Anda di halaman 1dari 6

Ep8 *HATI SUHITA*

Unknown October 31, 2018

adsense 336x280

*HATI SUHITA*

Ep8

Oleh : Khilma Anis.

Aruna melajukan mobilnya pelan sambil melambai di belakang kemudi. Dia pulang setelah kuyakinkan
bahwa aku sudah tenang, akan baik baik saja, dan tangisku sudah habis.

Aku berpesan padanya untuk lekas mencari tau siapa itu Rengganis. Tapi dia pura pura tak mendengar,
dan justru bilang padaku, aku boleh menelponnya kapan saja. Dia juga menawarkan pintu rumahnya
terbuka jam berapapun aku mau datang.

Dia tidak tahu, aku sekarang sudah tidak merdeka. Bahkan untuk menginap ke rumah ibuku pun, aku
harus menunggu ummi mengizinkan atau tidak.

Aku juga tidak akan bisa leluasa menelpon Aruna. Bagaimana kalau abah atau ummi dengar? Dukaku
kusimpan. Dendamku kupendam. Isakku kutahan. Aku harus tampil bahagia.

Aku cuma mengiyakan dan bilang pada Aruna, kalau ada apa apa aku akan wa tapi tidak dengan kalimat
yang panjang, sebab aku tak bisa pegang hape lama lama kalau mas Birru di dekatku.

Aku jengah kalau mas Birru terlalu fokus ke hapenya. Jadi aku tidak melakukan itu biar dia belajar
bagaimana memperlakukan orang lain.

Aruna memelukku lama sekali. Memberiku kekuatan. Tadinya dia ngotot aku harus bertahan dengan
mas Birru. Lama lama, dia bilang, dia akan mendukung apapun keputusanku yang penting aku tidak
tertekan.

Tertekan? Ah kalau cuma soal itu, aku sudah terlatih.

Samar samar, ku ingat wajah kang Dharma. Aku sangat kaget dengan pertemuan kami yang tak sengaja
tadi.

Saat aku berdoa semoga hati mas Birru luluh, semoga kelak dia mau ku ajak ke makam itu, dan semoga
aku di beri kekuatan dan ketabahan, justru kang Dharma bersila di belakangku.

Aku tak berani menafsiri itu pertanda apa.

Selama mengenalnya, aku tau dia adalah orang yang setenang Yudistira. Apapun yang di dalam hatinya,
orang tidak tahu. Ia hanya tampilkan wajah yang damai.
Ia seperti mengamalkan ajaran resi Sukra, bahwa orang yang bisa menahan diri untuk tidak marah, lebih
mulia dari orang yang dapat menjalankan ibadah selama seratus tahun.

Tapi tadi sore, kekhawatiran nampak begitu jelas dari matanya. Mungkin saking parahnya tangisku.
Meski dia, kepadaku, hanya bicara seperlunya.

Dia selalu bisa menahan diri untuk tidak bertanya apa yang menimpaku. Dan aku selalu menangis karena
tahu, dia sangat menghormatiku dalam rindunya. Dalam sedu sedannya.

Dia tidak pernah memaksaku bicara dan menjelaskan apapun. Seolah olah dia tahu, kelak, aku akan
menceritakan semuanya.

Ah kang Dharma, kekhawatirannya padaku, yang selalu disembunyikannya, membuat aku sering
berpikir, apakah dia muara segalaku? Apakah mas Birru tidak menyentuhku karena aku ditakdirkan tetap
utuh untuk orang lain?

Tapi, setiap hal itu melintas dalam pikiranku, aku teringat tradisi kuno dari buku tua . Bahwa putri
seorang brahmana, tidak boleh menikah dengan putra seorang ksatria.

Tapi putri seorang ksatria, boleh menikah dengan putra seorang brahmana.

Konon, tradisi ini untuk menjaga supaya kaum perempuan tidak diturunkan ke status kasta yang lebih
rendah.

Katanya, anuloma, atau menikahi laki laki dari kasta yang lebih tinggi, itu dapat diterima. Sedang
pratiloma, atau menikahi laki laki dari kasta yang lebih rendah, itu tidak dibenarkan oleh tradisi mereka.
Tapi itu hanya ajaran kuno yang terjadi di dongeng-dongeng zaman dulu dan legenda legenda.

Tidak ada ajaran itu di keluargaku. Di keluarga mas Birru juga tidak ada. Aku di unduh mantu bukan soal
kasta. Ini adalah murni pernikahan dua pasang pesantren.

Ayah dan ibu, mengizinkanku di boyong ke rumah ini, sebab tahu akulah yang akan jadi penerus tahta.

Dinasti keluarga pesantrenku sudah sangat kuat dan segala sesuatunya berjalan dinamis. Sudah banyak
yang membantu ayahku. Sementara mertuaku hanya punya seorang putra, yang belum faham kalau ia di
gadang gadang untuk mewarisi kerajaannya.

Akulah yang harus memikul semuanya.

Saat aku berusaha keras membangun kerajaannya dan menjalankan peran yang seharusnya jadi
tanggung jawabnya, dia justru berusaha keras menciptakan suasana beku yang membuat batinku tak
lagi punya daya bertahan.

Aku menggigil dalam kesepian.

Aku tak tahu sampai kapan akan bertahan.


Ku edarkan pandangan ke bangunan pesantren. Kang kang menunduk menyimak guru guru mengajar
kitab. Banyak orang tapi senyap sekali.

Empat mobil terparkir, salah satunya punya mas Birru. Tumben dia pulang lebih awal.

Pelan, kumasuki ruang tamu yang terbuka lebar. Aku langsung mencium bau minyak sereh dan minyak
kayu putih meruap ruap di seluruh ruangan.

Siapa yang sakit?

Aku berjalan cepat ke kamar. Mas Birru tidak ada. Kamar pengap jendela menutup. Tivi menyala. Baju
dan sarungnya berserakan. Selimut di sofanya tidak terlipat. Buku buku berantakan. Bantal dan
gulingnya berjatuhan di karpet. Kran di kamar mandi tidak tertutup rapat. Keset basah dan licin. Handuk
bekas pakai di kursi rias. Baru kutinggal sehari, kamar ini seperti tidak berpenghuni.

Aku berjalan melewati perpustakaan abah, menuju kamar ummi. Aku kaget melihat beliau tergolek
lemah. Seorang mbak mbak yang membawa nampan teh langsung kuminta, dia bilang ummi pusing saat
menyimak ngaji sampai harus dituntun menuju kamar.

Aku langsung menangis. Meraih punggung tangannya, kucium lalu aku duduk bersimpuh. Ummi
memejamkan mata tapi tidak tertidur.

Di kursi seberang, mas Birru bersedekap, mengamatiku. Aku menunduk antara rasa bersalah dan takut
dia tahu wajahku sembab.

"Sampai jam segini baru datang. Kemana saja memangnya?"

Aku berdebar debar.

"Saya pergi sama Aruna, gus. Ngapunten."

Tidak mungkin kalau Kubilang aku pergi ke makam mbah Hasan Besari. Apalagi kalau Kubilang tadi
sempat ketemu kang Dharma. Dia tidak mungkin cemburu. Cemburu hanya milik orang yang merasa
memiliki. Dia tidak pernah merasa aku miliknya.

Aku tidak menjelaskan itu sebab aku tidak mau menurunkan marwahku sebagai istri. Lagipula
pertemuan kami tak sengaja dan kami tidak saling bicara.

"Ummi drop. Obatnya tidak kau siapkan."

Kalimatnya datar. Wajahnya dingin. Dia masih bersedekap. Punggungnya lurus. Dia melirikku dengan
penuh kekesalan.

Aku ingin bilang kalau semuanya sudah kusiapkan, bahkan obat obat sudah kubuka satu per satu, dan
sudah ku taruh di mangkuk kecil tempat obat ummi biasa ku racik, tapi aku tidak berani mengatakan itu.

"Maafkan saya nggih." Itu kalimat yang kupilih.


"Aku telpon kamu puluhan kali, tidak ada jawaban." Dia membuang muka.

Hatiku berlompatan. Khawatirkah ia? Kangenkah ia? Merasa kehilangankah ia? Sepanjang pernikahan
kami, memang baru kali ini aku lama pergi. Pagi sampai petang.

"Jangan sampai ummi drop lagi. Jangan lupa siapkan obatnya. Pasrahkan sama mbak mbak kalau
memang kamu sibuk."

Nadanya menohok. Aku menunduk. Kaget. Dan cepat menghapus rasa senang yang baru saja terbersit di
hatiku. Dia tidak menghawatirkanku. Dia hanya menyalahkanku atas kondisi kesehatan ibunya. Air
mataku menggenang di pelupuk mata.

Sudah makankah ia? Kenapa bajunya begitu lusuh? Tidak bisakah dia mencari bajunya sendiri di lemari?
Ataukah saking paniknya kepada ummi?

Ummi tak apa apa, sudah kuperiksa. Ini cuma karena ummi telat minum obat. Dia saja yang tidak tahu.
Sebab dia jarang di rumah.

"Nggih."Jawabku lirih.

Dia diam terpaku. Lalu bergegas mengambil teh saat ummi terbatuk.

Aku mendudukkan ummi dan menyangga badannya. Dia meminumkan teh.

"Gak usah marahin Alina, le. Obate ummi sudah disiapkan sama dia kog. Ummi ki gak wani minum obat
soalnya ummi belum makan. Ummi gak enak makan soale kepikiran Alina. Lungo kog suwe. Sudah
makan kamu lin?"

"Dereng mi." Air mataku jatuh lalu kuusap sebelum ummi tahu kalau cintanya membuatku terharu.

"Ummi mau saya masakin apa? Monggo kita makan bersama."

"Ummi mau sambel tempe kemangi. Mbak mbak tadi bikin lin. Tapi gak podo karo buatanmu."

Aku tersenyum. Memasang sandal ke kedua kaki ummi. Beliau tidak tahan dingin. Aku Melipat
mukenanya. Lalu menuntunnya ke meja makan. Aku di sisi kanan. Mas Birru di sisi kiri.

"Mas mau saya buatkan sambel? Atau nasi goreng?"

"Enggak. Gak usah." Sahutnya.

Ummi menoleh cepat ke arahnya. Saking jengkelnya kepadaku, mas Birru lupa kalau kami harus
bersandiwara. Aku memberinya kode dengan mataku. Bahwa ummi bisa lebih drop lagi kalau tau dia
ketus begitu.

"Iya wes, sekalian buatkan mas nasi goreng." Jawabnya tanpa memandangku.
Aku tersenyum. Memasak di dapur sambil bersemangat. Kulihat mas Birru memijat kaki ummi yang
selonjor di kursi panjang.

Setiap kulihat bibir dan dagunya, aku bergetar hebat. Tapi aku kembali ingat penolakannya malam itu.
Aku jadi teringat ucapan Dewayani kepada resi Sukra saat putri kerajaan Wrihasparwa menghinanya:

"Luka yang disebabkan pedang, dapat sembuh dalam perjalanan waktu. Tapi sakit hati karena kata kata
yang menusuk, akan menggoreskan pedih selamanya. "

Aku sudah bertekad untuk menutup diriku sampai ia sendiri yang memintanya.

Saat nasi gorengku matang, dan sambel ummi kusajikan, ia pergi dari meja makan karena telponnya
berdering. Aku sudah bisa menebak kalau itu telpon dari siapa.

Aku memilih diam, menemani ummi makan sambil berbicara yang ringan ringan. Ummi makan lahap
sekali seperti seharian tidak bertemu nasi.

Aku tertawa tawa mengaggapi cerita ummi tentang tingkah nyleneh anak anak pondok. Tapi mataku
terus mengawasi mas Birru yang tertawa dengan lawan bicara telponnya. Ia di kursi beranda, masih
menelepon, ia menengadah menatap langit. Ia terlihat sekuat tenaga menahan rindu. Seperti apakah
wujud perempuan itu sebenarnya?

Melihat kotak transparan ummi yang penuh obat, dan melihat putranya yang asik menelpon, aku
merasa dia sedang memperlakukanku seperti seorang perawat.

Ada nyeri yang menjalar di ulu hatiku. Dia tidak membutuhkan kehadiranku sebagai istri. Dia hanya
menginginkanku untuk menjaga kesehatan ibunya. Dan sejatinya, itu bisa digantikan oleh perempuan
manapun.

Aku ingin marah lalu kuingat nasehat begawan Wiyasa, orang orang yang dapat menaklukkan dunia
adalah orang yang sabar menghadapi caci maki orang lain.

Orang yang dapat mengendalikan emosi ibarat seorang kusir yang dapat menaklukkan dan
mengendalikan kuda liar. Dia dapat mengambil jarak dari amarahnya seperti ular menanggalkan
kulitnya. Hanya mereka yang tidak gentar dengan siksaan, yang akan berhasil mencapai apa yang
dicitakan.

Aku hafal nasehat itu diluar kepala. Tapi aku tak bisa menerapkannya. Aku tidak bisa menerima kalau
mas Birru dingin kepadaku, tapi selalu sumringah kalau menelponnya.

"Lin, ummi pengen punya cucu. Ummi sudah sepuh." Ummi menyentuh tanganku. Mentap mataku.
Menunjukkan keseriusannya.

Aku tersenyum. Mengangguk dalam bimbang.

"Doakan lekas dikasih ya mik." jawabku sambil memasang senyum termanis.


Ummi mengangguk lalu memberiku amalan amalan dan wirid agar aku lekas mengandung.

Duh Gusti, aku tidak sehebat Dewi kunti yang rajin bertapa, yang diberi mantra Resi Durwasa untuk
leluasa memanggil dewa dewa sampai lahirlah Karna dan adik adiknya tanpa persetubuhan.

Aku adalah perempuan biasa yang sudah mati rasa dengan sentuhan, tapi meranggas merana kalau
ingat ummi minta keturunan.

Aku ingat mas Birru yang dingin. Aku ingat kang Dharma yang hangat.

"Besok kamu jaga rumah sama Birru ya, lin. Ummi sama abah nganter jamaah ziarah wali. Kemungkinan
tiga harian. Jangan pergi-pergi lho."

Aku mengangguk lalu bertanya apakah ummi sudah sehat. Dia mengangguk lalu pindah ke sofa panjang.
Ia mengulurkan tanganya untuk ku pijat, lalu menderas Qur'annya. Aku duduk bersimpuh di atas karpet.
Menyimak hafalannya dalam diam.

Ummi adalah kesayanganku, yang kucintai melebihi ibuku sendiri. Tidak ada kedamaian melebihi
lantunan suaranya saat mengaji.

Hatiku berdebar debar tak menentu.

Tiga hari ke depan, hanya aku dan mas Birru di rumah sebesar ini.

Aku tidak bisa menerka apa yang akan terjadi

Anda mungkin juga menyukai