Anda di halaman 1dari 55

MEDINA

Karya : Wikan Rusdi


Biasanya seorang wanita merasa malu untuk mendahului mengatakan cinta kepada
lelaki. Tetapi Medina, wanita 30 tahunan yang telah menyandang gelar S-2 dan aktif
di LSM, mencoba mendahului mengutarakan maksud hati kepada lelaki, meskipun melalui
orang lain (mak comblang). Namun ternyata sang lelaki idaman tidak menyambutnya.
Kebetulan ia ditawari untuk melanjutkan studi S-3 di Kanada. Maka disambutlah
peluang itu dengan penuh harapan.
Ternyata tanpa disangka tanpa dinyana, disanalah jodoh dipertemukan. Lain bangsa,
lain ras dan lain bahasa, bukan menjadi penghalang cinta mereka. Namun tak mudah
menjalani hidup di negeri orang. Karena latar belakang agama, mereka menghadapi
kesulitan hidup di negeri dingin itu.
*******
Medina #1
Cerbung
Karya : W. Rusdi
Perempuan muda berambut ikal di depan Medina terisak-isak perih.
“Saya sudah nggak tahan, Mbak Dina. Saya ingin bercerai. Harus. Dua tahun ini saya
mengalah hanya karena anak. Tapi saya capai lahir batin. Dia tak hanya menyakiti
fisik saya yang semakin kurus, tapi juga hati saya dengan perempuan-perempuan
simpanannya tanpa merasa bersalah” tangisnya.
Medina memeluknya dan membiarkan tangis sang perempuan membanjir membasahi lengan
bajunya.
Entah dia ibu muda ke berapa yang ia dampingi dalam konseling KDRT di bawah LSM
Karisma yang ia menjadi salah satu pegiatnya. LSM ini lebih seperti lembaga bantuan
hukum cuma-cuma untuk membantu wanita yang mengalami kekerasan rumah tangga.
Dan ternyata jumlahnya kian banyak, membuatnya ikut-ikutan perih jika memikirkan
tentang pernikahan. Bukankah harusnya pernikahan itu menjadi pelabuhan yang
membahagiakan.
Kenapa justru sebaliknya?. Padahal mereka rata-rata sudah mengenal pasangan
sebelumnya.
Bahkan ada yang sudah melewati masa pacaran beberapa tahun.
Lalu ia pun berkaca pada dirinya sendiri yang tahun ini menginjak 30 tahun dan
belum ada tanda-tanda pasang janur kuning di rumah.
Sementara semua penghuni rumah sibuk bertanya-tanya terus. Kapan nikah, kapan
nikah?. Seperti menanyakan cemilan pinggir jalan saja.
"Kapan mau nikah, Nduk?". Dari sekian kepala yang bertanya maka pertanyaan mama lah
yang paling sering membuatnya tersayat.
“Ayolah please Dina, positif thinking. Tak semua laki-laki seperti suami-suami
klien kamu itu. Yang baik dan bijaksana masih banyak di luar sana” ujar Mbak Yaya,
rekannya di kantor.
Ia peneliti senior, entah sudah berapa ratus kali menangani masalah sejenis.
Jadi kru LSM Karisma terdiri dari dosen dan peneliti-peneliti perempuan muda di
bidang sosial, hukum dan kemasyarakatan. Ibaratnya mereka tempat mengadu. LSM ini
mendapat support dana dari berbagai kalangan yang concern pada dunia perempuan.
Medina bergabung sejak 2 tahun lalu setelah terdaftar sebagai asisten dosen
sekaligus mahasiswi pasca sarjana. Selain sebagai tempat untuk mendapatkan sumber
data penelitian, ia juga ingin jadi penyeimbang. Medina ingin membantu permasalahan
perempuan namun dengan pendekatan agama tentunya. Beberapa rekannya memang ada yang
mengikuti aliran feminis dari yang biasa hingga akut. Dan baginya itu hal yang
harus diluruskan.
“Iya sih, Mbak. Tapi njaringnya yang susah” gurau Dina kembali menimpali Mbak Yaya
perihal jodoh. Tentu saja ia hanya sebatas bercanda.
“Ikan kali dijaring. Atau mau enggak saya kenalin dengan seseorang. Dia single juga
sepertimu. Pekerja keras, bertanggung jawab deh pokoknya.”
Medina cuma nyengir dan langsung pamit menyalami Mbak Yaya. Ia yakin Mbak Yaya
nggak serius. Karena ia tahu persis standar pria idaman Medina.
***
Jodoh itu seperti kupu-kupu dengan sayap warna warni yang bertengger di daun
jendela. Menarik dibahas tapi susah dipegang, baru dekat sudah kian kemari terbang.
Medina bukan tak mau buru-buru menikah, bukan tak mau juga dijodohkan. Hampir semua
keluarga besarnya urun rembug untuk mencari solusi agar ia segera melepas
kesendiriannya.
Baik kakek, nenek, mama, papa bahkan om dan tante. Semuanya. Seolah jika belum
berhasil menikahkan Medina, mereka belum bisa berbahagia. Belum bernafas lega.
Bagi Dina kondisi ini tak mengenakkan sekaligus menyedihkan dan lama-lama
membebani. Ia pernah dikenalkan oleh teman-temannya, baik yang di kampus maupun
pengajian. Tapi ya namanya belum jodoh.
Bahkan yang ta'arufpun gagal karena tiba-tiba sang lelaki mundur teratur karena
tahu dia sarjana hukum. Lah emang kenapa?. Memangnya kalau perempuan ahli hukum,
suaminya bakal sering kena hukum?. Ha..ha.. ngaco.
"Ma, mencari laki-laki mungkin mudah tapi mencari suami yang mau mengayomi Dina
dalam suka dan duka, jadi pemimpin rumah tangga itu tak gampang. Dina nggak pilih-
pilih, tapi Dina terus berdoa agar Alloh memberikan sosok yang tepat buat Dina."
"Din, jangan terlalu lama. Ingat Nak, usiamu tahun ini 30 tahun. Adikmu saja sudah
punya 2 anak" papar Mama seperti yang sudah-sudah.
Aih Mama, kenapa engkau tak bersyukur, dan hilang gembira hanya karena Dina belum
ketemu jodoh, pikir anak sulungnya itu.
Mama terdiam sesaat.
"Din, kenapa tak kau coba memperbaiki hubungan... maksud Mama, dicoba lagi
dilanjutkan perjodohan sama Nak Jodi. Kemarin Mama ketemu dengannya. Sepertinya dia
masih mengharapkanmu"
"Tidak Ma, ..sekali dia kasih persyaratan nanti kalau nikah, Dina harus lepas
jilbab saat itu pula Dina nggak sreg sama Jodi Ma. Bagaimana bisa, belum apa-apa
sudah sok mengatur ini dan itu."
Medina ingat Jodi, lelaki kesekian yang dijodohkan Mama dan keluarga untuknya.
Hanya karena mereka takut akan bayang-bayang 30 usia Medina. Mereka bertambah
khawatir omongan kiri kanan tetangga tentang statusnya yang masih jomblo.
Sedangkan Medina sendiri yang menjalani berusaha teguh dalam kesabaran. Ia yakin
makin sabar, makin baik jodoh yang akan ditetapkan Alloh untuknya.
"Mama nggak usah sedih ya mikirin Dina." Akhirnya ia pun memeluk Mama dengan sejuta
haru.
"Insya Alloh Dina akan ketemu jodoh dan menikah. Optimis!" serunya menatap mata
Mama yang seolah menjawab pelan.
"Tapi kapan itu datang?"
***
Namanya Rahman. Mahasiswa S2 sama sepertinya. Mereka sama-sama aktif di Ikatan
mahasiswa Pasca.
Tapi usianya 3 tahun di bawah Dina. Sebenarnya, Medina nggak terlalu tertarik
dengan Rahman akan tetapi sikapnya yang dewasa, kebapakan dan wawasannya yang luas
jika berdiskusi di kelas membuat Rahman memiliki tempat tersendiri di hati dan
pikiran Dina.
Dan satu lagi yang jelas Rahman pun masih jomblo alias sendiri. Medina tahu Rahman
teman dekat Mas Fikri suami Putri sahabat karibnya yang kini sibuk bisnis online
dan baru melahirkan anak ketiganya. Entahlah, Dina merasa Putri bisa membantunya.
"Maksudmu, kau akan meminta Rahman untuk jadi suami?. Melamarnya?" Putri agak
terpekik seakan tak percaya dengan tekad Medina yang lebih cocok dibilang nekad.
"Ya..ada yang salah?" ujar Medina. Baginya ini bukan keterpaksaan karena bayang-
bayang 30 yang kerap dipermasalahkan Papa Mamanya namun lebih karena tuntutan
ikhtiar yang diperintahkan agama.
"Tapi Din,...bagaimana kalau dia menolak. Kau nanti akan malu sendiri." jawab
Putri.
"Aku yakin dia lelaki muslim yang baik. Pasti tak akan ember pada siapa pun"
"Kau jatuh cinta padanya?" Putri sedikit tersenyum. Ia tahu betul watak Medina dari
dulu jika punya suatu keinginan pasti akan diperjuangkannya habis-habisan.
"Cinta?"
Medina tersentak dalam hati. Entahlah. Sepertinya kosa kata itu tak diingatnya lagi
di usianya sekarang. Ia tak mampu mendefinisikan perasaannya seperti apa.
Tapi apakah benar-benar salah jika wanita melamar pria?
***
Medina berusaha meyakinkan Putri yang masih terbengong tak percaya di tempat
duduknya.
"Ini bukan masalah cinta, Put. Kau tahu aku bukan orang yang gampang jatuh cinta.
Cinta urusan belakangan karena bisa kita minta bagaimana rasanya sama Alloh.
Tapi ini soal pernikahan yang sakral dan jangan sampai ada kebuntuan di tengah
jalan hanya karena harapan yang terlampau jauh dan tak bisa direalisasikan karena
gagal memahami pasangan."
Sungguh Putri agak bingung dengan kalimat Medina yang terkesan kelas berat.
"Put, aku sudah menangani pasien-pasien KDRT puluhan orang bahkan diantaranya ada
yang suaminya tokoh di masyarakat dan awalnya jadi imam yang baik bagi mereka. Tapi
itu ternyata tak cukup. Dan aku tak mau perkawinan yang kujalani kelak hanya
sekedar melegalkan hubungan perempuan dan laki-laki. Sedikitnya aku sudah punya
gambaran siapa Rahman, bagaimana dia dan visi perjuangannya ke depan. Itu saja yang
kupegang".
Wah kedengarannya idealis sekali.
"Bukankah kau bilang, jodoh harus dikhtiarkan?" lanjutnya membuat Putri sedikit
tersudut.
"Iya...tapi kalau perempuan duluan yang meminta aku jarang dengar, sepertinya
kurang baik begitu" ujar Putri dengan nada polos.
"Put, kau tahu hadits yang dikisahkan oleh Anas Bin Malik tentang seorang perempuan
yang menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah?. Waktu itu anak perempuan Anas
menghardik bahwa perempuan itu tidak baik karena tidak tahu malu, tapi oleh Anas
justru sebaliknya ia katakan bahwa dia perempuan baik karena memilih dan
menginginkan Rasulullah yang shalih. Dari situ lah Imam Bukhari selaku periwayat
hadits membuat kesimpulan bahwa seorang muslimah dibolehkan melamar laki-laki
karena keshalihannya ” papar Medina.
Putri mengangguk takjub kepada sahabatnya. Sungguh untuk yang satu itu Putri memang
paling salut sama Medina, gadis kuat dan cerdas yang ia kenal sejak SMA.
***
“Apa rencanamu selesai tesis ini, Din?” Bu Dahlia, dosen pembimbingnya yang
bergelar profesor itu paling semangat jika bicara kemajuan anak bimbingannya. Hari
ini Medina melengkapi lembar pengesahan untuk mengikuti ujian sidang dalam pekan
ini.
“Yaaa.., tetap mengajar dan meneliti lah Prof” jawab Medina kurang semangat. Ia
memikirkan jawaban Rahman yang ditunggunya pekan ini juga.
“Ada tawaran menarik. Nanti saya forward ke kamu. Saya yakin kamu pasti bisa dan
lulus jika mengambilnya.” Medina tertawa penasaran. Apakah dia juga akan
mengenalkan seorang jejaka untuknya seperti halnya keluarganya?. Kayaknya sih nggak
mungkin.
“Apa itu?”
“Beasiswa S3 ke Kanada. Cocok banget dengan bidang yang kamu ambil. Aplikasi paling
lambat minggu depan.” Waduh. Baru juga hampir selesai, mau kuliah lagi?. Padahal ia
tengah menanti sesuatu yang lebih mendebarkan jiwa dan membuatnya susah tidur.
“Tapi kan ijazah saya belum keluar Prof“ ujar Dina ngeles.
“Tak apa, nanti saya kontak rekan saya di sana. Dulu kan saya kuliah di sana. Bisa
nyusul. Yang penting kamu harus lulus tes online saja.”
Dina tak mengiyakan atau juga menolak. Ia hanya bilang nanti dipikirkan kembali.
Dan setelah ujian sidang berlalu dengan sukses seiring usaha kerasnya untuk lulus
tepat waktu karena tugas belajar dari kampus tempatnya mengajar malam ini Medina
dikejutkan suara telepon dari Putri.
“Bagaimana Put?” katanya tak sabar. Sungguh mendengar jawaban Rahman lebih
membuatnya was-was ketimbang ujian sidang yang harus dilaluinya di depan dosen
penguji.
“Sebenarnya sudah dari kemarin. Tapi kata Mas Fikri hari ini kamu ujian sidang jadi
saya tunda dulu. Sebelumnya aku ngucapin selamat ya sudah lulus”
“Ok. Terima kasih”ucap Dina datar.
“Dina, maaf aku belum bisa membantumu.” kalimat Putri menggantung.
“Maksudmu?”
“Rahman tak bisa menerimamu “ jawab Putri bagai pukulan telak di dada Dina.
“Apakah…apakah dia memberikan alasan?” kejar Medina berusaha tenang meski tentunya
jiwanya agak terbakar.
“Tidak, dia hanya bilang kamu terlalu baik untuknya”
What?!!. Alasan macam apa itu?.
“Hanya itu?”
“Iya. Sabar ya Din. Insya Alloh masih banyak pria shalih di dunia ini. Dia yang
paling tepat untukmu. Cuma mungkin nggak sekarang, dan orang itu bukan dia. Aku
yakin”.
Medina terdiam mencoba merenungi kalimat Putri. Ya, ia sudah menyiapkan resiko itu
seperti kata-katanya dulu.
Meski terpukul, ia harus tetap tegar dan berusaha selalu optimis. Cara lain adalah
mencari rahasia hikmah dari semua ini.
Apakah ini cara Alloh memberinya kesempatan untuk kuliah lagi?.
Ssst...Dina, kalau nanti kamu bergelar doktor apa nggak semakin susah dapat
jodohnya?. Bisiknya bertalu-talu.
Tapi, itu kesempatan baik, Din. Daripada ngejar jodoh mati-matian tapi hasilnya
belum pasti juga. Sisi yang lain ikut bicara.
Di perpustakaan Medina bertemu Rahman. Lelaki itu tampak canggung menyapanya.
"Mbak Dina, maafkan saya"
"Untuk?" Jawab Medina tertunduk. Baru terasa malunya sekarang. Kenapa ia berani dan
nekad melamar dia?. Meski lebih muda tapi dia begitu tenang berwibawa, mungkin
karena fisiknya juga cukup menjulang.
"Tentang yang disampaikan Bang Fikri" ujarnya.
"Nggak papa. Nggak masalah"
"Saya tak bisa menolak gadis pilihan Bunda saya di Padang. Dia masih adik kelas
saya waktu S1."
Buat apa Rahman menjelaskan. Lelaki muda akan memilih sosok 'Aisyah' daripada
'Khadijah'. Bukankah itu hal yang wajar dan manusiawi?.
***
Jodoh itu seperti kupu-kupu dengan sayap warna warni yang bertengger di daun
jendela. Menarik dibahas tapi susah dipegang, baru dekat sudah kian kemari terbang.
Medina melambaikan tangan kepada Papa Mama dan keluarganya yang dengan derai mata
melepasnya di Soekarno Hatta.
Bismillah, Kanada I’m coming, bisiknya. Dina yakin ini keputusan yang tepat. Bukan…
bukan karena ia ingin melarikan diri dari kenyataan apalagi bayang-bayang 30 itu.
Tapi ia yakin akan rencana Tuhan. Rencana Alloh dibalik sebuah kesempatan yang
dimudahkan. Ia lulus tes beasiswa dan aplikasinya pun diacc begitu mudah.
Dukungan Profesor Dahlia selaku pembimbingnya makin membuatnya semangat. Semua
persiapan terlewati dengan lancar. Bukankah itu juga rejeki dan jodoh?
Sehari sebelum keberangkatan kemarin Medina menerima undangan pernikahan dari
Rahman. Sosok yang sempat mencuri hatinya meski mungkin belum disebut jatuh cinta.
Ia tak cemburu atau bahkan mencoba mencari celah untuk membenci Rahman. Bagaimana
pun pemuda itu berhak untuk menentukan sikapnya sendiri.
"Medina, jangan sedih soal jodoh. Siapa tahu belahan jiwamu ada di Montreal,
Kanada." ujar Prof Dahlia tersenyum.
"Ah Prof bisa aja. Saya sudah serahkan hidup saya sama Alloh. Jodoh maupun rejeki.
Mohon doanya ya Prof" Mata Medina berkaca-kaca memeluk dosen pembimbingnya yang
sudah ia anggap seperti ibunya sendiri saking dekatnya.
Setelah setengah jam pesawat take off, tiba-tiba ia teringat bungkusan coklat
pemberian Prof. Dahlia kemarin. Dosen berusia lima puluhan itu mewanti-wanti agar
membukanya nanti, jika ia sudah terbang keluar dari tanah air. Spontan Medina
penasaran. Ia pun membukanya. Sebuah buku motivasi dan pengalaman perjalanan,
pengarangnya Nolan J. Ramirez.
Ia belum tertarik untuk membacanya. Dibiarkannya buku yang masih bersampul plastik
rapi itu. Sehebat-hebatnya motivasi dari orang lain, tetap motivasi dari diri
sendirilah yang harus dibangkitkan.
Come on Medina, keep on spirit!. Lupakan Rahman dari kepalamu.
***
Seorang perempuan bercelana jins sepatu boots dengan rambut dikuncir menyapa Medina
di Bandar Udara Internasional Pierre Elliott Trudeau, Montreal.
"Hai, apa anda Medina?. Medina Pratomo?" Tanyanya dalam aksen inggris Amerika.
Prof Dahlia kasih pesan bahwa akan ada kenalannya yang akan menjemput dia di
Bandara Trudeau, di Kanada.
"Aku Jeane. Mrs Dahlia sudah menghubungi kami" Dia menyalami Medina dengan tingkah
bersahabat.
"Oh thanks. Kupikir kenalan Prof Dahlia seorang ibu-ibu paro baya" Gurau Medina
sambil melirik gadis periang itu.
"My brother. Aku cuma diminta menjemputmu dan mengantar ke apartemen tempatmu
tinggal selama di sini. Okay welcome to Montreal, Medina!." Mereka berjalan
beriringan. Medina menarik kopernya yang padat berisi.
Tak jauh di belakang mereka seorang lelaki dewasa mungkin usianya 35 tahunan
mengikuti mereka. Ia mengenakan sweater coklat. Kulitnya putih dengan mata biru.
Jika tak bercambang yang menutupi pipi dan rahangnya sekilas dengan hidungnya yang
tinggi ia mirip perdana menteri negara tersebut, Justin Trudeau.
"Ternyata dia lebih cantik dari fotonya" gumamnya tersenyum.
Bersambung#2
Medina #2
Cerita bersambung
Sesaat memasuki MGU alias McGill University, di Kota Montreal, Medina sudah
terkesima dengan bangunan-bangunan keren, klasik, dengan bentuk kerucut-kerucut di
atasnya. Seperti kastil-kastil di buku dongeng.
Taman hijau menghiasai area kampus. Indah dan sejuk terasa apalagi beberapa pohon
maple yang tumbuh tengah menggugurkan daunnya. Semarak menutupi rumput.
Daun maple merah itu menjadi lambang negara tersebut.
Medina tak mengira ia akan sampai di sini. Bumi Alloh bernama Kanada di salah satu
provinsinya yang terkenal padat dan ramai, Provinsi Quebec.
Pagi itu ia mengenakan celana panjang hitam sedikit longgar dengan coat biru
dongker dibawah dengkul . Kerudung merah marun membuat pipinya terlihat putih. Ia
belum terlalu beradaptasi dengan cuaca Montreal yang sejuk.
Memasuki kelas sudah ada puluhan kepala. Wah...rata-rata mereka sudah berusia.
Namanya juga S3. Calon peraih gelar Ph.D. Doctor of Philosophy.
Sambil nunggu dosen mereka berkenalan sebisanya kiri kanan. Dan jumlah mereka
kurang lebih 25 orang berasal dari segala penjuru dunia. Ada yang dari Asia 3
orang. Ken, cowok putih bermata sipit dari Jepang, Meghan dari Filipina dan Medina
sendiri. Indonesian!.
Lainnya beragam ada yang dari Perancis, Turki tapi rata-rata dari Kanada sendiri
dan Amerika Serikat tetangga negara.
Jam 9 tepat, seorang lelaki berjas hitam mengenakan dasi biru bergaris masuk
melalui pintu satu-satunya itu. Wajahnya terlihat charming.
Okay, seminggu di Kanada, Medina sudah menyimpulkan bahwa warga di sini cukup ramah
dan welcome. Bahkan ia kerap mendengar kata "sorry" terucap beberapa kali. Layaknya
basa basi orang Indonesia. Bentar-bentar bilang maaf padahal lebaran masih lama.
Ha...ha.
Semua mata memandangnya penuh fokus. Ia melirik Meghan, cewek Filipina yang
ternyata masih jomblo sepertinya tampak memandangi makhluk di depan screen itu tak
berkedip.
"Wow...He looks like Justin...Justin Trudeau" bisiknya ke telinga Medina.
Jidat gadis itu mengernyit. Masak sih?
"But he is a blanket" canda Medina untuk mengartikan brewokan yang menghiasi
pipinya.
Mereka terdiam sesaat waktu sang dosen mulai introducing dirinya. Tertulis di slide
besar-besar. Prof. Nolan James Ramirez.
Widih...masih muda sudah bergelar profesor?. Ya ampun efektif amat umurnya, jangan-
jangan dia tak pernah bercanda sedikitpun selalu serius, gumam Medina.
Gadis itu seperti mengingat sesuatu. Ia seolah pernah membaca nama itu tapi di mana
ya?.
Ia menyesali kenapa daya kognitifnya mendadak tumpul gegara profesor muda di
depannya?.
"Call me Nolan. I'll teach and accompany you with Environment and The Law" ujarnya
tertawa.
Kayaknya sih nggak garing, Medina segera meralat kesimpulannya.
Dosen tegap yang ternyata sudah profesor itu tak langsung cuap-cuap materi. Tapi
ngajak berkenalan dulu. Satu-satu dari mereka disuruh nyebutin nama dan asal dari
negara mana. Wah kayaknya pengen mencitrakan kalau dirinya sangat friendly.
"I'm Medina from Indonesia" ucap gadis itu dan seketika melirik wajah cerah sang
dosen.
"Medina, are you from Aceh?" Gadis itu terkaget. Tak disangka Mister Nolan akan
menanyainya. Padahal yang lain tak ada satupun yang direspon.
Gadis itu mendadak gelagapan.
"My Mom. She's Aceh. But My Pa from Java." Medina mengoreksi dalam hati, tapi Mama
juga nggak Aceh banget soalnya lama tinggal di Jakarta.
Aih, Prof Nolan tersenyum humble. Mungkin karena Medina paling muda dan beda
sendiri kali di antara mereka. Ya satu-satunya yang berjilbab.
Selesai mengajar, para mahasiswa baru itu mengerubunginya. Entah nanya apa saja.
Mungkin pada minta nomer seluler atau alamat email. Atau jadwal ujian?. Ya ampun
niat banget, baru juga masuk sudah mikirin ujian.
Medina masih jengah untuk sok akrab dengan dosen yang baru dikenalinya itu. Biarlah
nanti nanya teman saja ke Meghan atau Ken, mereka sepertinya seumuran jadi lebih
enak buat komunikasi.
Medina duduk di kursi taman nunggu Meghan yang lagi ke toilet. Jam 13 ada kuliah
lagi. Sambil nunggu mereka berencana jalan-jalan keliling kampus untuk lebih kenal
dekat tempat-tempat di sana. Terutama ke perpusnya.
"Medina!". Ada yang memanggilnya.
Gadis itu menoleh. Matanya membulat lebar. Prof. Nolan sudah berdiri di
belakangnya.
"Sudah jalan-jalan kemana?"
What!!. Kuping Medina terkaget. Dia bisa bahasa Indonesia??.
Medina menggeleng.
"Baru ke Old Montreal" ujarnya tertawa malu. Tempat itu mirip Kota Tua kalau di
Jakarta.
Lelaki di depannya pun tersenyum jenaka.
"Sayang sekali. You've been here a week"
Kok dia tahu aku sudah seminggu di sini, Medina jadi penasaran.
"Prof pernah ke Indonesia?"tanya Medina.
"Tiga tahun penelitian di Aceh"jawabnya singkat.
Oh...pantesan tadi dia nebak aku orang Aceh, pikirnya. Dan bahasa Indonesianya not
bad lah. Pembelajar cepat. Sebenarnya dia pengen nanya penelitian apa di Aceh, tapi
rasanya sok akrab. Tengsin ah.
"Kamu sudah betah di sini?"
"Mudah-mudahan" jawabnya ragu.
"Jangan sungkan minta tolong ke Jeane. Dia adik saya.."
Medina terbelalak. Jadi dia...?
"Sorry, Prof. Berarti anda temannya Prof Dahlia?. Saya anak bimbingannya" jawab
Medina mulai sedikit menemukan benang merah.
Entah kalau benang warna lain masih harus ditelusuri.
Dia mengangguk.
"I know. Umur kamu 30 tahun, lahir di Jakarta dan aktif di NGO Karisma menangani
masalah KDRT dan woman trafficking?".
Ajiib. Medina terbelalak lagi. Ya ampun!. Dari mana dia tahu?.
"Saya sudah terima CV dan aplikasi kamu dua bulan sebelum kakimu nyampai di sini"
Jawabnya enteng.
"Oh...I see" jawab Medina sekenanya. Ada rasa malu dan nggak enak.
"Kamu sudah sempat ke Embassy di Ottawa?"
"Sudah kemarin diantar kenalan yang tinggal di Ottawa. Lumayan jauh dari Montreal
sekitar 2 jam. Tapi senang ketemu beberapa teman dari tanah air walaupun kuliahnya
nyebar di seantero Kanada yang luasnya kayak benua ini" celoteh Medina.
"Datanglah minggu depan ke Islamic Centre of Quebec kalau ingin ketemu teman-teman
dari Indo" ujarnya lagi.
Dan hei...dia masih berdiri tegap lho sedari tadi. Medina nggak enak menyadari
kalau ia tak menawarkan duduk di bangku sebelahnya.
"Pasti Prof banyak kenal orang Indonesia sampai tahu Islamic Centre segala?"
Medina sempat dijelaskan oleh pihak kedubes bahwa orang-orang Kanada sangat welcome
dengan segala multikultural termasuk agama dan ras. Bahkan perdana menterinya,
Justin Trudeau berkali-kali bilang di media bahwa tidak ada Islamophobia di Kanada.
"Sebenarnya...saya bisa saja ngajak Medina jalan-jalan. Banyak tempat indah di
Quebec dan sekitarnya" serunya.
"Maksudnya?". Medina nggak ngeh. Pria ini mau ngajak jalan-jalan?.
"Ya, saya teman baik Ibu Dahlia, jadi saya anggap kamu tamu saya juga" tukasnya.
Medina geli mendengar sebutan 'ibu' ke Prof Dahlia. Tapi kan umur mereka memang
jauh kayak anak dan ibu.
"Tapi,..saya tahu Medina aktivis muslimah. Perempuan Indonesia apalagi yang
berjilbab tak boleh pergi-pergi dengan sembarang laki-laki bukan?" Ujarnya sopan.
"Right..Prof. Betul banget!" Jawab Medina dengan wajah kemerah-merahan karena malu.
Prof Nolan hanya tersenyum lalu ijin meninggalkannya karena harus ngajar kembali.
Sungguh senyum humblenya amat misterius.
***
Akhirnya Medina kenal cewek Indonesia lainnya yang kuliah di Montreal juga.
Namanya Dias, lagi ambil S2, usianya masih 26 tahun. Dia berjilbab juga dan
sepertinya sangat enerjik. Ia baru menikah setahun yang lalu. Habis nikah langsung
berangkat ke Kanada. Kedua suami istri muda itu dapat beasiswa LPDP tapi beda
tempat. Suaminya kuliah di Universitas Ottawa.
Medina ketemu tak sengaja dengan Dias di perpustakaan. Dari situlah mereka mulai
akrab dan janjian mau datang ke acara pengajian umum di Islamic Centre of Quebec.
Dias sudah lebih hapal Provinsi Quebec karena ini tahun kedua ia di sana.
Pusat Kebudayaan Islam Kota Quebec adalah organisasi yang didedikasikan untuk
memenuhi kebutuhan spiritual, sosial dan ekonomi dari komunitas Muslim yang tinggal
di Quebec City. Tempat utamanya adalah di Masjid Agung Kota Quebec.
Usai mereka shalat zhuhur berjamaah di masjid, mereka mulai mendengarkan ceramah
agama dari beberapa ulama lokal dan pendatang.
Karena berada di barisan cukup depan meskipun duduk di bagian perempuan Medina bisa
melihat penceramah itu dengan jelas.
Saat pembawa acara memanggil penceramah kedua itulah matanya dibuat terkaget-kaget.
Sang MC memanggil seorang bernama Nolan Abdurrahman sebagai penceramah yang
dipandang memiliki kemampuan di bidang hukum Islam.
Medina hanya terbelalak ketika tahu sosok yang dimaksud adalah Prof. Nolan dosennya
sendiri!
Jadi ternyata dia seorang muslim?. Bule mualaf?.
"Mbak ternyata kenal dia?" Tanya Dias.
"Dosen saya. Dia juga pakar antropologi hukum".
"Saya sudah baca buku motivasinya. Seru habis. Jadi dia masuk Islam 2 tahun lalu
setelan melakukan penelitian dan tinggal di Aceh. Dia membaca syahadat di depan
ulama-ulama Aceh di Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang terkenal itu lho. Keren
kan." celetuk Dias. Jujur membuat Medina sangat terperangah. Masak sih?.
Buku motivasi?. Ya ampun Medina baru keingetan sebuah buku hadiah Prof Dahlia yang
ia lihat di pesawat dan ia belum menyentuhnya sama sekali. Ternyata penulisnya
dia?!
***
Akhirnya Medina menemukan buku yang berbungkus plastik itu di antara buku teks yang
sengaja ia bawa dari tanah air. Dilihat plastiknya yang sudah sedikit terbuka ia
yakin Prof Dahlia sempat membacanya dulu.
Judul buku itu SOUL ADVENTURE, petualangan jiwa. A motivation book ditulis oleh
Nolan J. Ramirez.
Medina membuka lembar pertamanya. Terselip sebuah memo kecil dari Prof Dahlia.
“Prof. Ramirez, usianya mungkin 5 tahun diatas kamu, Medina. Kenalan saya waktu
kuliah dulu. Dia sudah jadi profesor di usia 32 tahun. Penelitiannya banyak. Ia
seorang mualaf, pegiat Masjid dan Islamic Center di Ontario dan Montreal. Ia tengah
mencari jodoh seorang muslimah. Dia sangat terobsesi dengan perempuan Asia. Mungkin
karena pernah tinggal di Indonesia.
Waktu membaca biodata aplikasi beasiswa mu dulu ia bilang ingin berkenalan. Tapi
saran saya bacalah bukunya dulu sampai selesai. Engkau akan mengenal dirinya dengan
baik.”
Tanda tangan Profesor Dahlia terukir di bawahnya.
Seketika jantung Medina berdegup kencang. Apakah Mister Nolan memang jodoh yang ia
harap? Tapi...dia bule. Ia tak pernah membayangkan akan menikah dengan lelaki bule!
==========
Jam di dinding kamar sudah menunjuk angka 11 malam. Beberapa rekan satu apartemen
di pinggiran Montreal sudah lelap dalam mimpinya.
Tapi tidak gadis itu. Mata Medina masih terpaku menelusuri lembar demi lembar Soul
Adventure. Semakin lama semakin penasaran mengikutinya.
Sebenarnya ia sudah bisa membaca garis besar novel motivasi Nolan Ramirez ini.
Sebuah pencarian jati diri, tapi dikemas dalam bahasa tutur yang asyik dan mengalir
sehingga tak nampak sebagai karya berat. Banyak personifikasi dan bahasa metafora
yang mungkin hanya bisa diserap oleh mereka yang memiliki rasa humor berkelas. Ia
pun kerap mengulangnya.
Jangan-jangan aku yang kurang asyik ya, benak Medina.
Bab-bab awal Nolan berkisah bagaimana petualangan hidupnya yang tak tentu arah dan
semau gue karena dia dibesarkan dalam keluarga yang bercitarasa atheis.
Tapi ada satu pantangan yang benar-benar ia patuhi meski hidup dalam kebebasan tak
berbatas karena takut mendapat kualat sang nenek dan ibunya; seks bebas. Sampai
usia 20an ia bahkan diceritakan ta punya pacar.
Serious??. Untuk sosok yang mirip Justin Trudeau di belantara negara barat?
Ayahnya adalah ilmuwan tangguh yang sangat mengagungkan logika dan kebebasan
berpikir. Ibunya seorang pekerja seni yang lukisannya banyak dipuja para aliran
surealisme.
Adventurenya bermula di halaman 125, ketika umur 24 tahun ia berkelana untuk
merayakan kelulusan magisternya di bidang hukum. Jadi setelah lulus bachelor alias
sarjana, Nolan mengambil kuliah magister di 2 tempat. Satu fakultas hukum dan
satunya lagi antropologi di 2 universitas yang berbeda.
Tahun 2003 itu ia mendapat biaya fieldtrip free ke Aceh bersama seorang kawannya.
Di Aceh itulah ia bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis anak dari pemangku
adat namanya Cut Medina.
Deg!. Medina terperanjat dan tarik nafas. Jadi...apakah karena namanya sama dengan
Cut Medina, lelaki itu menyimpulkan aku dari Aceh? Atau karena namanya sama pula
profesor muda itu ingin berkenalan dengannya?.
Ah,.. kenapa tiba-tiba ia jadi tak suka. Semacam pelarian saja. Pelarian apa?
Entahlah. Lelaki itu masih menyimpan misteri bagi Medina.
Yang jelas Cut Medina, gadis yang digambarkan oleh Nolan sebagai perempuan Asia
yang berwajah klasik namun berkarakter itu membuat jiwa sang penulis sedikit goyah
dengan pandangan hidupnya selama ini.
Akan tetapi itu tak serta merta membuatnya tertarik dengan Islam. Agama yang
dipeluk begitu hangat oleh gadis bernama Cut Medina itu , karena baginya agama
adalah hambatan, mengekang kreativitas berpikirnya.
Medina mencoba membayangkan secantik apa sosok bernama Cut Medina yang sepertinya
memiliki tempat khusus di jiwa Nolan yang tengah berpetualang.
Namun...dada Medina tersentak ketika di beberapa lembar berikutnya ternyata ada
kejadian yang memilukan. Dan itu juga mempengaruhi perjalanan hidup Nolan?
"Jadi, Cut Medina meninggal sebagai salah satu korban musibah tsunami 26 Desember
2004?. Inna lillahi" Medina kaget sendiri dan menutup mulutnya.
Sekarang menjelang akhir tahun 2015. Sebelas tahun yang lalu, berarti. Medina
mencoba mengingat kembali peristiwa itu yang jelas ia mengetahuinya dari berita.
Siapa yang tak tahu kisah tsunami Aceh yang merenggut ratusan ribu korban jiwa?.
Bahkan Mama pernah bilang ada saudaranya yang menjadi korban.
Nolan lalu pulang ke Kanada dan melanjutkan kembali studi S3 nya dari tahun 2005-
2008. Peristiwa Aceh itu mulai mengubah pandangannya tentang hidup. Bahwa kekuatan
manusia tiada arti apa-apa saat ditaklukan oleh kekuatan alam.
Selama 8 tahun selain sibuk dengan penelitian-penelitian akademisnya, jiwanya
berpetualang dari satu sumber keyakinan ke keyakinan lain untuk memenuhi
kehausannya akan kebenaran hidup. Ia mempelajari beragam agama tak terkecuali
Islam. Bahkan ia pun beberapa kali tamat mendalami Al Quran, ungkapnya.
Tahun 2011 ia dinobatkan jadi profesor termuda di almamaternya, MGU.
Berkat fellowship (beasiswa untuk penelitian) yang diterima dari sebuah lembaga
dunia ia terbang ke Aceh kembali akhir tahun itu dan menetap di sana selama 3 tahun
untuk penelitian tentang hukum adat.
Puncak soul adventurenya adalah ketika tahun 2012 ia memutuskan menjadi mualaf dan
berikrar syahadat di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh.
"Wow..sebuah perjalanan hidup yang sangat fantastis. Jadi baru setahun juga ia
kembali ke Kanada setelah 3 tahun terakhir tinggal di Aceh?. Pantas sajà bahasa
Indonesianya masih terdengar fasih", gumam Medina.
Selama setahun ini Nolan Ramirez banyak beraktivitas di Islamic Centre of Quebec.
Akhir petualangan yang mengesankan.
***
Medina melihat Meghan yang sudah nongkrong di kelas pagi itu.
"Wah tumben sudah duluan sampai" sapa Medina.
"Aku tak mau telat mengikuti kelas Prof Ramirez". Ia tertawa menyeringai.
Wih, diam-diam Meghan mengagumi cowok itu?. Akankah menjadi saingannya?.
Please Medina jangan norak, bisik hatinya.
Sepertinya dia belum tahu kalau Nolan itu seorang muslim. Tapi ah apa pentingnya ia
kasih tahu kata hatinya lagi.
Sejak jadi mahasiswi S3 di MGU, baru 3 kali ia ketemu dengan Nolan Ramirez. Ia pun
baru ngobrol dengannya 2 kali. Satu di taman satunya lagi pun karena tak sengaja.
Itu sebelum ia melihatnya di Islamic Centre.
Waktu itu ia kelaparan. Bekal dari apartemen yang ia sewa berempat dengan mahasiswi
lain ketinggalan. Di depan perpus ia berpapasan dengannya.
"Hei, Medina. Kamu mau kemana?" Tanyanya.
Ia sangat kaget karena Prof Nolan nampak akrab sekali memanggilnya. Ya dia pikir
lelaki itu sudah lupa namanya. Sebagai dosen beberapa mata kuliah, tentunya
mahasiswa yang ia ajar banyak.
"Ke kafe. Bekal saya ketinggalan, Prof" jawabnya jujur banget. Dan untuk kesekian
kali Medina menangkap senyum humblenya.
"Saya antar".
What?!
"Eh...eh nggak usah Prof. Saya sudah tahu tempatnya". Maksudnya, Medina memang
belum pernah ke kafetaria kampus tapi sudah tahu jalan ke arah sana.
"Kamu muslim kan, jangan sembarangan makan di tempat yang belum kamu ketahui."
Deg!. Medina baru nyadar.
Tapi saat itu ia belum tahu posisi Nolan. Pikirnya mungkin ia sekedar ingin
membantu dan mengingatkan.
Sambil jalan mereka ngobrol. Ya ampun, baru dia kali mahasiswa yang diantar dosen
hanya untuk cari sarapan. Tak tanggung-tanggung profesor pula.
"Penelitian apa di Aceh, Prof?" Akhirnya Medina menyampaikan uneg-uneg
penasarannya.
Mimik pria dengan brewok di pipi itu sedikit kaget.
"Qanun" tukasnya singkat.
Apa?. Qanun?...oh maksudnya Qanun Aceh?.
"Apa menariknya peraturan daerah rakyat Aceh di sana?." Setahu Medina qanun itu
kayak peraturan yang mengatur pemerintahan dan masyarakat di Aceh.
"Banyak sekali, Medina" jawabnya. Ia masih memasukkan tangan ke saku jasnya. Syal
di lehernya makin membuatnya terlihat keren. Medina jadi grogi.
Sayang sekali kaki mereka sudah keburu sampai. Nolan menunjukkan kafe yang
menurutnya bersih dan halal di kampus itu. Letaknya agak di pojokan. Jadi kantin di
sana terdiri atas beberapa gerai kedai begitulah.
"Hei...hei...Nona Medina kamu bengong apa ngantuk?" Medina terkesiap. Tampak Ken,
mahasiswa Jepang itu sudah duduk di samping kirinya. Ia menyodorkan permen.
Medina menggeleng.
"Thanks. Saya lagi ingat rumah" ujarnya bohong.
"Wow..baru dua minggu sudah homesick?" Ken tersenyum ramah. Medina hanya angkat
bahu.
Seseorang masuk. Perempuan dengan blazer rapi. Rambutnya pirang sebahu dengan
kacamata list putih. Cantik. Siapa dia?. Kenapa bukan Prof Nolan yang lagi
ditungguinya?.
"Okay, saya Doktor Rosemary, panggil saja Rose pengganti sementara Prof Nolan.
Kebetulan dia lagi di luar kota seminggu ini."
Yaaaaah. Terdengar suara kecewa Meghan. Medina dan Ken tertawa lirih.
Aih kemana dia?. Katanya mau berkenalan, tapi pergi kok nggak bilang-bilang?.
Kayaknya tak serius. Tiba-tiba suara Medina bergemuruh.
"Sst...katanya dia mantan pacar Prof Nolan. Cantik ya". Meghan ngomong sendiri.
Medina menjengit.
Bisa saja, mungkin dulu sempat pacaran. Bukankah semua orang punya masa lalu. Ia
seolah menghibur dirinya.
Tiba-tiba pagi ini mood Medina terasa kacau.
***
Ia tahu nomor dosen itu, alamat emailnya juga tahu. Tapi apa mungkin dia berani
berbasa-basi menanyakan keberadaannya?. Seharian ia mengontak Jeane tapi handphone
nya non aktif.
Kenapa tidak Medina, Rahman saja berani kau lamar masak sekedar basa-basi saja tak
bisa?.
Suara hatinya terdengar riuh rendah. Tidak. Ia tak mau mengulangi 'kekonyolan'nya
dulu meski dengan dalih masuk akal.
Tiba-tiba ia teringat Prof Dahlia. Ia belum menghubunginya sejak di Montreal. Dasar
anak bimbingan yang tak tahu terima kasih!
Ia pun mengirim sms.
"Prof, terima kasih bukunya. Saya sudah baca. Dan Prof Ramirez dosen saya. Ia sudah
mengajar 2 kali. Saya juga sudah dengar ceramahnya di Islamic Centre."
Prof. Dahlia membalas.
"Apa kalian sudah ngobrol?"
"Ngobrol apa?"
"Berkenalan menuju keseriusan." Dada Medina berdesir entah kenapa.
"Tidak Prof. Dia hanya mengantar saya beli sandwich he..he.." gurau Medina.
Setelah itu Prof Dahlia tak menjawab lagi.
Medina masih mencari literatur untuk tugas makalah diskusi lusa ketika ada
notifikasi email masuk di layar notebooknya.
Yahoo messenger berkedip.
Siapa mengajak chatting malam-malam begini?
Ia mengklik sesaat. Prof. Ramirez!. Panjang umur.
Kenapa dia mendadak deg-degan.
"Assalamualaikum Medina"
"Waalaikumussalam, Prof. Ramirez??. Benarkah?"
"Ya. Call me Nolan, please. Saya nggak lagi ngajar kamu."
"Oh saya pikir mau nagih tugas makalah buat minggu depan."
"Bisa tebak saya lagi di mana?"
"Di laptop saya"
"Kamu bisa bercanda juga. Ha...ha"
"Saya kan belum jadi professor"
"Ha...ha..saya lagi di Indonesia"
Medina tersentak. Benarkah?. Ya bisa saja. Dia kan sering jadi dosen tamu.
"Oya?. Pasti di Aceh"
"No. Di Manado, Sulawesi. Ada undangan acara AICIS dari MoRA, Kementerian Agama"
"Wah...pasti seru. Kasih ceramah agama ya kayak di Islamic Center yang lalu?"
"Bukan. Ini semacam pertemuan ilmuwan muslim. Pesertanya selain dosen-dosen juga
peneliti dari dalam dan luar negeri. Kebetulan ada kerjasama Kementerian Agama
dengan MGU"
Wew...panjang penjelasannya.
"Medina, lusa saya mampir ke Jakarta. Boleh saya main ke rumah kamu?"
Deg!!. Ngapain?
"Kok diam?"
.......
"Boleh saja. Tapi Papa saya agak galak"
"Ha..ha..jadi boleh?"
"Untuk apa?. Mau laporin kalau saya waktu itu telat masuk kelas?"
"Mau ijin, menemani Medina di Montreal"
"Katanya nggak boleh jalan-jalan sama orang asing?"
"Saya mau minta ke mereka, kamu jadi istri saya".
"Apa??"
Medina mau pingsan. Secepat itu!??. Benar-benar lelaki misterius!.
Tapi masak sih dia tolak?. Mungkin nggak papa dapat bule. Jodoh kan dari mana
saja?. Yang penting seiman.
"Medina...kalau kamu diam saja berarti mau ya."
Gubrak!.
Bersambung#3
Medina #3
Cerita bersambung
Jodoh itu seperti kupu-kupu dengan sayap warna warni yang bertengger di daun
jendela. Menarik dibahas tapi susah dipegang, baru dekat sudah kian kemari terbang.
Tapi,...itu asumsi semata. Tidak kalau Alloh sudah menetapkan. Tak perlu mengejar
ke sana kemari, bahkan cukup mengendap-endap saja atau bahkan tanpa mengundangnya
ia datang menghampiri.
Jadi, dunia ini hanya bisa diraih dengan kesabaran yang tak mengenal limit atau
kuota. Siapa bersabar akan mendapatkan setimpal dengan kesabarannya. Semakin sabar
semakin baik mendapatkan.
Agaknya itu yang Medina rasakan.
Matanya berlinang saat Mellya adiknya mengirimkan foto-foto itu via email. Foto
kedatangan Prof Ramirez yang didampingi Prof Dahlia dan suaminya ke rumah Medina di
Jakarta.
Sore itu, Nolan tampak beda sekali. Cambangnya dicukur rapi. Ia mengenakan baju
koko warna krem dan celana coklat tua. Terlihat begitu syahdu bersahaja. Dia memang
ganteng diapakan apa saja. Mungkin pakai sarung kotak-kotak saja tetap ganteng
juga.
Andai Medina ada di sana, pasti ia sudah berlinangan airmata antara haru dan
bahagia.
Mellya bercerita kalau Bu Dahlia lah yang banyak bercerita kalau lelaki bule itu
adalah dosen Medina.
Saat itu Nolan hanya minta maaf karena datang mendadak, waktunya sangat terbatas di
tanah air. Bahkan esoknya ia harus segera pulang ke Kanada sesuai jadwal pesawat
yang sudah dipesan.
Kalau tak keberatan ia meminta waktu pernikahan dilangsungkan akhir bulan Desember
2015, pas liburan akhir tahun tiba. Selain di Kanada lagi season greetings ala
barat, saat itu juga tengah libur akhir tahun.
***
"Bulan depan?"
Gila ya Prof. Nolan Ramirez, sekali ada maunya langsung gebrakan dahsyat, gumam
Medina.
Apa mungkin sudah jodohnya begitu. Apalagi yang dia ragukan?.
Bukankah ia tengah menanti-nanti jodoh untuk menghapus bayang-bayang 30 yang bagi
keluarganya menyeramkan?.
"Saya tak mau lama-lama, nanti malah tidak bisa ngajar selama lihat kamu di kelas,"
ujarnya lewat pesan. Entah becanda entah serius.
Kalau serius?. Yaelah, bule kok bisa baperan juga sih.
"Yang penting kamu tak terpaksa kan Medina?"
Ya ampun bagaimana Medina sanggup untuk menolak ditanya sesopan itu. Ukuran sangat
sopan bagi pria western sepertinya.
Dan begitulah akhirnya pernikahan pun dilangsungkan di sebuah gedung pertemuan di
Jakarta hari Minggu, 20 Desember 2015 dengan menggunakan resepsi pernikahan adat
Aceh ketika akad nikah dan Jawa saat resepsi sesuai suku orang tua Medina.
Saat itu teman-teman kampusnya dulu datang tak terkecuali Rahman dengan istrinya
yang cantik dan masih sangat muda.
Orang tua Nolan bersama Jeane ikut menghadiri dan terlihat bahagia. Akhirnya
anaknya menikah juga meski dengan perempuan dari negara jauh di Asia. Tak hentinya
mereka mengabadikan foto saat anaknya pakai blangkon Jawa itu. Ya
ampun...jodoh..jodoh.
Selama ini mereka mengira Nolan hanya mau didampingi buku-buku tebalnya dan jurnal-
jurnal penelitian yang memenuhi kamar apartemennya. Tapi sebentar lagi hidupnya
pasti akan berubah.
***
Saat masuk kamar pengantin di rumah, giliran Medina kebingungan mau manggil
suaminya apa.
Nolan masih di kamar mandi saat Medina duduk di meja rias usai mencopoti atribut
pengantinnya. Ia tengah menyisir rambutnya.
"Mas Nolan, Bang Nolan,...Kak?...aduh apa ya?. Kok kayaknya tak ada yang cocok."
Ia jadi terpekur sendiri.
"Kamu mikirin apa Medina, mikirin saya?" Tiba-tiba profesor itu sudah berdiri di
sampingnya dan memegang pundaknya lembut.
Ya Alloh mata birunya begitu indah di mata Medina. Mimpi apa ia sampai akhirnya
bisa jadi istri bule begini.
"Tidak..eh iya Prof!"
Nolan tertawa.
"Masak malam pertama juga panggil Prof?. Kita tak lagi belajar soal hukum di
kampus, Medina." Jemarinya menyentuh dagu manis itu.
Medina nyengir malu.
"Saya panggil Honey aja gimana?. Panggil Mas Nolan nggak cocok."
"Nolan. It's enough," kata lelaki itu sembari membelai rambut Medina yang tergerai
indah. Istrinya terlihat sangat cantik malam ini. Dulu waktu datang pertama kali ke
Indonesia ia menyukai kulit khas perempuan Indonesia. Agak kecoklatan. Eksotik.
"Kalo di sini, panggil nama ke suami tanpa embel-embel nggak sopan."
"Begitu?" Mata Nolan bergerak lucu.
Medina mengangguk sembari menatap senyum humble Nolan yang tak misterius lagi.
Senyum itu memang untuknya.
"I like. But Nolan, more preferable."
Setelah shalat berjamaah, Nolan membawa Medina ke ranjang pengantin mereka yang
semerbak mewangi.
"Saya cinta kamu, Medina." Digengggamnya jemari Medina.
"Sejak kapan itu. Kita tak saling mengenal, Nolan?"
"Sejak membaca CV kamu. Saya mencari tahu tentangmu dan segala aktivitas kamu di
Jakarta melalui Ibu Dahlia dan sosial media"
"Bukan karena Cut Medina?" Nolan tertawa lirih.
"Kenapa berpikir demikian?"
"Bukankah kamu jatuh cinta dengan gadis bernama Cut Medina di Aceh seperti yang ada
di buku?"
"Medina, dia sudah lama pergi. Sebelas tahun lalu."
"I know...lalu gara-gara aku bernama Medina kamu jadi mengingatnya, begitu bukan?.
Oh No, Honey itu namanya pelarian"
Mata biru Nolan sedikit menyipit.
"What the meaning of 'pelarian'?"
"Maksudnya, karena dia sudah pergi lalu kamu memindahkannya ke saya, karena mungkin
nama saya sama atau jangan-jangan wajahnya mirip"
"Kalian memang mirip," ujarnya tertawa.
"Tuh kan...kamu jahat sekali." Suara manja Medina membuat lelaki itu semakin ingin
menggodanya.
"No Medina. Kamu lebih cerewet...tapi saya suka. Saya suka perempuan yang cerewet."
Medina merajuk. Dicubitnya pinggang suaminya.
"Please Medina, ini malam pertama kita. Saya tak mau ditanya-tanya masa lalu.
Seperti wawancara saja. Saya ingin menjadi orang baru setelah menjadi mualaf.
Termasuk keputusan besar ini. Menikah. Sunah Nabi kita." Ia nampak serius.
Medina mengangguk menyentuh rahang lelakinya yang sudah lumayan klimis tanpa brewok
lagi.
"Sorry, i just want to know."
Medina menggerutu sendiri kenapa ia malah mengingatkan Nolan tentang gadis Aceh itu
di kamar pengantin mereka?.
Gadis itu mendongakan kepala. Pandangan mata mereka bertemu. Nolan menatap Medina
begitu dekat seakan berenang dalam manik mata hitamnya. Sebentar ia menangkap ranum
bibir itu lalu ia memeluk tubuh Medina kembali, membiarkan mereka bersatu untuk
pertama kalinya.
Nolan biar profesor tetap tak kuasa merasakan nafas lirih perempuan yang berbaring
begitu lekat di dadanya. Ini memang pertama kali mereka saling mengenal satu sama
lain. Tanpa jarak. Tapi entah mengapa ia sudah merasa mengenal Medina dengan baik.
Jadi, sepertinya ia tak butuh lama berbasa-basi.
"Ah Medina.., saya tak tahan. Kamu sangat indah. Sayang kalau malam ini saya cuma
memandangimu diam-diam begini," candanya.
"What??". Medina tak yakin Nolan akan berniat menyentuhnya intim secepat itu.
Entahlah kenapa ia selalu berpikir profesor di depannya akan kaku dalam bersikap.
"Bisakah kita memulainya," bisiknya tersenyum. Medina menunduk malu.
"Medina..."
Nolan sang profesor muda itu memesrai wajah istrinya kembali untuk menumpahkan rasa
yang selama ini dipendamnya.
Medina tak kuasa menolak. Malam itu ia merasa menjadi perempuan seutuhnya yang
telah menemukan pasangan jiwanya.
***
"Honey, beneran lusa kita mau liburan ke Aceh?" Medina menyapa sembari mengeringkan
rambutnya yang basah.
"Sure. Saya sudah siapkan tiket akomodasi ke sana Medina. Nanti kita menginap di
Banda Aceh. Kita di sana sampai tanggal 26 Desember, biasanya ada acara mengenang
tsunami di halaman Masjid Baiturrahman," jawab Nolan.
"Balik ke Jakarta?" tanya Medina.
"Esoknya. Kita melewati tahun baru di Jakarta saja. Kamu punya agenda?"
Medina menggeleng.
"Kita menikah secara mendadak Nolan, bagaimana aku punya agenda,"seru Medina
tertawa.
Nolan tersenyum tampan sembari merangkul tubuh Medina yang hanya setinggi dadanya
dari belakang. Mencium lehernya penuh sayang.
"Sorry. Tapi tak usah takut, sampai bulan Januari mendatang agenda kita jalan-
jalan. Enak kan jalan-jalan berdua. Katanya kamu suka travelling?"
"Lalu kuliahku?. Mahasiswa-mahasiswa kamu di kampus?. Enak saja!"
Nolan tertawa. Mengangkat bahunya jenaka.
"Kalau sudah di Montreal, kita traveling akhir pekan, Honey. Kecuali kalau kamu..."
"Kecuali apa?" potong Medina.
"Kalau kamu keburu hamil." Mata biru Nolan mengerjap. Medina tak kalah terkejut.
Wajah kepitingnya terlihat di kaca.
"Ya ampun, kamu sudah kepikiran ke sana?"gurau Medina.
"Saya ingin cepat punya anak. Sepuluh kalau bisa ha...ha..." Nolan tertawa
berderai. Ia mencium kembali leher Medina dan mengelus perut istrinya.
"Aamiin. Saya juga mau punya anak. Tapi jangan sepuluh, Honey. Gak bakalan sanggup"
sela Medina tertawa.
Lalu mereka keluar kamar karena ada ketukan pintu yang menyuruh mereka sarapan.
Tanggal 23 sore mereka sudah sampai di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh.
Nolan booking hotel sengaja dekat Masjid Baiturrahman. Masjid penuh kenangan
baginya karena di sanalah ia berikrar kalimat syahadat dan resmi menjadi mualaf.
Malamnya sehabis shalat Isya di Baiturrahman mereka berjalan berkeliling, makan Mie
Aceh Razali yang terkenal itu dan secangkir kopi Gayo panas.
Medina kaget, Nolan begitu hafal lika-liku kota Banda Aceh sementara dia sendiri
yang orang Indonesia asli baru 2 kali ini ke sana. Dan tak tahu apa-apa.
Saat di Kedai Razali itu ada kejadian yang membuat wajah sang professor muda merah.
Mereka bertemu dengan seorang dokter yang tengah makan juga.
"You, Profesor Nolan Ramirez?" Sapa seseorang dari belakang. Nolan terperanjat tak
lama langsung mengenali.
"Hei, apa kabar Dokter Andre?. Kenalkan ini istri saya, Medina. Kami baru sampai di
Aceh."
"Ohya?. Wah sepertinya kalian pengantin baru. Pasti dalam rangka honeymoon." Medina
merona wajahnya.
"Ya begitulah," jawab Nolan tampak berseri.
"Ah syukurlah, semoga honeymoon kalian sukses." Ia lalu berbisik-bisik rahasia.
Tersenyum sebentar lalu ijin pergi duluan.
"Bisik-bisik apa kalian?" Giliran Medina yang kepo.
"Dia menanyakan apakah malam pertama kita sukses?"
Ya ampun!. Medina cuma geleng-geleng kepala. Norak banget tuh dokter.
"Emang dia siapa sampai nanya-nanya seperti itu?"
"Dia...dia..." Nolan tertawa lucu. Wajah putihnya sedikit memerah. Ya Alloh dia
kenapa?
"Dia siapa?" kejar Medina.
Nolan membisikkan pelan di telinga Medina.
"Dia aslinya dokter bedah, tapi buka praktek sunat dewasa untuk para mualaf. Saya
pasiennya."
Oh ya ampun!.
"Jadi dia yang potong?" Medina menutup mulutnya.
"Sssst...!" Nolan memijit hidung Medina. Lalu tawa mereka berderai.
Malamnya mereka mengulang lagi kehangatan seperti malam-malam sebelumnya.
Maklumin saja deh yang lagi honeymoon pakai acara kejar tayang.
Pagi-pagi Nolan dan Medina sudah keluar hotel dengan sejumlah agenda ala
backpackeran. Mengunjungi Museum Tsunami di tengah kota, ke PLTD Apung yakni kapal
besar milik perusahaan asing yang terseret ke daratan hingga 7 kilometer, ke museum
Syah Kuala, ke pemukiman nelayan di desa Lampulo, hingga ke pemakaman massal korban
tsunami.
"Makam Cut Medina ada di sana."
"Kamu di mana saat tsunami itu, Honey?"
"Saya sedang ada acara bersama teman di Lhokseumawe, cukup jauh dari pusat Banda
Aceh. Saya tahu Cut Medina tewas dari ayahnya."
"Dia pacar kamu ya?" Sindir Medina.
"Bukan. Mana mau gadis Aceh yang alim itu pacaran, Medina?"
"Lalu...oh kamu suka ya sama dia," susul Medina lagi penasaran.
"Oh my God, sudahlah Medina kita cerita yang lain saja. Sepertinya kamu kalau
cemburu merepotkan." Nolan tersenyum.
Medina manyun.
"Oya kita siap-siap mau nyeberang ya."
"Nyeberang ke mana?"tanya Medina.
"Ke Sabang di Pulau Weh. Kamu sudah pernah ke titik nol kilometer?" Medina
menggeleng.
"Payah. Bukannya Mama kamu orang Aceh?. Masak tak pernah ke sana?"
"Mama cuma numpang lahir saja di Bireun." Nolan hanya geleng-geleng kepala.
Mereka menyeberang dengan kapal feri jadwal siang lalu menginap semalam di Kota
Sabang dan esoknya mengunjungi tugu titik nol kilometer. Seharian kemudian keliling
wisata Kota Sabang. Ada wisata diving dan snorkeling di sana.
Sorenya mereka balik ke Banda Aceh untuk mengikuti doa bersama di Masjid
Baiturrahman dalam rangka memperingati dan mendoakan korban tsunami 26 Desember
2004.
***
Pagi kembali di Kota Montreal, setelah melewati perjalanan udara hampir 24 jam dari
Jakarta. Sangat melelahkan bagi Medina. Apalagi Montreal tengah diguyur salju.
Cuaca dingin menggigil membuatnya lebih betah berselimut tebal.
Meski seharian kemarin sudah istirahat tapi tetap saja merasa kurang.
"Ayolah Medina bangun, bukankah hari ini kamu sudah ada jadwal kuliah?" Nolan
menepuk pipi istrinya. Habis shalat subuh masih saja nguntel di kasur.
Medina mengangguk. Ia segera berkemas. Keluar dari kamar mandi ia menatap kaget
meja makan.
Baiknya Nolan, suamiku gumamnya. Sudah ada susu hangat, roti bagel panggang
bertabur wijen dengan lapis nutella terhidang di sana.
"Kita sarapan dulu, Dear."
"Sorry, agaknya aku masih adaptasi dengan musim dingin. Ini salju pertama yang aku
alami," kata Medina seolah merajuk. Lelakinya itu cuma mengelus kepalanya.
Dengan baju tiga lapis, celana winter, syal di leher, topi rajut dari bahan wol,
kaos tangan tebal dan tak lupa sepatu boots Medina dan Nolan sampai juga di kampus.
Medina baru menyadari ia belum mengumumkan pernikahannya ke teman-teman termasuk
Ken dan Meghan. Entahlah kenapa sampai terlupa. Semuanya begitu mengejutkan.
Saat masuk kelas terlihat keduanya sudah duduk rapi di kursi. Jam pertama kuliah
akan diampu oleh Doktor Rosemary. Ah entah kenapa tiba-tiba Medina teringat
perkataan Meghan tentangnya. Bahwa dia mantan pacar Nolan?.
Medina segera mengibaskan pikirannya.
Doktor Rose sudah hampir menyelesaikan filsafat hukumnya ketika mata Medina
terkantuk-kantuk. Cuaca dingin membuatnya benar-benar ingin berbaring.
Ia seperti dibawa mimpi dedaunan maple yang tak lagi gugur.
Tahu-tahu ada yang memanggilnya lembut.
"Medina...Medina, bangun. Ssst...kamu kenapa tidur di kelas?"
Medina terbelalak. Ia masih di ruang kelas. Riuh mata-mata memandangnya lekat. Di
sebelah kanannya tampak Meghan tersenyum. Dan di depannya!. Wajah itu!. Wajah
suaminya.
Prof Ramirez sudah masuk kelas?!.
Berarti ia ketiduran lama!.
"Sorry. Saya ngantuk," ucapnya sembari mengucek matanya. Nolan Ramirez hanya
geleng-geleng kepala lihat kelakuan istrinya. Mau marah jelas tak bisa.
Ia lalu menarik begitu saja tangan Medina dan membawa tubuh itu ke depan kelas.
Dengan tanpa ragu lelaki itu mengucapkan kalimat yang membuat seisi ruang kelas
menggumam dengan segala pikiran.
"Saya mau menyampaikan, bahwa saya sudah menikah dengan Medina di Indonesia bulan
Desember kemarin. Mohon doa teman-teman semua."
Beberapa mata hampir terbelalak. Namun suara applaus pun terdengar meriah.
Medina terharu dibuatnya sekaligus malu. Bagaimana mungkin ia dibangunkan suaminya
sendiri di dalam kelas?.
Dari jauh Meghan menatapnya tak berkedip. Medina jadi tak enak. Bagaimana ia
menjelaskan?.
Usai mata kuliah yang dibawakan Prof Ramirez, Medina keluar hendak ke toilet. Di
sanalah dia berpapasan dengan Doktor Rosemary. Dosen berambut pirang itu
mendekatinya dengan tatapan tajam.
"Jangan kamu kira setelah menikah kamu bisa memiliki Nolan seutuhnya. Kami pernah
bertunangan, dan tentu saja aku pernah tidur dengannya!" kata Rose lalu berkelebat
meninggalkannya.
"Maksudnya?"
Medina tercekat. Rasanya semua mendadak gelap.
==========
Kata-kata Rosemary membuat Medina sangat gundah. Campur aduk. Kecewa, dongkol,
sedih tak tahu harus bagaimana mengusir kegalauan. Kata-kata 'tidur' terngiang-
ngiang terus. Nolan pernah tidur?...dengannya? Dengan dosen cantik dan modis itu?.
Berzina berarti?.
Kenapa ia seolah belum bisa berdamai dengan masa lalu suaminya?. Mungkin kalau
kejahatan lain semisal judi, mabuk atau apalah dia masih nrimo. Tapi zina?
. Ah...seolah dia menerima sisa alias bekas saja?.
Apakah bernama kesombongan jika ia merasa menjadi perempuan bersih yang seharusnya
juga mendapatkan pendamping yang bersih?.
Meski Medina yakin itu dilakukan jauh sebelum mereka bertemu tetap saja pikirannya
mendadak kacau.
Dia ingin berlari memuntahkan semua. Maka saat Dias mengajaknya mampir main ke
apartemen flat nya, Medina mengiyakan. Bahkan sampai lupa minta ijin pergi ke
Nolan. Ia akan pulang sendiri nanti.
"Suami kamu ngelaju tiap hari dari Montreal ke Ottawa?" tanya Medina sesampai di
ruang tamu Dias. Meski ruang itu terbilang sempit tapi Dias pintar mengatur lay
outnya. Desain minimalis tapi manis.
"Iya mbak. Tapi kalau lagi banyak tugas ya pulang 3 hari sekali, dia nginep di
tempat temannya."
Dias menyeduh teh tubruk panas. Teh kesukaannya yang baru dikirim dari tanah air.
"Mbak Dina gimana rasanya setelah jadi Nyonya Ramirez? Seru ya...alhamdulillah.
Setahun di sini aku tahu lho mbak kalau Pak Ramirez itu banyak yang ngincar, pengen
jadi istrinya. Terutama beberapa muallaf muslimah di Kanada.
Mbak kan tahu laju pertumbuhan muslim di Kanada semakin tinggi tiap tahunnya.
Bahkan Badan Statistik Kanada memprediksi pada tahun 2017 nanti populasi Muslim
akan meningkat 160 persen," Dias yang kuliah di Departemen Demografi Universitas
Montreal ini sepertinya sudah nglothok soal kependudukan di Kanada.
Medina sedikit gagal fokus mendengar uraiannya. Ia masih mikirin soal masa lalu
Nolan.
"Rasanya?...gimana ya rasanya ya mirip waktu Dias baru nikah kali" jawabnya tak
semangat.
"Mungkin," lanjutnya lagi.
"Mungkin apa?" Dias rada bingung.
"Tadi soal banyak yang ngincar. Sampai-sampai mantan tunangannya juga belum rela
dan move on" papar Medina ada nada perih.
"Resiko nikah sama cogan mbak Dina," canda Dias.
"Cogan? Apaan tuh."
"Cowok ganteng. He...he..."
"Dias, kamu ah. Kedengaran suami kamu marah dia."
"Aryo suamiku lebih ganteng lah mbak dari profesornya mbak Dina," bela Dias tertawa
diikuti Medina.
"Menikah dengan bule harus siap dengan apapun masa lalunya mbak Medina. Saya yakin
mbak sudah mikir seribu kali untuk menerimanya waktu itu."
Deg!. Seolah Dias tengah tahu apa yang dipikirnya dan berkecamuk. Seribu kali?. Ah
tidak. Jujur ia menerima Nolan karena dia apa adanya di buku itu. Soul Adventure.
Baginya itu lebih dari cukup.
Tapi kenapa mendengar serangan Rosemary ia jadi goyah?.
"Insya Alloh Dias. Doakan saya ya."
Tak terasa Medina main cukup lama, hingga menjelang sore. Ia terkaget sendiri.
Apalagi dari handphone nya ada pesan masuk dari Nolan.
"Medina, posisi saya sudah tak jauh dari tempat mu. Ini sudah sore, Honey. Kamu
lagi apa?"
Kok Nolan tahu?.
Aih, ia langsung curiga suaminya sudah mensetting posisi lewat hp dia. Selama hp
dan mapnya online otomatis posisinya terdeteksi.
Ia pun pamit. Keluar dari gedung apartemen itu, matanya menangkap mobil biru milik
suaminya.
Meski mencium tangannya, namun mata Nolan menangkap sorot mata sendu Medina. Belum
lagi sikap diamnya selama perjalanan. Padahal ia suka kecerewetan istrinya yang
segala apa dikomentari.
"Come on Medina, ada apa?" Tangannya menyentuh pipi Medina.
"Nggak ada apa-apa Nolan. Saya lagi pengen main ke teman dan diam saja." ujarnya
mencoba tersenyum.
***
Usai shalat dan dirasa lebih tenang, akhirnya malam itu Medina mencoba menanyakan
hal yang menggundel hati ke suaminya yang tengah membaca buku di ruang bacanya yang
mirip perpustakaan. Sepertinya dia tengah menyiapkan makalah. Layar laptopnya masih
menyala terang.
"Honey, boleh aku nanya?" Medina mengambil kursi dan duduk di dekatnya. Nolan
menutup bukunya sebentar dan mengalihkan pandangannya ke wajah Medina.
"Sure. Ayo cerita. Biar saya enak."jawabnya.
"Apa benar Doktor Rosemary dulu tunangan kamu?". Dia nampak sedikit kaget, tapi
tenang kembali. Oh itu masalahnya. Medina tahu darimana?.
"Iya. Dulu sekali, waktu baru pulang dari Aceh yang pertama. Sekitar tahun 2008,
kami ketemu di kampus kembali setelah berpisah lama. Awalnya kami teman saat ambil
bachelor. Kamu tahu dari mana?"
"Mengapa tak kamu ceritakan di buku biar saya juga tahu sebelumnya."
Sebenarnya pertanyaan ini terdengar konyol sekali. Tapi ia ingin Nolan terbuka
kepadanya.
"Oh My God..Medina. Tak semua momen harus saya ceritakan rinci di buku. Saya
menulis buku itu beberapa bulan sesudah menjadi muslim. Saya tak merasa perlu
menceritakan pertunangan kami yang hanya berumur setahun itu. Awal 2010 kami
berpisah. Dia meninggalkan saya karena menikah dengan seorang politisi Amerika di
New York."
"Bukan karena malu?"
"Malu kenapa?" Nolan merengkuh pundak Medina dan menyandarkan ke dadanya.
"Selama bertunangan apa kalian juga...itu ya..sering tidur bersama?" Tiba-tiba mata
Medina sudah mengembun. Pernyataan itu memang bagian yang menyakitkan.
Nolan tersentak, tak dinyana Medina akan menanyakan sedetail itu.
Ia tahu Medina adalah gadis timur berasal dari negara muslim yang sejak lahir
menjunjung tinggi etika dan moral kesopanan pasti mendengar hal itu dia amat shock.
Sementara di belantara Amerika tak terkecuali negerinya, melakukan hubungan seks
sebelum pernikahan apalagi statusnya sudah bertunangan menjadi hal lumrah asal
dilakukan suka sama suka. Termasuk dirinya saat itu.
"Dear Medina, kamu tahu kan latar belakang hidup saya sangat berliku bahkan hitam.
Saya pernah tak mengenal Tuhan bertahun-tahun, meski di identitas kami punya agama
tapi sesungguhnya tak dipraktekkan. Itu kesalahan hidup saya bersama Rosemary. Tapi
percayalah saya hanya melakukannya dengan dia saja tidak dengan perempuan manapun.
Setelah dia menikah saya pergi ke Aceh kembali dan tak pernah kontak sedikitpun
dengan dia.
Dengar Medina, dia masa lalu saya. Sedangkan kamu..kamu adalah hari ini dan masa
depan saya!"
Nolan mengambil wajah Medina dan menatap lekat dengan bola mata birunya.
Medina mengangguk dan membenamkan wajahnya ke dada suaminya.
"Maafkan saya yang berlebihan" ratap Medina.
"Tak apa. Berceritalah. Saya tak suka kamu diam saja."
Medina mengangguk lagi.
"Jangan sedih. Weekend besok saya mau ajak kamu jalan-jalan agak jauh. Kita bisa
cerita satu sama lain di perjalanan."
"Ke mana?" Kepala Medina menjauh dari dada Nolan yang hangat. Sementara di luar
salju masih turun perlahan.
"Lihat Niagara Falls bersalju. Mau?"
Mata Medina mengerjap indah. Lelaki itu mengusap sisa air di sudut mata perempuan
itu.
Dan kemudian Nolan pun tak tahan untuk tak memindahkan tubuh istrinya ke
pembaringan yang diam melongo sedari tadi. Ia ingin memeluk dan menenangkan
istrinya hingga pagi.
***
Siang itu Nolan sengaja mendatangi ruangan Rosemary. Ia harus menegaskan
perempuan itu. Entah apa sebenarnya yang dimauinya sampai ia nekad mengintimidasi
Medina.
"Oh jadi istri kamu yang dari Asia itu sudah lapor dan merengek-rengek?"
nyinyirnya.
"Rose, please jangan menambah rumit. Saya sudah menikah dengan Medina. Kita tak ada
hubungan apapun lagi. Jadi buat apa kamu memanas-manasi dia dengan cerita usang?"
"Karena saya masih mengharapkan kamu Nolan!. Setelah bercerai dan merenung, saya
sadar kamulah lelaki yang aku cintai."
"Lalu kenapa dulu kamu sengaja pergi?"
"Karena aku tak siap dengan aktivitas-aktivitas yang kamu lakukan. Kamu seperti
orang gila mempelajari segala keyakinan termasuk agama yang primitif itu. Islam."
"Kamu menghina apa yang kupeluk sekarang, Rose" tegas Nolan.
"Ya itu alasan keduaku mengapa harus mendampingi kamu. Mengembalikan kamu kembali
ke jalan yang dulu. Aku juga tak suka dengan mahasiswi berjilbab berkeliaran di
kampus ini!" tukasnya dengan mimik serius.
"Kamu tak hanya menghina saya tapi juga menghina pakaian istri saya, Rose. Kamu
memang sakit!. Kamu rasis dan islamophobia!"
Nolan pergi meninggalkan Rosemary sendiri.
***
"Berapa jam ke air terjun Niagara, Honey?" tanya Medina. Mereka tengah berkemas
untuk travelling. Niagara Falls merupakan salah satu air terjun terbesar di dunia.
Terletak di Provinsi Ontario dan sebagian merupakan perbatasan wilayah Amerika
Serikat.
"Sebenarnya kalau naik pesawat cuma 3 jam sekian, tapi kita akan naik bus ke sana.
Ya sekitar 7 hingga 8 jam. Oya kita mau mampir dulu ke rumah papa mama di Toronto.
Kamu bisa lihat rumah masa kecil saya di sana," seru Nolan tertawa.
Medina teringat orang tua Nolan yang rela datang ke Jakarta untuk melihat acara
pernikahan mereka. Tentu saja ia harus mengenal mereka dengan baik.
Nolan sudah memesan tiket Megabus trayek Montreal-Toronto beberapa hari sebelumnya.
Dengan bis tingkat itu mereka akan menelusuri pemandangan indah sepanjang jalan
menuju Toronto.
Sebenarnya bahasa utama di Kanada adalah Perancis, hampir sebagian besar warga
Montreal berbahasa Perancis. Beberapa nama tempat dan jalan menggunakan bahasa
Perancis di sana. Mungkin Medina perlu privat khusus bahasa Perancis ke suaminya
agar bisa berinteraksi dengan lebih leluasa di luar rumah.
Sepanjang perjalanan mereka akan disuguhi indahnya pemandangan sungai Saint
Lawrence dengan panjang 1200 km yang membelah kota-kota.
"Medina, ini salah satu alasan kenapa saya buru-buru melamar kamu" canda Nolan
ketika mereka sudah duduk rapi di bus. Sementara Medina sedang mencoba akses wifi
yang tersedia sebagai fasilitas bus.
"Apa?"
"Bisa menemani kamu travelling. Jangan sampai di Kanada kamu tak tahu apa-apa
karena tak kemana-mana."
"Ya enggak lah, Nolan. Kalau jalan-jalan kan bisa dengan teman-teman di kampus.
Kemarin Meghan dan Ken mau ajak saya."ujar Medina.
"No, tak enak jalan beramai-ramai" .
Medina tertawa mendengarnya.
"Oh jadi cuma itu alasannya kamu nikahin saya, biar ada teman jalan-jalan?.
Sesederhana itu?", ledek Medina.
Nolan tertawa dan menggengam jemari istrinya.
"Tidak Honey. Ada rahasia besar kenapa saya ingin memiliki kamu".
Ah Nolan baru juga bus berjalan sudah mulai menebar rayuan. Profesor itu mendadak
seperti remaja yang baru jatuh cinta saja.
"Rahasia besar?", tanya Medina.
"Kamu pengen tahu mengapa saya jatuh cinta sama kamu?".
Biar sudah menikah hampir sebulan namun wajah Medina mendadak merona ditanya
demikian. Sepertinya ia sudah mulai jatuh hati beneran dengan pria ini.
"Tell me please, Prof", Canda Medina sembari menyentuh lembut tangan Nolan.
Bersambung #4
Medina #4
Cerita bersambung
Kendaraan warna biru bertulis besar-besar megabus dot com itu melaju pelan menembus
turunnya salju di pagi menjelang siang. Kiri kanan jalan terhampar nuansa putih.
Kanada tengah meringkuk diselimuti salju di musim winter ini.
Meski bersalju, bagi Medina yang jarang melihat fenomena itu, Sungai Saint Lawrence
yang ia intip di seberang jendela bus tetaplah indah meski ada bongkahan-bongkahan
es bertebaran di atasnya.
Nolan mengaduk cup terbuat dari kertas tebal berisikan coklat moka panas.
"Minum, biar hangat dan bibirmu tak kedinginan" ujarnya perhatian. Medina
mengangguk dan menerimanya.
"Thanks. Ayo cerita sekarang," pintanya. Nolan tersenyum jenaka. Istrinya terlihat
nggak sabar. Tadi ia sengaja menjeda karena pesan minuman dulu ke bawah.
Mereka dapat kursi di seat atas. Maunya Medina. Katanya ini kedua kalinya naik bis
tingkat setelah bulan lalu keliling Jakarta menuju wisata Kota Tua. Ya ampun
kayaknya dia traveler gadungan, gumam Nolan tertawa sendiri. Masak sih naik bis
tingkat saja surprise begitu.
"Bagaimana enak coklatnya?" Nolan sengaja menggoda Medina lagi. Mengulur waktu.
"Lumayan, mokanya terasa. Kamu nggak pesan minum?"
Nolan menggeleng. "Belum mau"
Medina menyeruput kembali lalu meletakkan cup coklatnya yang menyisa sedikit di
tempat yang disediakan di punggung kursi depannya.
"Please,..". tangannya gantian meraih jemari Nolan yang putih. Jadi kontras dengan
jari-jarinya yang kuning kecoklatan. Ia meremasnya.
"Kamu mulai pintar merayu, Medina" tukas Nolan tersenyum. Jenggot tipis di dagunya
bergerak. Sementara rambut ikal kecoklatannya yang ketutup topi rajut beberapa
helai menyeruak. Tampan di usia matang.
"Salah sendiri memulai?"
"Okay baiklah. Begini, jadi sebenarnya saya sudah tahu kamu jauh sebelum baca CV
beasiswa S3 kamu ke MGU".
Jidat Medina berkernyit.
"Tahu dari mana?"
"Tidak sengaja Medina. Waktu itu lagi searching nyari jurnal penelitian tentang
human trafficking. Saya belum pernah terlibat dalam hal itu, karena sudut pandang
penelitian saya adalah antropologi."
"Lalu nemu jurnal saya, begitukah Honey?" sambung Medina dengan mimik menggemaskan.
Nolan jadi berhasrat untuk mendekapnya dan menyenderkan kepala Medina ke bahunya.
"Begitulah. Saya tertarik tulisanmu tentang woman trafficking di NTT."
Medina mengangguk. Itu penelitian tesisnya beberapa bulan silam. Untuk mendapatkan
data akurat selama hampir tiga bulan ia bolak balik mengunjungi Labuan Bajo di NTT.
Untungnya penelitian itu disupport oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. NTT masuk zona merah menurut lembaga itu. Karya ilmiahnya itu ia
kirim ke website jurnal internasional meski baru bisa terdaftar pada pengindeks
reputasi sedang.
"Kamu baca feature ku juga yang dimuat di sebuah harian ibukota?" tanya Medina
sambil mengeratkan tangan kanannya ke pinggang Nolan.
"Sure. Justru tulisan itu yang membuat saya jatuh cinta sama penulisnya"
Medina tertawa.
"Oh, Prof...anda pintar membuat perempuan bergembira" ujarnya sok formal.
"Tulisan kamu sangat hidup, menunjukkan interaksi yang serius dengan para perempuan
korban perdagangan itu. Pasti wawancaranya sangat intens, sampai mereka bisa jujur
bercerita."
"Lalu..lalu?" Medina tak berminat membicarakan para korban trafficking.
"Lalu apa?" tanya Nolan.
"Habis baca tulisan, apa yang kamu lakukan sayang?"
"Mengejar dan mencari tahu. Who's Medina?. Sampai saya menemukan link kalau kamu
pernah menulis jurnal bersama Prof. Dahlia Dirgantara?. Dan surprise senang
ternyata kamu mahasiswanya?"
"Oh so sweet.." goda Medina. Ia tak mengira sama sekali, ternyata cerita Nolan
begitu berliku. Tapi perempuan mana yang tak berbunga-bunga ketika namanya dikejar
sampai ditelusuri link-linknya lewat dunia maya?.
"Kamu menginspirasi saya. Saat kubuka facebook, ternyata status-status kamu banyak
bercerita kisah-kisah KDRT dan sejenisnya, meski identitas korban kamu samarkan.
Saya mengikuti setiap hari meski kita tak berteman. Aktivitas mu sangat hebat,
bagaimana bisa membantu orang-orang yang mungkin putus asa tak tahu harus mengadu
ke siapa."
"Tak usah berlebihan, Nolan. Banyak aktivis-aktivis perempuan di Indonesia yang
peduli pada sesamanya" ujarnya merendah.
"I see. Tapi kamu beda. Mungkin karena saat itu saya baru jadi muslim, semangat
saya untuk berubah begitu menggebu. Saya tertarik cara kamu memberikan terapi
korban-korban trafficking dan itu realitas.
Bukan seperti saya yang hanya pandai menuliskan penelitian hukum tanpa pernah
membantu perlindungan hukum kepada siapa yang membutuhkan."
"Kan kamu dosen Prof," hibur Medina. Lucu saja melihat Nolan yang biasanya
berwibawa di depan kelas jadi merendah begitu.
"You too. But you act more.."
Medina tertawa melirik Nolan yang hidungnya begitu mancung menawan. Sepertinya
salju di luar malah membuat hatinya melumer bukan membeku. Sebuah anomali yang
memabukkan. Begitukah cara bule menghargai perempuannya?
"Akhirnya saya memohon Prof Dahlia agar dia mau membujuk kamu daftar beasiswa S3 ke
MGU." tukasnya tanpa malu-malu.
Medina menutup mulutnya. Itukah rahasia besarnya?. Jadi semua atas rekayasa lelaki
ini?.
"My God!" seru Medina.
"Wait Medina. Awalnya Ibu Dahlia tak merespon. Dia bilang kamu tak tertarik kuliah
lagi. Karena...ha..ha.." Nolan tertawa renyah sambil menyandarkan punggung ke
kursi. Medina melotot.
"Kok tertawa? Kenapa?"
"Ibu Dahlia bilang kamu lebih tertarik mencari jodoh daripada kuliah lagi. ltu yang
membuat saya tertawa geli."
Wajah Medina langsung memerah.
"Dia bilang begitu?" Ya ampun Prof Dahlia, kenapa beliau sejujur itu. Dia mendadak
malu. Ingat obrolannya waktu di kampus. Bahwa keluarganya begitu mendesak agar dia
segera menikah.
"Terus..?" Medina kepo dengan kelanjutan cerita Nolan mencoba mengusir malu.
"Terus saya berpikir lama. Apa saya jodoh yang kamu cari, dan kamu perempuan yang
cocok mendampingi saya yang ingin berubah?"
Seperti ada cairan yang menyembul tanpa ijin dari sudut mata Medina. Kenapa ia
tergugah mendengarnya.
"Makanya saya senang sekali ketika akhirnya kamu memutuskan mengirim email aplikasi
dan mengikuti tes online.
Saya yakin kamu pasti lulus. Saya berjanji dalam hati jika kamu lulus dan sampai ke
Kanada saya akan segera melamar kamu."
"Kamu curang, Prof Ramirez.." jawab Medina tersenyum tipis.
"Because I love you. I need you" Nolan mengeratkan dekapannya dan menatap lekat
manik hitam mata Medina.
"Kalau aku tak lulus, bagaimana?"
"Saya tetap akan mengetuk pintu rumah kamu di Jakarta." ujarnya tertawa.
"Di Kanada banyak muslimah muallaf yang cantik, Nolan. Tak harus dengan perempuan
Indonesia," goda Medina.
"I don't know. Apa namanya kalau bukan cinta jika saya tak sabar menunggu kamu di
Bandara Trudeau, dan tak pernah absen membuka facebookmu barang sehari?. Menunggu
kedatanganmu seperti menghitung hari."
"Ah Nolan, kamu bukan profesor hukum tapi profesor cinta yang pandai menggoda
wanita??. Pantas saja Doktor Rosemary tak bisa move on" seru Medina.
Ha..ha..keduanya tertawa.
"Jangan takut lagi kalau dia mengancammu sayang."
Medina menggeleng. "Nggak takut, cuma sedikit kaget dan kesal. Tapi dia tetap
dosenku."
"Medina, kamu harus tahu setelah aku kembali ke Kanada dengan status muslim, banyak
yang tak suka. Teman-teman dekat saya pergi satu-satu. Bahkan ada yang terang-
terangan memusuhi dan mengintimidasi."
"Oh ya. Begitukah?"
"Itulah mengapa aku butuh kamu yang kuat untuk mendampingi iman saya yang masih
lemah," tuturnya.
Medina seolah tak percaya melihat mimik Nolan yang nampak serius saat mengucapkan.
Perempuan itu tak tahu harus menjawab apa, tapi ia berharap bisa mewujudkan
harapannya.
"Semoga aku bisa, Nolan"
"Saya dan seorang kawan berniat membuka lembaga bantuan hukum untuk para imigran
muslim di Montreal. Saya berharap kamu bisa membantu kami, Medina. Kamu punya
banyak pengalaman menangani kasus-kasus sejenis itu. Kau tahu meski di sini iklim
toleransi bagus, tapi ada sekelompok orang yang bisa nekad mengintimidasi" papar
Nolan dengan mimik serius.
"Insya Alloh" hanya itu yang terucap di bibir Medina.
"Okay, Dear. Perjalanan masih jauh. Lima jam untuk sampai Toronto. Kalau ngantuk
tidurlah di pelukanku."
Lelaki itu merengkuh kembali tubuh Medina yang berlapis sweater wol tebal.
***
Mereka sudah sampai di terminal Megabus di Bay Street 610, Toronto menjelang sore.
Shalat ashar sebentar di masjid kecil yang ada di sekitar kawasan itu lalu mencari
makan.
Ada pedagang kebab yang tanpa ragu menulis kata halal di depan kedainya.
"Medina, nanti jangan kaget. Meski papa mamaku tak bercerai, tapi mereka hidup
terpisah. Mereka sibuk masing-masing. Itu terjadi sejak lama. Mama di rumah kami,
Papa punya rumah sendiri di pinggir kota. Dia senang menyendiri bersama buku-
bukunya."
"Dan kamu mewarisinya," gelak Medina. Sebulan bersamanya ia sangat tahu kalau ruang
baca adalah surga bagi suaminya.
"Sudah berkurang, setelah ada kamu, Medina. Kamu ternyata lebih memikat dari
koleksi buku saya" jawabnya sembari menyeruput kopi panas.
Seperti biasa tertawa dan pasang muka jenaka.
Aih...bisa saja, kamu Prof. Hati Medina bergemuruh senang. Ia pun menyantap kebab
menggiurkan itu dengan antusias karena lapar.
Papa Mama Nolan menyambut mereka di depan rumah. Wah, demi menyambut anak dan
menantunya mereka rela terlihat sebagai pasangan yang bahagia. Sama seperti ketika
mereka dulu ke Jakarta.
Mama Nolan bernama asli Catherine meski sudah terlihat keriput di wajah dan kantong
matanya tapi masih enerjik. Rambutnya pirang dengan potongan pendek. Dia wanita
asli Kanada. Sedangkan Papa Nolan, Jonathan Ramirez usianya sudah 65 tahun.
Rambutnya hitam kecoklatan. Dia berasal dari Amerika Latin.
Mama Nolan sangat antusias menyambut Medina, orangnya juga banyak bicara. Sampai
tengah malam menantunya itu masih diajak ngobrol sambil menikmati kudapan khas
Kanada yaitu poutine. Dia sengaja membuat sendiri makanan berupa kentang goreng
yang dibalut dengan lumeran keju, toping daging dan saus itu.
"Mama minta maaf belum sempat main ke Montreal, Medina. Galleri lukisan Mama tiap
hari ramai pengunjung. Besok malah kedatangan tamu dari pemerintahan. Nanti Mama
pasti berkunjung kalau kalian punya bayi!" guraunya.
Ya ampun nggak di mana-mana. Para mertua pasti pada pengen gendong cucu. Medina
hanya tersipu sembari melirik suaminya.
"Kami baru sebulan menikah, Mam. Santai saja."jawab Nolan sembari mengajak Medina
istirahat di kamarnya.
"Sst..apakah malam ini kita mau memenuhi harapan Mama agar cepat punya bayi,
Medina?" Seru Nolan tertawa menggoda.
Medina merajuk seraya mencubit lengan suaminya.
"Sudah malam sekali, Nolan. Aku capek banget..maaf ya."
"Okay, kita segera tidur Honey. Besok juga kan mau ke Niagara biar segar kembali."
Paginya mereka sudah standby di mobil milik Papa Nolan. Tujuan utama mereka ke
Niagara Falls, namun ternyata Nolan mengajak Medina menyusuri Danau Ontario lebih
dulu. Ini salah satu danau terbesar di dunia. Jadi kelebihan danau ini tidak nampak
pembekuan selama musim dingin. Tetap seperti biasa.
Selanjutnya mereka menuju area Niagara Falls. Niagara sendiri adalah daerah yang
merupakan perbatasan Kanada dan Amerika Serikat. Keduanya dipisahkan oleh sungai
besar bernama Sungai Niagara. Di sungai itulah terdapat 3 air terjun besar yang
umum disebut Niagara Falls. Tempat ini merupakan destinasi utama dan teramai di
Ontario.
Bukan hanya di musim panas, musim dingin seperti saat itu pun banyak wisatawan
penasaran ingin melihat.
"Sorry, saya bawa kamu lihat Niagara pas winter dulu Medina, next time kita lihat
pas cuaca biasa. Kamu nanti bisa lihat bongkahan es raksasa. Itu kata orang mirip
di film Frozen" papar Nolan saat mereka memarkir mobil lalu jalan mendekati area.
"Ha..ha...kamu tahu Frozen, Nolan?. Itu kan film Disney anak-anak?" seru Medina
sembari melipat tangannya karena dingin.
Nolan hanya tertawa menggeleng. Mana sempat ia nonton kartun.
Saat melihat di bibir jembatan, Medina tak kuasa untuk segera mengabadikannya.
Tampak pemandangan luar biasa. Air terjun itu bak ledakan es. Niagara Falls membeku
di suhu -67 derajat Celsius. Wow.
Nolan memperlihatkan video yang ia ambil saat Niagara di musim panas. Saat itu ia
pergi bersama adiknya Jeane.
"Coba kamu bandingkan antara air terjun tanpa es dengan yang beku seperti
sekarang". Medina menatap takjub. Luar biasa keajaiban alam. Subhanallah, gumamnya.
Mereka hingga malam di sana, memesan pizza ala Kanada dengan topping cronerberg
crash yakni campuran ketumbar pesto, tahu tandoori, mangga, kacang dan paprika.
Memakannya sembari melihat lampu berwarna-warni di sekeliling Niagara sungguh
sebuah pemandangan fantastis.
***
Nolan dan Medina tiba kembali ke Montreal minggu sore dengan menggunakan Megabus
kembali.
Travelling berdua pertama di Kanada ini sangat membekas di hati Medina.
Mereka bercengkerama satu sama lain. Dan yang lebih mengesankan karena Medina bisa
mengenal keluarga Nolan lebih dekat.
Medina bersyukur apapun pasangan hidup yang sudah Alloh pilihkan untuknya. Nolan
yang humble dan serius dalam bekerja, namun kadang-kadang bisa jenaka.
Ia justru merenungkan tentang harapan Nolan agar ia bisa menjadi pendamping kuatnya
dalam berislam di negara barat itu. Apakah ia mampu?
"Hei,...nanti aku ada kejutan lagi untukmu Medina. Dua minggu lagi" ujarnya saat
mereka menuju komplek apartemennya yang tak terlalu jauh dari kawasan kampus MGU.
"Apa?. Kita mau jalan-jalan lagi?. Asyiiik. Kemana?"
"Ke New York. Saya sudah daftar ke panitia di Islamic Centernya untuk mengikuti
ceramah NAK. Do you know him?" Mata Medina membulat surprais.
"You mean Nouman Ali Khan?. Wow...itu ustad youtube favoritku, Nolan!" seru Medina
dengan gembira meluap.
"Yeah..i know ustadz yang disukai para perempuan. Smart dan tampan..ha...ha."
"Ah,...kamu lebih ganteng, Prof." goda Medina meringis.
Mereka lalu memasuki lift dan menuju lantai 10 apartemen. Saat masuk ke dalam mata
Medina terbelalak.
"Nolan, lihat!. Kacanya pecah dan..seperti kena tembakan!" Medina berteriak menatap
kaca apartemen itu yang membekaskan retak parah.
Tangan Nolan Ramirez mengepal marah.
"Oh No!!. Shit! Mereka sudah berani menterorku!".
"Siapa?", serbu Medina. Ia mendadak cemas. Sepertinya mimpi buruk akan datang.
==========
Nolan meneguk segelas air putih dan bersandar di sofa ruang tamunya. Matanya
memandang tajam lubang di kaca apartemennya. Ia berusaha menenangkan diri.
Tapi tidak dengan Medina. Ia sangat cemas.
"Saya harus telepon ke kepolisian untuk membuat laporan kejadian."
"Nolan, jawab dulu kira-kira siapa yang melakukan ini?" seru Medina.
"Mereka yang tak suka dengan rencana saya melakukan bantuan hukum untuk melindungi
para imigran muslim, Medina. Para imigran sudah dianggap ancaman, karena jumlahnya
tiap tahun bertambah dan mulai menguasai lapangan pekerjaan dan perekonomian baik
di Montreal, Ottawa terutama Quebec sekitarnya. Mereka bukan saja mengintimidasi
imigran tapi juga orang-orang yang membela keberadaan mereka."
"Aku juga imigran bukan?" tukas Medina.
"Tapi statusmu pelajar. Sedang kuliah. Sedikit berbeda. Meskipun...benar juga. Kamu
juga harus tetap waspada, Honey. Setelah kejadian itu tingkat intimidasi terhadap
muslim meningkat. Perempuan berjilbab sejak tahun lalu mulai banyak yang dicurigai.
Salah satunya Rosemary dia tak suka dengan mahasiswi berhijab di kampus."
Medina kaget, pantas saja pandangan Doktor Rose kepadanya tak bersahabat secuil pun
sejauh ini. Dia pikir karena cemburu saja. Ternyata ada motif berbau politis.
"Kejadian apa Nolan?. Aku tak tahu. Jujur aku tak tahu menahu tentang Kanada
sebelum kakiku sampai di sini."
Mimik Medina begitu serius menatap suaminya.
"Bulan Oktober 2014 lalu, ada penyerangan terhadap gedung parlemen di Ottawa oleh
seorang mualaf dan dia berencana mau pergi ke Suriah. Kabar sebelumnya dia pernah
dipenjara 10 tahun karena kasus narkotika. Itu menurut data yang diperoleh".
Medina melongo. Kenapa urusannya jadi runyam begini?. Sepertinya selama kuliah dia
akan berurusan dengan berita tak mengenakan seputar terorisme. Apalagi dia
berjilbab. Dan...kejadian di apartemen ini seolah menguatkan bahwa menjadi istri
seorang Nolan Ramirez tak segampang ia bayangkan. Sosoknya menjadi incaran. Bukan
soal perempuan tapi orang-orang yang berseberangan secara ideologi maupun politik.
Ibaratnya setelah ia bertemu jodoh bukan berarti ujian hidupnya sudah selesai. Ia
akan diuji oleh Alloh dalam sisi kehidupan yang lain. Agar dia semakin kuat dan
bertakwa tentunya.
"Maksudnya dia akan bergabung dengan ISIS?" tanya Medina asal ngomong. Sejujurnya
ia tak terlalu mengikuti berita tentang ISIS yang seolah sudah mendunia itu.
"Begitulah. Dia menyerang karena protes. Sebelumnya pemerintah Kanada memberlakukan
pengawasan ketat terhadap aksi terorisme di setiap tempat. Bisa dibilang gerak-
gerik muslim dicurigai."
"Mengapa pemerintah mencurigai muslim melakukan aksi teror?. Bukankah kejadian 11
September sudah belasan tahun berlalu?," protes Medina.
"Tidak semudah itu melupakan peristiwa Medina apalagi sentimen agama dihembuskan
oleh semua pihak yang terlanjur tak suka dengan Islam.
Ada kejadian di Montreal dua hari sebelumnya. Dua anggota militer Kanada mobilnya
ditabrak oleh seseorang. Salah satunya tewas. Pelaku berhasil ditembak mati. Dan
info yang beredar dia baru masuk Islam setahun sebelumnya. Dia memiliki hubungan
dengan timur tengah."
Medina hanya terdiam. Apa mungkin Nolan suaminya juga masuk dalam daftar mualaf
yang dicurigai?. Ya Alloh lindungilah kami, bisik hati Medina.
"Yang harus kamu tahu sepanjang tahun 2015 kemarin intimidasi terhadap muslim
bermunculan kembali di beberapa tempat. Para imigran sebagai sasaran utama. Kita
harus berhati-hati, Honey."
Esok paginya beberapa petugas kepolisian mengunjungi apartemen untuk mengecek bekas
tembakan. Laporan itu menjadi masukan. Polisi berjanji akan memberikan jaminan
keamanan lebih di kawasan tersebut. Namun sayang untuk mengetahui siapa penyerang
masih harus menunggu penyelidikan. Yang jelas sang penembak pasti sniper jitu
karena bisa mengenali jendela apartemen Nolan dari sekian ratus jendela kaca yang
ada.
***
Nolan tak ingin Medina terlalu memikirkan peristiwa itu meski yang namanya was-was
kadang datang menghantui.
Untuk mengalihkannya, dua minggu setelah kejadian, ia tetap mengajak Medina ke New
York untuk mengikuti kelas ceramah yang diisi oleh penceramah dari Amerika Serikat
yang lagi naik daun, Nouman Ali Khan atau kerap dipanggil Ustadz NAK.
Mereka menggunakan transportasi kereta bawah tanah alias subway yang lazim dikenal
dengan sebutan Metro. Dengan Montreal Metro malam mereka sampai di New York jam 5
subuh. Acaranya sendiri siang. Sambil menunggu, Nolan masih sempat mengajak Medina
jalan-jalan mengelilingi Kota New York macam lokasi patung liberty, monumen 11
September, Times Square, Brooklyn Bridge dan makan burger di gerobak halal food
milik pedagang timur tengah dekat Central Park.
Ya kapan lagi kesempatan itu datang. Bagi Medina tentu saja ini pengalaman pertama
menginjak kaki di Amerika Serikat yang mengesankan.
Dakwah NAK cukup terkenal di kalangan kaum muda. Ceramah-ceramah kelasnya biasa
diupload di youtube yang membuatnya tidak hanya dikenal di Amerika Serikat tapi
seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.
Salah satu kelebihan da'i kebangsaan Pakistan yang masa remajanya tinggal di New
York ini karena dalam ceramahnya selalu menggunakan perenungan ayat-ayat Al Quran
dengan pendekatan humanis. Para pendengar seolah diajak mengenal keajaiban Islam
melalui pemahaman ayat-ayat Al Quran. Menjadikan Al Quran senantiasa update dan
sesuai di segala jaman. Tak terkecuali jaman internet seperti sekarang.
Medina puas sekali dengan paparan ceramah ustadz NAK salah seorang da'i favoritnya
selain UAS, ustadz asli Indonesia. Sepanjang perjalanan pulang ia mendiskusikannya
dengan Nolan.
Perjalanan naik subway tentu saja lebih menyenangkan ketimbang bus. Selain lebih
nyaman di cuaca dingin juga lebih cepat. Metro biasa mengangkut satu juta penumpang
tiap harinya. Dan ini juga pengalaman pertama buat Medina mengingatkannya dengan
KRL Jabotabek alias komuter he...he tapi pastinya jauh lebih aman dan nyaman karena
tidak ada istilah umpel-umpelan.
Sampai di apartemen kembali hari minggu pagi sekitar jam 7 pagi. Lumayan masih ada
waktu buat istirahat untuk memulai aktivitas kembali esok.
Entah karena kecapaian atau apa, badan Medina terasa demam. Sepertinya ia mendadak
masuk angin rasanya seperti meriang.
Nolan yang melihat wajah pucat Medina jadi khawatir.
Ia membuatkan teh hangat.
"Istirahat Honey, sepertinya kamu belum biasa jalan jauh selama di sini."
"Iya. Mungkin masih kaget Nolan." Medina pun membaringkan tubuhnya di kasur.
Namun tak sampai 5 menit, ia mendadak mual dan langsung berlari ke kamar mandi. Ia
memuntahkan semua isi perut tak terkecuali roti yang baru disantapnya sebagai
sarapan.
Setelah mendingan ia pun kembali ke kamar.
Untung Mama membekalinya dengan obat-obatan lengkap. Semua ada di pouch khususnya.
Mulai dari minyak kayuputih sampai balsem ada di sana. Minyak aroma terapi sedikit
membantu meredakan pusingnya.
Saking lelahnya Medina tertidur cukup lama. Bangun-bangun jarum jam sudah menunjuk
angka 11 siang lebih.
"Medina, bangun sebentar. Makan dulu ya. Saya sudah buatin sop untuk kamu" suara
Nolan terdengar lembut di telinga.
"Kapan kamu belanja?"
"Tadi pas kamu tidur. Saya tinggal sebentar. Belanja tak jauh dari sini. Tadi juga
mampir ke apotek beli obat turun panas takut demam kamu belum turun."
"Maafkan, jadi merepotkan kamu. You're very nice husband. And sweety..." Jemari
Medina mengelus tangan Nolan lembut.
Mata biru Nolan menatap lekat. Medina benar-benar membuatnya jatuh cinta dan
dunianya seakan berubah. Sekarang tak terlewat waktu baginya untuk sekedar ingin
tahu apa yang tengah dilakukan istrinya.
Ia menyampaikan uneg-unegnya yang sedari tadi ia tahan.
"Medina, menurut saya jadwal menstruasimu sudah terlambat seminggu bulan ini."
Deg!. Medina terkejut. Ia jarang mengingat jadwal haid. Bagaimana bisa malah Nolan
yang mengingatnya.
"Kamu tahu darimana?" Jawab Medina hampir mentertawakannya.
"Saya mencatatnya di kalender," kata Nolan enteng. Ia menunjuk kalender meja di
samping tempat tidur mereka. Terlihat silang-silang merah menghiasai tujuh tanggal
bulan lalu.
Ya ampun!. Medina tak menghiraukannya sama sekali. Yang jelas fokusnya masih
tentang mengenal Nolan dan tugas kuliah.
"Jadi?. Menurut kamu aku ada kemungkinan hamil?. Secepat itu?". Medina tertawa.
"Nggak mungkin Nolan." Medina masih terasa geli. Ya Alloh apa karena Nolan bener-
bener ingin punya anak sampai segitu detail perhatiannya?.
"Mungkin saja. Tadi di apotek saya melihat perempuan membeli alat cek kehamilan.
Saya memesan 2 merk untuk kamu. Cobalah periksa nanti pas di kamar mandi."
Test pack?. Medina benar-benar surprais. Nolan membuatnya heran sekaligus takut.
Takut mengecewakannya.
"Kalau negatif bagaimana?" ujarnya.
"No problem, Honey. Masih ada kesempatan setiap malam untuk membuatmu hamil," gurau
Nolan disambut cubitan meringis Medina.
Jika di apartemen Nolan tak nampak sama sekali lagak profesornya. Ia bisa jadi
koki, mencuci baju atau beberes rumah membantu Medina.
Lelaki itu pun berbaring di samping istrinya membelai rambut Medina yang menutupi
dahi. Dan mencium bibir Medina yang agak memucat.
"Kamu lagi sakit saja bikin saya tergoda. Jangan lama-lama sakitnya," katanya.
"Aku nggak sakit kok, cuma sedikit capek dan mual. Aku coba sekarang ya test pack
nya. Siapa tahu sudah bisa kedeteksi."
Medina pun mencoba bangkit dari kasur dan pergi ke kamar mandi. Nolan menungguinya
di luar sembari membuka handphone.
Perempuan itu mengambil air seninya yang sejak pagi belum dikeluarkan dengan wadah
kecil. Ia pun mencelupkan batang test pack dengan hati penuh dag dig dug. Apa benar
rasa mualnya disebabkan hormon kehamilan? Bukan karena masuk angin.
Satu...dua...tiga...
Yups. Yeaaah...Garis dua.!!
Giliran mata Medina terbelalak. Ia mengetes dengan merk satunya lagi.
Sama. Positif!!.
Alhamdulillah.
Dan berikutnya, Medina tak kuasa menerima hujan kecupan dari suaminya sampai-sampai
lupa kalau ia tepar sejak pagi.
Nolan mengangkat tubuh Medina dan memutarnya beberapa kali, lupa juga kalau dia
lagi tak enak badan. Saking bahagianya mereka sampai terjatuh di ranjang bersama.
Dan menghabiskan hari di rumah berdua saja.
"Look, saya mau jadi ayah, Medina!"
Mata birunya tak bosan memandangi pipi merah istrinya.
***
"Kamu yakin tetap akan puasa dalam kondisi hamil, Medina?. Jangan kau paksakan.
Tahun ini durasi puasa di Montreal 18 jam. Tak seperti di Indonesia" ujar Nolan
sepulang mengantar Medina ke dokter.
Kandungan Medina akan memasuki usia 5 bulan di bulan Ramadhan tahun 2016 itu.
Menurut dokter puasa tak masalah kalau yakin kuat. Karena sebenarnya puasa hanya
memindahkan waktu makan.
"Insya Alloh Nolan, yang penting saat sahur banyak makan makanan bergizi. Lagian
kondisi kehamilanku sekarang sudah lebih stabil. Nggak terasa mual-mual lagi."
Puasa di Montreal dimulai sahur pukul 03. 00 dan buka puasa sekitar pukul 20.45
waktu setempat.
Ini puasa pertama Medina di luar negeri dan pas dalam kondisi hamil.
Saat di jalan menuju pulang/ itu lah ada notifikasi masuk. Nomor yang tak dikenal.
"Go home to your country!!" Kata-kata yang terkirim.
Medina kaget. Ini pesan aneh kedua yang ia terima setelah kejadian penembakan di
apartemen. Nolan melihat perubahan wajah istrinya.
"Teror lagi?". My God!. Nolan beristighfar. Ia khawatir karena kondisi istrinya
tengah hamil. Takut mempengaruhinya.
"Kau nggak papa, Medina?. Tenang ya..jangan panik. Mereka hanya ingin menakut-
nakuti saja." Nolan menggenggam jemari Medina dan berusaha menguatkannya.
Setelah hampir setahun ini ikut menampung aspirasi warga muslim melalui lembaga
bantuan hukumnya, Nolan menyadari ancaman yang ditujukan itu tak bisa dianggap
remeh.
Kondisi sosial politik di Provinsi Quebec memang lagi tak mengenakkan. Ada larangan
menggunakan niqab (cadar) secara terang-terangan bagi kaum muslimah. Muslim memang
masih masuk kelompok minoritas di sana. Permohonan pendirian masjid juga ditentang
habis.
Laporan intimidasi tiap minggu makin bertambah banyak. Bukan hanya ancaman kata-
kata pedas tapi sudah mengarah pada aksi kekerasan fisik.
Sebelumnya, jendela-jendela masjid di Quebec pernah dipecahkan. Beberapa muslim
melaporkan ancaman pembunuhan , serta mobil-mobil jamaah masjid jadi sasaran
vandalisme.
Suatu malam selepas tarawih ada telepon berdering kencang. Sesaat Nolan tengah
mengaji sambil mengelus perut Medina di sampingnya.
Ia nampak serius.
"Medina, boleh saya ijin meninggalkanmu besok. Saya harus ke masjid di Quebec City.
Ada oknum mengirim bungkusan berisi kepala babi di depan masjid. Lalu poster
tertempel bertulis "Islam hors de chez moi." Nolan tampak cemas.
"Apa artinya itu?"
"Islam keluarlah dari negara kami."
Medina hanya sanggup menutup mulutnya tak percaya.
***
Medina kaget menerima hasil nilai dari Doktor Rosemary. Ia memberinya nilai C.
Tentu saja ia protes. Bagaimana mungkin padahal jawaban dari tes tertulis yang ia
kerjakan sudah sesuai dengan teori dan ia sangat yakin akan argumen yang ia tulis.
"Apa mau kamu Medina, datang memohon ke saya agar ada perubahan nilai?"
"Maaf Doktor Rose, sepertinya anda tidak adil dalam memberi nilai ke saya. Saya
sudah mencocokan dengan jawaban rekan-rekan dan teori yang ada. Tak ada kesalahan
fatal, tapi mengapa anda memberi nilai paling rendah dari seluruh warga kelas?"
"Medina, itu artinya kamu bodoh!. Kalau kamu ingin perbaikan, saya akan memberimu
tugas tambahan dan harus selesai besok pagi."
Medina nanar memandangi perempuan cantik di depannya.
"Mengapa anda melakukan hal ini pada saya. Apa salah saya?"
"Salah kamu?. Kamu mengambil Profesor Ramirez dari saya. Kedua kamu muslim. Aku tak
suka melihat perempuan berkerudung di sini. Kamu menebarkan aroma terorisme!. Bikin
kekacauan. Semua dunia sudah mengakui."
Medina mencoba bersabar. Padahal itu penghinaan besar untuk agamanya.
"Anda seorang dosen, doktor. Tak pantas mencampur adukkan kebencian agama dengan
profesionalisme pekerjaan," pekik Medina.
"Terserah saya. Ingat Medina, kalau saya tak bisa mendapatkan Nolan kembali. Maka
kamu pun tak boleh mendapatkannya. Saya pun bersumpah akan membuat kalian berpisah.
Bagaimanapun caranya!".
Mata Rosemary berkilat. Agaknya ia tak main-main dengan ucapannya.
Medina ingin membalas, tapi mencoba tenang. Percuma melawan orang yang sudah kalap.
"Hubungi asisten saya, kalau ingin nilaimu berubah."jawabnya seraya pergi.
Medina keluar ruangan. Tampak Ken dan Meghan tengah menungguinya.
"Bagaimana?" tanya Meghan. Medina cuma menggeleng lesu.
"Jangan hiraukan dia Medina, kata orang-orang dia dosen psikopat. Wajar saja
demikian, jiwanya sakit," hibur Ken.
Medina cuma bisa melotot kaget. Doktor Rosemary seorang psikopat?. Pantas saja ia
bisa berbuat nekad.
Jangan-jangan teror yang ia terima via sms juga dari dia?.
Medina terduduk di taman sembari mengelus perutnya yang mulai kelihatan membuncit.
Bersambung #5
Medina #5
Cerbung
Mata Nolan menyipit mendengar penuturan Medina.
"Psikopat?. Ah...saya tak tahu berita itu. Mungkin hoaks," jawabnya berusaha
tenang. Ia mencoba mengingat. Tapi memang Rosemary agak berubah sesudah pertemuan
kembali mereka dan lebih tepatnya setelah mendengar Rose bercerai dari suaminya
yang kewarganegaraan Amerika Serikat.
"Aku sebenarnya nggak takut dengan ancamannya Nolan, tapi kalau benar dia psikopat,
aku tak bisa tak memikirkannya. Dia bisa melakukan apa saja demi ambisinya."
"Nilaimu sudah berubah?" tanya Nolan menyelidik.
"Sudah, terpaksa nggak tidur kemarin malam. Semoga semester depan tak ketemu lagi
dengannya."
"Kamu mengerjakan tugas tambahan dari dia?". Medina mengangguk. "Terpaksa."
"My God!" Tangannya mengepal menahan kesal. Ia tak tega istrinya dikerjain
Rosemary. Karena ia pun sudah ikut mengoreksi jawaban ujian Medina.
"Sudahlah Nolan. Saya butuh ketenangan. Kasihan bayi kita..." Medina menangis
sesenggukan sambil mengelus perutnya. Ia segera mengusapnya dengan tissu. Sejak
hamil ia memang gampang cengeng. Ia teringat kehangatan keluarganya di Jakarta.
Seandainya ada mereka di sini.
Nolan merengkuh tubuh Medina, mencium keningnya dan mengelus perutnya. Berharap
pelukannya akan meredakan tangis itu. Ia tak mengira akan mendapatkan problema
demikian di tahun pertama pernikahan mereka.
***
Lebaran 2016 Medina tak bisa merayakannya di tanah air lebih karena kondisi
kehamilannya. Apalagi Nolan sangat protektif sekali menjaganya. Meski orangnya
serius namun untuk memperhatikan kehamilan istrinya seakan menjadi prioritas.
Dialah yang selalu mengingatkan minum susu ibu hamil, banyak istirahat termasuk
kontrol di rumah sakit.
Nolan memang terobsesi sekali menjadi ayah, mengingat kawan-kawan barunya di
Islamic Centre rata-rata sudah punya anak bahkan beberapa karena sudah menikah
lama. Di Kanada sendiri tingkat polulasinya bisa dibilang rendah, jadi jika ada ibu
hamil dan melahirkan akan disambut baik negara dengan memberikan pelayanan
kesehatan yang baik pula. Pajak tinggi di negara itu salah satunya guna
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Syukurlah di Montreal Medina sudah akrab dengan teman-teman warga Indonesia yang
tergabung dalam perkumpulan Syiar Montreal.
Selain sebagai wadah silaturahim dan informasi, Medina amat merasakan kedekatannya
saat lebaran idul fitri untuk pertama kalinya di negeri orang seperti sekarang.
Bertemu dengan teman-teman yang domisilinya menyebar ia juga merasakan support
seolah mengobati teror-teror sms maupun pesan lainnya yang ia dan Nolan terima.
Nolan kian sibuk. Selain jadwal mengajar di kampus, ia ngantor di sekretariat
lembaga bantuan hukumnya tak jauh dari Masjid Al Salam Montreal berdiri. Kadang
baru pulang sesudah shalat maghrib.
Sampai bulan Ramadhan sebenarnya Medina juga ikut membantunya di sana. Dalam sehari
kadang ada dua tiga muslimah imigran yang mengadukan masalahnya terkait perlakuan
diskriminatif di lapangan. Rata-rata mereka mendapat tekanan terkait hijab maupun
cadar.
Saat mendengarkan mereka, Medina barulah menyadari betapa bersyukurnya muslimah
Indonesia yang bisa bebas merdeka mengenakan hijab. Tanpa tekanan apalagi ketakutan
dari pihak luar. Ia sering kangen negerinya, bagaimanapun tinggal di kampung
halamannya jauh lebih menyenangkan.
***
Bulan Oktober tiba. Sore itu Medina bersama Dias dan Aryo suaminya habis pulang
dari pengajian rutin Syiar Montreal di Rue Saint Roch. Mereka meminjam mobil ke
sana.
Dalam perjalanan mendadak perut Medina terasa mulas.
"Mbak Dina, kenapa?. Apa sudah waktunya?" Dias memburunya dengan pertanyaan.
"Perkiraan lahir masih lusa, Dias. Tapi kenapa mendadak perutku kencang dan tegang
sekali." Medina meringis.
"Mas Aryo kita langsung ke Rumah Sakit Anak. Kata Mbak Dina, sepertinya ada tanda-
tanda mau melahirkan,"ujar Dias.
Pasangan suami istri muda itu sendiri belum dikaruniai momongan meski sudah hampir
2 tahun menikah. Sepertinya karena belum dikasih saja.
Aryo mengangguk dan melarikan mobil ke rumah sakit yang dituju.
Medina langsung ditangani para petugas medis dan dokter. Ternyata benar, Medina
sudah mengalami pembukaan 4.
"Dias, boleh minta tolong hubungi Nolan suamiku?. Ia lagi di LBH. Minta tolong agar
dia segera kemari"
"Oke baiklah."
Dias keluar dan mencoba menghubungi Nolan Ramirez. Sementara lelaki itu di
tempatnya masih dikelilingi beberapa tamu imigran ber kulit hitam. Satu dari Afrika
Selatan satunya lagi dari Somalia. Mereka tengah mengadukan masalahnya. Mobilnya
rusak dilempari batu. Mereka kenal pelakunya karena masih tetangga komplek dan
satunya entah kenal di mana. Para imigran itu mau minta ganti rugi karena mobilnya
digunakan untuk bisnis.
Saking seriusnya, Nolan tak menghiraukan panggilan handphone. Baru setelah orang-
orang itu pergi ia punya kesempatan mengecek ponselnya sekaligus mau mengabari
Medina.
Dilihatnya nomor tak dikenal masuk beberapa kali. Siapa dia?.
Tadinya ia tak mau mempedulikan, karena dipikirnya itu teror yang kerap ia terima
belakangan ini.
Ia pun mendialnya balik.
"Hallo?. Ini nomor siapa ya?" tanyanya.
"Assalamualaikum Prof. Ramirez, saya Dias temannya Medina. Mau kasih tahu istri
anda sekarang ada di rumah sakit anak, mau melahirkan. Medina sangat menunggu
kehadiran Prof ke sini."
Nolan kaget. Ia langsung beranjak dari duduknya. Nama Dias, ia pernah mendengarnya
disebut Medina.
Ia lalu pamit ke temannya untuk segera menuju rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi
saat nyetir, akhirnya ia bisa sampai di rumah sakit juga.
Saat mau memasuki kamar bersalin, telinganya mendengar suara bayi memecah suasana
sore menjelang senja.
Telat. Medina sudah melahirkan bayinya tanpa ia saksikan. Beberapa kali mulut Nolan
merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa selalai itu?. Padahal cita-cita Nolan ia
akan menemani istrinya saat berjuang melahirkan.
Seorang petugas medis memanggil keluarga Medina dan akirnya meminta Nolan masuk.
Nolan menuju tempat Medina masih terbaring usai melahirkan. Penuh haru ia memeluk
dan mencium kening Medina lembut.
"Are you okay?". Medina mengangguk meski masih sambil menahan nyeri.
"Maafkan, saya tak bisa menemanimu. Saya pikir masih lusa kamu melahirkan. Tadi
klienku banyak."
"Tak apa, tadi aku ditemani Dias dan Aryo suaminya. Kami baru pulang dari pengajian
rutin bulanan. Tiba-tiba perutku mulas. Syukurlah hanya berkisar 3 jam dari saat
masuk."
"Where's the baby?" tanya Nolan masih memegang telapak tangan Medina.
"Masih dibersihkan, Honey. Gadis kecil bermata biru seperti mata kamu," ujar
Medina. Nolan mengangguk. Ia memang sudah tahu sejak usia kandungan 6 bulan, anak
pertamanya berjenis perempuan.
Tak lama seorang petugas membawa bayi ke arah mereka. Nolan menerimanya. Tak terasa
matanya basah karena gembira. Ia jarang sekali menangis, tapi demi melihat wajah
mungil darah dagingnya ia tak kuasa menahan air dari sudut matanya.
Ia mencium pipi mungil itu dan menatapnya lekat. Lucu dan sangat menggemaskan.
Akhirnya cita-citanya terkabul. Thanks God.
Nolan memperlihatkan bayi itu ke dekat Medina.
"She's beautiful like you," gumamnya dengan mimik bahagia.
"Nolan, bisakah engkau mengazankan dia dulu. Azan di telinga kanan dan iqomat di
telinga kiri?"
"Sure, Medina. Saya sudah belajar ke beberapa teman untuk melakukannya."
Usai mengazankan ia membawa kembali bayi perempuan itu di depan Medina.
"Kamu mau kasih nama dia apa suamiku?"
"Jasmine."
Medina tersenyum.
"Nama yang cantik."
***
Kehadiran Jasmine membawa kebaikan tersendiri. Papa Mama Nolan datang berdua dari
Toronto. Mereka tampak sangat bahagia mengetahui cucu pertamanya telah lahir.
Papa Nolan yang biasa pendiam bisa terlihat lucu saat menggendong Jasmine.
Mereka libur seminggu lebih di apartemen Nolan. Jeane adik ipar Medina pun tak
kalah senang kakaknya akhirnya punya bayi.
Tiap hari orang tua Medina juga tak bosan meneleponnya dari Jakarta dan minta
dikirimin foto-foto Jasmine.
Mereka bermaksud mengunjungi Kanada pas musim semi saja, karena Mama punya penyakit
asma takut nggak kuat dingin salju.
Untuk membantu Medina, Nolan akhirnya membayar asisten rumah tangga meski dengan
biaya cukup mahal.
***
Tak terasa tahun baru 2017 telah tiba. Usia Jasmine sudah masuk 3 bulan dan malah
sudah belajar tengkurap. Tumbuh kembangnya sangat baik.
Situasi di Montreal sedikit membaik memasuki musim dingin tahun kedua bagi Medina.
Perkuliahan di kampus sejauh ini pun baik-baik saja, ia masih bisa mengikutinya
terutama karena support besar sang profesor, suaminya.
Medina tak terlalu kesulitan karena semua buku dan sumber rujukan kuliah sudah
disediakan oleh Nolan, tinggal motivasi besar yang justru dari diri sendiri saja.
Berbagi antara kuliah yang padat dan perannya sebagai ibu. Jasmine terlalu lucu dan
manis untuk sering ditinggalkan.
Sedangkan soal Rosemary, ia hanya mampu berdoa saja kepada Alloh agar terhindar
dari rencana-rencana jahatnya. Semoga apa yang diungkapkan hanya sebatas ancaman
untuk menakut-nakuti saja. Untunglah di semester baru, nama dia tidak terjadwal
lagi.
Bulan Januari ini isu di Kanada banyak dipengaruhi oleh kemenangan Donald Trump
pada pemilu AS bulan November silam. Kabarnya Trump akan dilantik tanggal 20
Januari 2017 pekan depan.
Nolan bercerita banyak bahwa warga AS berbondong-bondong ingin pindah
kewarganegaraan ke Kanada setelah tahu Trump menang, sampai-sampai website kantor
imigrasi Kanada dibuat jebol karena permintaan membludak.
Kemenangan Trump membuat sentimen terhadap Islam menjadi-jadi. Dan benar nyatanya
setelah dilantik, presiden AS ke-45 itu membuat pengumuman kontroversial. Ia
melarang imigran muslim masuk ke AS dari 7 negara timur tengah dan sebagian Afrika.
Banyak yang protes atas kebijakan luar negeri Trump namun ada juga orang-orang
pembenci Islam yang mendukungnya dan seperti mendapat angin segar.
"Besok pagi kamu jadi berangkat lagi ke Islamic Centre di Quebec City, Honey?"
tanya Medina sembari menidurkan Jasmine di ranjang mungilnya dekat tempat tidur
mereka.
Seharian bayi itu bermain dengan kakek neneknya yang baru datang tadi pagi.
Mama Papa Nolan menengok kembali cucunya membuat apartemen itu ramai. Mereka kangen
si kecil berambut coklat itu.
Terakhir ke Islamic Centre di Quebec City pas Ramadhan kemarin saat Nolan berangkat
ke sana karena ada teror kepala babi di masjid.
Perasaan Medina sering tak enak jika Nolan berniat ke sana. Faktanya tempat itu
memang sering jadi sasaran kebencian. Amat mengherankan di negara yang katanya
mengagungkan demokrasi masih ada orang-orang picik yang mengintimidasi tempat
ibadah.
"Ya Medina, ada pertemuan rekan-rekan muallaf se provinsi Quebec. Saya pulang
tanggal 30 sore. Ada Papa Mama. Insya Alloh kamu nggak sendirian menjaga Jasmine."
"Oh Nolan, entah kenapa sejak lahir Jasmine aku justru was-was kalau melepasmu
keluar rumah," kata Medina melirik suaminya.
Senyum humble itu muncul meneduhkannya. Medina tak bermaksud melarangnya pergi.
Insya Alloh kepergian Nolan karena kepentingan syiar Islam. Ia akan bertemu teman
dan tokoh Islam di sana.
"Kenapa sekarang kamu jadi manja?" Lelaki itu menarik pinggang Medina yang sudah
mengecil kembali setelah melahirkan.
"Entahlah," jawab Medina sekenanya.
Nolan menyentuh bibir Medina dengan jarinya lalu menciumnya hangat. Terasa lembut
dan melecutkan keinginan khas di tubuhnya.
"Kamu pasti lagi rindu." Ujarnya menggoda membuat Medina terhanyut. Nolan segera
menutup pintu kamarnya.
"Rindu?. Rindu sama kamu?" Medina tertawa.
"Rindu bercinta," bisik Nolan, seolah mengingatkan sejak Medina melahirkan Jasmine,
Nolan sangat membatasi aktivitas itu meskipun ingin. Ia tak mau kebobolan, Jasmine
baru 3 bulan.
Medina tersenyum malu.
Nolan membawanya ke tempat tidur mereka.
"Jangan khawatir, tadi saya sudah ke apotek. Membeli pengaman."
Malam itu mereka habiskan untuk saling melepas kerinduan yang membara.
***
Tanggal 29 Januari 2017, malam. Saat mereka bertiga tengah menonton TV. Medina baru
selesai melaksanakan sholat Isya. Nampak mertuanya sedang asyik nonton berita.
"Jasmine tertidur pulas, Ma. Biar saya bawa ke kamar dulu," kata Medina. Catherine
menyerahkan cucunya ke tangan Medina.
Baru saja ia meletakkan bayi mungil itu dalam kamar, suara Mama mengagetkannya.
"Medina, ke sini..!"
Ia pun bergegas kembali mendekati mereka.
"Nolan acaranya di mana?" tanya Papa mertua.
"Di Islamic Centre, masjid Quebec City. Ada apa Papa?" Mata mereka masih menatap ke
TV. Meski kedua mertuanya bukan muslim tapi sepertinya mereka mulai memahami
aktivitas anaknya.
Medina mencoba menyimak. Terdengar suara ambulans meraung di TV.
"Ada penembakan di dalam masjid, Medina. Penyerang menembak orang-orang yang sedang
beribadah," lanjutnya.
Medina tersentak mendengarkan berita. Menurut sang anchor berita dikatakan telah
terjadi penembakan brutal di dalam masjid. Saat mereka melaksanakan shalat Isya.
Korban 6 orang tewas dan 19 luka-luka.
Satu dari yang tewas adalah seorang profesor!.
Apakah Nolan??. Tidaaaaak!!. Medina tercekat.
==========
Ponsel Nolan sama sekali tak bisa dihubungi, membuat Medina semakin cemas. Ia tahu
berita itu belum final dan boleh jadi profesor yang dimaksud bukan Nolan. Tapi
agaknya setan amat kuat menghembuskan bisikan-bisikan cemas ke dalam dadanya.
Ia pun tak kuasa menangis. Pikirannya penuh prasangka ke mana-mana. Bagaimana kalau
Nolan benar-benar pergi?. Bagaimana nasib Jasmine jika Papanya nggak ada?
"Ayo, saya antar ke Quebec City kalau kau mau?" tawar Ayah mertuanya demi melihat
menantunya sesenggukan.
"Iya, biar Mama yang jaga Jasmine," kata Catherine. Dia terlihat sayu meski
berusaha tegar. Bagaimanapun Nolan adalah anaknya.
Medina mengangguk. Ia segera berwudhu agar tenang lalu mengambil pakaian tebalnya.
Winter tahun ini membuat jiwanya gundah.
Tepat keluar apartemen, Medina melihat Aryo dan Dias. Tadi ia memang sempat
menelpon Dias siapa tahu dia dan suaminya dapat informasi lebih jelas mengenai
peristiwa itu dan siapa saja korbannya khawatir ada orang Indonesia.
"Mbak Dina apa sudah ada kabar Prof Ramirez?" Dias memberondong dengan pertanyaan.
Medina menggeleng.
"Saya dan Papa mau ke sana untuk memastikan. Aku juga nggak mungkin bisa tidur jika
hanya menunggu. Telepon suamiku tak aktif."
"Kalau begitu kami ikut Mbak. Naik mobil kami saja. Tadi saya nggak tahu kalau ada
papa mertua mbak Dina," tawar Aryo.
"Thanks, Nak. Kebetulan sekali kami tadinya mau naik Metro. Tapi biasanya antri
lama. Terima kasih atas bantuannya. Apa kalian teman-teman kampus Medina?"
"Bukan Tuan. Kami sama-sama warga Indonesia yang kuliah di Montreal dan Ottawa.
Kebetulan kami suka bareng untuk acara pengajian, eh maksud saya... kumpul-kumpul
bersama," terang Dias ingat kalau Papanya Nolan bukan muslim. Medina pernah cerita.
Papa Nolan tersenyum. Wah baik dan peduli banget mereka. Agaknya persahabatan
sesama warga membuat mereka kuat satu sama lain.
Perjalanan ke Quebec City ditempuh dalam waktu 2 jam, itu masih termasuk cepat.
Biasanya lebih. Kebetulan jalan lancar meski salju turun.
Sesampai di lokasi Islamic Center yang juga Masjid Agung di Kota Quebec, suasana
tampak semrawut. Garis polisi menutupi jalan. Ramai orang berkerumun di sekitar
masjid.
Mereka segera turun dan mendekat.
"Kalian masuklah biar saya nunggu di sini, di parkir mobil. Nanti Papa sambil cari
info, Medina". Perempuan itu mengangguk. Mungkin ayah mertuanya jengah untuk
memasuki masjid.
Medina berhasil menemui salah seorang yang dari penampilannya seperti ulama. Gamis
putih dan ada sorban di lehernya.
"Assalamualaikum, Syaikh. Apa kami bisa mendapatkan info tentang kejadian
penembakan?" Tanya Aryo mewakili Medina.
"Siapa saja yang meninggal? Apa ada seorang profesor? Saya dengar berita demikian.
Berapa umurnya, Syaikh?"
Medina gantian memberondong.
"Sebentar, saya tidak hapal. Tapi tadi saya menyalin dari anggota polisi jumlah
korban yang meninggal."
Ia mengeluarkan catatannya.
"Profesor Khaled dari Laval University. Umur 60 tahun." Aryo mengeja nama-nama
korban dari kertas yang diberikan.
Medina merangkul Dias. Ia lega sekali, nama Nolan tidak jadi korban.
"Yang sholat di masjid sekitar 50 orang, sisanya luka-luka entah berat atau ringan.
Semua korban luka dibawa ke rumah sakit."
"Ke rumah sakit mana Syaikh?"
"Beda-beda, Nak. Pokoknya masih di sekitar Kota Quebec. Kalian mencari siapa?"
"Mencari suami saya Syaikh. Namanya Profesor Nolan Ramirez alias Nolan Abdurrahman,
mungkin Syaikh kenal?. Dia domisili di Montreal, ke sini karena sedang ada
pertemuan para muallaf" papar Medina.
"Jadi anda istrinya?. Yang orang Indonesia itu?" Medina tersenyum. Alhamdulillah
sepertinya dia kenal Nolan.
"Di mana suami saya Syaikh, apa dia selamat?"
"Prof. Nolan terluka di lengan kanan. Tadi dibawa ke rumah sakit pusat Universitas
Laval." jawabnya. Laval adalah nama sebuah kota di Quebec yang letaknya di sebelah
selatan.
Mereka akhirnya menuju ke rumah sakit yang letaknya masih di kawasan kampus
Universitas Laval. Meski malam semakin larut tapi agaknya peristiwa penembakan yang
menghebohkan itu mampu membuat suasana di Quebec dan sekitarnya kacau balau salah
satunya berujung kemacetan.
Masih terlihat mobil polisi mondar mandir dan sirene berbunyi menembus tengah
malam.
Pihak rumah sakit untungnya membolehkan para keluarga yang mencari informasi
keberadaan korban tanpa dibatasi waktu. Beberapa perempuan berhijab terlihat
bersliweran.
Seorang lelaki petugas medis mengiyakan ketika ditanya identitas korban bernama
Nolan Ramirez.
"Dia terluka di lengan sebelah kanan, untung segera tertangani. Korban sempat
pingsan selama 1 jam karena banyak darah yang keluar."
Medina tak kuasa menahan tangis. Dias memeluknya dan menenangkan.
"Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Jonathan Ramirez, ayah Nolan.
"Dia sudah siuman, lukanya sudah tertangani tapi butuh istirahat. Mungkin sedang
tidur."
Petugas itu mengantar ke ruang perawatan pasien. Mata Medina nanar demi melihat
sosok terbaring itu.
Nolan nampak lelap dengan lengan dibebat. Wajahnya yang putih semakin memucat.
Medina menarik kursi dan duduk di samping pembaringan. Ia mencium kening suaminya
pelan dan menggenggam hangat telapak tangannya.
"Nolan, cepat pulih sayang"
Mata Medina mengembun. Ia teringat betapa baiknya Nolan selama ini. Di balik sikap
serius, kadang-kadang terselip kejenakaannya. Di balik ketinggian pengetahuannya
terselip kesederhanaanya. Ia tidak pernah malu turun ke dapur memasak, atau beberes
rumah. Justru Nolan banyak mengurusinya. Termasuk menemaninya belajar hingga larut
malam padahal mungkin dia juga capek.
Suasana hening menyelimuti.
Aryo dan Dias pamit keluar dulu mereka akan mencari penginapan terdekat dan besok
pagi-pagi akan ke rumah sakit lagi untuk menengok.
Jonathan Ramirez menyalami Aryo dan mengucapkan terima kasih begitu dalam akan
kebaikan kedua suami istri itu mengantar mereka.
"Tak apa Tuan. Medina sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Sudah kewajiban kita
saling menolong." ujar Dias lalu berpamitan.
***
Mata Nolan terbuka pelan. Ia merasa telapak tangannya ada yang menahan. Ia
tersentak ketika melihat seraut wajah telungkup di sisi kirinya dengan mata
mengatup lelap.
Medina?!. Ia kaget namun senang. Tak nyana istrinya sudah menyusul dan kini berada
di sampingnya.
"Honey,...bangun." Ia mengelus pipi Medina pelan. Medina terjaga sesaat, ia
mengusap matanya. Nampak Nolan tersenyum lirih. Ya Alloh baru sadar ia tertidur
beberapa jam di bangsal rumah sakit ini.
"Nolan,...Oh Nolan bagaimana keadaanmu?. Aku sangat takut dan khawatir mendengar
berita penembakan itu." Medina mencium pipi Nolan dan mengusap rambutnya yang
coklat bergelombang itu.
"Alhamdulillah Alloh masih memberi kesempatan untuk saya selamat. Jangan menangis
Medina, lihat saya tak apa-apa. Hanya luka di tangan."
Ia mengingat kembali peristiwa mencekam itu. Saat mereka, jamaah shalat Isya takbir
lalu tenggelam dalam kehangatan shalat tiba-tiba terdengat suara tembakan
memberondong memecah keheningan.
Ia yang berada di shaf ketiga masih sempat melihat tiga laki-laki bertopeng masuk
memuntahkan peluru ke sana kemari.
Nolan hendak menyelamatkan anak kecil di depannya, namun karena peluru berhamburan,
lengannya terkena luncuran timah panas itu dan seketika darah mengucur. Ia terjatuh
tak sadarkan diri.
"Ya Alloh, biadab sekali orang-orang itu!" teriak Medina. Suaranya yang agak
meninggi membangunkan Papa Nolan yang tertidur di kursi. Lelaki itu bangkit
mendekati anaknya dan memeluk Nolan erat. Ia seperti menangis.
"Saya nggak apapa. Saya selamat, Papa." Lelaki tua itu tersenyum.
"Bagaimana Jasmine?"
"Dia baik, dijaga Mama di apartemen." jawab Medina seraya merapikan selimut Nolan.
Medina pun ijin untuk shalat subuh sebentar.
Syukurlah siangnya Nolan diijinkan pulang dan dirujuk perawatan lanjutan ke rumah
sakit di Montreal untuk mengganti perban pembalut luka dan membersihkannya agar
tidak infeksi karena jahitan di kulitnya.
***
Peristiwa penembakan itu menyisakan kecaman di seluruh dunia. Perdana Menteri
Justin Trudeau menyebut apa yang dilakukan penembak adalah kejahatan teror terhadap
umat Islam di negerinya. Ia membela habis-habisan umat muslim dalam segala
kesempatan maupun di depan media.
Salah seorang penembak seorang pemuda usia 27 tahun keturunan Perancis Kanada dan
tercatat sebagai mahasiswa Universitas Laval berhasil diringkus polisi. Ia
disinyalir sebagai pengagum berat Donald Trump.
Memang amat disesalkan di negara maju sekalipun tindakan barbar bisa dilakukan atas
nama sentimen SARA.
Akan tetapi memang selalu ada hikmah di balik sebuah kejadian.
Simpati terhadap umat Islam pun berhamburan. Warga Kanada ramai-ramai mengumpulkan
sumbangan untuk para korban maupun keluarganya dan perbaikan masjid. Penjagaan
masjid lebih diperketat. Keingin tahuan warga terhadap Islam justru semakin besar.
Meski minoritas tapi Islam dianggap memiliki pengaruh penting.
Nolan kembali beraktivitas di kampus seperti biasa. Sebulan sudah ia mengajar di
kelas dengan tangan dibebat perban namun ia berusaha menikmatinya. Apa yang
dialaminya ia anggap sebuah resiko dalam perjuangan. Dan saat ia membaca sejarah
Islam, ia pun diingatkan bahwa apa yang dirasakan masih belum seberapa dibandingkan
perjuangan para sahabat di masa nabi.
Awal April tangannya sudah kembali sedia kala bahkan ia pun mulai menerima undangan
sebagai dosen tamu di beberapa universitas di Kanada juga undangan sebagai
pembicara.
Seperti akhir pekan ini dia baru pulang dari Vancouver menghadiri simposium selama
sepekan. Ia tiba di Montreal Sabtu pagi. Tak sempat mampir kemana-mana karena ia
sudah merindukan Medina dan Jasmine.
Medina menyambutnya dengan sukacita. Ia memasak makanan kesukaan Nolan yakni Shish
Taouk dan menyiapkan Sirup Maple.
Shish taouk adalah nama lain dari sate ayam ala Montreal. Cara pembuatannya, daging
ayam tanpa tulang direndam, lalu dipanggang dengan tusukan sate. Setelah itu
disayat dan diselipkan di dalam roti pita dengan sayuran acar.
Roti pita itu semacam roti pipih asal timur tengah di dalamnya kopong bisa diisi
dengan aneka filling.
Sedangkan Sirup maple merupakan sirup khas Kanada dari pohon maple yang bermanfaat
mencegah beberapa penyakit seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan penyakit lain
yang disebabkan bakteri.
Medina sudah mempersiapkan diri sejak semalam untuk menyambut kekasihnya pulang.
Sejak kejadian itu ia memang takut sekali kehilangan Nolan.
Pagi itu Medina nampak cantik dengan balutan dress warna lavender tanpa lengan
dengan panjang di atas dengkul menyisakan tungkainya yang jenjang.
Dengan bandana warna senada yang melapis rambut hitamnya sebahu perempuan itu
semakin manis terlihat.
Ia masih sibuk menata meja ketika Nolan baru keluar kamar mandi untuk bebersih.
Jasmine masih bermain di baby strollernya didampingi Vivian, asisten rumah
tangganya. Mereka tengah jalan-jalan ke taman depan apartemen. Taman yang selalu
ramai tiap pagi apalagi weekend seperti ini di musim semi yang indah.
"Kita sarapan, Honey" ajak Medina yang berdiri di meja makan. Nolan tak menggubris
meski memang perutnya lapar.
Matanya menatap liar tubuh Medina yang tampak begitu segar. Apalagi harum rambut
hitamnya tercium dari ia berdiri. Seketika rasa kangennya yang ia tahan selama
sepekan meraju-rajuk begitu saja.
Ia menangkap tubuh Medina dari belakang dan langsung menempelkan dadanya di
punggung lentur itu. Ia pun menghirup segar rambut Medina.
"Kamu yang memasak semua ini, Dear?"
"Iya dong. Khusus buat Profesor Ramirez yang baru pulang. Aromanya sedap kan? Gak
kalah deh dari restoran," puji Medina sendiri seraya melirik wajah menjulang
suaminya.
"Ehm..kamu memuji sendiri."
"Iya lah daripada nunggu pujian dari kamu. Lama. Ha..ha.." Medina tertawa.
Wajahnya semakin terlihat cantik jika tertawa begitu. Nolan seolah menemukan
kembali senyum yang hilang karena sms-sms teror yang lalu.
"Sepertinya lebih sedap aroma leher kamu, Honey," ujarnya membalas terkekeh sembari
mencium rambutnya kembali.
"Jangan macam-macam, Nolan. Masih pagi. Ada Vivian, sedang mengasuh Jasmine di
luar."
Padahal Medina sengaja mengunci pintu karena sekarang ia mengenakan kostum khusus
untuk pangerannya. Dress yang sedikit terbuka dan menggoda mata.
"Kamu curiga saja. Medina sayang." Nolan membalikkan badan Medina dan membawanya ke
sofa tak jauh dari posisinya berdiri. Ia memangku tubuh Medina. Dan memandangnya
lekat. Dengan busana begitu, Medina terlihat begitu menggairahkan.
"Nolan ada apa, pulang dari Vancouver genit begini. Jangan bilang kamu ketemu
mahasiswi cantik di sana," rajuknya.
Nolan memamerkan senyum khasnya.
"Mahasiswi cantik? Nggak ada mahasiswi saya yang cantiknya melebihi kamu, Medina."
"Aih, jika ada profesor di dunia yang pandai merayu kamu pasti pemenangnya." Medina
menyentuh rahang keras suaminya.
Nolan menangkap tangan itu dan menciumnya.
"Kapan kamu mau mengajak aku dan Jasmine ke Vancouver?"
"Nanti, insya Alloh pas musim semi bulan Juni Honey, banyak bunga-bunga indah di
sana. Sekalian sama Papa Mama kamu dari Jakarta katanya mau ke sini bulan Juni,"
jawabnya lembut sembari membelai rambut Medina.
"Okay, semoga Alloh memberi kesempatan itu. Ayo kita makan," tukasnya gantian
menatap mata biru Nolan yang selalu membuatnya terkesima.
Medina hendak turun namun tangan Nolan mencegahnya erat. Medina tak bisa berkutik.
"Pagi ini kamu terlihat cantik dan seksi, Honey. Lapar saya jadi hilang." kata
Nolan dengan mata mengerjap.
"Baru sekarang sadar?"
"Dari dulu dong, tapi sekarang lebih-lebih mungkin karena saya sudah kangen, lama
tak mencium kamu," godanya.
Wajah Medina merona.
Nolan langsung menyambar bibir Medina dan pelan berselancar di sana. Medina
terhanyut. Serta merta menyambutnya. Lelaki itu tahu istrinya juga pasti
merindukannya. Ia sudah hafal bahasa tubuh Medina.
Profesor muda itu seperti hilang kendali jika sudah menikmati sang istri inci demi
inci.
Hampir saja mereka terlena melanjutkan permainan mesra ke tahap berikutnya di atas
sofa itu kalau saja suara ketukan pintu tak menghentikan keduanya.
Mereka tersadar. Syukurlah tadi Medina sempat mengunci pintu. Kalau tidak, bisa
saja ada mata tak diundang memergoki mereka. Dan pasti mereka malu luar biasa.
Medina melepaskan diri dari pelukan Nolan dan segera masuk kamar untuk membenahi
bajunya yang berantakan sekaligus mengenakan kerudung.
Meski merasa terusik karena dirasa mengganggu kesenangannya, Nolan segera merapikan
kancing kemeja lengan pendeknya yang sudah beberapa terlepas akibat ulah tangan
Medina tadi. Ia menuju pintu dan membukanya.
Ia terkejut. Nampak papa mamanya berdiri membawa tas koper, dibelakangnya Vivian,
asisten rumah tangganya yang kerja paruh waktu itu sembari mendorong baby stroller.
Wajah Nolan berubah cerah dan menyambut mereka. Apa Papa Mamanya mau menginap lagi?
"Nolan,..apa kabar?. Kamu sudah sembuh beneran kan?" tanya Catherine. Nolan
mengangguk. Ia memeluk mereka.
Tak lama Medina keluar dengan gamis rapi dan menyalami mertuanya. Bola matanya
mendelik jenaka ketika bertatapan dengan mata milik Nolan.
Pasalnya lelaki itu memandangnya dengan senyuman meledek. Mungkin masih mengingat
aktivitas yang mereka lakukan tadi yang belum tuntas tapi keburu diberesin secara
paksa.
Papa Mama Nolan akhirnya disambut dengan sarapan bersama di meja makan.
"Wah hebat, Medina sudah pintar memasak makanan Kanada," puji Catherine.
Medina cuma bisa tersenyum dan melirik suaminya.
Setelah ngobrol basa-basi, Jonathan Ramirez angkat bicara.
"Nolan, setelah hampir 2 bulan kami merenung. Kami meniatkan keputusan ini dengan
seksama"
"Keputusan apa Pa?"
"Kami. kami berdua mau masuk Islam seperti kamu.." lanjut Catherine.
Deg!. Nolan seolah tak bercaya.
Ya Alloh, seru Medina dalam hati. Ia merasa doanya terkabul. Bersambung #6
Medina #6
Cerita bersambung
Mata biru Nolan bersinar cerah. Ia tersenyum penuh bahagia.
"Benarkah?"
"Iya. Benar. Papa sudah melihat kebaikan itu. Warga Muslim yang baik dan penuh
kasih sayang," seru Papa Nolan.
"Setelah kejadian penembakan itu, Mama antusias baca-baca buku tentang Islam dan
membeli Al Qur'an di Toronto.
Mama tahu kamu perlu bertahun-tahun juga untuk mempelajarinya, Nolan. Mama percaya
kamu pasti tidak main-main ketika mengambil keputusan itu." Mata Catherine berkaca-
kaca.
"Ya Alloh terima kasih." Mata Medina ikut berbinar-binar. Indah sekali melihat
hidayah itu telah menghampiri mereka. Semoga nanti Jeane pun menyusul.
"Nanti antarkan Papa dan Mama ke Islamic Centre di Quebec City."
Nolan mengangguk dan memeluk serta mencium mereka.
Ya Tuhan, sebuah nikmat tak terkira. Ia sama sekali tak pernah memaksa mereka.
Apalagi Papa orangnya sangat merdeka sekali dalam berpikir. Ia tidak suka jika ada
orang yang berani mempengaruhi, gumam Nolan.
"Kami juga berencana membeli rumah di Montreal biar dekat Jasmine." Nolan semakin
surprais. Papa mengatakan 'kami' berarti mereka akan kembali serumah lagi?.
"Rumah di Toronto?" tanya Medina.
"Jeane mau menempatinya. Dia dapat pekerjaan baru di sana." jawab Catherine.
Di dalam kamar Nolan tak kuasa menahan rasa bahagianya. Ia memeluk sang istri
begitu rupa.
"Medina, hari ini saya begitu bahagia. Akhirnya Papa dan Mama..."
"Alhamdulillah Nolan, aku pun senang Papa Mama mau berhijrah."
Nolan menciumi wajah istrinya penuh gairah.
"Hei,..kamu aneh mereka yang dapat hidayah kok malah aku yang kamu ciumi Nolan?"
Medina terbahak. Ia mendorong pelan tubuh suaminya.
"Entahlah. Saya yakin, mereka mendapat hidayah lewat perantara kamu. Selama di sini
kan kalian sering ngobrol. Tadi Mama mengatakan suka memperhatikan kamu kalau lagi
shalat dan mengaji."
Medina angkat bahu. Ia tidak pernah merasa mempengaruhi mertuanya.
"Dan kedua,...mari kita lanjutkan cumbuan yang terhenti di sofa tadi, Honey." bisik
Nolan pelan seraya membuka kerudung Medina.
"Nolan,...ada-ada saja. Ini masih siang."
"Memang kenapa kalau siang Medina, tak ada larangan mencumbui istri siang-siang
bukan?. Ramadhan masih bulan depan."
Goda Nolan tertawa mulai beraksi membelai lehernya.
Namun ketika kepalanya menunduk mendekati wajah Medina. Suara ketukan pintu kamar
terdengar. Entah siapa lagi yang mengetuk. Sepertinya Vivian. Ah wanita parobaya
itu mengganggu saja, kata Nolan.
"Apa kubilang Nolan?"
***
Pekan pertama di bulan Mei 2017 Kota Montreal dilanda musibah. Karena curah hujan
yang terus menerus dalam sepekan ditambah salju yang mulai mencair mengakibatkan
banjir melanda di tengah kota. Ada 126 kota di Provinsi Quebec menjadi zona banjir.
Di Montreal sendiri sekitar 200 lebih rumah warga yang terendam. Sejak tanggal 9
Mei Pemerintah menetapkan kondisi gawat darurat dan menurunkan 1200 tentara untuk
mengevakuasi warga.
Nolan dan Medina sendiri yang tinggal di apartemen lantai 10 dekat kawasan kampus
MGU bisa dibilang aman, akan tetapi kondisi yang melanda warga Montreal tentu saja
menjadi perhatian sendiri terutama kaum muslim di Montreal.
Untuk beberapa hari mereka disibukkan dengan membantu secara logistik warga,
menyediakan tempat evakuasi dan ikut kerja bakti di beberapa titik dengan menampung
pasir di plastik guna membuat tanggul penahan banjir.
Saat kondisi musibah itulah warga terlihat bersatu saling membantu meski berbeda
antar ras, kebangsaan bahkan agama. Mereka bahu membahu satu sama lain.
Untuk membantu evakuasi beberapa sahabatnya yang rumahnya kebanjiran terutama yang
memiliki balita, Nolan tak segan merogoh koceknya untuk membantu membayar sewa
apartemen selama sebulan. Mereka lebih membutuhkan bantuan segera.
Bahkan royalti buku yang besarnya lumayan diterima ia sumbangkan semua untuk korban
banjir. Padahal rencananya hendak ditabung untuk bekal kepulangan mereka tahun
depan ke Indonesia.
Sebenarnya Medina sedikit agak protes, karena merasa sekarang ia pun tak punya
penghasilan sendiri nyaris segala kebutuhannya amat tergantung dari Nolan.
"Kenapa harus semua Nolan, tabungan kita habis. Dan kamu sendiri tak membolehkan
aku cari kerja paruh waktu untuk membantu biaya hidup yang serba mahal di sini."
"Kamu mau kerja?. Jangan. Sudah capek kuliah nanti siapa yang mengurus Jasmine.
Jangan takut begitu Medina."
"Itu...itu tabungan buat kita mudik ke Indonesia, Nolan. Maksudku jangan dihabiskan
semua."
"Rejeki pasti datang lagi, Dear. Kita harusnya bersyukur rumah kita tak terendam
banjir seperti mereka. Sebagai tanda syukur kita wajib membantu mereka. Jangan
khawatir insya Alloh nanti dapat ganti yang lebih baik. Kita juga pasti bisa pulang
ke Indonesia tahun depan." ujar Nolan optimis.
Medina beristighfar. Kenapa Nolan yang muallaf justru lebih yakin daripada dia?.
Agaknya ia yang harus banyak belajar ikhlas dari suaminya.
Mungkin karena ia perempuan selalu banyak pertimbangan dan perhitungan apalagi
menyangkut uang.
***
Setelah mendengar kondisi Montreal, Orang tua Medina memundurkan jadwal menengoknya
bulan Juli 2017 atau habis lebaran. Mendengar durasi puasa yang cukup panjang di
Kanada mama Medina yang punya sakit maag kambuhan juga mempertimbangkan apa kuat
jika menjalankan puasa di Kanada.
Pertengahan Juli saat Kanada sudah memasuki musim panas, akhirnya Papa dan Mama
Medina tiba dari Jakarta.
Akhirnya mereka pun bisa menjumpai Jasmine, cucu mereka yang kini sudah masuk usia
9 bulan.
Medina menyambutnya dengan sukacita karena sudah setahun lebih tak melihat sosok
mereka. Ia kangen Mama.
Biarpun mereka dulu kerap beda pendapat tak pernah Medina bérniat menjauhi Mama.
Ia sangat menyayanginya dan selalu bertekad membuatnya bahagia.
Tadinya ia khawatir dan tak yakin Mama bakal bisa menerima Nolan, jodoh yang
ditunggu anaknya itu dan dia ternyata produk impor. Tapi entah jurus apa yang
dikeluarkan Nolan saat melamar dulu sampai Mama juga akhirnya bertekuk lutut untuk
menerima.
Pas weekend sesuai janji Nolan akhirnya ia berhasil mengajak Papa Mama Medina ke
Vancouver. Kebetulan Medina juga belum pernah ke sana. Hitung-hitung bulan madu
kedua mereka.
Mereka menginap di kawasan Stanley Park sebuah taman nasional Kanada di Vancouver
dengan ciri hutan dan taman juga seawall atau dinding laut.
Seawall semacam tembok batu yang berdiri megah mengelilingi taman untuk mencegah
erosi.
Tempat wisata ini sangat kesohor di Vancouver bahkan katanya karena lebih bagus dan
luas daripada Central Parknya New York, dan itu diakui Medina. Vancouver sangat
indah dengan Stanley Park nya.
Malam itu di sebuah kamar hotel yang sejuk, Mama mengajak Medina ngobrol di
kamarnya. Sambil menemani Jasmine yang masih bermain dengan mainannya di kasur
sementara Nolan dan Papa tengah bercengkerama nonton TV.
Mereka ngobrol segala macam hal. Dari tentang keluarga di Jakarta sampai hal yang
remeh temeh. Jujur Medina kangen saat-saat seperti ini. Bisa curhat sama Mama tanpa
merasa ada dinding pemisah.
Waktu di Jakarta ia begitu sibuk kerja. Jadi asisten di kampus lalu ke LSM dan
kuliah seminggu 3 kali, sampai ngobrol dengan Mama pun tak ada waktu.
"Medina, Mama mau nanya apa kamu ikut KB?? Khawatirnya nanti gak terencana. Jasmine
masih kecil kamu juga belum lulus. Buat jaga-jaga jangan sampai kesundul" kata
Mama.
Medina tak mengira Mama akan nanya hal private begitu. Tapi mungkin ibunya itu
pengen kasih nasihat dan masukan. Apalagi beliau pensiunan PNS yang pernah bekerja
di BKKBN.
Ia menggeleng.
"Tidak Ma, Medina nggak KB. Nolan gak ngebolehin, katanya biar dia saja yang KB
pakai pengaman. Dia tahu kapan Medina lagi masa subur kapan enggak karena
mencatatnya dan mengamatinya secara detail. Kalau pas lagi masa subur biasanya dia
yang ngalah...melakukan coitus interruptus. Katanya itu dibolehkan agama," jawab
Medina tanpa segan meski sebenarnya malu. Bukankah itu rahasia kamar mereka berdua.
Tapi karena Mama mendengarkan secara serius ia anggap dirinya sebagai klien yang
butuh arahan dan bimbingan.
"Wah, dua metode KB itu nggak menjamin lho, Dina. Tapi ya memang harus dirembug
sama suami kalau mau menentukan kontrasepsi. Sama-sama nyaman."
"Iya, maunya dia begitu, Ma. Entah kenapa dia kurang percaya sama alat-alat KB
untuk istri, biar dia sendiri yang ngalah."
"Mama senang suami kamu orang yang bijak, tidak memaksakan kehendak. Jarang laki-
laki yang mau ngalah begitu."
Medina mengiyakan dalam hati. Nolan memang suami idamannya. Dulu saat ia menangani
para ibu korban KDRT di LBH tempatnya penelitian, aduan mereka rata-rata soal
suaminya yang keras, suka memaksakan kehendak karena merasa sebagai kepala
keluarga. Kerap menuntut cepat terpenuhi hak-haknya tapi lupa kewajiban menghargai
istri termasuk menafkahi lahir seperti uang belanja dan batin, kasih sayang dan
cinta saat berhubungan. Suami gampang marah dan ringan tangan menjadi catatan
paling sering ia terima, belum lagi perselingkuhan karena pergaulan yang salah di
luar maupun tempat kerja.
Medina mengamini kata-kata Mama. Nolan lelaki yang sangat menghargainya, tak segan
membantunya dan memperhatikan hak-haknya sebagai seorang istri, termasuk masalah
kontrasepsi KB yang tadi disinggung.
Bayangkan hampir sebagian besar rumah tangga di Indonesia selalu menjadikan istri
sebagai obyek sasaran KB entah istri disuruh suntik, minum pil KB, IUD, implan dan
sebagainya tapi Nolan justru menawarkan dirinya saja yang KB dan mengalah harus
mengenakan sarung atau 'membuang' di luar di saat puncak kepuasannya. Bukankah itu
legawa yang luar biasa bagi seorang laki-laki yang biasanya selalu mengejar
kenikmatan saat bersama istrinya?.
"Suntik itu ada efek negatifnya menurut saya, Medina. Akan membuat mestruasimu
acak-acakan, tidak teratur. ibadahmu akan terganggu. Dan itu menurut saya kurang
baik." Nolan beralasan waktu itu.
Saat memasuki kamar sambil menggendong Jasmine yang sudah tertidur ternyata Nolan
sudah di sana. Ia tengah menyimak gawainya.
"Jasmine sudah tidur?"
Medina mengangguk. Nolan menghampiri dan gantian menggendong gadis kecilnya yang
badannya semakin besar. Ia menciumnya. Sementara Medina sibuk merapikan tempat buat
Jasmine tidur di ranjang king size itu.
Setelah rapi dan terlihat hangat, Nolan meletakkan anaknya lalu merapikan
selimutnya.
Medina mengganti busananya dengan baju tidur berbahan tipis transparan. Nolan sudah
menungguinya di bibir kasur. Malam ini ia ingin merasakan bulan madu kedua. Jauh-
jauh ke Vancouver, kota indah di Provinsi British Columbia, tak ingin rasanya
melewatkan malam untuk memadu cinta dengan Medina. Mungkin suasana yang berbeda
akan memberikan nuansa yang berbeda pula.
"Kamu cantik sekali malam ini, Medina," sambutnya seraya menarik tubuh Medina ke
dekatnya.
"Secantik Vancouver di musim panas?" guraunya. Mata mereka beradu. Nolan
memeluknya.
"Malam ini saya menginginkanmu seutuhnya anggap kita sedang honeymoon. Sekali-kali
lupakan kuliah dan jadwal mengajar," canda Nolan.
"Maksud kamu apa 'seutuhnya', apa sebelum ini cuma setengahnya?" balas Medina
tersenyum.
"Honey, saya...saya lupa bawa itu. Ketinggalan di tas. Bolehkah malam ini saya tak
menggunakannya?" Nolan bisa juga merajuk.
Tiba-tiba Medina mengingat pembicaraan dengan mamanya tadi soal kontrasepsi KB.
"Sure, why not, Honey?" Medina pun seolah pasrah.
***
Perkuliahan di tahun kedua sudah hampir selesai. Medina bersyukur semua bisa
dilewatinya dengan baik. Kini tinggal upaya menyusun desertasinya. Bulan depan ia
akan mendapat info siapa dosen ahli yang akan menjadi pembimbingnya.
Nolan sudah memberikan alternatif-alternatif tema penelitian. Memang mujur punya
suami profesor yang hobi penelitian. Ada saja dan apa saja bisa dijadikan bahan
yang menarik.
Medina tertarik meneliti pengaruh imigran dalam pengambilan keputusan bidang hukum
di Kanada.
Ia tak menyangka akhirnya para pembimbingnya menyetujui topik yang diajukan. Tak
perlu waktu lama bagi dia untuk segera mempersiapkan diri turun lapang buat
observasi sekaligus menyusun instrumen wawancara kepada orang-orang yang dianggap
kredibel.
Sore itu ia hendak pulang bareng Nolan setelah seharian membantu suami di LBH
sekaligus melengkapi bahan penelitian.
Entah karena kecapaian, atau mengabaikan makan matanya mendadak berkunang-kunang.
Keluar dari toilet Medina pingsan tak sadarkan diri.
Suasana jadi heboh. Nolan yang diberitahu langsung berlari dan terkaget-kaget.
Tanpa bicara ia langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke mobil.
Medina baru siuman setelah dibaringkan di ruang pemeriksaan di sebuah klinik.
"Aku di mana?"
"Kamu pingsan, Honey." Nolan mengambilkan air untuk Medina minum. Dokter kemudian
datang memeriksa.
Ia lalu mengajak Nolan ke mejanya.
"Saya curiga Tuan ada hal lain bukan sekedar tekanan darah yang drop karena
kelelahan atau HBnya yang juga rendah" kata dokter.
"Hal lain apa dokter?"tanya Nolan penasaran.
"Habis ini langsung cek USG saja. Perkiraan saya, istri Tuan sedang hamil." katanya
membuat Nolan tersentak.
Medina hamil Lagi??
Bersambung #7
Medina #7
Cerita bersambung
Di ruangan khusus keimigrasian masih di bandara, Nolan disibukkan dengan beragam
pertanyaan. Ketika mereka tahu dan memastikan profesor muda ini seorang muallaf
pertanyaan sudah menjurus ke hal-hal berbau radikal dan terorisme. Dan tentu saja
Nolan sudah menduganya.
Namun ketika ia dituduh terlibat sebagai anggota jaringan ISIS dan ikut
merencanakan kepergian relawan dari Montreal ke Suriah, Nolan langsung
mematahkannya dengan sejumlah alibi.
Walau begitu ia tetap saja dicekal dan tak boleh bepergian ke luar negeri. Artinya
ia tetap dalam pengawasan. Percuma ia menyebutkan almamaternya yang memiliki
fakultas khusus studi Islam, yang menunjukkan betapa Islam punya tempat di negara
itu, percuma juga ia berkoar kalau posisinya hanya seorang peneliti dalam dunia
pendidikan dan hukum. Bahkan sia-sia juga saat ia beralasan bahwa perlindungannya
terhadap imigran muslim juga dibarengi upaya memahamkan mereka untuk tetap
mengikuti tata aturan umum di Kanada dan menjaga stabilitas nasional.
Menjelang tengah malam ia diijinkan pulang, namun tetap dalam pengawalan ketat
hingga tiba-tiba saja sekelompok orang berpakaian sipil menjemputnya paksa lalu
memasukkan secara kasar ke dalam mobil land cruiser.
Belum sempat bertanya mulut Nolan langsung dibungkam dan ....selanjutnya ia tak
sadarkan diri.
***
Tiga hari berlalu. Medina masih terpaku dalam diam di kamarnya. Rasanya kering air
matanya mengingat semua itu.
Hingga hari ini keberadaan Nolan tak terdeteksi. Tidak ada kabar sedikitpun.
Masih teringat sore itu ketika Nolan dibawa paksa oleh mereka.
Ia langsung mengabarkan mertuanya dan Jeane. Mereka terkejut.
Jeane melarangnya kembali ke Montreal karena menurut Vivian yang sempat tinggal di
apartemen ada beberapa orang tak dikenal mencari Medina. Ketika diberitahu dia
sudah pulang ke Indonesia mereka tampak marah.
Jeane langsung mengontak kenalannya yang bekerja di KBRI Ottawa agar bisa menjamin
keamanan Medina dan anak-anaknya pulang. Sekaligus mencari keberadaan Nolan.
"Sebenarnya ada apa?. Apa yang mereka buru dari Nolan dan dirinya?" benaknya
berkecamuk tak henti-henti.
"Sepertinya ada keterlibatan pihak intelejen, Medina. Tapi saya tak tahu apa
motifnya. Apa masih berkaitan dengan sentimen agama?"
Kata-kata Jeane di telepon terngiang-ngiang.
Medina tertunduk, badannya terasa menggigil padahal Jakarta jarang berhawa dingin.
"Dina, makan dulu Nak." Suara Mamanya. Perempuan itu tengah menggendong Omar.
Sementara terdengar suara Jasmine bermain dengan kakak-kakak sepupunya yang sekolah
di TK dan SD.
"Dina nggak lapar Ma. Dina keingatan Nolan terus. Bagaimana dia, nasibnya sampai
sekarang belum ketahuan. Bagaimana Dina bisa makan?"
"Kamu memang suka keras kepala. Jangan egois. Kamu punya dua anak balita yang harus
diurus dan diperhatikan. Kalau kamu sakit, mereka juga bisa sakit," tutur Mamanya.
Medina teringat kata-kata terakhir Nolan di bandara agar ia menjaga Jasmine Omar,
dan ia akan menyusul. Nolan pasti akan menyusul mereka ke Jakarta, tekadnya.
"Baik Ma."
***
Dubrak!!.
Kursi kayu itu bergeser satu meter.
Mata biru Nolan menyapu ruangan itu. Kamar lengkap dan cukup mewah tapi sunyi
terisolir.
Tangannya yang mengepal ia hantamkan ke tembok. Shit!!.
Terbayang wajah Medina dan kedua anaknya. Bagaimana mereka?. Ia berharap mereka
sudah sampai di Jakarta. Jangan sampai malah balik ke apartemen. Firasatnya tak
enak. Ia yakin ada konspirasi di balik semua ini.
Ia merogoh sakunya. Sial!! handphonenya sudah raib. Laptop yang biasa ia tenteng
juga entah kemana.
Untung ia sudah memindahkan uangnya ke rekening Medina. Itu pun terburu-buru saat
ia minta ijin ke toilet di bandara.
Ia berjalan menuju jendela. Dari kaca berteralis rapat ia melihat dedaunan lebat di
sekelilingya. Ia mengintip lagi. My God, ini benar-benar tempat yang tinggi.
==========
Rahman terdiam lagi tetap meneruskan jalannya namun ia mencoba bersikap biasa.
"Maaf...,"sebut Medina.
"Nggak papa Dina. Ada beberapa alasan. Semoga urusan Dina lancar ya.
Assalamualaikum."
Rahman berbelok ke kanan ke gedung lain.
Medina tak mau sibuk mengurusi kenapa Rahman sampai cerai. Walaupun menggelitik.
Seorang aktivis kampus bisa sampai cerai?.
Ah sudahlah bukan urusan dia juga. Sedangkan masalahnya saja sudah cukup banyak.
Ohya hari ini dia belum nelepon Jeane dan belum sempat nulis email untuk Nolan.
Ia tahu akun-akun Nolan sudah tak ada yang aktif. Baik email, sosmed maupun
lainnya. Sepertinya ada hacker yang menghapus atau menutup akun tersebut.
Namun Medina pernah membuatkan akun email khusus untuk Nolan dengan nama yang aneh.
Ia yakin suaminya masih hafal passwordnya. Semoga ia sempat membukanya entah kapan.
***
Nolan melipat kain di depannya yang ia gunakan untuk sajadah shalat. Membaca Al
Qur'an lebih dari 2 juz per harinya dan kemudian menulis. Hanya itu sehari-hari
yang bisa ia lakukan selain berdoa agar ada jalan untuk bisa segera keluar meski
buntu karena semua sudut kamar dipasangi CCTV yang tentunya terlihat oleh penjaga
di luar.
Untuk mendapatkan Al Quran dan buku tulis saja ia harus merayu petugas yang
membawakannya makanan setiap hari yang ia ketahui namanya Max dan Sergio.
Dari keduanya, Max cukup toleran dan mudah diajak komunikasi meski usianya lebih
muda dari Sergio.
Waktu itu ia mencopot jam tangan satu-satunya harta berharga yang ia miliki karena
handphone dan laptopnya sudah raib entah ditaruh di mana. Ketika ia tanyakan mereka
pun menjawab tak tahu.
"Apa mau Tuan?" katanya usai membereskan sarapannya saat itu.
"Tolong kau jualkan jam tangan ini. Harganya sekitar 300 dollar Kanada. Saya hanya
minta dibelikan Al Quran di toko buku milik muslim serta alat tulis dan kalender.
Sisanya buat kamu."
"Baiklah Tuan saya akan coba membantumu sebisa saya. Asal Tuan tidak meminta saya
untuk membantu melarikan diri. Tuan tahu saya menerima pekerjaan ini karena tergiur
dengan gajinya yang sangat besar meski resikonya juga besar. saya memang butuh
uang.
Jika Tuan kabur maka sesuai perjanjian orang-orang yang bekerja di sini siapapun
itu harus siap menanggung resiko."
"Apa itu?"
"Ditembak mati termasuk keselamatan keluarga jadi taruhan." jawabnya.
Nolan hanya menggelengkan kepalanya keras. Benar-benar gila!. Ia tak yakin motif
pengurungannya hanya karena kecemburuan Rosemary.
Pagi kembali dan masih sepi. Jika bukan karena yakin akan kebesaran Alloh, entah
apa yang akan ia lakukan untuk mewakili rasa nekatnya.
Nolan mengambil kalender yang sudah ia tandai dengan beragam hal.
"Apakah benar dugaan ini?" Ia bertanya sendiri. Semalam ia memimpikan keluarganya.
Mereka berjalan di tepi pantai. Jasmine berlarian menangkap buih ombak yang datang.
Omar duduk bermain pasir dan ia duduk memeluk perut Medina yang membesar.
"Apa mungkin Medina tengah mengandung anakku yang ketiga?. Kalau berdasar
hitunganku begitu, dan feelingku begitu karena waktu bermalam di Ottawa...." Ia
tersenyum pias.
Nolan menarik nafas panjang. Matanya berair. Ia sangat merindukan Medina.
"Sarapannya Tuan" Max muncul sendiri. Nolan segera meraup wajah sembari mengusap
matanya yang terlanjur terlihat oleh Max.
"Bawa lagi saja Max. Saya sedang puasa."
"Tuan puasa lagi?"
"Kemarin tidak. Saya puasa dua hari sekali. Puasa Daud namanya."
"Saya taruh di meja Tuan. Ada secarik tulisan dibawah piring. Tolong dibaca nanti.
Tapi cara mengambilnya jangan sampai terlihat kamera. Dan bacalah di kamar mandi,"
ujarnya setengah berbisik.
Nolan mengambilnya dengan posisi punggung membelakangi kamera. Ia pun pergi ke
kamar mandi.
"Tuan Nolan, saya sebenarnya tidak tega melihat penderitaan Tuan karena saya juga
punya keluarga. Satu-satunya cara mengakhiri ini, Tuan harus melarikan diri.
Bongkarlah sedikit demi sedikit teralis dengan alat yang saya bungkus bersama
sendok garpu ini. Dan alihkan CCTV di atas pintu agar tak terlihat. Turunlah dengan
tali yang ada di balkon. Tapi tunggu beberapa hari lagi. Tunggu saya pergi dulu
dari rumah ini secepatnya. Selamat tinggal. Max."
Nolan melihat kunci pemutar teralis. Harapannya langsung membuncah.
***
Saat di kantin kampus, Medina melihat Rahman dari kejauhan datang menghampirinya.
Semalam Tante Fatimah cerita kalau Rahman mampir ke rumah sore-sore. Dan itu kali
kedua. lagi-lagi ia tak di rumah. Ia dan anak-anak lagi ke Hermes Palace Mall
ditemani Desi. Kebetulan gadis kelas 3 SMA itu sudah bisa bawa mobil.
Sebenarnya Medina kaget meski mereka sudah bareng di kampus itu 4 bulan lebih ia
memang tak berharap hubungan pertemanan mereka lebih akrab sampai Rahman datang ke
rumah segala.
"Assalamualaikum," sapanya seraya ambil kursi tak jauh Medina. Syukurlah kondisi
kantin lagi ramai jadi ia tak merasa kikuk berseberangan begitu.
Medina menjawab lalu meminum jus jeruknya.
"Dina, mengapa nggak cerita sebenarnya atas apa yang menimpa Nolan suamimu?"
Medina terkesiap.
"Apa kamu dengar dari tanteku?"
"Tentu saja. Kemarin kami ngobrol banyak."
"Maaf, aku suka tak bisa menahan emosi jika cerita ke orang lain. Ya...kami sedang
menghadapi cobaan. Tapi insya Alloh saya tak apa-apa dan punya harapan besar dia
akan menyusul kami."
Rahman tampak menghela nafas.
"Kalau tahu, saya bisa mencoba kontak teman yang kebetulan kuliah di sana untuk
mencari infonya."
"Aku masih punya mertua dan adik ipar di sana Rahman. Mereka juga bekerja keras
mencarinya. Kalau nggak lagi hamil, aku juga akan ke sana mencari sendiri." Mata
Medina sedikit berkaca-kaca.
"Kalau ada apa-apa jangan segan menelponku Dina. Kita kan sudah berteman lama.
Apalagi kamu sedang hamil begitu."
"Memang kenapa kalau lagi hamil?"
"Di rumah mu nggak ada laki-laki, itu maksudku. Kebetulan rumah dinas yang
kutempati nggak jauh dari Malahayati."
"Terima kasih, Rahman. Oya...kalau boleh tahu juga apa yang membuat kalian
berpisah?. Maaf kalo aku lancang."
Rahman terdiam sesaat kemudian tersenyum tipis.
Ia lalu bercerita kalau penyebabnya soal anak. Setelah 3 tahun menikah belum juga
ada tanda istrinya hamil, mereka pun periksa ke dokter. Dan ternyata penyebabnya
ada di pihak Rahman. Istrinya yang anak tunggal dan dari keluarga kaya dipengaruhi
oleh ibunya untuk bercerai.
Akhirnya Rahman menalak istrinya dengan harapan suatu saat istrinya akan balik
lagi.
Medina agak keheranan. Apa hanya karena itu pernikahan harus diakhiri?. Sepertinya
amat menyedihkan.
"Mudah-mudahan kalian rujuk kembali ya," jawab Medina yang terkaget-kaget mendengar
kisah Rahman yang ternyata berliku dan penuh cobaan juga.
"Tadinya saya berharap begitu. Sari mau balikan lagi. Tapi pas masa iddahnya habis,
saya harus kecewa karena sebulan lalu Bunda saya mengatakan kalau Sari sudah
menikah lagi dengan mantannya waktu SMA. Mmm...kami memang dijodohkan. Sebagai
seorang muslim saya tak pernah mau memaksa. Dia memiliki kebebasan," ujarnya nampak
tegar.
Rasanya tak tega mendengar seorang Rahman yang gagah dan berwibawa harus
ditinggalkan dan dikecewakan seorang perempuan.
Terus terang Medina kaget Rahman mau jujur bercerita privasinya tidak semudah itu
laki-laki mau curhat kepadanya.
Tapi alasannya tak salah, mungkin kalau masalahnya ada di pihak perempuan, poligami
bisa jadi solusi seperti yang dibolehkan agama jika istri ikhlas. Tapi kalau
sebaliknya, Islam membolehkan sang istri untuk minta cerai jika dia tak bisa
menerima kondisi suaminya.
"Saran saya cobalah cari second plan. Konsultasi dan berobat ke tempat lain siapa
tahu masih ada harapan. Bukankah sekarang dunia kesehatan sudah semakin canggih?"
Rahman melirik Medina sekilas menahan senyum. Sebenarnya sejak dulu ia
mengaguminya. Selain dewasa, mandiri dan anggun Medina juga memiliki ide-ide dan
semangat yang tinggi. Waktu dia tahu dari Mas Fikri kalau Medina menginginkannya,
dia surprais dan senang walau kaget sayangnya dia sudah mengiyakan permintaan Bunda
di Padang untuk menikah dengan Sari.
Kini setelah mendengar kondisi Medina entah kenapa ia ingin sekali mendampinginya,
paling tidak mensupportnya.
Setiap minggu pagi Rahman sengaja mengunjungi kediaman Medina lalu mengajak Jasmine
dan Omar jalan-jalan bermain di taman dekat rumah. Ia akan menjaga mereka betiga
selagi bisa, itu tekadnya.
***
"Kemana Max?" tanya Nolan pada Sergio ketika dia muncul seperti biasa membawa
makanan untuknya.
"Dia pulang ke Chicago, katanya ada keluarganya yang sakit. Untuk sementara akan
diganti temannya. Tadinya dilarang pergi sesuai perjanjian. Tapi bos akhirnya luluh
karena dia nangis-nangis."
Nolan tersentak. Max benar-benar memenuhi janjinya di surat bahwa dia akan kabur
lebih dulu.
Nolan pun menyusun rencana di benaknya.
Saat ia tengah merenung, tiba-tiba Rosemary muncul tak diduga.
Entah sudah berapa kali dia muncul dan mengganggunya. Namun semakin dia meminta
kesediaannya untuk dibebaskan secara baik-baik, perempuan itu semakin nekad. Ia tak
segan melepas busana luarnya dan mengajak Nolan berzina!.
Sebuah permintaan dan penawaran yang menggoda namun juga memuakkan.
Menggoda tentu saja, karena ia laki-laki normal biasa, tapi mengingat iman dan
kemuslimannya Nolan pun menolaknya mentah-mentah. Ia tak akan menjual diri demi
dosa besar itu.
"Kau mau apa lagi Rose. Jangan ganggu saya, saya sedang puasa."
"Oh Nolan..bisakah kamu kembali seperti sosok yang dulu. Agama apa yang meracunimu
sehingga bisa hilang akal dan merusak badan sendiri seperti itu?. Kau tahu apa
penyakit yang akan menyerang jika seorang pria harus selalu menahan hasratnya?"
ujarnya gila. Ia mendekati Nolan seperti biasa dan hendak memeluk punggungnya.
"Kamu gila dan tak tahu malu Rose. Apa tak sadar kamu sendiri sudah memasang CCTV
di sudut-sudut kamar."
"Apa kamu malu karena kamera itu, my dear?. Nanti aku suruh mereka mencabutnya."
"Ya!"
"Apa?"
"Buang kamera-kamera itu agar kamu tak tampak memalukan. Tapi saya tak mau melayani
kamu bukan karena itu. Karena saya muslim Rose. Bisakah kamu memahamiku. saya sudah
mengulangnya berkali-kali. Bahwa saya sudah punya istri, dan tentu saja saya hanya
akan melakukannya dengan dia. Jelas!?"
"Nolan...oh Nolan...please."
Nolan bergidig. Ia meloncat melepaskan diri dari pelukan Rosemary.
Ia berlari masuk ke kamar mandi dan menguncinya.
Dan untuk kesekian kali ia pun tidur terduduk di atas closet.
Bangun-bangun hari sudah siang. Dan matanya kaget ketika CCTV di atas pintu sudah
tak ada lagi. Ia tengok kiri dan kanan juga tak ada lagi.
"Ya Alloh terima kasih".
Mungkin Rosemary malu sendiri aksinya terpampang di kamera dan ditonton anak
buahnya.
Saat malam tiba Nolan pun mulai mencoba rencananya. Ia membuka teralis jendela
dengan kunci putar walaupun ternyata sangat lama dan butuh kesabaran.
Teralis berhasil dibuka tinggal jendela kacanya. Ia istirahat sebentar memastikan
tak ada penjaga di luar pintu.
Kata Sergio setiap malam minggu para penjaga berkumpul di bawah karena ada pesta
minum. Mudah-mudahan tengah malam begini mereka lelah dan tertidur nyenyak.
Nolan berhasil memecahkan kaca dengan bantuan pisau roti dan kaki kursi. Meski
keluar dengan susah payah dan lengan sedikit tergores tapi malam itu untuk pertama
kali ia bisa menghirup udara segar.
Dedaunan malam di sekeliling balkon menyambutnya.
Perlu usaha keras lagi untuk sampai di bawah, karena ia berada di lantai 3.
Max benar sudah ada tali di balkon meski pendek. Ia pun menuruni lantai demi lantai
dengan tali tarsebut dengan cara sambung menyambung. Ternyata dalam kondisi darurat
semua yang didasari nekad bisa berubah menjadi keajaiban!
Lelaki itu mengendap dan memanjat pagar samping rumah yang cukup tinggi hampir 3
meter mungkin.
Sesudahnya ia hanya berlari...berlari...dan berlari tanpa henti menembus kegelapan
tanpa tahu arah kemana hendak dituju dan aaaaaghrrrh.....!!!
Nolan terjatuh dalam lobang hingga terguling-guling. Glek. Gelap. tak sadarkan
diri. Suara gemericik sungai mengiringi tubuhnya yang diam tak bergerak.
***
"Saya di mana?"
Suara serak Nolan memecah keheningan ruangan ketika terlihat seorang perempuan
berbaju putih mendekatinya.
"Oh Anda sudah sadar. Syukurlah. Anda pingsan seharian. Tubuh anda ditemukan para
remaja pecinta alam di pinggiran Sungai Ottawa."
"Ini di daerah mana?"
"Anda tengah berbaring di rumah sakit pusat Pieree Janet di Gatineau," jawabnya.
"Gatineau?". Alhamdulillah, Nolan merasa lega ia selamat melarikan diri.
"Saya minta kertas dan pulpen." Setelah menuliskan nomor telepon orang tuanya dan
pihak KBRI di Ottawa ia meminta agar sang suster membantu dia menghubungi nomor itu
secepatnya. Ia khawatir anak buah Rosemary akan mengendus keberadaannya kembali.
***
Medina mencari ke luar halaman tapi sosok kecil Jasmine tak terlihat. Saat
menanyakan ke Desi juga dia hanya menggeleng. Tante Fatimah masih sibuk di dapur.
"Jasmine ke mana?," bisik hatinya gundah.
Tak lama sebuah mobil berbenti di halaman. Mobil Rahman.
"Kamu kenapa Din seperti cemas begitu?". Rahman melihat Medina mondar-mandir sambil
memegangi perutnya yang sudah nampak membesar.
"Jasmine nggak ada di dalam. Dia keluar entah kemana..."
Rahman mendadak ikutan gusar. Ia pun menyeberang jalan sambil celingak celinguk
kiri kanan.
"Jasmine...!"
Bersambung #8
Note : Mohon ma'af ada episode yang hilang diantara jilid #6 dan jilid#7. karena
ada keluhan pembaca tentang hadirnya tiap episode per harinya, maka editor
meringkas 2 episode menjadi satu.
Medina #8
Cerita bersambung
"Jasmine...!!!"
Kali ini suara Medina melengking tanda mulai panik.
Seorang anak laki-laki kecil kira-kira usia 7 tahun kleluar dari rumah tingkat yang
besar jarak dua rumah dari kediaman Tante Fatimah.
"Bunda...apa Bunda cari anak berambut coklat dengan mata biru?" tanyanya setengah
teriak.
"Iya!!" Suara Medina dan Rahman berbarengan.
"Ada di dalam lagi ikut berdoa!"jawab bocah tadi.
Pfuiih...Medina langsung bernafas lega. Ia menuju rumah besar itu yang ternyata di
depannya ada plang tulisan Pondok Quran Yatim Salamah. Rahman mengikutinya.
"Assalamualaikum...."
Bocah tadi berlari duluan ke dalam lalu terlihat naik tangga. Tak lama seorang
wanita berhijab syar'i turun sambil menggandeng gadis kecil berambut panjang coklat
tergerai.
"Mommy...!". Jasmine tertawa girang. Ia melepaskan diri dari tautan jemari yang
menggandengnya.
Perempuan itu terbengong-bengong sesaat menatap Medina.
"Maaf Ibunya Jasmine?" tanyanya ragu.
Medina mengangguk.
"Oh saya pikir ibunya warga asing juga. Jadi sampai nyari-nyari ya. Maaf Bunda,
tadi si kecil ikutan sama anak-anak di panti mungkin karena tadi pada keluar habis
olah raga jadi ngikut saja," tutur perempuan berwajah manis yang kentara khas
acehnya itu.
Jasmine berlari memeluk Medina lalu berganti menghambur ke pangkuan Rahman. Lelaki
itu tertawa menyambutnya. Medina yang melihatnya terkaget sejenak. Apa segitu
dekatnya Jasmine dengan Rahman?.
"Oh nggak papa Mbak. Justru saya yang terima kasih, untung mainnya masih dekat
rumah sini. Kenalkan saya Medina. Saya tinggal di rumah Bu Fatimah, masih saudara.
Saya sebenarnya sudah hampir setengah tahun di Aceh. Tapi maaf belum terlalu hapal
tetangga. Tiap hari kalau nggak ke kampus ya cuman di rumah istirahat. Maklum hamil
tua. Kalau nggak cari Jasmine mungkin nggak tahu kalau di sini ada Pondok anak
yatim" urai Medina.
"Saya Cut Amira, Bunda. Kebetulan pemilik dan pengasuh pondok. Ini pondok
peninggalan ibu saya, Ibu Salamah. Beliau meninggal tiga bulan lalu. Saya dapat
amanah menggantikannya. Maka saya pulang ke Aceh. Sebelumnya tinggal di Medan. Jadi
bisa dibilang saya juga baru di sini. Iya saya kenal Ibu Fatimah, teman ibu saya."
"Berapa anak yang di asuh di sini?" tanya Rahman antusias. Ia teringat masa
kecilnya saat ayahnya meninggal di usia SD, ia mengaji di pondok anak-anak yatim
yang sederhana di kampungnya, Solok.
"Ada 20 orang, tapi yang tinggal di sini setelah melalui seleksi cuma 10 orang.
Mereka yang ayah ibunya sudah meninggal dan nggak ada keluarga yang mengurus,"
jawab perempuan itu.
"Lagi ada acara kah di atas?" tanya Medina.
"Kalau minggu pagi ada pengajian, doa bersama, sekaligus makan bersama. Ayo Bunda
Medina dan Bapak, kalau mau gabung sekalian kenalan. Oya siapa tahu juga Ayah
Bundanya Jasmine mau jadi donatur buat mereka...."
Medina dan Rahman saling pandang sejenak. Mungkin melihat Jasmine menggelendot ke
lelaki itu Cut Amira mengira mereka sepasang suami istri.
"He...he..saya temannya Medina, Mbak Amira. Kalo ayah Jasmine masih di luar
negeri," ujar Rahman menjelaskan khawatir Medina nggak enak.
"Oh begitu. Baik maaf...mari ke atas Bunda...."
Medina dan Rahman pun mengikutinya. Jasmine meloncat duluan dan lari ke atas.
Di atas ternyata ruangan kosong hanya ada meja-meja kecil memanjang dan sebuah
white board besar di dinding. Lantainya berlapis karpet tebal warna merah marun.
Terlihat ramai anak-anak tengah sarapan memakai nampan bareng-bareng. Rata-rata
anak-anak usia SD.
***
Jeane membantu memapah Nolan menuju kursi roda. Setelah orang tua dan adiknya
datang Nolan memang ingin segera latihan duduk. Tiga hari terbaring rasanya sangat
tidak nyaman. Namun ternyata kaki kirinya sakit luar biasa. Bagaimana tak sakit
kalau nampak memar dan terlihat pembengkakan di betisnya.
"Tulang anda mengalami keretakan Prof. Akibat terjatuh keras. Jadi memang harus
digips agar bisa disatukan kembali."
"Berapa lama sembuhnya Dok?"
"Tergantung kondisi. Paling cepat 2 bulan," ujar dokter orthopedi yang menanganinya
kemarin.
Setelah terduduk di kursi roda Nolan teringat akan sesuatu.
"Jeane, kumohon hubungi Medina segera biar dia tahu," kata Nolan.
"Kamu nggak ingin menelepon sendiri?" tanya papanya.
"Nanti saja,...saya malu kalau menangis di depan papa mama," jawabnya. Catherine
langsung memeluk dan mencium kepala Nolan. Alhamdulillah akhirnya dia masih hidup
dan baikan walau nampak kurus sekali.
"Kamu sangat kurus , Nolan" Catherine menangis.
"Nggak papa Ma. Minggu depan kalau sudah berkumpul dengan Medina dan anak-anak
pasti gemuk kembali." Catherine tersenyum.
Jeane yang tengah menempelkan hape di telinga terlihat resah.
"Nggak nyambung, Nolan. Mungkin dimatikan. Jam segini di sana mungkin dia lagi
ngajar."
"Mengajar?"
"Medina cerita kalau dia sudah jadi dosen pemerintah di Aceh," papar Jonathan.
Nolan terkesiap kaget.
"Medina di Aceh?"
"Yap. Dia mengajar di UIN Aceh, Nolan."
Antara senang dan kaget. Nolan tak tahu sama sekali kalau Medina ada niatan ke
Aceh. Untuk menjadi dosen PNS pasti lamarannya sudah jauh-jauh hari sebelumnya. Dan
Medina tak cerita sama sekali.
"Banyak hal yang saya tak tahu kah?"
"Medina sedang hamil. Omar mau punya adik." Catherine tersenyum.
Nolan tertawa gembira. Ternyata dugaannya benar. Mimpinya waktu itu juga tak salah.
"Oh Alhamdulillah, Thanks God!. Saya harus segera menyusulnya, Mam!"
"Sabar Nolan, tunggu kamu pulih benar." tukas Jeane.
"I can't wait. I miss them so much...."
Nolan tak bisa membendung air matanya.
Tak lama ada beberapa orang datang mengunjungi Nolan. Teman-temannya di LBH dan
seorang utusan dari KBRI.
"Saya sudah membuat laporan ke kepolisian Nolan tentang tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan Rosemary. Saya tinggal mengumpulkan bukti-bukti untuk menyeretnya ke
pengadilan."
Erick, teman kepercayaan Nolan di LBH berbisik.
"Thanks, Brother. Saya minta tolong kamu mengurusnya. Mungkin dalam waktu dekat
saya harus ke Indonesia secepatnya. Menengok anak dan istri saya."
"Pihak embassy siap memberikan pengamanan, Prof Ramirez." Lelaki berwajah Jawa yang
sehari-hari bekerja di KBRI memandangnya optimis.
Selanjutnya karena belum dibolehkan pulang, Nolan meminjam laptop Jeane untuk
membuka email.
"Akun-akunmu kata Medina sudah ada yang menutup. Saya baru ngecek facebook. Sudah
dihapus. Agaknya Rosemary mengacak-acak semuanya agar keberadaanmu tak terdeteksi
sama sekali," ungkap Jeane.
Nolan mengangguk. Ia sudah menduga. Namun ia mencoba membuka email dengan alamat
yang waktu itu dibuatkan Medina.
Mata Nolan kian hangat ketika tahu ada puluhan surat yang masuk dan semuanya dari
istrinya. Ia membuka yang terbaru yang dikirim dua hari yang lalu.
"Nolan, my dear. Bagaimana kabarmu hari ini. Semoga Alloh senantiasa melindungimu
sayang. Hari ini kandunganku masuk 8 bulan. Tinggal sebulan lagi. Alangkah menguras
hati melewati hari tanpamu Nolan. Maaf jika kalimat ini kuulang-ulang. Aku berdoa
semoga akan ada keajaiban yang mempertemukan kita kembali hingga kau bisa
mendampingiku melahirkan di sini, di Aceh. Tempat bulan madu kita pertama, Honey.
Oya Nolan, kemarin Jasmine hilang dari pandanganku, ternyata ia tengah bermain
dengan anak-anak panti asuhan di dekat rumah Tante Fatimah. Jasmine berdoa bersama
mereka. Mendoakan agar Daddy cepat kembali memeluknya. Memeluk Omar juga yang kini
sudah bisa berjalan ke sana ke mari.
Salam rindu dari kami."
Jari Nolan lemas. Air matanya jatuh menimpa keyboard laptop.
***
Medina mencium pipi lalu menatap wajah Jasmine dan Omar yang baru saja tidur. Jarum
jam di kamar merangkak dari angka 9. Malam kian menggigit.
Handphonenya yang mati sedari siang segera ia charge. Jam segini Tante Fatimah juga
sudah istirahat di kamarnya. Sementara Desi terlihat masih di ruang tengah. Masih
belajar untuk persiapan try out UN.
Seperti biasa ia harus membuka laptop dulu untuk mengecek email dari mahasiswanya.
Apakah tugas-tugas yang diberikan sudah dikirim ke inboxnya.
Mata Medina mengerjap kaget ketika surat pertama yang masuk dari akun yang ia buat
untuk Nolan dulu.
Ia pun membukanya dan matanya terbelalak surprais.
"Dear Medina, alhamdulillah atas doa kamu dan anak-anak saya berhasil menyelamatkan
diri dan sekarang dalam pemulihan. Jangan khawatir, saya bersama mama papa dan
Jeane sekarang. Baru sampai di rumah. Insya Alloh besok sore saya segera take of ke
Aceh. Saya sangat merindukanmu, juga Jasmine dan Omar. Saya pun ingin mendampingimu
kembali saat melahirkan. Sabar sayang. See you later, my dear. Nolan."
Ya Alloh!. Medina menutup mulutnya. Alhamdulillah...terima kasih ya Alloh, Engkau
masih menyelematkan suamiku, gumamnya. Matanya langsung basah karena gembira.
Dan ia pun tak kuasa menggerakkan tubuhnya ke lantai untuk melakukan sujud syukur.
Setelah ponselnya nyala, ia baru tahu kalau ternyata Jeane telah menghubunginya
beberapa kali sejak tadi siang.
Ia pun menelpon balik. Kalo sekarang di Aceh jam 10 malam berarti di Montreal
sekitar jam 11 siang.
Di seberang sana, Nolan tengah duduk di kursi setelah berusaha latihan jalan meski
tertatih-tatih mengenakan alat bantu.
Terlihat handphone milik Jeane di meja sebelahnya menyala. Nolan melirik tertera
nama Medina memanggil.
Ia pun segera mengambilnya dengan berdebar saking bahagianya.
"Selamat siang Jeane, maaf seharian aku di kampus, hp ku mati. Aku sudah baca email
dari Nolan. Apa benar dia sudah kembali. Oh Jeane aku senang sekali...bisakah kamu
hubungkan ke Nolan sekarang?"
Nolan terdiam. Betapa rindunya ia akan suara itu. Matanya mengembun kembali.
"Jeane...maaf..apa kamu mendengarku?. Jeane...,"
"Medina...ini saya." Suara Nolan bergetar.
"No...Nolan?...Nolaaan!"
***
"Nolan sudah ditemukan?" Rahman terdiam sesaat. Harusnya ia senang, paling tidak ia
tak akan lagi melihat mendung bergelayut di wajah Medina.
Tapi di satu sisi ia bakal kehilangan kebersamaan dengan perempuan itu, juga anak-
anaknya. Padahal ia sudah merasa dekat dengan mereka. Entah mengapa pertemuan
kembali dengan Medina seolah menjadi penghibur gulana di hatinya akibat
ditinggalkan Sari, mantan istrinya.
"Alhamdulillah,...kapan dia akan ke sini?" "Mungkin besok siang sampai."
Rahman mengangguk. Ia lalu meninggalkan Medina sendiri di ruang rapat dosen itu
dalam diam.
Medina menangkap perubahan sikap dan wajah itu.
Rahman memang secara tak sengaja pernah mengutarakan perasaannya kepada Medina dan
malamnya Medina tak bisa tidur.
"Dina, ijinkanlah saya menjaga kamu dan anak-anak...."
"Rahman, itu tak mungkin. Saya perempuan bersuami. Saya masih memiliki harapan
besar kalau Nolan akan kembali meski sampai 5 bulan ini tidak ada kabarnya,"
katanya saat itu.
"Saya tahu. Entahlah mengapa saya merasa bahagia jika bisa bersama kalian. Terutama
jika main dengan Jasmine dan Omar. Anggaplah ini untuk menebus rasa salah saya
karena dulu menolak kamu," ujarnya sambil tersenyum bercanda.
Medina campur aduk juga mendengarnya karena bagaimanapun ia perempuan biasa yang
mungkin saja bisa tergoda. Siapa yang mampu menolak pesona Rahman, dosen muda,
gagah dan berwibawa terlepas dari kekurangannya?.
Apalagi ia pernah jatuh hati kepadanya?. Ya , cinta lama bisa saja akan tumbuh
kembali jika ada peluang dan kesempatan.
Dan itu sangat mungkin bisa terjadi. Apalagi Rahman selalu mengulurkan tangan untuk
membantunya. Sangat tanggap menunjukkan kepeduliannya. Ia kadang datang di saat
Medina benar-benar membutuhkan. Seperti waktu Omar sakit malam-malam, Rahman lah
yang mengantar mereka ke dokter. Dan ia tak kuasa menolak kebaikannya.
Tapi Medina seolah dibangunkan dari kelalainnya. Tidak, sekali lagi tidak. Nolan
sudah memberikan kebaikan lebih untuknya selama ini. Ia tak mungkin
meninggalkannya.
"Kamu harus segera mencari ganti Sari, Rahman. Perempuan lain yang masih sendiri
banyak."
"Boleh, jika ia semirip kamu," jawabnya tertawa.
***
Medina membantu Fatimah memasak di dapur. Mendengar Nolan dan keluarganya hari ini
mau datang ke Aceh perempuan itu berinisiatif belanja segala rupa. Dari semalam
Medina juga ikut beberes walaupun sudah dilarang takut kecapean.
Fatimah tengah meracik bumbu saat telinganya mendengar suara menjerit di ruang
tengah.
Auwwww!. Suara Medina?! Ia segera beranjak tergopoh-gopoh.
"Medina kenapa?!". Nampak Medina jatuh terkapar di anak tangga!
"Tante...tolong...saya pendarahan!" Fatimah panik sambil teriak-teriak memanggil
Desi.
"Desi, cepat telepon Bang Rahman minta ke sini bilang Kak Dina jatuh dan harus
dibawa ke rumah sakit!"
Tak sampai 10 menit, Rahman datang dan dengan dibantu tetangga mereka mengangkat
tubuh Medina ke mobil.
Sesampai di unit gawat darurat, Medina segera diperiksa kandungannya.
"Bayinya masih baik, tapi harus segera dilakukan tindakan operasi saecar. Bagaimana
Bapak?" tanya dokter pada Rahman. Mungkin ia dikira suaminya.
Fatimah yang mendampingi Medina menatapnya.
"Bagaimana?"
"Bisa telepon Nolan suami saya?. Mungkin dia sudah landing," kata Medina.
"Baik, tapi kalau tak nyambung kita ikuti kata dokter saja ya Din," saran Fatimah.
Perempuan itu kemudian mencoba menghubungi Nolan dengan ponsel Medina.
"Dia lagi di jalan. Segera lakukan tindakan saja takut terlambat, itu sarannya."
***
Nolan dan keluarganya sampai di rumah sakit. Sesaat sesudah menerima telepon dia
langsung menyuruh sopir taksi mengubah arah tujuan. Sepanjang jalan mulutnya tak
lepas berdoa. Entah mengapa ujian demi ujian datang silih berganti menerpa
keluarganya. Ia hanya terpekur.
"Sabar sayang. Semua akan baik-baik saja" ucap Catherine menguatkan.
Turun dari mobil ia berusaha berjalan meski terpincang-pincang dengan menggunakan
alat bantu kruk. Sebenarnya kakinya masih sangat sakit, tapi kerinduan pada Medina
melibas segalanya. Ia harus tegar demi mereka, keluarganya yang sudah berbulan-
bulan menanti kedatangannya.
Fatimah meski tak terlalu kenal menyambut kedatangan mereka. Medina beberapa kali
menunjukkan foto keluarganya di Kanada yang membuatnya terasa kenal dekat.
Demikian pula Rahman yang baru datang dari mushola menunaikan shalat zhuhur. Ia
mendekati sosok lelaki jangkung itu.
"Anda pasti Nolan. Kenalkan saya Rahman. Saya dulu sempat datang ke pernikahan
kalian," ujarnya menyalami Nolan. Ia berusaha lapang dada membunuh secuil cemburu
yang menyeruak. Meski Nolan tampak kurus tapi ketampanannya tetap saja tak
tersembunyikan. Wajar jika Medina setia dan amat mencintainya.
"Oh..thanks. Apa anda saudara Medina?" balasnya.
"Bukan, dia teman dosen di kampus." Fatimah menjelaskan.
Mendengarnya Nolan langsung menatap Rahman sekilas. Lelaki di depannya terlihat
gagah berwibawa. Ah ia tak sempat berpikir kalau Medina punya teman dekat laki-
laki. Ia pernah kesal ke Medina lantaran Ken teman kuliahnya mengantarnya pulang ke
apartemen hampir malam. Ia cemburu waktu itu.
"Sudah berapa lama Medina di kamar operasi Tante Fatimah?" Nolan mengalihkan
pandangannya.
"Satu jam sepertinya."
Mereka kemudian duduk di ruang tunggu dalam keheningan. Rahman beringsut minta ijin
hendak ke kantin. Toh ia merasa tugasnya telah selesai.
Namun belum juga melangkah dari sebuah pintu muncul Desi menggandeng Jasmine dan
Omar.
Jasmine yang melihat Rahman langsung menghambur.
"Uncle...uncle...Uncle Aman..!" teriaknya. Nolan menatapnya kaget.
Jasmine?!. Anaknya tampak semakin cantik dengan rambut panjang coklat tergerai. Ya
Alloh ia sangat rindu ingin memeluknya, tapi Jasmine malah berlari ke arah lelaki
itu.
Rahman mengangkat Jasmine seperti biasa jika bertemu.
"Jasmine...daddy sudah datang lihat itu!" Rahman menunjuk Nolan dari tempatnya
berdiri.
Rahman menggendong dan membawanya ke Nolan tapi gadis kecil itu menggeleng. Nolan
menelan rasa sedihnya. Jasmine tak mengenalinya. Ya Tuhan.
"No...No...not my daddy!". Jasmine menggelengkan kepalanya keras-keras.
Ia malah mengajak Rahman pergi keluar. Ia minta sesuatu layaknya anak kepada
bapaknya. Membuat hati Nolan cemas. Siapa laki-laki berkacamata itu sebenarnya.
Kenapa ia tampak begitu akrab dengan Jasmine?
"Jangan sedih. Jasmine hanya perlu adaptasi," bisik Jeane menepuk-nepuk bahu Nolan.
Desi mengantar Omar ke mamanya.
"Ini Omar?" tanya Catherine mendekati mereka. Anak itu mengangguk-angguk lalu
tertawa memperlihatkan giginya yang tumbuh.
Jonathan menggendongnya dan membawa Omar ke depan Nolan. Nolan pun menerimanya lalu
menciumi anak berusia 15 bulan itu. Anak itu kemudian minta turun.
"Dia sudah bisa jalan, nggak papa," tukas Fatimah.
Nolan menatapnya haru. Enam bulan berlalu begitu banyak perubahan dalam kehidupan
anak-anaknya. Dan ia telah kehilangan momen indah itu. Rasanya ia tak akan pernah
bisa memaafkan Rosemary seandainya perempuan itu membungkuk-bungkuk untuk minta
maaf sekalipun.
Tak lama pintu ruangan operasi terbuka dan beberapa tenaga medis keluar bersama
pertanda tugas sudah selesai.
"Keluarga Nyonya Medina?. Silakan masuk. Operasi sudah selesai. Silakan kalau mau
lihat bayinya". Jeane membantu kakaknya bangkit dan memapahnya.
"Oh jadi Anda suaminya?. Pantas bayinya putih sekali dan matanya biru, " gurau sang
dokter saat bertemu Nolan.
"Bayi Bu Medina masuk inkubator dulu ya Pak, karena umurnya sebenarnya baru 33
minggu, perlu penanganan intensif."
Seorang bidan memperlihatkan bayi yang ada dalam boks dorong. Bayi laki-laki.
"Laki-laki Dok?" ia memastikan. Dokter mengangguk. Nolan mengucap syukur.
"Istri saya di mana?"
"Istri Bapak belum siuman. Karena ada pendarahan besar jadi tadi harus bius total.
Silakan kalau Bapak ingin jenguk."
Nolan berjalan mendekati sosok tergolek di atas ranjang operasi. Wajah itu terdiam.
Ia mengelus pipi Medina lalu menciumnya meleburkan rasa rindu yang ia tahan
berbulan-bulan lamanya.
"Maafkan saya, Medina."
***
Suara azan membangunkannya.
Mata Medina terbuka. Ia melihat langit-langit ruangan yang berbeda. Sejenak
dikumpulkannya ingatan yang berserakan. Lalu ujung dari ingatannya mengerucut pada
satu nama.
"Nolaan!" Lelaki yang tidur dengan wajah tertelungkup di samping ranjang itu
tersentak.
"Medina, alhamdulillah kamu sudah sadar, Honey". Medina terperanjat kaget melihat
wajah di sampingnya. Nolan sudah ada di dekatnya. Ia menangis. Tangannya meraba
wajah bercambang lebat seperti tak terurus itu.
"Nolan,...kamu kurus sekali..."
"Saya kurus memikirkanmu. Saya takut sekali kamu pergi meninggalkan saya." Nolan
tersenyum mencoba bercanda sembari meraih jemari Medina dan menggenggamnya.
"Sampai kapanpun aku akan menunggumu, kamu berjanji akan menyusul." Suara Medina
bergetar.
Keduanya lalu berpelukan erat menyatukan kembali kehangatan yang pernah hilang.
Suara tangis Medina memecah keheningan kamar.
"Di mana bayi kita?" tanyanya setelah tersadar.
"Di ruang inkubator. Dokter menyarankan karena usianya baru 33 minggu."
"Aku cuma USG sekali. Dia laki-laki apa perempuan?" Nolan sedikit kaget.
Bagaimana mungkin Medina secuek itu. Padahal Jasmine dan Omar selalu mereka kontrol
dengan baik saat dalam kandungan. Dan Nolan lah yang paling rewel untuk urusan itu.
"Laki-laki Medina. Saya akan memberinya nama Khaleed. Apa kamu setuju?"
"Nama yang bagus. Seperti Khalid Bin Walid."
Nolan mengangguk.
"Maafkan aku Nolan. Aku tak bisa menjaganya dengan baik." Agaknya Medina bisa
merasakan mengapa Nolan terkaget karena ia tak tahu jenis kelamin bayinya. Nolan
menggeleng.
"Sudah...tak perlu disesali. Semua di luar rencana kita bukan?"
Medina segera melepas pelukannya ketika mendengar suara ramai memasuki kamarnya.
Ah...keluarga Nolan ternyata ikut semua.
"Papa Mamamu juga dalam perjalanan ke sini," ujar Fatimah ketika mereka masuk.
Hari itu amat membahagiakan Medina. Berkumpul bersama dua keluarga.
***
"Mommy...where's Uncle Aman... i want uncle." Jasmine mengagetkan Nolan dan Medina
di kamar. Medina tengah menggendong Khaleed yang akhirnya dibolehkan pulang setelah
seminggu di inkubator.
"Paman Rahman pasti banyak pekerjaaan jadi nggak ke sini. Sekarang Jasmine main
sama Daddy. Kan Daddy sudah bareng kita di sini?" bujuk Medina.
"Daddy tak bisa gendong...." rajuk Jasmine.
"My Dear Jasmine, nanti kalau Daddy sembuh...Jasmine digendong Daddy seperti dulu."
Nolan akhirnya bersuara menahan ibanya.
Kini Jasmine malah mencari laki-laki itu ketimbang dia. Bukankah ini menyesakkan.
Mengetahui posisinya di depan anaknya sendiri tergantikan oleh lelaki lain benar-
benar membuatnya gusar. Cemburu itu membakar lagi lebih panas dari waktu di rumah
sakit.
Jasmine tersenyum mengangguk lalu keluar karena dipanggil Desi diajak main ke
pondok anak yatim.
"Seberapa dekat kalian dengan Rahman?" tanyanya agak serius. Ia duduk di pinggir
kasur. Ia terpaksa mengutarakannya karena memendam hal itu tak mengenakkan.
Medina tersenyum.
"Rahman teman dosen di kampus Nolan dan teman kuliah S2 dulu di Jakarta. Rumah
dinasnya dekat sini. Makanya ia sering mampir main bareng anak-anak."
"Memangnya dia masih sendiri?"
"Waktu kami datang, dia baru bercerai." jawab Medina jujur.
Dahi Nolan berkernyit. Bercerai?... jelas Rahman single man kalau begitu.
"Lalu dia mendekatimu karena ingin menggantikanku. Mungkin dia pikir saya tak akan
menyusulmu?. Dia dekati anak-anak dulu baru ibunya. Begitu?"
Entah setan apa yang mempengaruhi lelaki itu hingga kepalanya diracuni rasa curiga.
Mata Medina menyipit. Nolan seperti sosok asing sejak dari rumah sakit itu. Ia
cenderung diam dan...ah...seperti bukan Nolan yang ia kenal. Apa saja sebenarnya
yang ia lihat pada diri Rahman?.
"Nolan..."
"Dan kamu..kamu...pernah menyukainya bukan, Medina?!"
==========
Medina meletakkan Khaleed yang sudah nyenyak ke tempat tidurnya. Ia hanya diam. Ia
tak ingin semakin membakar kecemburuan Nolan walaupun ada emosi menyulutnya.
Bagaimana kalau ia menggodanya saja?.
"Aku memang pernah menyukainya. Apakah itu salah?. Seandainya proposal darimu
datang duluan mungkin ceritanya akan berbeda.
Sayangnya aku tak punya kemampuan menerawang garis takdirku sendiri. Ketika tahu
dia akan menikah dengan seorang gadis, aku sadar aku harus menutup rasa itu. Tutup
buku. Aku mengejar takdirku yang lain meski masih gelap. Lalu kamu datang,
percayalah menyukaimu jauh lebih indah, Honey."
Medina berusaha menatap Nolan mesra.
"Jadi kau diam-diam mendaftar jadi dosen di sini juga bukan karena dia ngajar di
sini?"
My God. Tak mempan rupanya.
"Oh Nolan, dulu kamu bilang aku kalau cemburu merepotkan hanya karena nanya siapa
Cut Medina dan seberapa suka kamu padanya. Tapi kamu?. Cemburumu membuat dadaku
sesak.
Nolan, aku tak tahu sama sekali dia ada di Aceh. Aku minta maaf tak meminta ijin
waktu mendaftar karena sekedar coba-coba saja waktu itu. Aku ingin memberimu
kejutan. Bukankah kamu pernah bilang, Aceh seperti tanah airmu kedua sesudah
Kanada?. Tapi ternyata ada kejadian di bandara yang mengacaukan segalanya."
Nolan masih mencangkung di bibir kasur.
"Apakah kalian sering bertemu atau pergi bersama-sama selama saya nggak ada?. Kalau
tidak, mengapa Jasmine bisa sedekat itu kepadanya. Mengapa kamu biarkan?"
Seserius itu kah kecurigaan Nolan?. My Profesor, apa yang membuatmu berubah, gumam
Medina.
"Nolan, apa kamu tak bisa membayangkan betapa beratnya kehamilanku kali ini. Selain
beban psikis, fisikku lemah. Aku tidak berselera makan. Bahkan sering dimuntahkan
kembali. Rahman hanya datang mengajak Jasmine dan Omar main ke luar, jalan-jalan
karena aku jarang menemani mereka. Dia kasihan sama aku. Bagaimana aku bisa tega
mengusirnya?.
Aku tak sampai hati, Nolan. Dia menyukai anak kecil ... karena dia merasa tidak
punya kesempatan memiliki anak sendiri."
"Apa maksudmu?"
Medina lalu bercerita penyebab perceraian Rahman dengan istrinya sebelum mereka
bertemu.
Nolan masih terpaku di posisinya.
"Nolan, untuk apa kita mengungkit masa lalu. Rahman hanya teman bagiku. Seperti
halnya masa lalumu dengan Doktor Rose. Padahal kalau mau lebih curiga, aku pun bisa
bertanya selama 6 bulan dikurung wanita cantik itu yang jelas-jelas mencintai kamu
secara nekad, apakah kalian tak melakukan apa-apa?"
Akhirnya benteng pertahanan Medina ambruk.
Ia tak peduli lagi jika pertanyaan itu dianggap serangan balik. Jika Nolan marah
melebihi ledakan bom atom Hiroshima Nagasaki ia pun akan pasrah.
Mata Nolan menatap tajam.
"Kamu berpikir saya ada main dengan orang yang menghancurkan hidup saya?. Yang
membuat saya seperti orang pesakitan?. Pikiran macam apa itu?"
"Lalu mengapa kamu juga tega berpikir aku ada affair dengan Rahman. Apa bedanya?"
Kali ini Medina tak kuat menahannya. Suaranya terbata-bata hingga air matanya mulai
berhamburan. Ia menangis karena kesal.
Nolan akhirnya merutuki dirinya sendiri yang mendadak berubah kekanak-kanakan.
Apakah lantaran dikurung 6 bulan otak warasnya jadi konslet demikian. Atau kadar IQ
nya turun sampai 50 persen?. Seorang profesor bisa hilang rasionalitasnya karena
terbawa perasaan?.
Tak cukup hanya dengan jawaban 'profesor juga manusia' untuk melakukan pembelaan
diri.
Tapi di atas itu dia juga seorang muslim yang harusnya tahu dilarang mengedepankan
prasangka atau suudzon melebihi akal sehat. Apalagi tuduhan tidak-tidak pada
istrinya sendiri tanpa bukti.
Nolan beristighfar. Mungkin ia terlalu lama memendam rasa letih.
Lelaki itu pun bergerak tertatih mendekati Medina dan memeluknya erat lalu menciumi
rambutnya.
"Maaf ... maafkan saya Medina. Saya tak bermaksud membuatmu sedih. Maafkan kalau
saya terlampau cemburu."
Medina membalas mendekap punggung Nolan dan menelungkupkan wajah ke dada suaminya.
Menyembunyikan rasa lelah yang sama.
"Aku tahu ... aku tahu ... apa yang berkecamuk dalam hati kamu," ucapnya.
"Benar Honey, kamu pasti tahu berat sekali bagi saya menahan kerinduan selama 6
bulan. Rindu yang tak tersalurkan akan meledak suatu saat dengan emosi yang tak
terkendali, mungkin juga rasa cemburu seperti saat ini. Dan sampai Aceh pun saya
hanya sanggup memandangimu. Kaki saya retak dan sakit lalu kamu ... kamu baru
nifas."
Akhirnya Nolan hanya bisa tersenyum tipis.
"No problem, ... for me looking at you is enough," jawab Medina tertawa sambil
mengusap matanya.
"Really?. Tapi saya ingin lebih ... " sahut Nolan. Medina merajuk.
Nolan pun kemudian hanyut dalam kelembutan bibir Medina seiring keinginan
menenggelamkan luka-lukanya.
"Mommy...Daddy...what are you doing?!!".
Tiba-tiba tangan kecil Jasmine berusaha mendorong memisahkan mereka.
Sambil menahan malu Nolan lalu mengangkat tubuh mungil Jasmine walau sempoyongan
dan akhirnya keduanya terjatuh di kasur. Jasmine kegelian karena digelitikin
ayahnya dan Medina sukses mentertawakannya.
***
Empat bulan berlalu. Medina sudah mengajar kembali setelah menikmati cuti
melahirkan selama 3 bulan. Ia juga tengah merintis LSM untuk menangani permasalah
sosial dan hukum dalam keluarga setelah mengetahui data mencengangkan dari Mahkamah
Syari'ah Aceh bahwa tingkat perceraian di Aceh tahun 2017 naik drastis dan umumnya
justru karena cerai gugat bukan cerai talak.
Artinya kasus perceraian terbesar di sana karena permintaan pihak istri. Ia sangat
tergugah untuk menelitinya dan tentunya bisa ikut menjadi bagian solusi tersebut.
Beberapa mahasiswanya yang ia percaya bersedia ikut menjadi volunteer. Adalah
sebuah anomali jika Aceh yang dikenal sebagai serambi Mekah justru tingkat
ketahanan keluarganya lemah.
Sedangkan Kaki Nolan pun sudah bisa digerakkan seperti semula.
Ia sudah mulai beraktivitas kembali untuk menekuni penelitiannya selain menjadi
dosen tamu di beberapa tempat di Singapura, Malaysia juga di Aceh sendiri.
Penelitian yang harusnya sudah berjalan sejak bulan Januari, terpaksa baru ia mulai
pelaksanaanya di bulan Juli. Harapannya jatah 2 tahun yang diberikan oleh pihak
lembaga pemberi hibah bisa terselesaikan sesuai waktu yang ada. Toh ia sudah
memberikan lampiran penjelasan penyebab keterlambatan.
Nolan pun berencana mengajak Medina membeli rumah sendiri di kawasan dekat kampus
agar lebih leluasa karena anak-anak juga semakin besar butuh kamar tambahan. Selain
itu tak enak dengan Desi. Gara-gara ada Nolan, ia jadi tak terlalu bebas di
rumahnya sendiri. Kemana-mana bahkan sekedar keluar kamar untuk mengambil minum ia
harus selalu mengenakan jilbabnya.
Keduanya sudah menikmati kembali kehangatan keluarga yang sempat hilang. Seolah
mengejar ketertinggalan, tiada weekend tanpa melewatinya dengan jalan-jalan
bersama. Terutama untuk keceriaan Jasmine dan Omar.
Seperti sekarang mereka sudah sampai di Pulau Weh, ujung barat Pulau Sumatera. Di
Kota Sabang ia ingin mengenang kembali kebersamaannya dengan Medina. Kali lini
lebih lengkap karena mereka sudah berlima.
Pagi-pagi Nolan sudah menggendong Omar di atas pundaknya. Jagoannya itu paling
gembira jika sudah duduk demikian lalu tangannya menunjuk-nunjuk ke sana ke mari.
Mereka keluar dari sebuah cottage menuju pantai Iboih. Jasmine sudah berlari-lari
ke depan. Anak itu doyan banget akan laut dan pantai. Hampir tiap akhir pekan
selalu pengen lihat laut.
Medina yang terakhir keluar bersama Khaleed di gendongan dadanya segera menutup
pintu dan menguncinya.
Baginya, Sabang mengingatkan kenangan 4 tahun yang lalu bersama Nolan saat mereka
bulan madu ke titik nol kilometer.
"Mommy...cepat!" teriak Jasmine.
Medina pun bergegas menjejeri Nolan.
"Kenapa pakai lama istriku, kita kan mau mengejar sunrise," godanya.
"Tadi ada sesuatu yang ketinggalan."
"Apa?"
"Nanti saja kasih tahunya pas di pantai. Pokoknya sesuatu yang bakal mengobati rasa
cemburu kamu!" Nolan tertawa.
Apa ini ada hubungannya dengan Rahman?.
Mereka tiba di pantai. Nampak matahari muncul malu-malu dari garis cakrawala.
Sunrise di Pantai Iboih memang salah satu yang menarik wisatawan domestik maupun
manca negara.
Suasana pagi begitu semarak dibuatnya.
"Daddy...turun!" pinta Omar. Hap!. Anak itu langsung meloncat dan berlari mengejar
Jasmine. Mereka lalu bermain pasir.
"Khaleed ... kamu mau mengejar kakak-kakakmu? Ayo." Nolan mengangkat Khaleed dari
gendongan Medina.
Mereka berjalan beriringan membiarkan kaki-kaki itu mengaduk-aduk pasir putih.
"Apa tadi yang mau ditunjukkan, Honey?" Nolan melirik Medina lalu mengalihkan
wajahnya ke muka mungil Khaleed yang menggemaskan.
Dari ketiganya, Khaleed lah yang paling mirip Nolan. Kulitnya paling putih
kemerahan matanya biru sempurna dan hidungnya paling mancung. Ia memang lebih
nemberi perhatian ekstra ke Khaleed karena dihinggapi rasa bersalah tidak
mendampingi sedikitpun perkembangannya saat di perut ibunya sampai-sampai lahir
prematur.
Medina mengeluarkan sesuatu dari saku gamisnya. Sebuah undangan warna krem.
"Apa itu?"
"Undangan pernikahan dari Rahman. Kemarin ia memberikan pas di kampus."
"Ohya?. Alhamdulillah, akhirnya dia mau menikah lagi. Dengan siapa?"
"Kau mau tebak?"
"Saya tak suka nebak-nebak. Saya juga tak suka doorprize." Nolan tertawa
menggeleng. Ia masih menciumi pipi Khaleed.
"Sama Cut Amira, tetangga kita," kata Medina lalu mengajak Nolan duduk sebentar di
atas pasir.
"Ohya??. Apa dia bersedia .... Saya lihat Amira masih muda. Mungkin dia juga
berharap punya anak."
Medina diam menerawang. Matanya kagum menikmati keindahan sunrise pukul 6 pagi itu.
Mentari malu-malu menyembul dari balik Pulau Rubiah.
Semalam Tante Fatimah cerita kalau dia lah yang jadi mak comblang mereka berdua.
Rahman dan Cut Amira, dengan alasan ia teman dekat ibunya Amira.
Tentu saja ia sudah tahu kondisi Rahman.
Tak disangka Cut Amira menerimanya dengan salah satu alasan ia pun bukan gadis
sempurna. Tahun lalu ia sempat melakukan operasi pengangkatan ovarium alias indung
telur karena ada infeksi di salah satu saluran telurnya. Jadi kini ia hanya punya
satu ovarium, dan menurut dokter seandainya menikah harapan memiliki anak pun
tinggal 30 persen. Beberapa calon yang dijodohkan memilih mundur ketika mereka tahu
kondisi Cut Amira.
Rahman tak masalah tentang itu, karena sekarang menikah untuk memiliki anak bukan
prioritas melainkan keinginan untuk menggenapkan separo agama dan menjaga diri dari
pandangan mata dan nafsu yang tak baik.
Apalagi Cut Amira memiliki 20 anak asuh di pondok yatimnya. Ia ingin bersama gadis
itu belajar menyayangi mereka. Anak-anak yang kehilangan orang tua. Toh memiliki
anak tak harus anak biologis. Jika menyayanginya dengan tulus mereka juga akan
seperti anak-anak sendiri.
"Subhanallah ... niat yang indah," puji Nolan. Dia menyesal pernah berpikir jelek
tentangnya. Tapi dia sudah sempat minta maaf sebulan lalu saat tak sengaja ketemu
Rahman di kampus Medina.
"Honey, saya juga punya kabar bagus untuk kamu," ujarnya.
"Oya?, Apa itu?"
"Kamu nggak mau nebak?"
"Aku juga nggak suka doorprize, apalagi kalau hadiahnya cuma piring atau gelas
ha...ha," seru Medina.
"Buku saya yang bercerita pengalaman disekap waktu itu, sudah dipinang penerbit.
Mungkin bulan depan launching," ujar Nolan. Kali ini Medina benar-benar surprais.
"Wow...selamat sayang. Aku kok nggak tahu. Apa judulnya?"
"Judulnya 'When He Lost Medina'...."
Dahi Medina berkernyit.
"Serius?. Pake disebutin namaku?"
"Justru di situ bobotnya. Bisa dibilang ini sekuel dari novel Soul Adventure yang
dulu dan sempat best seller di Kanada."
"Ah aku merasa tersanjung. Jangan-jangan nanti pada googling namaku dan pada
ngantri minta tanda tangan?"
Nolan melirik istrinya. Suka jika dia melihat Medina lucu begitu.
"Apa itu istilahnya ... gede rasa ya?" ujar Nolan sembari mencubit pipi Medina.
"Gak apapa asal bukan mati rasa ha...ha...." Medina tertawa renyah.
Nolan pun bercerita. Erick, rekan Nolan di LBH menginformasikan bahwa Rosemary
sudah ditangani pihak kepolisian. Rumah penyekapan sudah disegel dan beberapa
barang yang ditemukan jadi bukti. Salah satunya buku catatan Nolan yang tertinggal
karena waktu itu Nolan buru-buru kabur. Buku itu kemudian difotokopi oleh Erick dan
dikirim ke Indonesia karena Nolan memintanya untuk diketik ulang dan dijadikan
novel.
"Syukurlah ... aku turut lega."
"Ada berita bagus kedua ... dan ini sangat membuat saya bahagia. Saya dapat infonya
tadi subuh."
"What?"
"Erick mau melamar dan menikahi Jeane. Mungkin karena selama beberapa bulan ini
Jeane bolak-balik ke LBH ikut mengurusi masalah kakaknya." Nolan tertawa.
"Lalu Jeane mau?. Dia kan ... "
"Alhamdulillah mau. Termasuk bersedia untuk hijrah, menjadi muslimah. Sebenarnya
kalau Jeane tinggal nunggu hidayah. Dia sudah baca terjemah Al Quran sampai tamat
dan pernah coba-coba merasakan belajar puasa. "
"Allahu Akbar...!" pekik Medina. Ia sangat surprais dan bahagia sekali
mendengarnya.
Medina memeluk bahu Nolan yang kini sudah padat kembali. Ya Alloh semoga
kebahagiaan itu tak terlepas lagi, bisiknya.
"Jadi menurut kamu, apa hikmah terbesar dari kejadian penyekapan itu Nolan," tanya
Medina sambil membetulkan letak kerudungnya dan mengajaknya bangkit.
Mereka berjalan kembali untuk pindah duduk ke tempat agak sepi karena Khaleed
menangis minta nyusu. Jasmine dan Omar masik asyik membuat rumah-rumahan dari pasir
putih tak peduli badan kecil mereka belepotan di sana-sini.
"Banyak sayang. Yang jelas hafalan Al Quran saya bertambah jadi 5 juz."
"Subhanallah...."
"Kedua, saya sudah terbiasa berpuasa. Puasa sangat berjasa untuk mengatasi rindu
yang bergejolak. Rindu sama kamu ..." Mata Nolan mengerling jenaka.
"Berarti sekarang sudah nggak rindu dong," rajuk Medina.
"Makin, kan sudah di depan mata. Rindunya sudah berubah jadi nafsu."
"Ih!!....Nolan!"
"Nafsu makan maksudnya .... Yuk saya sudah lapar kita sarapan dulu di hotel.
Katanya mau coba merasakan sate gurita?"
"Tapi halal nggak tuh?" tanya Medina.
"Pendapat terbanyak dari ulama mengatakan semua hewan laut itu halal dimakan,"
papar Nolan.
"Buat ibu menyusui nggak apapa?"
"Wah tak tahu kalau itu nanti ditanyakan. Tapi kalau cuma nyicip mungkin nggak
papa."
"Daddy... aku mau berenang!" Jasmine menggeleng saat diajak kembali.
"Nanti sayang, masih dingin. Kita makan dulu terus ambil baju ganti dulu ya!" seru
Nolan membujuk Jasmine dan Omar. Nolan mendekat lalu menggendong Omar. Mereka sudah
antusias mau diajak snorkeling melihat akuarium alami raksasa dengan ikan-ikannya
yang indah.
***
Jakarta, September 2028
"Hadirin, pernikahan beda bangsa dan negara sebenarnya sudah tak asing lagi. Tapi
pasangan yang satu ini cukup unik. Keduanya sama-sama bergelar profesor di usia
muda. Kisah-kasih mereka dituangkan cukup indah dan menarik dalam sebuah buku
setebal 500 halaman. Mari kita sambut Profesor Nolan Ramirez dan Profesor Medina
Pratomo ....!"
Pembawa acara alias host memperkenalkan Nolan dan Medina yang memasuki ruangan.
Tepuk tangan menggema memenuhi aula di acara Islamic Book Fair 2028.
Buku mereka bergenre keluarga dengan judul "Become Professor Family" masuk best
seller tahun ini karena laris terjual hingga 8000 ribuan per bulan dan sudah cetak
ulang 10 kali.
"Kabarnya anda profesor wanita termuda di bidang hukum keluarga di kampus anda ya,
karena jadi profesor pada usia 43 tahun?"
"Katanya sih demikian saya kurang tahu, tapi yang lebih hebat pasti banyak," jawab
Medina.
Mereka berdua pun bercerita tentang isi buku dan suka duka menikah antar bangsa.
Termasuk anak-anak ada yang lahir di luar negeri dan di Indonesia.
Lalu anak-anak mereka dipanggil maju juga ke depan.
"Siapa saja nih?. Boleh dikenalkan?" tanya sang host.
"Jasmine, please perkenalkan diri dan saudara-saudaramu," kata Nolan.
"Saya Jasmine, umur 13 tahun. Lalu adik-adik saya Omar, Khaleed, trus disamping
Mommy itu Zahara dan yang dipangku Daddy namanya El Fatih umurnya hampir 4 tahun."
"Profesor Nolan, tiga belas tahun menikah ini anaknya sampai 5 jaraknya dekat-dekat
begini, apa tidak ikut KB?" tanya sang Host lagi keheranan sambil menahan tawa.
"Ikut lah...KB, keluarga besar."
Penonton tertawa.
"Kata istri saya namanya kejar setoran...." lanjut Nolan lagi sambil melirik
Medina. Seisi aula tertawa lagi, mungkin karena yang mengatakan bule dengan aksen
khasnya jadi terdengar lucu.
"Benar begitu Prof Medina?"
"Ha...ha...memang waktu itu kami menikah masing-masing sudah kepala tiga, jadi agak
dikejar umur. Tapi alhamdulillah dijalanin saja," papar Medina dengan wajah
sumringah.
"Apa ada rencana nambah lagi?"
"Wah, saya sudah lewat 40 tahun dan 3 kali menjalani operasi caesar. Mungkin sudah
waktunya fokus membimbing dan membesarkan." Medina menjelaskan.
"Ya benar. Saya inginnya 10, tapi kasihan istri saya. Maka saya tawar separonya, 5
saja ... alhamdulillah dikabulkan Alloh. Banyak anak banyak rejeki," sambung Nolan
disambut applaus. Entah apa yang ditepuk tangani mungkin kalimat "banyak anak
banyak rejeki" yang di era milenial ini sudah sangat langka dan hilang dari
peredaran.
Selanjutnya host memanggil sepasang suami istri yang bukunya juga best seller.
Judul bukunya "Pesantren Yatim Milenial".
"Kita panggil pasangan Moh. Rahman Al Farizi dan Cut Amira Syarifah...!".
Medina terbelalak. Rahman?. Amira?. Ya Alloh betapa sempitnya dunia karena setelah
lama terpisah mereka dipertemukan kembali di Jakarta.
Setelah pindah rumah memang mereka jarang ketemu dan Rahman hijrah mengajar ke UIN
Jakarta. Mereka tetap mengembangkan pondok yatim menjadi pondok pesantren di daerah
Depok dan Bogor.
"Wah ternyata sudah saling kenal ya?" seru pembawa acara kaget.
"Kami pernah tetanggaan waktu di Aceh," jawab Rahman yang saat itu terlihat lebih
gemukan namun tetap berkacamata.
Medina justru terpesona dengan anak lelaki yang usianya sekitar 6 tahun
menggelendot di sisi Cut Amira. Wajahnya sangat mirip dengan Rahman. Siapa dia?
Cerita pun terkuak saat mereka berdua makan bersama di food court arena Book Fair.
"Alhamdulillah Mbak Dina. Setelah pindah ke Jakarta dan kami meneruskan bisnis Papa
di bidang property, kehidupan ekonomi kami mengalami kemajuan. Berkat doa anak-anak
pondok juga tentunya. Kami juga bisa membuka pesantren yatim di beberapa tempat.
Rejeki penuh berkah...."
"Zaidan umur berapa?. Kalian adopsi dari salah satu anak yatim?"
"Zaidan usianya 6 tahun mbak Dina. Dia anak kandung kami." Mata Cut Amira berkaca-
kaca.
"Alhamdulillah ...." bisik Medina tersenyum.
"Rejeki dari Alloh. Kami berdua mencoba ikut program kehamilan selama satu tahun
full. Menjaga pola makan dan jenis makanannya, ikut olahraga khusus. Namanya
ikhtiar saja walaupun kemungkinannya kecil. Kami mengikuti program ICSI, bahasa
dokternya untuk istilah injeksi sperma ke sel telur."
"Bayi tabung?" tebak Medina.
"Hampir mirip. Tapi pada ICSI, sperma suami langsung dimasukkan ke sel telur tanpa
dibiarkan membuahi sendiri."
"Ooh.." Medina mengangguk-angguk.
"Ini salah satu program khusus bagi pasangan yang suaminya memiliki masalah
kesuburan karena jumlah spermanya tak memadai atau kurang untuk membuahi atau bisa
juga bentuknya tak normal sehingga kemampuan geraknya kurang bagus," papar Cut
Amira. Ia melanjutkan cerita tanpa jengah lalu meminum jus jambunya yang tampak
menyegarkan.
"Barakallah untuk kalian. Semoga bahagia selalu ya."
"Bunda!" Rahman datang bersama Zaidan mendekati mereka. Lelaki berkacamata itu
tersenyum menyapa Medina.
"Maaf Prof Medina, saya harus cepat-cepat ngajak Bundanya Zaidan pulang karena mau
ada tamu di rumah. Oya...silakan mampir ke rumah mumpung lagi di Jakarta." Rahman
menawarkan.
"Wah dengan senang hati, tapi tak usahlah kamu sebut-sebut prof, begitu Rahman.
Nggak enak saya ... kamu kan bukan mahasiswaku." Rahman dan Cut Amira tertawa lalu
mereka pun pamitan berpisah.
Tak lama Nolan sudah datang dengan lima kurcacinya. Masing-masing membawa bungkusan
buku.
"Sudah belanja bukunya?. Banyak banget!" seru Medina.
"Bukunya bagus-bagus Mom. Saya beli tiga buku," ujar Jasmine.
"Yuk kita pulang, Opa Oma sudah nungguin kalian di rumah," lanjut Medina.
"Kapan kita pulang ke Aceh, Mommy?" Zahara gadis kecilnya merengek. Dia memang
paling tak betah bepergian.
"Besok, insya Alloh sayang."
Mereka hendak bergegas tapi ada beberapa orang yang kenal malah ingin foto-foto dan
minta bukunya ditanda tangani oleh Nolan dan Medina.
Ya, selebritis dadakan. Tapi sebuah apresiasi wajar untuk dedikasi buku parenting
pertama mereka yang serius dikerjakan selama dua tahun.
"Aku juga Mbak Dina ditanda tangani dong. Masih kenal kan?!"
Seorang perempuan muda berjilbab tengah hamil besar mendekatinya.
"Ya Alloh Dias?...Kamu Dias kan?!". Mereka saling menghambur dan berpelukan erat.
Medina masih ingat beberapa bulan setelah kejadian penembakan yang menimpa Nolan di
Quebec City, Dias dan Aryo suaminya pulang ke Indonesia karena tugas belajarnya
sudah selesai.
Nolan tampak ngobrol dengan Aryo yang menggandeng gadis kecil berjilbab kuning.
"Berapa bulan?. Anak ke berapa Dias?. Kenapa nggak ada kabar?"
"Nanyanya satu-satu mbak Dina. Ini lagi hamil 7 bulan. Anak kedua. Jadi sepulang
dari Montreal saya hamil, alhamdulillah. Itu yang pakai jilbab kuning. Namanya
Rania."
"Wah...pintar mengaturnya, jaraknya lumayan jauh dong ya?" goda Medina.
"Alhamdulillah 10 tahun. Tadinya kupikir nggak akan dikasih lagi...."
"Mommy...cepetan!" Kali ini Zahara dan Omar berbarengan yang bersuara. Wajah Omar
terlihat penuh tekukan karena kesal. Ternyata mereka sudah agak jauhan di depan.
Setelah menyimpan nomor Dias, Medina segera pamit dan melangkah cepat menyusul
mereka di antara kerumunan pengunjung Book Fair yang makin ramai dan sesak.
Duhai indahnya hari ini. Hanya dalam satu moment mereka dipertemukan dalam suasana
yang tak terduga di Jakarta. Setelah lama dipisahkan waktu dan jarak, pertemuan ini
adalah rejeki indah yang tak disangka-sangka. Ya Alloh semoga ukhuwah itu langgeng
di dunia hingga akhirat, doa Medina.
"Jadi bagaimana Prof Medina? apa kita jadi bulan madu ke Montreal pas winter
nanti?. Saya sudah kangen salju."
Medina terkaget. Nolan tiba-tiba sudah di sampingnya dan merangkul pundaknya.
"Nolan, ini tempat umum. Banyak orang!"
"Cuma memeluk, bukan masalah besar. Masak harus malu sih merangkul istri sendiri.
Ayolah jawab, Honey."
"Yang mana?"
"Liburan ke Montreal"
"Boleh. Asal semuanya dibawa serta."
"Itu namanya bukan Honeymoon."
"Kalau begitu di sini saja."
"Di sini nggak ada salju."
"Nanti anak-anak disuruh bikin salju-saljuan..." tukas Medina.
"Kamu ini ...."
"Tenang Nolan, aku juga rindu Montreal. Faith and love city....kemana pun asal kamu
yang ajak, aku pasti bahagia."
Medina tersenyum melirik Nolan. Mereka pun saling bergenggaman tangan semakin erat
lalu tertawa melihat dari kejauhan kelima krucilnya sudah berdiri menyandar di
mobil berbaris rapi bersedekap dengan wajah protes karena kelamaan menunggu.
"Mommy and Daddy...jalan kalian seperti keong!," teriak Khaleed.
Nolan dan Medina tertawa.
"Anak-anak Profesor Ramirez yang cerewet dan galak," bisik Medina lirih.
"Same with you, Medina. Turunan ibunya."
Medina pura-pura tak dengar.
* T A M A T *

Anda mungkin juga menyukai