Ratu Adioa
Kisah ini datangnya dari daerah Sulawesi Utara, hiduplah lima orang sahabat yang
sangat setia satu sama lain, di antara kelima sahabat itu dua diantaranya bernama
Ratu Wulanwanna dan Ratu Adioa.
Pada suatu hari, Ratu Adioa berpikir keras untuk menyelamatkan orang tuanya.
Akhirnya, ia sembunyikan ayah dan ibunya di sebuah gua yang tak seorang pun
tahu. Suatu ketika, datanglah tiga kapal asing membawa harta karun ke desa
mereka. Pemilik kapal itu menantang para penduduk untuk menjawab teka- teki
yang ia berikan, jika teka-teki itu berhasil dijawab dengan benar maka bahwa ia
akan memberikan kapalnya.
Apa teka-tekinya? tanya salah seorang dari penduduk desa.
Pemilik kapal itu tersenyum dan menjawab, Teka-teki itu berupa pertanyaan yaitu
bagaimana membedakan tengkorak laki-laki dengan perempuan? Bagaimana
membedakan anak ayam jantan dengan betina dan Bagaimana mengetahui air
dalam ember adalah air tawar atau air taut? Itulah pertanyaannya! jelas pemilik
kapal itu.
Kemudian empat sahabat Ratu Adioa gagal menjawab, sementara itu Ratu Adioa
pulang dan meminta bantuan orang tuanya. Ayahnya menyuruhnya menusuk
tengkorak manusia dengan lidi. Jika lurus, maka itu tengkorak laki-laki. Jika
bengkok, itu tengkorak perempuan. Dan soal anak ayam, jika menengadah ketika
diberi makan beras berarti ia jantan. Kalau menunduk berarti anak ayam betina.
Terakhir air dalam ember itu jika beriak maka itu adalah air taut, namun jika tidak
beriak maka itu air tawar. Kemudian Ratu Adioa menjawab semua pertanyaan itu
dengan benar, maka dia berhak mendapatkan kapal dan semua harta karunnya.
Lalu ia persembahkan harta itu kepada orangtuanya. Sementara empat sahabatnya
sangat menyesal telah membunuh orang tua mereka.
Pesan moral dari cerita rakyat Sulawesi Utara Ratu Adioa adalah Orang tua adalah
sumber kasih sayang dan selalu melindungi anak-anaknya, maka dari itu, kita harus
selalu menjaga orang tua kita dan jangan menyakitinya.
Tiba-tiba, terdengar suara Keke kow keke kow. Bersamaan dengan suara
itu, beberapa buah mangga masak berjatuhan. Salah satunya ,mengenai kaki si
Bungsu.
Si Bungsu terkejut dan terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek matanya, ia
melihat apa yang mengenai kakinya.
Buah mangga? Dari mana datangnya? tanyanya heran. Ia segera membangunkan
kakaknya dan menceritakan apa yang terjadi. Sementara itu, suara Keke kow
keke.. kow terus terdengar. Kedua gadis itu masih terus mencari asal suara
tersebut, tapi tak berhasil.
Kejadian itu terus berulang. Setiap kali mereka ke hutan, mereka akan dijatuhi
berbagai jenis buah-buahan. Dan suara misterius itu akan terus membahana.
Akhirnya si Sulung berteriak. Siapakah kamu? Ayo tunjukkan dirimu, aku ingin
berterima kasih.
Keke kow keke kow tiba-tiba muncullah seekor burung di hadapan
mereka. Rupanya burung itulah yang selama ini memberikan buah- buahan kepada
kedua gadis itu.
Hai gadis miskin, tak usah berterima kasih padaku. Anggaplah itu hadiah karena
kalian berdua bekerja sangat rajin dan tak pernah mengeluh, kata burung itu.
Kedua gadis itu lalu menamainya burung kekekow. Sejak hari itu, burung kekekow
memenuhi kebutuhan makanan mereka, bahkan kadang- kadang memberikan kain
yang indah. Burung kekekow tidak tega melihat pakaian mereka yang kumal dan
sudah tak layak pakai. Ia juga memberikan perhiasan emas. Keluarga itu sekarang
hidup berkecukupan. Mereka tak lagi berpakaian buruk dan kekurangan makanan.
Kedua gadis itu tampak cantik.
Berita tentang burung kekekow ini tersebar ke seantero desa. Teman-teman Si
Sulung dan si Bungsu rupanya iri pada kecantikan mereka.
Dari mana kalian mendapatkan pakaian dan perhiasan yang indah-indah ini?
tanya mereka.
Kedua gadis itu pun menceritakan dengan jujur apa yang mereka alami. Temantemannya tak terima. Mereka lalu melapor pada kepala desa. Mereka juga ingin
seperti kedua gadis itu.
Kepala desa memerintahkan semua warga untuk mencari burung kekekow. Setelah
berhasil menangkapnya, para warga berkumpul di balai desa untuk mengajukan
bermacam-macam permintaan, termasuk kepala desa.
Berikan gelang emas untuk istriku, kata kepala desa. Aku ingin kain sutra yang
indah, kata seorang warga.
Aku ingin peralatan makan dari perak, kata warga yang lain.
Suasana menjadi gaduh, masing-masing warga mengajukan permintaan mereka.
Namun, apa yang terjadi? Burung kekekow diam saja. Ia tak memberikan apa pun
pada warga tersebut. Ia hanya berteriak Keke kow keke kow.
Warga mulai naik pitam. Mereka menganggap burung kekekow sengaja mengejek
mereka. Dengan persetujuan kepala desa, mereka pun menyembelih burung itu
dan membuang bangkainya begitu saja.
Si Sulung dan si Bungsu menangis. Mereka tak menyangka warga begitu tega.
Keluarga itu mengubur bangkai tersebut di halaman rumah mereka. Mereka
menanam bunga yang indah di atasnya, sebagai penghormatan pada burung yang
pernah menolong mereka.
2
Ajaib, bunga-bunga itu tak bertambah besar. Di atas makam burung kekekow itu
justru tumbuh sebatang pohon besar yang menghasilkan buah sepanjang tahun.
Anehnya, buah yang dihasilkan selalu berganti-ganti. Karena jumlahnya banyak, si
Sulung don si Bungsu menjual
sebagian buah itu ke pasar. Dari situ mereka bisa hidup dengan Iayak. Burung
kekekow terus menolong mereka meskipun dia sudah mati.
Pesan dari Kisah Burung Kekekow adalah Mengucap syukurlah dalam segala hal
dan hilangkan sifat buruk, iri hati dan dengki.
Enak saja, itu tadi hanya kebetulan. Kau harus mengulanginya sekali lagi, jawab
Sigarlaki. Rupanya ia masih belum percaya kalau Limbat berkata jujur.
Jika kali ini kau berhasil, aku baru percaya padamu, tambah Sigarlaki. Terpaksa,
Limbat menyelam untuk kedua kalinya.
Dengan penuh percaya diri, Sigarlaki sekali lagi menancapkan tombaknya. Tibatiba, Aduuhh kakiku! teriaknya.
Ternyata seekor kepiting berukuran besar mencapit kakinya. Sigarlaki kesal sekali,
ia lalu mencabut tombaknya. Sambil terpincang-pincang, ia berusaha memukul
kepiting itu dengan tongkatnya.
Untuk kedua kalinya Limbat keluar dari sungai. Dalam hati ia geli menyaksikan
tuannya lari terpincang-pincang. Ia bersyukur, kejujurannya teIah terbukti. Limbat
mengejar tuannya dan mengajaknya pulang ke rumah.
Maafkan aku Limbat, ternyata kau memang jujur padaku, kata Sigarlaki. Limbat
hanya tersenyum. Sejak saat itu, Sigarlaki tak pernah lagi menuduhnya dengan
sembarangan.