Oktober 2005
Hujan renyai mulai menjelma menjadi gelora ketika seorang wanita desa
memojokkan diri di pelosok kamar. Air semakin bergerocok di luar jendela
menyatu dengan sedu hati seorang wanita yang bernama daging Mala Rani. Ia
semakin merunduk malu, ragu bersemuka dengan derita yang tengah
menggerogoti dirinya. Wanita mana yang hatinya tak tersayat ketika daranya telah
dirampas oleh setan berserupa manusia.
“Dosa apakah yang terkandung dalam tubuhku sebagai seorang wanita?
Apakah wanita sengaja diciptakan untuk dilukai? Untuk dinikmati? Untuk
ditelanjangi? Untuk ditiduri? Mengapa? Apakah karena aku wanita yang lemah
sehingga dengan mudah diperbudak? Aku bingung dan aku masih bingung”
ratapannya dalam kebingungan.
Dengan muka pucat kesi dan tubuh yang mulai melayu, ia berjuang untuk
bangkit dari kepiluan. Tak sadar ia telah berselubung dalam duka nestapa berjam-
jam lamanya. Kini, di luar sana gelap gulita sedang bercumbu dengan suara
remang-remang dari para katak diiringi oleh bunyi tetesan sisa-sisa hujan.
Sesekali ayam jantan berpekik menandai sudah malam buta.
Awal 2006
Tiga bulan setelah perkara itu, Rani, mahasiswi semester tujuh mulai
memperasakan kejanggalan dalam perutnya. Sangkaan yang bukan-bukan
mengusik hati dan pikirannya. Di tengah kesangsian dan ketakutan ia
bersembunyi mencari apa gerangan yang terjadi. Ternyata, di siang bolong,
laksana tujuh ribu jarum bersamaan mencocok-cocok hatinya setelah ia tahu ada
janin yang sedang menghuni rahimnya. Tak salah lagi, janin itu sudah pasti buah
dari kebejatan dari seorang pria mesum tiga bulan yang lampau. Dugaannya kini
telah berwujud mengiringnya masuk dalam kekalutan. Setengah jiwanya lesat
ditelan oleh diam. Ia lalu pulang dengan langkah gemetar sesekali menyeka
deraian keringatnya yang sedari tadi bergandengan dengan air mata yang
membasahi pipinya.
Sesampainya di kontrakan, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang
dengan jiwa yang tersakiti. Berkhayal menerawang langit-langit kamar diikuti
nafas yang tumpat. Pikirannya mulai ternodai. Setan-setan berterbangan
membayang-bayangi dengan bisikan rasuk. Rani kini mulai tergoda untuk
menggugurkan janin yang tak durhaka dalam rahimnya. Kehadiran janin yang
telah berupa manusia dan mulai menguap semakin menyatu dengan darah
dagingnya. Mau bagaimana lagi? Tak ada jalan lain untuk menyingkir dari
kesengsaraan ini kecuali insan dalam kandungannya dilenyapkan.
Kucing hitam baru saja bertarung dengan seorang arwah di bawah
pepohonan bambu ketika Rani melintas hendak ke ruang dukun di tengah malam
hampir subuh. Meski roh keragu-raguan masih menyelimutinya, ia tetap bertahan
untuk membunuh bayinya. Namun, langkah demi langkah, tubuhnya seakan-akan
menolak niat buruknya. Ia tiba-tiba saja seperti ditikam dari dalam rahimnya.
Sepertinya, manusia yang ada dalam perutnya memberontak tak ingin dibunuh.
Dengan langkah terpontang-panting ia tetap menyambungkan niatnya. Ia sudi
menagak sakit semalaman daripada menderita selama hidupnya.
Rani pun tiba di sebuah rumah panggung yang hanya diterangi oleh
beberapa lampu pijar kecil dan pelita yang menyala di sudut pendopo. Muncullah
Si Mbah tak bernama dengan kumis tebal yang beruban dan sarung hitamnya.
Rani tak beragak-agak menjumpainya. Ia langsung saja menuju dan menyapanya.
“Selamat malam mbah, saya Rani yang menghubungi mbah tadi siang”
sapa Rani membuka percakapan.
“Malam nak Rani, apakah kamu benar-benar yakin ingin
mengugurkannya?” jawab Si Mbah sambil bertanya balik.
“Iya mbah, saya sudah yakin apapun yang terjadi” balas Rani dengan
penuh percaya diri.
“Baiklah, silahkan masuk” ajak Si Mbah.
Sejak itu, dalam perkabungan, ibu Rani berjuang mendesak keadilan bagi
anaknya. Ia berharap laki-laki yang menelanjangi anak perempuannya melunasi
perbuatannya. Sampailah ia di penghujung derita. Menarik nafas dalam-dalam
tanda kelegahan, setelah tahu Pak Beja menderita dipecat sebagai dosen dan
dipenjarakan seumur hidupnya. Meskipun, ibu Rani tak menuntut banyak, pihak
kampus bersungguh-sungguh bertanggung jawab atas semuanya. Ibu dan bayi
Rani lalu menerima tunjangan hidup dari pihak kampus sebagai ungkapan duka
dan pertanggungjawaban. Derita yang telah lama menggunung mulai melebur
menjadi suka dan kebahagiaan. Ibu Rani hanya mampu berdoa untuk ketenangan
arwah anaknya. TAMAT