kita barengan
gak apa-apa mb Indi,kita itu emang ditakdirin bersama-sama
udah-udah,,kamu ntar GR malah berabe. Sambil ku lihat kantong itu
barang kali ada yang lain,maksudnya apa ya Pit ini?
gak tahu,coba dicari ada tulisan dari pengirim gak

Ini ada tulisan pit,aku membaca sebuah memo kecil dari sang
pengirim.
Indi,ini flas ada sesuatunya, dilihat pas pukul 20.20. gak boleh
dilanggar
Dari : pengirim flasdisk
mb In,jangan-jangan dalemnya ada Syahrininya,tu ada sesuatu
Hahahaha,,,kamu itu aneh-aneh aja,mana muat Syahrini masuk
flasdisk
Aku masih bingung dengan ini,maksud dan isi dari flas ini apa. Kulihat
sipit mebolak balik kantong itu.
Kenapa pit,kok dibolak balik?,anak satu ini aneh banget.
ya ini kantong nyebelin mb In,gede kantongnya isinya Cuma flas. Gak
ada makanan atau apa gitu
Sambil gemesin pipinya,kamu itu,makan mulu.udah kita pulang. Jadi
gak sabar pengen liat isinya apa
Setelah sepanjang jalan memikirkan isi flas,tak terlintas akan pikiran
tentang Ihsan. Seakan beberapa hari ini aku dibuat amnesia tentang Ihsan.
Aku juga tak mengenali tulisan tangan dari si pengirim. Sebuah tanda tanya
besar dipikiran ini belum terjawab.
Malam sudah mulai larut,berulang mata ini melirik jam dinding namun
seakan jam itu berputar sangat lambat. Sudah tek terhitung berapa kali mata
ini melirik untuk menunggu pukul 20.20. rasanya tunggu sesuatu yang bikin
penasaran itu sangat menyebalkan. Setelah menunggu beberapa saat sms
masuk ke Hpku.
Dari : (085678901xxx) Sipit
Isinya apa mb Ind?
Aku segera mereplay sms sipit.
To : (085678901xxx) Sipit
Gak tau juga,ntar lagi aku buka.
Waktu yang ditunggu sudah datang,seperti anak yang mendapatkan
hadiah aku sangat begitu antusias untuk mengetahui isi flas itu apa.
Langsung ku buka dilaptopku dan hanya ada sebuah file yang berformat
video. Bergegas aku membuka video tersebut.
Sebuah video ucapan selamat ulang tahun dari Ihsan. Disitu Ihsan
menyanyikan lagu milik Ipang yang berjudul Akhirnya Jatuh Cinta, Tak Ada
gantinya, Tanpamu yang merupakan lagu favorit kita. Didalam video Ihsan
sambil bermain gitar menyanyikan lagu itu. Diakhir video itu Ihsan
mengatakan sesuatu yang sangat menyentuh.
aku sekarang tau siapa yang harus aku perjuangkan,ternyata kau harus
memeprjuangkan kamu,bila cintaku dan cintamu bersatu aku yakin cinta ini
kekal dan abadi utnuk selamanya karena kamu semangat hidupku
Diakhir kata-kata dari Ihsan membuat aku menagis terharu dan senyum
bahagia.
Beberapa saat kemudian ada yang mengetuk pintu rumah,sambil aku
menghapus air mata ini aku beranjak untuk membukakan pintu.
Saat kubuka pintu,sebuah kejutan yang termanis yang aku terima.
Happy bday to u Happy bday to u..
Aku terkejut karena Ihsan datang bersama SIpit dan SIput. Biar
jelas,siput ini adalah cowok Sipit,kita panggil Siput karena dia super karet
dan lama kalau ada janjian jalan-jalan. Kalau janjian pergi bareng jam
08.00,dia bisa baru datang jam 10.00 karena kelamaan mandi.
Aku lanjutin ceritanya, Ihsan dengan membawa kue ulang tahun
menyanyikan lagu ulang tahun bersama Sipit dan Siput. Dengan segera aku
memeluk Ihsan dan memukul Ihsan karena aku sebel dan aku bahagia. Ihsan
juga membalas pelukku sambil membisikan happy bday sayangku,
makasih sayangku, Ihsan juga mencium keningku.Dan aku kembali
memeluknya.
Eehmmmmmmm.,sipit ma siput mengagetkan kami.

Halooolilinya mau cair ni,mau ditiup gak ni?,sipit langsung aja


nerocos.
Iya dong,kan kueku,hahhahaa tapi masuk dulu yuk,,
Setelah beberapa saat aku mentiup lilin ulang tahunku dengan sebuah
doa dan ucapan terima kasih pada Allah karena udah ngembaliin Ihsan lagi.
Untuk beberapa saat aku sedikit manyun ama Ihsan.
sayang itu nyebelin tau,cuekin aku
jangan salahin aku aja,tu sipit ma siput juga. Mereka juga ikut andil
dalam urusan ini. Dengan segera aku menghampiri sipit m siput dan
mencubit mereka.
dasar kalian berdua,sengkongkol ya. Dengan muka tak berdosa
mereka hanya tertawa.
Dengan rasa kagen yang udah beberapa minggu gak manja-manjaan
ma Ihsan. Aku mencubit karena aku masih sebel dikerjain.
aduh sayang,ampun,,,,diraihnya aku dan dipeluk sama Ihsan.
maaf ya sayang buat kemarin-kemarin. Tapi aku gitu karena kau
sayang. Love you sayang
Dengan nada manja aku menjawab,iya sayang. Love you too
sayangku
Untuk kedua kalinya,kami diganggu oleh sipit ma siput. Hello,disini ada
kami siput bersuara untuk kali ini.
ayo mb Ind,dipotong kuenya,masak mau diliat aja
dasar tukang makan,iya,iya,,tak potong ya
Dan lebih nyebelin lagi,kuenya ditulisin happy bday Indi. Semoga cepat
gemuk. Mereka itu ada ada aja. Selanjutnya aku memotong kue.
Untuk potongan pertama aku memberikan kepada Ihsan. Dan sebuah
kecupan manis dikening untukku dari Ihsan.
Untuk potongan selanjutnya sipit dan siput. Kami bercanda sambil
menikmati kue ulang tahun.
kok bisa kalian kerja sama,aku kasih tahu ceritanya dong
Secara bersama-sama mereka tertawa,karena sudah berhasil
mengerjain aku.
Cerita awal dimulai dari Ihsan, Ihsan mengajak siput dan sipit untuk
ngerjain aku. Dan semua skenario sudah dirancang. Sipit selalu memberi
informasi pada Ihsan tentang aku.
sayang waktu malam itu aku telepon karena denger dari sipit kamu
sedih banget. Aku gak tega jadi aku telepon
aghh,,nyebeliin sayang tu
hahahahaaaaaaaaa. Mereka menertawakan kebodohanku.
terus yang kasih flas dimotorku?kan syang kerja,sipit ma aku
terus,mesti siput ya,sambil tunjuk Siput.
Dengan senyumnya siput mengakui,iya aku yang kasih flas kemotormu
dan itu tulisanku. Kan kamu belum pernah liat tulisanku
aghh,,dasar siput,kamu itu
Dan semua kembali tertawa karena melihat kebodohanku. Aku Cuma
cemberut dan ikut ketawa.
Ternyata kejutan dari Ihsan belum berakhir.
tutup mata sayang,gak boleh ngintip lho..
ada apa to?
ya udah tutup mata dulu,nanti kan tau. Tapi berdiri dong
Aku mencoba menuruti semua kemauan dia dan aku penasaran apa
yang akan diberikannya,karena flas dan kue sudah menjadi kejutan yang
teka terlupakan.
udah belum sih,lama banget,dengan sebel karena gak sabar pengen
tahu.
ok,sekarang dibuka perlahan ya
Sedetik kemudian aku membuka mata,sebuah kejutan yang manis.
Ihsan memberikanku sebuah cincin dan ia sambil berkata mau kah kau

berjanji untuk selalu menjaga dan mempertahankan hubungan kita dalam


keadaan apapun?.
Dia bertanya seperti itu karena kalau diajak nikah aku gak mau jadi gak
mungkin kalimatanya will you married me? bakal langsung aku tolak,
Dengan rasa yang bahagia dan tak mampu berucap,aku hanya
menganggukan kepala sebagai isyarat aku mau. Dan Ihsan pun memakaikan
cincin itu dijari manisku. Dan sebaliknya aku. Setelah cincin ini tersemat di
jari kami, Ihsan memelukku dan mengatakan sesuatu padaku,
aku janji akan menjagamu.
Dengan rasa yang tak bisa ku ungkapkan aku menjawab dari ucapan
dengan,aku juga berjanji hati ini untukmu
Dan sipit mengagetkanku dengan ucapannya untuk siput,sayang aku
juga mau kayak gini
hahahahhahah,,,,kami semua tertawa dengan ucapan sipit.
Malam kian larut dan tak terasa jam udah nunjukkin pukul 23.00. semua
pamit untuk pulang. Namun aku sedih karena Ihsan juga pulang,aku masih
pengen sama dia. Rasa kangenku sama dia belum terobati. Namun waktu
yang bicara.Mereka akhirnya kembali kehabitat msing-masing(maksudku ke
rumah masing-masing.)
mb Ind,kita pulang dulu ya,sipit dan siput bersalaman denganku untuk
pamit.
ok,,makasih ya buat kalian berdua
sayang,aku pulang dulu ya,langsung bobo ja,udah malem,
iya sayang,syang juga langsung bobo. Hati-hati ya,,
iya sayang,love you sayang,kecupan kening untukku.
love you sayang
udah mb Ind,ntar gak selesai-selesai kalau cium peluk mulu, sipit ngiri
ni,hehehe
ya biarain,ni kan pacaraku,masak aku mau cium siput,boleh po?
hahaha aku menggoda sipit.
ya gak boleh kok
sayang awas aja ya, aku langsung dapet peringatan dari Leo dan
Sipit.ahaahahah
Dan mereka pulang kerumah masing-masing. Malam ini bahagia yang
tak terkira. Dan gak mungkin aku lupakan. Aku beruntung memiliki teman
dan Ihsan yang menyayangiku.
Aku juga lebih bisa memaknai arti sebuah persahabatan dan kasih
sayang.Dan aku berharap harapan yang aku inginkan terkabul,sebuah
harapan yang tak akan ku ucapkan jika belum terjadi.
Di hari berikutnya kami kembali seperti biasa, Ihsan kembali normal.
Hari terasa cepat hingga tak terasa sudah masuk bulan Mei. Dan yang paling
aku senang karena 27 Mei adalah satu tahun kami berpacaran,aku ingin
membuat suatu perayaan kecil dengan kejutan kecil dariku. Saat sebuah
rencana manis aku susun rapi dengan penuh cinta. Sebuah kabar buruk yang
menghancurkan sebuah rencana itu datang.
Saat beberapa hari sebelum hari itu saat dia datang kerumah sudah
larut malam dan gak biasanya dia datang selarut ini.
duduk dulu sayang,mau minum pa?,aku mempersilakan dia duduk.
makasih sayang,gak usah minum. Aku Cuma pingin malam ini ama
sayang,dengan senyum dia mengatakan itu.
Tersontak aku kaget dengan ucapannya.Maksudnya apa?
gini,aku besok bakal berangkat berlayar ke India untuk waktu yang
cukup lama. Dia menghela nafas setelah mengahkiri ucapannya.
Aku hanya bisa diam saat mendengar itu semua. Aku tak dapat
mengatakan apa-apa. Aku tak suka ini semua.
sayangg... dia membuyarkan lamunanku.kamu gak apa-apa kan??

eh,,em,,sayng serius?sayng ini Cuma bercanda kan?. Aku mencoba


mencari jawaban kalau ini semua Cuma kebohongan dia. Karena dia sering
sekali mengatakan itu.
kali ini benar,sambil dia mengeluarakan surat-surat sebagai tanda
kalau kali ini dia tak berbohoong.
Aku memintanya danku teliti satu demi satu saurat-surat itu. Dan benar
sebuah nama negara sebagai tujuan berlayar atas nama dia. Aku menaruh
kembali surat itu dan bertanya,berapa lama berlayar? dalam hati ku pasti
wkatu yang lama karena line/tujuannya jauh.
2 tahun sayang aku akan pergi
Aku tak tahu harus bagaimana lagi saat dia menjawab 2 tahun. Aku
hanya terdiam,dia pun ikut terdiam karena dia tahu pasti aku gak bisa terima
ini semua.
sayang bohong kan?sayang boong ya?,aku masih mencoba tak
percaya. Namun saat tangan ini digenggamnya untuk mencoba
meyakinkanku.
sayng,aku bener besok bakal berlayar. Aku tau sayang bakal kesepian
banget. Apalagi di sana nanti aku juga gak dapet sinyal. 2 tahun itu aku
sebulannya hanya mendarat 2 hari sayang.
Aku benar-benar terdiam tanpa sebuah sedikitpun ucapan yang aku
keluarkan dari bibir ini. Aku membayangkan rencana kecilku di hari jadian
kita hancur. Tangannya tetap menggenggamku untuk menguatkanku.
Sedetik kemudian air mata membasahi pipiku. Sebuah sentuhan manis
darinya untuk menghapus air mata ini makin membuat aku menangis. Dan
selanjutnya sebuah pelukan manis darinya. Aku menangis di dadanya
dengan sebuah pelukan dan belaian dia dengan diciumnya keningku
olehnya. Mungkin ini pelukan terakhirnya.
sudah sayang,jangan gini. Nanti aku nangis juga,jelek kalau nangis.
Cantiknya mana... dia masih mencoba menghiburku dan menggodaku.
Dengan perlahan aku lepas pelukan ini darinya. Sayang,aku sayang
banget ama kamu. Aku gak pengen jauh dari kamu. Tapi ini untuk masa
depan,aku harus dukung kamu. Aku akan tunggu kamu di sini. Aku ingin
kamu janji,2 tahun lagi kamu datang kerumahku
aku janji sayang. Dia kembali memelukku sambil berucap,awas aja
kalau sayang punya pacar lagi,hehehe
agh,paling syang juga di sana,mencoba gak mau kalah aku.
aku aja bakal di air terus. Di kapal juga cowok semua. Ada juga ibu-ibu.
Lagipula aku kan punya sayang yang bakal selalu ada
gombal sayang ki
biarin,yang penting gak gembel..hehehhe
Kami kembali tertawa dan menikmati hari perpisahan ini hingga tengah
malam.
besok anterin aku ya,mau kan?
ok deh sayang,
tapi gak boleh cengeng ya
ya biarain kok,,masak pacar bakal pergi jauh gak boleh nangis
Perlahan dia berdiri dari kursinya dan meraih tanganku kembali,sayang
janji ya gak macem-macem kalau aku tinggal. Inget cincin ini jadi saksi
hubungan kita
Aku janji sayang. Sambil ku tersenyum walaupun aku sedih.
sayng aku pulang dulu ya,udah malam. Sayng bobo ya
huem sayang,hati-hati ya
sampa ketemu besok ya sayang
ok sayang. Dengan berat aku harus melepasnya pulang dan besok
hari terakhirku bertemu dengannya.
Air mata ini memang tak bisa membohongi kesedihan hati ini. Perlahan
menentes kembali. Aku jadi makin sedih,saat ahri-hari esok air mata ini
menetes kembali siapa yang akan mengusapnya.

Semoga waktu 2tahun itu akan berjalan cepat dan hari-hariku tak
berubah karena aku akan tetap menjaga hati ini untuknya. Untuk orang yang
telah menyayangiku setulus hati.
Sebuah lagu yang menjadi kenangan manis untuk kami adalah Ipangakhirnya jatuh cinta.
Semua terjadi tak ku sadari tak terpikir apalgi mimpi.Tapi ternyata kini
ku tak lagi berdaya.Kau memang beda dari yang pernah ku rasakan.Hanya
kau yang bisa merubah hatiku tk mungkin ada lagi yang mampu membuatku
seperti ini.Semua berubah saat bersamamu tak mungkin ku dapat kalau
tanpaumu,sangat ku nikmti mencitaimu bersamamu. Tapi ternyata kini aku
sudah bersamamu
Karena kesedihanku ini hanya sementara,karena aku percaya lelah ini
hanya sebentar dan aku tak boleh menyerah walaupun ini tak mudah. Aku
akan selalu ingat pesan dia untuk selalu tersenyum biar semakin mudah
karena kesedihan ini hanya sementara.
Dan hari-hari sepiku akan terjadi. Semoga aku bisa jalani ini semua. Dan
semoga 2 tahun lagi aka nada sebuah cerita manis yang berakhir dengan
sebuah kebahagiaan.

Mr. Ice Cream


Ini sudah mangkuk es krim kedua yang aku lahap malam itu, tak peduli
aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua kedai itu kadang sesekali
memalingkan tatapannya dari Koran pagi harinya kearah ku. Mungkin dia
pikir aku kurang waras, di cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras diluar
sana, ada gadis yang masih menikmati es krim sampai mangkuk kedua,
tenang saja pak tua gumam ku dalam hati mungkin akan ada mangkuk yang
ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Aku tak peduli.
Hap, sendok demi sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap
kosong pada suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi
kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar yang sedang
memutar scene demi scene. Membuat hati ini campur aduk dan sedikit
sesak. Me-rewind semua rutinitas gila makan es krim ini dari mana asalnya,
kalo bukan dari dirinya.
***
3 tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Wajahnya yang sedikit
pucat dan tirus, rambut nya yang agak panjang, sedikit berantakan, dia
tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku tentang rasa es
krim yang barusan aku cicipi.
Gimana? tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat
ekspresiku yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah dengan es krim
yang kumakan.
Tunggu! jawabku sambil memutar mata seolah berfikir serius
mendikripsikan Sesuatu yang sedang lumer dilidahku, lalu ku coba sesendok
lagi, sok-sokan lagaku seperti tester sejati.
Enaak !! Seru ku.
Dia tersenyum kecil dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku
yang menipu. Aku lantas mengerenyit sambil mengusap pipiku yang
dijewernya.
Ya, Dialah Keylan. Key dan Aku pertama kali bertemu di laboratorium
praktikum kimia dasar, Dia yang mengembalikan modul praktikumku yang
tertinggal di laboratorium. Disitulah kami berkenalan, dia sebenarnya
seniorku di kampus, usianya terpaut dua tahun lebih tua dari umurku.
Key mengambil cuti selama satu tahun di awal perkuliahan oleh sebab
itu ia sering meminjam buku catatanku untuk mengejar ketinggalannya.
Sebagai imbalan nya Key sering mentaktirku es krim. Berawal dari sebuah
catatan dan secorong es krim di kantin kampus-lah pertemanan kami
semakin akrab.
Key dan aku adalah sosok manusia yang mempunyai hobi yang bisa
dibilang terbalik, Key adalah cowok dengan hobi membuat cake atau
makanan manis. Sedangkan aku adalah cewek dengan hobi nonton sepak
bola dan nonton serial kartun Kapten Tsubatsa. Terbalik bukan?
Mr. ice cream adalah panggilanku untuknya. Cowok berbadan kurus dan
tinggi ini bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang tak
bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin mempunyai usaha di
bidang kuliner itu, Key mengambil Cooking Class khusus membuat pastry.
Key termasuk golongan cowok yang cool dan tak banyak bicara, Terkadang
Key tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.
Sore itu, Key dengan sengaja menculikku dari kampus, Key mengajakku
berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada sejak jaman
kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena bangunan kedai itu sudah tua,
interior kedai itu pun terlihat seperti di museummesueum sejarah, seperti
meja kasir dan pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang
berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua, disisi sebelah
kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat terpajang dalam etalase tua,

Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya
pun tak ada yang muda, semua tua.
Key bercerita sambil menerawang kearah langit-langit, kalo dia sering
makan es krim disini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan
kesukaannya terhadap tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan
dirinya suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa
makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati dan bad mood.
Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan
mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia
lakukaan atau ia ceritakan.
Semua orang hampir menyukai es krim bukan? dia menatap ku lagi.
Sialnya aku tertangkap mata karena menatapnya lamat-lamat, aku
memalingkan wajah dan menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi
dan ku jejali roti itu dengan es krim tutti fruiti-ku.
Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti protes nya
sambil tertawa kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim.
ini Enaaak, coba deh Key sambil menyodorkan roti isi eskrim
kepadanya sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Key
lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda
setuju kalo itu kombinasi yang enak.
yeee, enak kan, sekarang Key ketularan rakus aku tertawa puas. Dan
key menjewer pipiku lagi. Kami pun kembali tertawa riang.
Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Key seolah
pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah
besar. Kami tidak pacaran, tepatnya key punya pacar. Key berpacaran
dengan Amerina. Mengenai Key dan Amerina aku tak tahu banyak karena
Key jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka
menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di bangku SMA, lalu mereka
saling menyukai dan berpacaran, Amerina adalah gadis cantik, anggun,
smart dan terlihat kalem, menurutku Amerina seperti Key versi cewek.
Hanya itu yang ku tahu.
Pulang yuk ran, nanti ketinggalan jadwal nonton Tsubatsa ajak Key
kepadaku sekaligus mengingatkan.
Iya, hampir lupa..ayook jawabku sambil beranjak dari kursi. Mengikuti
punggung Key yang sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan kedai itu.
***
2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Key tersenyum simpul
penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotakkotaknya kali ini rambutnya terikat rapih.
Ta daaaa, Happy Birth Day Key menyodorkan sesuatu. Aku diam
terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!
Malam itu di hari ke lima belas di bulan September, Key membuatkanku
kue ulang tahun dengan motif bola dengan dominasi warna biru dan putih,
seperti warna club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan Happy
Birth Day Rana diatas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu
semakin cantik dan tak lupa lilin dengan angka kembar dua-puluh-dua.
Jangan lupa berdoa dan make wish ya Key tersenyum Simpul lagi.
Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua
detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja.
Menikmati kue tart buatan Key dan es Krim tentunya.
Rio, belum telepon juga? Key bertanya singkat.
Rio? Kenapa Key nanya Rio lagi sih?. Aku hanya menggeleng. Singkat
cerita, Rio adalah pacarku. tepatnya seminggu yang lalu, jadi sekarang dia
sudah menyandang gelar mantan pacar. Rio dan Aku bertahan pacaran
hanya lima bulan saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Damn
Realtionship, atau pacaran jarak jauh, Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai
terasa tidak lancar. Ditambah Rio yang tidak pernah suka dengan hobiku
yang menyukai sepak bola. Terkadang itu menjadi bahan pertengkararan

kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara baik-baik. Tak ada
yang harus di pertahankan.
Sudah, jangan sedih. Mungkin dia sibuk ujarnya seraya menghiburku.
Puh, tak ada telepon pun tak masalah bagiku, lalu ku hanya diam dan
menikmati es krim dan kuenya lagi.
yang penting Ujar Key. Hening sejenak. Aku menunggu Key
melanjutkan kalimatnya. Ayah dan Adik, sudah telepon lanjutnya sambil
tersenyum.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat lalu membalas senyumannya
Tentu saja, itu yang penting timpalku kepadanya. Kamu juga penting Key.
Key selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman
yang selalu ada untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali
dalam hidupku, ada orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat
perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang teman seperti
Key yang melakukannya. Teman? Lalu bagaimana dengan Amerina? Apakah
dia melakukan hal yang sama kepadanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul di kepalaku, Mengapa aku
ingin tahu detail bagaimana Key memperlakukan Amerina? Bukan kah
sebelumnya aku tak pernah peduli?
Barusan make a wish apa? Pertanyaan Key membangunkan ku dari
lamunan akibat pertanyaanpertayaan aneh yang bermunculan dari
kepalaku.
Rahasia Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
Pelit Key pura-pura ngambek.
Anyway Key, thank a lot, youre my best Aku tersenyum. aku bahagia
malam ini.
Any time, Ran balas Key. Tersenyum simpul.
Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk
dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool,
dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia
yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa
aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa
aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi
hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak.
***
Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi,
menadakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang
menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya,
membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari
pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya
tetap tua di makan usia.
Dua jam yang lalu, aku dan Key duduk bersama di kedai ini, wajahnya
sudah tak sepucat dan setirus dulu, rambut nya pun tak seberantakan dan
sepanjang satu tahun yang lalu, Key terlihat baik-baik saja bukan?, Namun
tak ada sedikit pun senyum didalam air muka Key, Dia bersikap dingin,
sedingin es krim di mangkuk dan cuaca di luar sana.
Kenapa gak ada kabar ran? Key menatapku serius. Nada suaranya
dingin.
Aku tak sanggup memandang key, hanya tertunduk dan diam, lidah ini
kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
Aku sibuk Key Aku berbohong. Maaf Key, aku memang keterlaluan
ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
Setelah mendengar kata maaf itu Key langsung mehenyakan
punggungnya kesandaran kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata
maaf dari seorang sahabat yang hanya pamitan lewat sms dan setahun
kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku
tahu Key pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini makin
menguasai, persahabatanku dengan Key terasa bias, tepatnya hanya aku

yang merasa bias, aku tak kuasa lagi mempertahankan kepura-puraanku di


depan Key yang selalu bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Key
yang seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri pupuk,
dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah memangkas nya tapi ini
akan terus tumbuh tak terkendali dan akan terus membuatku merasa
bahagia dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Maka ketika kesempatan
bekerja di luar kota itu datang aku tak menyiakan nya.
Tapi kau baik-baik saja kan? Ucap nya tenang.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat. Air mataku hampir jatuh. Aku
tak boleh menangis di depan nya, ini hanya akan membuatnya semakin
cemas. Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu aku mengangguk.
Kembali menunduk. aku tahu perasaan Key sekarang campur aduk antara
marah dan cemas namun Key selalu baik dan memaafkanku yang bertindak
bodoh.
Lalu bagaimana denganmu Key? ucapku terbata.
Key tak menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku terlihat
aneh dan membingungkan bagi Key sehingga membuat penasaran, terlihat
dari raut wajahnya sepertinya ia ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan
atas sikapku ini. Namun Key menyerah, dia menghenyakan kembali
punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana diantara kami
pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini pun mencair.
***
Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam disini sedang
menumpahkan kerinduan pada kedai ini, kerinduan pada Es krim, kerinduan
pada Key. Scene potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar,
kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu benda di atas
meja, benda yg sedikit tebal dari kertas, berwarna merah, pemberian Key
dua jam yang lalu.
Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik benda itu, dan
entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa terbolak balik karena melihat
isinya. Sebagai teman ini adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang
yang sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku. Lalu
dimana aku harus menempatkan diriku sendiri?
Butuh setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini untuk
mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang ketiga ini aku baru dapat
pemahamanya, bahwa tak pernah ada yang berubah dari sikap Key
kepadaku, dia selalu ada untukku, melindungiku, menyangiku sebagai
sahabatnya. Aku-lah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan serta resiko
untuk menyatakan nya dan malah pergi menghilang darinya yang hanya
membuat Key terluka.
Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas
menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari kursi kedai itu,
menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua itu menatapku lalu tersenyum
megucapkan terimakasih, aku hanya membalas senyum sekedarnya.
Perasaanku masih campur aduk dan terasa sesak.
Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju Statsiun hendak
meninggalkan kota ini, dan aku berjanji, minggu depan aku kan datang lagi
ke kota ini, menjadi saksi ucapan janji abadi sehidup semati antara Key dan
Amerina. aku akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan
bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah membantu
melupakan orang yang kita sayangi, yang membantu hanyalah sikap
menerima kenyataan.
Biarlah aku menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Key, dan
waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit ini hanya
bersifat sementara, Karena secorong es krim akan menjadi obatnya, bukan?

BUNGA DAN DERITA


Aku masih terpaku pada deretan bunga sepatu di hadapanku. Bunga
yang telah terkatup layu seiring dengan telah lamanya aku menanti seorang
pria yang mengajakku kencan di taman ini. Tiga puluh menit dari jadwal
janjian, terasa tak jadi masalah saat dari kejauhan terdengar seseorang
memanggilku. Namun saat kupalingkan wajahku, aku kecewa bukan main
ternyata hanya kegaduhan orang-orang disebrang jalan.
Kembali aku fokuskan perhatianku pada rangkaian bunga dihadapanku.
Sesekali kulirik wajahku pada kaca mungil yang sengaja kubawa. Aku harus
memastikan saat Dannis datang aku bisa terlihat lebih cantik. Soalnya dia
adalah laki-laki pertama yang aku persilahkan untuk mengajak diriku
berkencan, ya walau hanya di taman kota saja. Dannis adalah teman
sekelasku yang dua tahun terakhir ini aku idam-idamkan tembakannya.
Padahal sebelumnya waktu menginjak kelas satu SMA aku sangat tidak akur
dengan cowok tengil itu.
Tapi karena suatu moment saat aku cidera diperlombaan basket antar
sekolah, dia dengan gagahnya membopong tubuhku. Dari kejadian itulah aku
mulai mengalihkan fikiran jelekku kepadanya. Dari yang tadinya evil yang
paling dihindari, kini jadi sosok pangeran penolong yang dinantikan
kehadirannya.
Jarum jam telah menunjuk angka sembilan.
Oh Dannis, setega itukah kamu? udah dua jam Nis hikss.., aku
tejatuh dalam tangis. Anganku telah hancur lebur karena sebuah janji yang
tidak ditepati.
Padahal masih hangat di memoriku, tadi siang saat jam istirahat aku
mendapati sepucuk surat beramplop merah jambu terselip di mejaku.
Hi Asmi..
Malam ini aku haraf kita bisa ketemu.
Ada beberapa hal yang perlu aku sampein ke loe Mi.
Gw.. Eh aku ssssstunggu kamu jam tujuh di taman kota yaa.
-DannisKu ulang kembali hingga tiga kali, aku baca dengan super apik,
terutama dibagian pengirim.
Oh Tuhan, Dannis? suasana bahagia bercampur haru menyelimuti
hatiku.
Nuansa kelas menjadi indah dipenuhi bunga warna-warni. Hingga
seseorang menepuk pundakku. Dan suasana kembali berubah menjadi kelas
dua belas saat jam istirahat. Sepi, dan terkapar tak berdaya buku-buku yang
dilempar majikannya.
Asmi.
Ehhh.. Via, kenapa Vi?
Loe yang kenapa? Dari tadi Gw intip dari jendela Loe senyum-senyum
sendiri.
Aku disuguhi pertanyaan yang membuat aku kikuk sendiri. Aku tidak
bisa membayangkan seberapa merah wajahkun saat itu. Yang pasti saat itu
aku benar-benar tertunduk.
Eng.ngak ko Vi, aku gak kenapa-napa, sahutku gugup.
Ya udah Gw mau ke kantin aja, mau ikut gak Mi?
Oh gak, maksih aku gak laper.
Aku segera membalikkan tubuhku, memburu kursi dipojokan kelas.
Namun baru beberapa langkah, hartaku yang paling berharga disabet oleh
orang dibelakangku.
ehhhh..
Haaa ternyata ini toh yang bikin Loe jadi gak laper? Hahhahah
Via kembaliin! ku rebut kembali kertas berharga itu.
Yah Loe ini Mi, sekalipun Gw gak baca tapi Gw udah tahu isinya apaan.
So tahu kamu!

Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya
nanti malam dia mau omongan Via tertahan dengan kedatangan
seseorang yang dari tadi dibicarakan.
Dannis.. sahut ku dan Via kaget.
Aduh hampir saja bisik Via pelan.
Kenpa Vi? tanyaku penasaran.
Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!
Lantas loe mau kemana Vi? tanyaku semakin heran.
Ke WC ya Vi? ya udah sana! tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata
kirinya.
Oh ya bener, hhehhe
Via telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.
Gimana? Tanya Dannis.
Gimana apanya Nis?
Tuu tunjuknya ke arah kertas dijemariku.
Oh oke deh aku mau
Ya udah Gw cabut dulu ya! sahutnya salah tingkah.
Oh ya aku tak kalah salting.
Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar
pergi dia memanggilku.
Hmmm. Vi jangan ampe telat ya!
Ok sipp!
Awas loh
Iya bawel
***
Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang
kerumah. Sesampainya dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan
Bunda, yang malah bikin hatiku semakin hancur saja. Beribu pertanyaan
Bunda menghujani aku.
Dari tadi kamu kemana saja?
Aku hanya terdiam kaku tanpa menjawab pertanyaan Bunda.
Jawab! kali ini nada suara Bunda meninggi,
Kamu tahu? anak perawan gak baik keluyuran jam segini! sambung
Bunda.
Aku masih tak memberikan respon apa-apa.
Plakkk
Sebuah tamparan menggores pipiku, Oh Tuhan sakit sekali bisikku
dalam hati.
Bunda jahat! aku segera masuk kekamar, kututup rapat pintu
kamarku.
Malam ini sungguh menjadi malam yang paling berat untukku. Ini
adalah kali pertama Bunda menampar dan memarahiku. Belum lagi dengan
perasaanku yang masih kecewa karena kencan pertamaku gagal, karena
Dannis tak hadir diundangannya sendiri.
Oh Tuhan, semalang itukah nasib ku?
Aku kembali terhanyut dalam tangis, hingga akhirnya aku tertidur pulas.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Fikirku
sudah matang, sesampainya disekolah akan ku beri tamparan mereka
berdua.
Via sama Dannis itu dari mulai sekarang bukan temanku lagi, teman
macam apa mereka? Berani ngerjain aku ampe separah itu! gerutuku kesal
Kakiku masih mengayuh, menyusuri pinggiran jalan kota yang ramai.
Namun saat aku melewati Taman Kota kakiku serasa tertahan, aku
mengingat peristiwa tadi malam.
Cuihh.. aku bakalan balas semua rasa sakitku tadi malam! aku
kembali bergerutu kesal.

Aku samakin kesal saat aku menyadari banyak kelopak bunga mawar
berantakan diruas jalan.
Apa-apaan nih, mereka kira aku lagi jatuh cinta apa? dunia pun seakan
menertawakan rasa sakitku dengan menabur bunga di jalanan yang aku
lewati ini.
Aku berlari kencang meninggalkan keanehan yang membuat aku
semakin gila. Tak membutuhkan waktu yang lama aku telah sampai
disekolah.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari dua orang biadab itu.
Tiga puluh menit telah berlalu, aku sudah mengubek-ubek isi sekolah tapi
hasilnya nihil, keduanya hilang bak ditelan bayang. Hingga bell masuk pun
tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran dimulai, baru
sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget Aku
haraf itu Dannis atau Via. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas
kami.
Pagi anak-anak
Pagi Bu jawab murid hamper serempak.
Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada
kalian. Semua anak kelas dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan
Bu Jen.
Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia
mengalami kecelakaan yang cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat
tertolong. Suara Bu Jen semakin melemah.
Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimanamana. Aku sendiri terpasung dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah
sedih yang tak tertahankan.
Dannissssss!!!!!
Aku berteriak sekencang-kencangnya, aku berlari dan terus berlari.
Hingga akhirnya aku telah bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal
dipenuhi kelopak bunga yang telah layu diinjak pengguna jalan.
Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah
Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.
Dear
Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis
Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.
Dannis..Hiks kepala ini semakin tak tertahan, dan akhirnya aku
terkapar dalam ketidaksadaran.
***
Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku
lihat dengan pasti wajah Bunda dan Via penuh dengan kehawatir dan
penasaran.
Asmi kayaknya udah sadar Tant
Iya
Aku kenapa Bund? tanyaku dengan nada berat.
Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian
sebelum aku terkapar dalam tempat tidur ini,
Dann. Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku.
Bunda menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus
ucapanku,
Iya, kamu yang sabar ya nak
Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang
mengalir
deras
dipipiku.
Via memeluku erat,
Maafin Gw ya Mi, Hiks Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat
Loe.
Hiks Dannis
***

Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak
ingin brtemu siapa-siapa.
Tukk tukkkk..
Seseorang mengetuk pintu kamarku
Asmi , nih ada Nak Via pengen ketemu kamu.
Pergi Kamu!! bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat
diwajah Via saat Bunda membuka pintu kamarku.
Mi ini Gw, Via
Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!
Ya Gw Mi, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang
membuat Dannis sadar tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe
tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis sadar kalo cintanya gak bertepuk
sebelah tangan!
Jadi Dannis.. ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Via
yang basah karena air mata, Bohong! bentakku bringas.
Gak Mi!
Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati
sahutku sinis.
Gak Mi, Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh
menit, dia terus manggin-manggil Loe, tapi Loe gak denger, ucapannya
terhenti, sesaat Via mengambil nafas panjang Loe malah sibuk sama riasan
Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!
Bohong!
Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke
Taman karena dia kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.
Dannis.Jadi
Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe
Mi! Pliese Loe jalani hidup Loe lagi, buat Dannis Mi!
Hiks.
Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku.
Karena aku telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik
mungkin. Karena aku mencintai Dannis, laki-laki yang mencintai aku.
***

Anda mungkin juga menyukai