dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik,
rasanya sangat-sangat tidak elok.
Tanggung, jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari
tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal
persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam
gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya
obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim
kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah
angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya
merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya
dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke
dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya
mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah
kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit
masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang
tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia
tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh
karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru
terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah
api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat
obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong
sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
Berguling! Berguling! terdengar teriakannya sembari melepaskan
seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut
dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau
tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat
bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk
berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak
karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam
yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang
mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar
dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya,
sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat
saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat
saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu
dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian
mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan
pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu
berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya
memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti
memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang
didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar
Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat
Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh
mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah
agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir
sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari
Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
Salahmu sendiri, tidak minta ganti, kata saya selesai kami mengingat
kejadian itu.
Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu
bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan
tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang
baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan
kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu
bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah
menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah
bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak
lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat
kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian
keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan
dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini
menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua
justru tergadaikan.
Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu.
Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.
Ulahnya? Dia mengangguk.
Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik
kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya
mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku
percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama
terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini
beban berat ada di pundakku. Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang
remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalankenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik
satu-satunya.
Kami akan bertahan, katanya tersenyum saat melepas saya setelah
hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari
sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum
pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan
seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah
membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa
timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran
jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata,
seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil
dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam
coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang
akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu
terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang
berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim
hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin
selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding
triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila
tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi
kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
Sesungguhnya, ia pun masih tak percaya bila terjaga dari lelapnya
yang tak pernah pulas, kalau akhirnya ia menjejakkan kaki di ibu kota Jakarta
yang kerap diceritakan orang-orang di kampungnya. Suatu tempat yang
sangat asing, aneh, dan begitu menakjubkan dalam cerita Mak Rifah, Mak
Sangkut, dan beberapa perempuan kampung karibnya, lepas perempuanperempuan itu mengunjungi anak bujang atau pun gadis mereka. Sesuatu
yang terdengar seperti surganya dunia. Serba mewah, serba manis, serba
tak bisa ia bayangkan.
Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak.
Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak, itulah suara Jamal kepadanya
beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio
tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda
aneh di genggamannya.
Dengan siapa Mak ke situ? lontarnya. Ada keinginan yang
menyeruak seketika di dada Mak Inang. Keinginan yang sejatinya sudah
lama terpendam. Telah lama ia ingin melihat Jakarta. Ibu kota yang telah
dikunjungi karib-karibnya. Tapi, ia selalu tak punya alasan ke sana, walau
anak lanangnya, yang cuma satu-satunya ia miliki selain dua gadisnya yang
telah diboyong suami mereka di kampung sebelah, merantau ke kota itu.
Belum pernah Jamal menawarinya ke sana. Tak heran, ketika petang itu
Jamal memintanya datang, ia lekas-lekas menanggapinya.
Tanyai Kurti, Mak. Kapan ia balik? Masalah ongkos, Mak pakai duit
Emak dululah. Nanti, bila aku sudah gajian, Emak kuongkosi pulang dan
kukembalikan ongkos Emak ke sini, itulah janji anak lanangnya sebelum
mengakhiri pembicaraan. Suara kemerosok seperti radio tua itu terputus.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape
dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah
tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau
menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya
menjangkau cucian, membilasnya.
***
Kota yang panas. Itulah kesan pertama Mak Inang saat mata
lamurnya menggerayangi terminal bus Kampung Rambutan. Sedetik
kemudian, ia menambahkan kesan pertamanya itu: Kota bacin dan berbau
pesing. Hidung tuanya demikian menderita ketika membaui bau tak sedap
itu. Hatinya bertanya-tanya heran melihat Kurti demikian menikmati bau itu.
Hidung pesek gadis berkulit sawo matang itu tetap saja mengembangembang, seolah-olah bau yang membuat perut Mak Inang mual itu tercium
melati.
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi
rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang
berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya
dan Kurti, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya.
Cupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas
pada Kurti, gadis itu diam tak menggubris, hanya menyeret Mak Inang pergi.
Mak Inang kembali memeras beberapa popok yang ia cuci, sekaligus.
Telapak kaki kanannya yang kapalan cepat-cepat menampari betis kirinya
begitu beberapa nyamuk
membabi-buta di kulit keringnya. Ia
menghempaskan popok yang sudah diperasnya itu ke dalam ember plastik.
Jemari tangannya menggaruk-garuk betis kirinya. Bentol-bentol sebesar biji
petai berderet-deret di kulit keringnya. Ia menggeram. Hatinya menyumpahserapah kepada binatang laknat tak tahu diri itu.
Dua-tiga hari pertama, Mak Inang cukup senang berada di rumah
berdinding batu setengah triplek Jamal. Rasa senangnya itu bersumber dari
cucu bujangnya yang masih merah itu. Walau, sesungguhnya Mak Inang
terkaget-kaget saat Kurti mengantarnya ke rumah Jamal. Semua di luar otak
tuanya. Dalam benaknya yang mulai ringkih, Jamal berada di rumah-rumah
beton yang diceritakan Mak Sangkut, bukan di rumah kecil sepengap ini.
Keterkejutannya kian bertambah saat perutnya melilit di subuh buta. Hanya
ada satu kakus untuk berderet-deret kontrakan itu. Itu pun baunya sangat
memualkan. Hampir saja Mak Inang tak mampu menahannya.
Mak hendak pulang, Mal. Sudah seminggu, nanti pisang Emak
ditebang orang, karet pun sayang tak disadap, lontar Mak Inang di pagi
yang tak bisa ia tahan lagi. Ia benar-benar tak ingin berlama-lama di ibu kota
yang sungguh aneh baginya. Sesungguhnya, Mak Inang pun aneh dengan
orang-orang yang saban hari, saban minggu, saban bulan, dan saban tahun
datang mengadu nasib ke kota ini. Apa yang mereka cari di rimba
bernyamuk ganas, berbau bacin, bertikus besar melebihi kucing ini? Mak
Inang tak bisa menghabiskan pikiran itu pada sebuah jawaban.
Akhir bulanlah, Mak. Aku gajian saban akhir bulan, sekarang tengah
bulan. Tak bisa. Pabrik juga tengah banyak order, belum bisa aku kawani Mak
jalan-jalan mutar Jakarta, ujar Jamal sembari menyeruput kopi hitam dan
mengunyah rebusan singkong. Singkong yang Mak Inang bawa seminggu
silam. Mak Inang tak bersuara. Hatinya terasa terperas dengan rasa yang
kian membuatnya tak nyaman.
Kurti libur hari ini, Mak. Katanya tengah tak ada lembur di pabriknya.
Nanti kuminta ia mengawani Mak jalan-jalan. Ke mal, ke rumah anak Wak
Sangkut dan Wak Rifah, terdengar suara Mai, menantunya, dari arah dapur
yang pengap.
Mak Inang mengukir senyum semringah mendengar itu. Rasa tak
nyaman yang menggiring keinginannya untuk pulang mendadak menguap.
Kembali cerita Mak Rifah dan Mak Sangkut tentang Jakarta mengelindap.
Gegas sekali perempuan tua itu menyalin baju dan menggedor-gedor pintu
kontrakan Kurti. Gadis itu membuka pintu dengan mata merah-sembab,
muka awut-awutan dengan rambut yang kusut-masai. Mak Inang tak peduli
mata mengantuk Kurti, ia menggiring gadis itu untuk lekas mandi dan
menemaninya keliling Jakarta, melihat rupa wajah ibu kota yang selama ini
hanya ada dalam cerita karib sebaya dan pikirannya saja.
Serupa kali pertama Kurti mengantarnya ke muka kontrakan anak
lanangnya, seperti itulah keterkejutan Mak Inang saat menjejakkan kaki di
kontrakan anak Mak Sangkut dan Mak Rifah. Tak jauh berupa, tak ada
berbeda. Kontrakan anak karib-karibnya itu pun sama-sama pengap dan
panas. Hal yang membuat Mak Inang meremangkan kuduknya, gundukan
sampah berlalat hijau dengan dengungan keras, bau menyengat, tertumpuk
hanya beberapa puluh meter saja. Kepala Mak Inang berdenyut-denyut
melihat itu. Lebih-lebih saat menghempaskan pantatnya di lantai semen
anaknya Mak Sangkut. Allahurobbi, alangkah banyak cucu Mak Sangkut,
menyempal macam rayap. Berteriak, menangis, merengek minta jajan, dan
tingkah pola yang membuat Mak Inang hendak mati rasa. Hanya setengah
jam Mak Inang dan Kurti di rumah itu, berselang-seling cucunya Mak Sangkut
itu menangis.
Kebingungan Mak Inang pada orang-orang yang saban waktu datang
ke Jakarta untuk mengadu nasib kian besar saja. Apa hal yang membuat
mereka tergoda ke kota bacin lagi pesing ini? Segala apa yang ia lihat satudua pekan ini, tak ada yang membuat hatinya mengembang penuh bunga.
Lebih elok tinggal di kampung, menggarap huma, membajak sawah,
mengalirkan getah-getah karet dari pokoknya, batin Mak Inang.
***
Tangan Mak Inang kembali menekan-nekan tuas pompa, air keruh
dengan bau karet yang menyengat kembali berjatuhan ke dalam bak plastik.
Kadang besar, kadang kecil, seiring dengan tenaganya yang timbul
tenggelam. Lagi, Mak Inang membilas cucian pakaian cucu, menantu, anak
lanang, dan dirinya sendiri. Mendadak Mak Inang telah merasa dirinya
serupa babu. Di petang temaram bernyamuk ganas, ia masih berkubang
dengan cucian. Di kampung, waktu-waktu serupa ini, ia telah bertelekung
TANGAN-TANGAN BUNTUNG
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak
mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai
pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di
dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera
disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka
akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit
kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi
rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat,
lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai
menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan Hidup Presiden
Nirdawat, terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat,
namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat,
dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk
tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat
sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak
lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat
melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan
salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya
diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam
hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan
sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak
akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam
negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan
sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana
dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak
pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja
khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah
diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan,
industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah
diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara
mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan.
Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena
dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan
bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga
kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja
sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai
keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai
berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara
Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh
masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda
menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan
negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk
memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu.
Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden
Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian
digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya
warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik
demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik
Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai
penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak
Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia
dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat
sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke
tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden
bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi
karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk
menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja
suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak
mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun,
maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan
menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit
demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan
malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong
tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan.
Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha
memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia
pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa
pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui
siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan
dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi
komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun
televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu
nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera
berwajahkan Nirdawat.
Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu
mendampingimu, kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat
lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu
mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh
diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama.
Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam
waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga.
Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode,
masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu
nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit,
disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong
dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji.
Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik
Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering
melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di
Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara
memberi penjelasan kepada wartawan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat
penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik
Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa
Kecuali waktu yang terus susut, jam terpojok ke angka lima. Tapi senja belum
turun, belum ada kereta yang melintas di belakang mereka. Alangkah
dekatnya mereka dengan rel kereta. Sehingga bisa terbayang jika kereta
melintas pasti tubuh keduanya ikut bergetar karena roda besi yang
bersinggungan dengan rel baja itu.
Mungkin kita harus pindah tempat, sedikit menjauh. Ucap lelaki itu
Tidak. Dari sini kita bisa melihat senja.
Tapi ini terlalu dekat.
Tapi kalau kau pindah, nanti aku susah memikirkanmu dalam bentuk
yang seperti ini.
Tentu saja.
***
Serayu. Sungai besar yang teramat sabar, aliran air memanjang sampai
ke penjuru ingatan, ke palung kehilangan, ke laut kasmaran. Sesungguhnya,
ada banyak cerita di Serayu. Bukan hanya sepasang kekasih yang duduk di
besi jembatan untuk menunggu senja, tapi juga kisah-kisah lain manusia,
seorang lelaki yang mendayung perahu ke tengah demi mencari ikan, atau
awah-sawah di kejauhan yang tampak menghampar dan hanya terlihat topitopi petani. Semua itu adalah cerita. Tapi pemandangan Serayu, senja, dan
sepasang kekasih mungkin akan menjadi cerita yang paling dramatis. Bisa
saja sepasang kekasih itu pada akhirnya akan berpisah, tapi masing-masing
dari mereka tak bisa menghilangkan kenangan ketika duduk berdua di
jembatan Serayu untuk melihat sesuatu yang setengah tak masuk akal.
Seakan-akan mereka sedang mengabadikan cinta dalam hitungan detik
terbenamnya matahari. Lalu pada suatu waktu si lelaki akan sengaja kembali
ke tempat itu, duduk di sana, demi mengenang wanita itu. Meski mungkin si
wanita tak kembali, sebab ia merasa tersakiti jika harus melihat senja di
sungai itu lagi.
Tetapi, kereta akan tetap melintas, tepat ketika senja, ketika matahari
bundar di ujung sungai yang luasnya sekitar 300 meter.
Ya, sebentar lagi, sebuah kereta penumpang akan melintasi sungai itu.
Serayu. Sungguh nama yang romantis, seorang masinis yang bertugas di
kereta itu sedang membayangkan kereta yang dikemudikannya sebentar lagi
melintasi jembatan, lalu ia akan membunyikan peluit lokomotif keras-keras,
nguooongngng, hingga ia pun teringat dengan kekasihnya di masa lau;
seorang wanita penggemar kereta dan senja.
Aku ingin kelak kau menjadi masinis, dan membawa kereta yang
melintasi Sungai Serayu tepat ketika senja.
Kau ingin aku jadi masinis?
Ya.
Artinya aku akan selalu pergi.
Aku masih bisa memikirkanmu.
Jadi, cinta sudah cukup sempurna jika kita masih bebas memikirkan
orang lain?
Sepanjang angin akan berembus, pertanyaan seperti itu seolah tak ada
gunanya.
Kereta terus melaju, sudah jauh meninggalkan stasiun Notog, memasuki
terowongan, lalu menebas hutan yang penuh dengan pepohonan pinus. Baru
saja kereta melintasi jalan raya, yang artinya semakin dekat dengan Serayu.
Masinis itu tak mengurangi kecepatan, sesaat ia menoleh lewat jendela,
melihat ke gerbong-gerbong di belakangnya. Bukan gerbong senja, tentu
saja, bukan pula kereta kenangan seperti yang dinamai kekasihnya di masa
lalu. Ini hanya kereta biasa.
Jembatan sudah terlihat di kejauhan. Masinis itu perlahan menarik rem,
sedikit mengurangi kecepatan di tikungan terakhir sebelum melintasi sungai
Serayu. Dan beberapa saat kemudian, tampaklah hamparan hijau itu, juga
perasaan yang tak ada maknanya lagi.
Sepanjang angin berembus, akankah kau merindukanku?
dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan
untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup
harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah
jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri
seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus
kehidupan.
Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup
pada usia senja.
Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri,
dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah
serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai
di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar
toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas
diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama
yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di
Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi
kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan
dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota Y.
Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia
berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan
saja yang menghantarnya ke tempat istirah.
Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.
***
Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir
jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk.
Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun
ke-61.
Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.
Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia
lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya.
Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu
meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah
menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli
waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.
Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang
menaungi makamnya.
Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena
anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan
pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam
tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali
bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor
selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus
dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan
ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut,
matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat
mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.
Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:
Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab
Sucinya banyak mata uang asing.
Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal
dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya
yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika
penguburannya.
Ibu Maria meninggal mendadak.
***
Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam
usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu
KABUT IBU
Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak
dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah,
ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras
depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap
api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka
tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat
hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka
hanya akan saling berbisik, Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa
Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang
begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan
dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah
meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus
mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah
berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan,
tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun
terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah
gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat
pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari
ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru
melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu
cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku
terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan
dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah,
ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami.
Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan
segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku.
Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing
senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggilmanggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu
sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu
pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku
dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku
bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak
merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti
darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku
pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di
depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu
tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
Mengapa kita tak jadi pulang, Bah? tanyaku.
Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu. Abah tersengal-sengal
mengayuh kereta untanya.
Kotor kenapa, Bah?
Abah terdiam beberapa jenak, Ya kotor, mungkin semalam banjir.
Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?
Ya banjir.
Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.
Hus!
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal
sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah
sebelum abah datang.
Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan
rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam
itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa
mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali.
Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak
kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya
di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka.
Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan.
Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab
singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah
mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian,
dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati
adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda,
semuanya akan didatangi kematianlantaran mereka pernah hidup. Maka
serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras
rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak
menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar,
apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia
akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya
bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada
sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada
dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor
meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam
lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang
mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya.
Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah
yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu
selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu
muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup
kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan
saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari
mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari
matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami
muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap
lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya
butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu.
Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak
lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman
kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi
peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang
kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali.
Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari
dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus
mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika,
aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benarbenar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan
ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan
hantaman.
Pintu
itu
bergeming.
Kami
terus
menghantamnya,
mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela
lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah.
Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu
menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang
membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di
sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar.
Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan
hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu
sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan
sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak
juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu.
Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya.
Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang.
Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut
itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat
kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah
pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar
mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan
ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah
setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami
yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana
ia menelan ibu.
perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih
sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang
akan terjadi?
Halo Boy! Elo lagi dimana? Kok nggak jadi ke rumah kemaren? tanya
Ivon iseng seolah-olah ia berharap banget. Padahal ia hanya ingin menguji
kejujuran Boy aja, walaupun sebenarnya dia sudah tahu apa jawabannya.
Ya nggak mungkin akan jujur orang seperti ini, abis emang sudah dari
sononya nggak pernah jujur. Janjian mau ketemu dengan Ivon aja bisa batal.
Ntah keduluan janjian dengan siapa saat itu sehingga nggak jadi ke rumah
Ivon.
Sorry ya, kemaren gua lupa. Gua sekarang lagi di rumah Jek, jawabnya
berbohong. Sementara matanya terus mengamati Lila di dalam rumah,
karena khawatir kalau Lila nanti bisa mendengar pembicaraanya dengan
Ivon. Bisa kiamat pikirnya.
Lo nggak perlu khawatir Boy, walau Lila nggak dengar, Lila nggak
bakalan percaya sama elo. Jujur aja orang sudah kagak percaya sama elo,
apalagi kalau elo berbohong.
Tapi sayang, rupanya suara Boy terdengar juga dengan Lila. Busyet!
Sialan! Emang dasar buaya darat kampungan, kata Lila ngomel sendiri dari
dalam rumah. Elo lebih mentingin si Jek daripada kita-kita, lanjut Lila lagi
yang emang udah geram banget sama Boy.
Elo lebih mentingin Jek daripada gua, jawab Ivon pula dengan asal.
Bukan begitu, sayang. Kemaren gua lupa ngasih tahu ke elo, kalau
kemaren di rumah Jek lagi ada selamatan, jawab Boy dengan penuh gombal
kampungan. Sorry Jek, elo jadi tempat berlindung gua, bisik hati Boy.
Sayang kentut lo! bisik hati Ivon.
Ya udah kalau begitu, sampe ketemu, kata Ivon menutup
pembicaraan.
Tak beberapa lama kemudian, dengan penuh salah tingkah si Boy pun
kembali masuk ke dalam menemui Lila.
Dari siapa sih? kata Lila iseng pura-pura bertanya.
Kontan aja, mendengar pertanyaan Lila itu Boy terlihat serba salah dan
salah tingkah, ia galau dan gelisah dengan wajah penuh dusta. Mampus dah!
Dari Jek, jawabnya santai.
Elo gak tahu kalau gua sudah tahu semua kebohonganmu. Dasar
bajingan kampung, kata Lila ngedumel dalam hati. Lila pun kemudian diam
seolah-olah percaya aja dengan jawaban Boy barusan. Baginya yang penting
tujuan untuk mengerjain Boy harus lebih penting.
Boy yang emang sudah galau dan gelisah merasakan suasana sudah
tidak nyaman, padahal nuansa di rumah Lila lagi nyaman dan adem.
Akhirnya Boy pun terasa nggak betah dan pulang lebih cepat diluar dugaan
Lila.
Keesokan harinya, yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Lila,
Ivon dan Kania untuk menghabisi dan menghentikan pertualangan sang play
boy, Boy. Cukup sampe disini Boy, kata mereka bertiga.
Hari ini merupakan giliran Kania janjian ketemu dengan Boy. Mereka
berdua sepakat ketemuan di kafe tempat pertama kali mereka bertemu,
tempat pertama kali Kania menjadi korban rayuan gombalannya Boy. Boy
benar-benar nggak nyadar kalau semuanya ini sudah diatur. Boy pun nggak
nyadar kalau ia sudah masuk dalam sebuah perangkap skenario besar dari
korban-korbannya sendiri.
Lila dan Ivon terlihat sedikit gelisah dan sudah tidak sabar menunggu
kehadiran Boy. Mereka memang sudah pada duluan hadir di tempat itu dan
berada di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Boy.
Tepat pukul 20.00 wib, akhirnya Boy yang ditunggu-tunggu pun tiba
langsung menghampiri Kania. Kania pun lantas berdiri dari duduknya
menyambut kedatangan Boy.
Sudah lama nunggunya? tanya Boy kepada Kania.
Basa basi doang lo! Bisik Kania dalam hati. Nggak, barusan aja aku
disini, balas kania juga dengan basa basi.
Lebih kurang tiga puluh menit sudah, Boy dan Kania berada di kafe ini
sambil menikmati makanan yang mereka pesan, namun tiba-tiba aja Hp Boy
berbunyi lantaran dihubungi oleh Ivon.
Halo, met malam, Von, kata Boy kalem membuka pembicaraan sambil
menjauh dari Kania.
Ya, malem, jawab Ivon. Elo lagi dimana sih? lanjut Ivon iseng
bertanya.
Gua lagi di rumah, jawab Boy spontan.
Benar-benar bangsat, lo! Udah basi, telat lo ngelesnya! Bisik Ivon dalam
hati. Kesini dong, gua lagi bete nih, rayu Ivon sambil mencuil lengan Lila.
Gua lagi capek banget, lagi males mau keluar. Sorry ya! kata Boy
pede dengan kebohongannya.
Ya udah kalau begitu, nggak papa, balas Ivon.
Setelah kontaknya diputus, Ivon dan Lila pun nggak bisa menahan
tawanya sambil menutup mulutnya dengan tangan agar tidak didengar oleh
Boy.
Rasain lo, sebentar lagi dengan pembalasan kita. Waktu untuk
pembinasaan lo tinggal menghitung detik doang, Boy, kata Ivon bicara
pelan dengan Lila.
Lila dan Ivon sudah benar-benar nggak sabaran untuk menghabisi Boy.
Nasib baik lagi nggak berpihak, hukum karma sepertinya segera berlaku buat
Boy. Sementara Kania sudah gelisah menunggu kehadiran kedua temennya
untuk beraksi menjalankan skenarionya. Mereka bertiga memang sudah
nggak sabaran mengacak-acak mukanya Boy dan menyiramkan jus
mengkudu busuk kesekujur tubuh Boy, yang memang sudah mereka
persiapkan dari rumah.
Malam itu merupakan malam yang naas dan apes bagi Boy. Dia harus
mempertanggujawabkan atas semua perbuatannya terhadap ketiga cewek
ini. Skenario yang diatur oleh Lila berjalan mulus. Boy yang lagi asik, tibatiba aja menjadi kaget nggak karuan melihat kehadiran korban-korbannya,
Lila dan Ivon tiba-tiba datang secara bersamaan. Boy hanya terpaku diam
menunggu eksekusi. Tapi dasar play boy tengik, dia berusaha terlihat santai,
seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya berkecamuk nggak
karuan dan jantungnya berdebar kencang. Mampus dah gua! Pikirnya.
Dasar bajingan! Buaye lu! Jadi ini kerja lo selama ini? kata Ivon berang
banget.
Lila yang nggak bicara, nggak tinggal diam. Lila lalu dengan
semangatnya menyiramkan jus mengkudu tadi ke tubuh Boy. Pyuuuuur
basah. Duh! Bau banget. Mampus deh lo, Boy!
Kania dan Ivon pun terus mencaci maki Boy habis-habisan. Lila yang
sudah geram banget, akhirnya nggak tahan juga menahan emosinya, lalu
dengan spontan menggampar muka Boy. Plaaaaaak, Boy tidak mengelak dan
hanya diam.
Boy yang seperti maling ketangkap basah nggak bisa berkutik dan
hanya diam dan pasrah tanpa perlawanan apa-apa dengan perlakuan ketiga
cewek tadi. Mau bicara pun sudah nggak sanggup lagi. Mau ngeles pun
sudah nggak bisa lagi. Ia seperti orang yang sudah kehilangan akal. Ia malu
banget karena belangnya selama ini sudah ketahuan.
Dengan peristiwa itu membuat semua tamu di kafe pun tertuju kepada
mereka berempat dan membuat membuat pengunjung heboh dan tertawa
sambil bertepuk tangan melihat seorang cowok yang sudah basah kuyup
menjadi bulan-bulanan tiga orang cewek. Rasain deh, Boy!
Cukup sudah pertualangan cinta lo sama kita, Boy, kata Lila sambil
berlalu meninggalkan Boy berdiri sendirian.
Lila, Ivon dan Kania akhirnya pergi meninggalkan Boy sendiri. Boy pun
akhirnya dengan perasaan malu banget pulang meninggalkan kafe yang
menjadi neraka buatnya malam itu. Mimpi apa gua semalam, bisik hatinya
seperti nggak percaya dengan apa yang telah terjadi.
tanda panggilan masuk. Aku tak ingin melihat siapa yang menelpon malam
gini,tapi telepon itu tidak berhenti berdering.
Ku coba melirik handphone dan melihat sebuah nama yang taka
sing,karena ternyata yang telepon itu adalah Ihsan. Dengan segera aku
menganggat telepon.
Assalammualaikum, Ndi. Sebuah salam yang terdengar dari seberang
namun kali ini Ihsan berubah karena memanggilku Indi.
Walikumsalam,gimana ada apa? dengan gaya biasa karena tetep aku
jaga gengsi. Hehehe..
kok belum tidur,Ndi,dengan nada datar dan tanpa dosa.
belum aja,belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa belum tidur juga?
Kok panggilnya kamu ?. Ihsan ini paling gak suka kalau dipanggil
kamu walaupun lagi marahan.
Aku juga Cuma jawab singkat,kamu ja panggil aku Ndi.
Malam ini begitu dingin,sekalinya telepon seperti ini. Lama sekali kami
terdiam,entah apa yang dipikirkan oleh Ihsan saat ini.
Em,tidur yuk,udah malam,nanti sakit. sebuah ucapan manis dari Ihsan
ini lumayan menyejukkan hati kalau dia masih perhatian denganku.
Aku dengan sedikit menghilangkan gengsi,ya udah tidur,besok kan
kamu kerja juga
ya udah,met malam ya. Tuttt.. Tuttt..Tutttt
Tiba-tiba telepon itu terputus,aku belum sempat membalas ucapannya.
Bahkan ucapan yang sering dilakukkan pun tiba-tiba hilang.
Aku tetap tidak bisa tidur,aku berpikir terus apa yang kamu mau sih
Ihsan,putus gak dikasih jawaban,tapi masih perhatian. Dengan gemasnya
boneka beruang yang pernah ia berikanpun jadi sasaran kemarahanku. Aku
coba mengajak bicara boneka itu,
apa sih mau mu Ihsan?
aku ini masih pacaramu bukan?
aku bingung ma kamu. Sambil kupukul-pukul boneka itu,jawab
dong,diem aja kamu.
Tiba-tiba air mata ini menetes perlahan dan dengan rasa sayang aku
memeluk boneka.
Dengan lirih aku berucap, Ihsan aku sayang ama kamu,tapi kamu bikin
aku nagis terus.
Pelukanku keboneka menemaniku hingga aku terbangun dari tidurku.
Pagi cerah ini dengan mata agak sedikit sembab mencoba untuk
bersemangat ke kampus. Hari ini bakal jadi jadwal yang paling bosen,kuliah
dan rapat organisasi hingga sore. Tapi aku berpikir ini mungkin cara
menghilangkan rasa sedihku.
Seperti biasa aku janjian dengan Sipit di kampus karena beberapa mata
kuliah kami sama jadi kadang kami sekelas. Kami mendapat julukan emak
dan anak karena tiap Sipit dating duluan yang ditanyain aku begitu juga
sebaliknya.
Dari belakang mencoba mengagetkan Sipit,dorPit,,,
yeeemb Indi,kagetin aja. Gak sedih lagi ni?
udah enggak dong,kan males mikir orang yang gak mikir aku
kenapa Ndi mata kamu,dicium nyamuk apa semut cowok
ni.hahahaha. Dengan gaya khas ketawa sambil matany merem sipit
mengejekku.
apaan sih kamu,Pit.. Ini mata sembab karena aku pompa,niatnya
matanya biar belok dan gak Sipit kayak kamu. Sambil aku membuka mata
dengan jariku dan berlari karena aku ngejek Sipit.
Seketika itu pikiranku tentang Ihsan hilang, ya walaupun Sipit gak
dengerin ceritaku, setidaknya bisa bikin ketawa aku. Karena kami punya
semboyan Kita gak sedih lagi,gak nangis lagi. Itu Cuma kalimat dari lirik
lagu Smash tapi bisa bikin seneng.
Ini ada tulisan pit,aku membaca sebuah memo kecil dari sang
pengirim.
Indi,ini flas ada sesuatunya, dilihat pas pukul 20.20. gak boleh
dilanggar
Dari : pengirim flasdisk
mb In,jangan-jangan dalemnya ada Syahrininya,tu ada sesuatu
Hahahaha,,,kamu itu aneh-aneh aja,mana muat Syahrini masuk
flasdisk
Aku masih bingung dengan ini,maksud dan isi dari flas ini apa. Kulihat
sipit mebolak balik kantong itu.
Kenapa pit,kok dibolak balik?,anak satu ini aneh banget.
ya ini kantong nyebelin mb In,gede kantongnya isinya Cuma flas. Gak
ada makanan atau apa gitu
Sambil gemesin pipinya,kamu itu,makan mulu.udah kita pulang. Jadi
gak sabar pengen liat isinya apa
Setelah sepanjang jalan memikirkan isi flas,tak terlintas akan pikiran
tentang Ihsan. Seakan beberapa hari ini aku dibuat amnesia tentang Ihsan.
Aku juga tak mengenali tulisan tangan dari si pengirim. Sebuah tanda tanya
besar dipikiran ini belum terjawab.
Malam sudah mulai larut,berulang mata ini melirik jam dinding namun
seakan jam itu berputar sangat lambat. Sudah tek terhitung berapa kali mata
ini melirik untuk menunggu pukul 20.20. rasanya tunggu sesuatu yang bikin
penasaran itu sangat menyebalkan. Setelah menunggu beberapa saat sms
masuk ke Hpku.
Dari : (085678901xxx) Sipit
Isinya apa mb Ind?
Aku segera mereplay sms sipit.
To : (085678901xxx) Sipit
Gak tau juga,ntar lagi aku buka.
Waktu yang ditunggu sudah datang,seperti anak yang mendapatkan
hadiah aku sangat begitu antusias untuk mengetahui isi flas itu apa.
Langsung ku buka dilaptopku dan hanya ada sebuah file yang berformat
video. Bergegas aku membuka video tersebut.
Sebuah video ucapan selamat ulang tahun dari Ihsan. Disitu Ihsan
menyanyikan lagu milik Ipang yang berjudul Akhirnya Jatuh Cinta, Tak Ada
gantinya, Tanpamu yang merupakan lagu favorit kita. Didalam video Ihsan
sambil bermain gitar menyanyikan lagu itu. Diakhir video itu Ihsan
mengatakan sesuatu yang sangat menyentuh.
aku sekarang tau siapa yang harus aku perjuangkan,ternyata kau harus
memeprjuangkan kamu,bila cintaku dan cintamu bersatu aku yakin cinta ini
kekal dan abadi utnuk selamanya karena kamu semangat hidupku
Diakhir kata-kata dari Ihsan membuat aku menagis terharu dan senyum
bahagia.
Beberapa saat kemudian ada yang mengetuk pintu rumah,sambil aku
menghapus air mata ini aku beranjak untuk membukakan pintu.
Saat kubuka pintu,sebuah kejutan yang termanis yang aku terima.
Happy bday to u Happy bday to u..
Aku terkejut karena Ihsan datang bersama SIpit dan SIput. Biar
jelas,siput ini adalah cowok Sipit,kita panggil Siput karena dia super karet
dan lama kalau ada janjian jalan-jalan. Kalau janjian pergi bareng jam
08.00,dia bisa baru datang jam 10.00 karena kelamaan mandi.
Aku lanjutin ceritanya, Ihsan dengan membawa kue ulang tahun
menyanyikan lagu ulang tahun bersama Sipit dan Siput. Dengan segera aku
memeluk Ihsan dan memukul Ihsan karena aku sebel dan aku bahagia. Ihsan
juga membalas pelukku sambil membisikan happy bday sayangku,
makasih sayangku, Ihsan juga mencium keningku.Dan aku kembali
memeluknya.
Eehmmmmmmm.,sipit ma siput mengagetkan kami.
Semoga waktu 2tahun itu akan berjalan cepat dan hari-hariku tak
berubah karena aku akan tetap menjaga hati ini untuknya. Untuk orang yang
telah menyayangiku setulus hati.
Sebuah lagu yang menjadi kenangan manis untuk kami adalah Ipangakhirnya jatuh cinta.
Semua terjadi tak ku sadari tak terpikir apalgi mimpi.Tapi ternyata kini
ku tak lagi berdaya.Kau memang beda dari yang pernah ku rasakan.Hanya
kau yang bisa merubah hatiku tk mungkin ada lagi yang mampu membuatku
seperti ini.Semua berubah saat bersamamu tak mungkin ku dapat kalau
tanpaumu,sangat ku nikmti mencitaimu bersamamu. Tapi ternyata kini aku
sudah bersamamu
Karena kesedihanku ini hanya sementara,karena aku percaya lelah ini
hanya sebentar dan aku tak boleh menyerah walaupun ini tak mudah. Aku
akan selalu ingat pesan dia untuk selalu tersenyum biar semakin mudah
karena kesedihan ini hanya sementara.
Dan hari-hari sepiku akan terjadi. Semoga aku bisa jalani ini semua. Dan
semoga 2 tahun lagi aka nada sebuah cerita manis yang berakhir dengan
sebuah kebahagiaan.
Demikian juga alat penimbangan kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya
pun tak ada yang muda, semua tua.
Key bercerita sambil menerawang kearah langit-langit, kalo dia sering
makan es krim disini ketika masih kecil bersama ibunya. Ia menceritakan
kesukaannya terhadap tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan
dirinya suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan bahwa
makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati dan bad mood.
Aku hanya menatap wajahnya yang masih sedikit pucat dan
mendengarkannya dengan setia karena antusias dengan apa yang ia
lakukaan atau ia ceritakan.
Semua orang hampir menyukai es krim bukan? dia menatap ku lagi.
Sialnya aku tertangkap mata karena menatapnya lamat-lamat, aku
memalingkan wajah dan menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi
dan ku jejali roti itu dengan es krim tutti fruiti-ku.
Termasuk kamu yang rakus, makan es krim sama roti protes nya
sambil tertawa kecil melihat kelakuanku melahap roti isi es krim.
ini Enaaak, coba deh Key sambil menyodorkan roti isi eskrim
kepadanya sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Key
lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum lagi tanda
setuju kalo itu kombinasi yang enak.
yeee, enak kan, sekarang Key ketularan rakus aku tertawa puas. Dan
key menjewer pipiku lagi. Kami pun kembali tertawa riang.
Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku dan Key seolah
pasangan kekasih romantis, yang sedang bersenda gurau. Tapi mereka salah
besar. Kami tidak pacaran, tepatnya key punya pacar. Key berpacaran
dengan Amerina. Mengenai Key dan Amerina aku tak tahu banyak karena
Key jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku mereka
menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di bangku SMA, lalu mereka
saling menyukai dan berpacaran, Amerina adalah gadis cantik, anggun,
smart dan terlihat kalem, menurutku Amerina seperti Key versi cewek.
Hanya itu yang ku tahu.
Pulang yuk ran, nanti ketinggalan jadwal nonton Tsubatsa ajak Key
kepadaku sekaligus mengingatkan.
Iya, hampir lupa..ayook jawabku sambil beranjak dari kursi. Mengikuti
punggung Key yang sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan kedai itu.
***
2 Tahun yang lalu. Di kedai es krim yang sama. Key tersenyum simpul
penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan kemeja abu-abu bermotif kotakkotaknya kali ini rambutnya terikat rapih.
Ta daaaa, Happy Birth Day Key menyodorkan sesuatu. Aku diam
terpaku tak menyangka. Sebuah surprise !!
Malam itu di hari ke lima belas di bulan September, Key membuatkanku
kue ulang tahun dengan motif bola dengan dominasi warna biru dan putih,
seperti warna club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan Happy
Birth Day Rana diatas kepingan cokelat putih yang membuat kue itu
semakin cantik dan tak lupa lilin dengan angka kembar dua-puluh-dua.
Jangan lupa berdoa dan make wish ya Key tersenyum Simpul lagi.
Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan mata dalam dua
detik membuat permohonan. Kami merayakannya hanya berdua saja.
Menikmati kue tart buatan Key dan es Krim tentunya.
Rio, belum telepon juga? Key bertanya singkat.
Rio? Kenapa Key nanya Rio lagi sih?. Aku hanya menggeleng. Singkat
cerita, Rio adalah pacarku. tepatnya seminggu yang lalu, jadi sekarang dia
sudah menyandang gelar mantan pacar. Rio dan Aku bertahan pacaran
hanya lima bulan saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Damn
Realtionship, atau pacaran jarak jauh, Akhir-akhir ini komunikasi kami mulai
terasa tidak lancar. Ditambah Rio yang tidak pernah suka dengan hobiku
yang menyukai sepak bola. Terkadang itu menjadi bahan pertengkararan
kami. Pada akhirnya kami memutuskan hubungan secara baik-baik. Tak ada
yang harus di pertahankan.
Sudah, jangan sedih. Mungkin dia sibuk ujarnya seraya menghiburku.
Puh, tak ada telepon pun tak masalah bagiku, lalu ku hanya diam dan
menikmati es krim dan kuenya lagi.
yang penting Ujar Key. Hening sejenak. Aku menunggu Key
melanjutkan kalimatnya. Ayah dan Adik, sudah telepon lanjutnya sambil
tersenyum.
Aku mendongak, menatapnya lekat-lekat lalu membalas senyumannya
Tentu saja, itu yang penting timpalku kepadanya. Kamu juga penting Key.
Key selalu peduli dan selalu mencoba menghiburku. Seorang teman
yang selalu ada untukku, diberikan surprise seperti ini adalah pertama kali
dalam hidupku, ada orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat
perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang teman seperti
Key yang melakukannya. Teman? Lalu bagaimana dengan Amerina? Apakah
dia melakukan hal yang sama kepadanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba muncul di kepalaku, Mengapa aku
ingin tahu detail bagaimana Key memperlakukan Amerina? Bukan kah
sebelumnya aku tak pernah peduli?
Barusan make a wish apa? Pertanyaan Key membangunkan ku dari
lamunan akibat pertanyaanpertayaan aneh yang bermunculan dari
kepalaku.
Rahasia Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka jahil.
Pelit Key pura-pura ngambek.
Anyway Key, thank a lot, youre my best Aku tersenyum. aku bahagia
malam ini.
Any time, Ran balas Key. Tersenyum simpul.
Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku menyadari seorang duduk
dihadapanku seperti sebuah es krim yang dalam diamnya terlihat cool,
dalam senyumnya terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia
yang membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang tak bisa
aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus matematika, dan tak bisa
aku urai seperti senyawa kimia, dan sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi
hidup dan berdetak, dan kadang membuat dada ini sesak.
***
Segerombolan awan hitam, tak hentinya menumpahkan air kebumi,
menadakan besarnya kerinduan langit pada bumi. Debu-debu yang
menempel di jalanan dan gedung tua pun ikut terhanyut olehnya,
membuahkan aroma tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari
pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun, semua interiornya
tetap tua di makan usia.
Dua jam yang lalu, aku dan Key duduk bersama di kedai ini, wajahnya
sudah tak sepucat dan setirus dulu, rambut nya pun tak seberantakan dan
sepanjang satu tahun yang lalu, Key terlihat baik-baik saja bukan?, Namun
tak ada sedikit pun senyum didalam air muka Key, Dia bersikap dingin,
sedingin es krim di mangkuk dan cuaca di luar sana.
Kenapa gak ada kabar ran? Key menatapku serius. Nada suaranya
dingin.
Aku tak sanggup memandang key, hanya tertunduk dan diam, lidah ini
kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
Aku sibuk Key Aku berbohong. Maaf Key, aku memang keterlaluan
ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang nyaris keluar.
Setelah mendengar kata maaf itu Key langsung mehenyakan
punggungnya kesandaran kursi, seperti tak percaya hanya mendengar kata
maaf dari seorang sahabat yang hanya pamitan lewat sms dan setahun
kemudian tak ada kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku
tahu Key pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini makin
menguasai, persahabatanku dengan Key terasa bias, tepatnya hanya aku
Ya Gw tahu, itu surat dari Dannis kan? Dia ngajak kencan? Soalnya
nanti malam dia mau omongan Via tertahan dengan kedatangan
seseorang yang dari tadi dibicarakan.
Dannis.. sahut ku dan Via kaget.
Aduh hampir saja bisik Via pelan.
Kenpa Vi? tanyaku penasaran.
Ohh enggak! Gw kayaknya ngedadak gak mau kekantin deh!
Lantas loe mau kemana Vi? tanyaku semakin heran.
Ke WC ya Vi? ya udah sana! tangkas Dannis plus kedipan kecil dimata
kirinya.
Oh ya bener, hhehhe
Via telah berlalu, sekarang tinggal aku dan Dannis.
Gimana? Tanya Dannis.
Gimana apanya Nis?
Tuu tunjuknya ke arah kertas dijemariku.
Oh oke deh aku mau
Ya udah Gw cabut dulu ya! sahutnya salah tingkah.
Oh ya aku tak kalah salting.
Perlahan Dannis meninggalkan kelas, namun sebelum dia benar-benar
pergi dia memanggilku.
Hmmm. Vi jangan ampe telat ya!
Ok sipp!
Awas loh
Iya bawel
***
Dengan berurai air mata dan kecewa, aku putuskan untuk pulang
kerumah. Sesampainya dirumah aku semakin kacau dengan disuguhi omelan
Bunda, yang malah bikin hatiku semakin hancur saja. Beribu pertanyaan
Bunda menghujani aku.
Dari tadi kamu kemana saja?
Aku hanya terdiam kaku tanpa menjawab pertanyaan Bunda.
Jawab! kali ini nada suara Bunda meninggi,
Kamu tahu? anak perawan gak baik keluyuran jam segini! sambung
Bunda.
Aku masih tak memberikan respon apa-apa.
Plakkk
Sebuah tamparan menggores pipiku, Oh Tuhan sakit sekali bisikku
dalam hati.
Bunda jahat! aku segera masuk kekamar, kututup rapat pintu
kamarku.
Malam ini sungguh menjadi malam yang paling berat untukku. Ini
adalah kali pertama Bunda menampar dan memarahiku. Belum lagi dengan
perasaanku yang masih kecewa karena kencan pertamaku gagal, karena
Dannis tak hadir diundangannya sendiri.
Oh Tuhan, semalang itukah nasib ku?
Aku kembali terhanyut dalam tangis, hingga akhirnya aku tertidur pulas.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Fikirku
sudah matang, sesampainya disekolah akan ku beri tamparan mereka
berdua.
Via sama Dannis itu dari mulai sekarang bukan temanku lagi, teman
macam apa mereka? Berani ngerjain aku ampe separah itu! gerutuku kesal
Kakiku masih mengayuh, menyusuri pinggiran jalan kota yang ramai.
Namun saat aku melewati Taman Kota kakiku serasa tertahan, aku
mengingat peristiwa tadi malam.
Cuihh.. aku bakalan balas semua rasa sakitku tadi malam! aku
kembali bergerutu kesal.
Aku samakin kesal saat aku menyadari banyak kelopak bunga mawar
berantakan diruas jalan.
Apa-apaan nih, mereka kira aku lagi jatuh cinta apa? dunia pun seakan
menertawakan rasa sakitku dengan menabur bunga di jalanan yang aku
lewati ini.
Aku berlari kencang meninggalkan keanehan yang membuat aku
semakin gila. Tak membutuhkan waktu yang lama aku telah sampai
disekolah.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari dua orang biadab itu.
Tiga puluh menit telah berlalu, aku sudah mengubek-ubek isi sekolah tapi
hasilnya nihil, keduanya hilang bak ditelan bayang. Hingga bell masuk pun
tiba, tapi keduanya tak kunjung masuk kelas. Sampai pelajaran dimulai, baru
sepuluh menit seseorang mengetuk pintu kelas. Aku terperajat kaget Aku
haraf itu Dannis atau Via. Tapi ternyata bukan, dia adalah Bu Jen, wali kelas
kami.
Pagi anak-anak
Pagi Bu jawab murid hamper serempak.
Pagi ini ibu dengan berat hati akan mengabarkan kabar duka kepada
kalian. Semua anak kelas dua belas terlihat tenang mendengar penjelasan
Bu Jen.
Salah satu teman kita, Dannis. Semalam mendapat musibah, dia
mengalami kecelakaan yang cukup parah, hingga nyawanya tidak dapat
tertolong. Suara Bu Jen semakin melemah.
Suasana berubah menjadi pilu, tangisan mulai tumpah ruah dimanamana. Aku sendiri terpasung dalam diam, jantungku berdegup dalam kisah
sedih yang tak tertahankan.
Dannissssss!!!!!
Aku berteriak sekencang-kencangnya, aku berlari dan terus berlari.
Hingga akhirnya aku telah bertepi di ruas jalan di dekat Taman, dimana aspal
dipenuhi kelopak bunga yang telah layu diinjak pengguna jalan.
Oh Tuhan ternyata kelopak bunga ini dipenuhi cipratan darah
Diri ini semakin berguncang hebat, saat aku temui secarik kertas.
Dear
Asmi (Calon Kekasihku)
From : Dannis
Kertas kotor bernoda darah itu aku peluk sekuat-kuatnya.
Dannis..Hiks kepala ini semakin tak tertahan, dan akhirnya aku
terkapar dalam ketidaksadaran.
***
Mata ini pelan-pelan mulai menatap jelas orang-orang disekelilingku. Ku
lihat dengan pasti wajah Bunda dan Via penuh dengan kehawatir dan
penasaran.
Asmi kayaknya udah sadar Tant
Iya
Aku kenapa Bund? tanyaku dengan nada berat.
Bunda dan Via menatapku pilu. Aku mulai mengingat deretan kejadian
sebelum aku terkapar dalam tempat tidur ini,
Dann. Ucapanku terhenti karena sentuhan telunjuk Bunda di bibirku.
Bunda menganggukkan kepalanya petanda mengiyakan setiap halus
ucapanku,
Iya, kamu yang sabar ya nak
Lagi-lagi aku terpaku dalam diam, hanya linangan air mata yang
mengalir
deras
dipipiku.
Via memeluku erat,
Maafin Gw ya Mi, Hiks Gw tahu, Gw gx mampu jaga Dannis buat
Loe.
Hiks Dannis
***
Satu minggu sudah aku mengurung diri dikamar, tanpa bicara dan tak
ingin brtemu siapa-siapa.
Tukk tukkkk..
Seseorang mengetuk pintu kamarku
Asmi , nih ada Nak Via pengen ketemu kamu.
Pergi Kamu!! bentakku kasar, dan lemparan bantal tepat mendarat
diwajah Via saat Bunda membuka pintu kamarku.
Mi ini Gw, Via
Pergi kamu!!! Kamu yang udah bikin Dannis meninggal!!!
Ya Gw Mi, Gw yang udah nagsih buku Diary loe itu ke Dannis, yang
membuat Dannis sadar tentang semua perasaan Loe ke dia. Tapi asal Loe
tahu Diary Loe itu juga yang bikin Dannis sadar kalo cintanya gak bertepuk
sebelah tangan!
Jadi Dannis.. ucapanku terhenti, perlahan aku mendekati wajah Via
yang basah karena air mata, Bohong! bentakku bringas.
Gak Mi!
Alah itu akal-akalan kamu aja, biar aku enggak ngerasa terhianati
sahutku sinis.
Gak Mi, Loe gak sadar waktu malam itu Dannis terlambat tiga puluh
menit, dia terus manggin-manggil Loe, tapi Loe gak denger, ucapannya
terhenti, sesaat Via mengambil nafas panjang Loe malah sibuk sama riasan
Loe itu, sampai akhirnya dia tertabrak karena lari kearah Loe!
Bohong!
Tidak! Gw liat dngan mata kepala Gw sendiri, Gw yang anter Dannis ke
Taman karena dia kelamaan milih bunga di toko bunga nyokap Gw.
Dannis.Jadi
Jadi gak ada yang terhianati disini, Dannis bener-bener cinta sama Loe
Mi! Pliese Loe jalani hidup Loe lagi, buat Dannis Mi!
Hiks.
Aku menangis sejadi-jadinya, tapi itu akan menjadi tangisan terakhirku.
Karena aku telah berjanji untuk menjalani kehidupan ini dengan sebaik
mungkin. Karena aku mencintai Dannis, laki-laki yang mencintai aku.
***