Anda di halaman 1dari 3

NAMA :

KELAS :
Mata Mungil yang Menyimpan Dunia
(Agus Noor)

Selalu. Setiap pagi. Setiap Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan
jalan menjelang kantornya, ia selalu melihat bocah itu tengah bermainmain di kolong jalan
layang. Kadang berloncatan, seperti menjolok sesuatu. Kadang hanya merunduk jongkok
memandangi trotoar, seolah ada yang perlahan tumbuh dari celah conblock.
Karena kaca mobil yang selalu tertutup rapat, Gustaf tak tak bisa mendengarkan teriakan-
teriakan bocah itu, saat dia mengibaskan kedua tangannya bagai menghalau sesuatu yang
beterbangan. Gustaf hanya melihat mulut bocah itu seperti berteriak dan tertawa-tawa.
Kadang Gustaf ingin menurunkan kaca mobil, agar ia bisa mendengar apa yang diteriakkan
bocah itu. Tapi Gustaf malas menghadapi puluhan pengemis yang pasti akan menyerbu begitu
kaca mobilnya terbuka. Maka Gustaf hanya memandangi bocah itu dari dalam mobilnya yang
merayap pelan dalam kemacetan. Usianya paling 12 tahunan. Rambutnya kusam kecoklatan
karena panas matahari. Selalu bercelana pendek kucel. Berkoreng di lutut kirinya. Dia tak
banyak beda dengan para anak jalanan yang sepertinya dari hari ke hari makin banyak saja
jumlahnya. Hanya saja Gustaf sering merasa ada yang berbeda dari bocah itu. Dan itu kian
Gustaf rasakan setiap kali bersitatap dengannya. Seperti ada cahaya yang perlahan berkeredapan
dalam mata bocah itu. Sering Gustaf memperlambat laju mobilnya, agar ia bisa berlama-lama
menatap sepasang mata itu.
Memandang mata itu, Gustaf seperti menjenguk sebuah dunia yang menyegarkan. Hingga ia
merasa segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah. Tiang listrik dan lampu jalan
menjelma menjadi barisan pepohonan rindang. Tak ada keruwetan, karena jalanan telah menjadi
sungai dengan gemericik air di sela bebatuan hitam. Jembatan penyeberangan di atas sana
menjelma titian bambu yang menghubungkan gedung-gedung yang telah berubah perbukitan
hijau. Dari retakan trotoar perlahan tumbuh bunga mawar, akar dedaunan hijau merambat melilit
tiang lampu dan pagar pembatas jalan, kerakap tumbuh di dinding penyangga jalan tol. Gustaf
terkejut ketika tiba-tiba ia melihat seekor bangau bertengger di atas kotak pos yang kini tampak
seperti terbuat dari gula-gula. Air yang jernih dan bening mengalir perlahan, seakan-akan ada
mata air yang muncul dari dalam selokan. Kicau burung terdengar dari pohon jambu berbuah
lebat yang bagai dicangkok di tiang traffic light.
Gustaf terpesona menyaksikan itu semua. Ia menurunkan kaca mobilnya, menghirup lembab
angin yang berembus lembut dari pegunungan. Tapi pada saat itulah ia terkejut oleh bising
pekikan klakson mobil-mobil di belakangnya. Beberapa pengendara sepeda motor yang
menyalip lewat trotoar melotot ke arahnya. Seorang polisi lalu lintas bergegas mendekatinya.
Buru-buru Gustaf menghidupkan mobilnya dan melaju.
Gustaf jadi selalu terkenang mata bocah itu.
Ia tak pernah menyangka betapa di dunia ini ada mata yang begitu indah. Sejak kecil Gustaf
suka pada mata. Itu sebabnya ketika kanak-kanak ia menyukai boneka. Ia menyukai bermacam
warna dan bentuk mata boneka-boneka koleksinya. Ia suka menatapnya berlama-lama. Dan itu
rupanya membuat Mama cemas—waktu itu Mama takut ia akan jadi homoseks seperti Oom
Ridwan, yang kata Mama, sewaktu kanakkanak juga menyukai boneka—lantas segera
membawanya ke psikolog. Bermingguminggu mengikuti terapi, ia selalu disuruh menggambar.
Dan ia selalu menggambar mata. Sering ia menggambar mata yang bagai liang hitam. Sesekali ia
menggambar bunga mawar tumbuh dari dalam mata itu; mata dengan sebilah pisau yang
menancap; atau binatang-binatang yang berloncatan dari dalam mata berwarna hijau toska.
Ia senang ketika Oma memuji gambar-gambarnya itu. Oma seperti bisa memahami apa yang
ia rasakan. Ia ingat perkataan Oma, saat ia berusia tujuh tahun, ”Mata itu seperti jendela hati.
Kamu bisa menjenguk perasaan seseorang lewat matanya….” Sejak itu Gustaf suka memandang
mata setiap orang yang dijumpainya. Tapi Papa kerap menghardik, ”Tak sopan menatap mata
orang seperti itu!” Papa menyuruhnya agar selalu menundukkan pandang bila berbicara dengan
seseorang.
Saat remaja ia tak lagi menyukai boneka, tapi ia suka diam-diam memperhatikan mata
orang-orang yang dijumpainya. Kadang—tanpa sadar_ia sering mendapati dirinya tengah
memandangi mata seseorang cukup lama, hingga orang itu merasa risi dan cepat-cepat
menyingkir. Setiap menatap mata seseorang, Gustaf seperti melihat bermacam keajaiban yang
tak terduga. Kadang ia melihat api berkobar dalam mata itu. Kadang ia melihat ribuan kelelawar
terbang berhamburan. Sering pula ia melihat lelehan tomat merembes dari sudut mata seseorang
yang tengah dipandanginya. Atau dalam mata itu ada bangkai bayi yang terapung-apung,
pecahan kaca yang menancap di kornea, kawat berduri yang terjulur panjang, padang gersang
ilalang, pusaran kabut kelabu dengan kesedihan dan kesepian yang menggantung.
Di mana-mana Gustaf hanya melihat mata yang keruh menanggung beban hidup. Mata yang
penuh kemarahan. Mata yang berkilat licik. Mata yang tertutup jelaga kebencian. Karena itu,
Gustaf jadi begitu terkesan dengan sepasang mata bocah itu. Rasanya, itulah mata paling indah
yang pernah Gustaf tatap. Begitu bening begitu jernih. Mata yang mungil tapi bagai menyimpan
dunia.
Alangkah menyenangkan bila memiliki mata seperti itu. Mata itu membuat dunia jadi
terlihat berbeda. Barangkali seperti mata burung seriwang yang bisa menangkap lebih banyak
warna. Setiap kali terkenang mata itu, setiap kali itu pula Gustaf kian ingin memilikinya.
Sembari menikmati secangkir cappucino di coffee shop sebuah mal, Gustaf memperhatikan
mata orang-orang yang lalu lalang. Mungkin ia akan menemukan mata yang indah, seperti mata
bocah itu. Tapi Gustaf tak menemukan mata seperti itu. Membuat Gustaf berpikir, bisa jadi mata
bocah itu memang satu-satunya mata paling indah di dunia. Dan ia makin ingin memiliki mata
itu. Agar ia bisa memandang semua yang kini dilihatnya dengan berbeda….
Gustaf kini bisa mengerti, kenapa bocah itu terlihat selalu berlarian riang—karena ia tengah
berlarian mengejar capung yang hanya bisa dilihat matanya. Bocah itu sering berloncatan—
sebab itu tengah menjoloki buah jambu yang terlihat begitu segar di matanya. Mata bocah itu
pastilah melihat sekawanan burung gelatik terbang merendah bagai hendak hinggap kepalanya,
hingga ia mengibas-kibaskan tangan menghalau agar burung-burung itu kembali terbang. Ketika
berjongkok, pastilah bocah itu sedang begitu senang memandangi seekor kumbang tanah yang
muncul dari celah conblock. Semua itu hanya mungkin, karena mata mungil indah bocah itu bisa
melihat dunia yang berbeda. Atau karena mata mungil itu memang menyimpan sebuah dunia.
Tentulah menyenangkan bila punya mata seperti itu, batin Gustaf. Apa yang kini ia pandangi
akan terlihat beda. Ice cream di tangan anak kecil itu mungkin akan meleleh menjadi madu. Pita
gadis yang digandeng ibunya itu akan menjadi bunga lilly. Di lengkung selendang sutra yang
dikenakan manequin di etalase itu akan terlihat kepompong mungil yang bergeletaran pelan
ketika perlahan-lahan retak terbuka dan muncul seekor kupu-kupu. Seekor kepik bersayap merah
berbintik hitam tampak merayap di atas meja. Eceng gondok tumbuh di lantai yang digenangi air
bening. Elevator itu menjadi tangga yang menuju rumah pohon di mana anak-anak berebutan
ingin menaikinya. Ada rimpang menjalar di kaki-kaki kursi, bambu apus tumbuh di dekat
pakaian yang dipajang. Cahaya jadi terlihat seperti sulur-sulur benang berjuntaian….
Betapa menyenangkan bila ia bisa menyaksikan itu semua karena ia memiliki mata bocah
itu. Bila ia bisa memiliki mata itu, ia akan bisa melihat segalanya dengan berbeda sekaligus akan
memiliki mata paling indah di dunia! Mungkin ia bisa menemui orang tua bocah itu baik-baik,
menawarinya segepok uang agar mereka mau mendonorkan mata bocah itu buatnya. Atau ia bisa
saja merayu bocah itu dengan sekotak cokelat. Apa pun akan Gustaf lakukan agar ia bisa
memiliki mata itu. Bila perlu ia menculiknya. Terlalu banyak anak jalanan berkeliaran, dan
pastilah tak seorang pun yang peduli bila salah satu dari mereka hilang.
Gustaf tersenyum. Ia sering mendengar cerita soal operasi ganti mata. Ia tinggal datang ke
Medical Eyes Centre untuk mengganti matanya dengan mata bocah itu!
Gustaf hanya perlu menghilang sekitar dua bulan untuk menjalani operasi dan perawatan
penggantian matanya. Ia ingin ketika ia muncul kembali, semuanya sudah tampak sempurna.
Tentu lebih menyenangkan bila tak seorang pun tahu kalau aku baru saja ganti mata, pikirnya.
Orang-orang pasti akan terpesona begitu memandangi matanya. Semua orang akan memujinya
memiliki mata paling indah yang bagai menyimpan dunia.
Pagi ketika Gustaf berangkat kerja dan terjebak rutin kemacetan perempatan jalan menjelang
kantornya, ia melihat seorang bocah duduk bersimpuh di trotoar dengan tangan terjulur ke arah
jalan. Kedua mata bocah itu kosong buta! Gustaf hanya memandangi bocah itu. Ia ingin
membuka jendela, dan melemparkan recehan, tapi segera ia urungkan karena merasa percuma.
Ia melangkah melewati lobby perkantoran dengan langkah penuh kegembiraan ketika
melihat setiap orang memandang ke arahnya. Beberapa orang malah terlihat melotot tak percaya.
Gustaf yakin mereka kagum pada sepasang matanya. Gustaf terkesima memandang
sekelilingnya….
Dengan gaya anggun Gustaf menuju lift.
Begitu lift itu tertutup, seorang perempuan yang tadi gemetaran memandangi Gustaf terlihat
menghela napas, sambil berbicara kepada temannya.
”Kamu lihat mata tadi?”
”Ya.”
”Persis mata iblis!”

Anda mungkin juga menyukai