Anda di halaman 1dari 6

Nama: Jonathan Simanjuntak

Kelas: IX IPA 2

matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga


hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu
untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari
beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah
Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya,


ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising
dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali
tidak Bora kenal.

“Hei, lihat itu!”

Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk
Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan
terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan.
Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik
nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai
Bora dengan belalainya..

Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan.
Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas,
membuat para hewan makin berteriak nyaring.

Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke
mari, mencari sosok ibunya.

“Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

“I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana
ibu Bora berada.

“Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu
berbalik untuk kembali ke sarangnya.

Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya.
“Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat
mungkin menuju sarangnya.
“Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung


membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang.
Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

“Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan
belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata
seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

“Cepat pergi, Bora!”

“Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik
belalai Bora.

“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

“Jangan, Bora!” bentak Pipin

Kraaak! Braaak!

“IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu
jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya.
Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia
kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.
Nama: Ronauli Sinaga

Kelas: XI IPA 2

Persahabatan Sejati

Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku
yaitu Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke
dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat
tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya
kita berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan
menggali tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah
kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”

Keesokan hari, Aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat.

Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat yang tidak
bisa aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Akhirnya
aku dan Anis berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang
istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.

“Perasaanku nggak enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.

“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan santai.

Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air
mata yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.

Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku.

“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.


“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di lokasi
kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar
pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu,
tapi kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku berkata.

Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa
menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan.
Aku berjanji akan selalu mengenang kalian.

Wanita Berwajah Penyok


Oleh: Ratih Kumala

Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang yang tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini
padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabnya. Konon
dia lahir tanpa diminta. Korban gagal gugur kandungan dari seorang perempuan. Hasil
sebuah hubungan gelap yang dilaknat warga dan Tuhan.

Perempuan yang saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu yang sebenarnya. Dia hanya inang
yang berkasihan lalu bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayi berwajah penyok
yang dibuang orang di pinggir kampung.

Suatu hari yang biasa; siang terang dan wanita berwajah penyok tengah keliling kampung
sendiri saat anak-anak kecil sepulang sekolah itu mulai mengekori dan menyambut
punggungnya di belakang.

Maka, wanita berwajah penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya yang dekil
melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang terkena
timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengucur dari situ, mengubah seragam
putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak
lain menjadi takut dan bubar satu-satu.

Dengan terpaksa, keluarga wanita berwajah penyok akhirnya memutuskan untuk memasung
dirinya pada sebuah ruangan kecil yang tak bisa disebut manusiawi dekat tanah pekuburan.
Sejak itu wanita berwajah penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti tahun, tanpa tahu itu
malam atau siang.

Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka,
yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia akan melancarkan jawabannya. Tak ada yang benar
benar tahu apa yang dia kerjakan di dalam sana walau kadang terdengar suaranya berteriak
untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan.

Orang-orang mengira itu suara kuntilanak jejadian penghuni kuburan. Tak pernah ada orang
yang benar-benar mendekat. Wanita berwajah penyok telah lupa bahasa tanpa ia pernah
benar-benar menguasainya.

Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang akan bertanya bagaimana ia bisa
bertahan hidup? Sebab ia telah menjadi sendiri.

Pada malam yang biasanya kelam nan pekat, kini wanita berwajah penyok bisa mendapat
segaris cahaya dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia bisa melihat
rembulan. Bertahun dia tidak melihat rembulan hingga ia lupa bahwa yang dilihatnya adalah
rembulan.

Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, ia merasa bahwa dirinya punya
teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa yang hanya ia mengerti, ia bercakap-cakap
dengan bulan. Dia selalu menunggu teman barunya untuk berkunjung dan bercakap-cakap
dengannya setiap malam.

Namun, semakin hari bentuk wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil dan
terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi.

Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya masih pasi. Saat
bulan bulat penuh, wanita berwajah penyok girang sekali sebab ini berarti dirinya berhasil
menghibur teman baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan seperti yang
sudah-sudah, wanita berwajah penyok tak pernah bosan menghiburnya dengan bahasanya
sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu.

Hingga suatu malam, sehari setelah bulan benar-benar sabit, rembulan tidak datang
mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam itu
hujan turun deras. Wanita berwajah penyok berpikir bahwa rembulan sedang menangis.
Maka dia ikut menangis pula, kesedihan mendalam sahabatnya, dan sekali lagi, dengan
bahasa yang hanya bisa dia mengerti, dirinya berusaha membujuk bulan dan menghiburnya.

Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air masuk
dari celah atap ruang pasung yang menjadi bocor. Menimpa kepala wanita berwajah penyok
dan membuat dirinya kebasahan.

Lelah, wanita berwajah penyok tertidur. Ia menggigil hebat tanpa ada orang yang tahu
keadaannya. Paginya ia terbangun oleh segaris sinar yang masuk dari celah atap. Sinar kecil
itu jatuh ke kubangan air yang menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam. Tetapi, begitu
dia terbangun yang diingatnya hanyalah rembulan.

Siang telah menjelang, ini berarti rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalam
bersembunyi di balik awan sambil menangis. Ia menyesal tak bisa melihat wajah rembulan
malam tadi.

Didekatinya genangan air tadi. Genangan yang tak jernih. Ia berwarna coklat karena
bercampur debu. Sebuah bayangan ada di sana. la tersenyum dan menemukan wajah
rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi sebab bersama sahabat di
dekatnya.

Anda mungkin juga menyukai