Anda di halaman 1dari 22

Seragam

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali
saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.

Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk
masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat
rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk,
tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang
berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Isnin.
Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa
diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.

Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena
keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga
kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan
padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya
sejak itu.

”Jadi, apa yang membawamu kemari?”

”Kenangan.”

”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu
kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”

Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan
meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.

Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu.
Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya.
Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya.
Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.

Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang
ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia
menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan
pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan
yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di
sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu
ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir
setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan
kesahajaan hidup keluarganya.

Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya
langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering
memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk
mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai
koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar
berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan.
Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat
saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari
Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk
bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga
seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari
jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.

”Tanggung,” jawabnya.

Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu
berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah
melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik
cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau,
tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal
terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana
sendirian.

Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit,
dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di
pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan
saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit
masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa
menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak
memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.

Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor
jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya
yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga
minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung
saya!

”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk


dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan
kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh
dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk
berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu.
Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan
justru berubah menjadi teror yang mencekam!

Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung
hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya
yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan
seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan
kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa
kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia
menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk
tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti
memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya
kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.

Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi
tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya
untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama
hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan
Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.

”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.

”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya.
Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih
memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”

Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya
menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri
dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.

Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat
kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang
tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu
ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri
dan dua anaknya hingga kini.

Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia
bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.

”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua
dia semakin tidak tahu diri.”

”Ulahnya?” Dia mengangguk.

”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga.
Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan
mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki
rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini
beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus
sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah
beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.

”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada
kesungguhan dalam suaranya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu.
Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula
yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu.
Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul
dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai
jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya
bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari
sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang
akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Mayat yang Mengambang di Danau

Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin
menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti
berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.

Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila
kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk
menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak,
hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu
mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak
menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu
lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan
lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.

Kacamata yang digunakannya untuk menyelam memang sudah terlalu tua dan agak kabur
jika digunakan untuk melihat dalam keremangan, yang kali ini tampaknya masih akan
bertahan cukup lama, karena langit mendung dan mega hitam bergumpal-gumpal. Dari dalam
air, tanpa harus melirik ke permukaan, tahulah Barnabas hujan rintik telah menitik di seluruh
permukaan danau. Namun apalah artinya hujan rintik-rintik bagi seseorang yang menyelam
dan memburu ikan, bukan? Barnabas terus berenang di dalam air nyaris seperti ikan,
memburu ikan, tanpa ikan-ikan itu harus tahu betapa jiwanya sedang terancam. Tentu ia
mengenal ikan seperti mengenal dirinya sendiri.

Ikan-ikan tak berotak, pikirnya, pantaslah begitu mudah ditombak.

Namun Barnabas juga tahu, justru karena otak ikan sangat amat kecil, sehingga tidak
mencukupi untuk berpikir, naluri ikan terhadap bahaya bekerja dengan kepekaan tinggi. Jadi
Barnabas pun tetap harus menipunya. Makanya ia pun berenang seperti ikan, mengapung
seperti kayu, menyelam seperti pemberat—dan sekali tangannya bergerak, memang harus
melesatkan tombaknya lebih cepat dari bekerjanya naluri ikan. Ia telah memperhatikan,
betapa ikan dalam rombongan akan lebih kurang berhati-hati daripada ikan yang berenang
sendirian, mungkin karena merasa aman bersama banyak ikan, sehingga memang tak sadar
bahaya mengancam.

Ikan yang terlepas dari rombongan dan kebingungan kadang lebih menarik perhatian
Barnabas. Ia suka mengintai dan mengincarnya dengan hati-hati, kadang tanpa kentara
memojokkannya, untuk pada saat yang tepat menombaknya tanpa ikan itu sempat mengelak.

Ikan merah artinya ikan gabus merah, sedap jika dibakar. Ikan gabus artinya ikan khahabei,
besarnya bisa sebesar betis, persembahan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan, tak kalah sedap
digoreng, tetapi Barnabas beranggapan minyak goreng bukanlah bagian dari kehidupannya,
karena memang tak pernah membelinya. Bahkan Barnabas tak pernah lagi makan ikan yang
diburunya itu. Jika langit yang keungu-unguan itu telah menjadi lebih terang, setidaknya dua
puluh sampai tiga puluh ikan yang bernasib malang di tangannya sudah tergantung di salah
satu tiang dermaga. Jumlah yang cukup guna menyambung hidup untuk sehari, dua hari, tiga
hari, seminggu, tak penting benar berapa lama, karena Barnabas setiap harinya menyelam jua
—kecuali, tentu kecuali, pada hari Minggu, karena pada hari itu Barnabas beribadah.
Pada hari apa pun ikan-ikan tidak beribadah, pikirnya lagi, jadi ke manakah mereka pergi hari
ini?

Bukanlah karena hujan maka ikan-ikan tidak terlihat, mungkin juga tiada sebab apa pun
selain sedang berombongan mencari makan di tempat lain dengan moncongnya yang tak
habis bergerak memamah-mamah. Namun tetap saja Barnabas merasa jengkel karena ini
membuatnya terpaksa memburu ikan lebih lama. Ia memang tak suka memasang bubu dan
tak juga suka memasang jala seperti banyak orang lainnya di pulau-pulau di dalam danau,
karena memasang bubu bukanlah berburu dan memasang jala juga bukanlah berburu,
sedangkan ia hanya ingin jadi pemburu ikan dan tiada lain selain berburu ikan seperti yang
selama ini dianggapnya sebagai panggilan.

Ada orang ingin jadi pendeta, pikirnya pula, aku ingin jadi pemburu ikan.

Dari masa kecil diketahuinya orang-orang menyelam tanpa kacamata dan bahkan bisa
mendapatkan ikan lebih banyak darinya sekarang. Mungkinkah air danau dahulu tidak seperti
air danau sekarang? Lebih jernih karena memang lebih bersih dan mata penyelam tak harus
menjadi pedas meskipun menyelam berlama-lama?

Barnabas tentu ingat betapa pada masa lalu di danau itu segala sesuatunya tidaklah sama
dengan sekarang.

Dulu tidak ada raungan Johnson, pikir Barnabas, karena perahu bolotu tidak bermesin tempel.
Dari pulau ke pulau, atau dari pulau ke daratan, orang-orang menggunakan bolotu yang
hanya perlu didayung. Kadang penumpang bantu mendayung, tetapi tanpa bantuan
penumpang pun, perjalanan dari pulau kecil yang satu ke pulau kecil lain di dalam danau
yang dikelilingi perbukitan itu tetap bisa berlangsung, tanpa peduli apakah itu cepat ataukah
lambat karena memang tiada waktu yang terlalu tepat maupun terlambat. Langit dan bumi
bersenyawa tanpa peduli detak arloji—dan Barnabas lebih suka menjadi bagian langit
maupun bagian bumi daripada arloji.

Maka tiada yang dikhawatirkan Barnabas jika pagi ini ikan-ikan seperti bersembunyi. Langit
memang gelapnya agak lebih lama karena mendung dan hujan dan tentu saja ini harus
dianggap biasa saja, begitu biasa, bagaikan tiada lagi yang lebih biasa, dan sungguh Barnabas
sama sekali tiada keberatan karenanya.

Aku sabar menunggumu ikan, batinnya, setiap orang harus cukup bersabar menantikan
makhluk yang akan menyerahkan jiwa hari ini demi kelanjutan hidup pembunuhnya. Apalah
artinya menahan lapar sejenak untuk hidup lebih lama? Nikmatilah hidupmu yang amat
sementara itu ikan, karena pada akhirnya aku akan membawamu ke pasar dan pedagang ikan
akan segera memajang dirimu di meja kayu murahan, tempat koki restoran di tepi danau itu
akan menunjukmu, membelimu, membuang sisik dan isi perutmu, lantas menggorengmu bagi
santapan para wisatawan yang akan membuang tulang-tulang dan kepalamu untuk menjadi

rebutan ikan-ikan emas di kolam yang tak tahu menahu betapa cepat atau lambat mereka juga
segera akan jadi santapan dan tulang-tulang serta kepalanya juga akan dilempar sebagai
pertunjukan kebuasan dunia yang tampaknya justru meningkatkan selera makan.

Barnabas tiba-tiba teringat, Klemen anaknya, yang putus sekolah teologia, pernah
mengucapkan suatu kata yang tak dimengertinya.
”Homo homini lupus….”

Saat itu Barnabas memang bertanya, apa maknanya Klemen tidak melanjutkan sekolah untuk
menjadi pendeta, menyia-nyiakan tabungan hasil berpuluh-puluh tahun berburu ikan. Di
negeri danau, tempat setiap bukit berpuncak salib, menjadi pendeta adalah kehidupan terpuji.

Namun inilah jawaban Klemen anak tunggalnya itu, yang pada suatu hari tiba-tiba saja
muncul kembali dari balik kabut di atas danau sambil mendayung bolotu, meninggalkan
sekolah di kota untuk selama-lamanya.

”Apalah artinya memuja langit, tapi membiarkan darah mengotori bumi….”

Selama tinggal di rumah mereka, tempat kecipak air danau selalu terdengar dari bawah lantai
papan dari malam ke malam, Klemen tampak sering tepekur. Ibunya sudah lama meninggal
karena cacing pita dan mereka hanya hidup berdua saja, sampai Klemen pergi ke kota, atas
restu pendeta, untuk belajar menjadi pendeta.

”Kampus tempat belajar agama pun diobrak-abrik tentara,” katanya, ”benarkah sudah cukup
kita hanya berdoa?”

Barnabas bukan tak mendengar orang-orang berbicara dengan nada rendah tentang
penembakan dan kerusuhan di berbagai tempat lainnya. Klemen pernah membacakan pesan
pada benda kecil yang sering digunakannya pula untuk bicara.

Aku masih di hongyeb, beberapa hongibi, dan syidos tahu persis siapa pelaku penembakan di
gidinya, bekas nyahongyeb Dadbdedsya katanya punya data nama-nama pelaku penembakan.
Mereka adalah (self-censorship oleh pengarang) yang menyamar sebagai pasukan sagangrod
Tjhitgosoe ede dede nyalabi, seragamnya sama dengan sagangrod ini, senjatanya yang beda.
Ini informasi A1, tapi kudu hati-hati, kami media tinggal tunggu siapa otoritas yang berani
sebut siapa mereka. Jangan percaya omongan para petinggi munafik….

Barnabas sungguh tak mengerti apa yang harus dikatakannya. Negerinya hanyalah sebatas
danau dengan tiga puluhan pulau yang dikelilingi tebing serba terjal dan meliuk berteluk-
teluk itu. Ia tidak pernah tahu dan tidak butuh apa pun yang lain selain cakrawala negeri
danaunya itu, yang telah memberikan kepadanya mega-mega terindah di langit biru, bukit-
bukit menghijau, dan kedalaman di balik permukaan danau tempatnya memburu ikan-ikan
yang baginya merupakan segala dunia yang lebih dari cukup. Ditambah khotbah para pendeta
yang menyejukkan setiap akhir pekan dan pesta rakyat dari segenap pulau setiap tahun, itu
semua sudah lebih dari apa pun yang bisa dimintanya.

Namun Barnabas merasakan perubahan yang terjadi belakangan ini, bahwa pendeta yang
tidak bicara tentang kemerdekaan gerejanya akan sepi.

***

Hujan tampak menderas dan ketika Barnabas mengambil napas di permukaan danau memang
sepanjang mata memandang hanyalah dunia yang kelabu karena tirai hujan dengan latar
belakang bayangan punggung perbukitan di kejauhan.
Perutnya terasa agak lapar tetapi tenaganya sama sekali belum berkurang. Ia bisa membawa
ikatan dua puluh sampai tiga puluh ekor ikan ke pasar, tetapi jika hanya membawa sepuluh
atau lima belas pun tidak ada yang harus disesalinya sama sekali. Bahkan jika ikan yang
ditombaknya cukup besar—dan ikan-ikan terbesar suka menyendiri—maka seekor atau dua
ekor pun justru akan dibayar lebih tinggi daripada sepuluh ikan yang biasa.

Ya, ikan-ikan tak tahu kapan akan mati, batin Barnabas, tetapi pagi ini tampaknya belum ada
yang akan mati. Setidaknya di dekat permukaan ini.

Maka Barnabas menyelam, menyelam, dan menyelam semakin dalam, ke tempat ikan besar
biasanya menyendiri.

Namun gagasan tentang ikan besar yang menyendiri ini, yang memisahkan dirinya secara
alamiah karena tak dapat lagi berombongan ke sana kemari dengan ikan-ikan kecil meskipun
dari jenisnya sendiri, mengingatkan Barnabas kepada dirinya. Sedikit pemburu di antara
penjala dan pemasang bubu, dan di antara pemburu yang biasanya bekerja siang atau malam,
hanyalah Barnabas yang selalu bekerja tepat menjelang fajar merekah—jelas membuatnya
berbeda, keberbedaan yang mungkin menurun kepada Klemen. Memang banyak hal tak
dimengertinya pula dari gagasan-gagasan Klemen, apalagi ketika ia bicara tentang pernyataan
untuk merdeka….

Manusia kadang masih seperti ikan, pikirnya, tak dapat bercampur baur dan hanya nyaman
dengan golongan sejenisnya.

Di danau itu telah dimasukkan ikan dari tempat asing, seperti ikan gabus Toraja, yang
ternyata lebih suka memakan telur ikan gabus asli dari danau itu maupun ikan-ikan lainnya.
Ikan gabus asli yang disebut khahabei itu harus dicari para penyelam di bagian danau
terdalam. Sedangkan ikan lohan yang juga asing di danau itu, tak hanya memakan telur-telur
ikan gabus, anak-anak ikan gabus, dan ikan-ikan kecil lain, tetapi juga udang dan jengkerik .
Maka ikan-ikan asli lain seperti ikan seli, ikan gete-gete besar dan kecil, ikan gastor, ikan
gabus merah, ikan gabus hitam yang dahulu berlimpah kini hanya tertangkap dalam jumlah
sedang; yang masih banyak tinggal ikan-ikan hewu atau ikan pelangi, tetapi ikan kehilo
semakin susah dicari, mungkin karena makin jauh bersembunyi, mungkin juga memang
tinggal sedikit sekali. Tempat mereka telah diisi ikan-ikan asing yang disebut ikan mata
merah, ikan tambakan, ikan sepat siam, ikan nila, ikan nilem, dan ikan mas. Barnabas tahu
benar, dahulu setidaknya terdapat dua puluh sembilan jenis ikan, termasuk ikan laut yang
masuk dari muara sungai di sebelah timur, dan sekarang hanya enam belas jenis, itu pun
tinggal sembilan jenis yang asli.

Ikan makan ikan, apakah manusia tidak memakan manusia? Barnabas tidak terlalu peduli
apakah ia pernah menjawab pertanyaannya sendiri.

Sudah beberapa hari Klemen menghilang. Tetangganya menyampaikan kadang ada orang
datang bertanya-tanya tentang Klemen—bukan, mereka bukan sesama penduduk di negeri
danau yang saling mengenal sejak dilahirkan. Perahu bolotu yang digunakan Klemen juga
masih di tempatnya, ketika beberapa malam lalu mendadak terdengar deru perahu Johnson di
kejauhan pada tengah malam. Penduduk yang masih terjaga saling berpandangan. Mereka
yang terbiasa menyendiri memang harus menghadapi segala sesuatunya sendirian.
Barnabas menyelam makin dalam, bahkan sampai menyentuh lumpur di dasar danau. Seekor
ikan khahabei besar yang waspada berkelebat, mengepulkan lumpur yang segera saja
menutupi pandangan. Barnabas tidak dapat melihat apa pun. Cahaya yang sejak pagi tidak
pernah lebih terang dari kekelabuan dalam hujan, di dasar danau ini tak dapat juga
memperlihatkan sesuatu kepada Barnabas.

Namun di antara kepulan lumpur pekat Barnabas merasakan sesuatu datang dari dasar danau
dan ia segera menghindarinya. Tak urung, sesuatu yang mengambang karena gerakan ikan
khahabei itu telah melepaskan keterikatannya dari akar-akaran di dasar danau, menyentuh
tubuhnya juga dalam perjalanan ke permukaan danau.

Ia terkesiap dan melepaskan dirinya dari kepulan lumpur, melesat dan menyusul sesuatu yang
segera jelas merupakan sesosok mayat. Dari balik kacamata selamnya yang buram, matanya
terpaku kepada sosok itu, yang perlahan tetapi pasti menuju ke atas sampai mengapung di
permukaan danau. Dengan cahaya yang sedikit lebih baik daripada di dasar danau, meskipun
tidak terlalu jelas, Barnabas dapat memastikan bahwa tangan dan kaki mayat itu terikat, dan
pengikatnya adalah robekan bendera bergaris biru putih, sedangkan mulutnya disumpal
dengan kain merah.

Di permukaan itu hujan bukan semakin mereda tetapi menderas. Angin keras menyapu
seluruh permukaan danau, sehingga air hujan yang turun dari langit tersibak bagaikan tirai
raksasa yang melambai-lambai. Di antara deru angin yang menarik-narik daun pohon nyiur di
semua pulau, terdengarlah jeritan panjang dari tengah danau.

”Klemeeeeeeeennnn!”

Jayapura, 12-14 November 2011


Cintaku Jauh di Komodo

Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis
melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku
melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam,
tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat
hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat
setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi
pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan
besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya
sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di
dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan
cinta abadi.

Aku mengatakannya semacam takdir, karena kami memang tidak terpisahkan, tapi aku hanya
berani mengatakannya semacam takdir, dan bukan takdir itu sendiri, karena sesungguhnyalah
aku tidak akan bisa tahu apakah benar cinta kami yang barangkali abadi itu adalah takdir.
Kami seperti tiba-tiba saja ada dan saling mencintai sepenuh hati, tapi sungguh mati memang
hanya seperti dan sekali lagi hanya seperti, karena sesungguhnyalah hubungan cinta kami
yang barangkali abadi itu adalah sesuatu yang diperjuangkan. Cinta yang abadi kukira
bukanlah sesuatu yang ditakdirkan, cinta yang abadi adalah sesuatu yang diperjuangkan
terus-menerus sehingga cinta itu tetap ada, tetap bertahan, tetap membara, tetap penuh
pesona, tetap menggelisahkan, tetap misterius, dan tetap terus-menerus menimbulkan tanda
tanya: Cintakah kau padaku? Cintakah kau padaku?

Setiap kali kami mati dan dilahirkan kembali, kami selalu bisa saling mengenali dan
mengusahakan segalanya untuk menyatu kembali. Kami memang diciptakan dari sepasang
bayang-bayang, dan bayang-bayang bisa berkelebat menembus segala tabir, namun kami
tidak pernah lahir kembali sebagai sepasang bayang-bayang yang bisa berkelebat seenak
udelnya. Kami sering dilahirkan kembali sebagai manusia, dan sebagai manusia kami tidak
bisa berkelebat seenak udel kami, begitu juga bayang-bayang kami yang selalu mengikuti,
menempel seperti ketan, lengket bagai benalu, barangkali menunggu kami mati dan menjadi
pasangan baru. Apabila kami berbeda kulit, kemudian berbeda kelas sosial, lantas berbeda
agama pula-betapa beratnya usaha kami menyatukan diri. Walaupun kami terbukti saling
mencintai, terlalu banyak manusia merasa berhak untuk tidak setuju dan melarang hubungan
kami. Apalagi jika kami lahir kembali masing-masing sebagai pasangan resmi orang lain,
nah, tiada seorang pun yang akan mengizinkan dirinya untuk memahami, bahkan kami pun
bisa bingung sendiri.

Demikianlah cinta kami selalu diuji, benarkah begitu kuat usaha kami untuk menyatu
kembali, ataukah cinta kami ini hanya cinta begitu-begitu saja yang terlalu mudah menyerah
karena berbagai macam halangan yang sebenarnya bisa saja diatasi. Memang begitu banyak
godaan kepada kesetiaan cinta kami: bisa berwujud harta kekayaan, bisa berupa kursi
kekuasaan, tapi yang paling berbahaya adalah pesona cinta itu sendiri. Hmm. Cinta diuji oleh
cinta. Sering kali ini sangat membingungkan-tetapi selalu bisa kami atasi. Cinta yang sejati,
kukira, hanyalah menjadi sejati jika tahan uji terhadap cinta yang sama hebohnya, yakni cinta
yang dahsyat itu, dengan segenap petir dan halilintarnya yang tanpa kecuali menggetarkan
dan mendebarkan hati. Kesetiaan kami masing-masing telah membuat kami selalu bertemu
kembali, begitulah, meski terkadang penuh dengan luka-luka cinta di sana-sini karena
ketergodaan yang terlalu menarik untuk tidak dilayani.

Apabila kami bertemu dari kelahiran satu ke kelahiran lain, kami akan saling mengenali,
meski perbedaan duniawi yang membungkus kami bisa mengakibatkan masalah berarti.
Itulah yang terjadi misalnya ketika aku lahir sebagai pendeta dan kekasihku lahir sebagai
putri raja. Lain kali aku lahir kembali sebagai perempuan dan kekasihku lahir kembali tetap
sebagai perempuan. Suatu kali bahkan ketika lahir kembali sebagai bayi, kekasihku sudah
lahir berpuluh tahun sebelumnya dan hampir mati. Tetapi, tidakkah cinta itu tiada
memandang wujud, dan tiada pula memandang usia? Jika cinta memang mempersatukan
jiwa, maka kesenjangan tubuh macam apakah yang akan bisa menghalanginya? Justru itulah
masalahnya sekarang: apakah aku, sebagai manusia biasa, masihbisa mencintaikekasihku,
jikakekasihku itutelah menjadi komodo?

Hanya laut. Hanya kekosongan. Laut dan langit bagai bertaut, tapi mereka sebetulnya tidak
bersentuhan sama sekali. Apakah aku akan bisa bertemu dengan kekasihku kali ini? Tanda-
tanda alam memberi isyarat kepadaku, kekasihku telah dilahirkan kembali dalam wujud
seekor komodo, yang sekarang berada di Pulau Komodo. Sebagai seekor komodo, kekasihku
menimbulkan masalah besar, karena telah memakan seorang anak gadis yang sedang mandi
di sungai. Perburuan liar telah mengurangi jumlah kijang yang biasa dimakan komodo,
sehingga kekasihku dengan kelaparannya yang amat sangat telah menerkam dan menelan
seorang anak gadis berusia 12 tahun. Karena undang-undang melindungi komodo, maka
kekasihku tidak dibunuh, melainkan dibuang ke suatu wilayah di Pulau Flores yang juga
dihuni komodo. Namun, di tempat yang baru itu, kekasihku dianggap sebagai komodo asing

yang dimusuhi oleh komodo-komodo lain. Akibatnya, kekasihku berenang dan menyeberangi
laut untuk kembali ke Pulau Komodo-dan kini aku datang ke pulau itu untuk mencarinya.

Dalam sejarah percintaan kami dari abad ke abad, belum pernah kami lahir kembali dengan
berbeda spesies seperti ini. Karena kami selalu berperilaku baik, kami selalu lahir kembali
sebagai manusia-kesalahan apakah yang telah dilakukan kekasihku, dan aku tidak
mengetahuinya, sehingga lahir kembali sebagai komodo? Apakah ia masih akan mengenaliku
dengan pancaindra dan otaknya sebagai seekor komodo? Kalaulah aku masih mempunyai
kepekaan untuk mengenalinya, bagaimanakah caranya ia akan mengenaliku-dan apa yang
akan kami lakukan? Aku tidak mungkin mengawini dan membawanya sebagai seekor
komodo ke dalam apartemenku di Jakarta. Pasti Supermie tidak akan pula
mengenyangkannya. Atas nama cinta, apakah yang masih bisa kulakukan untukmu
kekasihku?

Ketika akhirnya kami berjumpa di sebuah kubangan pada sungai kering berbatu-batu, hatiku
terasa kosong. Setelah menjelajahi pulau itu selama dua hari dan bertemu dengan sejumlah
komodo, akhirnya aku bertemu dengan seekor komodo yang kuyakini sebagai kekasihku.
Rupanya kekasihku menjadi seekor komodo jantan.

Karena aku turun di kampung Komodo dan bukan di Loh Liang, tempat para petugas Taman
Nasional biasa memandu wisatawan, aku menjelajahi pulau itu siang malam tanpa pengawal.
Bersenjatakan tongkat bercabang, aku berhasil menyelamatkan diri dari serangan sejumlah
komodo, sampai kutemukan komodo jantan yang pernah memakan anak gadis itu.
Kami bertemu pada suatu siang yang panas dan aku sedang mendaki ketika kulihat ia
merayap ke arahku di bawah kerimbunan semak-semak. Apakah yang masih bisa kukenal
dari kekasihku yang cantik jelita pada komodo jantan ini? Tadinya masih kuharapkan
pandangan mata yang penuh dengan cinta, tapi hanya kulihat sebuah pandangan mata yang
kosong. Sudah jelas ia tampak kelaparan, dan kukira ia tidak mengenaliku lagi-apakah masih
sahih jika aku berusaha tetap mempertahankan cinta? Dalam keadaan seperti ini, aku menjadi
ragu, apakah cinta yang abadi itu sebenarnya memang ada, ataukah hanya seolah-olah ada
dan dipercaya begitu rupa sehingga mengelabui para peminatnya? Mungkin cinta ternyata
mengenal wujud-meskipun komodo jantan itu memang penjelmaan kekasihku, dan aku
sangat mencintainya, aku bertanya-tanya apakah aku bisa mencintainya seperti aku mencintai
kekasihku….

Aku terpeleset dari tebing, dan meluncur masuk ke kubangan, tepat di hadapan mulutnya
yang menganga. Semuanya sudah terlambat, kaki kiriku sudah masuk ke mulutnya, langsung
patah beberapa bagian. Aku tidak sempat memanfaatkan tongkat bercabang itu-apakah aku
akan lebih bahagia jika menyerahkan jiwa sebagai pengorbanan cinta? Kurasa seluruh
tubuhku tersedot masuk ke dalam tubuh komodo itu sekarang. Di dalam tubuh itu hanya
kurasakan kegelapan-dan perasaan menyatu. Kalau aku tidak keliru.

Labuan Bajo, Juli 2003

* Judul ini mengacu kepada judul sajak Chairil Anwar, Cintaku Jauh di Pulau (1946).

1. Ingatan terbalik atas sajak Afterthought : cintakah kau padanya / cintakah kau padanya
dalam Toeti Heraty, Nostalgi=Transendensi (1995), hal 75.

2. Reptil bernama resmi Varanus komodoensis yang panjangnya bisa mencapai tiga meter
dan berat 150 kilogram, dan selalu disebut hanya terdapat di Pulau Komodo, dengan jumlah
sekitar 1.650 ekor (1994). Ternyata, terdapat pula di Pulau Rinca, sebanyak 1.000 ekor; dan
suatu wilayah di Flores yang jumlahnya belum sempat dihitung. Sisa makhluk purbakala itu
baru ditemukan secara resmi pada 1911 oleh tentara Hindia Belanda dan diberi nama pada
1912 oleh PA Ouwens, kurator Museum Zoologi Bogor. Baca Linda Hoffman, “Introduction”
dan “Enter the Dragon: Visiting the Island of Dinosaurs” dalam Kal Muller, East of Bali:
from Lombok to Timor (1997), hal 111-114.

3. Bagian kisah ini mengacu kepada suatu kejadian, yang dialami seorang bocah lelaki pada
1987, namun terjadinya di Pulau Rinca, yang bersebelahan dengan Pulau Komodo, dalam
Muller, ibid., hal 111-2.

4. Kampung Komodo, terdiri atas 400 KK (2003), satu-satunya kampung di pulau itu,
mempunyai kebudayaan dan bahasa sendiri. Mereka menyebut komodo sebagai ora. Lebih
jauh baca JAJ Verheijen, Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasanya (1987), terjemahan
A Ikram.

5. Korban terakhir adalah Baron Rudolf Van Biberegg, wisatawan asal Swiss berusia 84
tahun, pada 1972, yang lenyap di Poreng, Pulau Komodo-yang tertinggal hanyalah tripod-
nya, kaki tiga untuk kamera. Muller, op. cit., hal 112.
Sesaat Sebelum Berangkat

Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar
kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara
tangisan tinggal lamat-lamat.

Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit
berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak
menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi
tiga pekan lalu.

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu
tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”

Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.

”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak,
kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”

Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku,
beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi
setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.

”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”

”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku
sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”

”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”

”Mana aku tahu?”

”Dan kamu tidak memberitahuku.”

”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”

”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”

Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk
berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru
ruangan.

Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok,


menyulutnya.
”Ia kacau sekali…”

”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”

Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”

”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”

”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku
tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang
kupikir penting menyangkut dia.”

”Apa?”

”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”

”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”

”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”

”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang
baik!”

Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk
beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.

”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.

Aku mulai merasa darahku naik.

”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”

Darahku semakin terasa naik.

”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”

Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”

Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku
gantian menyulut rokok.

”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku
akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi
buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus
SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”

Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”

”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan
tawanya.
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian
besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung
kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu
para guru…”

”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”

”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini
kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang
kelak kemudian tidak berguna.”

”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”

”Tapi kamu bukan aku.”

”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”

”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”

”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah
dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku
tahu…”

”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak
perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya.
Tapi belum pernah kesampaian.

”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”

Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali
melemparkan benda itu di mulut pedasnya.

”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”

Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada
Jendra?”

”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia
minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah
dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”

”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”

Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan
kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan
menyulut lagi sebatang rokok.

”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”


”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia
minggat ke tempatmu!”

Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan
buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan
ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan
berhubungan dengan Jendra kepada Risa.

”Rif, kamu menikah saja belum.”

”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”

”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan
kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”

”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang
merasa bisa mendidiknya!”

”Apa yang dia katakan?”

”Dia ingin pindah sekolah.”

”Itu sekolah paling favorit.”

”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”

”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”

”Itu kesalahanmu…”

”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”

”Itu menurutmu…”

”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas
untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”

”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”

”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”

”Dia ingin kursus main drum.”

”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”

”Kenapa dia tidak boleh memilih?”

”Karena dia belum bisa memilih.”

”Dia terlalu capek dengan itu semua…”


”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya
dari persaingan di masa depan.”

”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”

”Dia masih kelas satu SMA!”

”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”

”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”

”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”

”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti
anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi
aku!”

”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota
ini…”

”Aku tidak butuh informasi itu.”

Kali ini, darahku benar-benar mendidih.

”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.

”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”

Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher.
Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat
dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan
membeludak.

”Kamu langsung pulang atau menginap?”

Aku diam.

”Aku masih ada urusan kantor.”

Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.

Ia bangkit, lalu melangkah pergi.

”Risa…”

Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”

Ia kembali berjalan menuju pintu.


Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku
sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu
mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin
hanya akan semakin membuatku marah.

Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.

Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia
melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.

”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.

Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.

”Kita bisa ketinggalan pesawat…”

Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang
berangkat.”

”Kenapa bisa begitu?”

Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”

”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”

”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”

”Kamu yakin?”

Aku menganggukkan kepala.

Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia
keluar, meraih tasnya.

”Aku berangkat ya…”

Aku mengangguk.

”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”

Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke
pemakamannya.”

Mita melangkah pergi keluar.

Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang
tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku,
sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin
dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu
marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu
mendengar omonganku.

Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku
sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian
Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?

Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***


Hening di Ujung Senja

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja.
Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati,
siapa mereka berdua?

“Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,”
katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu.
Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah
pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-
akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya
melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah engkau
peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan
timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual.
Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.

“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si
Tunggul?”

“Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.

Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain
menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri
leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak
lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”

“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.

Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba
pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke
kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia
terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di
hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya
berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit
baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai
tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di
Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”

“Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum
segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.

***

Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor.
Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru
ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa
pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia
memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-
lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang
tidak mengenal belas kasihan.

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker
payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan
senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus
dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk
bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran
dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu
pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan
mengulangi ritual siklus kehidupan.

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.

Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api.
Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali
asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba
membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas
diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di
Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita
disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah
anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”.

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam
kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke
tempat istirah.

Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.

***

Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan
mencoba membaca berita yang masuk.

Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.

Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.


Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah
disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan
ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi
mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli
waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi
makamnya.

Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di
tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari
kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan
libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama
puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti.
Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan
sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan,
sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:

Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata
uang asing.

Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya
yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya.
Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir
ketika penguburannya.

Ibu Maria meninggal mendadak.

***

Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78.
Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat
terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua
anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat….

Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke
situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan
jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?

Aku tepekur.

Hening di ujung senja.

Anda mungkin juga menyukai