Anda di halaman 1dari 7

Dongeng Si Kaya

(Cerita Rakyat Pulau Angan)

Pada waktu hari-hari masih muda dan dunia lebih damai sentosa, tersebutlah sebuah kota kaya
raya yang dinding-dindingnya dari batu pualam, putih bersih warnanya. Adapun jalan-jalannya berwarna
cokelat, rapi lagi rata buatannya, meliuk melingkari seantero kota. Sepertinya banyak manusia yang
berdiam di sana selalu bersukaria, tawa senyum belaka yang keluar dari mulut mereka, terutama dari para
bangsawan kaya yang gemar berpesta pora di sotoh-sotoh rumah. Namun kota itu bukanlah berada di
negeri impian, di mana tiada air mata ataupun ratap duka, kota itu masih berjejak pada kaki dunia,
sehingga ia pun tiada luput dari penderitaan.

Adalah seorang bayi yang tampan rupanya tergolek lemah di dekat pintu gerbang. Rupanya
keelokan tubuhnya tiada sebanding dengan pahit nasibnya. Begitu malang bayi tampan ditinggalkan
ibunya begitu saja di tengah malam kelam yang dingin merasuk tulang. Hanya selembar selimut biru tebal
membalut kulit halusnya. Pun demikian, ia tetap menggigil kedinginan, sementara kedua matanya
terkatup rapat.

Lonceng kota telah berdentang yang kedua belas, jalan-jalan begitu lengang tanpa jejak manusia.
Demikian pula tiada satu orang yang lewat di pintu gerbang, hingga tiada yang dapat mengasihani nasib si
bayi malang.

Sementara malam terus beranjak tua, dan bayi malang terlelap dalam alam impiannya, pintu
gerbang nan berat terbuka tapak demi tapak. Bukan penjaga pintu yang kekar lagi kuat yang
membukanya, namun sosok kemerahan kecil bersayap tiga. Sepasang mengepak di punggung, sedang
satu lagi pada kepalanya. Rupanya seperti manusia, akan tetapi tingginya tiada sampai sepinggang.
Perlahan mendekatlah ia yang keluar dari gerbang karena tertarik pada selimut biru tua yang tergolek di
tepi jalan. Betapa terkejut makhluk kemerahan melihatnya, sebab sosok bayi tampan meyembul dari balik
kain tebal.

Trenyuhlah hatinya, sehingga ia berkata pelan, “Wahai bayi tampan, betapa malang dirimu di tepi
jalan. Hatiku tiada tega membiarkan dirimu meninggal muda, namun diriku tiada kuasa memberi
keajaiban. Hanya satu inilah yang diriku punya, biarlah dirimu selalu mendapatkan kesenangan. Sebab
dirikulah Kesenangan, sebagaimana disebutkan orang-orang.”

Serta merta timbullah cahaya merah bagai kunang-kunang melingkupi tubuh si bayi malang.
Sementara Kesenangan mengepak sayapnya, kemudian terbang lenyap di langit malam.

Kehangatan menyelimuti bayi malang sehingga tiada beku tubuhnya meski sangat dingin udara,
sampai sebuah pintu kecil biru cerah pada sebuah rumah di pintu gerbang lambat-lambat terbuka. Dari
baliknya, keluarlah seorang nenek tua. Sudah bungkuk punggungnya dan tertatih-tatih jalannya, namun
belum rabun matanya. Nenek Tua terheran-heran akan selimut biru di tepi jalan.

“Siapa gerangan meninggalkan selimtunya di hari sedingin sekarang?” Demikianlah kata Nenek
Tua dalam benak.
Maka ia pun mendekatlah. Dan terkejutlah, sama seperti Kesenangan. Sebab bayi malang dalam
selimut begitu elok parasnya. Tiada sampai hatilah Nenek Tua meninggalkannya begitu saja. Walau
dirinya bukan bangsawan kaya, dan rumahnya sederhana saja, diangkat jualah si bayi malang. Dibawanya
masuk ke rumahnya dan dirawatnya segenap hati.

Maka besarlah si bayi malang, semakin elok rupanya seiring semakin dewsa usianya, sehingga
kini semua memanggilnya Si Tampan. Dan ia diangkat sebagai anak Nenek Tua, yang merawatnya penuh
kasih sayang. Tiada kurang perhatian diberikan oleh Nenek Tua, bahkan segala terbaik dari
kepunyaannya diberikannya bagi Si Tampan.

Namun belum puaslah hati Si Tampan, sebab hidupnya selalu dalam kesahajaan. Ia menginginkan
emas perak, karena pikirnya dengan demikian ia dapat memberi kebahagiaan bagi Nenek Tua dan semua
manusia penghuni kota. Sebab Nenek Tua suka akan kue madu manisan yang sangat mahal harganya dan
tiada pernah mereka sanggup membeli barang sebuah. Dan tiada terhitung rakyat jelata yang dilihat Si
Tampan hidup miskin menderita, di bawah bayang-bayang kemakmuran kota pualam.

Karena itulah Si Tampan selalu rajin bekerja. Tiada pernah Nenek Tua menemukannya bermalas-
malasan. Apa saja yang dapat dikerjakan kedua tangannya akan ia kerjakan sekuat tenaga. Demikianlah
tiap hari Si Tampan bekerja, merapikan tanaman para tetangga, mengantar penganan ke penjuru kota,
juga merawat kuda-kuda orang bangsawan. Segala pekerjaannya selalu mendapat pujian, sebab ia
memang begitu cekatan. Hingga pada usianya yang kelima belas, Si Tampan telah memiliki sekantung
kecil keping emas.

Maka berkatalah Si Tampan pada Nenek Tua, “Kini daku telah tumbuh dewasa, karena Nenek
melimpahiku dengan kasih sayang dan berbagai-bagai kesenangan. Tibalah giliran daku untuk
membalasnya. Izinkanlah daku pergi berkelana bekerja, sebab sudah waktunya daku mencapai
kemandirian. Jikalau nanti daku sudah jaya, niscaya akan daku limpahkan segala kebahagiaan untuk
Nenek tersayang.”

Kemudian berkatalah Nenek Tua, “Wahai anakku tersayang, telah tiada lagi yang dapat
kuberikan. Hanya satu saja yang kiranya kau ingat. Jikalau dirimu telah berlari begitu kencang, janganlah
lupa berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Niscaya jalanmu tiada menyimpang dan tujuanmu
tetap seperti sedia kala.”

“Akan daku pegang segala pesan Nenek tersayang,” ucap Si Tampan penuh hormat.

Dan sebelum akhirnya melepas Si Tampan berkelana, Nenek Tua mengucap harap untuknya,
“Semoga jalanmu sering berputar, tetapi semoga langkahmu tiada keluar daripadanya. Sebab buruklah
jalan yang terlalu rata dan sering mencelakakan jalan yang tanpa halangan.”

Maka mulailah Si Tampan berkelana berkeliling kota. Dari rumah ke rumah ia menawarkan
pekerjaan, sebab dirinya telah mahir dalam banyak hal, hasil jerih payahnya sejak masa kecilnya. Adapun
penghasilannya tiada terlampau banyak, namun cukup baginya untuk menyewa rumah sederhana. Dan
semakin giatlah Si Tampan bekerja, tanpa pernah lupa berjumpa Nenek Tua setiap bulan.
Tetapi rupanya nasib malang kembali menyapa. Suatu malam terbakarlah rumah kecilnya, hingga
habis tiada sisa seluruh hartanya, dan menggununglah utang-utangnya, sebab sang pemlik rumah enggan
bermurah hati padanya.

Putus asalah Si Tampan, sebab nyata sia-sia segala kerja kerasnya. Keping demi keping emas
yang dikumpulkannya penuh keringat habis lenyap dalam semalam. Hanya sebongkah roti tersisa dalam
genggamannya, untuk makannya yang terakhir kali saja. Maka lesu lemas ia melangkah di jalan-jalan
kota.

Tanpa disangka-sangka, ia menemukan seorang kecil kekuningan meringkuk lemah di tepi jalan,
di mana cahaya lilin tiada tampak dan suara manusia tiada terdengar. Rupanya orang kecil kekuningan
tengah kelaparan. Sebab ia menatap roti Si Tampan penuh harap.

Berat hati Si Tampan menimbang-nimbang roti terakhirnya. Jika diberikannya bagi orang kecil
yang tiada dikenalnya, belumlah pasti ia akan mendapat roti kedua. Namun kasihan akhirnya meluluhkan
hatinya, oleh sebab terkenang kasih sayang Nenek Tua di pintu gerbang. Maka dibaginya roti menjadi
dua, dan diberikannya setengah pada orang kecil kekuningan.

Pulihlah tenaga orang kecil kekuningan setelah menghabiskan bagian rotinya. Ia pun bangkit
menegak sehingga mengembanglah sepasang sayap di punggungnya. Takjub Si Tampan melihatnya.
Sungguh bukan manusia biasa yang diberinya makan roti di tepi jalan.

Orang kecil bersayap membungkuk penuh hormat lalu berucap, “Ribuan terima kasih atas
pertolongan tuan yang mulia. Entah apakah yang dapat hamba lakukan untuk tuan, sebab hamba ini tiada
kuat adanya.”

“Siapakah engkau yang memiliki sepasang sayap indah?” tanya Si Tampan.

“Hamba adalah yang kedua dari empat saudara. Hamba disebut Kekayaan, sebab hanya itulah
yang hamba punya.” Demikian jawab makhluk kecil bersayap.

“Bukankah itu lebih dari yang kini kubutuhkan. Sebab seluruh hartaku lenyap dalam semalam
dan roti ini satu-satunya yang tersisa. Jika memang engkau Kekayaan, kiranya sudi engkau berbagi jalan.
Sebab aku ini rajin lagi cekatan namun tiada terbiasa menerima tanpa usaha,” kata Si Kaya.

Maka kata Kekayaan, “Adapun jawab untuk permintaan tuan sederhana saja, jika tuan tetap
menempuh jalan tanpa banyak ratap atau keluh kesah, tentu jaya akan datang menghampiri tuan. Hanya
demikianlah yang dapat hamba berikan.” Kemudian Kekayaan pun menghilang ke cakrawala.

Tinggallah Si Tampan dalam keheningan kota. Tetapi kini telah lahir asa dalam hatinya.

Maka kembalilah Si Tampan pada pekerjaannya, berlipat-lipat lebih rajin dan cekatan ia. Dan
penghasilannya pun datang berlipat-lipat, sehingga utang-utangnya terbayar lunas. Dan ia masih kaya dan
makin bertambah-tambah kaya. Namun kesibukan berlipat juga seiring kejayaannya, maka semakin
jaranglah ia berjumpa Nenek Tua di pintu gerbang.
Alkisah belasan tahun lewat sudah. Kini Si Tampan telah tumbuh dewasa, dan ia telah sangat
kaya lagi termasyur di antara rakyat sekota. Namanya bukan lagi disebutkan Si Tampan, melainkan Si
Kaya, karena memang sangat banyak hartanya.

Walau demikian tetap rajin cekatan tabiatnya. Berangkat sebelum naiknya sang surya, kembali
setelah terbitnya rembulan. Tiap-tiap hari ditumpuknya bergunung-gunung emas, juga peraknya tiada
terbilang. Tirai mirai satin warna-warna lapik tidurnya, keramik penuh hias pialanya.

Namun belum lagi senja umurnya, di kala umur masih muda, sakitlah Si Kaya. Seantero kota
dikelilingi sudah, namun tiada tabib mampu menyehatkan tubuhnya. Maka Si Kaya mengirim berpuluh
utusan, menjelajah negeri dan samudera. Tiada kurang emas perak dipersembahkan pada para pandai
bijaksana, namun tiada sanggup memulihkan sakitnya. Malalahan makin bertambah-tambah parah
tubuhnya. Maka habislah harta Si Kaya. Tinggallah tubuhnya tiada berdaya di atas tilam, bersama
segenggam emas dan tiga tempayan.

Melihat dirinya telah berada di penghujung hidupnya, dan demikan parah keadaannya, mulailah
Si Kaya mengucap penuh ratap, “Aduhai, malang telah menimpa, reduplah nyawa bagai sumbu tinggal
asap. Usia tinggal sekejap mata, namun aku belum berbuat apa. Andai datang kesempatan kedua,
bolehlah aku berbuat amal.”

Tiada disangka-sangka, bertiup kencang angin pada jendela. Jatuhlah kelapa di tepi jendela, entah
dari mana datangnya, bergulir masuk ke pangkuan Si Kaya. Si Kaya menggeleng penuh tanya, perlahan-
lahan diangkatnya bulat kelapa. Terdengar bunyi setapak kuda dari dalam buah, kian lantang jika kelapa
diguncang. Si Kaya pun dirudung penasaran, tiga kali mengguncang kelapanya. Kulit kelapa retak
mematah, bergetar-getar lalu terbelah dua. Melompat keluar darinya, orang kecil bersayap empat. Hijau
sekujur tubuhnya, namun biru matanya.

Si kaya terlonjak heran, “Apakah engkau, yang keluar dari dalam kelapa?”

“Salam, wahai yang baik nasibnya. Hamba penghuni tempurung kelapa, yang telah lama terbang
melintas masa. Dengan banyak nama hamba dikenal, berbeda-beda tiap suku bangsa. Namun hanya satu
yang perlu tuan ingat, sesuai sebutan orang-orang tuan sebangsa, hamba dinamakan Keajaiban.”

“Entah sungguh atau bukan, aku pernah mendengarnya,” ucap Si Kaya. “Namun belum pernah
aku melihat manusia dalam kelapa. Jikalau memang engkau Kejaiban yang datang menjelang akhir hayat,
dengarkanlah pinta sedikit saja. Aku hidup belum ada separuh usia, namun ajal hendak menjembut barang
sebentar. Berbelas tahun aku menumpuk harta, emas perak menggunung tiada terkira. Namun hati tiada
pernah berbahagia. Sebab dahulu aku ingin membagi kebahagiaan pada rakyat sekota, tetapi kini terlalu
sibuk aku bekerja, belum sempat berbakti guna. Jikalau engkau sedang bermurah, kiranya berikan aku
kesempatan sekali saja.”

Namun jawab Keajaiban, “Yang lahir dengan raga pasti mati meninggalkan dunia. Nanti ataupun
sekarang hanyalah berbeda jeda. Hamba takut pinta tuan hanya berujung sia-sia.”

Kata Si Kaya, “Bukan emas atau berlian yang kuharap, hanya waktu sedikit saja. Sebab aku tiada
pernah berharap untuk meninggal tanpa sempat berbagi amal. Jikalau engkau berkenan, satu dua orang
ingin kujumpa. Atau tiga empat ingin kuberi bahagia."
Tampaklah raut muram di wajah Keajaiban, "Hamba takut tiada dapat memenuhinya. Sebab pinta
tuan begitu banyak."

"Jikalau demikian, biarlah sekurang-kurangnya pada satu saja aku boleh membagi cinta, sebelum
nyawa ini melayang lenyap. Ada seorang nenek di pintu gerbang, bijak lagi baik padaku ia. Telah lama
kami tiada bersua, sebab aku tenggelam dalam kerja. Jikalau engkau sedang bermurah, kiranya berikan
aku tubuh yang sehat, juga waktu barang sejenak. Sebab Nenek Tua senang kue madu manisan, yang
dibuat di Barat kota. Kiranya aku boleh ke sana, dan mengantar kesukaan untuk nenek tua. Niscaya
tenanglah aku meninggalkan dunia.” Demikianlah mohon Si Kaya.

Maka kata Keajaiban, “Baiklah jika tuan memang berkehendak. Tetapi pemberian hamba tiada
bisa terlampau banyak. Di sini ada tiga tempayan, berkenanlah tuan memilih sebuah.”

Si Kaya melayang pandang pada tiga tempayan, semua terbuat dari keramik indah polesan.
Sejenak Si Kaya merenung diam, kemudian menunjuk satu yang terbesar, yang kiranya cukup menelan
seluruh tubuhnya. Maka bertenggerlah Keajaiban di atas tempayan, mengayun jari yang hijau warnanya.
Gemericik air terdengar, kemudian penuhlah air dalam tempayan.

Lalu berkatalah Keajaiban. “Inilah waktu yang tuan punya. Jikalau air dalam tempayan surut
semua, tuan akan tiba di depan ajal. Kini kuat dan sehatlah tubuh tuan. Kiranya tuan berlaku bijak, supaya
tidak sia-sia air yang tumpah.”

Digulingkannyalah tempayan oleh Keajaiban, air pun mulai mengucur tumpah. Seketika kuatlah
tubuh Si Kaya, dan melonjaklah ia, dengan emas segenggam di tangan, berlarian keluar rumah.
Sementara terbanglah Kejaiban ke awang-awang, dan lenyap di bawah cahaya surya.

Adapun air yang tumpah dari tempayan amat sedikit alirannya. Maka sempatlah Si Kaya berlari
ke Barat kota. Belum lagi jauh dari rumahnya, di kala menyusur setapak cokelat, mendekatlah seorang tua
renta. Amat buruk rupanya, koyak moyak seluruh pakaiannya. Namun tanpa kemalu-maluan, ia
menjamah baju Si Kaya. Ketika keduanya bertemu mata, tahulah si kaya bahwasanya emas semata yang
diinginkan Si Tua Renta.

“Namun emasku tiada lagi banyak jumlahnya, sedang kue madu manisan sangat mahal harganya.
Jika kuberi ia satu dua keping emas, tentu gagallah sudah segala rencana,” demikianlah pikir Si Kaya.

Maka melengoslah Si Kaya tanpa mengucap kata, sembari berharap belum surut air dalam
tempayan. Telah banyak waktu dibuangnya percuma, demi bersua seorang pengemis tua.

Berlarilah Si Kaya sampai ke Toko Manisan. Cantik lagi indah bangunannya, seluruh temboknya
dilumur kue gula aneka rupa. Namun tempat ini tiada terlalu ramai, sebab hanya bangsawanlah yang
sanggup membeli dari Si Empunya. Maka masuklah Si Kaya melalui pintu berambang batang cokelat. Si
Empunya berdiri di belakang meja, sedang bercakap dengan seorang anak.

“Tiada manisan untuk sekeping perak,” ucap Si Empunya.

“Namun ayah menginginkan kue madu manisan,” kata si anak.

“Jikalau memang demikian, kembalilah setelah ada cukup uang,” jawab Si Empunya.
Si anak pun tertunduk muram, ketika berpaling dilihatnya Si Kaya berdiri di muka. Akan tetapi
emas Si Kaya hanya tinggal segenggam saja, tiada cukup dibelikan dua kue madu manisan. Maka
mendekatlah Si Kaya pada Si Empunya, lalu berkata sembari mengunjukkan emasnya, “Berikanlah
padaku sebuah kue madu manisan. Bungkuslah yang indah dengan pita merah, sebab akan kuberikan
untuk nenekku yang tercinta. Terimalah emas ini sebagai bayarannya.”

Tiada perlu menunggu lama, kue madu manisan terbungkus dalam kotak indah berpita merah.
Senang hati si kaya mengambilnya, kemudian cepat berlari melintas kota. Air dalam tempayan tentu telah
surut banyak, waktunya hanya tinggal sebentar saja. Sedang Nenek Tua tinggal di timur kota, rumahnya
bersandar pada pintu gerbang. Maka kian cepatlah Si Kaya melangkah.

Pada akhirnya sampailah Si Kaya di pintu gerbang. Ia mengetuk pintu biru rumah Nenek Tua,
lalu menunggu dalam diam. Adalah seorang gelandangan kumal yang tinggal di pintu gerbang, dekil
penuh borok tubuhnya. Gelandangan kumal menatap nanar pada Si Kaya, berharap sesuap kue madu
manisan untuk mengisi perutnya yang telah dua hari tiada mendapat makan.

Dari dalam rumah terdengar suara gadis berseru lantang, “Siapa itu yang berdiri di muka?”

Maka jawab Si Kaya, “Akulah anak yang diasuh Nenek Tua lama berselang. Kini aku telah kaya
raya, namun usiaku tiada lagi panjang. Kiranya aku boleh masuk sejenak, sebab telah lama rupa Nenek
tiada kulihat. Kue madu manisan telah kubawa di tangan, tanda kasih untuk Nenek tersayang.”

Jawab gadis di dalam rumah, “Berikanlah kue madu manisan pada Gelandangan malang, yang
duduk menanti di samping rumah. Sebab hari ini tiada roti di perapian, tiada dapat kami memberi pada
Gelandangan malang.”

“Kiranya tiada perlu terjadi yang demikian,” sahut Si Kaya. “Sebab kue madu manisan kubawa
khusus untuk Nenek Tua. Biarlah aku masuk sejenak untuk berbakti guna terakhir kalinya.”

Namun kata gadis di dalam rumah, “Jika demikian bawalah kembali kue madu manisan. Tiada
perlu engkau datang, pulanglah ke rumah wahai Tuan Kaya Raya. Sebab demikianlah yang dipesankan
Nenek Tua.”

“Mustahillah aku pulang sekarang, sebab diriku belum bertemu Nenek tercinta,” ucap Si Kaya.
“Tolonglah izinkan aku masuk ke dalam. Mengapakah engkau mengusirku pulang?”

“Sebab engkau datang hanya untuk bertemu Nenek Tua, dan memberikan kue madu manisan
untuknya,” jawab gadis di dalam rumah. “Berikanlah kue madu manisan pada Gelandangan malang, lalu
pulanglah dengan selamat, demikian pesan nenek tua.”

“Dan di manakah Nenek sekarang? Siapakah engkau sehingga engkau menahanku bersua Nenek
Tua?” tanya Si Kaya.

Jawab gadis dalam rumah, “Aku anak Ibunda, cucu Nenek Tua. Akulah yang mengurus rumah,
pula merawat Nenek pada masa tuanya. Maka bolehlah aku menahanmu masuk ke dalam. Pula tiada guna
aku mengatakan di mana Nenek sekarang.”
“Jika demikian memang layaklah engkau mengusir aku pulang,” ucap Si Kaya. “Namun setidak-
tidaknya katakanlah di mana Nenek sekarang. Niscaya aku dapat pulang, dan dengan tenang menjemput
ajal yang tiada lama.”

“Nenek Tua telah tiada. Maka pulanglah engkau ke rumah sekarang,” kata gadis di dalam rumah.

Terhenyaklah Si Kaya pada tempatnya, kue madu manisan meluncur jatuh dari tangannya. Si
Kaya pun jatuh bersimpuh di tanah. Air dalam tempayan telah surut semua, kini ajalnnya telah tiba.
Robohlah tubuh Si Kaya, tergeletak di tanah, di depan rumah Nenek Tua, tiada lagi nyawanya.

Maka datanglah dari pintu gerbang, seorang kelabu yang pendek tubuhnya. Pada tengkuknya ada
sebuah sayap. Sebuah saja, bukan sepasang. Ia menghampiri tubuh Si Kaya yang tanpa nyawa, ditariknya
raga itu keluar kota untuk dikuburkan di tepi hutan. Dialah Kesia-siaan, yang terakhir dari empat
bersaudara, yang selalu dicari anak manusia sepanjang hayatnya. Sebab ketika kecil mereka mencari
Kesenangan, ketika muda mereka mencari Kekayaan, ketika tua mereka mencari Keajaiban, namun pada
akhirnya tinggallah Kesia-siaan.

Anda mungkin juga menyukai