Anda di halaman 1dari 3

POHON KAKEK

(Putu Agus Phebi Rosadi)

S EJAK seminggu kakek terbaring lemas di ranjang. Dia selalu merintih sembari
memegang dadanya.
“Tidak apa-apa, nanti juga sembuh,” katanya.Seminggu ini kami begitu cemas
merawat kakek. Terlebih ibuku, setiap pagi ia pergi ke hutan kecil di belakang rumah.
Mencari daun semak untuk ditumbuk dan ditabur di atas dada kakek sebagai obat luar. Kada-
ng ibu menyeduhkan kakek teh dari daun sirsak.
“Ini rahasia dari nenek, akan meredam racun getah temba- kau,” kata ibuku.
Berbagai cara telah ditempuh ibu untuk menyelamatkan satu- satunya orangtuanya
yang tersisa. Rasa gamang pada kehilangan. Aku paham mata ibu, sorot kecemasan bakal
kehilangan kakek. Matanya begitu sayu, tak bergairah. Ah, semoga tak lekas, semoga tak
bergegas.
Hari ini hujan mulai deras. Aku duduk di tubir jenjang. Meman- dang sebuah pohon
yang tegak, menjulang dan rindang seperti se- buah payung yang besar. Kutaksir usianya
sudah seratus lebih. Tak ada yang tahu jelas waktu penanamannya. Pohon itu ditanam di hari
kelahiran kakek. Kebiasaan orang-orang di desa kami memang seperti itu. Setiap orang yang
lahir akan ditandai dengan menanam sebuah pohon di pekarangan rumah. Ah, tidak hanya di
hari kela- hiran. Banyak tumbuh pohon di pekarangan rumah kami. Setiap pohon memiliki
riwayatnya sendiri. Setiap pohon memiliki hak pe- nanda tersendiri.
Pohon besar itu kunamai pohon kakek. Pohon yang paling rin- dang di halaman. Pohon
yang ketika malam seolah melambai me- manggil sejuk angin timur, biar lelap kami tertidur.
Entah sebab apa. Serangga-serangga begitu betah membangun rumah di po- hon itu. Serangga
yang dulunya migrasi dari pohon lain. Kini telah membangun mukim baru yang tenteram.
Serangga-serangga itu memamah sari remah kulit kayu. Hanya itu yang mereka isap sela- ma
ini. Burung-burung hinggap menebar suara riang. Begitu yang kuperhatikan. Sungguh hanya
riang, tak sekali pun pernah kulihat ada bencana kecil di pohon itu. Pohon itu seperti kakek
yang selalu riang walau usia mengisap seperti serangga yang menggerayang.
Biasanya setiap sore, aku dan kakek mengobrol di tubir ini. Aku sering memandang
matanya yang teduh. Mata yang seolah bercerita dengan riang. Mata yang membuat aku
percaya bahwa dia seorang kakek yang tabah. Aku belum pernah melihat lelaki tua yang
penuh cinta dan gairah. Kulit tuanya yang keriput menjadi se- gar meliuk ketika ia
menggerakkan badannya. Suaranya yang berat seperti magnet yang menarik genderang
telingaku, begitu lirih. Ka- kek cerdas dan luar biasa bila ia bercerita, lebih ekspresif, dan aku
dibuat terpukau. Sorot matanya tajam, gerak tubuhnya seperti se- orang aktor andal. Seolah
tak satu pun ketuaan tertoreh di setiap hempasan napasnya.
banyak bercerita tentang hidupnya dan pohon itu. Katanya, dalam lubang bawah
pohon itu dimasukkan ari-ari kakek.
“Pohon itu adalah kakak saya,” katanya.
Aku tak bertanya perihal pernyataan kakek. Karena jelas po- hon itu “lahir” lebih
dahulu sebelum kakek lahir. Hanya ia dipindah- kan ke lubang itu pada saat kakek lahir. Lalu
sejak itu mereka tum- buh bersama hingga sekarang ini.
Suatu sore, kakek pernah bertuah: kita dilahirkan dan berpin- dah-pindah dari satu
badan ke badan yang lain, tanpa jaminan ten- tang jenis badan mana yang akan kita terima
pada penjelmaan kita yang akan datang. Pohon pun demikian, menerima badan berulang kali.
Pohon kecil meninggalkan badannya dan menerima badan po- hon yang lebih besar. Pohon
yang besar meninggalkan badannya untuk menerima badan yang sudah tua. Karena itu,
sewajarnya kita mengerti pohon meninggalkan badannya yang sudah tua, dia akan terpaksa
menerima badan lain lagi. Sekali lagi dia akan menerima badan sebagai bayi. Aku terpukau.
“Kek. ” Aku menepuk bahunya.
“Iya.......”
“Apa perbedaan manusia dengan pohon?”
“Perbedaan antara kita dan pohon ialah pohon tidak terhing- ga, sedangkan kita yang
berbatas. Kita mesti mencari cinta kasih yang kekal, tanpa hukum-hukum material yang
menyebabkannya terputus. Kita harus dapat melampaui keadaan putus tersebut.” Jawaban
kakek begitu lugas.
Setelah selesai bercerita, kakek biasanya menyalakan rokok. Rokok yang dibuatnya
sendiri dari lintingan kulit jagung setengah kering dan tembakaunya dicampur dengan bunga
kopi. Aromanya wangi. Dari balik asap rokok kulihat pohon-pohon berjejer seperti di balik
kabut hujan. Kami selalu seperti itu, selalu mengumbar ta- nya pada segala yang ada di
sekitar. Walau di halaman cuma ada berbatang-batang pohon. Bagi kami, tanya tak bakal
habis meski digali dari sebatang pohon.
Aku masih duduk di tubir jenjang dengan segelas teh dari daun alpukat. Hujan telah
lebat, selebat kecemasanku kepada ka-kek. Sebab tak biasanya kakek sakit hingga seminggu.
Sebelum- nya, sehari atau paling lambat tiga hari, kakek sudah sembuh. Hal itu menjadi biasa
karena kakek perokok berat. Aku pikir itulah mu- sabab kakek sering merasa sakit di dadanya.
Paru-parunya telah di- serang getah tembakau, belum lagi campuran tembakaunya ada- lah
bunga kopi, tentu menambah banyak kadar nikotin.
Kami merawat kakek seadanya. Tidak mengajaknya ke pus- kesmas karena jaraknya
kurang lebih lima kilometer dari sini. Tak ada kendaraan, hanya berjalan kakilah satu-satunya
yang dapat ka- mi lakukan untuk mencapai puskesmas itu. Tapi hal itu tidak me- mungkinkan.
Jangankan untuk berjalan sejauh itu, untuk bangun dari ranjang saja kakek sudah tak mampu.
Kami tak punya pilihan, selain merawat kakek dengan cara sendiri.
Aku mencoba menghilangkan kecemasan perihal sakitnya ka- kek. Aku menggali-gali
kenangan yang sempat ditanam dalam hi- dupku. Sewaktu kecil, kakek gemar mengajakku ke
hutan jauh di belakang rumah.
Subuh kami berangkat menembus gelap. Dingin dan remang seperti dibunuh gema
suara binatang hutan. Sambung-menyam- bung, timpal-menimpal. Benar-benar lengking yang
lantang. Begi- tulah cara hutan menyambut pagi. Kabut tebal masih menyingkap. Kami
berjalan menyisir semak. Sekali waktu kakek membungkuk- kan badan, dengan parang di
tangan ia retas semak kecil untuk membangun jalan baru. Kami terus berjalan menyisir tanpa
bicara sepatah kata.
Hingga lama. Kabut mulai menipis. Tubuhku mematung. Di kejauhan, sebuah pohon
besar mengikhlaskan diri. Burung pelatuk menabuh tubuhnya. Pelatuk jengger merah, dengan
paruhnya yang bontok. Suaranya mirip kerdam, sekali waktu mirip suara ken- tungan kayu.
“Cepat, kita masih jauh,” kakek menghampiri dan menyeret tanganku.
Kami kian bergegas menebas udara dingin. Kaki tua kakek tanpa sandal, sudah hafal
membaca arah. Sudah terbiasa ditimpali duri semak. Sudah terbiasa terluka. Kakek sering
membiarkan rasa nyeri isapan lintah hutan menggerogoti kakinya, seolah itu terapi pelemasan
otot.
Jalanan sedikit mendaki, kami ranggas. Sepanjang jalan kami ma-sih tanpa kata.
Mataku sigap pada perangkap jerat yang kakek pasang beberapa hari lalu. Nampak semuanya
kosong melom- pong. Tak satu pun hewan liar masuk dalam perangkap.
Karena sudah semua kami awasi dan kosong, kami memu- tuskan beristirahat di
pangkal pohon yang besar. Pohon yang di ranting-rantingnya tumbuh akar lebat menghujam
tanah seperti hujan. Tiba-tiba kakek menghempaskan parang ke arah akar yang bergelayut
serupa hujan itu. Akar mengucurkan air. Deras. Aku yang masih kecil terkagum-kagum.
“Akar menyimpan air lebih baik dari tanah. Ia memiliki daya saring yang bagus.
Minumlah.” Kakek menyodorkan akar yang te- lah dipotong itu ke wajahku. Aku meminum
airnya. Sangat segar.
Siang itu kami kembali ke rumah tanpa satu pun hewan buru- an. Di tengah jalan
kakek menyempatkan diri untuk memanjat po- hon pinang merah yang buahnya merekah.
Kakek begitu cekatan. Oleh-oleh untuk nenek, katanya. Kenangan bersama kakek saat itu
seperti cairan penenang yang disuntikkan ke dalam tubuhku.
Hujan semakin lebat. Kali ini bertambah angin. Kencang ber- pusar di pohon kakek,
lalu melaju menerpa kesedihanku, retak jadi puing. Pohon besar itu rubuh. Hujan deras telah
melemahkan pe- lukan tanah, tak kuat lagi menopang beban pohon besar itu. Seper- ti usia
kakek yang sudah tua dan rapuh, tak kuat lagi memanggul keinginannya untuk hidup. Tapi
aku paham. Pohon itu tidak pernah mati. Dia hanya tumbang lalu nampak seperti mati.
Tiba-tiba ibu berteriak dari dalam. Kubayangkan napas kakek tersengal. Dan di tempat
lain, seseorang telah menggali lubang. Bersiap menanam air-ari dan sebatang pohon. [*]

Anda mungkin juga menyukai