8. SENANDUNG SENJA
Kau adalah apa yang kau pikirkan tentang dirimu
Namun...
”Walaikumsalam warohmahtullah...”
”Biasalah, ia bekerja.”
”Assalamu’alaikum...”
”Bagaimana perjalanannya?”
”Pasti Kak.”
”Siapa?”
”Ya, semoga.”
”Sedih?”
”Ya, mengingatkanku akan gadis yang aku sukai,
yang takkan pernah aku miliki.” Raut wajah lelaki itu
berubah sedih. Budiman jadi merasa bersalah telah
bertanya.
”Ya?”
”Baiklah, mari...”
”O begitu...”
”Saya tahu.”
*
Setelah yakin akan kesehatannya, Budiman keluar
dari rumah sakit. Seperti yang telah disepakati,
Budiman pun kini tinggal di panti asuhan Harapan,
panti asuhan yang dikelola oleh Intan dan tantenya.
”Tapi...”
”Tante!”
Intan tampaknya sangat marah. Ia langsung saja
masuk ke dalam rumah. Budiman tampak khawatir
dan berniat menyusul Intan, tetapi keburu dicegah
Amanda.
*
Budiman sedang makan di ruang tamu ketika
Intan keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi
membawa beberapa buku.
”Iya.”
“Alwi...”
“Dimana?”
”Kau?”
*
Suasana malam itu begitu ramai. Malam seolah
berganti pagi. Banyak orang berlarian di jalanan
mencoba menyelamatkan rumah yang terbakar itu.
Rumah besar milik bapak kepala desa.
*
”Intan...Intan...bangun Nak....”
”Aneh?”
”Sama-sama.”
*
Di salah satu sudut masjid itu, terlihat seorang lelaki
tengah melakukan sholat. Lelaki itu sholat dengan
khusyu’nya hingga tak menyadari bahwa sedari tadi
seorang gadis telah menunggunya di luar pintu
masjid. Tak lama lelaki itu telah menyelesaikan
sholatnya dan kemudian berdoa. Selesai berdoa, lelaki
itu berdiri dan melangkah keluar dari masjid.
”Kemana ya?”
tidur?”
”Tentu...”
***
”Kenapa senyummu...”
”Layin?”
”Satu TK?”
”Lalu?”
”Maksudmu?”
”Mengenai apa?”
”Tadi, saat bertemu dengan Nemo. Saat itu...
”Benarkah Paman?”
”Ya,” Nurali mengangguk.
*
”Papa mau kemana?” tanya Layin melihat Nurali
mengenakan jas hujan.
”Paman, ada...”
***
MEMBURU BELANGA SUCI
*
Bus akhirnya tiba di tempat tujuan. Rombongan panti
asuhan pun mulai menikmati wisata mereka.
Pemandangan hutan konservasi yang mereka lihat benar-
benar menyejukkan mata. Anak-anak panti terlihat sangat
menikmati wisata mereka.
”Tambang intan?”
“Mas?”
”Memangnya kenapa?”
”Nah, suara air itu pasti berasal dari sungai. Kita harus
segera ke sana. Kalau kita sudah mendekati sungai, itu
tandanya kita sudah dekat dengan tempat belanga itu.”
turun.
”Apa!?”
”Tapi...”
”Alhamdulillah...”
”Mengenai...mengenai...
Budiman berjalan pelan menuju ke arah rumah
panggung kayu bergaya adat yang ada di depannya.
Rumah itu tampak tua dengan ukiran-ukiran khas suku
Dayak di dinding kayunya. Tampak ukiran orang-
orang Dayak tengah berperang dengan memegang
mandau dan perisai talawang*. Budiman melangkah ke
arah tangga rumah itu. Ia lalu menaiki satu-persatu anak
tangga dan kemudian sampai di atas.
”Siapa Rusdi?”
”Hei!”
***
MENJALIN MIMPI DI HUTAN KALIMANTAN
”Maksudmu?”
”Budiman?”
”Begitu ya...”
”Maksudmu?”
”Ya, seperti ini. Tinggal di dalam hutan hanya
berkawankan binatang dan juga pepohonan liar. Apa kau
tidak berniat untuk kembali ke kota? Desa mungkin?”
*
Budiman tengah memakan pisang pemberian Tio
ketika Tio menghampirinya.
”Kedengarannya menarik.”
”Kenapa?” tanyanya.
”Ada apa?”
”Lalu?”
”Kina....Kina...”
*
Tio dan Budiman kini berada di atas sebuah rakit
yang tengah menyusuri sungai. Keduanya tampak
tengah mendayung rakit itu.
***
TEMAN LAMA YANG DINANTIKAN
*
Bulan ini adalah bulan Ramadhan. Budiman,
Intan, dan Amanda sebagai seorang muslim, wajib
melaksanakan ibadah puasa. Bulan yang penuh dengan
berkah. Meskipun begitu, Budiman masih saja belum
mendapatkan surat panggilan bekerja. Ia bosan menanti.
Apakah ia akan terus seperti ini?
”Sial...kenapa begini?”
”Benarkah?”
”Silakan.”
”Maksudmu?”
*
Sepulangnya mengantar anak-anak panti mengaji,
Budiman terkejut melihat Intan berdiri di teras panti
dengan wajah khawatir.
”Apa?”
”Melihatku sedih?”
”Ah, Thur, jangan seperti itu. Kita ini teman, kita ini
saudara. Saudara seiman. Kita harus saling membantu
dan mengingatkan,” sahut Budiman merasa tidak enak.
***
SENANDUNG SENJA
”Tapi bu...”
”Hebat!”
”Siapa lagi dong kak... Bona gitu...” bangga
Bona sembari bergaya. Budiman dan Intan tertawa
melihatnya. Di sela-sela tawanya, Intan melirik pada
gambar yang dibuat Bona. Itulah gambar keluarga
besar panti asuhan yang selama ini dekat dengannya.
Yang selama ini hidup bersamanya. Dan sayangnya,
sebentar lagi harus ia tinggalkan.
*
Budiman duduk di tempat kerjanya
dengan gelisah. Ia terus-menerus memikirkan
Intan. Entah mengapa ia ingin membahagiakan gadis
itu saat ini.
”Oke...”
”Boleh.”
Budiman berjalan ke tukang penjual es krim. Ia
membeli dua buah es krim dan membawanya pada
Intan yang tengah menggendong Heru kecil
dengan kain yang dililitkan di tubuhnya. Heru kecil
terlihat senang. Tak henti-hentinya anak bayi yang
lucu itu tertawa kecil. Budiman dan Intan yang
melihatnya pun menjadi senang.
”Kau senang?”
*
Seusai dari taman hiburan, Budiman dan Intan
berjalan pelan menuju ke panti asuhan. Selama
perjalanan itu mereka saling bercerita. Tak jarang
Intan tertawa mendengar kisah-kisah konyol
Budiman. Sementara itu Heru kecil telah tertidur
pulas dalam buaian Intan. Anak itu terlelap dengan
senyum kecil tersungging di bibir mungilnya.
”Maksudmu?”
kak...”
”Matahari terbenam...”
Nana..nanana..... Nana..nana.......na.........
Nana..nanana..... Nana...nana...na...............
*
Amanda memandang foto kedua kakaknya di
atas tempat tidurnya. Malam itu ia tidak bisa tidur. Ia
memiliki firasat tidak enak mengenai hal ini. Karena
itulah ia memutuskan untuk memandang wajah
kedua kakaknya yang telah merawatnya hingga ia
dewasa. Sementara itu, Fathony yang telah menjadi
suaminya tertidur pulas di samping tubuhnya.
”Intan!!!”
Seketika Amanda dan Fathony terbangun
mendengar teriakan itu. Mereka langsung menuju ke
asal suara.
”Nelly, Alif...”
”Halo...”
***