Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang
sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”
“Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil
menarik belalai Bora dengan belalainya..
“Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil
menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.
“Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya
masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan
terjebak api?
“Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan
menyelamatkanmu!”
Kraaak! Braaak!
“Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.
Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh
dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di
sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi
hutan merah yang sangat panas.
Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu
memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca
terdengar dari luar.
“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara hanya diam.
“KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.
Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh
dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira
hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya
bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat
itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.
Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat
ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai
berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca
jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.
“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.
“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat
Nara beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan
demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.
“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”
Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit
Pangandaran yang cerah ini.
Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai
padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari,
rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering
terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah
dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak
bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar
matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah
kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.
Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut
laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja,
perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat
melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa
asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.
“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios
Uwak-mu sana).”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke
atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya…
sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu
sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam
itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena
air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.
Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang
ditumpangi Bapak berbalik lagi?
Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak
yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak
peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis
yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas
bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air
atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka
jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat
menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku
menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak
ketakutan dan kekhawatiran.
Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski
kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke
kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung
menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir,
tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan
merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak,
hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir
melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai
membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan
kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian
menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah
dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.
“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos
kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”
Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku
mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku.
Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa
mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras
itu?
Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh
sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh
berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara
teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian,
teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.
“Bapak…”
***
Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan
mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak
bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai
politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan
celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.
Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut,
kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.