Anda di halaman 1dari 31

Pengertian Cerpen

Cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek.
Selain itu, cerpen juga hanya memuat satu alur cerita. Ukuran panjang pendeknya
suatu cerita memang relatif. Namun, umumnya cerpen merupakan cerita yang habis
dibaca sekitar 10 hingga 30 menit. Jumlah katanya sekitar 500–10.000 kata. Maka dari
itu, cerpen sering juga disebut sebagai “cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk”.

Biasanya, cerpen mengangkat persoalan kehidupan manusia secara khusus. Tema


cerpen berasal dari persoalan keseharian hingga ke renungan yang dipotret dari
kehidupan nyata. Namun, tokoh dan latar bisa direkayasa demi kepentingan keindahan
cerita sekaligus membedakannya dari teks pengalaman nyata.

Ciri cerpen juga ditandai dengan jumlah karakter yang relatif kecil. Nah, unsur yang ada
pada cerpen adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, alur dan plot, sudut pandang,
amanat, dan gaya bahasa. Cerpen juga memiliki memiliki struktur dalam penulisannya.

Struktur Cerpen
Struktur cerpen terdiri dari orientasi, rangkaian peristiwa, komplikasi, dan resolusi. Nah,
untuk penjelasan lebih lengkapnya, ada di bawah ini!

1. Orientasi

Di bagian ini, kamu akan menemukan pengenalan para tokoh, menata adegan, dan
hubungan antartokoh.

2. Rangkaian Peristiwa

Kisah akan berlanjut melalui serangkaian peristiwa satu ke peristiwa lainnya yang tidak
terduga.

3. Komplikasi

Kemudian, cerita akan bergerak menuju konflik atau puncak masalah, pertentangan,
atau kesulitan-kesulitan bagi para tokohnya yang memengaruhi latar waktu dan
karakter

4. Resolusi

Bagian ini akan menceritakan solusi untuk masalah atau tantangan yang dicapai telah
berhasil. Pada bagian ini, kamu juga akan mengetahui bagaimana cara pengarang
mengakhiri cerita.

Contoh Cerpen
Cerpen berjudul Wanita Berwajah Penyok
Wanita Berwajah Penyok
Oleh: Ratih Kumala
Orientasi:

Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang yang tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini
padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabnya.
Konon dia lahir tanpa diminta. Korban gagal gugur kandungan dari seorang perempuan.
Hasil sebuah hubungan gelap yang dilaknat warga dan Tuhan.

Perempuan yang saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu yang sebenarnya. Dia hanya
inang yang berkasihan lalu bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayi
berwajah penyok yang dibuang orang di pinggir kampung.

Rangkaian Peristiwa:

Suatu hari yang biasa; siang terang dan wanita berwajah penyok tengah keliling
kampung sendiri saat anak-anak kecil sepulang sekolah itu mulai mengekori dan
menyambut punggungnya di belakang.

Maka, wanita berwajah penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya yang dekil
melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang
terkena timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengucur dari situ,
mengubah seragam putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada
ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan bubar satu-satu.

Dengan terpaksa, keluarga wanita berwajah penyok akhirnya memutuskan untuk


memasung dirinya pada sebuah ruangan kecil yang tak bisa disebut manusiawi dekat
tanah pekuburan. Sejak itu wanita berwajah penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti
tahun, tanpa tahu itu malam atau siang.

Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka,
yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia akan melancarkan jawabannya. Tak ada yang
benar benar tahu apa yang dia kerjakan di dalam sana walau kadang terdengar
suaranya berteriak untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan.

Orang-orang mengira itu suara kuntilanak jejadian penghuni kuburan. Tak pernah ada
orang yang benar-benar mendekat. Wanita berwajah penyok telah lupa bahasa tanpa ia
pernah benar-benar menguasainya.

Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang akan bertanya
bagaimana ia bisa bertahan hidup? Sebab ia telah menjadi sendiri.
Pada malam yang biasanya kelam nan pekat, kini wanita berwajah penyok bisa
mendapat segaris cahaya dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia
bisa melihat rembulan. Bertahun dia tidak melihat rembulan hingga ia lupa bahwa yang
dilihatnya adalah rembulan.

Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, ia merasa bahwa dirinya
punya teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa yang hanya ia mengerti, ia
bercakap-cakap dengan bulan. Dia selalu menunggu teman barunya untuk berkunjung
dan bercakap-cakap dengannya setiap malam.

Namun, semakin hari bentuk wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil
dan terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi.

Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya masih pasi.
Saat bulan bulat penuh, wanita berwajah penyok girang sekali sebab ini berarti dirinya
berhasil menghibur teman baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan
seperti yang sudah-sudah, wanita berwajah penyok tak pernah bosan menghiburnya
dengan bahasanya sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu.

Komplikasi:

Hingga suatu malam, sehari setelah bulan benar-benar sabit, rembulan tidak datang
mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam
itu hujan turun deras. Wanita berwajah penyok berpikir bahwa rembulan sedang
menangis. Maka dia ikut menangis pula, kesedihan mendalam sahabatnya, dan sekali
lagi, dengan bahasa yang hanya bisa dia mengerti, dirinya berusaha membujuk bulan
dan menghiburnya.

Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air
masuk dari celah atap ruang pasung yang menjadi bocor. Menimpa kepala wanita
berwajah penyok dan membuat dirinya kebasahan.

Lelah, wanita berwajah penyok tertidur. Ia menggigil hebat tanpa ada orang yang tahu
keadaannya. Paginya ia terbangun oleh segaris sinar yang masuk dari celah atap. Sinar
kecil itu jatuh ke kubangan air yang menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam.
Tetapi, begitu dia terbangun yang diingatnya hanyalah rembulan.

Resolusi:

Siang telah menjelang, ini berarti rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalam
bersembunyi di balik awan sambil menangis. Ia menyesal tak bisa melihat wajah
rembulan malam tadi.

Didekatinya genangan air tadi. Genangan yang tak jernih. Ia berwarna coklat karena
bercampur debu. Sebuah bayangan ada di sana. la tersenyum dan menemukan wajah
rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi sebab bersama
sahabat di dekatnya.

Cerpen berjudul Ketika Laut Marah


Ketika Laut Marah
Oleh: Widya Suwarna
Orientasi:

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat
turun. Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah
memberi tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-
bintang pun seolah tak berani menampakkan diri.

Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari


bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang
hanya satu dua gram untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya
benda berharga terpaksa meminjam pada lintah darat.

Rangkaian Peristiwa:

Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah,
tak ada yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah
nelayan biasa, seperti para tetangganya.

Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam
lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang
berkekurangan untuk makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang
lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.

Komplikasi:

Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal
20.000. Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok
kita sudah tak punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”

Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah,
memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal
awan hitam menjanjikan cuaca buruk nanti petang.

Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan
berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan
dirisaukan.”
Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada
perintah suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun.
Sementara itu Pak Yus masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan
memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam. Dengan demikian para nelayan
bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan untuk seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah
selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.

“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang
menggendong adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.

Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap,
dengan suaranya yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu
makan di rumahmu dan semua anak ini akan makan enak di rumahnya masing-
masing.”

Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan
berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para
nelayan akan panen ikan.

Resolusi:

Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut
tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal
awan hitam yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.

Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para
nelayan berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka
menuju pantai dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.

Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua
nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak
makan di rumah ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus
memanjatkan doa syukur.

Cerpen berjudul Kado Istimewa


Kado Istimewa
Oleh: Jujur Prananto
Orientasi:

Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa
tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak
lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan
datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia
tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.
Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya
yang sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang
sejati. Termasuk diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma
bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang
bersama Pak Gi.

Rangkaian Peristiwa:

Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan
banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja
mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi.
Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak
Kalasan-Jakarta.

Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru mengukuhkan peran Pak
Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya komunikasi
langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan cita-
cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.

“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,”
demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang
lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering
menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya
Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”.

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah
tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan
bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar
kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan
yang sangat tepat untuk berjumpa.

Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah.
Tas kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas
plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah
merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu
perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta
ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya
meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin
secepatnya ia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi.

Berbincang-bincang tentang masa lalu tentang kenangan-kenangan manis di dapur


umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir
Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-
mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan
terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke
atas gerbong.

“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.

Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!”
kata Bu Kus dengan ketus.

“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.

“Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.

Komplikasi:

Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus
sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat
pagi-pagi melihat ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian.

“Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya Wawuk.

“Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.

“Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.

“Yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.

“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.

“Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan
resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”

“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”

“Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”

“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“Apa-apa, kok, mesti laporan.”

“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan… tidak di
undang?”

“Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”


“Ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang
biasa.”

“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”

“Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di
mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar omongan
kiri kanan.”

“Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak diundang?”

“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa,
jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-
menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”

“Kan bisa tanya?”

Resolusi:

Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini
yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Pidato beserta Struktur, Tujuan & Jenisnya

Cerpen berjudul Obat Bosan dari Nenek


Obat Bosan dari Nenek
Oleh: Widya Suwarna
Orientasi:

Ayah dan Ibu belum pulang dari kantor. Mbak Asti dan Mas Pur pergi kuliah. Kawan
bermain Lili, Oni sedang sakit kuning. Vita, tetangga sebelah sedang pergi ke rumah
saudaranya. Nah, tinggal Lili dan Mbok Nah yang ada di rumah. Mbok Nah sibuk
menyetrika.

Lili merasa kesal dan bosan. PR sudah selesai. Dia tak tahu lagi apa yang harus
dilakukannya. Biasanya dia bisa bermain dengan Vita atau Oni.

Rangkaian Peristiwa:

“Sudah, tidur saja Li!” usul Mbok Nah.


“Ah, orang tidak mengantuk disuruh tidur!” Lili menggerutu. “Atau main ke rumah Dede?
Biar Mbok antarkan!” Mbok Nah menawarkan.

“Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam empat begini dia belum bangun. Dia ‘kan
harus tidur siang setiap hari!” Lili menolak. Tiba-tiba Lili mendapat gagasan. Dia pergi
ke kamar Ibu dan menelepon Nenek.

Sesudah bercakap-cakap sejenak, Lili mulai mengeluh, “Nek, kalau tiap hari begini Lili
bisa mati. Bosannya setengah mati. Vita pergi, Oni sakit. Di rumah tak ada siapa-siapa!”
“Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu ‘kan penyakit yang paling gampang
diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!”

“Tentu saja. Cucu-cucu yang tinggal sama Nenek segudang. Di sana ‘kan selalu ramai.
Di sini sepi!”

“Selalu sepi tidak enak, selalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar
sebentar. Nenek akan segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu!”

“Baiklah, cepat datang, ya Nek!” kata Lili dengan gembira dan meletakkan gagang
telepon. Dalam hati Lili bertanya-tanya seperti apa kiranya obat bosan itu.

Kalau berbentuk pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk permainan, nah
ini lebih asyik. Tetapi, mainan pun lama-lama bias membosankan.

Sambil menunggu Nenek datang, Lili mendekati Mbok Nah lagi. “Mbok, Mbok, Nenek
mau datang membawakan obat bosan. Tahu tidak Mbok, obat bosan itu seperti apa
sih?” Mbok Nah tertawa, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

“Lili, Lili, mana ada sih obat bosan? Ada juga obat batuk, obat sakit perut, obat flu.
Kalau Mbok Nah bosan, obatnya sih gampang saja. Stel saja kaset dangdut. Hilang
sudah rasa bosannya!” kata Mbok Nah.

Sekarang Lili yang tertawa. “Kalau saya sih tambah bosan mendengar kaset lagu
dangdut. Kaset lagu anak-anak saja, paling seminggu enak didengar. Sesudah itu
bosan saya mendengarnya!” kata Lili.

Komplikasi:

“Ya, sudah. Kesukaan orang ‘kan Iain-Iain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa obat bosan
yang bagaimana!” kata Mbok Nah. Empat puluh menit kemudian Nenek datang. Lili
menyambutnya dengan gembira. Nenek mengeluarkan beberapa buah buku dari
tasnya.

“Yaaa, obat bosannya bukuuuu. Lili kan malas baca buku!” seru Lili dengan kecewa.
“Hei, kamu belum tahu nikmatnya membaca buku rupanya. Kalau sudah senang
membaca, kamu tidak akan pernah merasa bosan lagi. Nah, sekarang coba kamu baca
buku yang ini!” kata Nenek sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar.

“Kalau tebal, malas ah bacanya!” kata Lili dengan segan. “Tidak, ini cuma 24 halaman.
Tiap halaman ada gambarnya dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil.
Bagus, Iho! Anak-anak di berbagai negara sudah membaca buku ini!” Nenek memberi
semangat.

Resolusi:

Lili mulai membaca. Eh, ternyata menarik juga. Nenek tersenyum dan berkata, “Kamu
sudah kelas empat. Sayang sekali kamu belum mengenal banyak cerita yang bagus.
Sebetulnya buku bukan hanya buku cerita, tetapi ada juga buku tentang berbagai
pengetahuan. Misalnya kamu mau tahu asal minyak tanah, atau cara kerja tukang pos,
atau tentang menanam bunga atau apa saja, semua ada bukunya!”

“lya, Nek? Kalau buku cara membuat mainan dari kertas, ada tidak Nek? Itu Iho, seperti
membuat perahu, burung. Lili mau baca buku itu kalau ada!” kata Lili.

“Tentu saja ada. Nanti, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai
macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti,
makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal.
Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa bosan. Bermain dengan kawan
memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti
kalau kamu menjadi mahasiswi, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang
tebal-tebal!” kata Nenek.

“Buku ceritanya dari mana, Nek?” tanya Lili.

“Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu atau dua
buah buku. Kemudian kamu bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu yang punya
buku cerita. Selain itu kamu juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu
ada perpustakaan tidak?” tanya Nenek.

“Ada. Tapi Lili belum pernah pinjam!” Lili mengaku terus terang.

“Lili! Lili! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan. Tetapi, baiklah! Sekarang


Nenek akan membimbingmu. Nenek akan pinjamkan buku-buku yang menarik, supaya
kamu rajin membaca. Sesudah itu berangsur-angsur kamu mulai membaca buku yang
banyak teksnya!” kafa Nenek.

Selama satu bulan Nenek akan sering datang membawa buku cerita untuk Lili. Sampai
akhirnya, bila Lili sudah gemar membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-
buku cerita.
Lili sudah bisa mencari sendiri buku cerita atau pengetahuan yang dibacanya. Yang
penting juga, Lili sudah mendapat obat bosan yang ampuh dari Nenek, hingga seumur
hidup dia akan bebas dari penyakit bosan.

Cerpen berjudul Kucing yang Selalu Lapar


Kucing yang Selalu Lapar
Oleh: Lena D.
Orientasi:

“Mengapa kucing mencuri?” tanya Kiki dalam hati. Gadis kecil itu merenung di tepi
jendela sambil mendengarkan keributan yang sedang terjadi di sebelah rumahnya.

Kiki sudah dapat menduga siapa yang menjadi sumber keributan itu. Pasti kucing itu!
Benar saja! Seekor kucing kecil dengan tangkas meloncat ke pagar tembok yang
memisahkan rumah Kiki dengan rumah Tante Sali. Mata kucing itu dengan liar
memperhatikan sekitarnya. Ekornya berkali-kali dikibaskan ke udara.

Rangkaian Peristiwa:

“Hai….” sapa Kiki. “Mencuri lagi, ya!” Kucing itu hanya menggeram. Matanya nanar
waspada. Tiba-tiba saja ia melompat turun. Lalu menghilang.

“Kucing sialan!” Tante Sali muncul dari balik pagar. Napasnya memburu.

Sebelah tangannya membawa sapu, sebelah lagi berkacak pinggang. “Sialan kucing
itu!”

“Mencuri apa dia, Tante?” tanya Kiki.

“Oh….” Tante yang gemuk itu menoleh. Senyumnya mengembang melihat Kiki. “Tidak,
tidak mencuri apa-apa! Tidak berhasil dia! Tapi tiap hari diintip-intip, kan, menyebalkan,
Ki!”

“Oh…. Tidak berhasil!” Kiki meniru. “Kenapa kucing mencuri, Tante?”

“Tentu saja karena ia lapar!” jawab Tante Sali.

“Kasih saja kucing itu makan, Tante, biar tidak mencuri lagi!” usul Kiki dengan polosnya.

“Enak saja!” Tante Sali merengut. la jadi nampak lucu sekali. Dagunya yang gemuk
berlipat-lipat. “Memangnya kucing siapa dia?!”

Kucing siapa? Kiki tertegun. Dalam benak gadis kecil itu tak terbayang pemilik kucing
yang selalu membuat ulah itu. Kalau tidak berhasil mencuri di tempat Tante Sali, pasti
ia beroperasi di rumah sebelah lagi.
“Punya siapa, Tante?” tanya Kiki cepat-cepat sebelum Tante Sali berlalu.

“Tidak tahu. Kucing liar mungkin,” jawab Tante Sali sambil membalikkan badan.

Namun, kemudian dia berbalik lagi. Lalu menjulurkan kepalanya melewati pagar.

“Kiki,” panggilnya. “Kenapa tidak main ke rumah Tante? Ayo, anak manis, kok tahan
sendirian di rumah! Molly belakangan ini kesepian tidak ketemu Kiki,” kata Tante Sali.

Kiki menggeleng. Lalu menutup jendela cepat-cepat sebelum tante yang gemuk itu
mendesaknya bermain ke situ.

Rupanya Tante Sali tidak tahu bahwa Kiki lagi marah pada Molly, anjingnya itu. Kiki
sebal Molly mau seenaknya saja. Kalau ia lagi ingin main, Kiki dikejar-kejarnya. Coba
kalau lagi malas, Molly tidak memperdulikannya! Lebih baik bermain dengan si Putih
saja! gerutu Kiki dalam hati. Si Putih…

Komplikasi:

“Ngeong… Ngeong….” Terdengar suara kucing. Kiki segera berlari ke luar.

Beberapa anak laki-laki sedang menghajar si Putih di rumah sebelah. Ada yang
menendang, memukul pakai sapu, dan menarik-narik ekornya. Kucing itu hanya bisa
mengeong-ngeong kesakitan. Beberapa kali ia mencoba melarikan diri, tapi tertangkap
kembali.

Tante Sali menyaksikan itu dengan senang sekali. Bahkan ia menyemangati anak-anak
itu. Sedangkan Kiki yang berdiri di sebelahnya berurai air mata. Hatinya yang polos dan
lembut tak bisa menerima tindakan semena-mena itu.

Ketika Ibu pulang dari bekerja, Kiki mengadu sambil terisak-isak. Ibu menenangkan
anak satu-satunya itu dan berjanji.

“Kalau Nyonya masak daging, nanti Ibu bawa tulang-tulangnya pulang. Untuk kucing
pencuri itu. Biar ia tidak lapar. Biar tidak mencuri lagi,” kata Ibu.

Ibu bekerja jadi pembantu di rumah Nyonya Maria. Sejak masih gadis Ibu sudah
bekerja di sana. Ibu berhenti bekerja ketika menikah dengan bapak Kiki. Setelah
suaminya meninggal, Ibu bekerja kembali di sana.

Ketika tahu Ibu sering membawa pulang tulang-tulang ikan untuk kucing, Nyonya Maria
malah memberi daging untuk Kiki. Nyonya Maria maklum keluarga kecil itu tentu jarang
makan daging.

“Wah, daging, Bu!” seru Kiki ketika melihat apa yang dibawa ibunya pulang. “Untuk si
Putih?”
“Ini gulai. Untuk Kiki saja,” kata Ibu. “Tulang-tulangnya baru kasih si Putih.”

“Nyonya Maria baik sekali ya, Bu. Kalau sudah besar, Kiki mau bekerja di sana juga,”
kata Kiki. Ia makan dengan lahapnya sambil tak lupa bercerita tentang si Putih.

Resolusi:

Si Putih, kucing pencuri itu, kini menjadi sahabat Kiki. Mulanya memang sulit untuk
mendekati Putih. Kucing itu selalu curiga dan waspada. la pasti lari bila didekati. Hanya
bila lapar saja, ia mencari Kiki. Karena ia tahu Kiki menyediakan tulang untuknya.

Namun, lama-lama kucing itu menyukai Kiki juga. Kiki satu-satunya manusia yang
berlaku hangat dan manis padanya. Kini Putih berubah menjadi kucing yang bersih dan
manis. Ia tidak lagi kumal, liar, dan sumber keributan. Sampai-sampai Tante Sali
pangling melihatnya.

“Astaga… Ki, ini kan kucing jahat itu!” serunya terbengong-bengong. “Sudah lama ia tak
mencuri lagi!”

“Soalnya Putih tak lapar lagi, Tante,” sahut Kiki. “Kiki memberinya makan.”

“Ih, baik begitu, Ki!”

“Kata Ibu, kucing juga mengerti bila disayang. Kalau Kiki mau baik dan sayang pada
Putih, pasti Putih juga baik dan jinak.”

Lama Tante Sali termangu. Ia merasa disindir. la malu sekali. Bagaimana mungkin,
selama ini ia bisa bersikap begitu kasar terhadap seekor kucing kecil yang kelaparan?

Cerpen berjudul Suatu Sisi Dalam Hidupmu


Suatu Sisi Dalam Hidupmu
Oleh: Andriani
Orientasi:

Siang ini begitu teriknya, matahari bersinar tak ada kompromi, menyengat dan
membakar bumi, begitu panasnya. Aku berjalan terseok-seok membawa satu bakul
nasi, yang harus masih panas, dua termos air panas dan dua lembar kain lap bersih.
Ah, emak, kalau bukan karena perintah emak, aku tak akan mau membawa barang
berat ini. Tapi emak, emak yang memerintah! Aku tak mau dibilang anak durhaka. Jadi,
yah, siang yang panas ini aku harus mengantar pesanan emak.

Emak adalah tulang punggung keluarga, kalau tidak ada emak mungkin aku tidak bisa
merasakan nikmatnya sekolah, belajar, berteman, dan semua yang menyenangkan.
Sedangkan bapak, bapak tidak bisa diandalkan. Setiap hari selalu saja berjudi. Kalau
tidak berjudi, ya, tidur molor di rumah. Dia sangat menyebalkan, tapi walaupun
menyebalkan dan aku membencinya, dia adalah bapakku. Kasihan emak yang selalu
menderita, kadang aku berpikir, coba kalau emak jadi bapak dan bapak jadi emak,
mungkin keadaannya akan lebih lumayan.

Rangkaian Peristiwa:

“Aduh…”, tiba-tiba aku menabrak seseorang.

Krompyang…krompyang…krompyang, semua bawaanku jatuh berantakan, tapi untung


saja bakul nasi sudah kubungkus dan kuikat rapat-rapat, kalau tidak, wah gawat, emak
bisa nyanyi nih. Eh, iya, siapa yang kutabrak tadi, ya? Aku mengangkat kepala dan, ya
ampun!!! Kerennya, aduh mak, pakai dasi, rapi, necis, waduh-duh! Mesti orang
gedongan nih.

“Maaf…”, tiba-tiba dia bersuara.

Aduh emak, copot jantungku. Waduh, gimana ya, gawat bin gawat nih. Wah, keadaan
darurat…, cepat-cepat aku membereskan bawaanku dan cepat-cepat ku ayunkan
kakiku, baru beberapa langkah…

“Eh, nona, permisi, maaf, aku tadi tidak sengaja”, katanya lagi.

“Sudahlah, aku yang salah. Maaf ya, permisi”, kataku kemudian dan akupun berjalan
tergesa-gesa meninggalkannya.

Dari kejauhan dia masih memanggilku, “Nona, nona tunggu!”, tapi aku tak
menggubrisnya. Aku malu! Bagaimana tidak? Dandananku amburadul, dan dia necis.
Oh, dia, dia memanggilku nona, hi..hi..hi, lucu juga ya. Seumur-umur baru kali ini aku
dipanggil nona. Ah, sudahlah, kalau melamun terus bisa-bisa nanti menabrak lagi.

Komplikasi:

Ah, capeknya, dari tadi siang aku harus membantu emak melayani pembeli. Lumayan
banyak sih, sopir-sopir bus, sopir truk, penumpang-penumpang bus. Walaupun setiap
hari dapat untung banyak, tetapi kalau aku sih, lebih baik tidak dapat uang daripada
capek, tapi gimana lagi ya?!

Setiap hari kehidupanku selalu begini, pagi sekolah, siang sampai malam membantu
emak. Malam hari, setelah membantu emak, aku belajar. Untungnya, aku tidak
mempunyai adik maupun kakak, jadi kasih sayang emak selalu terlimpah padaku.

Setiap aku datang ke warung emak untuk membantu, emak sembari melayani pembeli,
selalu menanyakan bagaimana keadaanku, tentang sekolahku dan mengenai teman-
temanku. Dan akupun selalu menjawabnya dengan antusias dan bersemangat,
walaupun aku tahu kalau emak kadang memperhatikan kadang pula tidak
mendengarkan, tapi aku peduli, karena dengan bercerita pada emak, aku dapat
menumpahkan semua isi hatiku.

Aku merasa puas, walaupun aku terlahir dari keluarga yang tak mampu, aku tak
menyesal. Aku mempunyai emak yang selalu menyayangiku dan selalu mencukupi
kebutuhanku walaupun masih kurang. Ah, itu tidak apa-apa. Tapi aku tak mau
menceritakan bapak, karena aku memang tak tau apa yang harus diceritakan, lain
halnya jika aku menceritakan emakku.

Kalau sedang tidak ada pembeli, kadang aku duduk melamun melihat orang-orang
yang bermacam-macam bentuk jenisnya berlalu lalang. Dari orang yang berdasi dan
bersaku tebal sampai anak kecil yang tak berbaju. Sebenarnya Tuhan itu Maha Adil,
diciptakannya bermacam-macam manusia, ada yang kaya, ada yang miskin, yang kaya
harus membantu yang miskin, dan yang miskin harus menghormati yang kaya. Ah,
benar-benar komplit.

Pada suatu sisi, ada orang yang makan dengan lahap segala makanan yang terhidang
di hadapannya, di sampingnya duduk seekor anjing kecil, manis, tapi menurutku
menjijikkan juga karena lidahnya yang selalu terjulur keluar dan meneteskan air liur. Si
wanita yang mempunyai anjing itu makan dengan lahapnya tanpa memperdulikan
sekelilingnya dan setelah selesai, ia memberikan makanan yang belum disentuhnya
pada anjing tersebut.

Di sisi yang lain, ada seorang gelandangan yang mengais makanan di tong-tong
sampah, jika mencari sisa-sisa makanan. Bila mendapatkan sisa makanan, tanpa
memperdulikan apakah makanan itu layak atau tidak untuk dimakan, disantapnya
dengan lahap. Begitu berbedanya suatu keadaan semacam ini.

Kadang, aku berpikir jika aku mempunyai kuasa seperti Tuhan, aku akan mengubah
semua keadaan ini. Ah, kubayangkan bagaimana jika yang kaya berubah menjadi
miskin dan si miskin berubah menjadi kaya, tak bisa kubayangkan jadinya.

Resolusi:

Adzan Ashar menggema, seiring dengan terdengarnya suara deru mobil di luar,
lamunanku menjadi buyar. Ah, kenangan masa lalu dan akupun bangkit serta melihat
dari balik gorden jendela. Di luar sana, suamiku bersama anak laki-lakiku yang baru
pulang dari les baru turun dari mobil. Suamiku, orang yang kutabrak dulu.

Aku tersenyum terkenang masa lalu, betapa indahnya. Aku pun berjalan menyambut
mereka.

Emak…, suatu kata yang penuh arti untukku.

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Laporan Percobaan Singkat & Strukturnya
Cerpen berjudul Lukisan Kasih Sayang
Lukisan Kasih Sayang
Oleh: Widya Suwarna
Orientasi:

Pak Saiful, seorang pelukis ternama, mempunyai seorang pelayan yang setia.
Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak
Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air
minum, dan makanan.

Pak Saiful selalu melukis di tempat yang indah sekaligus mengerikan. Tempatnya di
bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar
berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-
bunga itu.

Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa kecil yang
permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai yang berwarna
merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, lumpur rawa itu selalu menelan
benda apa saja yang terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia.

Rangkaian Peristiwa:

Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya yang sangat indah. Lukisan
seorang anak kecil yang sedang menggendong dan membelai anjing kecil berbulu
coklat. Siapa pun yang melihat lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi
anjingnya dan anjing kecil itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak.

“Mumu, coba ke sini dan lihat lukisanku!” kata Pak Saiful bangga.

“Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan harga mahal,” ujar Mumu.

Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman.
Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi.
Oh, semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin indah terlihat. Pak Saiful mundur
beberapa langkah lagi dan memandang lukisannya kembali. Rupanya ia tak sadar
bahwa ia tepat berada di tepi rawa.

Sementara itu Mumu melihat majikannya yang sudah berada di tepi rawa. Alangkah
berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti ia terjatuh ke dalam rawa.
Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya.

Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berkata dengan marah, “Apa-apaan kamu ini, Mu.
Berani-beraninya kamu mau merusak lukisanku, atau mau mencurinya?!”
“Maaf, Pak, maksud saya…!” jawab Mumu.

Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu.

“Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan yang kurang ajar!” seru Pak Saiful
dengan wajah merah padam.

Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa


perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga.

Komplikasi:

Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena
belum puas memandang, hari ini ia akan memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu
oleh Mumu.

Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian ia memperpanjang


jaraknya. Akhirnya ia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di balik pohon besar ada
sepasang mata mengawasinya.

“Karya hebat. Aku sendiri pun hampir meneteskan air mata memandang lukisan itu.
Orang akan tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka akan berpikir bahwa
kasih sayang itu sesuatu yang amat penting dan berharga!” pikir Pak Saiful. Tanpa
sadar Pak Saiful mundur lagi dan… oooh… ia terperosok ke dalam rawa.

“Tolooong… tolooong!” jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya akan
terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut akan segera menjemputnya. Saat itulah
Mumu muncul sambil membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah
pohon besar dekat rawa.

“Pegang tambang ini, Pak!” kata Mumu sambil mengulurkan tambang. Lalu Mumu
cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat
bercucuran di wajah Mumu, namun akhirnya ia berhasil menyeret majikannya keluar
dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan.

Resolusi:

Ketika sadar, ia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah
mengurus segala sesuatunya dengan baik.

“Terima kasih, Mumu, kamu menyelamatkan nyawaku!” kata Pak Saiful. “Maafkan aku!”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak
kemarin karena saya ingin menarik perhatian Bapak. Bapak sudah berada di tepi rawa
waktu itu. Saya kuatir Bapak akan jatuh. Tadi saya berjaga-jaga dan menyiapkan
tambang karena saya kuatir Bapak asyik memandang lukisan dan terperosok ke dalam
rawa!” kata Mumu.

Mumu, si pelayan setia mendapat hadiah dan kembali bekerja pada Pak Saiful. Kasih
sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya
membuat Pak Saiful makin menyadari arti kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak
Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada panti asuhan.

Cerpen berjudul Gara-Gara Nenek Lupa


Gara-Gara Nenek Lupa
Oleh: Sarah Nafisah
Orientasi:

Setiap akhir tahun, sekolah Rino libur. Di saat itu, Rino, Ayah, dan Ibu akan naik ke
mobil dan berkunjung ke rumah Nenek Ida di desa. Nenek Ida mempunyai ladang. Rino
suka sekali berlibur ke desa Nek Ida.

Setiap pertengahan tahun, sekolah Rino juga libur. Namun di saat itu, giliran Nek Ida
yang berkunjung ke rumah Rino. Begitulah cara keluarga Rino mengatur liburan. Agar
tidak bosan, kadang mereka liburan di kota, kadang di desa pertanian.

Rangkaian Peristiwa:

Akan tetapi, di tahun ini, Nenek Ida membuat kesalahan.

“Aku yakin, saat ini, giliranku untuk liburan ke kota,” gumam Nek Ida yang mulai pelupa.
Pelan-pelan, ia lalu mengemasi baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper.

Pada saat yang sama, ibu Rino juga sedang mengemasi tas. Ibu tampak tidak
bersemangat. Sambil menutup tasnya, ibu Rino berkata,

“Ibu sebetulnya ingin sekali bisa liburan ke pantai. Sekaliii saja supaya tidak sama
dengan tahun-tahun sebelumnya.”

Rino dan adiknya langsung berseru setuju.

“Aku juga ingin ke pantai, Bu! Jangan ke rumah Nek Ida terus atau cuma berkeliling
kota ini. Bosan. Kalau liburan ke laut, kita kan bisa berenang dan menggali pasir. Yah,
Ayah, tahun ini kita liburan ke pantai, saja ya?” seru Rino bersemangat.

“Tentu saja tidak bisa, sayang,” kata ayah Rino. “Akhir tahun ini, kita akan mengunjungi
Nenek seperti biasa. Jangan sampai Nenek kecewa dan bertanya-tanya kalau kita tidak
datang. Tahun depan saja kalau mau ke pantai. Supaya Nenek juga sudah diberitahu
jauh-jauh hari.”
Rino jadi lesu. Namun, kata-kata ayahnya ada benarnya. Nek Ida pasti sedih kalau
mereka tidak datang ke pertaniannya. Rino tak ingin membuat neneknya yang baik hati
itu jadi sedih.

Komplikasi:

Keesokan harinya, cuaca sangat cerah. Rino, Ayah dan Ibu naik ke mobil. Tak lama
kemudian, mereka sudah ada dalam perjalanan menuju peternakan Nek Ida.

Di sepanjang jalan yang agak macet dan panas, Rino masih berharap andai mereka
bisa berlibur ke pantai. Karena ayah Rino mulai kehausan, ia menepikan mobil di dekat
kafe pinggir jalan.

Mereka bertiga turun dari mobil. Tiba-tiba, wajah ibu Rino tampak kaget, gembira dan
dengan bersemangat menunjuk ke parkiran.

“Lihat! Mobil itu mirip mobil Nenek!”

Rino dan ayah menengok. Mereka bertiga lalu melangkah pelan mendekati mobil itu.
Astaga, itu memang mobil Nek Ida. Nenek bersandar di pintu mobil dan sedang
menyeruput jus jeruk.

Seketika itu juga, Rino berlari dan memeluk neneknya. Ayah dan Ibu juga memeluk
Nenek dan bertanya heran.

“Ibu mau ke mana?” tanya Ayah.

“Tentu saja mau ke rumah kalian!” kata Nek Ida heran. Namun ia lalu menyadari
kesalahannya. “Astaga, harusnya, ini giliran kalian berlibur di pertanian, ya?” serunya.

Resolusi:

Ibu Rino tersenyum cerah.

“Tidak apa, Bu! Sekarang, kita buat rencana baru saja. Bagaimana kalau tahun ini kita
bikin perubahan. Ibu mau kalau kita berlibur ke pantai?” tanya ibu Rino penuh harap.

Wah, tak disangka, wajah Nek Ida berubah sangat ceria.

“Tentu saja Nenek mau! Nenek mau bermain air laut!” kata Nek Ida penuh semangat.

“Yeeeeeey… Nanti aku temani Nenek main air!” teriak Rino tak kalah girang.

Rino, Ayah dan Ibu tertawa geli melihat Nenek dan cucunya yang bersemangat. Kini,
ayah Rino sibuk melihat peta jalannya.
“Hmmm! Sekarang ini, kita hanya berjarak sembilan mil dari pantai. Jadi, ayo kita ke
sana sekarang!” ajak ayah Rino.

Di mobil, Nek Ida tertawa dan berkata,

“Liburan kita mungkin sudah mulai membosankan dan tercampur aduk. Makanya
Nenek sampai lupa harus tetap di pertanian atau mengunjungi kalian! Syukurlah, Nenek
membuat sedikit kesalahan!”

“Semua orang pernah berbuat kesalahan, Nek. Tapi, kesalahan Nenek ini sungguh
menyenangkan!” kata Rino.

Mereka semua tertawa lagi. Dan ketika udara pantai yang asin mulai tercium, hati
mereka semakin gembira.

Cerpen berjudul Nasihat Iko


Nasihat Iko
Oleh: Vanda Parengkuan
Orientasi:

Mama Iko mengajak Iko ke rumah Tante Niken, teman akrab mama Iko sejak SMA
dulu. Suami Tante Niken sedang keluar kota. Tante Niken mengundang mama Iko
makan malam di rumahnya. Sekalian menemaninya berbuka puasa.

Anak laki-laki Tante Niken bernama Rio. la seusia Iko. Dulu, Iko dan Rio sama-sama
tukang ngompol. Tapi, sekarang Iko sudah tidak ngompol lagi.

Rangkaian Peristiwa:

“Rio masih ngompol, Tante?” tanya Iko di meja makan.

“Tidak!” jawab Tante Niken dan Rio bersamaan.

“Wan, Rio pintar, dong, sudah tidak ngompol! Seperti saya!” ujar Iko sok tua. Tante
Niken tersenyum geli mendengarnya.
“Rio memang sudah tidak ngompol. Tapi ia masih susah makan! Tante jadi pusing!
Harus masak apa supaya Rio doyan makan banyak!” keluh Tante Niken. la lalu mengisi
piring Iko dan Rio dengan mi goreng. Itu makanan kesayangan Iko dan Rio. Tante
Niken sengaja menyiapkannya untuk kedua anak itu. Tapi…, malas makan Rio rupanya
sedang kumat!

Komplikasi:

“Ukh! Mi gorengnya tidak enak!” keluhnya sambil memainkan sendok. Padahal menurut
Iko, mi gorengnya lumayan enak.

“Coba lihat! Rio susah sekali makan! Makanya kurus sekali!” keluh Tante Niken sedih.

“Tidak enak, ya, mi gorengnya!” bisik Rio pada Iko.

“Dulu juga aku sering tidak mau makan, kalau makanannya tidak enak. Tapi kata
papaku, biar tidak enak, anggap saja enak! Nanti jadinya enak betulan!” nasehat Iko
berbisik-bisik.

“Ah, papamu aneh!” ejek Rio.

“Eh, papaku itu hebat! Namanya Pak Tie. Kau harus kenalan dengannya! Supaya kau
bisa makan banyak seperti aku!” bantah Iko sambil mulai memelintir mi gorengnya.

“Coba lihat! Hebat, kan! Mi goreng bisa diplintir-plintir! Yang lebih hebat lagi…, aku bisa
makan mi goreng plintir! Hmmm, nikmatnyaaa…” oceh Iko sambil melahap mi
gorengnya. Rio terbingung-bingung mendengar ocehannya.

“Makan mi goreng plintir, kok, dibilang hebat?! Apanya yang hebat?!” pikir Rio. Tapi
perut Rio tiba-tiba terasa lapar. la tiba-tiba ingin sekali makan mi goreng.

Resolusi:

Diikutinya tingkah Iko. Mi goreng itu diplintir-plintir lalu dilahap.

“Hams sambil bilang, hmm…nikmaaat…!” perintah Iko. “Hmmm, nikmaaat…!” tiru Rio
sambil mengunyah mi gorengnya. Mama Iko dan Tante Niken tersenyum geli melihat
tingkah mereka.

“Makan mi goreng plintir! Saktiii…” celoteh Iko lagi. “lya! Saktiii, dahsyaaat…!” Rio mulai
ikut-ikut berceloteh. Keduanya tertawa. Mi goring itupun disantap lahap sampai habis.

“Nyam nyam nyam! Wuah, jadi enak betulan, ya! Buka puasanya jadi seruuu!!”
komentar Rio.
“Ck ck ck! Iko, pintar membujuk, ya!” gumam Tante Niken kagum. “Iko cuma mengajar
apa yang diajarkan papanya padanya!” ujar mama Iko sambil tersenyum. Beberapa hari
kemudian Tante Niken dan Rio datang ke rumah Iko. Mereka membawa sebuah
bingkisan.

“Sekarang Rio tidak susah makan lagi! Itu karena Iko mengajari Rio cara makan yang
nikmat! Nah, ini hadiah untuk Iko!” Tante Niken menyerahkan bingkisan itu pada Iko.
Isinya permainan lego yang terbaru.

“Asiiik!!” teriak Iko gembira.

“Huuu, curang! Harusnya mainan itu buat Papa! Bukan buat Iko! Kan, nasehatnya dari
Papa!” goda Pak Tie.

“lyaaa, Iko ngalah, deh! Mainan ini buat Papa saja! Tapi sekarang Iko pinjam dulu, ya!”
ujar Iko polos. Pak Tie, mama Iko dan Tante Niken terbahak-bahak mendengarnya.

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Diskusi Lengkap berdasarkan Strukturnya

Cerpen berjudul Kegemaran yang Langka


Kegemaran yang Langka
Oleh: Widya Suwarna
Orientasi:

Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang
dan makan di kantin ibu Mimi. Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena
ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.

Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat.
Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V,
Mimi bisa menghabiskan setengah lusin kaki ayam.

Rangkaian Peristiwa:

Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.

Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya
ada semangkuk kaki ayam, lengkap dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo,
kita makan.

Agnes dan Rita saling berpandangan, lalu tertawa.

“Kenapa?” tanya Mimi heran.Tangannya tetap memegang sepotong kaki ayam.


“Aku heran, kamu kok nikmat benar makan kaki ayam. Aku tak pernah mau
memakannya!” jawab Rita.

“Aku juga. Malah aku baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah
Agnes.

“Oh, ya? Aku kira banyak orang yang suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin
kalian berdua saja tidak suka karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi
menawarkan.

Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik.

“Aku jadi ingin tahu berapa orang anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!” tiba-
tiba Rita berkata.

“Baik, besok aku akan menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup
banyak orang yang tahu lezatnya kaki ayam!” kata Mimi bersemangat.

Komplikasi:

Esok harinya, Mimi membawa notes kecil dan menuliskan nama-nama kawan
sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu
tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan
kedua. Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan
sekelasnya suka makan kaki ayam.

Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki
ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi,
bisakah ia menghentikan kegemarannya itu?

Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, “Ih, aku sih jijik.”

“Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah,” kata Yuli.

“Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?”
goda Dani.

“Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Ine.

Resolusi:

Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan
kegemaran yang langka. “Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu.

Mimi menggelengkan kepalanya.


“Lho, ada apa?” tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, “Ibu tak
pernah bilang kalau banyak orang tak mau makan kaki ayam!”

Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-
pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau
menghentikan kegemaranmu!”

“Pertama, kalau kamu suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu.

“Tidak!” jawab Mimi.

“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka
makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi.

“Tidak!” jawab Mimi.

“Ketiga, apakah kalau misalnya si Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua
anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang
terakhir.

“Tidak!” jawab Mimi.

“Kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!” kata Ibu.

Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu
mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang
dikerjakan Mimi, bukan?

Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen

Cerpen berjudul Kancil dan Buaya

Kancil dan Buaya

Oleh: Syrli Martin

Orientasi:

Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di
hutan bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan
masih banyak lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.

Rangkaian Peristiwa:
Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk
mencari makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang
sangat rimbun di seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan
tersebut, tetapi di dalam sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.

Komplikasi:

Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan
hidupmu, sehingga kau datang kemari?”.

“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.

Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan
apa?”.

Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja
Sulaiman akan merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara
tersersebut”.

“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.

“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan
daging gajah pun juga ada.”

“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya
menyahut dengan sedikit marah.

“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.

“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.

“Iya, yakin”, jawab Kancil.

“Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya.

“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah
semua buaya yang ada di dalam sungai ini”.

Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan
mendapatkan makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu
buaya yang ada dalam sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir,
Kancil langsung melompat ke tepian sungai.

Resolusi:
Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu,
bukan minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa
tertipu dan sangat marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah
cengengesan dan menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi
dari tepi sungai, dan menuju pohon rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil
dapat makan buah rambutan yang dia inginkan.

Cerpen berjudul Bendera

Bendera

Oleh: Jelsyah Dauleng

Orientasi:

Setiap tahun, Pak Lurah selalu menyampaikan kepada penduduk untuk memasang
bendera sebulan penuh, selama bulan Agustus. Tapi hanya ada satu atau dua keluarga
yang di depan rumahnya terpasang tiang bendera. Sudah termasuk Pak Budi yang
tidak pernah absen untuk menaikkan bendera merah putih di tiang aluminium. Ia selalu
merasa bangga di saat semua orang lupa dengan tanda kemerdekaan itu, meski ia
hanya rakyat biasa, ia tetap mengingat.

Tapi tahun ini sepertinya agak berbeda. Pak Budi mendapati seorang tetangga yang
meminta tukang jahit di pasar untuk dijahitkan bendera merah putih sekaligus bendera
hias. Ia harusnya senang, lebih banyak orang lagi yang akan merayakan hari ulang
tahun Indonesia. Hanya saja ada masalah lain. Hari ini—tanggal 1 Agustus—sesampai
di rumah, sepulang dari pasar untuk menjual sayur-mayur hasil panennya, ia
memanggil istrinya.

Rangkaian Peristiwa:

“Bu, bendera mana?” tanya Pak Budi.

Hanya saja Bu Tin, istri Pak Budi tidak menjawab. Ia sedang ngambek, belum dikasih
uang belanja. “Aku ini belum makan,” katanya tak sesuai dengan pertanyaan Pak Budi.

“Memang kenapa tidak makan,” Pak Budi jadi agak kesal. Padahal kemarin ia habis
menjala di sungai dan ia yakin di lemari pendingin masih ada ikan, bahkan ada udang.
“Bendera mana bu?” tanyanya lagi.

“Ada di lemari mungkin, Pak,” putrinya, Ani, yang lalu menjawab. Remaja enam belas
tahun itu keluar dari kamar dan mendapati wajah masam kedua orang tuanya.
“Memang sudah mau dipasang?”
Melihat Ani yang tak sependapat dengan kekesalannya, Bu Tin coba menenangkan diri.
Ia lalu bergerak mencari kain yang dimaksud suaminya.

Pak Budi menggerakkan kepala. Menarik sudut bibirnya saat Bu Tin kembali ke ruang
tengah dengan bendera di tangan istrinya itu. Ia meraih, bendera hias berwarna kuning
disingkirkannya dan melihati bendera merah putih yang selalu bangga berkibar pada
tiang di depan rumahnya. Hening, untuk beberapa saat.

“Bu Tin,” teriak salah satu tetangga dari luar, memecah keheningan. Ia dan lainnya
mulai memasang bendera merah putih dan bendera panjang berwarna warni pemberian
pak lurah.

Bu Tin segera mengerti dan mencoba meraih bendera merah putih dari tangan
suaminya, ia terkesiap saat bendera itu tidak terlepas dari Pak Budi.

Komplikasi:

Ani menoleh, seketika mendapati wajah sedih ayahnya. Diingatnya kalimat yang selalu
dikatakan ayahnya, “bagi kita bendera ini pertanda kalau kita telah merdeka.” Ia menggigit
bibir. Meski mereka hanyalah keluarga sederhana yang kadang sehari dua hari tak ada
pemasukan, tapi ayahnya tak ingin berbeda dari warga Indonesia lainnya, selalu ingin
ditunjukkannya pada orang-orang bahwa ia juga telah merdeka.

Maka saat bendera tanda merdeka ayahnya tak lagi berwarna merah-putih, ia tahu ada
kemunduran yang terjadi di keluarga mereka apabila bendera yang sekarang berwarna
jingga-putih kekuningan itu tetap berkibar di tiang.

“Kita beli yang baru, bu,” kata Pak Budi, lebih pada dirinya sendiri.

“Apaan sih, pak? Uang makan saja tidak cukup,” dengus istrinya. “Ini masih bagus,
cuman warnanya saja yang agak pudar. Pak Kur yang kaya saja, tahun lalu masang
bendera yang jahitannya sudah lepas-lepas. Sini pak,” Bu Tin masih mencoba menarik,
tapi masih tak terlepas dari tangan suaminya.

“Besok saja dipasangnya, bu,” keputusan Pak Budi membuat Bu Tin mendengus dan
keluar menginfokan pada tetangga bahwa ia belum beli yang baru.

Resolusi:

“Kudengar Pak lurah bagikan bendera hias, katanya biar kompak dibanding kelurahan
lainnya,” Ani melihat keluar jendela, melihati bendera hias panjang yang bertuliskan
nama kelurahan di ujung bawah.

Pak Budi duduk. Menghela nafas. “Bukan bendera merah putih,” gumamnya. “Kalau
pun ada, lebih baik bapak beli sendiri. Nanti, habis acara tujuh belasan, pasti diambil
lagi.”
“Kalau ada rezeki, besok bapak bisa beli yang baru,” kata Ani memperbaiki posisi
duduknya di kursi kayu di sebelah ayahnya, bersiap mengerjakan tugas yang lebih
banyak dari biasanya. “Kalau tidak, pasang yang ada saja. Lagi pula, bendera ini lebih
berkesan, sudah bertahun-tahun berkibar.”

Pak Budi mencoba tersenyum. Ia yakin sudah bekerja keras setiap tahunnya, tapi
sekarang masih belum bisa ganti bendera. Kalau saja ia tak pernah mengatakan pada
orang-orang kalau bendera adalah tanda merdeka seseorang, ia mungkin tak pernah
merasa malu memasang bendera warna jingga-putih kekuningan ini.

Pandangannya lalu tertuju pada cover buku paket Sejarah putrinya di atas meja,
dengan gambar candi, beberapa orang berjas, dan juga bendera merah putih. Ah, ia
harus bekerja lebih keras dan mencoba menghargai dibanding memberi harga.

Cerpen berjudul Kerbau dan Jalak

Kerbau dan Jalak

Oleh: Vara

Orientasi:

Pak Falo adalah seekor kerbau hitam berbadan besar dan mempunyai tanduk yang
amat panjang. Hari ini, ia benar-benar gundah. Badannya gatal bukan kepalang. Ia
sudah mencoba mengusir rasa gatal itu dengan selalu mengibaskan ekornya. Namun,
rasa gatal itu tak juga hilang. Sementara itu, mulutnya terus saja mengunyah rumput
hijau yang terhampar di padang luas, sambil sesekali mengo’a karena rasa gatal yang
tak tertahankan.

Cuit-cuit, cuit-cuit, cuit-cuit, suara si Jali riang gembira. Jali si jalak, burung mungil
pemakan kutu yang hampir setiap hari menyanyi di atas pohon di dekat pak Falo biasa
makan rumput. Jali biasanya melihat pak Falo yang riang gembira. Namun tidak kali ini,
pak Falo hari ini terlihat gundah.

Rangkaian Peristiwa:

“Apa gerangan yang terjadi padamu pak Falo?”, tanya Jali. “Badanku gatal sekali”,
jawab pak Falo sambil mengibas-ngibaskan ekornya.

Pak Falo sudah mengusir rasa gatal itu dengan mengibas-ngibaskan ekornya, namun
usahanya sia-sia. Rasa gatal itu semakin menjadi. “Kamu belom mandi ya?”, tanya Jali.
“Rumahku jauh dari sungai, jadi aku jarang mandi”, jawab pak Falo sambil mengusir
rasa gatal di badannya dengan mengibaskan ekor.
“Pantas saja, pasti badan kamu banyak kutunya, karena kutu-kutu itu suka tinggal di
tempat yang kotor”, kata Jali. Pak Falo mengangguk setuju. Pak Falo meminta bantuan
kepada Jali untuk menyelesaikan masalahnya.

“Baiklah kalo begitu, bersiaplah aku akan selesaikan masalahmu”, kata Jali.

Jali pun bersiap untuk terbang. Jali mulai mengambil nafas panjang, menegakkan
lehernya, memandang langit, dan dengan secepat kilat, ia terbang tinggi. Kemudian, ia
berputar-putar dan tidak berapa lama Jali menukik tajam dari atas ke badan pak Falo.

Komplikasi:

“Hei Jali, apa yang kamu lakukan? Kamu mau membunuhku ya?”, teriak pak Falo
sambil berlari menghindari serangan Jali.

“Berhenti!!! Jangan lari kamu!”, teriak Jali.

“Tidak! Tidak…!! Tidak…..!!!”, teriak pak Falo sambil terus berlari.

Jali tak mau kalah, ia terus mengejar pak Falo. Bahkan, jali terbang lebih kencang dari
sebelumnya. Pak Falo tidak mau jadi sasaran Jali. Dengan cepat, ia masuk ke dalam
hutan dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.

Jali kehilangan jejak pak Falo. Sambil terengah-engah, Jali hinggap diatas ranting
sebuah pohon, memperhatikan keadaan sekitar. Dari balik batu, pak Falo pelan-pelan
mengintip, dan pelan-pelan berpindah tempat ke batu yang lain untuk menjauhi Jali.
Namun, tanpa sengaja, pak Falo terpeleset dan jatuh, sehingga menimbulkan suara
gemuruh yang menyebabkan Jali mengetahui keberadaan pak Falo.

“Pak Falo……!”, teriak Jali sambil terbang mengejar pak Falo.

“Duh, aku jatuh, habislah aku sekarang”, kata Pak Falo. Jali semakin dekat dengan pak
Falo dan tiba-tiba….

“Stop…!!!”

Ada suara keras yang mengagetkan mereka berdua. Ternyata, suara itu datang dari
Raja Sing, Singa sang penguasa hutan.

“Apa yang kalian berdua lakukan. Kalian telah mengganggu istirahatku”, kata Raja Sing.

“Jali mengejarku Raja Sing, dia mau membunuhku”, kata pak Falo dengan nada
memelas.

“Tidak raja, aku bukannya ingin membunuhnya. Justru, aku ingin membantu
menyelesaikan masalahnya”, sanggah Jali membela diri.
Mereka berdua kemudian berdebat dan saling menyalahkan.

“Sudah, cukup. Bila seperti ini terus, kapan akan selesai?” bentak Raja Sing.

Mendengar bentakan Raja Sing, akhirnya mereka diam sambil menundukkan kepala.

Resolusi:

“Apa masalahmu Falo?”, tanya Raja Sing.

“Aku tadi sedang makan rumput diladang. Aku merasakan tubuhku gatal semua.
Kemudian, Jali datang. Dia bertanya kenapa aku bertingkah aneh. Lalu, aku jawab
bahwa tubuhku gatal-gatal dan tiba-tiba dia menyerangku. Aku pun lari menghindari
serangannya.”

“Tapi tubuh Jali kecil, sedangkan kulitmu keras, bagaimana kamu punya pikiran bahwa
Jali akan membunuhmu?”, tanya Raja Sing.

“Tapi dia tadi menyerangku raja”, kata pak Falo.

“Maaf raja, aku bukannya hendak membunuhnya. Justru aku ingin membantunya. Aku
melihat banyak kutu ditubuh pak Falo, dan itu adalah makanan kesukaanku. Aku hanya
ingin memakan kutu-kutu itu tanpa menyakiti pak Falo”, jelas Jali penuh semangat.

Raja Sing pun akhirnya tahu duduk permasalahannya.

“Oh, begitu masalahnya. Jadi sekarang sudah jelas kan semuanya. Ayo sekarang
bermaafan”, kata Raja Sing.

“Baiklah Raja Sing”, mereka berdua menyambut.

“Ayo, Jali, segera naik ke punggungku, habiskan kutu-kutu yang ada di tubuhku”, kata
pak Falo sambil tersenyum.

“Iya pak Falo”, teriak Jali.

Pak Falo memakan rumput hijau kesukaannya, sedangkan Jali memakan kutu-kutu
yang ada di tubuhnya. Mereka berdua gembira dan menghabiskan hari itu dengan perut
kenyang. Sementara Raja Sing kembali ketempat istirahatnya.

Referensi:
Nafisah, Sarah. 2020. Cerpen Anak: Gara-Gara Nenek Lupa. Diakses dari
https://bobo.grid.id/read/082010265/cerpen-anak-gara-gara-nenek-lupa?page=all pada
7 Oktober 2022.
Narakata. 2022. Cerpen Suatu Sisi Dalam Hidupmu Karya Andriani. Diakses dari
https://www.narakata.id/2022/01/cerpen-suatu-sisi-dalam-hidupmu-karya.html pada 7
Oktober 2022.
Suherli dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas 11. Jakarta: Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia (edisi revisi). Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
Toemon, Sylvana. 2018. Lukisan Kasih Sayang. Diakses dari
https://bobo.grid.id/read/08674606/lukisan-kasih-sayang?page=all pada 7 Oktober
2022.
Martin, Syrli. 2016. Si Kancil dan Buaya dari http://cerpenmu.com/cerpen-anak/kancil-
dan-buaya.html pada 22 November 2022.
Vara. 2014. Kerbau dan Jalak dari
https://kumpulantulisan25.blogspot.com/2014/12/cerpen-karya-anak-vara.html pada 22
November 2022.

Anda mungkin juga menyukai