Anda di halaman 1dari 3

NAMA : AZAN DAFFA EFENDI

KELAS : VC

Kursi Bernyawa
Apendi

A DA sebuah sofa besar di rumah kakekku yang begitu tua dan antik hingga dapat
disebut keramat. Kursi itu terletak di ruang tamu sehingga siapa pun yang
berkunjung kerumah kakek, otomatis akan melirik ke kursi itu terlebih dahulu. Lu-
cunya, meskipun tidak ada yang melarang siapa pun untuk duduk di kursi itu, para tamu
yang datang enggan menenggelamkan diri ke dalamnya.

Mungkin mereka menyadari kehadiran arwah-arwah yang bersemayam di kursi itu.


Atau mungkin pula mereka takut ganti rugi jika kursi itu tiba-tiba rusak.

Nenek amat sayang pada kursi itu. Sewaktu aku kecil, ia seri- ng bercerita kalau
ibunya sering membacakan dongeng di kursi itu sambil memangku dirinya. Konon, aku juga
pernah mendengar de- sas-desus bahwa nenek hampir batal kawin lari dengan kakek kare- na
hatinya tidak rela meninggalkan kursi kesayangannya.

Syukurlah, setelah beberapa tahun berpisah, orang tua nenek akhirnya merestui
hubungan kakek dan nenek, dan mengundang mereka tinggal di rumahnya. Itulah pertama
kalinya ayah yang baru berumur satu tahun menginjakkan kakinya di rumah ini.

“Ayahmu, dulu itu bandel sekali! Tapi ia selalu menjadi tenang jika duduk di kursi itu
bersama dengan mainannya” kata nenek entah untuk ke berapa ribu kalinya.
Kemudian, ia pun membakar dupa dan menyembahyangi al- marhum orang tuanya dan
juga almarhum ayah dan ibuku. Setelah selesai, ia menyerahkan tiga batang dupa padaku.
Hatiku terusik perasaan bersalah. Sudah tiga tahun baru Imlek aku tidak meng- injakkan kaki
di rumah ini.

Alasan ekonomi dan kesibukan bekerja membuatku malas pu- lang ke Indonesia. Aku
juga tak pulang pada saat ayah meninggal atau pada saat kakek dirawat di rumah sakit dan
menjadi pikun.

Aku mengambil dupa dari nenek dan mendoakan arwah ayah dan ibuku agar kelak
terlahir di alam yang lebih baik. Kubuka mata dan kulihat nenek menangis. Entah tangis haru
karena kepulangan- ku atau ratap sedih karena ditinggal terlebih dahulu oleh anaknya.

Aku memeluk nenek dan menghapus air matanya.

“Tidak apa-apa. Cepat sana temui kakekmu!” katanya menyu- ruhku.

Aku pun pergi ke teras belakang rumah dan menemukan ka- kek persis berada seperti
yang diingat memori otakku saat terakhir kali aku melihatnya. Kakek sedang berayun-ayun di
kursi goyang sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus di kebun belakang. Hanya
saja kini ia sudah pikun.

“Kek, aku pulang!” kataku setelah tiba di sampingnya. Aku menggenggam tangannya
yang sudah keriput dan merenungkan kefanaan hidup ini. Kakek menengok sejenak tapi ia
tampak tidak mengenaliku, dan kembali menyendiri dalam kesepiannya. Aku se- dih
memikirkan betapa terasingnya kakek dengan dunia ini.

Apakah jiwa kakek telah menyerah setelah kematian ayah? Padahal kakek yang
kukenal adalah orang yang mengajarkanku agar jangan terikat pada hal apapun juga. Kakek
rela meninggalkan keluarganya demi menikahi nenek. Dan ia pun berhasil meyakinkan nenek
untuk meninggalkan kursi kesayangannya itu demi dirinya.

“Tentu saja kau bisa kembali lagi pada keluargamu kapan saja jika tak suka lagi hidup
denganku” cerita nenek padaku sewaktu aku masih kecil. Kenangan itu amat
mempengaruhiku sehingga aku masih tetap lajang di penghujung umur dua puluhan.

Aku masih memimpikan akan bertemu lelaki seperti kakek ya- ng rela melepasku
pergi melihat dunia tanpa perlu khawatir atau- pun cemburu.
Kupikir setiap keluarga pasti setidaknya mempunyai satu buah benda keramat yang
menjadi pusaka dan diwariskan turun- temurun. Teman kerjaku di Inggris mempunyai cermin
rias yang su- dah diwariskan dari beberapa generasi yang lampau. Ia menjaga cermin itu
dengan hati-hati dan selalu membawanya ke mana- mana. Pada saat kehilangan tasnya pun,
hal pertama yang ia cari setelah tasnya kembali adalah cermin pusakanya itu. Ia tidak
mengkhawatirkan dompet, handphone, perhiasan, maupun kartu ATM. Maka aku tidak heran
ia menjadi stress lantaran cerminnya pecah karena terjatuh.

Ia merasa nasib sial akan menimpanya karena tidak mampu menjaga warisan yang
telah berumur ratusan tahun. Sejak saat itu hidupnya berubah dan ia menjadi lebih pemurung.
Seolah ada se- suatu di dalam dirinya yang ikut retak bersama pecahnya cermin tersebut.

Karena itu, aku merasa alasanku yang ganjil tentang kepula- nganku dapat dibenarkan.
Oh ya, aku memang merindukan kakek– nenekku dan ingin bertemu lagi dengan mereka
sebelum mereka meninggal, tapi sejujurnya aku lebih merindukan kursi tua itu.

Malam ini aku lebih memilih bergelung di sofa besar itu dari- pada tidur di kamar yang dulu
kutinggali. Aku mendapatkan perasaan aneh seakan-akan ini kali terakhirnya aku duduk di
kursi ini.

Dan aku bermimpi indah sekali.

Aku dapat melihat nenek sewaktu masih kecil duduk di kursi itu sambil berusaha
mengeja kata-kata yang terdapat di dalam bu- ku dongeng kesukaannya.

Aku juga melihat ayah bersama mainan mobil-mobilan dan ro- botannya, sedang
mengkhayalkan perang galaksi yang sedang ter- jadi.

Dan aku juga memimpikan ibuku. Ibu yang tidak kukenal kare- na meninggal pada
saat aku lahir. Ia sedang duduk di kursi ini, me- nyusuiku dan bertanya-tanya seperti apa masa
depanku kelak. [*]

Anda mungkin juga menyukai