Anda di halaman 1dari 6

Ep 11 *HATI SUHITA*

Unknown October 31, 2018

adsense 336x280

*HATI SUHITA*

Ep 11

Oleh: Khilma Anis.

Mas Birru berdiri di sisiku. Ia baru saja mandi. Rambutnya basah. Ia memakai sarung hitam dan hem
merah hati yang membuat kulitnya kian terlihat bening. Harum tubuhnya membuatku menggeletar
dalam getar sampai aku sadar, ia tampil mempesona bukan untukku, tapi untuk tamunya yang tak ku
tahu siapa.

Aku menata dompolan anggur hijau dalam talam kristal di atas meja makan. Ia mengecek masakanku
sambil tersenyum puas tapi tidak mengatakan apapun walau selarik kalimat terimakasih.

Di atas meja, beberapa makanan tersaji. Pepes tongkol, cumi hitam, udang asam manis kesukaan mas
Birru. Masih ku tambah kakap santan pedas. Tidak ketinggalan gurami dan kerapu goreng. Tentu saja
sayur asam dan sambal turut menyemarakkan. Mas Birru menolak dahar lebih dulu dan bilang akan
makan bersama tamunya.

Aku sudah dandan dan sudah memakai parfum. Aku memakai gamis ungu muda sekaligus jilbabnya yang
sedikit lebar tapi modern. Baju ini Ummi yang membelikannya. Beliau senang melihatku memakai gamis
yang satu set dengan jilbabnya. Aku bertanya kepada mbak ndalem, apakah lipstikku terlalu mencolok,
mereka malah terbelalak dan bilang aku terlihat sangat cantik.

Mereka tidak tahu, aku dandan seperti apapun, gusnya yang dingin tidak pernah melihatku, apalagi
memujiku. Tapi aku harus tetap berusaha tampil maksimal sebab menjaga marwah suamiku. Aku
menjunjung tinggi kehormatannya. Siapapun tamunya, harus tau bahwa kami berdua adalah pasangan
yang pengantin baru yang berbahagia. Mereka tidak boleh tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di
antara kami. Kesenyapan malam malam kami.

Hujan turun dengan derasnya. Mas Birru menanti tamunya di beranda. Ia tidak mengajakku. Jadi aku
diam di kursi makan yang bersebelahan dengan ruang tamu. Kulihat rinai hujan dan air yang mengalir.
Kulihat air hujan membasuh anggrek anggrekku. Kulihat air mengaliri delima dan melatiku. Kulihat
suamiku, yang mondar mandir sambil sesekali menatap langit seolah ia begitu khawatir tamunya tidak
jadi mampir.

Aku berdebar debar saat deru mobil terdengar pelan menembus kemeretak hujan lalu suara mesinnya
berhenti di depan pondok putra.
Parkiran kami dipenuhi mobil Abah, mobil mas Birru, dan mobil pondok yang berderet deret. Jadi mobil
itu berhenti tepat di depan kantor Diniyah. Butuh sekitar dua puluh langkah untuk sampai beranda kami
padahal hujan belum juga reda.

Aku ingin berlari mengambilkan payung tapi takut mas Birru tidak berkenan. Jadi aku diam dan berdiri
kaku di samping jendela ruang makan. Kulihat lima orang laki laki bergantian turun menembus guyuran
hujan.

Lalu kulihat seorang perempuan turun dari mobil bagian depan. Ia memakai celana jins dan tunic
panjang sampai jauh di bawah lutut. Bajunya berwarna tosca. Jilbabnya juga tosca campur warna merah
abstrak. Ia mengaitkan ujung jilbabnya ke belakang leher jadi kalung etniknya yang berwarna warni
tampak memikat.

Ia berlari kecil menembus rintik rintik air. Tas kulit merahnya ia gunakan menutupi kepala, tapi tidak
menghalangiku untuk segera tahu bahwa perempuan itu adalah Rengganis. Perempuan yang sering
menelepon dan ditelpon suamiku.

Jantungku berdentum bagai genderang perang. Nafasku tiba tiba saja sejak. Dan aku begitu lunglai.
Dialah yang membuat mas Birru selalu dingin. Dialah yang membuat mas Birru, sampai sekarang, masih
belum bisa menerima perjodohan kami.

Bagaimana mungkin aku menghadapinya sendirian sedang mas Birru di pihaknya? Aku ingin menariknya
ke sebuah sudut lalu memohon kepadanya, untuk tidak perlu menjalin komunikasi dengan mas Birru,
tapi itu tidak mungkin. Sebab dia adalah tamu. Aku harus hurmat tamu sebaik yang diajarkan kitab kitab
kuning.

Saat aku akan menyelinap ke kamar untuk menghapus air mataku yang berjatuhan, telponku berdiring,
aku duduk agar suaraku terdengar stabil.

"lin?"

"Dalem ummi." Aku menahan isak. Aku ingin menceritakan kalau putranya kemarin sakit, sudah
kurawat, lalu justru membalas kebaikanku dengan sayat sayat sembilu, tapi aku tak bisa
mengatakannya.

"Ummi lagi di makam mbah Soleh Darat lho ini. Awakmu wes pernah lin?"

"Dereng, Mi."

"lho. Belum? Kalau ke mbah Sunan Prawoto?"

"Belum,"

"Ke mbah Mutamakkin juga belum?"

"Dereng, Mi." Aku tidak berani bertanya lebih jauh sebab takut Ummi menangkap suaraku yang parau.
Lihatlah Ummiku, mertuaku, yang begitu perhatian padaku. Lihatkah suamiku. Yang begitu beku di
depanku tapi bisa tergelak gelak bersama teman-temannya padahal ia baru sembuh. Seoalah diamnya
padaku setiap hari adalah upaya menyerangku dengan kemurungan kemurungan, sampai aku sadar, aku
tak mungkin bisa membuatnya tersenyum.

"Aduh mesakke. Mbesuk ta jak ya lin. Mana Birru?"

Aku terdiam, hampir menangis. Hampir mengatakan kalau ia kedatangan banyak tamu, tapi ada satu
perempuan yang begitu cantik. Perempuan yang membuat putranya tidak pernah mau melihatku. Dan
menyentuhku.

"Mas Birru wonten.. Wonten tamu."

"Oh ya wes. Ummi gak enak mangan lin. Ummi pengen sambelmu."

"Kapan ummi pulang?" Sahutku. Mataku berkaca kaca. Setiap aku hampir putus asa, Ummi selalu
menunjukkan kalau aku jangan sampai jauh dari hidupnya.

"Besok lin. Tunggu kami ya."

Ummi menutup telpon setelah aku bertanya bagaimana keadaan abah dan kemana lagi rute ziarahnya.

Ummi tidak tahu aku begitu hancur dan aku pucat seperti perempuan dalam kaca berembun. Bisakah
aku menghadapinya sendirian?

"Mana minumnya?" Suara mas Birru mengangetkanku.

"Inggih gus, sebentar, mbak mbak persiapan diniyah jadi saya sendirian."

"Agak cepat, mereka kedinginan." Dia mengatakan itu lalu pergi.

Siapa yang kedinginan? Mereka atau Rengganis yang barusan terbasuh titik titik air? Sejak kapan mas
Birru begitu perhatian pada tamunya sampai rela ke dapur menanyakan minum? Aku mengeram murka
dalam piluku.

Aku berjalan pelan menuju ruang tamu sambil membawa tujuh cangkir kopi yang mengepul panas. Mas
Birru tidak berhenti bicara saat aku datang, jadi tamunya tidak ada yang melirikku. Kecuali perempuan
itu. Ia berdiri. Bergerak membantuku meletakkan kopi, lalu menghampiriku. Menjabat tanganku. Dan
mencium pipiku kiri kanan.

Aku terpaku. Dia sangat cantik. Lebih cantik dari fotonya. Matanya bersinar sinar. Bibirnya mungil. Bulu
matanya melengkung. Make upnya natural. Paduan warna merah dan tosca di jilbabnya pas sekali.
Senyumnya manis berlesung pipi. Baunya harum.

Ia tidak canggung bertemu denganku. Justru aku yang gemetaran. Ia begitu pandai membawa diri. Orang
orang seperti ini pasti dikagumi semua perempuan dan laki-laki. Ia mempesona.
Aku ingin mengamuk tapi aku tidak menemukan dendam di matanya. Aku ingin marah tapi aku tidak
menemukan kebencian di dadanya. Aku ingin mengardiknya tapi tidak kutemukan cemburu dalam
sikapnya. Dia santun dan berwibawa.

Mas Birru menggeser duduknya sebagai isyarat bahwa aku boleh duduk di sampingnya. Tapi ia terus
bicara pada tamunya. Tidak memperkenalkanku. Aku duduk memangku bantal sambil melirik
perempuan itu diam diam dalam diamku.

Jujur, ini tidak seperti yang kubayangkan. Kupikir Rengganis adalah gadis yang labil dan tidak tahu tata
krama. Kupikir Rengganis adalah perempuan yang sewot dan manja. Kupikir, aku akan mudah
menyingkirkannya karena Rengganis bukan tandinganku.

Tapi ternyata ia begitu kalem. Ia sama sekali tidak menampilkan keakraban kepada mas Birru. Mereka
layaknya teman biasa. Ia menyimak mas Birru bicara seperti temen teman menyimaknya. Kenyataan ini
membuatku makin pilu, sebab aku sadar, dia datang dalam kehidupan mas Birru lebih dulu dariku. Dia
menguasai dunia dunia mas Birru. Tentu saja dia memahami mas Birru melebihi siapapun di dunia ini.

"Sek bentar, tadi di mobil, kamu bilang filem apa yang sedang kalian garap, na?" Kawan mas Birru yang
bertubuh gendut bertanya pada Rengganis. Ia memanggilnya Ratna.

"Bukan filem, masih drama, buat mahasiswa dan pelajar kog, tentang Cleopatra. Ratu Syeba. Nefertiti.
Batsyeba. Mungkin juga Eleanor dari Aquitaine."

"Eleanor yang katamu dijuluki seorang ratu yang mengungguli seluruh ratu di dunia itu ya?" Temannya
berkaos hitam menyahut.

"Iya." Rengganis mengangguk. Senang karena merasa difahami. Mereka memang terlihat kawan yang
akrab sejak lama.

"Kenapa gak drama tentang pendekar perempuan di Indonesia, na? Atau wayang wayang perempuan? "

"Bertahap laah. Dari zaman kuno dulu." Dia terkekeh. Lalu menjelaskan kalau dia tidak menangani
langsung. Hanya bertanggung jawab dan membuatkan naskah saja. Dia sudah membentuk tim.
Kebetulan saja dia punya sahabat kaya raya yang tinggal di Eropa yang menyukai seni dan mau
mendanai pementasan anak anak muda yang kreatif. Dia meyakinkan teman temannya kalau ia akan
tetap fokus mengelola sebuah rubrik di majalah dan menjalani hobinya travelling. Drama drama hanya
kesibukan kecil.

"Berarti kapan kapan bisa bikin film di pesantren ya, Na?"

"Bisa pasti."

Mas Birru begitu antusias menyimak obrolan ini. Selanjutnya, aku tak mendengar apa apa lagi. Aku tidak
tahu apa yang mereka bahas. Aku merasa begitu bodoh dan tidak berwawasan. Dia ramah, supel dan
bisa melintasi jarak. Aku tahu sekarang, kenapa mas Birru senang mengajaknya berdiskusi.
Kulihat mas Birru menatapnya dengan penuh rasa kagum. Perempuan ini pastilah sangat sangat
menyenangkan. Tidak sepertiku yang malang. Pantas saja langitku tiada membiru. Kepalang awanku
berarak kelabu. Tuanku menghunus sembilu dalam bisu. Hingga harapanku musnah menjadi abu.
Ternyata perempuan ini menawan seperti Pelangi.

Melihat mas Birru tertawa bahagia saat menatapnya, jantungku serasa membengkak dengan kekuatan
yang nyaris meledakkan tubuhku dari dalam.

Semudah itu, Ia, Rengganis, membuat mas Birru terpesona. Sedangkan aku mati matian melawan
hasratku yang terpasung.

Semudah itu Rengganis membuatnya terbelalak kagum, sedang aku harus melewatkan malam malam
yang memilukan dalam kesepian.

Dia, Rengganis, pancaran pikatnya

berpendar-pendar. Sejak kapan mas Birru mengenalnya dan sudah berapa lama?

Saat aku tak sengaja melihatnya bertatapan dengan mas Birru, aku begitu terlunta. Hatiku tercabik.
Batinku tekoyak. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain mempersilahkan mereka makan.

Lihatlah mas Birru, yang kemarin sakit, sudah begitu sehat dan segar bugar. Ia makan begitu lahap dan
tidak memuji masakan istrinya. Dari kejauhan, aku menggigit bibir membayangkan mas Birru makan
lahap bukan karena masakanku, tapi karena kehadiran teman temannya, ditambah kehadiran
perempuan yang selama ini bertahta di hatinya.

Aku tidak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Kupikir, aku akan menemui Rengganis
dengan Aruna lalu melabraknya, ternyata ia datang ke rumahku dengan pembawaanya yang begitu
santun.

Aku yang pendiam, dia yang ceria. Aku yang tertutup, dia yang bisa bergaul dengan siapa saja. Apakah
Ummi sudah pernah bertemu perempuan ini di masa lalu? Aku ingin menyerah. Tapi aku ingat kata
Aruna bahwa namaku Suhita, dan aku adalah ratu. Aku tidak boleh kalah.

Tapi Ratu macam apa yang tak punya senjata sedang perang batinku begitu dahsyat?

Arjuna punya panah Pasopati. Kresna punya senjata cakra. Baladewa punya Nenggala yang mewarisi
kekuatan dewa seluruh angkasa.

Rengganis punya kerinduan dan kekaguman mas Birru. Dengan apa aku harus melawannya?

Selesai makan, ia membawa piring piring kotor ke dapur. Aku menahannya. Dia tetap melakukannya. Dia
bertanya berapa jumlah santri kami lalu kujawab seribu dua ratusan. Dia memanggilku mba Lina.

Lihatlah dia. Tidak ada sepercikpun kebenciannya tampak padaku. Dia bahkan tidak berbicara apapun
dengan mas Birru dan hanya sesekali kontak mata. Aku bergetar menyadari perempuan ini juga pantas
menjadi seorang ratu.
Aku menjerit dalam hati. Meredam tangisku sendiri. Aku ingin menyusul Ummi, mencari damai ke mbah
Soleh Darat, ke Sunan Prawoto, ke mbah Mbah Mutamakkin. Aku ingin bersama Ummi. Aku tidak ingin
menyaksikan pemandangan ini.

Mereka berpamitan dan tampak sangat akrab. Aku jadi tahu betapa berarti mas Birru dalam hidup
mereka semua. Hujan sudah reda. Mereka bersalaman dan memeluk mas Birru, mengucapkan
terimakasih atas jamuan kami. Aku menangkupkan telapakku di dada.

Rengganis tidak bersalaman dengan mas Birru. Ia memelukku dengan pelukan yang sulit kumengerti.
Tapi aku tahu, mas Birru sangat ingin mengatakan sesuatu.

Aku berdiri di sisi mas Birru, menyaksikan tamunya satu persatu masuk mobil. Mas Birru bersandar pada
pilar. Menatap mobil itu seolah di dalamnya ada permaisuri dan hendak ditandu dalam pengawalan para
prajurit.

Aku menyelinap ke kamar, menutup pintunya pelan, lalu duduk di sofa.

Badai isak tangis memenuhi dadaku. Aku tak kuasa lagi membendungnya. Aku ingat bahwa aku tak
punya sedikitpun kekuatan. Akulah bumi yang disiakan matahari. Sedang Rengganis adalah pelangi yang
dicumbu langit biru.

Aku terisak sambil menutupi wajahku. Air mataku tumpah. Aku merasakannya mengalir melalui jari-
jariku, turun ke dagu, aku tak bisa menghentikannya.

Ia seperti Sri kandi. Cantik, santun, berpengetahuan, dan dicintai mas Birru. bisakah aku setegar wara
Subadra yang membagi Arjuna kalau kelak mas Birru memintanya tinggal di rumah ini?

Tidak, itu tidak boleh terjadi. Masih ada Abah dan ummi. Mas Birru adalah mustika Ampalku. Aku harus
mempertahankannya. Atau aku akan hancur seperti Ekalaya.

Hujan turun lagi. Kali ini lebih deras. Aku menangis dalam gelap. Terisak dalam sunyi. Aku ingin lari
menembus hujan. Menghambur ke pelukan Ibuku.

Akulah Suhita, yang dilukai di kerajaanku sendiri. Tanpa satu orangpun membelaku.

Anda mungkin juga menyukai