Anda di halaman 1dari 26

Episode #1

"Piye, lin, sudah hamil ta? Abahmu


lho nanya ummi terus." Ibu mertuaku
bertanya sambil menuang nasi ke
piringku.

Aku menunduk sambil memberinya


senyum termanis. Dia tak boleh tahu
bahwa aku masih perawan. Dia tak
boleh tahu bahwa putra tunggalnya,
sama sekali belum menyentuhku.
Padahal usia pernikahan kami sudah
tujuh bulan lamanya.

Aneh memang, mestinya bulan bulan


pertama pernikahan adalah hari hari
paling indah, tapi yang terjadi padaku
adalah hari hari yang suwung,
hubungan yang anyep, dan kesedihan
yang selalu ku bungkus dg derai derai
tawa.

"Aku mau nikah sama kamu, itu


karena ummik." Itu kalimatnya di
malam pertama kami.

"Sejak aku masih MTs, berkali kali


ummi bilang kalau jodoh untukku
sudah disiapkan." Dia menghela
nafas panjang.

"Perjodohan, itu tidak ada dalam


kamus hidupku. Aku ini aktifis. Aku
teriak setiap hari soal penindasan.
Soal memperjuangkan hak asasi.
Kawan kawan menertawanku karena
aku tidak bisa memperjuangkan
masa depanku sendiri. Semua kecewa
dg perjodohan ini."

Aku menunduk di tepi ranjang. Dia


berdiri sambil bersedekap di depan
lemari. Ranjangku dipenuhi ribuan
kelopak kembang mawar untuk
malam pertama kami, tapi kalimatnya
menusukku dengan diri duri tajam.
Aku menunduk.

"Ya aku tau ini bukan salahmu. Kamu


juga tidak punya pilihan lain selain
manut. Tapi malam ini juga kamu
harus faham, aku tidak mencintaimu,
atau tepatnya, aku belum
mencintaimu."

Satu persatu air mataku meluncur ke


pangkuan. Lihatlah aku, Alina Suhita,
perempuan yang sejak MTs sudah
ditembung kiai dan bu nyai Hannan
untuk menjadi menantu tunggal
mereka.

Lihatlah aku, Alina suhita, yang baru


saja turun dari pelaminan super
megah dengan ribuan kiai yang
mendoakan kami. Lihatlah aku, yang
sama sekali tak dipandang oleh
suamiku sendiri.

"Tapi ya, bagaimana? Ummi, apalagi


abah, sangat mengandalkan kamu
membesarkan pesantren ini. Aku bisa
apa? Aku kadung dituduh gak bisa
apa apa."

Dia terduduk di sofa. Menatapku


tajam. Aku makin menunduk. Tidak
menyangka kalimat pedas ini keluar
di malam pertama pernikahan kami.

Sejak kecil, ayah dan ibuku sudah


mendoktrinku bahwa segalaku, cita
citaku, tujuan hidupku, adalah
kupersembahkan untuk pesantren Al-
Anwar, pesantren mertuaku ini.

Maka, aku tidak boleh punya cita cita


lain selain berusaha keras menjadi
layak memimpin di sana. Aku di
pondokkan di pesantren Tahfid sejak
kecil. Kiai dan Bu nyai Hannan lah
yang mengusulkan bahwa aku harus
kuliah di jurusan tafsir hadis meski
aku sangat ingin kuliah di jurusan
sastra. Ayah ibuku setuju saja asal itu
keinginan mereka.

Bahkan, saat aku sudah semester


tujuh, kiai Hannan memintaku pindah
pesantren dan meninggalkan
kuliahku agar aku bisa lebih lanyah
hafalan di pesantren baruku. Aku
menurutinya karena itu kemauan
mereka. Demi pesantren mereka.
Bu Nyai, yang sekarang kupanggil
ummi, bahkan sudah pernah
mengajakku umroh sebagai hadiah
wisuda Al Qur'anku. Waktu itu,
putranya, gus Albiruni, tidak ikut
mengantar ummiknya karena dia
enggan bertemu denganku. Dialah
yang sekarang jadi suamiku.

Aku tidak pernah berani punya


keinginan, belajarku, segalaku,
muaraku, hanya untuk pesantren
mertuaku.

"aku minta maaf. Mulai malam ini,


entah sampai kapan, aku akan tidur
di sofa ini." Aku makin menunduk. Air
mataku mengucur deras karena
hatiku tersayat belati
ucapannya. Pada siapa aku
mengadu?

Kenapa dia tega mengatakan itu? Aku


tau dia butuh waktu, tapi tidakkah
dia bisa bicara lebih halus tanpa
menyakiti perasaanku? Kalau dia
menolakku sebagai istri, tidak bisakah
dia menghormatiku sebagai
perempuan?

Tapi aku tidak boleh larut dalam


tangis. Namaku Alina Suhita. Suhita
adalah nama pemberian kakek dari
ibuku. Ia ingin aku jadi dewi Suhita.
Perempuan tangguh yang pernah
memimpin kerajaan sebesar
Majapahit. Perempuan hebat yang
tegar walau di masa
kepemimpinannya ada perang
Paregreg yang memilukan itu.

Maka, saat mbah yai Rofiq, abahnya


ayahku, memberiku nama Alina
salma, dari kata alaina salma,
kakekku dari pihak Ibu merubahnya
menjadi Alina Suhita. Aku tahu, kakek
ingin aku tegar di masa depanku.
Mungkin inilah saatnya.

"Nggih, gus. saya maklum." kuangkat


kepalaku setelah kehapus air mataku.
Dia melihat HP nya saat aku bicara.
Sama sekali tidak melirikku.

Malam malam setelahnya,


perjuanganku dimulai. Tidak ada
perang Paregreg di hidupku, tapi
perang bathinku lebih dahsyat dari
perang manapun.

Kami tinggal satu kamar, tapi kami


perang dingin, tidak saling sapa.
Tidak saling bicara. Kami hanya
bertukar senyum, kalau di luar kamar,
di depan abah dan ummi. Kalau ada
undangan pernikahan, itulah saat
kami bersandiwara, memakai baju
warna senada lalu kugamit
lengannya. Setelah itu, perang dingin
bermula lagi.

Semua perempuan ingin sepertiku,


punya suami yang memiliki tubuh
tinggi tegap, kulitnya bersih. Jambang
kebiruan, rambut dagu, hidung
bangirnya, menunjukkan kalau dia
berdarah biru.
Semua perempuan ingin sepertiku,
memiliki mertua yang kaya raya.
Rumah dan pesantren yang megah.
Harta benda yang tumpah ruah.

Mereka tak tahu berapa banyak


tangisku tumpah. Mereka tidak tahu
bahwa aku sudah lama berencana
ingin pergi tapi tak sanggup
kutinggalkan ummik yang terlanjur
kusayangi. Ummik yang sendirian
membersarkan pesantrennya karena
putra tunggalnya kelewat cuek.
"Lin, ditanya umik sampai ping telu
kog gak njawab? "

Ummik membuyarkan lamunanku.


"Hehe,.. Ngapunten ummik, nglamun.
Ummi nanya apa? " jawabku.

"Iku lho, Mas mu lak iki ngko datang


seh. Nanti suruh dia yang sambutan
acara maulud di aula. Yo?"

"siap mi."

"maksudku ngene lin, awakmu ape ta


jak tilik haji, sekalian ummik mau
mborong ke butik Hana."

Aku tertawa. Dialah ummiku.


Mertuaku. Anugerah terbesar dalam
hidupku. Yang mencintaiku sedalam
ibuku sendiri. Ummilah satu satunya
alasanku bertahan di rumah ini.

Aku segera masuk ke kamar. Kulihat


dia masih memangku laptop di shofa.
Kancing kancing bajunya terbuka.
Kuangsurkan air putih hangat tapi dia
memintaku menaruhnya di meja
nakas tanpa
melirikku.

Aku bergegas menyiapkan handuk


dan air hangat di kamar mandi.
Mengganti keset lama dengan keset
yang bersih. Lalu menyiapkan baju
ganti untuknya.

Dia tetap tidak mengatakan apa apa.


Saat dia masuk kamar mandi dan
kudengar shower mengucur, hapenya
berdering. Nama
Ratna Rengganis muncul di layar,
fotonya begitu cantik. Wajah oval,
berlesung pipi, jilbab merah jambu
dengan bros menjuntai. Riasannya
sempurna.

Sangat berlawanan denganku yang


selalu memakai daster dan jilbab
kaos dan tanpa make up.

Ragu ragu, aku menyentuhnya,


membuka percakapan watsapnya.
Hatiku bergetar hebat karena ini
untuk pertama kalinya aku berani
menyentuh barang suamiku sendiri.

"Selamat tidur, cah ayu. Malam ini


mas kirim puisi." tulis suamiku
untuknya.

HP kuletakkan sambil berdebar, aku


seperti tak berpijak di bumi. Rasanya
seperti dihantam ombak yang begitu
besar.

Aku segera meringkuk masuk dalam


selimut, mematikan lampu utama
dan menyalakan lampu tidur. Air
mataku merembes membasahi kain
bantalku.

Aku tau dia butuh waktu untuk


menerima pernikahan kami. Aku tau
perjodohan baginya sangat berat.
Apalagi dia adalah aktifis dengan
kehidupan yang sama sekali berbeda
denganku.

Tapi kalau dalam hidupnya ada Ratna


Rengganis itu, bagaimana mungkin
aku bisa tenang?

Rengganis akan menyita seluruh


perhatiannya. Rengganis akan
bertahta di kerajaan hatinya dan
tidak ada tempat sepetakpun
untukku. Rengganis akan
membuatnya bergelora dan aku
semakin diabaikannya. Aku akan
tumbuh menjadi bunga layu yang
diterbangkan angin.

Lalu untuk apa aku bertahan di


rumah ini, kalau dia tidak sama sekali
berusaha mempertahankan
pernikahan kami?

Aku semakin sesengukan, apalagi


melihatnya sama sekali tak mau tau
berapa banyak air mataku
membanjiri hari hari kami.

Mungkin beginilah perasaan prabu


Duryudana yang merana, karena
Istrinya, Banowati, hanya mencintai
Arjuna. Mungkin seperti inilah
hancurnya hati prabu Duryudana
mengetahui Banowati yang istrinya,
malah memberikan tubuhnya untuk
Arjuna musuhnya. Mungkin beginiah
duka Duryudana, memiliki kerajaan,
memiliki kekuasaan, memiliki harta
benda, menaklukkan negara negara,
tapi istrinya sendiri tidak pernah
seirama.

Meski aku perempuan dan prabu


duryudana laki laki, aku bisa
merasakan pedihnya diabaikan.

Aku menangis sampai tertidur.


Sampai malam menjadi hening dan
kulihat suamiku, di sofa, masih asik
dengan hapenya.

Aku tertidur lagi lalu bangun tengah


malam dalam keadaan terengah
engah karena mimpiku: Ummi, abah,
ayahku, ibuku, menatapku dalam
satu perahu. Disampingku, mas Biru
memegang dayung. Dipangkuanku,
sosok laki laki kecil yang aku tak tahu.
Kuingat udara begitu segar. Air begitu
tenang. Suasana begitu lapang.
Aku terduduk menyadari mimpiku
begitu indah. Aku turun dari ranjang,
menatapnya yang pulas di sofa. Aku
tahu, dia adalah matahari.

Sia-sia kakek memberiku nama Suhita


kalau aku tak bisa menaklukkannya.
Akan kudapatkan malam pertamaku
tak lama lagi.

Bersambung.......

Anda mungkin juga menyukai