Anda di halaman 1dari 4

Wanita Istimewa

Kulihat ponselku berdering dan bergetar kecil, dan tertera namanya dalam panggilan
tersebut. Ingin kuangkat, tapi aku tidak ingin berbicara dengannya. Sepulang nonton
bersama malam itu, tiba-tiba ada perasaan aneh dalam diriku. Semacam perasaan
bersalah yang berujung keinginan untuk menghindarinya.

Padahal sebelumnya aku begitu menggebu. Setiap akan bertemu wanita itu,
perasaanku sulit kuungkapkan bahagianya. Aku pikir perasaan semacam itu wajar
dimiliki setiap pria yang akan bertemu dengan seorang wanita yang dirasakan cocok
dengannya. Ya, cocok dalam dalaml hobi, pandangan dan pikiran, juga baik. Di
mataku, mba Ina, begitu aku sering memanggilnya, bagiku wanita yang sungguh
wah. Wanita istimewa.

***

"Aku enggak ngerti mau bicara apa sih film itu?" Suara Aina menggerutu begitu film
yang kami tonton dibioskop selesai diputar. Ia seperti menyesali telah menonton film
itu. "Pembuat film itu terlalu berlebihan dalam bereksprimen," katanya lagi.
Wajahnya tampak kusut. Aku diam saja di sampingnya.
"Mendingan tadi aku ke acara seminar novel katanya lagi.

Ya, tadi ia memang sempat ragu: apakah menonton film itu, yang memang sudah
lama kami rencanakaan tapi belum kesampaian, atau menghadiri acara peluncuran
cerpen di Bentara Budaya. Akhirnya, ia memilih menonton film karena ia ingin
membuatku bahagia.

Aku memang bahagia bisa nonton bersamanya. Beberapa kali acara nonton itu
tertunda. Pertama, sebabnya tak jelas. Sebelumnya, ia berjanji akan mengajakku
nonton, tapi pada hari yang ditentukan, ia tidak menelpon lagi. Aku pun enggan untuk
menelpon, takut dikira terlalu bersemangat.

Tapi, beberapa hari lalu, ketika aku iseng menelpon sekaligus memberi tahu nomor
baru ponselku, tanpa sadar aku bertanya mengapa minggu lalu ia tidak jadi
mengajakku. "Waduh, sorry, aku lupa," katanya di seberang. Ah, itu alasan basi,
batinku dalam hati. Tapi aku tidak berusaha untuk mendebatnya.

Dan Kamis lalu, ia pun memenuhi janjinya. Mba Ina sudah menelpon pagi-pagi dan
memastikan bahwa kami jadi nonton. Ia sudah hafal jadwal liburku, yakni hari
Kamis, tidak seperti kebanyakan orang kuliah yang libur pada Sabtu-Minggu.
Maklum, aku sengaja tidak mengambil mata kuliah di hari kamis. Alasannya simple,
buat refreshing.
Aku berangkat pagi, meskipun kami janjian ketemu jam enam sore. Bukan karena
aku terlalu senang, tapi aku berkunjung dulu ke rumah saudaraku di cilegon.

Dari sana, sudah hampir sore, aku langsung ke Mal Of Serang atau yang biasa orang
bilang MOS, tempat janjian kami bertemu. Aku sempat beberapa kali menelpon
memastikan apakah dia sudah sampai. Maksudnya, agar aku tidak harus terlalu lama
menunggu.

Ya, akhirnya memang dia yang duluan sampai di lobi bioskop, baru aku tiba sekitar
lima menit kemudian. Ia datang dengan memakai blus merah dengan hijab yang
menghiasi kepalanya. Wah, orang ini tampak anggun sekali, rasanya damai saat
melihat senyumnya.

"huu seharusnya cowok yang nunggu cewek, bukannya sebaliknya?" ia membuka


suara ketika kami bertemu di bioskop.
"Aku tadi berkunjung dulu ke tempat saudara mba.
Cie alasan. Hahaaa
Beneran mba
Iya iya becanda
***

Dalam perjalanan pulang, kami banyak mengobrol tentang apa saja. Tentang kerjaku,
kerjanya, tentang film-film bagus, dan bicara tentang hal-hal yang tak penting. Kami
bisa bercerita panjang, seperti kemacetan yang mendera kami malam itu.
"Di sini paling menjengkelkan," katanya sambil memandang keluar mobil. "Aku
pernah pulang jam sebelas malam, eee... di sini juga masih macet," katanya lagi. Itu
karena ada perbaikan jalan, yang belum selesai juga.
"kamu suka lewat sini Mba?" kataku.

"Iya, kalau pulang kerja yaa lewat sini" katanya. Ia terdiam sejenak. Tapi tiba-tiba ia
bersuara. "Sebentar, sejak kita kenal kamu selalu memanggilku mba. Apakah aku
mirip mba-mba?"
Aku kaget bukan main mendengar pertanyaan itu. Mataku menatapnya.
yaa gak gitu mba, mba kan lebih tua dari aku. Jawabku.

"beda tiga tahun doang aja. kalau boleh, jangan panggil aku mba, panggil dengan
namaku. aja, seperti teman-teman lain." katanya. Teman-teman lain dimaksud adalah
teman-temanku, yang kebetulan juga kenal dengan dia.

Oh ya, kujelaskan sedikit, kami bertemu pada sebuah sebuah workshop penulisan
novel. Ina yang dikenal sebagai penulis cerpen dan novel menjadi instrukturnya.
Selama sebulan, tiap minggu kami bertemu. Dari sekitar lima belas orang peserta
pelatihan itu, hanya aku yang memanggilnya Mba. Semua teman-teman lain
memanggil dengan nama panggilannya.

"Memanggil dengan nama panggilan lebih akrab lo. Kalau memanggil mba,
kedengarannya agak kaku. Memangnya aku mbamu apa,ha....ha....."
Kami tertawa.
"Aku panggil Ina aja ya," kataku.

"Setuju. Tapi ingat, kalau salah, aku denda ya. Sekali salah dendanya seratus ribu
rupiah. Lumayan dendanya buat makan...," katanya.
"Oke....Siapa takut."

Mobil terus berjalan, seperti siput yang sebulan tak makan. Malam pun terus
beranjak. Dan makin malam, jalanan tampaknya makin ramai. Apalagi ketika mobil
kami tiba di depan sebuah pusat perbelanjaan, mobil-mobil seperti tak bergerak.
Orang-orang lalu lalang menyeberang jalan. Bus-bus dan angkutan kota yang berhenti
di bagian kiri, turut membuat jalan makin berat melangkah.
"Kamu lapar?"

Aku tidak menjawab. Itu pertanyaan bodoh, batinku. Jam telah melewati angka
sembilan malam, mestinya pertanyaan itu tidak usah ditanyakan. Memang sih, aku
sudah makan nasi dan lauk ayam jam lima sore tadi, tapi mulutku sudah mulai lapar
sejak keluar dari bioskop. Tapi aku berusaha tersenyum.

"Aku juga lapar. Gimana kalau kita jajal tahu telur, kayanya enak," katanya. Aku
langsung mengangguk ketika ia mengajakku makan tahu telur, yang kutahu dari
teman-teman cukup sedap dan bikin ketagihan. Aku ingin sekali mencobanya.
"Ok otw tahu telur" teriak Ina dengan semangat
"Siap komandan." Jawabku tak kalah semangat

***

Tapi, setelah malam itu, ada perasaan aneh dalam diriku. Satu sisi, aku tidak ingin
menghindarinya, tapi pada sisi lain aku merasa bersalah dekat dengannya. Perasaan
bersalah itu makin kental ketika aku terbayang wajah anaknya yang pintar dan lincah.
Aku sempat ketemu dia dan anaknya Dea, bocah lima tahun itu, di sebuah mall di
Serang. Mereka, makan di restoran.

Aku tidak tahu apakah pertemuan itu kebetulan atau bukan. Yang pasti, aku tidak
pernah janjian dengannya untuk bertemu di mall tersebut. Tapi, aku begitu kaget
ketika melihat lelaki itu bersama Dea mampir di sana. "Habis belanja, si Dea ngajak
shopping" katanya ketika kutanya habis belanja apa.

Kemudian wanita itu menjelaskan bahwa Dea memang suka menemaninya belanja
seperti sekarang ini.

Sempat serba salah juga aku waktu itu. Mestinya, aku menjamu mereka. Tapi jelas
aku tidak kuat untuk itu. Aku malah mencari alasan dan langsung buru-buru pergi.
Aku makin tak enak ketika mereka mengajakku makan bersama. Aku duluan yaa.
Lain kali kita ketemu, kita makan bareng deh" kataku. Dea menyalamiku tanpa
diminta oleh Ibunya. "nanti kita shopping bareng yaa Dea," kataku. Bocah kecil itu
tersenyum sambil mengangguk.

Ah, bayangan itu makin membuatku bersalah. Aku takut pertemuan-pertemuanku


dengan wanita itu justru diterjemahkan lain oleh orang-orang yang melihatnya, boleh
jadi teman-temannya, teman-teman suaminya, atau bahkan suaminya sendiri. Meski
kuakui, aku merasa cocok dengan dia, tapi sekali lagi, aku tidak ingin membuat
keluarga mereka bermasalah karena aku.

Boleh jadi, memang aku merindukan seorang sosok wanita dewasa. Wanita yang bisa
menemaniku. Wanita yang mampu memberi masukan-masukan dan nasihat-nasihat.
Wanita yang yang manja. Dan ah, aku menemukan semua yang aku mau pada wanita
itu. Aku memang sudah lama kehilangan sosok Ibu, yang meninggal ketika aku masih
kecil. Dan sekarang, ayah juga menikah lagi dengan wanita karir.

Jika boleh, aku ingin sedikit bercerita tentang wanita karir istri baru Ayahku.
Namanya, Rika. Ia wanita yang cukup cantik, tinggi langsing, mengaku kerja di bank.
Tiap hari berangkat ke kantor menggunakan mobil Kijang dan baru pulang pada
malam hari. Ia baru pulang ketika larut malam. Nah, selalu saja, ketika pulang, aku
dengar ia ribut-ribut dengan Ayahku.

Sejak itu, aku makin membenci wanita itu. Kemudian, aku meminta pada Ayah unuk
menceraikannya dan aku meminta untuk sementara tinggal di rumah nenek di Serang.
Sejak itulah, waktu aku kelas satu SMA, aku berpisah dengan Ayah di Solo dan
berangkat ke pulau Serang. Selesai SMA, aku sempat kuliah di sebuah perguruan
tinggi swasta, tapi karena aku kasihan sama kakek-nenekku yang kelihatan kesulitan
membiayai kuliahku, aku memutuskan berhenti dan bekerja. Tapi, beberapa bulan
lalu, wanita itu hadir dan seperti membawa sosoknya yang kuimpikan.

Aku berusaha tidur, tapi pikiranku tetap melayang-layang. Dan tiba-tiba, sekali lagi,
telepon genggamku berbunyi, dan nama wanita itu tertera di sana. Lagi-lagi, aku ragu
untuk mengangkat. Bukan ragu sebetulnya, tapi tidak ingin mengangkat. Beberapa
menit setelah dering itu berhenti, telepon genggamku kembali berdering. Aku
mengambilnya, menimbang-nimbang, sambil menatap lekat-lekat nama yang muncul
di layar ponsel itu.

***

Dua bulan kemudian, tanpa sengaja, kami bertemu di toko buku. "Waduh, kamu kok
jadi susah dihubungi. Salah seorang produser tertarik dengan sinopsis ceritamu yang
kamu kirim dulu ke aku. Ia minta kamu bertemu dia, tapi aku sulit menghubungimu.
Ya sudah, kesempatan itu lepas," katanya enteng.
Aku ternganga mendengar ucapannya.***

Anda mungkin juga menyukai