Anda di halaman 1dari 81

DUA BARISTA

Part 1 – 8

Oleh: Najhaty Sharma©



Seberapa sukakah kau pada kopi?


Aku memiliki cara berbeda dalam
menerjemahkan kopi setelah aku menikah dengannya.
Aku tak hanya menyimbolkan cinta dengan
ciuman dan segala keintiman berlatar belakang area
perbelanjaan dan wisata fenomenal semata. Dimana
letupan-letupan itu hanya muncul ketika dua kekasih
dimabuk asmara. Menumpahkan seluruhnya di
permukaan. Dan ketika cinta itu telah habis dituang,
maka selesailah sudah.
Namun secangkir kopi?
Ia menemanimu menjelajahi hati pasangan
layaknya sebuah kastil, mengeja aksara yang dipahat
pada temboknya, takjub dengan bola-bola kristal yang
menjuntai di balik tatapannya. Bangga memandang
kubah-kubah harapan yang menjulang.
Aku menikmati ritual menyeduh kopi untuknya
di sore hari. Usai suamiku menunaikan tugas-tugas
mengabdi pada pesantren, ia akan duduk di teras,
memandangi langit atau burung love bird dalam sangkar,
menungguiku muncul dengan kopi yang masih
mengepul.
Kadang ia mengajakku duduk di lantai dua,
dimana hamparan sawah tetangga beserta memedi manuk
nampak indah diterpa langit yang kemerahan dan
dilatarbelakangi gemuruh suara lalaran nadzom, Al-
asmaul Husna dan Burdah dari pesantren 3 lantai di
belakangnya.
Aku tidak peduli macam-macam karakteristik
kopi seperti luwak, robusta, arabika, atau bahkan
excelso, aku hanya tenggelam dengan filosofinya.
Bahwa dua cangkir kopi yang bertengger di atas meja
adalah bukti bahwa sepasang kekasih menyiapkan waktu
untuk mereguk cinta berdua. Menyadari kemegahan
sesungguhnya adalah pasangan itu sendiri.
Aku pernah menyusuri lorong-lorong
Pasar Madinah dan Sultan Ahmed turki demi menemani
suami mencari segelas kopi. Aku ada disana tersenyum
lebar saat suamiku berbicara dengan bangga pada barista
kafe itu, bahwa programmer James Gosling dan Patrick
Naughton memberi nama JAVA karena terkesan dengan
kopi tubruk khas Jawa, salah satu kopi paling nikmat di
dunia. Secangkir kopi juga menemaninya menyimak
bacaan kitab kuningku, mengajariku menghitung zakat,
darah istihadloh hingga menentukan ashobah dalam bab
waris.
Untuk secangkir kopi, ibu mertua mengajariku
merandom racikan demi kesehatannya. Kadang kopi
hitam, Habbat Coffe, kadang juga kopi krimer.
Aku memang khusus menjadi Barista-nya.
Karena selain membuat kopi, tidak ada lagi pekerjaan
domestik yang aku kerjakan. Semua aktivitas domestik
telah diambil-alih oleh khodam. Kesibukanku hanyalah
mengasuh dan mengajar santri dan sesekali menyalurkan
hobby mendesain.
Di ruang tamu utama kami, bertengger foto
pernikahan kami yang menggunakan konsep indian
wedding, dari kostum salwar kames, anarkali, make up,
mahendi, hingga dekorasi. Orang bilang, Pernikahan
kami menyaingi populernya wedding Hamish Raisha,
karena Mas Ahvash adalah putra satu-satunya
KH.Solahuddin Amin pengasuh Ponpes salaf Al Amin,
menikah dengan Mazarina Qisthina putri KH.Manshur
Huda Tuban, dimana Mas Ahvas pernah menimba ilmu.
Di masa lalu, aku adalah perempuan pecinta
seni yang terkungkung dibalik jiwa-jiwa pesantren salaf
dan menghabiskan waktu belajar di pesantren orang tua
sendiri dengan nilai-nilai yang memuaskan. Dengan
mudah kuhafal bait-bait nadzam alfiyah juga matan-
matan kitab fikih, demi memainkan peran sebagai putri
abah yang membanggakan.
Karena berhasil memainkan peran itu, Abah
memenuhi impian ku untuk kuliah di Yogyakarta dengan
ijazah muadalah dari pesantren kami. Pada jurusan
Ushuluddin di UIN Sunan Kali Jaga.
Dalam masa-masa kuliah itulah aku dapat
mereguk kebebasan yang ku impikan termasuk kuliah
fashion di Gilberta school, yang mempertemukan aku
dengan designer muda, Juan Harvey Natalegawa.
Mengenal dunia fashion dan Juan Harvey
adalah alasan Abah dan Umik mulai membatasi
pergaulanku. Hingga muncullah keputusan perjodohan.
Masih kuingat pertemuan pertama kami di
bandara saat menjemput Abah sepulang umroh, Mas
Farhan menggiringku untuk duduk pada kursi yang
berderet di sepanjang kedai di muka bandara.
Tak biasanya kakakku membiarkan aku duduk
satu meja dengan lelaki yang bukan mahrom, dan
bahkan membuka cerita tentang siapa lelaki itu tanpa aku
tanya. Bahwa dia juga sedang menunggu abahnya yang
umroh satu rombongan dengan abahku. Bahwa dia juga
alumni pesantren Abah lima tahun yang lalu dan juga
putra dari kiai besar. Sebenarnya, wajahnya tampak
familer. Aku merasa pernah bertemu dengannya tidak
cuma sekali.
"Imam Ahvash Barnamij namanya!" Kata mas
Farhan lagi-lagi, tanpa aku bertanya dan menanggapi
dengan serius.
"Dulu alumni Al-Huda. Terus kuliah di Ahgaff.
Jadi maklum kalau wajahnya mencorong kayak habaib!"
Tambah Mas Farhan yang segera di jawil lengannya.
Kulirik lelaki bertinggi 175 cm dengan style
metroseksual namun outfitnya adalah sarung, dengan
wajah kebulatan dan hidung mancung. Senyumnya
memamerkan geligi yang putih dan rapi. Dengan
kelopak mata yang lebar dan sendu mirip Tobey
Maguire.
Ia menangkupkan kedua tangan di dadanya,
tersenyum simpul. "Sugeng, Ning Maza?" ujarnya
sopan. Semerbak bau parfumnya menguar beradu
dengan aroma vanili dalam donat yang Mas Farhan
hidangkan untukku dan dirinya.
"Pangestune..." Jawabku kikuk. Saat itu aku
Mulai merasa pertemuan itu adalah rekayasa. Bagaimana
mungkin Mas Farhan meninggalkan kami berdua dengan
dalih pergi ke toilet.
Sementara kapal terbang yang membawa
rombongan Abah belum juga landing.
Kami berdua sperti insan yang tengah kencan berlatar
belakang bandara dengan teh dingin dan secuil kue
yummy. Membuatku sedikit salah tingkah.
"Jadi, jenengan kuliah di Jogja sekarang?"
tanyanya keheranan.
Aku mengangguk.
"Wah Abah yai sudah kerso melepas anak
putrinya ke kota besar sekarang! Saya tidak
menyangka!" Celetuknya.
"Saya nyantri Mas. Bukan dilepas begitu saja!"
Protesku.
"Hehehe. Enggih Ning. Saya tahu. Tapi dulu,
saat jenengan muda, bahkan ke warung saja ditemani
mbak-mbak."
"Hehe, Berarti saya berhasil mendobrak tradisi
dong. Berhasil meyakinkan orang tua untuk terbang
jauh!"
Lelaki itu mengacungkan dua jempol nya
"bagaimana caranya Ning? Kakak-kakak jenengan kan
tidak ada yang lepas kuliah di luar. Karena jenengan
yang terhebat dalam hafalan? Atau mungkin karena
jenengan juara seribu nadzam?"
Aku mengangguk "Mbok menawi!"
"Lalu bagaimana? Apakah burung Hudhud
mampu terbang di tempat-tempat asing. Atau bahkan
bertemu burung Phoenix dan tersesat?"
"Ini maksudnya bagaimana. Siapa Hudhud?
Siapa burung Phoenix? Apa yang dimaksud dengan
tersesat" Aku tersinggung dengan pertanyaannya yang
terkesan intervensi.
"Mboten mboten Ning. Guyon!" Ia menutup
pertanyaannya dan lalu menyesap freatea beberapa saat.
"Saat pertama saya datang ke Al-Huda, dulu
jenengan masih esde pakai rok pendek suka lari-lari
depan komplek. Hehehe...!" Celetuknya membuat pipiku
merah mengingat masa-masa itu.
"Saat jenengan jatuh di belumbang saya juga ikut lari!"
"Duh, pasti jadi penonton ya! Tak ikut
menolong?!" Gerutuku.
Kenapa juga dia harus mengingat masa kecilku
saat aku masih pakai rok pendek dan terjungkal di
belumbang lele dengan kepala di bawah dan kaki di atas.
Otomatis isin jika diingat setelah kita dewasa. Pasti
celana dalam kanak-kanak berwarna merah jambu pun
ikut nampak. Memalukan!
Lelaki itu tertawa lebar. Menampakkan geligi
putihnya yang rapi. Membuat mata sendunya di balik
kacamata menyipit. Ia tutupi tawanya dengan tangan.
"Nyuwun ngapunten Ning...!" Ucapnya serius.
"Tidak dimaafkan!" Jawabku dengan tawa
berderai-derai.
"Bagaimana caranya untuk menebus dosa saya
Ning!"
"Buatkan seribu candi dalam satu malam!" Aku
menyeletuk menirukan ucapan Roro Jonggrang pada
Bandung Bondowoso saat meminta candi Prambanan.
Tak diduga. Lelaki itu menatapku dengan tajam
"bagaimana kalau saya bangunkan pesantren saja? Tapi
estimasi waktunya jangan hanya satu malam..."
Obrolan kami berhenti saat Mas Farhan datang
dan mengabarkan pesawat Abah telah landing. Kami
bergegas nderekke Abah masing masing dan mendorong
koper-koper kedalam bagasi. Obrolan kami tidak
berlanjut, ia menyetir Grand livinanya dan aku pulang
dengan rombongan.
Maksud pertemuan malam itu pun segera
terkuak beberapa minggu setelahnya.
Bahwa lelaki itu lah yang diharapkan Abah
untuk menjadi pendamping hidupku. Bahwa aku harus
realistis untuk tidak bermain asmara dengan lelaki
manapun jika ingin di anggap sebagai putri Abah yang
baik.
Beruntung, aku tidak membutuhkan waktu lama
untuk menggeser bayangan Juan Harvey dalam hidupku
dan jatuh cinta padanya.
Karena ke-aliman nya tidak lantas menjadikan
ia saklek dan kaku namun justeru sebaliknya, pengertian
dan Egaliter.
Bahkan, kelak ia juga membangunkan aku
sebuah butik untuk menyalurkan hobby designer ku.
Bernama "flower galery"
*****
Namun, dalam empat tahun pernikahan, tak
kusangka jika aku akan mengalami sebuah drama rumah
tangga yang malang; belum juga dikaruniai keturunan.
Setiap hari ku impikan testpack bergaris dua
dan mundurnya siklus menstruasi.
Namun siklus datang bulanku tak pernah absen.
hingga suatu malam, aku merasakan sakit perut yang
luar biasa di sertai keluarnya darah kental.
Aku pikir, aku mengalami dilepen yang akan
sembuh dan menghilang begitu saja saat darah mengalir
deras.
Namun ternyata, dokter kandungan menyebut-
nyebut kata asing yang berkaitan dengan dinding
rahimku.
Fibroid tumbuh sedikit demi sedikit dari waktu
ke waktu dan banyak wanita yang tidak menyadarinya.
Hal ini menyebabkan ukuran fibroid sudah sangat besar
saat pertama kali diketahui.
Dokter menyebutkan satu satunya solusi adalah
histerektomi. Operasi pengangkatan rahim.
Aku begitu terguncang.
Inseminasi atau bayi tabung yang pernah
kurencanakan gagal sudah. Sedangkan surrogate
mothering ( sewa rahim )seperti yang dilegalkan di
negara Iran atau India, adalah keharaman menurut ulama
ulama yang bermazhab.
Harapan untuk menggendong bayi,
memandikannya berdua, mengajak jalan jalan, menonton
anak anak kami berlarian depan rumah, hancur sudah.
Berkeping keping.
©
Aku berusaha menggapai hasrat dan gelora
dalam hidupku yang memantik kebahagiaanku meski
tanpa harus menjadi Ibu.
Ratusan kata kata empati dari sanak saudara
yang datang menjengukku usai operasi histerektomi
menguap tanpa arti.
Lihat tetangga menyuapi balita atau ibu-ibu
dipasar yang menuntun anak mereka tidak lagi menjadi
pemandangan biasa bagiku.
Orang-orang yang tidak tahu jejak medis ku dan
bertanya, "sudah berapa putranya Ning?" Mendadak
berubah menjadi monster di hadapanku. ingin segera
kulibas dan tumpas begitu saja.
Ironisnya, Mas Ahvash yang selalu memberikan
pasokan-pasokan kesabaran dan spirit dalam hidup agar
aku memandang dunia dengan kacamata yang berbeda,
justeru sering Kedapatan mengajak anak anak dari
sepupu sepupunya saat berkunjung kerumah kami. Mas
Ahvash akan mengurung mereka dan bermain seharian
bersama, entah itu main bola, atau sekedar nonton TV.
Ia biarkan rumah berantakan oleh anak-anak.
Padahal dia adalah orang yang paling rapi, Dan kang-
kang khodam akan kuwalahan membersihkannya.
Lama-lama, aku gelisah melihat itu, ia
mengingatkan aku atas rasa kangennya terhadap
keturunan.
Aku belum berhasil menjadi Mazarina yang
dulu lagi.
Berhenti sibuk dari dunia kemadrasahan dan
membiarkan semua urusan Flower Gallery ku di ambil
alih oleh khodamku, Mbak Lina dan Maysaroh.
Bazar yang telah ku siapkan sejak lama untuk
acara lomba pesantren di pondok kami tidak lagi terurus.
Bahkan, aku sendiri juga termasuk kordinator
lomba-lomba yang di laksanakan tahunan itu
membiarkan Suara riuh dan ramainya menguap dari
jendela kamar.
Tidak ingin melebur. Justeru amat bersyukur
ketika akhirnya lomba itu selesai dan pemenangnya telah
diumumkan. Termasuk cucu Kiai teman-teman Abah
mertua
*****
Pesantren adalah lembaga yang mendirikannya
dipenuhi perjuangan besar yang istiqomah diatas kaki
ribuan doa. Bukan hanya prestice sebuah bangunan atau
kekuatan dinasty keluarga pendiri.
Di balik gedung-gedung itu, terhimpun Beratus-
ratus bahkan beribu-ribu nasib para santri yang akan
menjadi penerus penegak Panji-Panji islam yang tersebar
di pelosok desa.
Pada sisi tertentu, Pesantren salaf memang
mirip lembaga sekolahan yang di dalamnya terdiri dari
puluhan dan ratusan guru yang bersama-sama mampu
memajukan lembaga dan tidak tergantung pada satu
orang.
Namun pada sisi lain, Pesantren salaf
membutuhkan tokoh sentral, sesepuh, teladan abadi,
pengasuh aktif yang nirakati,
Membangunkan santri-santri Mujahadah, mengimami
shalat lima waktu, membumikan tafsir dan hadis dari
kitab kitab besar karangan ulama ulama terdahulu dan
memberikan contoh kehidupan sehari hari dari matahari
mulai bersinar hingga terbenam.
Pesantren tidak dibangun dalam semalam. Ia
berdiri karena ulama-ulama tidak membiarkan keturunan
mereka melupakan almamaternya agar terus kokoh di
dalam rengkuhan para pemegang tongkat estafet.
Sekali pesantren itu kehabisan kaderisasi. Maka
tunggu lah nyala obornya akan padam.
Aku tahu betul itu.
Apalagi putra KH Solahuddin Amin hanya Mas
Ahvash, maka,
segala urusan pesantren nantinya akan di bebankan
Padanya.
Maka, ketika harapanku untuk menjadi Ibu
harus kukubur dalam-dalam, aku juga harus siap jika
suatu hari Abah dan umik mertua mengungkapkan hal
yang serupa.
Terlebih, saat Abah mendengar nama cucu
teman nya disebut menjuarai lomba pesantren yang
digelar di pondok kami, padahal abah sendiri belum
memiliki cucu satu pun.
Hari berganti hari, tahun menuju tahun yang
lain,
Mengantarkan aku pada hari dimana Abah dan ibu
mertua menceritakan gundah gulananya tentang rencana
pembangunan madrasah baru, kecemasannya mengasuh
santri salaf sebegitu banyak, belum juga safari dakwah di
rumah rumah alumni yang sudah mendirikan pesantren.
Beliau memberi gambaran keluarga- keluarga
pemangku di pesantren besar di tanah Jawa, yang
notabene memiliki banyak keturunan guna mengkader
penerus untuk pesantren mereka, Karena apa? Karena
ikhtiar untuk usaha dakwah memang membutuhkan
generasi, dua tiga keturunan saja tidak cukup, apalagi
hanya satu.
Lalu suatu ketika, setahun kemudian usai
operasi pengangkatan rahim itu, keduanya menatapku
penuh welas . "Aku njaluk ngapuro Yo le... Nek akeeh
banget dusane.. aku yo ijeh koyo wong tuwo liyane,
selalu pengen punya cucu "
Baru kali ini aku tersakiti oleh kata-kata mertua
bahkan meski diucapkan dengan intonasi yang amat
lembut. Mereka menginginkan sesuatu yang tak
mungkin bisa kuberikan meski menunggu dua puluh
tahun kemudian.
Mendadak waktu terasa terhenti, detak
jantungku terdengar begitu jelas. Aku hanya enggeh-
enggeh saja tanpa banyak bicara.
Mengadopsi anak bukanlah solusi karena Mas
Ahvash tak punya saudara kandung, jika kami
mengadopsi bayi laki-laki, maka kedepannya bukan
mahram dengan ku yang notabene ibu tirinya sendiri,
jika mengadopsi bayi perempuan, maka Mas Ahvash lah
yang selamanya bukan mahram dengan bayi tsb.
Malam itu, ku tumpahkan segala tangisku di
atas sajadah. Kulapangkan dadaku seluas-luasnya,
menyadarkan diri atas nikmat Tuhan yang begitu besar.
Tidaklah benar jika rahimku diangkat dan aku
merasa tak ada artinya. Itu pikiran orang yang tak
bertuhan.
Bukan kah aku sehat? dicintai suami,
Dibutuhkan para santri. Apalagi? Jika memang aku
ditakdirkan tidak memiliki anak, maka Allah akan
menggantinya dengan banyak kebahagian dalam bentuk
lain.
Tapi Mas Ahvash?
Kulirik suamiku yang telah terlelap kembali
dibalik selimut. Tidurnya begitu nyenyak, namun
menyisakan guratan kelelahan.
Mas Ahvas berhak mendapatkan
kebahagiaanya. Jika dia bahagia, bukankah aku juga
bahagia? Istri macam apa aku ini jika hanya
mementingkan kebahagiaan ku sendiri?
Ku lepas mukena dan bangkit tidur di
sampingnya. Kupeluk ia dari belakang, membenamkan
wajahku di punggungnya.
Ia terbangun lalu membalikkan tubuhnya.
"Kamu nangis..??" ia memelukku dan membiarkan aku
membenamkan wajah disana.
"Mas... Mas, jika memang untuk mewujudkan
keinginan Abah dan Umik mengharuskan aku harus
berbagi dirimu dengan orang lain. Aku rela... Aku rela
Mas..."
Aku menghambur di dadanya dan terisak di
sana.
Mas Ahvash membisu. Aku bisa mengeja detak
jantungnya yang tak beraturan.
"Tidak apa mas, tidak apa.. Aku tahu
perasaanmu, perasaan Abah dan umik..."
Tidak ada komentar. diam bagaikan batu.
serupa jam dinding yang berdetak melesat menggilas
waktu, namun dingin dan beku.
****
Pertemuan berikutnya dengan mertua di aula
pesantren siang itu seolah menggedor-gedor kesadaran
ku, atas tersegerakannya di temukan misteri itu, umik
dan Abah sudah makin menua.
Seorang alumni yang begitu dekat dengan
keluarga kamilah yang memberitahukan keinginan
mertua, juka memang aku rela dimadu, maka aku
sendirilah yang harus memilih diantara nama-nama
santri yang telah mereka tulis.
Siapa perempuan yang paling pantas menduduki
posisi istri kedua dalam rumah tanggaku.
Lalu, dari jendela kamarku, tepat di seberang
jalan utama pesantren menuju halaman masjid, aku
memandang perempuan penunggu butik flower galery
ku, ia datang dari keluarga sederhana dan telah tiga
tahun mengabdi pada keluarga ini. Mencuci, menyetrika,
memasak, menunggu butik.
Mungkin,
Akan lebih mudah memilih perempuan kedua
yang kamu kenal perangainya, akan lebih mudah
mengendalikan orang yang biasanya berapa di bawah
kita.
Meski di sisi lain, mau tak mau aku harus
memahami kenapa nama-nama santri yang tertara itu
notabene berfisik menarik.
Karena seorang istri yang akan di harapkan
keturunannya tentu tidak boleh yang dibawah standar,
karena mukafaah fisik dalam pernikahan itu juga wajar.
Aku tahu. Aku mengerti.
Bahkan, aku sendiripun pun tak mungkin tega
mencarikan istri yang tak menarik untuk Mas Ahvash.
Ya, ahirnya dengan tangan gemetar dan mata
yang berkaca-aka, kuputuskan memilih salah satu nama
dalam kertas itu.
Sebaris nama yang kupilih itu bernama
Maysaroh.
Biasa ku panggil Mei.
******
Dini hari usai solat subuh, kudengar suara
mesin mobil dipanaskan.
Kudapati suamiku muncul dengan jaket kulit
lengkap dengan kaus tangan dan topi wool diambang
pintu.
Ia tampak begitu menawan serupa artis eropa yang
syuting di musim dingin.
"Udah subuhannya?" Ia menyeringai.
"Udaah" aku melipat mukena dan jatuh cinta
untuk yang kesekian kali pada senyum yang
memamerkan geligi rapi itu.
"Nih pakek jaketnya..." Diulurkannya jaket pink
milikku yang kubeli 4 tahun lalu di Istanbul, "Keluar
yuuk" katanya.
"Kemana mas... Dingin ahh.."
"Berduaan kan nggak bakal dingin sayang" ia
memakaikan jaket dilenganku.
"Enak juga dirumah. Tidur .hehehe "
"Besok,... Kalau kamu ngajak muter muter mall,
muter muter pasar malem, Boleh nggak kalau mas jawab
begitu juga.." ia mencibir.
"Hahaha iyaa mas... Becanda...!!"
Sejurus kemudian, mobil kami melesat
membelah jalanan yang berkabut. Melewati Beberapa
santri yang masih terkantuk menenteng mushaf.
Perjalanan di iringi lagu Nancy Ajram. Membuat jalanan
bagai video yang sedang melatar belakangi music yang
kami dengar.
Mas Ahvash berhenti di dekat jembatan, ia
menarik pergelangan tanganku mengajakku merangsek
menembus rumput rumput tinggi yang basah menuju
pinggir kali.
Ia menggelar keloso. Menaruh plastik yang
ternyata berisi cangkir dan teko juga plastik berisi
gorengan.
"Haiisshh apa apaan ini? Siapa yang
menyiapkan ini semua?" aku takjub.
"Siapa lagii...!"
Aku tahu, selain diriku, Kang Badrun lah yang
kadang kadang menjadi barista nya.
Ia menuangkan kopi dalam dua cangkir dan memberikan
ku satu.
"Siapa juga yang bikin gorengan ini?" Aku
nyengir.
"Nggak penting siapa yang bikin. Yang penting
siapa yang nemenin kamu makan gorengan. Betul???"
Aku tertawa menyeruput kopinya.
Kami duduk di dataran tinggi pinggir kali yang
begitu indah, ada tekanan air yang tinggi dari gerujugan,
suara riak air yang deras berlomba dengan cuitan burung
emprit dan hembusan angin pagi yang begitu dingin
menyapaku.
Langit yang gelap berangsur-angsur semakin
cerah.
Diseberang kali, Terhampar luas pesawahan dan
pohon albasiah berderet-deret. Ada pak tani yang sejak
tadi melirik kami berdua sedang apa.
Kusadari ketakjubanku ini tidak luput dari
perhatian Mas Ahvash. "Kamu pengen naik lagi ke
sana??" Tanya nya
"Ayuukk"
Kami menaiki dataran yang lebih tinggi.
Melewati jalan berkelok nan licin. Berhenti di salah satu
gundukan diantara pepohonan rimbun.
"Liat, sawahnya tambah luasss"
"Iyaa yaa Mas... Indaah banget pedesaan kita"
"Nyesel nggak nih udah jauh jauh ke Istanbul?
Disini lebih indah..."
"Dua duanya indah Mas..."
Kusandar kan kepalaku pada pundaknya.
Ia merengkuh tubuhku dalam dekapannya.
"hidup itu terlalu berharga untuk dirutuki!, Kita
beruntung sekali sama Allah diberikan penglihatan
sempurna bisa memandang semua ini,?...kita juga
beruntung menikmati semua ini berdua, setuju?..."
Ku ulurkan tangan untuk merengkuh
pinggangnya. Demi meleburkan ketakutan ku akan rasa
kehilangan atas sosok itu.
Dadaku terasa sesak menyadari dua hal,
kebahagiaan atas kebaikannya, dan kesedihan yang
menyelinap karena menyadari, tidak lama lagi,
Aku akan berbagi dirinya dengan wanita lain !!
"Sayang. Aku ini kan santri abahmu, berani
sekali ya, si santri itu kini melukai Ning nya!" Ia
berkelakar. Masih memelukku erat. Menghempaskan
hawa dingin yang merayap.
Aku melempar luka pada deretan pohon
albasiah yang ramping dan kokoh berderet-deret.
Matahari menyelinap diantara dedaunannya yang sepi.
Aku ingin berbisik di telinganya,
"Mas, lihatlah deretan pohon itu. kamu harus punya
keturunan, seperti pohon itu, indah berjajar, tidak
dibiarkan sendirian dan dibiarkan mati..."
Tapi aku tidak mampu mengucapkan apa-apa,
aku hanya menumpahkan bulir-bulir bening basah jatuh
di dadanya.
Mengumpulkan kekuatan untuk hari-hari
panjang yang akan kulalui berbagi dirinya dengan wanita
lain.
Lama kami memandangi sisa-sisa kabut yang
dilalap oleh sinar mentari, awan-awan cerah bergulung
beradu warna dengan hamparan yang hijau.
Lalu kami kembali duduk di atas keloso,
menghabiskan sisa-sisa kopi. Dan menungguinya solat
Dhuha beberapa rakaat.
Dengan doa yang begitu lama. Entah apa.
****
Malam ini, kurasakan debaran-debaran yang
ambigu. Suara solawatan dari salon bertalu-talu
menggema di halaman rumah, menambah gelora suasana
hatiku tak menentu.
Hari setelah aku mantap memilih Mei untuk
maduku, kami langsung mengutus pengurus pondok
untuk silaturrahmi ke rumahnya di pedalaman
pegunungan Dieng. Dan orang tua Mei langsung
mengiyakan permintaan itu, dan sanggup datang Di
Tegalklopo malam ini.
Kini, hajatan itu sudah tinggal selangkah di
depan mata.
Tadi maghrib, sempat aku pandangi wajah Mas
Ahvas yang rapi dengan kemeja levisnya, sarung BHS,
dan peci hitam. Ia tampak begitu machoo sekaligus
berwibawa, kemeja Levis itu amat pantas membalut
tubuhnya.
Tapi aku menahan komentarku sesaat setelah
kesadaran ku menelisik, ia berdandan untuk perempuan
lain bukan?.
Ia sempat mencium keningku sebelum aku
menghambur di dapur pura-pura turut menghandle acara,
berulangkali membesarkan hatiku dengan gombalan-
gombalannya.
Beberapa santri tampak iba dan salut luar biasa
melihatku berlalu-lalang membawa snack atau sekedar
beramah tamah pada tetamu.
Aku menyibukkan diri ngobrol dengan sanak
saudara ketika kudengar santri bersorak mengomentari
kawannya, karena Kemanten putri sudah selesai dirias.
Kemudian, pihak lelaki dikode untuk segera bersiap-
siap.
Sebelum duduk di kursi depan, teman-temannya
mengantarkan Maysaroh untuk sungkem dengan ku, ia
dirias mengenakan kerudung pink dan tiara kecil di
atasnya. Ia begitu mangklingi. Make up lembut di
wajahnya mampu menyalakan kecantikan yang
terpendam selama ini. Aku terhuyung ke kamar mandi.
Terhenyak menyaksikan riasannya.
Ketika kudengar khotbah nikah di mulai, dan
detik demi detik mengantarkan pada dunia dimana Mas
Ahvas melafazkan ijab kabul dan semua orang
menggema, sah ?? Sah? Saahhhhh... Aku memejamkan
mata. Menyandarkan tubuhku ke tembok kamar mandi.
Meremas-remas tanganku sendiri.
Itu pertanda dimana suamiku resmi menjadi
suami Mbak Mei. Pertanda bahwa mulai detik ini,
malam ini, aku harus rela berbagi dan memberikan
otoritas sepenuhnya pada wanita lain melakukan apa saja
yang dia inginkan untuk belahan jiwaku. Aku harus
berbesar hati melegalkan segala macam bentuk yang
mungkin akan menyakiti dan membuatku cemburu. Aku
harus siap menahan gejolak hati tiap kali suamiku berdua
dengan istri keduanya, Mbak Maysaroh, salah satu
khodimah mertua yang pernah mengabdi di dapur.
******
Malam usai pernikahan, aku begitu lemas dan
lunglai. Dituntun khodimahku Asih, Segera pulang dan
kurebahkan tubuhku ke ranjang, kumejamkan mata di
balik selimut. Menyumpal telingaku dengan kerudung.
Merasakan degup jantungku sendiri yang tak beraturan.
Hingga lambat laun tak kudengarkan lagi.
Saat aku terbangun di tengah malam, ramainya
tamu-tamu, suara dentuman solawatan dan singgasana
sederhana dari gabus untuk khitobahan itu telah
menghilang dalam sekejap. Hanya rembulan malam
mengintipku dari balik pepohonan.
Tidak ada Mas Ahvas Disini, aku justru
dikagetkan dengan ibu mertua yang tertidur pulas di
Shofa depan kamarku.
Ia pasti menungguiku menggantikan tugas Mas
Ahvas.
Sementara Mas Ahvas? Aku pasti bodoh jika
bertanya dia dimana. Bukan kah dia penganten baru? Dia
sedang bersama istrinya di rumah mungil dekat butik,
rumah milik Umik yang diselenggarakan untuk dirinya.
Aku menghambur di ranjang, membenamkan
resah gulanaku ke disana.
Suara jangkrik dan kodok serasa begitu keras
mengganggu malamku. Biasanya, suara itu tak akan
senyaring ini jika di sisiku ada Mas Ahvas. Suara degub
jantungnya kala memelukku mengalahkan suara-suara
lain yang pernah ada.
Malam menjadi begitu dingin menusuk tulang
meski bertumpuk-tumpuk selimut telah ku balutkan ke
seluruh tubuh. Suara detak jarum jam dinding di atas
pintu serasa menyiksa. Waktu bergulir begitu lama.
Baru kusadari pekatnya malam begitu kosong,
hening, sunyi. Selama ini malam malamku adalah
ketenangan jiwa mereguk surgawi di dekat raganya.
Jika saja hatiku seluas langit, mungkin masalah-
masalah itu hanya bagaikan bintang kecil yang tidak
mampu menyesakkan cakrawala hatiku.
Jika hatiku seperti karang, mungkin seberapa
sering ombak-ombak itu menerjang, tidak akan pernah
sedikit pun melelehkan jiwaku.
Tapi sayang, hatiku adalah kapal yang berlayar
di tengah lautan. Kini, tajamnya badai menerpa
mengombang ambingkan seluruh jiwa ragaku,
memporak porandakan daya kuasaku.
Dalam ketakutan, Ku himpun kekuatan. Agar
tidak akan pernah tenggelam di dasar lautan.
****
Empat hari setelah pernikahan itu, aku terpaksa
belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian
rupa untuk kami berdua karena bagaimanapun, Mei telah
sah menjadi istrinya. Aku terhenyak, menyadari Siapa
pun dia dimasa lalu kini tidaklah penting, Dia memiliki
hak yang sama atas hak-hak seorang istri.
Sepertinya baru bulan kemaren aku menemukan
dia sibuk melipat gamis jualanku di butik. Dan kini dia
sudah bergeser meninggali rumah di sebelahnya.
Mas Ahvas berpesan, aku harus banyak
istirahat, aku tidak boleh pingsan lagi seperti malam
pernikahan itu, aku tidak boleh kemana-mana. Tapi aku
tak mengindahkan ucapannya. Aku justru jalan-jalan ke
butik, dan kemudian memutuskan untuk mengucapkan
salam di depan pintu rumah Maysaroh.
Pintu berderit terbuka. Maysaroh menunduk
mempersilahkanku. "Waalaykum salaam.... Monggo
Ning... Pinarak" Ia menyalami ku persis seperti sebelum
pernikahan terjadi. Mencium tanganku lengkap dengan
gestur menunduk sopan. Dan wajah yang tak berani
mendongak menatapku.
Teras rumah ini tampak begitu mengkilap usai
di bersihkan. Biasanya debu-debu hinggap memenuhi
muka rumah ini. Sehingga aku baru sadar ternyata rumah
ini cukup bagus.
Ketika masuk di pintu utama, aku pun langsung
di kagetkan dengan tata letak furnitur yang sedikit
bergeser, mengkilapnya lantai marmer, dan keset nya
jendela- jendela kaca rumah ini.
"Siapa yang mbersihin ini Mei? Kang-kang?"
"Mboten Niing... Saya sendiri"
"Ooo... "
Belum lagi ketika aku masuk dalam kamar nya,
menemukan spring bed usang itu berlapiskan bed cover
baru masih bau pabrik, licin begitu rapi dengan bayfresh
yang menusuk hidung, menyamankan penghuni kamar
ini, membuatku langsung melengos. Tak Sudi aku lama-
lama di sebuah ruangan dimana suamiku mereguk lautan
asmara dengan perempuan lain.
Datang ke rumah Maysaroh secepat ini saja
sebenarnya adalah keputusan beresiko tinggi. Bodohnya
aku kenapa membuka-buka kamarnya.
Lalu aku melongok ke ruang makan dan dapur,
di atas meja itu sudah terhidangkan lauk pauk dan sayur
lodeh, lengkap dengan sambal terasi. Nasi panas masih
mengepul di dalam cething.
Sementara Pawon kecil di ujung ruangan telah
bersih dan rapi, tidak kalah licin dengan ruangan
ruangan lain.
"Siapa yang sudah memasak ini Mei?"
"Saya sendiri niing..."
Aku tahu, lodeh dan sambal terasi adalah salah
satu kesukaan Mas Ahvas. sudah barang tentu
perempuan itu tahu betul apa saja yang disukai suamiku,
karena jauh sebelum khidmah di butik, ia termasuk salah
satu koki andalan bagi keluarga kami.
"Kamu masak dari jam berapa?" Aku
menyelidik,
"Sebelum subuh Ning. Karena Gus Ahvas harus
madrasah pagi-pagi"
"Jadi dia sudah sarapan? "
"Enjeeh niing... "
Aku juga menemukan toples berisikan kopi dan
gula dan satu cangkir kotor sisa kopi.
Perempuan itu dulu sering melihatku
membuatkan kopi untuk suamiku. Dan kini dia
mempraktekannya sendiri. Dia juga ingin menjadi
barista.
Ya allah!
Ku lihat air mukaku begitu masam di dalam
cermin yang bertengger di dekat meja makan.
*****
Masih kuingat kata-kata yang sering ia rapal
malam-malam sebelum pernikahan itu terjadi.
"Sayang, kamu selalu the best dalam hidupku.
Enggak semudah itu jatuh cinta pada orang lain!"
Sembari memijit-mijit pundakku dari belakang.
"Andaikan kamu tahu cinta itu serupa botol dan
tutup. Nggak gampang masangin mereka berdua menjadi
wadah agar air tidak tumpah!"
Lalu segera kusergah,
"Mas... Mas! Kenapa cuma disamakan botol
dan tutup? Kita bisa saja carikan tutup bekas yang
sepabrik dan semodel dengan botol. Rapet kok
dipakainya! Hehehe!"
Ia tertawa kecil. Mungkin cari analogi lain. Tapi
tak berhasil.
"Tentang poligami ini. Bukan hanya kamu yang
resah Ning Zarine...!" Gumamnya parau dan dalam. Ia
tak meneruskan lagi dengan penjelasan lain. Tapi aku
tahu mata itu tak berdusta. Seperti berkaca-kaca dam
menatapku sesekali dengan mimik penuh welas asih.
Tatapan yang sama dengan cara mertua
menatap ku, meski mereka tak mampu menampik
harapan untuk memiliki keturunan.
Kadang-kadang, Mas Ahvash juga mendadak
romantis macam filem-filem bioskop.
Membawa buket bunga yang ia beli entah
dimana, lalu ia selipkan coklat di antara bunga merekah
itu. Dibawahnya dengan senyum hangat dan merengkuh
tubuh mungil ku dengan tangannya yang kokoh.
"Malam ini aku culik tuan putri. Biar nggak
kemana-mana!" Ia kunci aku dalam rengkuhannya.
"Sebentar, Mas! Aku mau keluar sebentar!"
"Oke, aku anter!"
"Jangan ah. Orang mau pipis!"
"Aku temani!"
"Aku mules Mas! mau nemenin juga?"
"Boleh!"
Lalu ia meraih tubuhku dan menggendongnya
membiarkan aku berontak dalam dekapannya, dan baru
akan berhenti saat ia telah menurunkan aku di kamar
mandi.
"Pangeran nggak boleh jorok ih! Aku tutup
pintu dulu yah! Hehehe"
Ia tertawa lebar dan kembali duduk di tepi
ranjang.
Sebenarnya, ia memang lelaki yang baik dalam
arti yang sesungguhnya.
memperlakukan aku dengan lembut, dan
pengertian. Menggunakan waktu dalam hidupnya dengan
ritme yang jelas, pergi keluar rumah hanya untuk
pengajian, organisasi, kadang-kadang bisnis dan
silaturrahmi. Tak pernah sekalipun aku mencurigainya
atas kelakuan tidak etis yang berkaitan dengan
perempuan.
Tidak pernah!
Ajaran-ajaran orang tua telah membentuk
karakternya sedemikian rupa.
Aku pun tak pernah meragukan cinta itu selama
5 tahun pernikahan, ketika beberapa temanku curhat soal
suami mereka yang diam-diam nge-laine mantannya,
atau masih menyimpan foto orang lain dan sebagainya.
Aku justru terharu mengingat sikap suamiku
selama ini yang tak pernah komplen ini itu soal
penampilan, ia justru selalu mengagumi caraku bersolek,
hari demi hari. Ia perhatian pada detail-detail gaun baru
yang aku kenakan dan akan melontarkan pujian kecil
menyenangkan.
Ia sering mengajakku makan sepiring berdua,
menyuapiku juka sedang malas menyentuh sendok,
bahkan dawuh-dawuh pada santri untuk membuatkan
menu-menu yang aku suka secara surprise.
Ya, sikap-sikap itulah yang justru kini
menciptakan rasa sepi dalam jiwaku meski hanya di
tinggal menginap semalam di rumah Mei.
Sikap itu lah yang membuatku menyukai
kebiasaan minum kopi berdua sengannya di teras. Yang
harus kurelakan rutinitas itu akan sedikit berkurang.
Penantia kali ini tidak sama dengan ketika Mas
Ahvash berangkat ceramah ke kota lain dan terpaksa
tidak pulang hingga esok hari karena jauh, atau pergi
untuk urusan organisasi bahkan ketika harus menginap 3
hari di luar jawa.
Tidak sama.
kemaren, aku tak pernah merasa terpenjara
meski aktifitasku hanya berkutat dengan Mujahadah,
jamaah, madrasah, dan musyawarah, Mas Ahvash
memberikan kebebasan dalam banyak hal termasuk
membangunkan Flower gallery yang berdiri di sisi jalan
besar dekat masjid.
Namun, pernikahan kedua itu telah menjadikan
waktu kian melambat. Halaman paving yang terasa
panas meranggas. Kediaman yang hening, suara detak
jarum yang begitu keras mengganggu tidurku yang tak
kunjung pulas.
Bertahun-tahun aku berhasil melibas waktu kala
sendiri ditinggal suami namun aku tak kuasa membunuh
waktu saat ia menginap dirumah Mei.
Sudah ku nyalakan tv sejak pagi, kupilih buku-
buku di rak yang luput terjamah, kutelfon sahabat-
sahabatku sekedar ngobrol pembunuh sepi. Atau kembali
fokus dengan menelaah kitab persiapan madrasah esok
hari.
Tapi kitab itu kadang serupa kertas 3 dimensi
yang menyeruakkan wajah Mas Ahvash, karena dialah
yang sering menjelaskan syarahnya hingga mudah di
faham.
Lalu justru terbayangi wajah Mei yang
bergelayut di dada suami, mengintip mentari dari jendela
dan menghabiskan hari bersama saling berbagi cerita
atau sekedar menyuapi makan.
Kata-kata manis yang dilontarkan Mas Ahvash
tentang 'tidak mudah membagi hati' serta merta
menguap.
Nyatanya dia betah nginep disana.
Nyatanya WA ku belum di read.
Nyatanya dia juga rapi saat pergi kesana.
Lalu kucecap rasa bahagia yang ambigu saat
suamiku pun akhirnya pulang muncul di halaman rumah
dengan penampilannya yang selalu rapi, ambigu karena
aku akan senang melihat rambutnya tidak basah dan bau
sabun mandi tak menguar dari tubuhnya.
Tapi diriku yang lain menertawakan pikiran ku
sendiri.
Aneh, bukan kah kamu mencarikan istri untuk
memberikan keturunan? Lalu kenapa kamu takut ia akan
menjamah suamimu?
Dilain waktu aku malas membuatkannya kopi
karena melihat suamiku datang dengan wajah
sumringah, mematut diri di cermin seperti lelaki muda
yang baru saja bertemu seseorang yang spesial diluar
sana.
Di lain waktu, aku sengaja menelfonnya lama
pura- pura membicarakan santri yang kriminal, santri
sakit, atau pengurus yang mau menikah demi
mengganggu saat-saat bersamanya dengan Mei.
Tapi saat kewarasanku muncul, aku
membiarkan Mas Ahvash menikmati malam-malamnya
bersama Mei tanpa sedetik pun menganggu. Aku akan
mendaras Alquran atau menonton film-film sedih yang
membuatku merasa beruntung tidak seperti tokoh-tokoh
dalam film.
Lalu berurai air mata yang memiliki dua makna.
Satu, atas kenyataan ini, Dua, karena menonton anak-
anak dalam Tears Of Gaza atau Children of heaven.
Kini, aku menyeduhkan kopi untuk diriku
sendiri dan duduk di lantasi atas sembari memandangi
hamparah sawah juga gedung 3 lantai di seberangnya.
Menghayati peran suamiku sebagai pemangku
pesantren sebesar ini.
Al Amin, adalah nama yang disematkan mertua
untuk pesantren ini sejak tiga puluh lima tahun yang lalu,
mengambil nama dari kakek Mas Ahvash yang
mengawali perjuangan di tanah Tegalklopo, Mbah Kiai
Amin.
Gedung pesantren putra berlantai tiga megah
berderet-deret di samping kiri ndalem mertua hingga
belakang rumah dengan arsitektur perpaduan jendela
gaya Spanyol dan Jawa. Berujung dengan masjid besar
yang juga digunakan masyarakat untuk shalat Jumat di
jalan masuk.
Sementara gedung santri putri yang baru saja di
bangun sepuluh tahun terakhir dan baru memiliki santri
dua tiga ratus personil berada di sisi kanan dengan gaya
sederhana jendela-jendela kotak minimalis dan teralis
besi di sekitarnya.
Lalu kediaman ku dan Mas Ahvas terletak
diantara keduanya, tepat di samping rumah mertua.
Dari teras rumah kami, nampak halaman luas
berpaving yang biasa digunakan untuk acara haflah
berujung dengan koperasi yang dihiasi taman kecil yang
memanjang dan lampu-lampu neon, bersebelahan
dengan dapur pondok yang menghadap belumbang lele
dan mujahir milik Mas Ahvash yang luas.
Atas barokah para guru dan doa leluhur
pesantren ini telah berkembang pesat dengan seribu lima
ratus santri putra. Yang seluruhnya murni belajar
kurikulum pesantren salaf.
Abah mengambil jalan untuk mengkader santri
yang fokus dan ahli dalam kitab kuning dengan standar
tinggi, agar pasokan pemuda berkapasitas tak punah di
gerus oleh jaman yang serba instan.
Alumni-alumninya mumpuni tak kalah dengan sarjana
luar negeri dan bersanad yang jelas.
Itu adalah prinsip yang harus di hormati.
Di sisi lain, beliau pun mendukung dan
menghormati pesantren lain yang mulai mendirikan
lembaga sekolah. Karena di masyarakat, nantinya akan
berdampingan.
Aku terkesiap dan segera bangkit menuruni
anak tangga kala menemukan mobil colt memasuki
halaman rumah dan supirnya tergopoh-gopoh
kulanuwun.
"Buk... Meniko almari mau di taruh dimana ya?
Ada kah santri yang bisa bantu saya bawa barang ke
dalam?" Tanya sang supir segera setelah aku muncul di
balik pintu, kupicingkan mata melihat almari berukir
indah yang catnya mengilap diterpa matahari.
"Oh ya, sebentar kucarikan pak!" Pekikku
gembira sebelum akhirnya menyuruh kang-kang datang
juga
Kuperintah membawakan teh dan pisang goreng.
Aku sempat menyentuh awak lemari tu dengan
gemetar, karena hampir saja terkesan dengan cara suami
memberikan sureprise di pagi hari.
"Silahkan ibu tanda tangan disini!" Sang supir
mengangsurkan nota.
Seketika aku lunglai oleh sebaris nama yang
tertera pada kertas itu.
"Ini bukan almari saya Mas!"
"La tapi sini ndalemnya Gus Ahvash kan?"
Sang supir menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Mas puter saja, keluar lewat masjid, di sana
ada toko butik, Rumah Bu Mei ada di samping toko itu!"
Jawabku datar.
"Ooo.." dia manggut-manggut, meminta maaf
dan berlalu.
"Owalah... Ndalem yang sebelah sana to!"
Gumamnya tanpa dosa membawa nota bertulisan nama
Mei itu pergi.
membuatku ingin menyiram air di mukanya!
******
Dulu, aku begitu menjaga berat badan ketika
jarum timbangan mulai ke kanan, lalu bekerja keras
untuk menurunkannya lagi dengan makanan sehat
Googling di internet, ngemil buah buahan tanpa melirik
gorengan kang dapur.
Demi mengenakan baju-baju yang hanya pantas
dipakai oleh orang langsing dan tinggi. Demi
melenyapkan secuil lemak dipunggung dan pinggang.
Demi 'ibadah' untuk memanjakan mata suami dengan
penampilan yang tetap 'terjaga'
Tapi kini, hari demi hari aku justru cemas
kehilangan berat badan begitu drastis, aku tirus dan
kurus, yang bisa saja membuatku tampak lebih tua.
Bahkan pipiku tirusku mulai nampak meski
hanya dalam sebuah foto.
"Kurusan ya Ning. Jangan diet ih. Cakep juga
agak berisi!"
Itu wa sahabatku Ning Rima melalui wa yang
tak sengaja mengintip statusku. "Aku butuh hiburan nih,
Makanya mampir ke Tegal Klopo. Si Ning Farah juga
lama banget nggak maen!" Gerutuku menyebut
sahabatku yang satu lagi.
Kami bertiga adalah teman kuliah di
Yogyakarta yang kebetulan memiliki mertua yang sama-
sama tinggal di Purworejo. Saat kuliah kami tidak
seakrab ini. Baru setelah beberapa moment
mempertemukan kami dan berbagi cerita yang serupa,
masuk dalam tradisi pesantren dengan territory yang
berdekatan membuat perjalinan kami semakin erat.
Berhubung kami bertiga berasal dari area yang
dekat Jawa Timur, maka kami biasa memanggil satu
sama lain dengan panggilan Ning.
Karena putri kiai di daerah kedu tak memiliki
tradisi panggilan ini.
"Nanti malam Abah mau ke Tegal
klopo.Soalnya ada urusan penting sama Gus Ahvash!
Tapi aku ndak ikut!"
"Yaah.. ikut dong! Plis...! Tak masakin cumi-
cumi kesukaanmu!"
"Memangnya bisa masak?! Paling juga minta
tolong. Hahaha"
"Aihh bawel banget si Eneng!"
"Yaa coba kita liat saja nanti!"
Mertua Ning Rima adalah sahabat mertuaku.
Jika Mbah Kiai Zainuri bertandang ke Tegal klopo, ia
biasa memarkir mobilnya di halaman rumah kami.
Karena Abah sedang tindak, maka malam ini
beliau menjadi tamu suami ku.
Dan kupikir kedatangan tamu agung otomatis
bisa merubah jadwalnya mabit di rumah Mei, Karena
tamu agung itu biasa dijamu dirumah kami.
Aku menyuruh khodam Membersihkan seluruh
rumah. Memasak masakan yang Lezat. Menyiapkan
oleh-oleh untuk dihaturkan beliau.
Bakda Isyak pun berlalu. Saat aku terkantuk-
kantuk di depan televisi. Menunggu derung mobil Mbah
Kiai yang tak kunjung terdengar.
Hingga jarum jam menunjukkan pukul setengah
sebelas aku baru sadar, sepertinya aku menunggu terlalu
lama. Tidak mungkin tamu baru akan datang pada pukul
11.
Mikirin pesan singkat pada Ning Rima kenapa
selarut ini mertuanya tak kunjung datang?
Lalu balasan wa itu segera membuat dada ku
sesak
"Abah sudah sejak Maghrib ke Tegal klopo. Sekarang
sudah otw kundur katanya"
Ketika kutanyakan pada khodam yang melintasi
halaman rumahku, ternyata Mbah Kiai Zainuri baru saja
disambut di rumah Mei.
Dan amarah ku mampu membawa langkah kaki
ku begitu cepat sampai di depan pintu rumah Mei. Tanpa
salam sekonyong-konyong pintu aku buka, menyaksikan
ruang tamu yang penuh piring jamuan dan toples toples
Pacitan, di ujung ruangan tampak hidangan lezat di tata
berderet deret.
Mei yang sedang menumpuk beberapa piring
kotor terhentak menyaksikan kedatanganku.
Kang kang yang sedang membantunya
membersihkan ruangan aku perintahkan keluar . Dan aku
hanya berdua saja dengan Mei di dalam kamar tidurnya
yang wangi itu.
"Mei..? Aku sudah masak kagem Mbah Kiai.
Sudah nata rumah. siapin jajan. Tinggal
menyuguhkannya. Kenapa malah diaturi rawuh sini!"
Suaraku bernada tinggi.
Mei hanya membisu. Meremas tangannya
sendiri.
"Kamu sadar Mei, apa yang kamu lakukan itu
tak sopan, tak beretika! "
"Baru juga sebentar tinggal disini kamu udah
lupa posisi! Siapa yang menjadikanmu bisa tinggal
dirumah ini ha?" suaraku makin meninggi dan
permintaan maaf Mei yang berulang kali pun tenggelam.
"Kamu tak perlu mencari gagasan untuk
mengambil alih tugasku..!"
Terdengar derit pintu tanda seseorang telah
datang, kurasakan tangan Mas Ahvas menyentuh
pundakku. "Pulang dulu yuk sayang..."
"Nggak usah motong pembicaraan . Ini antara
aku dan dia !"
"Kita ngobrol dirumah aja..."
"Disini aja mas. Biar dia tau seperti apa adab
yang seharusnya!!" aku menghardik wajah suamiku yang
cemas. Bisa kudengar nafasnya yang tertahan.
"Sayang... Kamu kan tahu malam ini aku giliran
dirumah ini" gumamnya lirih.
Aku terhenyak. Menjauhkan pandanganku dari
sosok suamiku yang begitu tampan dan rapi malam ini.
Tak kusangka ia akan berkata begitu.
"Mbah Kiai Zainuri itu biasanya senang
dibuatkan ayam betutu tiap kali rawuh kemari Sayang!"
Ia berhenti sejenak meloloskan hembusan
nafasnya "Dan kebetulan, yang bisa memasak ayam
betutu dia...."
Aku membuang muka pada meja dimana
hidangan itu berjejer. Membenci prasmanan yang
berderet rapi. Membenci seonggok ayam yang di sebut
betutu di atas wadah stainless. Membenci bau-bau sedap
yang menyeruak.
Mengingatkan aku pada bumbu-bumbu racikan
Maysaroh. Dan segera ingin hengkang.
****
"Sayang, maafkan aku.
Aku hanya ingin memberikan kesempatan rumah kecil
itu mendapat berkah tamu, karena sudah lama tak
berpenghuni.
Berbeda dengan rumah kita yang sudah sering
kedatangan almukarrom.
Sebenarnya, semalam aku pengen ngajak kamu hurmat
beliau, tapi, Kami langsung fokus musyawarah tentang
desa-desa yang di susupi radikal hingga waktu nya habis.
Aku bahkan tak mengira, kamu akan menyiapkan
jamuan itu juga. Maafkan aku sayang, maaf....!"
Itu pesan Wa Mas Ahvash.
Kalau tidak ada media HP, mungkin sampai
saat ini aku belum mendengar alasan apapun dari
suamiku atas sanggahan malam itu.
Karena aku membisu. Memintanya untuk diam
tiap kali ia mulai bersuara. Menepis tangannya saat
mulai menyentuh pundakku. Aku tidur dengan posisi
membelakanginya hingga pulas. Entah seperti apa
wajahnya semalam, aku hanya merasakan elusan
tangannya di pundakku tanpa perlu menoleh. Ia tidak
jadi menginap di rumah Mei semalam.
Aku tahu aku jahat, tapi tak bisa kukendalikan
rasa sebal ini!
Tengah malam kami sama-sama bangun untuk
melanjutkan aktifitas masing-masing.
Belum ada komunkasi yang berarti, hanya WA
lah media yang berhasil menyampaikan pesan itu sampai
saat ini.
Menyusul ia kirimkan foto selfie kami saat di
madinah, berlatar belakang masjid nabawi dan ia
memelukku dari belakang, menempelkan pipiny ke
pipiku. Saat itu, kami berdua secerah langit di
belakangnya.
Ia selipkan tulisan "dimana senyum bidadariku
yang cantik ini"
Ya rabb.
Ia berhasil menciptakan seringai di bibirku.
Lalu pesan itu aku tinggal pergi ke pondok
untuk membangunkan pengurus tahajjud, berlanjut
jamaah subuh, dan ngimami wiridan pagi
.
Aku belum tergerak untuk mulai menyapanya yang
tengah tahajjud di ruang tengah.
Sepulang dari mushalla pondok putri, aku
bertemu Yu Sari di teras dapur, Perempuan gendut
dengan jilbab tsunami itu tergopoh-gopoh muncul dari
balik pintu dapur.
"Ditunggu syukurannya Ning!" Serunya.
Yu Sari, adalah pemasok sayur mayur untuk
pesantren kami. Setiap hari ia bersama anaknya lasmi,
bertandang ke dapur untuk mengantarkan pesanan.
Rutinitas itulah yang membuat Yu Sari begitu dekat
dengan santri dan keluarga kami.
"Syukuran apa Yu?" Tanyaku sembari
menyincing mukena. Menyelamatkan nya dari kotornya
jalan.
"Lo... Gus Ahvash kan ulang tahun!" Ia
menjawil lenganku dengan mimik keheranan.
"Owalah masyallah!"
Hampir hampir saja aku melupakan hari
istimewa ini. Karena tahun kemaren dan kemaren ya lagi
aku memesan berkardus-kardus ayam bakar atau menu
lain padanya, mungkin ia berharap aku akan memberikan
job- job itu lagi. Hari hari ku di penuhi perasaan baru
yang ambigu yang sedang kupelajari dengan bijak,
semuanya tidak lagi sama dengan kemaren. Itu sebabnya
aku lupa.
"Yu Sari masih ingat saja?!"
"Ya inget to Ning. Saya bunderi di tanggalan di
rumah loohhh!" Kelakarnya dengan gaya yang khas.
Oya, selain menjadi pemasok sayur, perempuan
setengah baya ini juga pemasok informasi dari luar yang
dibawa masuk ke pondok. Termasuk orang meninggal,
kecelakaan, kemalingan, perceraian dan tetek bengek
gosip masyarakat desa yang tidak penting juga turut ia
bawa.
"Maturnuwun sudah mengingatkan Yu!, Maaf
kali ini tidak pesan dulu!" Kataku sembari pamit undur
diri meninggalkan wajah Yu Sari yang cemberut.
Tapi diam-diam otakke menyimpan hasrat
untuk merayakan dengan cara lain. hingga lama-lama
kuputuskan untuk pergi ke kota.
Usai menyelesaikan madrasah jam pertama, aku
mencari Kang Badrun dan Asih untuk mengantarku
kesana.
Badrun adalah ustadz kawakan pondok
sekaligus merangkap sebagai khodam kesayangan Mas
Ahvas, dan Asih adalah salah satu khodimah terdekat.
Entah kenapa, aku nyaman sekali mengajak mereka
berdua dalam tiap-tiap moment keluar.
Badrun selalu sigap tanggap dalam berbagai
situasi. Supirannya sudah profesional, gang-gang sempit
dan Medan terjal adalah sepele baginya. Pengertian dan
sabar adalah karakternya.
Sementara Asih yang punya selera dalam
berpenampilan cukup terus terang mengomentari outfit
barang-barang belanjaanku, diantara para khodimah
dirumah, ia paling berkompeten menjadi penasehat
fashion. Ia juga mahir melukis Henna di tangan.
Namun belakangan, kebiasaanku mengajak
mereka berdua dalam satu moment mungkin telah
menumbuhkan sesuatu diantara keduanya. Entahlah.
Lama mobil berputar-putar di pasar Baledono,
aku belum menemukan ide apapun untk membelikan
kado, selain karena kota ini adalah kota kecil yang belum
memiliki central pasar dengan barang-barang yang
memadai, mungkin aku terlalu malas berpikir.
Dan lagi, aku harus pergi ke kota sebelah untuk
membelikan brownie kukus bermerk A kesukaan kami.
Apa yang paling terkanal dari kota ini adalah kuliner
Baksonya.yang sulit di kalahkan oleh bakso-bakso kota
lain..
Akhirnya, aku membeli beberapa porsi Bakso
siput yang terkenal di ujung kota. Meski setelah pulang,
aku masih saja canggung untuk mulai tersenyum
padanya.
"Dari mana saja, Sayang?" Mas Ahvash
mengampiri kala mobil baru saja parkir.
Mau tak mau, aku sungkem dan mencium
punggung tangannya sekilas.
"Dari kota!"
"Kok aku nggak diajak. Heum?" Ia sudah
beraroma parfume Lancom dibalik Kemeja biru
crocodile dengan sarung merah kotak-kotak, rambutnya
telah rapi di balik peci hitamnya.
"Ada urusan penting tadi mas!"
"Ceile.... Sepenting apakah itu..., Eh bau aroma
bakso ya. Pasti beli buat aku?" Ia berusaha memantik
keceriaanku. Merebut plastik di tangaku dan menghitung
jumlahnya.
"Banyak banget belinya?"
"Sebentar Mas!" Kembali kurengkuh plastik di
tangannya dan mengambil satu-satu lalu melambaikan
tangan pada Asih.
"Mbak Asih, ini buat kamu. Yang ini tolong
dikasikan Kang Badrun satu ya!"
"Maturnuwun!" Asih tergopoh-gopoh undur
diri.
Sementara Mas Ahvash menarik lenganku dan
mengajakku untuk duduk di kursi teras "Aku lagi nyari
sesuatu nih! Ada maling dirumah!"
"Haa??" Spontan aku mendelik.
"Kok bisa? Berani banget maling lewat
komplek pondok? Banyak santri sliweran Juga? Terus,
ada yang ilang?"
Mas Ahvash mengangguk.
"Uang? Berapa Mas? Ratusan? Jutaan?"
Ia justru menggeleng.
"Jangan-jangan emas dan perhiasan?"
Lagi-lagi, ia menggeleng.
"Terus apa dong? Sepeda motor? Laptop?"
Ia masih saja menggeleng. Kali ini sambil
tertawa kecil. Lalu membungkuk dan membisikan
sesuatu di telingaku.
"Yang ilang itu hatiku. Tadi di bawa kamu pergi
ke kota kan?!"
Tak pelak. Spontan aku tersenyum di balik
kesal.
"Nah, ini udah kembali!" Ia menyentuh dada ku
dan menyentuh dadanya. Seperti sungguh-sungguh
menggeser barang. Dasar alay!
"Jangan ngambek lagi ya, Sayang! Nanti aku
sediihh"
Ia mengekspresikan hatinya dengan meringis sembari
menyentuh dada. Meremas jemariku beberapa saat.
Merapikan jilbab ku yang mulai tak rapi.
Aku tak ingin, tapi nyatanya kesal ku berangsur
pudar! Apa hanya aku perempuan yang berhati selemah
ini?
"Oya, ini baksonya banyak banget pasti buat
Umik juga yah?" Ia menelisik.
Aku mengangguk dengan senyum tipis. Tanda
pertahananku jebol.
"Oke, yuk kita sowan Umik. Nyuwun dua biar
umur barokah!"
Kubiarkan ia bangkit menarik lenganku berjalan
melewati samping rumah menuju ndalem kesepuhan.
Kukukibaskan tangan ke lengannya saat
kutemukan sepercik kotoran disana.
"Mas, niki nopo? Kok kayak krim dan coklat?"
Ia buru-buru membersihkan lengan tangannya
dan berujar. "Oh, tadi tubrukan sama sofyan. Dia habis
beli donat di tukang sayur. Kena deh!"
"Ooh...!"
Ditengah jalan aku berhenti, menemukan
sepotong roti berwarna coklat diatas piring dengan
taburan keju putih dan Missis. Bertengger begitu saja
pada sisi rumahku di bagian belakang, itu adalah
duplikat brownis kukus bermerk A yang kami sukai.
Yang harus pergi keluar kota untuk membelinya.
Siapa yang menaruhnya disitu?
"Mas? Ini surprise buat ku nggeh?" Aku tak
sabaran untuk merengkuhnya.
Ia hanya menyeringai menatap roti itu. Tak juga
menyangguk atau menjawab tidak.
"Mas?"
Aku menghampirinya, mengalungkan satu
tangan ke pinggangnya. Mataku mulai mengembun
mengaburkan pandangan.
"Nyuwun ngapunten nggeh Mas.... Justru
jenengan yang kasih kejutan!"
*****
PoV Asih.
Tadi, dalam perjalanan membeli kado itu,
pertanyaan Ning Maza kepadanya hanya seputar Mei dan
Mei saja.
Seperti apakah sosok Mei secara absolut? Apa
saja yang perempuan itu lakukan yang mungkin tidak
bisa dilakukan oleh dirinya?
Asih berusaha mengingat hal yang melekat pada
Meisaroh, teman nya yang kini menjadi menantu bunyai
nya.
Mei memang ahli masak karena dulu dia adalah
bagian dari khodimah. Ia dididik menjadi cekatan karena
banyak hal yang dilakukan di dapur yang berkaitan
dengan ribuan tamu bersama team dapur. Ia lahir dari
keluarga petani sederhana yang apa adanya. Selama
berteman dengan Meisaroh, hal yang paling mencolok
dalam dirinya adalah pemalu dan bukan jenis orang yang
mengatakan apa adanya dalam banyak kasus.
Perlu di ketahui, santri salaf Jawa itu memiliki
ciri ciri khas dalam adabiyah nya, mereka terbiasa
mengaplikasikan kesopan santunan dalam berbagai
gerak, bahkan hanya menyerahkan sesuatu yang kecil
pun, butuh dua tangan. Untuk mundur dari majlis
mengaji, mereka mundur hingga ujung ruangan. Agar
tidak membelakangi guru. Setiap kali menemukan guru
atau tetamu memasuki ruangan, reflek para khodimah itu
akan membalikkan letak sandal pada posisi siap untuk
dipakai.
Bahasanya pun tertata, jika mereka ikut makan
pada sebuah jamuan yang dimana mereka sedang
menjadi bodyguard, mereka akan makan sedikit saja
karena terlalu menikmati hidangan hingga mencicipi
macam lauk pauk akan nampak kurang beretika, bagi
mereka. Lalu gerak gerik mereka pun tidak luput dari
selalu sedikit membungkukkan badan kala bertemu
almukarrom almukarromah.
Bagi Asih, Meisaroh adalah salah satu santri
yang pintar mencontohkan adabiyah semacam itu kepada
santri junior.
Meski Ibu Nyai Muhsonah tidak serta merta
melihat ahlak santri dari kulitnya saja, karena tidak
semua santri yang berhasil tampak sopan itu semuanya
selalu baik di belakang. Tidak semua santri yang nampak
penuh hormat itu juga akan benar-benar hormat di balik
layar.
Itu semua hanyalah contoh etika luar saja yang
seyogyanya dilakukan atas dasar penghormatan dari hati.
Pendek kata, isi lebih diutamakan daripada
kulit. Pun demikian, hati yang baik hendaknya di
utarakan dengan cara yang baik pula.
Untuk masalah karakter Mei diluar itu, Asih
tidak bisa menjabarkan nya secara detail karena ia tidak
terlalu akrab dengan Mei. Ia juga tidak tidur dalam satu
kamar dan tidak satu kelas.
Ia hanya faham satu hal, Meisaroh itu
sebenarnya adalah gadis yang memiliki keterampilan
tangan, selain memasak, ia bisa menjahit dan
membubuhkan make up di wajah kawannya.
Hanya saja, kesederhanaan hidup telah
menutupi hobby itu menjadi tidak nampak di permukaan.
Tadi, Asih pun menjelaskannya pada Ning Maza saat
perjalanan ke kota.
"Mbak Mei itu sebenarnya kayak ibuk suka
bikin baju. Bikin model model baju. Nggambar kayak
gitu... Tapi dia kan gak punya modal. Belum bisa
mewujudkan mimpinya seperti ibu. Oya, Mbak Mei juga
bisa dandanin orang buk, kalau pas khitobahan ada
acara, nanti dia ikut ndandanin mbak-mbak kayak
manten begitu buk!"
"Oooh jadi Mei bisa MUA juga ..."jawabnya
dengan nada yang dipaksakan santai.
"Enggeh sekedik-sekedik Ning!"
Meski Asih sedikit menunduk, ia masih bisa
menangkap wajah Ning Maza yang meredup.
Tapi kemudian, Asih ikut lega ketika Ning nya
itu sudah mulai nampak sumringah setelah bertemu Gus
Ahvash.
***
Di samping dapur, Asih menemukan Kang
Badrun datang dengan muka penuh tanda tanya. Lelaki
yang berwajah mirip Herjunot Ali itu berbisik padanya.
Membuat Asih mulai berdebar-debar.
"Mbak Asih, lihat roti di samping ndalem Gus
Ahvash nggak?"
"Roti? Roti seperti apa Kang? Saya ndak lihat!"
"Duh! Kemana ya? Masak ngilang?" Ia
celingukan kesana kemari menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
"Memangnya Kang Badrun habis beli roti
dimana?"
Asih menyelidik.
"Bukan. Itu roti dari Gus Ahvash!"
"Ooh... Kasihan dapat makanan enak malah
ilang!" Aku mencandainya. Karena biasanya santri akan
bersyukur ketika mendapat rejeki lezat.
Sebenarnya Kang Badrun sudah hendak pergi,
tapi kelakar Asih membuat ia menjelaskan. "Bukan
begitu Mbak Asih. Soalnya, roti itu jangan sampai
ketahuan Ning Maza! Harus aku bawa ke pondok dawuh
Gus Ashvash"
"Maksudnya?"
Disela-sela obrolan, muncullah aisyah
khodimah Meisaroh membawa roti serupa melenggang
melewati dapur. Aisyah memberikan beberapa lembar
uang pada Yu Sari saat muncul di ambang pintu. "Yu
Sari, ini uang buat bayar bahan-bahan rotinya ya! Kata
Bu Mei, matunruwun sudah diingatkan ulang tahunnya!"
"Ya, sama sama! owwh sudah jadi to rotinya?
Enak nggak Mbak Aisy!" Celetuk Yu Sari.
"Enak banget Yu! Gus ahvash dan Bu Mei
sendiri yang membuatnya di dapur. Berdua. Saya cuma
nggogok!" Asiyah berlalu dengan cekikikan tanpa dosa.
Asih dan Badrun sama-sama menatap adegan
itu tanpa berkedip. menyembul satu jawaban di otak
Asih.
"Jadi?...."
Kang Badrun mengangguk "Ya. Rotinya buatan
Bu Mei. Tadi beliau mengirimkannya ke ndalem sini.
Tapi Gus Ahvash menahannya, demi menjaga perasaan.
Makanya, harus ku lenyapakan!"
*****"
Pov Gus Ahvash.
Aku memperhatikan sosok Mazarina sejak ia
masih kecil.
Saat itu, aku baru saja lulus tsanawiyah dan
masuk pesantren Al-huda, bertempat di kamar komplek
C yang menghadap ke ndalem kiai.
Sejak ia kelas 4 SD, aku telah sering melihatnya
lari-lari di depan komplek dibawah guyuran hujan. Mbak
khodimah kewalahan mengajaknya mandi. Ia agak
dimanja oleh Bunyai, hingga kelas 4 esde masih sering
dibantu untuk mandi dengan air panas.
Berbeda dengan diriku yang sejak kecil telah
dididik untuk melakukan banyak hal sendiri oleh ibuku.
Termasuk berangkat ke pesantren Al-Huda ini.
Mazarina juga sering naik pohon jambu sebelah
komplek, melempari pengurus dengan jambu-jambu sisa
gigitannya bersama gerombolannya yang usil. Ia suka
naik sepeda onthel memutari komplek putra, main gobak
sodor di belakang dapur, dan kadang membuat kertas
jelangkung bersama kawan-kawannya di aula atas,
tempat yang paling angker di seantero pondok.
Baru setelah ia lulus esde, aku tak pernah lagi
melihatnya muncul di halaman komplek. Ia sudah
mengenakan kerudung dan busana muslim, jika muncul
hanya sekilas dan menunduk tak berani menatap para
santri.
Saat itu lah aku menyadari akan pesonanya. Ia
memiliki hidung bangir dan rahang pipi ramping persis
ibunya yang keturunan arab, kulitnya putih bersih, ia
tumbuh tinggi dan langsing, ia memiliki mata bulat dan
senyum yang menaklukkan dalam sekali pandang.
Kerudung yang ia kenakan justru memperjelas
keanggunannya hari demi hari. Semakin dewasa,
semakin mempesona lah dia.
Beruntung, dia tidak berangkat mondok di
pesantren lain, hanya menimba ilmu di rumahnya sendiri
dengan prestasi yang luar biasa. Dengan begitu, aku
tetap bisa melihatnya sesekali dari jendela kamarku, saat
ia sedang menuju mobil yang terparkir, atau sedang
jalan-jalan ke desa bersama temannya.
Aku tak pernah mengirim surat atau berani
berdehem kala ia lewat, seperti yang dilakukan Hasan
atau Rodli. Aku cukup berdiri mematung, memandangi
wajahnya yang jelita dari balik jendela dan merapal
shalawat. Agar kelak, istriku secantik dan seanggun itu.
Ia menjadi motivatorku dalam diam untuk tetap
semangat mengaji di AlHuda. Kala lebaran tiba, aku
sengaja tak pulang di tanggal muda karena aku bisa
khidmah di ndalem untuk mengantarkan unjukan para
tetamu, dan aku bisa sering melihatnya mondar mandir
di ruang TV.
Terkadang, ia mencari kang-kang ndalem untuk
meminta tolong membeli sesuatu di koperasi. Jika yang
lain tak muncul maka aku yang datang menghampirinya
dengan dada berdebar-debar.
"Minta tolong. Belikan Aqua dan tissu ya
kang?" Suaranya begitu lembut. Selaras dengan
sosoknya. Aku menerima uang dengan gemetaran waktu
itu.Rasanya geli jika mengingat masa remajaku yang
culun dan penakut.
Ia tetap menghuni hatiku hari demi hari, tanpa
pernah berani kuutarakan. Karena jika aku mengiriminya
surat, aku takut semua orang akan tahu dan aku bakal
diejek teman-teman atau saudara. Ya kalau diterima,
kalau tidak? Berabe kan?
Siapalah aku waktu remaja. Di pesantren
sebesar Al Huda, banyak Gus selain aku yang lebih
populer dan lebih allamah dalam pelajaran. Sehingga
dulu aku tak punya keberanian untuk mengungkapkan
perasaanku.
Namun, Ahvash remaja yang culun berangsur
berubah menjadi Ahvash dewasa yang percaya diri
semenjak aku memenangkan lomba MQK provinsi,
berlanjut ke nasional. Tak kusangka kemampuanku
memahami gramatika arab dan melafadzkannya jauh
diatas rata-rata di banding kawan lain. Lalu aku pun
dimasukkan dalam team lajnah bahstul masail
pesantren.yang tidak hanya musyawarah di dalam
pondok saja. Tapi juga sering keluar bahtsul ke
pesantren-pesantren lain lintas kota dan provinsi.
Kepercayaan diriku kian berkembang hari demi
hari.
Menyadari potensi diri dan semakin mantap untuk
mengambil sikap dalam banyak hal.
Belum lagi, sebenarnya banyak orang
menganggap aku berwajah diatas rata-rata. Beberapa
teman suka memanggilku Gus Londo gegara mirip bule.
Ada juga yang menggailku habib KW karena seperti
habaib.
Ah, ada ada saja mereka! Aku tak tahu mana
yang benar.
Terahir kali sebelum aku terbang kuliah di
Alahgaff. Aku masih sempat beberapa kali mengoreksi
imtichan santri putri yang berkasnya dikirim ke pengurus
putra. Dan aku bisa melihat kecerdasan Ning Mazarina
yang selalu bernilai Jayyid jiddan. 100. Melalui khodim
nya yang kebetulan adalah teman sekelasku, aku pun
sering mencuri dengar tentang cerita seperti apakah
sesungguhnya karakter perempuan itu.
Ambisius, penyuka seni, penuh warna, dan
berpikiran terbuka, menarik!
Ia tidak terampil dalam hal-hal domestik karena
sering dilayani. Tapi ia adalah seorang guru faraidl yang
cerdas, guru gramatika arab yang berhasil membuat
murid cepat bisa praktek. Guru tauhid yang jika
menjelaskan 20 sifat Allah, anak anak akan manggut-
manggut dan segera faham.
Aku juga heran dengan diriku sendiri, kenapa
aku berhasil menyimpan rasa itu hingga sepulangnya
dari Ahgaff dan ia masih belum juga menikah dengan
siapapun. Maka aku pun segera meminta ayahku untuk
meminangnya.
Mungkin karena aku fokus dengan ilmu, fokus
dengan cita-cita dan memantaskan diri untuk menjadi
menantu Kiai Manshur, maka dengan begitu mudah cita-
cita lamaku terwujudkan.
Yaitu, menikah dengan Ning Mazarina. Putri
Kiai Manshur yang cantik jelita dan cerdas itu.
Mungkin juga karena aku terbiasa stabil
menyikapi perasaan, aku bukan jenis remaja yang
menggebu-gebu kala menyukai sesuatu. Dan berlebihan
jika membenci. Aku terbiasa meraih mimpi dengan sabar
melalui fase demi fase. Aku jenis orang yang mencintai
proses.
Aku dididik sabar oleh Abahku, bahwa
istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah. Dan karena
aku meyakini maqolah, 'kamu tak akan pernah
mendapatkan bagian orang lain. Dan orang lain pun tak
akan pernah bisa merebut yang menjadi bagianmu'
Harapan orang tuaku juga lebih penting bagiku
hingga aku mudah melupakan keinginan recehku sendiri.
Aku juga anak tunggal. kasih sayang mereka melimpah
ruah hanya untuk diriku seorang. Tirakat dan doa mereka
berat bertumpu untuk diriku saja. Maka sebisa mungkin,
ingin kutunjukkan kepada mereka agar tak pernah
menyesal pernah melahirkan ku di dunia.
Malam sebelum pernikahanku dengan Ning
Mazarina, aku ingat betul Abah kiai Manshur rawuh ke
Tegalklopo dan menemuiku. Beliau berpesan banyak hal
tentang menitipkan anak perempuannya yang paling
dimanja. Yang tidak betah nyantri dimana-mana, Hanya
ngaji dirumah sendiri. Kecuali saat kuliah di yogyakarta,
tinggal di pesantren penuh dengan fasilitas yang
memadai, bisa keluar kota sesuka hati.
Abah Kiai berbicara seolah aku adalah lelaki
yang tepat yang telah lama ditunggu selama ini untuk di
amanahi putrinya yang paling ia sayang itu.
"Gus, sampeyan eman nggeh anak kulo. Tolong
jaga dia baik-baik. Aku memang mengajarkannya
banyak hal tentang ngaji. Tapi untuk hidup
bermasyatakat dan berumah tangga, jenengan harus
bersabar atas dirinya!"
Begitu kata Abah Kiai dengan tatapan yang
dalam.
"Sebenarnya, Ning Maza itu memiliki hati yang
baik. Meski diluar kadang-kadang tampak garang.
seperti Rasulullah mengomentari Aisyah, kegarangan
dan ketegasannya adalah bukti atas kecerdasan dirinya!"
Itu adalah kalimat yang ditambahkan oleh supir abah
kiai.
Aku mengiyakan sepenuhnya kata-kata itu
setelah
Ning Maza telah utuh menjadi milikku. Ia memang
teman bicara yang menyenangkan, kadang-kadang
berlagak terlalu kritis dan berpolemik, kadang-kadang
terasa mesra dan manja, kadang juga seperti ustadzah
yang penuh tausiyah dan nasehat. Seolah ia tak pernah
ketinggalan info dalam berbagai topik.
Aku menyukai rutinitas ku bersamanya saat
senja selepas shalat ashar. Leyeh-leyeh duduk santai di
teras rumah, ia sudah berdandan cantik paripurna
membawa kopi hangat yang ia seduh sendiri dengan
jemarinya yang cantik.
Langit kemerahan bersama burung kenari dan
wajah istri yang anggun adalah hal terindah yang tak
bisa aku jabarkan rasa syukurnya.
Aku menyukai caranya tertawa dan menyimak
cerita-cerita yang aku bacakan dari kitab Al Adzkiya,
Masyrour Rowi, Uqoliul Majanin. Lama-lama akan
kucium keningnya bersamaan dengan kehangatan
cintaku yang ingin aku tumpahkan seutuhnya hingga
meluap-luap.
Rumah tangga kami lewati dengan romantis dan
penuh warna. Aku memahami dirinya dan mengerti
kekurangan-kekurangannya. Begitu juga dengan Ning
Mazarina yang telah menerima aku apa adanya.
Ia bahagia hidup di Tegalklopo karena mampu
memanfaatkan skill ilmunya dan berhasil merubah
banyak kurikulum yang tertinggal. Ia menikmati rutinitas
Tegalklopo meski di masa muda, ia pernah juga
berhasrat ingin menjajal hidup di luar pesantren.
Terbebas dari kungkungan dan jeratan.
Karena sesungguhnya, Ia memiliki bakat lain sebagai
desainer dan enterpreneur. Diam-diam suka bergaul
dengan orang-orang dengan latar belakang yang
beragam.
Namun, kehidupan terkadang menyuguhkan
perjalanan tak terduga seperti halnya jika engkau
menemukan dua jalan buntu di dalam hidupmu.
Apa yang kau pilih?
mulut buaya atau mulut harimau? pisau atau silet untuk
melukaimu? Danau mematikan atau sumur yang dalam?
Aku tak tahu bagimana cara menganalogikan
ini. Tapi Ning Mazarina dan orang tuaku adalah sama-
sama orang yang paling aku cintai. Kehendak diantara
mereka adalah sama sama penting dalam hidupku.
Aku mencintai Ning Mazarina dan tak pernah
ingin melukainya.
Namung aku juga menyayangi dan
menghormati orang tuaku sepenuh jiwa, hingga
pandangan mata keduanya ketika menerima kenyataan
Ning Mazarina tak mungkin bisa memiliki keturunan
adalah kepedihan yang tak mampu kujabarkan.
Umik dan Abah bisa bersabar lima tahun
menanti keturunan itu. Mereka sama sekali tak pernah
buru-buru bertanya perihal kandungan istriku demi
menjaga perasaanya. Justru menyuruh ku untuk periksa
kedokter barangkali akulah yang menjadi penyebab atas
ketertundanan kehamilan ini.
Namun ketika rahim itu diangkat dan
kemungkinan hamil sudah tak lagi bisa diharapkan.
Ketika santri semakin banyak berbondong-bondong
memenuhi kamar-kamar pesantren, sampai harus
membangun lagi dan lagi, sementara Abah dan Umik
yang semakin sepuh tak mungkin lagi memiliki cucu
sedarah. harapan besar itu kini berubah menjadi luka di
pelupuk matanya.
Lama-lama aku tak kuat menyaksikan
kepedihan itu menggantung di wajah mereka. Seolah
ngaji dan upayaku menjadi anak berbakti selama ini
belum tuntas aku lakukan karena aku belum memberi
keduanya cucu.
Tak ada satu hal yang dapat menjadi penawar
pedih termasuk pergi haji dan umroh tiap tahun.
Hingga akhirnya entah dimulai dari mana dan
siapa, wacana poligami itu benar-benar dihembuskan
dalam kehidupanku. Aku tak pernah tega mengucapakan
itu dihadapan istriku, aku tak pernah ingin mencoba
membagi hati dengan siapapun. Karena itu akan rumit.
Sulit. Dan lelah.
Aku lebih suka fokus dengan satu istri,
membina rumah tangga berdua. Mengeja karakter satu
perempuan. Membagi rahasia dengan jiwa tunggal. Tak
usah repot mengurusi api cemburu dan rekayasa gombal.
Aku hanya ingin satu perempuan dalam
hidupku yang membuatkan kopi di sore hari mengajak
ku ngobrol hal-hal menarik yang sudah biasa kita
rumpikan. Dengan humor-humor yang biasa kita
lontarkan.
Persetan jika diluar sana banyak lelaki yang
ingin poligami bahkan diam-diam menikah lagi tanpa
sepengetahuan istri pertama. Dan lalu terciptalah drama
demi drama dalam hidupnya.
Aku bukan lelaki seperti itu.
Abah mendidikku menjadi lelaki yang fokus
dan mensyukuri satu hal.
Tapi kehidupan menyuguhkan pilihan lain. Soal
keturunan itu juga menggugah hati nurani istriku sendiri
menawarkannya padaku di sepertiga malam.
Percayalah, malam itu aku tak dapat tidur.
Kuelus wajahnya yang terlelap dalam dekapanku.
Kucium keningnya begitu lama. Ku rapatkan selimut di
tubuhnya. Dan pandangi ia hingga adzan subuh. Aku
merapal shalawat untuk mendoakan kebahagiaan istriku
dan kekuatan mentalnya atas hari-hari berat yang akan ia
lalui nanti.
Ku ajak dia jalan-jalan usai subuh. Menyadari
nikmat tuhan yang melimpah ruah. Yang jika kita mau
fokus untuk menghitung nikmat itu, mungkin manusia
tak sempat lagi berpikir tentang kesedihan mereka.
Ia mungkin tidak tahu, kalau poligami ini bukan
hanya sulit baginya. Tapi juga terasa sulit bagiku.
Perempuan itu dipilih langsung oleh Umik dan
alumni Tegalklopo yang diajak rembug. Setelah nama-
nama santri yang sekiranya dapat dijadikan istri kedua
ditulis dalam kertas. Katanya tulisan itu di berikan pada
istriku. Agar dia sendiri yang memilih diantara enam
nama yang tertera.
Aku tahu Umik memilihkan santri dengan fisik
yang di atas rata-rata. Ia tidak tega jika santri itu
kecantikannya jauh sekali dibanding istriku yang
pertama. Tapi tetap saja aku harus siap mental. Terpaksa
mencintai perempuan baru bukan kita sendiri yang
memilih itu bukan perkara mudah.
Sebenarnya, aku pernah matur para Abah dan
Umik, bagaimana jika kita mengadopsi putro dari Gus
Farhan dan Ning Fatma kakak Ning Maza. Tapi rupanya,
dua kali bayi yang lahir di pesantren alhuda adalah sama
sama perempuan, bukan laki-laki. Yang intinya bayi itu
akan menjadi kendala hubungan kami di masa depan.
Karena mahromnya sebatas mahrom lissabab,
yaitu ketika Ning Mazarina masih menjadi istriku, ia
bisa saja mahrom dengan ku. Tapi jika musabab itu telah
hilang, keponakan itu bisa saja kunikahi di masa depan,
dan Abah ihtiyat untuk menghindari itu.
Aku lupa entah apa yang mengantarkan
kronologi poligami itu benar-benar mendapatkan
legitimasi dan terealisasi.
Awalnya Abah mengumpulkan keberanian
untuk matur-maturan pada Kiai Manshur yang notabene
putro wayah gurunya Abah
Berkat kebesaran hati mertua memahami
perasaan Abah sang pemangku pesantren Al Amin. Ia
rela menyisihkan ego nya atas ketidak relaan poligami
menimpa putri bungsunya itu, karena putrinya sendiri
juga telah mengutarakan perihal kesanggupan itu.
Aku ingat mata teduh itu kembali menemuiku
seperti enam tahun yang lalu sebelum pernikahan
pertamaku dengan Ning Maza.
Tangan sepuh itu menyentuh pundakku. Terasa
dingin dan gemetar, "Gus, sampeyan sing adil nggeh.
Sing adil, kalau kamu tidak mampu adil. Akan kuambil
Mazarina ke Tuban lagi. Ingat-ingat benar ayat fain
khiftum an laa ta'diluu fawaahidatan !"
Aku mengangguk. Seluruh tubuhku terasa
lemas. Dadaku sesak. Begitu besar tanggung jawabku
hari esok nanti. Ya Allahh .....
Ahirnya, pernikahan keduan itu, benar-benar
terjadi!
*******
Ini bukan yang seperti orang lain bayangkan.,
memiliki dua istri cantik pastilah senang. Tinggal
menjenguk salah satunya untuk membuang galau.
Bukan.
Dua istri justru memecah konsentrasi.
Letupan asmara yang biasanya fokus kutujukan kepada
satu orang dengan tulus berubah menjadi topeng
sandiwara demi memenuhi kewajiban terhadap istri yang
lain. Tak peduli secapek apapun diriku.
Perempuan yang dipilihkan Umik memang di
atas rata-rata. Tapi pada awalnya aku layaknya seseorang
yang telah kenyang berusaha menjejalkan makanan-
makanan tambahan ke mulutku.
Mei itu gadis yang lugu dan pemalu. Sejak awal
aku dan dia susah menemukan topik segar untuk
menciptakan chemistry; humor yang melenturkan syaraf-
syaraf; atau hasrat yang memantik untuk membuka diri
satu sama lain. Aku bisa saja terjebak rasa bosan karena
ia bukan teman bicara yang baik.
Kami memang telah melewati fase sebagai
suami istri tinggal dalam satu rumah beberapa minggu.
Namun kami tak kunjung menemukan titik temu untuk
lengket satu sama lain. Ia tetap dengan sopan santun
yang mengungkungnya. Aku tetap dengan rasa dingin
yang membalutku.
Hingga satu purnama setelah pernikahan kedua,
aku bertemu dengan bapaknya secara tak sengaja saat
aku ceramah di luar kota. Kebetulan, sang sohibul hajat
masih saudaranya Mei.
Lelaki paruh baya itu datang tergopoh-gopoh
hendak mencium tanganku yang segera aku tepis.
Beberapa menit setelah berbasa-basi satu sama lain.
Bapak langsung melontarkan hal yang membuatnya
resah.
"Gus, kulo nyuwun doa kagem anak kulo.
Supaya dia bisa bahagia, kerasan di Tegalklopo. Karena
ya, mau bagaimana lagi kulo nderek dawuh Mbah Kiai
Sholah, supaya bisa mendapat barokah"
Aku mulai tak enak hati melihat gestur
wajahnya.
"Tadinya, kakak-kakak Meysaroh mboten
setuju dengan pernikahan ini Gus, makanya mereka
semua mboten wonten di acara ijab di Tegalklopo!"
Aku mengerutkan dahi. Menemukan realita
baru.
"Meisaroh sendiri yang memilih menjadi istri
jenengan Gus. Larene menolak lamaran tetangga desa.
Dia sanjang sendiri, sanggup, ia rela katanya!"
Deg.
"Benar begitu tho Pak?"
"Enggeh Gus...!"
Kulihat kerut-kerut di wajahnya mempertegas
tekanan batin itu.
"Nyuwun ngapunten jika anak saya punya
kekurangan, ya, maklumlah dia gadis desa. Kami biasa
hidup sederhana. tentu berbeda dengan putro Kiai
Manshur!"
Rasanya aku seperti tertampar. Aku gantian
meminta maaf padanya bertubi-tubi.
Saat itu aku berpikir, meskipun kata orang-
orang Meisaroh akan mudah mencintaiku karena
kelebihan-kelebihan yang ada dalam diriku. Tapi
bagaimanapun juga, menjadi istri kedua itu adalah
pilihan berat.
Mana ada sih perempuan yang bercita-cita jadi
madu?
Meisaroh sudah siap mental untuk menepis
egonya demi hal yang disebut 'barokah' dan 'ridlo'.
Padahal, belum tentu aku bisa menghargai upaya itu
dengan sungguh-sungguh. Belum tentu aku bisa
membalas pengorbanan itu dengan setimpal.
Dan lagi ia sama berhaknya dengan istri-istri
lain di muka bumi untuk mendapat kebahagiaan.
Beberapa menit kemudian setelah Bapak
Meisaroh undur diri ke belakang, datang Pak Min alumni
sepuh Tegalklopo yang dulu merawatku saat kecil.
Karena itu hubungan kami akrab.
"Gus... Garwo jenengan yang kedua itu masih
ada hubungan darah dengan ku. Tunggal buyut! jadi
saudara kita Gus! Hahaha!"
"Oh nggih Pak Min! Alhamdulillah!"
"Gus, jenengan gematosi nggeh! Disayang,
dihargai. Jangan dumeh dia orang biasa, jenengan
bedakan dengan Ning!"
Lagi lagi aku serasa di tampar. Ucapan itu
seperti menelanjangiku. Mengingatkan aku atas ayat-
ayat alquran, hadis-hadis Shahih Bukhori yang hampir
selalu aku kaji selama ini. Bagaimana Rasulullah dapat
membahagiakan seluruh istrinya, bahkan saat mereka
meminta perhiasan karena penasaran siapa yang paling
unggul diantara mereka? Lalu justru dijawab dengan cara
tak terduga.
Mungkin, orang-orang ini dikirim tuhan untuk
mengingatkanku atas kelalaiaanku mengamalkannya.
Aku begitu runsing sepulang dari ceramah sore
itu.
Sesuatu yang pernah sekali kulakukan padanya
di suatu malam terus membayangi. Desakan ingin segera
berketurunan membuat aku lupa mengasah mata hati
untuk 'muasyaroh bil makruf' sebelum sunnah itu
kujalankan. Tak ada foreplay. Tak ada sentuhan yang
penuh kelembutan. Entah kenapa otak ku sedang bebal
dan hanya fokus pada satu kata 'KETURUNAN'.
Astaghfirullahaladhim…
Pernah juga setan di siang bolong merasuk
dalam diriku dan berkata 'pergaulilah ia barang untuk
sementara lalu kau bisa menceraikannya ketika bayi itu
telah lahir'.
Kupejamkan mata. Teganya aku!!
Tak seharusnya kebaikan yang aku
persembahkan untuk orang yang aku cintai dilakukan di
atas penderitaan orang lain.
Memberikan tempat tinggal yang nyaman saja
tidak cukup. Ia adalah perempuan yang memiliki nurani,
hasrat dan ego, memiliki harapan dan mimpi. Ia bukan
seseorang yang menyewakan rahim dan bisa kubayar
dengan uang!
Ia yang telah merelakan hidupnya untuk
mengabdi, tak sepantasnya kubalas dengan air tuba.
Pantaskah aku mengharapkan datangnya
keturunan dari perempuan yang tak pernah aku hargai
perasaannya? Lalu bagaimana anak itu akan
menghormati aku sebagai ayahnya?
Ketidakadilan batin dalam poligami ujung-
ujungnya tetap berdampak pada sikap lahir. Aku harus
berupaya adil dalam mengelola batin dan lahirku.
Aku tak mengerti, kenapa diluar sana ada saja
lelaki yang meski tak mampu menjalaninya tapi sengaja
berpoligami. Jika kenyataanya justru sesulit ini.
Bukankah membagi hati itu leah dan pelik? Bukankah ia
dapat mengganggu cita-cita dan perjuanganmu?
Membuat tidurmu tidak lelap?
Mei dan aku memang masih saja canggung dan
penuh basa basi. Ia malu memulai percakapan, sementara
aku jarang punya selera untuk mencandainya.
Aku hanya masih punya etika untuk
memperlakukan Mei dengan santun. Berterima kasih
atas pelayanannya menghidangkan makan malam,
membersihkan rumah sendiri dan tidak banyak
menyuruh khodimah untuk ini-itu.
Ia senang sekali mengeksekusi bahan-bahan di
dapur untuk dirubah menjadi kudapan baru. Ia juga suka
mengerjakan urusan rumah. Ya, aku tahu karena
memang itulah kebiasaan yang Umik didikkan padanya
saat menjadi khodimah. itu juga yang biasa ia lakukan
untukku sehari-hari sebelum menjadi istriku. Sekarang
terpikir olehku, mungkin itu caranya berkomunikasi
denganku karena kami tak kunjung menemukan hal yang
membuat hubungan kami semakin intim.
Sepulang dari ceramah aku bergegas
mendatangi rumah Mei. Selain karena hari itu memang
jadwalku berkunjung kesana, sekaligus aku ingin
memberi tahu Meisaroh akan ada tamu agung yakni
Mbah Kyai Zainuri. Beliau akan rawuh dan kujamu di
rumah kecil itu.
Kutangkap gurat sumringah di wajahnya. Ia
mungkin merasa dihargai karena diberikan otoritas
menjamu tamu. Mei tidak usah bertanya masakan apa
yang aku suka karena ia sudah pernah membaca catatan
tentang kesukaanku di dapur. Ia juga sering
mengeksekusi pesanan-pesananku bersama team khodam
dapur.
Kuniatkan kedatangan tamu agung malam itu
adalah salah satu bentuk menebus dosa padanya atas
sikapku yang kurang perhatian
"Kamu bisa masak ayam betutu dan dan acar
kuning kan? Katanya Mbah kiai zainuri suka dengan dua
menu itu!"
Meisaroh mengangguk. "Enggeh Gus. Saya
memang yang biasa memasak itu untuk beliau."
"Memangnya kamu belajar dimana?" Aku
menelisik.
"Kami pernah dikursusi oleh tamu bu nyai dari
Bali."
"Oh...!" Aku manggut-manggut.
Malam itu aku tak lagi sibuk bertanya ini itu
padanya karena Meisaroh sudah di bantu Yu Sari dan
khodimah lainnya. Aku fokus menghadap Mbah kiai,
berdiskusi panjang lebar tentang strategi organisasi
untuk menekan radikalisasi yang menyebar dan
pentingnya edukasi deradikalisasi dalam keluarga.
Strategy kami dimulai dengan mendorong para
alumni agar mengikuti kaderisasi supaya militan dan
tidak terbawa arus. Tidak hanya memikirkan islam nya
sendiri, tapi juga bagaimana berpengaruh di masyarakat.
Kefokusan berembug dengan Mbah Kiai
membuat aku lupa jika awalnya ingin mengajak
Mazarina turut hormat tamu dan mengamini doa beliau.
Namun, tidak ada kesempatan karena setelah diskusi
selesai, beliau segera makan malam dan ngersakake
kundur.
Sesungguhnya hatiku sudah tidak tenang.
Bagaimana nanti jika ternyata Mazarina kecewa aku
menjamunya di rumah ini? Bukankah dulu biasanya
dijamu di rumahnya?
Tapi pikiranku yang lain menepis. Ah, tapi
bukankah Mazarina tahu malam ini aku giliran menginap
dirumah Mei? Bukankah Mbah kiai tidak menelfon
Mazarina? Jadi, dia pasti tidak tahu dengan kerawuhan
ini. Justru kurasa dengan dijamunya tamu disini akan
mengurangi beban kesibukannya dan dia bisa bersantai
menikmati hari.
Baru saja aku masuk rumah selesai mengantar
Mbah Kiai masuk ke dalam mobil. Yu Sari tergopoh-
gopoh di hadapanku.
"Gus... Gus! Saya sedang cuci piring di dapur
wingkeng. Eh Ning Maza marah-marah sama Bu Mei!"
Aku tersentak dan segera lari mencari keduanya
dalam rumah. Aku tak tahu bagaimana caranya
memisahkan perseturuan antara istri pertama dan kedua.
Aku belum pernah konsultasi dan ini pertama kali
bagiku.
Akhirnya kuprioritaskan perasaan Mazarina.
Aku membatalkan bermalam dirumah Mei demi
membesarkan hatinya atas kesalahpahaman malam itu.
Mazarina pikir aku mencoba menggeser statusnya.
Sayang sekali aku tak berhasil merayu istri
tercintaku hingga keesokan harinya. Komunikasi kami
Tak juga mencair. Aku tak mengerti seberapa dalamkah
perasaan itu terlukai. Kenapa serumit ini memahami
perasaan perempuan.
Di sela-sela madrasah, aku mendapatkan WA
dari Badrun, kalau dia sedang mengantar Mazarina ke
kota.
Ketika menunggu kepulangan Mazarina diteras,
tetiba aku teringat mimik kesedihan Meisaroh semalam
yang telah disakiti oleh Mazarina.
Aku putuskan untuk berkunjung ke rumahnya
sebentar. Gantian membesarkan hatinya atas insiden
semalam.
Setelah membuka pintu diiringi salam, aku
menemukan Meisaroh bersama Aisyah tengah mengaduk
sesuatu di dapur. Kusuruh Aisyah pindah ruangan agar
aku bisa berbicara dari hati ke hati pada Mei.
"Mei, tak usah diambil hati ucapan Ning Maza
semalam ya! Kamu kan tahu karakter Ning Maza yang
sebenarnya, dia baik dan tulus. Cuma kadang-kadang
suka berbicara apa adanya!" Begitu aku memulai
percakapan. Sembari mengamatinya menuangkan
adonan ke dalam wadah dan memasukkannya ke dalam
kukusan.
"Kalau sekarang dia berubah jadi orang lain di
hadapanmu, Itu karena efek psikologi perempuan yang
baru saja dimadu. Ini juga sangat sulit baginya Mei...!"
Mei mengangguk tanpa banyak bicara. Aku tak
tahu bagaimana perasaanya pagi ini. Tapi, ia masih
punya waktu untuk membuat adonan kue yang ternyata
beberapa menit kemudian, kukusan itu dibuka dan
terlihatlah kue berwarna hitam. Ia mengoleskan krim di
atas kue yang berbentuk persegi empat itu perlahan.
Kubantu ia menaburkan meses dan keju.
"Kamu sudah bikin roti sepagi ini? Tumben,"
Ia tersenyum simpul. Terus saja mengayunkan
tangan untuk meratakan topping. Kutungu hingga selesai
dan menyerahkan senampan kue yang bentuknya mirip
dengan roti kesukaan Mazarina itu. Ia pasti mengira itu
roti favoritku.
"Hari ini ulang tahun jenengan Gus!" Kilahnya.
Aku terhenyak. Memandang wajahnya penuh
haru. Aku bahkan tak pernah bertanya ia umur berapa
dan lahir tanggal berapa. Kini ia berusaha keras meraih
impresiku dengan perhatian sedetail ini.
"Ini, ini buatku?!"
"Enggeh Gus!" Ia tersipu.
Kujatuhkan pantat di kursi ruang tengah
membawa nampan roti. demi melegakannya, aku
mengiris satu potong dan memakannya perlahan. Meski
aku sudah siap-siap untuk pamit pulang saat WA Badrun
datang Dan mengabarkan bahwa mereka sudah
perjalanan pulang be ke Tegal Klopo.
Degup jantungku berkejaran dengan secuil demi
secuil roti yang masuk ke mulutku. Pura-pura santai
menikmatinya barang untuk sementara. Sebelum
akhirnya aku pamit dan menunggu mobil yang
membawa Mazarina datang.
Saat aku berdiri dengan resah di teras
menunggu Mazarina. Tak kusangka Aisyah, khodimah
Mei tergopoh-gopoh menghampiriku ke teras
membawakan brownies tadi kepadaku.
"Bilang sama Bu Mei ya! Bu Maza terimakasih,
senang menerimanya!" Kataku pada khodimah itu. Ia
mengangguk-angguk dan segera undur diri.
Sejurus kemudian setelah ia melenggang pergi.
Aku lekas mengirim pesan untuk Badrun. 'Kang, aku
kasih kamu brownies di belakang rumah, jangan lupa
ambil usai kau turun dari mobil. Bawa ke pondok.
Jangan sampe Bu Maza lihat, itu buatan Bu Mei'
Tepat saat pesan WA itu terkirim. Mobil yang
disopiri Badrun muncul dan berhenti di depan rumah.
Aku menghirup nafas dalam-dalam demi
menyambut Mazarina dengan penuh kehangatan. Sejak
dulu, aku tidak tahan melihat wajah itu bad mood,
ngambek, dam tak berselera. Aku tak pernah
menciptakan rona wajah macam itu sebelumnya di wajah
Mazarina kecuali saat poligami ini terjadi.
Aku harus bersabar atas sikap-sikap macam ini
setiap hari, mengolah rasa, dan memahami. Ini adalah
masa-masa sulit bagi Mazarina.
Kucandai dia diteras, kupandang wajahnya
mesra, kurapikan jilbab dan rambutnya yang mulai
menyembul keluar, dialiri kerinduanku semalam melalui
jemari-jemari lentiknya.
Ketika senyum mulai terukir di wajahnya,
dadaku berangsur-angsur lega, meloloskan nafas yang
tertahan, mengurangi beban yang menggantung.
Ia sempat bertanya soal noda coklat di lenganku
saat tak sengaja tersenggol roti. Untung aku berhasil
mengalihkan topik. Namun, saat kuajak dia menyusuri
samping rumah untuk sowan Umik dan Abah -karena
kami harus meminta doa orang tua agar kuat melewati
hari-hari sulit ini, tak kusangka di meja kulihat brownies
buatan Mei masih bertengger disana. Badrun belum
berhasil mengambilnya.
Aku menahan nafas, saat Mazarina mengangkat
brownies itu ke udara dengan wajah sumringah. "Ini
punya Jenengan Mas?"
Aku tak menjawab.
"Mohon maaf ya Mas... Justru jenengan yang
memberikan kejutan ini!" Ia merangkul pinggangku
manja. Bertubi-tubi mengucapkan terimakasih.
Sungguh, saat menemukan wajah cantik itu
kembali sumringah, aku tak kuasa menjelaskan
kebenarannya. Aku takut memudarkan kembali cahaya
wajahya.
Aku tak ingin membuatnya merasa rendah diri
hanya karena ia tak mampu membuat roti! Maka dengan
terpaksa, aku melakukan kebohongan ini.
Karena aku sangat menyayanginya.
******
Meysaroh
Semua berawal ketika senja itu secara tak
sengaja, Mey bertemu alumni Tegalklopo bernama Bu
Hafizah. Ibu paruh baya itu selesai memilih beberapa
baju, serius memegang pulpen berputar-putar sambil
duduk menemaninya di butik. Mereka bercakap hingga
lama-lama perempuan paruh baya itu meminta pendapat
Mey tentang santriwati A dan B. Ditengah obrolan tak
sengaja terkuaklah rahasia, bahwa Bu Hafizah sedang
diberi tugas oleh Bu Nyai untuk mencarikan istri kedua
bagi Gus Ahvash.
Mey memang sudah mendengar hembusan gosip itu
sejak beberapa minggu sebelumnya.
"Rekomendasikan yang Mbak kenal baik aja,
mungkin yang sering sowan kesini, yang akhlaknya baik.
Diutamakan yang anake petani yo Mbak Mey, eh jangan
lupa orangnya juga harus cantik!"
Mey terperangah. Mengingat ciri-ciri yang
disebutkan Bu Hafizah mirip sekali dengan ciri-ciri yang
Bu Nyai Muhsonah lekatkan dalam dirinya suatu waktu
ketika beliau berpikir akan menjodohkannya dengan
Kang Haris bendahara pondok.
"Sampeyan istikhoroh dulu ya, cocok ndak
sama Kang Haris. Jawabannya ditunggu dua minggu!
Sebab, dia mencari yang cantik tapi sederhana kayak
sliramu. Yang bapaknya petani dan sholihah!"
Begitu kata Bu Nyai bulan lalu sebelum akhirnya ia
menolak lamaran Kang Haris karena belum sesuai kata
hati.
Urusan fisik, teman-teman memang memuji
kecantikannya Mey. Dengan kulit cerah dan tinggi yang
proporsional ia kelihatan luwes mengenakan blus katun
dan sarung pekalongan. Ia memang lahir dari keluarga
petani yang tinggal di tebing-tebing Dieng yang kental
dengan kehidupan yang apa adanya.
Sebelum Mey datang ke Tegal Klopo, saban
harinya ia membantu Simbok ke dapur dan ladang.
Bercapek-capek ria naik tebing untuk menuju ladang
kentang keluarga sembari menentang barang di tangan
sudah sering dia lakukan. Mey sudah biasa bekerja kasar
& berat dan kebiasaan itulah yang membuat ia mudah
beradaptasi saat menjadi salah satu khodimah Bu Nyai di
dapur.
Tak butuh waktu lama Mey piawai melebur di
dapur saat masak-masak besar seperti khataman,
alumnian atau saat ada konferensi. Meski tidak memasak
sendirian karena masak besar selalu dikerjakan bersama
teman-teman di dapur. Namun Bu Nyai sering memuji
hasil karyanya dengan wajah sumringah. Yang paling
membanggakan Mey, pernah suatu kali Bu Nyai
memanggil Mey untuk memasak makanan kesukaan Gus
Ahvash, saat itu beliau ingin menjamu puteranya
tersebut di ndalem kesepuhan. Bu Nyai ingin
menunjukkan kasih sayang dan kangen karena Gus
Ahvash sudah seminggu tindak muktamar di luar jawa
dengan Ning Maza.
Tiga tahun menjadi khodimah Bu Nyai adalah
tahun paling berpengaruh dalam hidupnya. Ia diberi
contoh betapa pentingnya ikhlas dalam pengabdian.
Wanita itu tidak sekedar dilihat dari bagaimana piawai
dan cekatan saja. Mey telah melihat bagaimana Bu Nyai
memuliakan tamu-tamunya; menyaksikan
kedermawanan dan keistiqomahan beliau dalam
mengamalkan kebaikan sepanjang hari. Bahkan, sebelum
ia menjadi khodimah di dapur Bu Nyai, ia sudah tak
boleh lagi membayar uang bulanan dan syahriyah.
Beberapa bulan sekali, Bu Nyai akan memberi Mey dan
khodimah lain hadiah seperti kerudung, sarung atau baju.
Bu Nyai Muhsonah juga bukanlah orang yang hanya
hobby memerintah ini dan itu saja tanpo melu gawe,
beliau akan mencontohkan langsung hingga Mey bisa
dan tak segan urun tandang.
"Ayo siapa lagi menurut Mbak Mey!" Suara Bu
Hafizah membuyarkan ingatannya.
"Mboten harus putri kiai Bu?"
"Tidak harus, malah anak orang sederhana saja
sing penting akhlake pener, keluarganya baik." Bu
Hafizah mengutarakan dengan bersemangat. "Soalnya,
anak kiai mana yang mau dijadikan madu. Jarang kan
Mbak?!"
Mey berpikir sebentar. "Irma, pripun Bu?
Bapaknya nggih alumni Tegal Klopo."
"Nah ditulis ayo ditulis! Wonge yo ayu to,
akhlaknya baik? Bapaknya petani ndak?"
"Kayaknya iya. Kenapa harus petani Bu?"
"Itu dawuh Bu Nyai Muhsonah, Mbak Mey.
Sebenarnya beliaui nggak berniat mengkotak-kotak kan
karena semua profesi itu memiliki ganjaran masing-
masing,. tapi beliau lebih suka dengan kehidupan petani
yang nerimo, sabar, ulet. Mata pencaharian orang tua
yang petani itu rezekinya langsung dari bumi dan diairi
langit. makanya, biasanya santri yang anak petani itu
akhlaknya baik-baik loh Mbak Mey."
"O ngoten nggeh bu," Diam-diam Mey
tersanjung. Meski jawaban itu tak semata ditujukan
untuk dirinya.
"Eh, Kenapa harus berjumlah enam yang dimasukkan
catatan, Bu? Harus cantik juga." Lagi-lagi ia penasaran.
"Saya juga kurang tahu. Bu Nyai yang dawuh.
Buat cadangan kali ya kalau misal nomor 1 keluarganya
keberatan ya ganti nomor 2!" Bu Hafizah angkat bahu.
"Masalahnya, ngelamar santri untuk jadi istri kedua itu
ya tidak mudah to Mbak Mey. Harus dengan kerelaan
keluarga dan yang bersangkutan. Jangan sampai
terpaksa! Terus Bu Nyai juga ndak tega kalau istri kedua
tidak cantik. Kasihan kan nanti kalo njomplang
dibandingkan Ning Maza."
"Ooh.. ngoten."
Entah kenapa seusai Bu Hafizah pulang sambil
meninggalkan daftar nama, Mey jadi diserang gundah
gulana. Tak dapat tidur hingga terbawa dalam mimpi.
Mey berusaha menelaah perasaannya sendiri,
karena lambat laun melihat nama-nama teman yang ia
selipkan satu persatu dalam kertas menumbuhkan hasrat
pada jemarinya untuk turut menyelipkan namanya
sendiri disana. Ia ingin menjadi bagian dari keluarga Bu
Nyai Muhsonah. Ia telah bertahun-tahun mengabdi disini
dan rasanya hidupnya begitu berkah di Tegal Klopo. Ia
ingin terus mendapat barokah Bu Nyai.
Akhirnya dengan gemetaran, Mey
membubuhkan deretan huruf dalam kertas itu.
Nomor 6. Meysaroh Binti Bustomi.
Tindakannya jelas membuat Bu Hafidzah
ternganga setelah menerima kertas itu keesokan harinya.
"Loh, Mbak Mey. Ini nama sampean kan?"
Mey menunduk. Is memang sudah menyiapkan
jawaban dibalik pipinya yang memerah, tapi Tak urung
terlalu malu untuk mengangkat wajah. "Bu... saya
mohon jangan cerita ke siapa-siapa nggeh? Saya mohon!
Hanya jenengan dan Allah yang tahu jika saya
menulisnya! Saya ingin mengabdi pada keluarga Bu
Nyai!"
"Tapi apa kamu sanggup? Yang lain aja belum
tentu sanggup. Kamu malah menulis namamu sendiri!"
Ia tutupi rona merah dipipinya agar Bu Hafizah
tak menangkapnya. Ia tak berani menyebut perasaan
yang mengharu di dadanya sebagai cinta, karena akan
sembrono. Tidak elok seorang santriwati memendam
perasaan pada orang yang sudah beristri, apalagi gusnya
sendiri. Tapi tak dipungkiri, ia merasakan getar lembut
juga di dadanya. Mey bahagia membayangkan jika
punya mertua allamah dan solehah seperti Ibu Nyai
Muhsonah, yang kelak keturunannya juga akan menjadi
cucu beliau.
Rupanya, harapan kecil dalam lubuk hatinya itu
benar benar tersambut. Ning Mazarina memilih dirinya
diantara 6 nama yang tertera.
Alhamdulillah.
Mey menyimpan kegirangan dan genderang
dadanya yang bertalu-talu dibalik diam. Menyimpan jerit
bahagianya dalam ketenangan. Rasanya sperti mimpi
ketika mendengar ia akan menjadi menantu dari Bu Nyai
yang selalu menjadi pembimbing jiwa dan idolanya.
Mey tinggal menyiapkan mental untuk
menghadapi keluarganya. Pasti mereka akan mencecar
dirinya perihal kesanggupannya setelah ia pulang ke
rumah. Mey pun sudah menyiapkan jawaban. Ia rela, ia
sanggup!
"Gak isin apa sama sodara dan tetangga kalau
jadi istri kedua!? Kayak kamu nggak laku aja Mey!"
"Tenan tah iki. Bar nolak Yudi malah minta jadi
istri kedua?"
Itu komentar kedua kakaknya. Mas Nung dan
Mas Yo.
Mey menggeleng. "Enggeh Mas. Saya sudah
matur sama bapak. Saya sanggup!"
"Jangan cuma lihat kehidupan tegalklopo yang
mapan saja Mey. Tapi kerumitan lainnya juga
dipertimbangkan!"
"Sampun Mas. Saya ikut ke ndalem sudah 3
tahun ini, saya cuma berharap ridlo bu Nyai!"
"Kamu dekat dengan istri pertama?"
"Mboten begitu sih,.. Cuma beberapa bulan ini
saya didawuhi nungguin butiknya. Kalau dulu saya
masak di dapur bu nyai. Bukan dapur ndalem Gus
Ahvash."
"Bener ya kamu harus kuat resiko pilihanmu
itu! Jangan mengeluh ke mas kalau sudah memilih jalan
hidupmu!" Mas Yo dan Mas Nung meninggalkan Mey
dengan wajah muram.
Kedua kakaknya tidak datang ke acara akad di
Tegal Klopo. Mey meski kecewa, mengerti alasannya.
karena mas Yo dan Mas Nung sangat menyayanginya
hingga masih menyimpan ketidaksetujuan.
Mey tidak mempermasalahkan itu, toh Bapak
dan Simbok tetap datang ke Tegal Klopo. Mereka
menuntun langkahnya selepas ijab kabul. Simbok
mengelus-elus pundaknya Dan Bapak memandang
dengan mata berkaca-kaca.
"Sing sabar yo Mey! Sabar! Pokoe diniati
nderek Mbah Kiai! Soale keturunane sampeyan sing
bakal meneruskan perjuangan pesantren Mey!"
"Enggeh Pak!"
Malam itu ia melepas Simbok dan Bapak ke
mobil carry pulang ke Dieng juga dengan mata berkaca-
kaca.
Memasuki ndalem yang telah disediakan,
akhirnya Mey merasai debar jantungnya yang tak
beraturan. Ia meremas-remas jemarinya sendiri kala
melihat lelaki tampan berhidung mancung dalam balutan
kemeja wangi dan rapi telah berdiri di dalam rumah itu.
Gus Ahvash.
Suaminya sekarang.
Malam itu tidak serta merta bisa disebut
romantis. Sama sekali tidak seperti malam-malam
pengantin yang katanya manis, tetapi malam itu juga
bukan malam yang tragis.
Ia mulai meresapi petuah Simbok dan Bapak
dalam-dalam. Diniati mencari ridlo Mbah Kiai. ia pelan-
pelan mulai memahami seperti apakah hidup yang ia
pilih.
Mula-mula, Mey tidak memaksakan diri untuk
berkomunikasi dengan Gus Ahvash secara intens. Sulit
sekali rasanya.
Mey memulai hari dengan melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga biasa seperti
membersihkan seluruh ruangan, mencuci sendiri bajunya
dan baju Gus Ahvas serta memasak. Untung ia memiliki
hobi kuliner. Pada hari-hari pertama pernikahan,
kepuasan batiniah terbesarnyaa adalah ketika melihat
Gus Ahvash nyaman dalam rumah dan menikmati
kudapan yang ia buat dengan lahap.
Sering ia tepis rasa cemburu ketika Gus Ahvash
bercanda dengan Ning Maza melalui HP. Itu berkali
terjadi di sela-sela aktivitas suaminya ketika sedang di
rumah. Ia dapat menangkap senyum bahagia suaminya
terpancar dari sudut matanya. Senyum dan rona yang tak
pernah ia temukan saat bersama dirinya.
Meski tidak pernah membaca buku atau artikel
psikologi, Mei memahami perbedaan cinta dan
kebutuhan biologis.
Cinta adalah perhatian, seperti sikap emak
kepada bapak saat terkilir dari ladang lalu cepat-cepat
mencarikan minyak angin, saat emak batuk-batuk dan
bapak segera mengajaknya periksa di mantri, saat emak
terkena pisau di dapur dan bapak bertanya "kenapa
jarinya?", atau hanya dengan obrolan-obrolan ringan
tidak penting yang mampu membangkitkan tawa di pipi
keduanya.
Cinta adalah dunia yang dapat dinikmati oleh
sang pecinta hingga hal-hal kecil menjadi nampak, hal-
hal tak penting menjadi berarti, gubug sederhana
menjadi istana.
Cinta tidak harus selalu berwujud bunga mawar
dan emas berlian bertahta di tangan, itu semua hanyalah
simbol semata, yang ketidakhadirannya pun tak lantas
melunturkan makna cinta.
Mungkin saja kelihatannya Mey telah
diperlakukan dengan hormat dalam rumah kecil yang
cantik itu., dibelikan almari dan aneka perabot baru;
dicukupi dengan baju dan perhiasan, disediakan
khodimah dan kebutuhan hidup lainnya.
Akan tetapi dibalik semua itu, sikap Gus
Ahvash tiap kali bersama dirinya tidak pernah benar-
benar nyaman dan hangat. Tak ada tatapan mesra dan
obrolan santai pengantar tidur, jarang tercipta dialog
panjang lebar yang melibatkan perasaan. Suaminya
bahkan sering membiarkan Mey terlelap dahulu dengan
dalih sibuk mutholaah kitab di tangannya.
Kesibukan Gus Ahvash yang bejibun membuat
ketidakhangatan hubungan itu tampak wajar dan lumrah-
lumrah saja, toh Gus Ahvash bukannya acuh tak acuh.
Tidak ada KDRT verbal maupun non verbal. Ia lelaki
baik dan santun yang selalu uluk salam saat membuka
pintu rumah, Tak pernah meninggikan suara dan tahu
kapan membelikan kebutuhan bagi istrinya.
Meski mereka 'tak sengaja' telah meruntuhkan
tembok melebur kedalam lautan asmara, memadu kasih,
dibalik beningnya malam dan hilangnya jarak.
Namun setelah itu keduanya kembali canggung. Kembali
hening setelah bergumul dengan rasa. Seolah
komunikasi dengan hasrat jauh lebih mudah ketimbang
obrolan ringan.
Layaknya khodimah pada seorang Gus.
Segalanya terjadi seperti rekayasa. Ia mirip robot
manusia yang hanya diformulasikan untuk memberikan
keturunan.
Cara Gus Ahvash memperlakukannya ibarat
segelas air putih yang di teguk dengan terburu-buru
tanpa menikmati kesegarannya. Harus lekas tandas,
entah nikmat atau tidak. Mey merasa semua yang
dilakukan suaminya itu seolah hanya sikap nderek
dhawuh atas titah bu nyai yang beberapa hari lalu
membawa air barokah doa hasil sowan Simbah nyai zah
lasem. Rembang.
Mey seperti pinguin yang harus terbiasa dengan
suasana beku.
Mey tahu kebekuan itu dari cara Gus Ahvash
menatapnya. Sekilas dan tak pernah dalam.
Ia tak tertarik mengajak Mei ngobrol panjang lebar soal
topik-topik ringan, tak juga menyadari perabot perabot
kecil yang mulai ia pindah tata letak, seperti meja rias
yang ia geser dekat jendela, atau rak buku yang di
dorong di dekat pintu.
Dulu ia pernah melihat Gus Ahvash suka
menata ruangan. Ia pernah melihat tawanya yang lebar di
teras menikmati kopi bersama Ning Maza. Pernah
mendengar topik-topik hangat yang membuatnya
berseru-seru hingga suaranya turun lantai terdengar dari
tempat Mey menyapu.
Gus Ahvash yang sesungguhnya belum pernah
hadir di dalam rumah itu. Ia serupa manusia yang
tertekan menjalani peran kehidupan. Mey belum pernah
melihat Gus Ahvas yang dikagumi semua santri hadir
disana.
Padahal Mey selalu bersemangat menyiapkan
semuanya tiap kali hari gilirannya tiba. Mey akan
membersihkan ulang semua ruangan, menyingkirkan
debu yang mengotori perabot dan menyemprotkan
pengharum ruangan. Mey akan mandi dan mematut diri
di cermin berkali-kali, mengganti kerudung biru atau
pink atau maroon, berbicara sendiri di dalam cermin
membayangkan bagaimana Gus Ahvash mendengarkan
sapaanya.
"Kroketipun sampun mateng Gus..."
"Ngersaaken kopi njeh?"
"Monggo sare wonten nginggil mriki.."
Dan
"Gus, meniko agemanipun."
Lalu mata Mey yang berbinar-binar karena
menyiapkan semuanya terlampau matang itu tetiba jadi
redup ketika lagi-lagi mendapat sambutan yang tidak
sebanding. Kesibukan dari luar masih mewarnai diri Gus
Ahvash ketika menginjakkan kaki dalam rumah itu,
entah kitab-kitab dalam dekapannya, ponsel di
tangannya, atau gambar desain rak terbaru yang ia lipat
di sakunya.
Ternyata sikap manusia dalam pernikahan itu
rumit, Pernah memadu kasih tidak menjamin sikap akan
selalu manis. Pernah berenang dalam lautan asmara tidak
menjamin tatapannya akan selalu mesra.
Mey kembali harus ingat akan niatnya.
Nyatanya kecanggungan itu tak kunjung sirna.
Tembok tembok yang pernah diruntuhkan berdua di atas
peraduan kini berdiri tegak kokoh kembali. Menciptakan
jarak yang tak dimengerti oleh Mei.
Ia tak berani mengawali obrolan, tak berani
bergelayut manja.
Ia serupa khodimah yang kasmaran. Karena
meski diam, gerak gerik Gus Ahvash tak pernah lepas
dari tatapan Mey.
Ia cukup bahagia melirik Gus Ahvash sibuk
membuka lembaran lembaran kitab, kesengsem
menyaksikan tawa spontan Gus Ahvash membaca kitab,
saat Gus Ahvash menaruh kitab dan menyesap kopinya,
terpesona dengan cara Gus Ahvash mengenakan kemeja
menautkan kancing satu persatu, merapikan sarung,
mengenakan peci hitamnya atau sekedar duduk di atas
kursi bersiap untuk makan siang menunggu menu yang
akan ia sajikan.
Mey paling senang dengan kalimat yang Gus
Ahvash ucapkan tiap kali ia usai menyajikan sebelum
menyantap masakannya.
"Kamu memang pinter masak ya Mei"
Atau.
"Konon, masakan yang bikin bersin itu
tandanya lezat!"
Ucapnya menahan hidung yang mau bersin.
Bisa-bisa Mei cemburu pada masakannya
sendiri. Gus Ahvash lebih mudah tertarik dengan
makanan yang ia siapkan daripada tertarik pada dirinya.
Nyatanya masakannyalah yang akhirnya mengundang
lontaran kata-kata manis dari mulut suaminya.
Berminggu-minggu setelah ia tinggal di rumah
kecil dekat flower gallery, kejadian serupa 'kecelakaan'
di peraduan saat malam pengantin itu baru terjadi dua
kali setelah bu Nyai datang membawa air barokah.
Mei kuat merekam moment itu dalam otaknya.
Bagaimana Gus Ahvash menatapnya malam itu,
bagaimana mula-mula gus Ahvash menyentuh pipinya,
menyingkap kerudungnya lalu menyentuh pundaknya
dan berkata pelan "mari kita niatkan ibadah agar menjadi
pahala!"
Ia tak akan lupa wangi parfum yang memenuhi
rongga hidungnya. Telapak tangan yang hangat dan
degup jantung yang membuatnya tenang luar biasa.
Mei tak akan pernah melupakan moment itu dan
akan selalu memutarnya tiap kali ia berusaha bersabar
karena di malam-malam lain belum ada tanda-tanda
moment itu akan terulang kembali.
Suatu hari saat gelisahnya mulai memuncak, ia
menelfon bapak dari hape Mbak Lina di butik.
Menumpahkan kesedihannya pada Simbok dan Bapak.
Ternyata benar juga kata Mas Nung dan Mas Yo bahwa
menjadi istri kedua itu tidak mudah. Ia harus bersabar
tiap kali melihat mobil Gus Ahvash lewat depan
rumahnya dan hanya berisi Ning Maza dan Gus Ahvash.
Apalagi posisinya yang berawal dari seorang khodimah,
ia makin tertekan dan tidak mudah mengungkapkan
perasaan-perasaanya.
"Tapi saya masih kuat kok pak! Saya cuma
meminta doa supaya tetap kuat melalui semua ini!"
"Apa Gus Ahvash pernah kasar!?" Tanya bapak.
"Mboten pak!" Mey terkesiap. Gus Ahvash
suaminya itu tak terbayang bisa memperlakukan ia
dengan kasar.
"Pernah berkata menyakitkan?"
"Belum pernah pak!"
Bapak bergeming di ujung sana. Menelaah
cerita putrinya. "Masalah roso seneng kuwi alon-alon
Mey! Kamu terus melayani suamimu saja sebaik
mungkin. Pasti dia akan luluh! Bapak akan selalu
mendoakanmu!"
Baru saja dua hari ia menelfon bapak demi
meminta pasokan-pasokan spirit dan kekuatan, entah apa
yang membuat Gus Ahvash menjadi lebih berperasaan
sepulang dari ceramahnya suatu sore.
Gus Ahvash dengan raut muka Dan nada yang
lebih cerah dari biasa, bertanya apakah ia bisa memasak
ayam betutu dan acar kuning? Karena Mbah Kiai Zainuri
akan datang dan dijamu di rumah kecilnya.
Tak terbayang bagaimana rasanya.
Tentu saja Mey bahagia. Itu adalah bukti bahwa
Gus Ahvash menghargainya. Melibatkannya dalam
moment yang dianggap Gus Ahvash penting. Ia sudah
melakukan yang terbaik malam itu dengan menyiapkan
sajian yang maksimal. Decak kagum dan terimakasih
dari Gus Ahvash membuatnya berbunga-bunga.
Rasanya ia bisa melayang ke angkasa.
Senyum masih menghiasi bibir Mey ketika
terjadi hal tak terduga. Kala itu ia tengah sibuk
membersihkan ruang tamu, menumpuk beberapa piring
kotor dan memindahkan alat-alat makan stainless kotor
ke dapur, Ning Mazarina tiba-tiba muncul dengan mimik
merah padam. Menyuruh yang lain keluar dari ruangan
dan hanya berdua saja dengannya.
"Mei?! Aku sudah masak kagem Mbah Kiai.
Sudah nata rumah, siapin jajan. Tinggal
menyuguhkannya. Kenapa malah diaturi rawuh sini!"
Mei hanya membisu. Tak tahu harus menjawab
apa.
"Kamu sadar Mei, apa yang kamu lakukan itu
tak sopan, tak beretika! "Ning Maza terlihat sangat
marah besar. "Baru juga sebentar tinggal disini kamu
udah lupa posisi! Siapa yang menjadikanmu bisa tinggal
dirumah ini hah?!"
Mey terpaku nyaris air matanya membanjir. Ia
bahkan tak bisa menjelaskan bahwa semua ini adalah
dawuh dari Gus Ahvash. Ia sangat syok melihat Ning
Maza yang tak seperti biasanya. Beliau telah berubah
menjadi orang lain yang menakutkan. Bukankah ning
Mazarina sendiri yang memilih Mey menjadi madunya?
"Kamu tak perlu mencari gagasan untuk
mengambil alih tugasku..!"
Hampir saja bulir-bulir di matanya tumpah jika
tidak ada seseorang yang datang menyelamatkan.
"Pulang dulu yuk sayang..."
ternyata seseorang itu Gus Ahvash. Menarik lengan Ning
Maza.
"Nggak usah motong pembicaraan . Ini antara
aku dan dia !"
"Kita ngobrol dirumah aja..."
"Disini aja mas. Biar dia tau seperti apa adab
yang seharusnya!!"
"Sayang... Kamu kan tahu malam ini aku giliran
dirumah ini."
Gus Ahvash menjeaskan sesuatu lagi dan lagi
yang membuat Ning Maza akhirnya diam seribu bahasa.
Saat itu Meysaroh yang begitu terharu.
Gus Ahvash tampil menjadi seseorang yang
menenangkan dirinya. Menjawab dengan tegas jika
memang itu jatah hari Mey. Mengelus-elus pundaknya
kala ia mulai masuk kamar dan hendak menumpahkan
air mata. Memberikan support dengan kata-kata bijak
dan penuh pengertian.
Ia tak jadi sedih karena hikmah dari omelan
Ning Maza adalah ia mampu memunculkan sikap adil
dalam diri Gus Ahvash. Bahwa semua istri berhak
dibahagiakan. Bahwa statusnya sebagai khodimah di
masa lalu tidak membenarkan sikap marginalisasi.
Walaupun malam itu Gus Ahvash kundur ke
ndalem Ning Maza dan tak jadi menginap dirumahnya.
Mey tahu suaminya mulai menganggap ia benar-benar
ada, mulai menghargai perasaannya.
Selepas perseturuan itu, Yu Sari muncul di balik
punggungnya. Hendak berpamitan pulang karena sudah
menunaikan tugas.
"Mbak Mey. Sing sabar ya! Saya akan selalu
membela Mbak Mey! Gimana sih Ning Maza ini datang-
datang kok langsung marah. Enggak tanya dulu. Dasar
Ning Maza!"
Mey terdiam menanggapi itu.
"Mbak Mey. Besok Gus Ahvash ulang tahun
loh!"
"Ha? Yang benar Yu?"
"Loh tenan iki!"
"Besok ini Yu? Atau tanggal berapa?"
"Ya besok ini. Ayo kasih kejutan apa biar
romantis. Biar Gus Ahvash klepek-klepek...!"
"Kalau beli kado. Kado apa ya Yu? Sarungnya
mahal-mahal semua. Bajunya juga mahal Yu!"
"Coba cari ide dulu. Apa yang Mbak Mey bisa
aja!"
"Hemm.. saya mau buat kue aja Yu. Yang
peralatannya sudah ada di dapur, yang pakai kukus!"
"Nah, bagus itu. Nanti bahannya saya yang
belikan!"
"Nggeh Yu. Maturnuwun sanget...!" Mey
tampak begitu sumringah setelah kemuraman
melandanya tadi.
Benar saja. Keesokan harinya Gus Ahvash
bertandang kerumah dan melihat kue yang Mey buat
dengan tangannya sendiri, lelaki itu tampak begitu
terharu. Ia terus menatap cara Meysaroh membubuhkan
keju dan meises diatasnya, dengan senyum yang kali ini
hingga ke mata. Gus Ahvash menghargai upayanya
untuk mengingat hari kelahiran suaminya itu lalu
mencicipi browniesnya dengan lahap.
Hari itu cinta semakin menelusup kuat dalam
sanubari Mey. Memberikan kekuatan-kekuatan padanya
untuk selalu melayani Gus Ahvash dengan penuh
pengabdian.
*******
Next Part 9

Anda mungkin juga menyukai