Anda di halaman 1dari 5

Kematian Ketiga

Cerpen: Juli Maheswari

Setiap hari, jelang sore tiba. Wanita Tua membawa kacang kulit goreng, dia gembol menggunakan
selendang lusuh, dilingkarkan dan diikatkannya ke pinggang. Wanita tua, kurus, sedikit bungkuk tapi
berkulit putih bersih, serta, selalu tersenyum penuh kedamaian. Dia, senantiasa berhenti sejenak di
tengah jembatan untuk menatap waduk di bawahnya. Lantas pergi ke goa dan akan di sambut
segerombolan kera.

Penduduk sekitar dan para pengunjung menjulukinya Emak Kera. Seorang ibu, yang begitu
setia mengunjungi anak-anaknya. Pengunjung yang baru pertama kali datang akan berpikir dia adalah
juru kunci tempat wisata Goa Kreo.

“Kera-kera yang setia. Kalian jalankan amanat dari Sunan Kalijaga. Menjaga tempat ini
sampai sekarang hingga jiwa dan raga kalian ikut menyatu.” demikian, kalimat yang selalu diucapkan,
pelan, ketika para kera menghampiri riang. Dia mengelus-elus kepala mereka bahkan memangku
salah satu anak kera yang masih kecil, mengambil dari gendongan sang induk tanpa ada perlawanan
dari keduanya.

Setiap kali ada pengunjung bertanya, kenapa dan bagaimana dia melakukannya, dia selalu
menjawab bahwa dia menyukai kera-kera itu. Namun tentu saja penduduk sekitar tahu apa yang
sebenarnya telah terjadi.

***

Sepuluh tahun lalu, dia adalah seorang wanita periang. Begitu ramah dan ringan tangan
meskipun hidup dalam kesederhanaan. Memberi sapaan setiap kali bertemu warga, sekadar tersenyum
dan menganggukkan kepala kala bertemu orang asing. Matanya berbinar memancarkan kebahagiaan.
Hidup bersama suami dan anak semata wayang.

Kala itu, badannya masih proporsional, tak terlalu kurus atau gemuk untuk ukuran badan yang
mungil. Rambut yang memutih beberapa helai di permukaan, dia gulung rapih, ditusuki konde.
Membuat dia nampak anggun meskipun hanya mengenakan baju-baju yang warnanya memudar,
namun bersih dan rapi. Pastilah waktu muda dia berparas ayu.

Hidupnya berubah drastis sejak dia mengalami mati yang kedua, begitu kata para tetangga.

“Pada saat merasakan mati untuk kali yang pertama, dia berangsur-angsur pulih dan hidup
kembali berkat anak semata wayangnya.”
“Dia pernah mati dua kali?”

“Ya, kematian pertama adalah kepergian suami. Kematian kedua adalah kepergian anak
semata wayang.”

Sepuluh tahun lalu, suaminya hilang entah di mana dan sampai saat ini jasadnya tak
ditemukan. Dia begitu terpukul, hingga tak peduli lagi dengan lingkungan sekitar. Bahkan dengan
anak dan diri sendiri. Sejak seminggu usaha pencarian oleh polisi dan warga, hasilnya nihil. Dia
mengurung diri di dalam kamar. Duduk di atas amben dengan rambut kusut terurai dan mengembang,
disertai tatapan mata kosong. Sering, dia sekadar tiduran di amben yang hanya beralaskan tikar
pandan itu. Jangankan mandi atau keluar dari kamar. Sekadar menyisir rambut pun tak lagi berselera.
Sampai-sampai tetangga samping rumah ikut membantu mengurus anaknya yang baru berumur lima
tahun.

Pada akhirnya, perlahan dia hidup kembali. Merawat anak semata wayang dan menjalani
hidup seperti sedia kala. Tak ada yang berani membahas soal suaminya, barangkali tak tega. Mereka
tahu, Wanita Tua tak akan menganggap sang suami meninggal, kecuali, sampai dia benar-benar
melihat langsung jasad pria yang dicintainya; dengan mata dan kepala sendiri.

Nahas, nestapa ternyata tak cukup menghampiri hanya sekali. Sepuluh tahun kemudian, anak
semata wayang juga hilang bak ditelan bumi. Beruntung, tidak seperti kematian pertamanya, dia lekas
pulih. Setidaknya, itu yang warga pikirkan. Hingga berangsur-angsur mereka memahami bahwa
Wanita Tua tak utuh lagi. Dia jadi jarang bicara dan menutup diri. Sapaan ramah berganti senyum
tipis dan sedikit anggukan saja.

Usianya sekarang menginjak kepala enam. Badannya tampak tambah kurus dan sedikit
bungkuk, banyak guratan di wajah meskipun kulit masih putih bersih, sedangkan mata menyorotkan
tatapan ketenangan. Warga tahu, bahwa ketenangan itu hanya kamu-flase belaka dari kumpulan
nestapa yang sampai saat ini disimpan rapi. Tatapan mata kosong dia tampilkan, ketika memandang
waduk dari atas jembataan. Sebuah tempat yang sangat disukai oleh suami dan anak semata wayang.

***

Aku sendiri baru dua kali bertemu dengan dia. Memang, secara pribadi aku baru dua kali
berkunjung ke Goa Kreo. Tahun ini dan tahun lalu. Sampai aku memutuskan datang untuk kali ketiga.
Bukan, bukan, bukan untuk berwisata, melainkan untuk menemui Wanita Tua. Sekadar mengobrol
sepatah dua patah kata. Tidak lagi sekadar memandang dari kejauhan seperti dua pertemuan yang
lampau. Anggap saja aku tidak mengenal dia, tapi entah mengapa, ada sesuatu yang menarikku untuk
mendekatinya.
“Kera-kera di sini sungguh setia. Menjalankan amanat Sunan Kalijaga. Makhluk-makhluk
yang setia, sangat istimewa. Memeluk kegelapan erat-erat hingga menjadi bagian dari diri sendiri.
Sampai dia jadi terang.” ujar Wanita Tua.

“Dan aku sekarang sedang berbicara dengan orang yang setia.” Tambah dia.

Selepas perbincangan singkat antara kami berdua, di atas jembatan itu, seperti biasa, dia
berjalan menuju goa. Sampai di mulut goa, dia gelar selendang berisi penuh kacang kulit goreng. Para
kera berdatangan, berlari, melompat dengan antusias. Semuanya, dari mulai yang jantan, betina,
berukuran kecil, sedang, besar, bahkan sampai kera yang di bagian perut digelayuti anakan.

Para pengunjung melihat sepintas, lalu, kecuali pengunjung yang baru pertama kali datang.
Mereka takjub melihat Wanita Tua dikelilingi segerombolan kera. Bahkan, mengabadikan tingkah
polah mereka lewat gawai pribadi.

Aku memutuskan untuk menemui dia lagi. Akan tetapi pada kunjungan keempatku ini, batang
hidung Wanita Tua tidak kunjung terlihat. Padahal sore tergelincir bertukar petang. Kera-kera datang
bergerombol, pulang kembali ke goa. Saat petang, tempat wisata ini ditutup. Itu berarti mereka tak
lagi bisa merampas jajanan milik pengunjung.

Aku masih terngiang-ngiang percakapan terakhir kami. Soal kisah anak semata wayangnya,
yang teramat sangat menyukai kacang kulit goreng dan kera-kera di goa.

Menurut warga, seminggu yang lalu terjadi gerhana bulan. Ketika warga tengah
melaksanakan salat gerhana, Wanita Tua memukul lesung dan kentongan berkali-kali. Kegiatan itu
dia lakukan sampai tengah malam. Warga terganggu dan susah tidur. Mereka terganggu dengan bising
suara lesung yang dipukuli Wanita Tua. Begitu pula para bayi yang menangis.

Karena sungkan menegur, akhirnya mereka memutuskan datang ke rumah pak RT untuk
mengadu. Pak RT kemudian mendampingi mereka pergi ke rumah Wanita Tua.

“Nuwun sewu Mbok, sebenarnya apa yang sedang Mbok lakukan di tengah malam seperti ini?
Para warga terganggu dan tak bisa tidur.” Pak RT membuka suara.

“Sebentar lagi aku akan bertemu dengan anakku. Aku sedang menyambut kepulangannya.”

Warga bergidik ngeri. Rambut kusut Wanita Tua terurai, mengembang. Sekeliling matanya
menghitam, entah berapa malam dia tak tidur. Dia melotot, ketika mengucapkan kalimat itu, penuh
tekanan, sambil memandangi warga satu per satu. Kemudian, Wanita Tua menghadap ke atas,
melebarkan kedua tangan ke samping, tersenyum penuh keyakinan. Dia berjalan perlahan masuk
rumah kembali. Warga pun saling berpandangan.
Tiba-tiba Wanita Tua keluar rumah dengan setengah berlari, membawa kentongan bambu di
tangan kiri dan kayu pemukul di tangan kanan.

“Ada yang mau ikut merayakan denganku?” teriak Wanita Tua.

Tak ada satupun yang menjawab. Warga menganga tak percaya dengan perubahan drastis
pada sikap dan penampilan Wanita Tua. Bahkan baju serta tapih yang dia kenakan kini lecek dan
kumal. Seakan tak cukup dilanda keheranan, jantung warga dipaksa berpacu ketika tiba-tiba
mendengar suara burung gagak tiada henti.

“Balak, balak. Akan ada balak. Ayo pulang, tutup rapat pintu dan jendela rumah!” keras,
Wanita Tua menyeru.

Wanita Tua tertawa terbahak-bahak. Dia berkeliling di depan teras rumah, menari
berjingkrak-jingkrak sambil memukul-mukul kentongan.

Keesokan hari, warga tak bertemu lagi dengan Wanita Tua. Tepatnya, tidak bertemu
selamanya. Tak ada pula yang mencari. Mereka beranggapan bahwa Wanita Tua telah bertemu
dengan kematian ketiga, sekaligus menjadi kematian terakhir baginya.

***

Karena tak bisa bertemu Wanita Tua lagi, aku pulang dengan hampa. Kurogoh secarik foto
usang yang gambarnya telah memudar dari saku celana. Nampak seorang perempuan berusia kira-kira
25 tahun. Foto ini tak sengaja kutemukan di ruang tersembunyi dalam dompet Bapak, setelah
seminggu lalu dipanggil Tuhan. Entah mengapa, foto perempuan ini bisa begitu mirip dengan Wanita
Tua.

Semarang, 26 April 2019

Keterangan:

Balak: bencana.

Amben: ranjang dari kayu, penyangga kasur.

Gembol: memasukkan benda ke dalam selendang lantas diikatkan ke tubuh.

Nuwun sewu: permisi.

Tapih: jarik/kain batik.


---

Perempuan dengan hobi baca komik ini adalah jurnalis kuasakata.com, media online di
Semarang. Dia mulai menulis beberapa cerpen usai merasa "kehilangan daya magis berpuisi"
sejak tiga tahun silam.

Anda mungkin juga menyukai